Anda di halaman 1dari 17

Laporan Pandahuluan

1. Anatomi Meningen (lapisan otak)

Menurut Willson (2006), selaput otak terdiri atas tiga lapisan yaitu:

1) Durameter
Merupakan selaput keras atas jaringan ikat fibrosa melekat dengan
tabula interna atau bagian dalam kranium namun tidak melekat pada
selaput arachnoid dibawahnya, sehingga terdapat ruangan potensial
disebut ruang subdural yang terletak antara durameter dan arachnoid.
Pada cedera kepala pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak
menuju sinus sagitalis superior digaris tengah disebut Bridging Veins,
dapat mengalami robekan serta menyebabkan perdarahan subdural.
Durameter membelah membentuk 2 sinus yang mengalirkan darah vena ke
otak, yaitu : sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus
transverses dan sinus sigmoideus. Perdarahan akibat sinus cedera 1/3
anterior diligasi aman, tetapi 2/3 posterior berbahaya karena dapat
menyebabkan infark vena dan kenaikan tekanan intracranial.
Arteri2 meningea terletak pada ruang epidural, dimana yang sering
mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa
temporalis dapat menimbulkan perdarahan epidural.
2) Arachnoidea

Arachnoidea yaitu selaput tipis yang membentuk sebuah balon yang


berisi cairan otak meliputi seluruh susunan saraf sentral, otak, dan medulla
spinalis. Arachnoidea berada dalam balon yang berisi cairan. Ruang sub
arachnoid pada bagian bawah serebelum merupakan ruangan yang agak
besar disebut sistermagna. Ruangan tersebut dapat dimasukkan jarum
kedalam melalui foramen magnum untuk mengambil cairan otak, atau
disebut fungsi sub oksipitalis.
3) Piameter
Merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan
otak. Piameter berhubungan dengan arachnoid melalui struktur jaringan
ikat. Tepi flak serebri membentuk sinus longitudinal inferior dan sinus
sagitalis inferior yang mengeluarkan darah dari flak serebri tentorium
memisahkan serebrum dengan serebelum (Willson, 2006).

2. Epidural hematom
A. Definisi Epidural Hematom
Epidural hematom adalah adanya pengumpulan darah diantara tulang
tengkorak dan duramater akibat pecahnya pembuluh darah/cabang-cabang
arteri meningeal media yang terdapat di duramater, pembuluh darah ini tidak
dapat menutup sendiri karena itu sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam
beberapa jam sampai 1 2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu dilobus
temporalis dan parietalis.
Epidural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intracranial yang
paling sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak. Otak di tutupi olek
tulang tengkorak yang kaku dan keras. Otak juga di kelilingi oleh sesuatu
yang berguna sebagai pembungkus yang di sebut dura. Fungsinya untuk
melindungi otak, menutupi sinus-sinus vena, dan membentuk periosteum
tabula interna.. Ketika seorang mendapat benturan yang hebat di kepala
kemungkinan akan terbentuk suatu lubang, pergerakan dari otak mungkin
akan menyebabkan pengikisan atau robekan dari pembuluh darah yang
mengelilingi otak dan dura, ketika pembuluh darah mengalami robekan maka

darah akan terakumulasi dalam ruang antara dura dan tulang tengkorak,
keadaan inlah yang di kenal dengan sebutan epidural hematom.
B. Etiologi
EDH sebagai akibat perdarahan pada lapisan otak yang terdapat pada
permukaan bagian dalam dari tengkorak.
Hematoma Epidural dapat terjadi pada siapa saja dan umur berapa saja,
beberapa keadaan yang bisa menyebabkan epidural hematom adalah misalnya
benturan pada kepala pada kecelakaan motor. Hematoma epidural terjadi
akibat trauma kepala, yang biasanya berhubungan dengan fraktur tulang
tengkorak dan laserasi pembuluh darah.
C. Patofisiologi
Pada hematom epidural, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak
dan dura meter. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila
salah satu cabang arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi
bila fraktur tulang tengkorak di daerah bersangkutan. Hematom dapat pula
terjadi di daerah frontal atau oksipital
Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui
foramen spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan dan os
temporale. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural, desakan
oleh hematoma akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala
sehingga hematom bertambah besar.
Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan
pada lobus temporalis otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini
menyebabkan bagian medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran
tentorium. Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik yang
dapat dikenal oleh tim medis.
Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria yang mengurus
formation retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran.
Di tempat ini terdapat nuclei saraf cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan
pada saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan

pada lintasan kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan
kelemahan respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat,
dan tanda babinski positif.
Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan
terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang
besar. Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan intracranial antara lain
kekakuan deserebrasi dan gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan.
Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa
terus keluar hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau
terbentur mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali.
Dalam waktu beberapa jam , penderita akan merasakan nyeri kepala yang
progersif memberat, kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara
dua penurunan kesadaran ini selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan
di sebut interval lucid. Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer
yang ringan pada Epidural hematom. Kalau pada subdural hematoma cedera
primernya hamper selalu berat atau epidural hematoma dengan trauma primer
berat tidak terjadi lucid interval karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan
tidak pernah mengalami fase sadar.

