Anda di halaman 1dari 20

TEKNOLOGI PENGOLAHAN LIMBAH PADAT RUMAH SAKIT

Konsep pengelolaan lingkungan yang memandang pengelolaan lingkungan sebagai


sebuah sistem dengan berbagai proses manajemen didalamnya yang dikenal
sebagai Sistem Manajemen Lingkungan (Environment Management System),
melalui pendekatan ini, pengelolaan lingkungan tidak hanya meliputi bagaimana
cara mengolah limbah sebagai by product (output), tetapi juga mengembangkan
strategi-strategi manajemen dengan pendekatan sistematis untuk meminimasi
limbah dari sumbernya dan meningkatkan efisiensi pemakaian sumber daya
sehingga mampu mencegah pencemaran dan meningkatkan performa lingkungan.
Hal ini berarti menghemat biaya untuk remediasi pencemaran lingkungan
( Adisasmito, 2007).

1.

Ada beberapa konsep tentang pengelolaan lingkungan sebagai berikut :


Reduksi limbah pada sumbernya (source reduction)

2.

Minimisasi limbah

3.

Produksi bersih dan teknologi bersih

4.
Pengelolaan kualitas lingkungan menyeluruh (total quality environmental
management/TQEM)
5.

Continous quality improvement (CQI)

Penanganan dan penampungan limbah meliputi hal-hal sebagai berikut :


1.
Pemisahan
dan
pengurangan.
Limbah
dipilah-pilah
dengan
mempertimbangkan hal-hal yaitu kelancaran penanganan dan penampungan,
pengurangan jumlah limbah yang memerlukan perlakuan khusus, dengan pemisahan
limbah B3 dan non B3, diusahakan sedapat mungkin menggunakan bahan kimia non B3,
pengemasan dan pemberian label yang jelas dari berbagai jenis limbah untuk
mengurangi biaya, tenaga kerja, dan pembuangan, pemisahan limbah berbahaya dari
semua limbah pada tempat penghasil limbah akan mengurangi kemungkinan kesalahan
petugas dan penanganan.
2.
Penampungan. Sarana penampungan harus memadai, diletakkan pada
tempat yang pas, aman, dan higienis. Pemadatan merupakan cara yang paling efisien
dalam penyimpanan limbah yang bisa dibuang dan ditimbun. Namun tidak boleh
dilakukan untuk limbah infeksius dan benda tajam.

3.
Pemisahan limbah. Untuk memudahkan pengenalan jenis limbah adalah
dengan cara menggunakan kantong berkode (umumnya dengan kode berwarna). Kode
berwarna yaitu kantong warna hitam untuk limbah domestik atau limbah rumah tangga
biasa, kantong kuning untuk semua jenis limbah yang akan dibakar (limbah infeksius),
kuning dengan strip hitam untuk jenis limbah yang sebaiknya dibakar tetapi bisa juga
dibuang ke sanitary landfill bila dilakukan pengumpulan terpisah dan pengaturan
pembuangan, biru muda atau transparan dengan strip biru tua untuk limbah autoclaving
(pengolahan sejenis) sebelum pembuangan akhir.

Hal-hal lain yang perlu diperhatikan dalam pengolahan limbah klinis adalah sebagai
berikut :
1.
Penghasil limbah klinis dan yang sejenis harus menjamin keamanan dalam
memilah-milah jenis sampah, pengemasan, pemberian label, penyimpanan,
pengangkutan, pengolahan, dan pembuangan
2.
Penghasil limbah klinis hendaknya mengembangkan dan secara periodik
meninjau kembali strategi pengolahan limbah secara menyeluruh
3.
Menekan produksi sampah hendaknya menjadi bagian integral dari strategi
pengelolaan
4.
Pemisahan sampah sesuai sifat dan jenisnya adalah langkah awal prosedur
pembuangan yang benar
5.
Limbah radioaktif harus diamanakan dan dibuang sesuai dengan peraturan
yang berlaku oleh instansi berwenang
6.
Incinerator adalah metode pembuangan yang hanya disarankan untuk limbah
tajam, infeksius, dan jaringan tubuh

7.
Incinerator dengan suhu tinggi disarankan untuk memusnahakan limbah
citotoksis (110C)
8.
Incinerator harus digunakan dan dipelihara sesuai dengan spesifikasi desain.
Mutu emisi udara harus dipantau dalam rangka menghindari pencemaran udara.
9.
Sanittary landfill mungkin diperlukan dalam keadaan tertentu bila sarana
incinerator tidak mencukupi

Penanganan Limbah di Sumber Limbah

Menurut Wiku Adisasmito (2007), rumah sakit mempunyai berbagai cara dalam
mengolah limbah, namun hal ini membawa konsekuensi besarnya biaya pengadaan
dan operasional yang harus dikeluarkan. Adapun saran pengolahan limbah padat
tersebut adalah melalui pewadahan dan pemilahan pada sumber, pengumpulan,
pemindahan pada trolli bak pengangkut sampah, pengangkutan, pemilahan,
pemotongan, pengolahan, dan pembuangan akhir.

