Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
1.
2.
Minimisasi limbah
3.
4.
Pengelolaan kualitas lingkungan menyeluruh (total quality environmental
management/TQEM)
5.
3.
Pemisahan limbah. Untuk memudahkan pengenalan jenis limbah adalah
dengan cara menggunakan kantong berkode (umumnya dengan kode berwarna). Kode
berwarna yaitu kantong warna hitam untuk limbah domestik atau limbah rumah tangga
biasa, kantong kuning untuk semua jenis limbah yang akan dibakar (limbah infeksius),
kuning dengan strip hitam untuk jenis limbah yang sebaiknya dibakar tetapi bisa juga
dibuang ke sanitary landfill bila dilakukan pengumpulan terpisah dan pengaturan
pembuangan, biru muda atau transparan dengan strip biru tua untuk limbah autoclaving
(pengolahan sejenis) sebelum pembuangan akhir.
Hal-hal lain yang perlu diperhatikan dalam pengolahan limbah klinis adalah sebagai
berikut :
1.
Penghasil limbah klinis dan yang sejenis harus menjamin keamanan dalam
memilah-milah jenis sampah, pengemasan, pemberian label, penyimpanan,
pengangkutan, pengolahan, dan pembuangan
2.
Penghasil limbah klinis hendaknya mengembangkan dan secara periodik
meninjau kembali strategi pengolahan limbah secara menyeluruh
3.
Menekan produksi sampah hendaknya menjadi bagian integral dari strategi
pengelolaan
4.
Pemisahan sampah sesuai sifat dan jenisnya adalah langkah awal prosedur
pembuangan yang benar
5.
Limbah radioaktif harus diamanakan dan dibuang sesuai dengan peraturan
yang berlaku oleh instansi berwenang
6.
Incinerator adalah metode pembuangan yang hanya disarankan untuk limbah
tajam, infeksius, dan jaringan tubuh
7.
Incinerator dengan suhu tinggi disarankan untuk memusnahakan limbah
citotoksis (110C)
8.
Incinerator harus digunakan dan dipelihara sesuai dengan spesifikasi desain.
Mutu emisi udara harus dipantau dalam rangka menghindari pencemaran udara.
9.
Sanittary landfill mungkin diperlukan dalam keadaan tertentu bila sarana
incinerator tidak mencukupi
Menurut Wiku Adisasmito (2007), rumah sakit mempunyai berbagai cara dalam
mengolah limbah, namun hal ini membawa konsekuensi besarnya biaya pengadaan
dan operasional yang harus dikeluarkan. Adapun saran pengolahan limbah padat
tersebut adalah melalui pewadahan dan pemilahan pada sumber, pengumpulan,
pemindahan pada trolli bak pengangkut sampah, pengangkutan, pemilahan,
pemotongan, pengolahan, dan pembuangan akhir.
Salah satu langkah pokok pengolahan limbah adalah menentukan jumlah limbah
yang dihasilkan. Jumlah ini memnentukan jumlah dan volume sarana penampung
lokal yang harus disediakan, pemilihan incinerator dan kapasitasnya.
Jumlah produksi sampah domestik diperkirakan 2 Kg per orang per hari. Untuk
mendapatkan angka yang lebih tepat sebaiknya dilakukan survei sampah di rumah
sakit yang bersangkutan. Jumlah sampah dengan 500 tempat tidur adalah 3,25 Kg
per pasien per hari (Depkes RI, 2002).
2. Jumlah disposibel
sampah rumah sakit yang diproduksi. Berat, ukuran, dan sifat kimiawi barangbarang disposibel mungkin perlu dipelajari sehingga dapat diperoleh informasi yang
bermanfaat dalam pengelolaan sampah (Depkes RI, 2002).
Volume juga harus diketahui untuk menentukan ukuran bak dan sarana
pengangkutan. Konversi dari berat ke volume dapat dilakukan dengan membagi
berat total dengan kepadatan (Depkes RI, 2002).
4.