D. Tanda dan Gejala


Pasien dengan EDH seringkali tampak memar di sekitar mata dan di
belakang telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung
atau telinga. Tanda dan gejala yang tampak pada pasien dengan EDH antara
lain:
1. Penurunan kesadaran, bisa sampai koma
2. Bingung
3. Penglihatan kabur
4. Susah bicara
5. Nyeri kepala yang hebat
6. Keluar cairan darah dari hidung atau telinga
7. Nampak luka yang dalam atau goresan pada kulit kepala.

8. Mual
9. Pusing
10. Berkeringat
11. Pucat
12. Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.
E. Pemeriksaan Penunjang
1.

CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik,


menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.

2.

Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti


pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.

3.

X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur


garis (perdarahan / edema), fragmen tulang.

4.

Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan


(oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.

5.

Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat


peningkatan tekanan intracranial

6. BEAR (brain auditory respon) : untuk menentukan fungsi korteks

dan batang otak

H.

Pathway

benturan pada kepala karena kecelakaan

robekan arteria meningea media

Luka terbuka

Resiko infeksi

perdarahan pada lapisan di antara tulang tengkorak dan dura meter

Epidural
Hematom

penghentian aliran darah


Penurunan TD sistemik

Perubahan perfusi jaringan


serebral

Edema

suplay darah ke otak menurun

karbondioksida

tertahan

desakan oleh hematoma

peningkatan TIK

reaksi anaerob

Kejang

Resiko injuri

asam laktat

Nyeri akut
penurunan kesadaran

Kerusakan mobilitas fisik

Reflek menelan lemah

Ketidakseimbangan Nutrisi

F. Pengkajian
1. BREATHING
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung,
sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun
iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas
berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi),
cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas.
2. BLOOD:

Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi.


Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan
parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi
lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan
frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang

diselingi dengan

bradikardia, disritmia).
3. BRAIN
a. Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya
gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara,
amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan
pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan
mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis,
maka dapat terjadi :
b. Perubahan

status

mental

(orientasi,

kewaspadaan,

perhatian,

konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan


memori).
c. Perubahan

dalam

penglihatan,

seperti

ketajamannya,

diplopia,

kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.


d. Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
e. Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
f. Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus
g. menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
h. Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh
kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
4. BLADER
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia
uri, ketidakmampuan menahan miksi.
5. BOWEL
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah
(mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera.
Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.
6. BONE

Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada
kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat
pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis
yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di
otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan
tonus otot.

G. Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan perfusi jaringan serebral b.d penghentian aliran darah
(hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia
(hipovolemia, disritmia jantung)
2. Resiko pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskuler (cedera pada
pusat pernapasan otak).
3. Perubahan persepsi sensori b. d perubahan transmisi dan/atau integrasi
(trauma atau defisit neurologis).
4. Resiko injuri b.d peningkatan TIK : kejang
5. Kerusakan mobilitas fisik b. d kerusakan persepsi atau kognitif. Penurunan
kekuatan/tahanan. Terapi pembatasan /kewaspadaan keamanan, misal:
tirah baring, imobilisasi.
6. Nyeri akut b.d agen injuri fisik, biologis : trauma; peningkatan asam laktat
di otak
7. Resiko infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif.
Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon
inflamasi tertekan (penggunaan steroid). Perubahan integritas sistem
tertutup (kebocoran CSS)
H. Fokus Intervensi
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian
aliran darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD
sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung).
Tujuan:

Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan


fungsi motorik/sensorik.

Kriteria hasil:
Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK
Intervensi
-

Tentukan faktor-faktor yg menyebabkan koma/penurunan perfusi


jaringan otak dan potensial peningkatan TIK.

Pantau /catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan


nilai standar GCS.

Evaluasi keadaan pupil, ukuran, kesamaan antara kiri dan kanan, reaksi
terhadap cahaya.

Pantau tanda-tanda vital: TD, nadi, frekuensi nafas, suhu.

Pantau intake dan out put, turgor kulit dan membran mukosa.

Turunkan stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan, seperti


lingkungan yang tenang.