Salah satu langkah pokok pengolahan limbah adalah menentukan jumlah limbah
yang dihasilkan. Jumlah ini memnentukan jumlah dan volume sarana penampung
lokal yang harus disediakan, pemilihan incinerator dan kapasitasnya.

1. Jumlah menurut berat

Jumlah produksi sampah domestik diperkirakan 2 Kg per orang per hari. Untuk
mendapatkan angka yang lebih tepat sebaiknya dilakukan survei sampah di rumah
sakit yang bersangkutan. Jumlah sampah dengan 500 tempat tidur adalah 3,25 Kg
per pasien per hari (Depkes RI, 2002).

2. Jumlah disposibel

Meningkatkan jumlah sampah berkaitan erat dengan meningkatkan penggunaan


barang disposibel. Daftar barang disposibel merupakan indicator jumlah dan kualitas

sampah rumah sakit yang diproduksi. Berat, ukuran, dan sifat kimiawi barangbarang disposibel mungkin perlu dipelajari sehingga dapat diperoleh informasi yang
bermanfaat dalam pengelolaan sampah (Depkes RI, 2002).

3. Jumlah menurut volume

Volume juga harus diketahui untuk menentukan ukuran bak dan sarana
pengangkutan. Konversi dari berat ke volume dapat dilakukan dengan membagi
berat total dengan kepadatan (Depkes RI, 2002).

Pengolahan limbah pada dasarnya merupakan upaya mengurangi volume,


konsentrasi atau bahaya limbah, setelah proses produksi atau kegiatan, melalui
proses fisika, kimia atau hayati. Dalam pelaksanaan pengelolaan limbah, upaya
pertama yang harus dilakukan adalah upaya preventif yaitu mengurangi volume
bahaya limbah yang dikeluarkan ke lingkungan yang meliputi upaya mengurangi
limbah pada sumbernya, serta upaya pemanfaatan limbah.

Reduksi limbah pada sumbernya merupakan upaya yang harus dilaksanakan


pertama kali karena upaya ini bersifat preventif yaitu mencegah atau mengurangi
terjadinya limbah yang keluar dan proses produksi. Reduksi limbah pada sumbernya
adalah upaya mengurangi volume, konsentrasi, toksisitas dan tingkat bahaya limbah
yang akan keluar ke lingkungan secara preventif langsung pada sumber pencemar,
hal ini banyak memberikan keuntungan yakni meningkatkan efisiensi kegiatan serta
mengurangi biaya pengolahan limbah dan pelaksanaannya relatif murah. Berbagai
cara yang digunakan untuk reduksi limbah pada sumbernya adalah:
1.
Penanganan yang baik, usaha ini dilakukan oleh rumah sakit dalam menjaga
kebersihan lingkungan dengan mencegah terjadinya ceceran, tumpahan atau kebocoran
bahan serta menangani limbah yang terjadi dengan sebaik mungkin.
2.
Segregasi aliran limbah, yakni memisahkan berbagai jenis aliran limbah
menurut jenis komponen, konsentrasi atau keadaanya, sehingga dapat mempermudah,
mengurangi volume, atau mengurangi biaya pengolahan limbah.
3.
Pelaksanaan preventive maintenance, yakni pemeliharaan/penggantian alat
atau bagian alat menurut waktu yang telah dijadwalkan.

4.
Pengelolaan bahan (material inventory), adalah suatu upaya agar persediaan
bahan selalu cukup untuk menjamin kelancaran proses kegiatan, tetapi tidak berlebihan
sehiugga tidak menimbulkan gangguan lingkungan, sedangkan penyimpanan agar tetap
rapi dan terkontrol.
5.
Pengaturan kondisi proses dan operasi yang baik: sesuai dengan petunjuk
pengoperasian/penggunaan alat dapat meningkatkan efisiensi.
6.
Penggunaan teknologi bersih yakni pemilikan teknologi proses kegiatan yang
kurang potensi untuk mengeluarkan limbah B3 dengan efisiensi yang cukup tinggi,
sebaiknya dilakukan pada saat pengembangan rumah sakit baru atau penggantian
sebagian unitnya (Adisasmito, 2007).