Pengelolaan bahan (material inventory), adalah suatu upaya agar persediaan
bahan selalu cukup untuk menjamin kelancaran proses kegiatan, tetapi tidak berlebihan
sehiugga tidak menimbulkan gangguan lingkungan, sedangkan penyimpanan agar tetap
rapi dan terkontrol.
5.
Pengaturan kondisi proses dan operasi yang baik: sesuai dengan petunjuk
pengoperasian/penggunaan alat dapat meningkatkan efisiensi.
6.
Penggunaan teknologi bersih yakni pemilikan teknologi proses kegiatan yang
kurang potensi untuk mengeluarkan limbah B3 dengan efisiensi yang cukup tinggi,
sebaiknya dilakukan pada saat pengembangan rumah sakit baru atau penggantian
sebagian unitnya (Adisasmito, 2007).
1. Pemisahan limbah
2. Penyimpanan limbah
Kantung-kantung dengan warna harus dibuang jika telah berisi 2/3 bagian.
Kemudian diikat bagian atasnya dan diberi label yang jelas
Kantung harus disimpan di kotak-kotak yang kedap terhadap kutu dan hewan
perusak sebelum diangkut ke tempat pembuangannya
3. Penanganan limbah
Kantung-kantung dengan kode warna hanya boleh diangkut bila telah ditutup
Kantung dipegang pada lehernya
Jika terjadi kontaminasi diluar kantung diperlukan kantung baru yang bersih
untuk membungkus kantung baru yang kotor tersebut seisinya (double bagging)
Tidak ada seorang pun yang boleh memasukkan tangannya kedalam kantung
limbah
1.
Kereta atau troli yang digunakan untuk transportasi sampah medis harus didesain
sedemikian sehingga:
Permukaan harus licin, rata dan tidak mudah tembus
2.
3.
4.
5.
Dalam beberapa hal dimana tidak tersedia sarana setempat, sampah medis harus
diangkut ketempat lain:
Harus disediakan bak terpisah dari sampah biasa dalam alat truk pengangkut,
dan harus dilakukan upaya untuk mencegah kontaminasi sampah lain yang dibawa.
Harus dapat dijamin bahwa sampah dalam keadaan aman dan tidak terjadi
kebocoran atau tumpah.
1.
2.
Ditempatkan dilokasi yang strategis, merata dengan ukuran disesuaikan
dengan frekuensi pengumpulannya dengan kantong berkode warna yang telah
ditentukan secara terpisah.
3.
Diletakkan pada tempat kering/mudah dikeringkan, lantai tidak rembes, dan
disediakan sarana pencuci.
4.
Aman dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab, dari binatang dan
bebas dari infestasi serangga dan tikus.
5.
Petugas penanganan limbah harus menggunakan alat pelindung diri (APD) yang
terdiri dari topi/helm, masker, pelindung mata, pakaian panjang, apron, pelindung
kaki/ sepatu boot, dan sarung tangan khusus (Depkes RI, 2004).
Setelah dimanfatkan dengan kompaktor, limbah bukan klinik dapat dibuang ditempat
penimbunan sampah (land-fill site), limbah klinik harus dibakar (insinerasi), jika tidak
mungkin harus ditimbun dengan kapur dan ditanam limbah dapur sebaiknya
dibuang pada hari yang sama sehingga tidak sampai membusuk. Rumah sakit yang
besar mungkin mampu membeli insinerator sendiri, insinerator berukuran kecil atau
menengah dapat membakar pada suhu 1300 - 1500C atau lebih tinggi dan
mungkin dapat mendaur ulang sampai 60% panas yang dihasilkan untuk kebutuhan
energi rumah sakit. Suatu rumah sakit dapat pula memperoleh penghasilan
tambahan dengan melayani insinerasi limbah rumah sakit yang berasal dari rumah
sakit lain. Insinerator modern yang baik tentu saja memiliki beberapa keuntungan
antara lain kemampuannya menampung limbah klinik maupun bukan klinik,
termasuk benda tajam dan produk farmasi yang tidak terpakai (Arifin, 2007).
1.
Jika fasilitas insinerasi tidak tersedia, limbah klinik dapat ditimbun dengan kapur dan
ditanam. Langkah-langkah pengapuran (liming) tersebut meliputi yang berikut:
Menggali lubang, dengan kedalaman sekitar 2,5 meter.