Bantu pasien untuk menghindari /membatasi batuk, muntah, mengejan.

Tinggikan kepala pasien 15-45 derajad sesuai indikasi/yang dapat


ditoleransi.

Batasi pemberian cairan sesuai indikasi.

Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.

Berikan obat sesuai indikasi, misal: diuretik, steroid, antikonvulsan,


analgetik, sedatif, antipiretik.

2. Resiko pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan


neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi
atau kognitif. Obstruksi trakeobronkhial.
Tujuan:
mempertahankan pola pernapasan efektif.
Kriteria evaluasi:
bebas sianosis, GDA dalam batas normal
Intervensi
-

Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat ketidakteraturan


pernapasan.

Pantau dan catat kompetensi reflek gag/menelan dan kemampuan


pasien untuk melindungi jalan napas sendiri. Pasang jalan napas sesuai
indikasi.

Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miirng sesuai


indikasi.

Anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam yang efektif bila


pasien sadar.

Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15


detik. Catat karakter, warna dan kekeruhan dari sekret.

Auskultasi suara napas, perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya


suara tambahan yang tidak normal misal: ronkhi, wheezing, krekel.

Pantau analisa gas darah, tekanan oksimetri

Lakukan ronsen thoraks ulang.

Berikan oksigen.

Lakukan fisioterapi dada jika ada indikasi.

3. Resiko terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif.
Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon
inflamasi tertekan (penggunaan steroid).
Tujuan
Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi.
Kriteria evaluasi:
Mencapai penyembuhan luka tepat waktu.
Intervensi
-

Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan tehnik cuci


tangan yang baik.

Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang


terpasang alat invasi, catat karakteristik dari drainase dan adanya
inflamasi.

Pantau suhu tubuh secara teratur, catat adanya demam, menggigil,


diaforesis dan perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran).

Anjurkan untuk melakukan napas dalam, latihan pengeluaran sekret


paru secara terus menerus.

Observasi karakteristik sputum.

Berikan antibiotik sesuai indikasi

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hafid (1989), Strategi Dasar Penanganan Cidera Otak. PKB Ilmu Bedah XI
Traumatologi , Surabaya.
Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi 4,
Anugrah P. EGC, Jakarta,1995, 1014-1016
Anonym,Epiduralhematoma,www.braininjury.com/epidural-subduralhematoma.html.
Anonym,Epidural hematoma, www.nyp.org
Doenges M.E. (2000), Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3 . EGC.
Jakarta.
NANDA, 2010-2014, Nursing Diagnosis: Definitions and classification,
Philadelphia, USA
Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong (1997), Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi.
EGC, Jakarta.
University

IOWA.,

NIC

and

NOC

Classifications, Philadelphia, USA

Project.,

1991,

Nursing

outcome

TAMBAHAN
ANATOMI MENINGEN OTAK
Secara konvensional, dura mater diuraikan sebagai dua lapisan, lapisan
endosteal dan lapisan meningeal. Lapisan endosteal tidak lebih dari
suatu periosteum yang menutupi permukaan dalam tulang tulang
kranium. Pada foramen magnum lapisan endosteal tidak berlanjut
dengan duramater medulla spinalis. Pada sutura, lapisan endosteal
berlanjut dengan ligamentum sutura. Lapisan endosteal paling kuat
melekat pada tulang diatas dasar kranium. (4)
Lapisan meningeal merupakan duramater yang sebenarnya. Lapisan
meningeal merupakan membrane fibrosa kuat, padat menutupi otak,
dan melalui foramen magnum berlanjut dengan duramater medulla
spinalis. Lapisan meningeal ini memberikan sarung tubuler untuk saraf
saraf kranial pada saat melintas melalui lubang lubang kranium.
Kedalam lapisan meningeal membentuk empat septa, yang membagi
rongga kranium menjadi ruang ruang yang berhubungan dengan
bebas dan merupakan tempat bagian bagian otak. (4)
Falx serebri merupakan lipatan duramater yang berbentuk sabit,
terletak dalam garis tengah antara dua hemispherium serebri. Ujung
anteriornya melekat ke Krista frontalis interna dan Krista galli. Bagian
posterior yang lebar bercampur di garis tengah dengan permukaan
atas tentorium serebelli. Sinus sagitalis superior berjalan dalam tepi
bagian atas yang terfiksasi; sinus sagitalis inferior berjalan pada tepi
bagian bawah yang konkaf, dan sinus rektus berjalan disepanjang
perlekatannya dengan tentorium serebelli. (4)
Tentorium serebelli merupakan lipatan duramater berbentuk sabit yang
membentuk atap diatas fossa kranialis posterior, menutupi permukaan
atas serebellum dan menokong lobus occipitalis hemisperium serebri.
Berdekatan dengan apex pars petrosus os temporale, lapisan bagian
bawah tentorium membentuk kantong kearah depan dibawah sinus
petrosus superior, membentuk suatu resessus untuk n. trigeminus dan
ganglion trigeminal.
Falx serebri dan falx serebelli masing masing melekat ke permukaan
atas dan bawah tentorium. Sinus rektus berjalan di sepanjang
perlekatan ke falx serebri; sinus petrosus superior, bersama
perlekatannya ke os petrosa; dan sinus transverses, disepanjang
perlekatannya ke os occipitalis. Falx serebelli merupakan suatu lipatan
duramater berbentuk sabit, kecil melekat ke krista occipitalis interna,
berproyeksi kedepan diantara diantara dua hemispherium serebelli.
Diaphragma Sella merupakan suatu lipatan duramater sirkuler,
membentuk atap untuk sella tursika. (4)