Kebijakan kodifikasi penggunaan warna untuk memilah-milah limbah di seluruh


rumah sakit harus memiliki warna yang sesuai, sehingga limbah dapat dipisahpisahkan di tempat sumbernya, perlu memperhatikan hal-hal berikut:
1.
Bangsal harus memiliki dua macam tempat limbah dengan dua warna, satu
untuk limbah klinik dan yang lain untuk bukan klinik.
2.
Semua limbah dari kamar operasi dianggap sebagai limbah klinik. Limbah
dari kantor, biasanya berupa alat-alat tulis, dianggap sebagai limbah klinik.
3.
Semua limbah yang keluar dari unit patologi harus dianggap sebagai limbah
klinik dan perlu dinyatakan aman sebelum dibuang.

Beberapa hal perlu dipertimbangkan dalam merumuskan kebijakan kodifikasi


dengan warna yang menyangkut hal-hal berikut:

1. Pemisahan limbah

Limbah harus dipisahkan dari sumbernya

Semua limbah beresiko tinggi hendaknya diberi label jelas


Perlu digunakan kantung plastik dengan warna-warna yang berbeda, yang
menunjukkan ke mana plastik harus diangkut untuk insinerasi atau dibuang.

2. Penyimpanan limbah

Kantung-kantung dengan warna harus dibuang jika telah berisi 2/3 bagian.
Kemudian diikat bagian atasnya dan diberi label yang jelas

Kantung harus diangkut dengan memegang lehernya, sehingga kalau dibawa


mengayun menjauhi badan, dan diletakkan di tempat-tempat tertentu untuk
dikumpulkan

Petugas pengumpul limbah harus memastikan kantung-kantung dengan


warna yang sama telah dijadikan satu dan dikirim ke tempat yang sesuai

Kantung harus disimpan di kotak-kotak yang kedap terhadap kutu dan hewan
perusak sebelum diangkut ke tempat pembuangannya

3. Penanganan limbah
Kantung-kantung dengan kode warna hanya boleh diangkut bila telah ditutup
Kantung dipegang pada lehernya

Petugas harus mengenakan pakaian pelindung, misalnya dengan memakai


sarung tangan yang kuat dan pakaian terusan (overal), pada waktu mengangkut
kantong tersebut

Jika terjadi kontaminasi diluar kantung diperlukan kantung baru yang bersih
untuk membungkus kantung baru yang kotor tersebut seisinya (double bagging)

Petugas diharuskan melapor jika menemukan benda-benda tajam yang dapat


mencederainya di dalma kantung yang salah

Tidak ada seorang pun yang boleh memasukkan tangannya kedalam kantung
limbah

Pengangkutan limbah Padat

Kantung limbah dikumpulkan dan sekaligus dipisahkan menurut kode warnanya.


Limbah bagian bukan klinik misalnya dibawa ke kompaktor, limbah bagian klinik
dibawa ke insinerator. Pengankutan dengan kendaran khusus (mungkin ada
kerjasama dengan Dinas Pekerjaan Umum) kendaraan yang digunakan untuk
mengankut limbah tersebut sebaiknya dikosongkan dan dibersihkan tiap hari, kalau
perlu (misalnya bila ada kebocoran kantung limbah) dibersihkan dengan
menggunakan larutan klorin.

1.

Kereta atau troli yang digunakan untuk transportasi sampah medis harus didesain
sedemikian sehingga:
Permukaan harus licin, rata dan tidak mudah tembus

2.

Tidak menjadi sarang serangga

3.

Mudah dibersihkan dan dikeringkan

4.

Sampah tidak menempel pada alat angkut

5.

Sampah mudah diisikan, diikat dan dituang kembali

Dalam beberapa hal dimana tidak tersedia sarana setempat, sampah medis harus
diangkut ketempat lain:

Harus disediakan bak terpisah dari sampah biasa dalam alat truk pengangkut,
dan harus dilakukan upaya untuk mencegah kontaminasi sampah lain yang dibawa.

Harus dapat dijamin bahwa sampah dalam keadaan aman dan tidak terjadi
kebocoran atau tumpah.

Pengangkutan dibedakan menjadi dua yaitu pengangkutan internal dan eksternal.


Pengangkutan internal berawal dari titik penampungan awal ke tempat pembuangan
atau ke insinerator (pengolahan on-site). Dalam pengangkutan internal biasanya
digunakan kereta dorong , dan dibersihkan secara berkala serta petugas pelaksana
dilengkapi dengan alat proteksi dan pakaian kerja khusus. Pengangkutan eksternal
yaitu pengangkutan sampah medis ketempat pembuangan di luar (off-site).
Pengangkutan eksternal memerlukan prosedur pelaksanaan yang tepat dan harus
dipatuhi petugas yang terlibat. Prosedur tersebut termasuk memenuhi peraturan
angkutan lokal. Sampah medis diangkut dalam kontainer khusus, harus kuat dan
tidak bocor (Hapsari, 2010).

1.

Sampah medis hendaknya diangkut sesering mungkin sesuai dengan kebutuhan.


Sementara menunggu pengangkutan untuk dibawa ke insinerator, atau
pengangkutan oleh Dinas Kesehatan hendaknya :
Disimpan dalam kontainer yang memenuhi syarat.

