Anda di halaman 1dari 3

Sejarah Stasiun Kereta Api Ambarawa

Ambarawa awalnya merupakan sebuah kota militer pada masa


Pemerintahan Kolonial Belanda. Raja Willem I memerintahkan untuk
membangun stasiun kereta api baru yang memungkinkan pemerintah
untuk mengangkut tentaranya ke Semarang. Pada 21 Mei 1873, stasiun
kereta api Ambarawa dibangun di atas tanah seluas 127.500 m. Pada
awalnya dikenal sebagai Stasiun Willem I.
Stasiun ini awalnya menjadi titik pertemuan antara lebar sepur 1.435 mm
ke arah Kedungjati dengan 1.067 mm ke arah Yogyakarta melalui
Magelang. Hal ini masih bisa terlihat bahwa kedua sisinya dibangun
stasiun kereta api untuk mengakomodasi ukuran lebar sepur yang
berbeda.
Sejarah Museum
Museum kereta api Ambarawa kemudian didirikan pada tanggal 6 Oktober
1976 di Stasiun Ambarawa untuk melestarikan lokomotif uap yang
kemudian berada pada masa pemanfaatan kembali ketika jalur rel 1.435
mm milik Perusahaan Negara Kereta Api ditutup. Ini merupakan museum
terbuka yang terdapat pada kompleks stasiun.
Rel 1.067 mm menuju Yogyakarta (disebut lintas 'selatan' meskipun
sebenarnya membentang melewati selatan ke barat melalui Ambarawa)
adalah sesuatu yang menarik karena rel bergigi
antara Jambu dan Secang adalah satu-satunya yang masih beroperasi
di Pulau Jawa. Jalur di luar Bedono ini ditutup pada awal tahun 1970
setelah rusak akibat gempa, serta kalah bersaing dengan moda
transportasi lainnya. Jalur dari Kedungjati (disebut lintas 'utara' karena
tujuan akhirnya adalah Semarang, meskipun sebenarnya berjalan dari
timur yang bermula dari Ambarawa) hanya mampu bertahan sampai
pertengahan 1970-an, karena lalu lintas KA yang sangat sedikit, juga
karena lebih cepat untuk bepergian dengan kendaraan bermotor
menuju Semarang. Kehadiran jalur gigi berarti bahwa ada kemungkinan
lalu lintas KA dari Semarang ke Yogyakarta tidak begitu padat. Saat ini
jalur kereta api ke Kedungjati hinggaSemarang dan stasiun-stasiunnya

sedang dibangun kembali. Diharapkan proyek ini bisa selesai pada


tahun 2015 dan museum ini bisa melayani kereta api penumpang menuju
ke Semarang maupun Jakarta setelah 40 tahun mati suri.
Museum KA ini mengoleksi 21 lokomotif uap. Saat ini terdapat 3 lokomotif
yang dapat dioperasikan. Koleksi yang lain dari museum adalah telepon
antik, peralatan telegraf Morse, bel antik, dan beberapa perabotan antik.
Jalur Kereta Wisata
Museum ini melayani kereta wisata Ambarawa-Bedono pp, AmbarawaTuntang pp dan lori wisata Ambarawa-Tuntang pp. Kereta wisata
Ambarawa-Bedono pp atau lebih dikenal sebagai Ambarawa Railway
Mountain Tour ini beroperasi dari museum ini menuju Stasiun Bedono yang
jaraknya 35 km dan ditempuh 1 jam untuk sampai stasiun itu. Kereta ini
melewati rel bergerigi yang hanya ada di sini dan di Sawahlunto.
Panorama keindahan alam seperti lembah yang hijau antara Gunung
Ungaran dan Gunung Merbabu dapat disaksikan sepanjang perjalanan.
Pemandangan yang dapat dinikmati dari kereta dan lori AmbarawaTuntang pun tak kalah bagusnya. Kereta ini berangkat dari stasiun
menuju Stasiun Tuntang yang berada sekitar 7 km dari museum. Di
sepanjang jalan dapat dilihat lanskap menawan berupa sawah dan ladang
dengan latar belakang Gunung Ungaran, Gunung Merbabu, dan Rawa
Pening di kejauhan. Kereta ini sebenarnya sudah ada sejak dulu, tetapi
ditutup pada 1980-an karena prasarana yang rusak.
Rawa Pening ("pening" berasal dari "bening") adalah danau sekaligus
tempat wisata air di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Dengan luas
2.670 hektare ia menempati wilayah
Kecamatan Ambarawa, Bawen, Tuntang, dan Banyubiru. Rawa Pening
terletak di cekungan terendah lereng Gunung Merbabu, Gunung Telomoyo,
dan Gunung Ungaran.
Danau ini mengalami pendangkalan yang pesat. Pernah menjadi tempat
mencari ikan, kini hampir seluruh permukaan rawa ini tertutup eceng
gondok. Gulma ini juga sudah menutupi Sungai Tuntang, terutama di
bagian hulu. Usaha mengatasi spesies invasifini dilakukan dengan
melakukan pembersihan serta pelatihan pemanfaatan eceng gondok
dalam kerajinan, namun tekanan populasi tumbuhan ini sangat tinggi.
Menurut legenda, Rawa Pening terbentuk dari muntahan air yang mengalir
dari bekas cabutan lidi yang dilakukan oleh Baru Klinthing. Cerita Baru
Klinthing yang berubah menjadi anak kecil yang penuh luka dan berbau
amis sehingga tidak diterima masyarakat dan akhirnya ditolong janda tua
ini sudah berlalu.
Rawa ini digemari sebagai objek wisata pemancingan dan sarana olahraga
air. Namun akhir-akhir ini, perahu nelayan bergerak pun sulit.

Anda mungkin juga menyukai