2.
Tebarkan limbah klinik didasar lubang sampai setinggi 75 cm.. Tambahkan
lapisan kapur. Lapisan limbah yang ditimbun lapisan kapur masih bisa ditambahkan
sampai ketinggian 0,5 meter dibawah permukaan tanah.
3.
a. Golongan A
1) Dressing bedah yang kotor, swab, dan limbah lain yang terkontaminasi deri ruang
pengobatan hendaknya di tampung pada bak penampungan limbah medis/medis
yang mudah dijangkau atau bak sampah yang dilengkapi dengan pelapis pada
tempat produksi sampah. Kantong pelapis tersebut hendaknya diambil paling sedikit
satu hari sekali atau bila tiga perempat penuh. Kemudian diikat dengan kuat
sebelum diangkut dan ditampung sementara di bak sampah medis. Bak ini juga
hendaknya jadwal pengumpulan sampah. Isi kantong jangan sampai longgar pada
saat pengangkutan dari bak ke bak, sampah hendaknya dibuang sebagai berikut:
2) Prosedur yang digunakan untuk penyakit infeksi harus disetujui oleh pimpinan
yang bertanggung jawab. Kepala Instalasi Sanitasi dan Dinas Kesehatan c/q. Sub
Dinas PKL setempat.
3) Semua jaringan tubuh, plasenta dan lain-lain hendaknya ditampung pada bak
limbah medis atau kantong lain yang tepat dan kemudian dimusnahkan dengan
insinerator. Kecuali bila terpaksa, jaringan tubuh tidak boleh dicampur dengan
sampah lain pada saat pengumpulan.
d. Golongan D
Barang dari produk medis yang baru sebagian digunakan hendaknya dikembalikan
kepada petugas yang bertanggung jawab dibagian farmasi.
e. Golongan E
Kecuali yang berasal dari ruang dengan risiko tinggi, isi dari sampah dari golongan
ini bisa dibuang melalui saluran air, WC atau unit pembuangan untuk itu. Sampah
yang tidak dapat dibuang melalui saluran air hendaknya disimpan dalam bak
sampah medis dan dimusnahkan dengan incinerator (Adisasmito, 2007).
Teknik pengolahan sampah medis (medical waste) yang mungkin diterapkan adalah:
a. Incinerasi.
b. Sterilisasi dengan uap panas/autoclaving (pada kondisi uap jenuh bersuhu 121
C.
c. Sterilisasi dengan gas (gas yang digunakan berupa ethylene oxide atau
formaldehyde).
d. Desinfeksi zat kimia dengan proses grinding (menggunakan cairan kimia
sebagai desinfektan).
e. Inaktivasi suhu tinggi.
f. Radiasi (dengan ultraviolet atau ionisasi radiasi seperti Co60).
g. Microwave treatment.
h. Grinding and shredding (proses homogenisasi bentuk atau ukuran sampah).
i. Pemampatan/pemadatan, dengan tujuan untuk mengurangi volume yang
terbentuk (Depkes RI, 2006).
Teknologi Pengolahan Limbah Cair
Air limbah yang tidak berhubungan dengan tindakan medis yaitu berupa air limbah
kamar mandi, dapur, dll.
Air limbah yang dihasilkan dari penggunaan bahan kimia dalam tindakan medis,
Laboratorium, sterilisasi, riset, dll (Ginting, 2008)
Pelayanan MCK (Mandi, Cuci, Kakus) pasien berupa limbah cair dalam
kamar mandi dan pencucian peralatan yang digunakan.
Ruang operasi.
Radiologi.
Menurut Dirjen PPM & PL serta Pelayanan Medik Depkes RI (2002) dalam Buku
Pedoman Sanitasi Rumah Sakit di Indonesia, sifat ukuran, fungsi dan kegiatan
rumah sakit mempengaruhi kondisi air limbah yang dihasilkan. Secara umum air
limbah mengandung buangan pasien, bahan otopsi jaringan hewan yang digunakan
di laboratorium, sisa makanan dari dapur, limbah laundry, limbah laboratorium
berbagai macam bahan kimia baik toksik maupun non toksik, dan lain-lain. Apabila
limbah laboratorium cukup besar (lebih dari 1 pin atau 0,568 liter) disarankan untuk
disediakan kontainer khusus atau dilakukan pengolahan khusus.