2.
Ditempatkan dilokasi yang strategis, merata dengan ukuran disesuaikan
dengan frekuensi pengumpulannya dengan kantong berkode warna yang telah
ditentukan secara terpisah.
3.
Diletakkan pada tempat kering/mudah dikeringkan, lantai tidak rembes, dan
disediakan sarana pencuci.
4.
Aman dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab, dari binatang dan
bebas dari infestasi serangga dan tikus.

5.

Terjangkau oleh kendaraan pengumpulan sampah (Depkes RI, 2002).

Petugas penanganan limbah harus menggunakan alat pelindung diri (APD) yang
terdiri dari topi/helm, masker, pelindung mata, pakaian panjang, apron, pelindung
kaki/ sepatu boot, dan sarung tangan khusus (Depkes RI, 2004).

Pembuangan dan Pemusnahan Limbah

Setelah dimanfatkan dengan kompaktor, limbah bukan klinik dapat dibuang ditempat
penimbunan sampah (land-fill site), limbah klinik harus dibakar (insinerasi), jika tidak
mungkin harus ditimbun dengan kapur dan ditanam limbah dapur sebaiknya
dibuang pada hari yang sama sehingga tidak sampai membusuk. Rumah sakit yang
besar mungkin mampu membeli insinerator sendiri, insinerator berukuran kecil atau
menengah dapat membakar pada suhu 1300 - 1500C atau lebih tinggi dan
mungkin dapat mendaur ulang sampai 60% panas yang dihasilkan untuk kebutuhan
energi rumah sakit. Suatu rumah sakit dapat pula memperoleh penghasilan
tambahan dengan melayani insinerasi limbah rumah sakit yang berasal dari rumah
sakit lain. Insinerator modern yang baik tentu saja memiliki beberapa keuntungan
antara lain kemampuannya menampung limbah klinik maupun bukan klinik,
termasuk benda tajam dan produk farmasi yang tidak terpakai (Arifin, 2007).

1.

Jika fasilitas insinerasi tidak tersedia, limbah klinik dapat ditimbun dengan kapur dan
ditanam. Langkah-langkah pengapuran (liming) tersebut meliputi yang berikut:
Menggali lubang, dengan kedalaman sekitar 2,5 meter.

2.
Tebarkan limbah klinik didasar lubang sampai setinggi 75 cm.. Tambahkan
lapisan kapur. Lapisan limbah yang ditimbun lapisan kapur masih bisa ditambahkan
sampai ketinggian 0,5 meter dibawah permukaan tanah.
3.

Akhirnya lubang tersebut harus ditututup dengan tanah..

Keseragaman standar kantong dan kontainer limbah mempunyai keuntungan


sebagai berikut:

Mengurangi biaya dan waktu pelatihan staf yang dimutasikan antar


instansi/unit.

Meningkatkan keamanan secara umum, baik pada pekerjaan di lingkungan


rumah sakit maupun pada penanganan limbah diluar rumah sakit.
Pengurangan biaya produksi kantong dan container (Hapsari, 2010).

Pelaksanaan pengelolaan limbah medis untuk masing-masing golongan adalah


sebagai berikut :

a. Golongan A

1) Dressing bedah yang kotor, swab, dan limbah lain yang terkontaminasi deri ruang
pengobatan hendaknya di tampung pada bak penampungan limbah medis/medis
yang mudah dijangkau atau bak sampah yang dilengkapi dengan pelapis pada
tempat produksi sampah. Kantong pelapis tersebut hendaknya diambil paling sedikit
satu hari sekali atau bila tiga perempat penuh. Kemudian diikat dengan kuat
sebelum diangkut dan ditampung sementara di bak sampah medis. Bak ini juga
hendaknya jadwal pengumpulan sampah. Isi kantong jangan sampai longgar pada
saat pengangkutan dari bak ke bak, sampah hendaknya dibuang sebagai berikut:

(a) Sampah dari unit haemodialisis: sampah hendakmya dimusnahkan


dengan insinerator. Bisa juga dengan autoclaving tetapi kantong harus dibuka dan
dibuat sedemikian sehingga uap panas bisa menembus secara efektif.

(b) Limbah dari unit lain: limbah hendaknya dimusnahkan dengan


insinerator. Bila tidak memungkinkan bisa dengan menggunakan cara lain, misalnya
dengan membuat sumuran dalam yang aman.

2) Prosedur yang digunakan untuk penyakit infeksi harus disetujui oleh pimpinan
yang bertanggung jawab. Kepala Instalasi Sanitasi dan Dinas Kesehatan c/q. Sub
Dinas PKL setempat.

3) Semua jaringan tubuh, plasenta dan lain-lain hendaknya ditampung pada bak
limbah medis atau kantong lain yang tepat dan kemudian dimusnahkan dengan
insinerator. Kecuali bila terpaksa, jaringan tubuh tidak boleh dicampur dengan
sampah lain pada saat pengumpulan.

4) Perkakas laboratorium yang terinfeksi hendaknya dimusnahkan dengan


insinerator. Insinerator harus dioperasikan dibawah pengawasan bagian sanitasi
atau bagian laboratorium.
b. Golongan B

Syringe, jarum dan cartridges hendaknya dibuang dengan keadaan tertutup.


Sampah jenis ini hendaknya ditampung dalam bak tahan benda tajam yang bila
telah penuh diikat dan ditampung dalam bak sampah medis sebelum diangkut dan
dimusnahkan dengan insinerator.
c. Golongan C

Pembuangan sampah medis yang berasal dari Laboratorium patologi kimia,


haemotologi, dan transfusi darah, mikrobiologi, histologi dan post-mortum serta unit
sejenis (misalnya tempat binatang percobaan disimpan), dibuat dalam kode
pencegahan infeksi dalam laboratorium medis dan ruang post-mortum dan publikasi
lain.

d. Golongan D

Barang dari produk medis yang baru sebagian digunakan hendaknya dikembalikan
kepada petugas yang bertanggung jawab dibagian farmasi.

e. Golongan E

Kecuali yang berasal dari ruang dengan risiko tinggi, isi dari sampah dari golongan
ini bisa dibuang melalui saluran air, WC atau unit pembuangan untuk itu. Sampah

yang tidak dapat dibuang melalui saluran air hendaknya disimpan dalam bak
sampah medis dan dimusnahkan dengan incinerator (Adisasmito, 2007).

Kebijakan pembuangan sampah lokal hendaknya tercantum berbagai prosedur yang


digunakan bila terjadi tumpahan sampah medis. Peringatan hendaknya disertakan
terutama pada sampah yang dapat membahayakan petugas atau orang-orang yang
berkaitan dengan pengankutan/pembuangan sampah atau pembersihan sampah
atau kepada masyarakat umum. Prosedur tersebut hendaknya dikonsultasikan
dengan unit-unit yang berkaitan seperti unit pemadam kebakaran, kesehatan, polisi,
otorita air dan sampah serta Dinas Kesehatan.

Teknik pengolahan sampah medis (medical waste) yang mungkin diterapkan adalah:

a. Incinerasi.
b. Sterilisasi dengan uap panas/autoclaving (pada kondisi uap jenuh bersuhu 121
C.
c. Sterilisasi dengan gas (gas yang digunakan berupa ethylene oxide atau
formaldehyde).
d. Desinfeksi zat kimia dengan proses grinding (menggunakan cairan kimia
sebagai desinfektan).
e. Inaktivasi suhu tinggi.
f. Radiasi (dengan ultraviolet atau ionisasi radiasi seperti Co60).
g. Microwave treatment.
h. Grinding and shredding (proses homogenisasi bentuk atau ukuran sampah).
i. Pemampatan/pemadatan, dengan tujuan untuk mengurangi volume yang
terbentuk (Depkes RI, 2006).
Teknologi Pengolahan Limbah Cair

Pengolahan limbah dengan memanfaatkan teknologi pengolahan dapat dilakukan


dengan cara fisika, kimia dan biologis atau gabungan ketiga sistem pengolahan
tersebut. Pengolahan limbah cara biologis digolongkan menjadi pengolahan cara
aerob dan pengolahan limbah cara anaerob (Ginting, 2007).

Dalam melakukan fungsinya rumah sakit menimbulkan berbagai buangan dan


sebagian dari limbah tersebut merupakan limbah yang berbahaya. Sumber air
limbah rumah sakit dibagi atas tiga jenis yaitu :

1. Air Limbah Infeksius

Air limbah yang berhubungan dengan tindakan medis seperti pemeriksaan


mikrobiologis dari poliklinik, perawatan penyakit menular, dll.

2. Air Limbah Domestik

Air limbah yang tidak berhubungan dengan tindakan medis yaitu berupa air limbah
kamar mandi, dapur, dll.

3. Air Limbah Kimia

Air limbah yang dihasilkan dari penggunaan bahan kimia dalam tindakan medis,
Laboratorium, sterilisasi, riset, dll (Ginting, 2008)

Menurut Adisasmito (2007) dalam buku Sistem Manajemen Lingkungan Rumah


Sakit, Limbah cair rumah sakit terdiri dari limbah cair infeksius dan non infeksius
berasal dari kegiatan

Pelayanan MCK (Mandi, Cuci, Kakus) pasien berupa limbah cair dalam
kamar mandi dan pencucian peralatan yang digunakan.

Laboratorium klinis, berupa air limbah dari pencucian peralatan laboratorium


dan sejenisnya.