Pengolahan limbah secara biologis aerobik dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
ada dalam air dan mikro-organime yang digunakan dibiakkan secara tersuspesi di
dalam suatu reaktor. Beberapa contoh proses pengolahan dengan sistem ini antara
lain : proses lumpur aktif standar/konvesional (standard activated sludge), step
aeration, contact stabilization, extended aeration, oxidation ditch (kolam oksidasi
sistem parit) dan lainya (Adisasmito, 2007).
Proses biologis dengan biakan melekat yakni proses pengolahan limbah dimana
mikro-organisme yang digunakan dibiakkan pada suatu media sehingga
mikroorganisme tersebut melekat pada permukaan media. Beberapa contoh
teknologi pengolahan air limbah dengan cara ini antara lain : trickling
Proses pengolahan air limbah secara biologis dengan lagoon atau kolam adalah
dengan menampung air limbah pada suatu kolam yang luas dengan waktu tinggal
yang cukup lama sehingga dengan aktifitas mikro-organisme yang tumbuh secara
alami, senyawa polutan yang ada dalam air akan terurai. Untuk mempercepat
proses penguraian senyawa polutan atau memperpendek waktu tinggal dapat juga
dilakukam proses aerasi. Salah satu contoh proses pengolahan air limbah dengan
cara ini adalah kolam aerasi atau kolam stabilisasi (stabilization pond). Proses
dengan sistem lagoon tersebut kadang-kadang dikategorikan sebagai proses
biologis dengan biakan tersuspensi (Adisasmito, 2007).
Beberapa teknologi pengolahan limbah cair yang sering digunakan di rumah sakit
yaitu proses lumpur aktif (active sludge proces), reaktor putar biologis (rotating
Teknologi pengolahan limbah dengan Activated Sludge (Lumpur Aktif) ini sangat
cocok untuk rumah sakit dengan kapasitas yang besar. Karena jika diterapkan untuk
rumah sakit dengan kapasitas yang kecil, teknologi ini kurang ekonomis karena
biaya yang diperlukan cukup besar.
Sistem kolam oksidasi ini telah dipilih untuk pengolahan air limbah rumah sakit yang
terletak ditengah-tengah kota karena tidak memerlukan lahan yang luas.
Kolam Oksidasinya dibuat bulat atau elip dan air limbah dialirkan secara berputar
agar ada kesempatan lebih lama berkontak dengan oksigen dari udara (aerasi).
Kemudian air limbah dialirkan ke dalam sedimentation tank untuk mengendapkan
benda-benda pada dan lumpur lainnya. Selanjutnya air yang sudah nampak jernih
dialirkan ke bak klorinasi sebelum dibuang ke dalam sungai atau kebadan air
lainnya. Sedangkan lumpur yang mengendap diambil dan dikeringkan pada sludge
drying bed.
Proses pengolahan air limbah dengan biofilter "up flow" ini terdiri dari bak
pengendap, ditambah dengan beberapa bak biofilter yang diisi dengan media kerikil
atau batu pecah, plastik atau media lain. Penguraian zat-zat organik yang ada
dalam air limbah dilakukan oleh bakteri anaerobik atau facultatif aerobik Bak
pengendap terdiri atas 2 ruangan, yang pertama berfungsi sebagai bak pengendap
pertama, sludge digestion (pengurai lumpur) dan penampung lumpur sedangkan
ruang kedua berfungsi sebagai pengendap kedua dan penampung lumpur yang
tidak terendapkan di bak pertama, dan air luapan dari bak pengendap dialirkan ke
media filter dengan arah aliran dari bawah ke atas.