Pengobatan/ perawatan klinis, terutama berasal dari kegiatan pencucian


ginjal dan pencucian peralatan.

Ruang operasi.

Laundry dan pembersihan ruang infeksi.

Emergency (Rawat Darurat).

Radiologi.

Sifat Limbah yang dibuang ke saluran

Menurut Dirjen PPM & PL serta Pelayanan Medik Depkes RI (2002) dalam Buku
Pedoman Sanitasi Rumah Sakit di Indonesia, sifat ukuran, fungsi dan kegiatan
rumah sakit mempengaruhi kondisi air limbah yang dihasilkan. Secara umum air
limbah mengandung buangan pasien, bahan otopsi jaringan hewan yang digunakan
di laboratorium, sisa makanan dari dapur, limbah laundry, limbah laboratorium
berbagai macam bahan kimia baik toksik maupun non toksik, dan lain-lain. Apabila
limbah laboratorium cukup besar (lebih dari 1 pin atau 0,568 liter) disarankan untuk
disediakan kontainer khusus atau dilakukan pengolahan khusus.

Pengolahan air limbah dapat menggunakan teknologi pengolahan secara biologis


atau gabungan antara proses biologis dengan proses kimia-fisika. Proses secara
biologi dapat dilakukan secara aerobik (dengan udara) dan anaerobik (tanpa udara)
atau kombinasi aerobik dan anaerobik. Proses biologis biasanya digunakan untuk
pengolahan air limbah dengan BOD yang tidak terlalu besar.

1. Pengolahan Biologi Aerobik

Pengolahan limbah secara biologis aerobik dapat dibagi menjadi tiga yaitu :

a) Proses biologis dengan biakan tersuspensi (suspended culture)

Proses biologis dengan biakan tersuspensi adalah sistem pengolahan dengan


menggunakan aktifitas mikro-organisme untuk menguraikan senyawa polutan yang

ada dalam air dan mikro-organime yang digunakan dibiakkan secara tersuspesi di
dalam suatu reaktor. Beberapa contoh proses pengolahan dengan sistem ini antara
lain : proses lumpur aktif standar/konvesional (standard activated sludge), step
aeration, contact stabilization, extended aeration, oxidation ditch (kolam oksidasi
sistem parit) dan lainya (Adisasmito, 2007).

b) Proses biologis dengan biakan melekat (attached culture)

Proses biologis dengan biakan melekat yakni proses pengolahan limbah dimana
mikro-organisme yang digunakan dibiakkan pada suatu media sehingga
mikroorganisme tersebut melekat pada permukaan media. Beberapa contoh
teknologi pengolahan air limbah dengan cara ini antara lain : trickling

filter atau biofilter, rotating biological contractor (RBC), contac aeration/oxidation


(aerasi kontak) (Adisasmito, 2007).

c) Proses biologis dengan sistem kolam atau lagoon

Proses pengolahan air limbah secara biologis dengan lagoon atau kolam adalah
dengan menampung air limbah pada suatu kolam yang luas dengan waktu tinggal
yang cukup lama sehingga dengan aktifitas mikro-organisme yang tumbuh secara
alami, senyawa polutan yang ada dalam air akan terurai. Untuk mempercepat
proses penguraian senyawa polutan atau memperpendek waktu tinggal dapat juga
dilakukam proses aerasi. Salah satu contoh proses pengolahan air limbah dengan
cara ini adalah kolam aerasi atau kolam stabilisasi (stabilization pond). Proses
dengan sistem lagoon tersebut kadang-kadang dikategorikan sebagai proses
biologis dengan biakan tersuspensi (Adisasmito, 2007).

2. Pengolahan Biologi Anaerobik

Beberapa teknologi pengolahan limbah cair yang sering digunakan di rumah sakit
yaitu proses lumpur aktif (active sludge proces), reaktor putar biologis (rotating

biological contactor/RBC), proses aerasi kontak, proses pengolahan dengan biofilter


up flow, dan pengolahan dengan sistem biofilter anaerob-aerob. Untuk memilih
jenis teknologi atau proses yang akan digunakan untuk pengolahan air limbah,
beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain : karakteristik air limbah, jumlah
limbah serta standar kualitas air olahan yang diharapkan (Adisasmito, 2007).
Pengolahan sekunder dengan Lumpur Aktif (Actived Sludge)

Teknologi pengolahan limbah dengan Activated Sludge (Lumpur Aktif) ini sangat
cocok untuk rumah sakit dengan kapasitas yang besar. Karena jika diterapkan untuk
rumah sakit dengan kapasitas yang kecil, teknologi ini kurang ekonomis karena
biaya yang diperlukan cukup besar.

Pengolahan dengan sistem Kolam Oksidasi

Sistem kolam oksidasi ini telah dipilih untuk pengolahan air limbah rumah sakit yang
terletak ditengah-tengah kota karena tidak memerlukan lahan yang luas.

Kolam Oksidasinya dibuat bulat atau elip dan air limbah dialirkan secara berputar
agar ada kesempatan lebih lama berkontak dengan oksigen dari udara (aerasi).
Kemudian air limbah dialirkan ke dalam sedimentation tank untuk mengendapkan
benda-benda pada dan lumpur lainnya. Selanjutnya air yang sudah nampak jernih
dialirkan ke bak klorinasi sebelum dibuang ke dalam sungai atau kebadan air
lainnya. Sedangkan lumpur yang mengendap diambil dan dikeringkan pada sludge
drying bed.

Pengolahan Air Limbah Dengan Proses Biofilter "Up Flow"

Proses pengolahan air limbah dengan biofilter "up flow" ini terdiri dari bak
pengendap, ditambah dengan beberapa bak biofilter yang diisi dengan media kerikil
atau batu pecah, plastik atau media lain. Penguraian zat-zat organik yang ada
dalam air limbah dilakukan oleh bakteri anaerobik atau facultatif aerobik Bak

pengendap terdiri atas 2 ruangan, yang pertama berfungsi sebagai bak pengendap
pertama, sludge digestion (pengurai lumpur) dan penampung lumpur sedangkan
ruang kedua berfungsi sebagai pengendap kedua dan penampung lumpur yang
tidak terendapkan di bak pertama, dan air luapan dari bak pengendap dialirkan ke
media filter dengan arah aliran dari bawah ke atas.

Setelah beberapa hari operasi, pada permukaan media filter akan tumbuh lapisan
film mikro-organisme. Mikro-organisme inilah yang akan menguraikan zat organik
yang belum sempat terurai pada bak pengendap. Air luapan dari biofilter kemudian
dibubuhi dengan khlorine atau kaporit untuk membunuh mikroorganisme patogen,
kemudian dibuang langsung ke sungai atau saluran umum.

Proses Pengolahan Dengan Sistem Biofilter Anaerob-Aerob

Proses ini pengolahan dengan biofilter anaerob-aerob ini merupakan


pengembangan dari proses biofilter anaerob dengan proses aerasi kontak
Pengolahan air limbah dengan proses biofilter anaerob-aerob terdiri dari beberapa
bagian yakni bak pengendap awal, biofilter anaerob (anoxic), biofilter aerob, bak
pengendap akhir, dan jika perlu dilengkapi dengan bak kontaktor khlor.

Pengolahan dengan Sistem Aerasi Kontak

Proses pengolahan air limbah dengan aerasi ini merupakan pengembangan dari
proses lumpur aktif dan proses biofilter. Pengolahan air limbah dengan proses
aerasi kontak ini terdiri dari dua bagian yakni pengolahan primer dan pengolahan
sekunder.

a. Pengolahan Primer

Pada pengolahan primer ini, air limbah dialirkan melalui saringan kasar (bar screen)
untuk menyaring sampah yang berukuran besar seperti sampah daun, kertas,
plastik dll. Setelah melalui screen air limbah dialirkan ke bak pengendapan awal,

untuk mengendapkan parikel lumpur, pasir dan kotoran lainnya. Selain sebagai bak
pengendapan, juga berfungsi sebagai bak pengontrol aliran.

b. Pengolahan Sekunder

Proses pengolahan sekunder ini terdiri dari bak kontaktor anaerob (Anoxic) dan bak
kontaktor aerob. Air limpasan dari bak pengendapan awal dipompa dan dialirkan ke
bak penenang, kemudian dari bak penenang air limbah mengalir ke kontaktor
anaerob dengan arah aliran dari bawah ke atas (Up Flow). Di dalam bak kontaktor
anaerob tersebut diisi dengan media dari bahan plastik atau kerikil/batu split. Jumlah
bak kontaktor anaerob ini bisa dibuat lebih dari satu sesuai dengan kualitas dan
jumlah air baku yang akan diolah. Air limpasan dari bak kontaktor anaerob dialirkan
ke bak aerasi. Di dalam bak aerasi ini diisi dengan media dari bahan platik
(Polyethylen), batu apung atau bahan serat, sambil diaerasi atau dihembus dengan
udara sehingga mikroorganisme yang ada akan menguraikan zat organik yang ada
di dalam air limbah serta tumbuh dan menempel pada permukaan media. Dengan
demikian air limbah akan dengan mikro-orgainisme yang tersuspensi dalam air
maupun yang menempel pada permukaan media yang mana hal tersebut dapat
meningkatkan efisiensi penguraian zat organik. Proses ini sering dinamakan Aerasi
Kontak (Contact Aeration).