Setelah beberapa hari operasi, pada permukaan media filter akan tumbuh lapisan
film mikro-organisme. Mikro-organisme inilah yang akan menguraikan zat organik
yang belum sempat terurai pada bak pengendap. Air luapan dari biofilter kemudian
dibubuhi dengan khlorine atau kaporit untuk membunuh mikroorganisme patogen,
kemudian dibuang langsung ke sungai atau saluran umum.
Proses pengolahan air limbah dengan aerasi ini merupakan pengembangan dari
proses lumpur aktif dan proses biofilter. Pengolahan air limbah dengan proses
aerasi kontak ini terdiri dari dua bagian yakni pengolahan primer dan pengolahan
sekunder.
a. Pengolahan Primer
Pada pengolahan primer ini, air limbah dialirkan melalui saringan kasar (bar screen)
untuk menyaring sampah yang berukuran besar seperti sampah daun, kertas,
plastik dll. Setelah melalui screen air limbah dialirkan ke bak pengendapan awal,
untuk mengendapkan parikel lumpur, pasir dan kotoran lainnya. Selain sebagai bak
pengendapan, juga berfungsi sebagai bak pengontrol aliran.
b. Pengolahan Sekunder
Proses pengolahan sekunder ini terdiri dari bak kontaktor anaerob (Anoxic) dan bak
kontaktor aerob. Air limpasan dari bak pengendapan awal dipompa dan dialirkan ke
bak penenang, kemudian dari bak penenang air limbah mengalir ke kontaktor
anaerob dengan arah aliran dari bawah ke atas (Up Flow). Di dalam bak kontaktor
anaerob tersebut diisi dengan media dari bahan plastik atau kerikil/batu split. Jumlah
bak kontaktor anaerob ini bisa dibuat lebih dari satu sesuai dengan kualitas dan
jumlah air baku yang akan diolah. Air limpasan dari bak kontaktor anaerob dialirkan
ke bak aerasi. Di dalam bak aerasi ini diisi dengan media dari bahan platik
(Polyethylen), batu apung atau bahan serat, sambil diaerasi atau dihembus dengan
udara sehingga mikroorganisme yang ada akan menguraikan zat organik yang ada
di dalam air limbah serta tumbuh dan menempel pada permukaan media. Dengan
demikian air limbah akan dengan mikro-orgainisme yang tersuspensi dalam air
maupun yang menempel pada permukaan media yang mana hal tersebut dapat
meningkatkan efisiensi penguraian zat organik. Proses ini sering dinamakan Aerasi
Kontak (Contact Aeration).
Sistem pengolahan air limbah kolam stabilisasi adalah memenuhi semua kriteria
tersebut diatas kecuali masalah lahan yang diperlukan, sebab untuk kolam
stabilisasi memerlukan lahan yang cukup luas, maka biasanya sistem ini dianjurkan
untuk rumah sakit di pedalaman (di luar kota) yang biasanya masih tersedia lahan
yang cukup. Sistem ini hanya terdiri dari bagian-bagian yang cukup sederhana yakni
:
Proses pengolahan anaerobik biasanya digunakan untuk mengolah air limbah yang
konsentrasinya tinggi atau lumpur, seperti pengolahan pada kotoran manusia atau
air limbah dari proses fermentasi alkohol dari tetes. Pada umumnya air limbah yang
di proses dengan pengolahan anaerobik dilanjutkan dengan pengolahan aerobik.
Sesuai dengan debit air buangan dari rumah sakit yang juga tergantung dari besar
kecilnya rumah sakit atau jumlah tempat tidur, maka konstruksi anaerobic Filter
Treatment System dapat disesuaikan dengan kebutuhan tersebut misalnya :
7.
Frekuensi pemeriksaan kualitas limbah cair terolah (effluent) dilakukan setiap
bulan sekali untuk swapantau dan minimal 3 bulan sekali uji petik sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
8.
Rumah sakit yang menghasilkan limbah cair yang mengandung atau terkena
zat radioaktif, pengelolaanya dilakukan sesuai ketentuan BATAN
9.
Parameter radioaktif diperlukan bagi rumah sakit sesuai dengan bahan
radioaktif yang dipergunakan oleh rumah sakit yang bersangkutan