Pengolahan dengan Sistem Kolam Aerasi atau Kolam Stabilisasi

Sistem pengolahan air limbah kolam stabilisasi adalah memenuhi semua kriteria
tersebut diatas kecuali masalah lahan yang diperlukan, sebab untuk kolam
stabilisasi memerlukan lahan yang cukup luas, maka biasanya sistem ini dianjurkan
untuk rumah sakit di pedalaman (di luar kota) yang biasanya masih tersedia lahan
yang cukup. Sistem ini hanya terdiri dari bagian-bagian yang cukup sederhana yakni
:

a. Pump (Pompa air kotor)


b. Stabilization Pond (Kolam Stabilisasi) biasanya 2 buah
c. Bak klorinasi

d. Control Room (Ruangan untuk Kontrol)


e. Inlet
f. Interconnection antara 2 kolam stabilisasi
g. Outlet dari kolam stabilisasi menuju ke sistem chlorinasi (Bak Chlorinasi)

Anaerobic Filter Treatment System

Proses pengolahan anaerobik yaitu proses pengolahan air yang menggunakan


organisme yang aktif dimana oksigen tidak ada dan proses ini ditunjukkan oleh
proses fermentasi metan. Sebagai hasil fermentasi metan oleh bakteri anaerobik zat
organik yang komplek seperti karbohidrat, lemak dan protein dibusukkan ke dalam
metan (CH4) dan karbon dioksida (CO2).

Proses pengolahan anaerobik biasanya digunakan untuk mengolah air limbah yang
konsentrasinya tinggi atau lumpur, seperti pengolahan pada kotoran manusia atau
air limbah dari proses fermentasi alkohol dari tetes. Pada umumnya air limbah yang
di proses dengan pengolahan anaerobik dilanjutkan dengan pengolahan aerobik.

Sistem Anaerobic Treatment terdiri dari komponen-komponen antara lain sebagai


berikut :

a. Pump Sump (Pompa Air kotor)


b. Septic Tank (Inhoff Tank)
c. Anaerobic Filter
d. Stabilization Tank (Bak Stabilisasi)
e. Chlorination Tank (Bak Chlorinasi)
f. Sludge Drying Bed (Tempat Pengeringan Lumpur)
g. Control Room (Ruang Control)

Sesuai dengan debit air buangan dari rumah sakit yang juga tergantung dari besar
kecilnya rumah sakit atau jumlah tempat tidur, maka konstruksi anaerobic Filter
Treatment System dapat disesuaikan dengan kebutuhan tersebut misalnya :

a. Volume Septic Tank


b. Jumlah Anaerobik Filter
c. Volume Stabilization Tank
d. Jumlah Chlorinasi Tank
e. Jumlah Sludge drying bed
f. Perkiraan luas lahan yang diperlukan.

Persyaratan Limbah Cair Rumah Sakit

Menurut Kepmenkes RI No. 1204/MENKES/SK/X/2004 tentang persyaratan


kesehatan lingkungan rumah sakit, limbah cair rumah sakit harus memenuhi syaratsyarat sebagai berikut :
1.
Limbah cair harus dikumpulkan dalam kontainer yang sesuai dengan
karakteristik bahan kimia dan radiologi, volume, dan prosedur penanganan dan
penyimpangannya.
2.
Saluran pembungan limbah harus menggunakan sistem saluran tertutup,
kedap air dan limbah harus mengalir dengan lancar serta terpisah dengan saluran air
hujan.
3.
Rumah sakit harus memiliki instalasi pengolahan limbah cair sendiri atau
bersama-sama secara kolektif dengan bangunan disekitarnya yang mememnuhi
persyaratan teknis, apabila belum ada atau tidak terjangkau sistem pengolahan air
limbah perkotaan.
4.
Perlu dipasang alat pengukur debit limbah cair untuk mengetahui debit harian
limbah yang dihasilkan
5.
Air limbah dari dapur harus dilengkapi penangkap lemak dan saluran air
limbah harus dilengkapi/ditutup dengan grill.
6.
Air limbah yang berasal dari laboratorium harus diolah di Instalasi
Pengolahan Air Limbah (IPAL), bila tidak mempunyai IPAL harus dikelola sesuai
kebutuhan yang berlaku melalui kerjasama dengan pihak lain atau pihak yang
berwenang.

7.
Frekuensi pemeriksaan kualitas limbah cair terolah (effluent) dilakukan setiap
bulan sekali untuk swapantau dan minimal 3 bulan sekali uji petik sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
8.
Rumah sakit yang menghasilkan limbah cair yang mengandung atau terkena
zat radioaktif, pengelolaanya dilakukan sesuai ketentuan BATAN
9.
Parameter radioaktif diperlukan bagi rumah sakit sesuai dengan bahan
radioaktif yang dipergunakan oleh rumah sakit yang bersangkutan

Anda mungkin juga menyukai