Persarafan Duramater(4)
Persarafan ini terutama berasal dari cabang n.trigeminus, tiga saraf
servikalis bagian atas, bagian servikal trunkus simpatikus dan n.vagus.
resptor reseptor nyeri dalam dura mater diatas tentorium
mengirimkan impuls melalui n.trigeminus, dan suatu nyeri kepala
dirujuk ke kulit dahi dan muka. Impuls nyeri yang timbul dari bawah
tentorium dalam fossa kranialis posterior berjalan melalui tiga saraf
servikalis bagian atas, dan nyeri kepala dirujuk kebelakang kepala dan
leher.

Pendarahan Duramater (4)


Banyak arteri mensuplai duramater, yaitu; arteri karotis interna, arteri
maxillaries, arteri paringeal asenden, arteri occipitalis dan arteri
vertebralis. Dari segi klinis, yang paling penting adalah arteri meningea
media, yang umumnya mengalami kerusakan pada cedera kepala.
Arteri meningea media berasal dari arteri maxillaries dalam fossa
temporalis, memasuki rongga kranialis melalui foramen spinosum dan
kemudian terletak antara lapisan meningeal dan endosteal duramater.
Arteri ini kemudian terletak antara lapisan meningeal dan endosteal
duramater. Arteri ini kemudian berjalan ke depan dank e lateral dalam
suatu sulkus pada permukaan atas squamosa bagian os temporale.
Cabang anterior (frontal) secara mendalam berada dalam sulkus atau
saluran angulus antero inferior os parietale, perjalanannya secara
kasar berhubungan dengan garis gyrus presentralis otak di bawahnya.
Cabang posterior melengkung kearah belakang dan mensuplai bagian
posterior duramater.
Vena vena meningea terletak dalam lapisan endosteal duramater.
Vena meningea media mengikuti cabang cabang arteri meningea
media dan mengalir kedalam pleksus venosus pterygoideus atau sinus
sphenoparietalis. Vena terletak di lateral arteri.

Sinus Venosus Duramater (4)


Sinus sinus venosus dalam rongga kranialis terletak diantara lapisan
lapisan duramater. Fungsi utamanya adalah menerima darah dari
otak melalui vena vena serebralis dan cairan serebrospinal dari ruang
ruang subarachnoidea melalui villi arachnoidalis. Darah dalam sinus
sinus duramatr akhirnya mengalir kedalam vena vena jugularis
interna dileher. Vena emissaria menghubungkan sinus venosus

duramater dengan vena vena diploika kranium dan vena vena kulit
kepala.
Sinus Sagitalis Superior menduduki batas atas falx serebri yang
terfiksasi, mulai di anterior pada foramen caecum, berjalan ke
posterior dalam sulkus di bawah lengkungan kranium, dan pada
protuberantia occipitalis interna berbelok dan berlanjut dengan sinus
transverses. Dalam perjalanannya sinus sagitallis superior menerima
vena serebralis superior. Pada protuberantia occipitalis interna, sinus
sagitallis berdilatasi membentuk sinus konfluens. Dari sini biasanya
berlanjut dengan sinus transverses kanan, berhubungan dengan sinus
transverses yang berlawanan dan menerima sinus occipitalis.
Sinus sagitalis inferior menduduki tepi bawah yang bebas dari falx
serebri, berjalan kebelakang dan bersatu dengan vena serebri magna
pada tepi bebas tentorium cerebelli membentuk sinus rektus. Sinus
rekrus menempati garis persambungan falx serebri dengan tentorium
serebelli, terbentuk dari persatuan sinus sagitalis inferior dengan vena
serebri magna, berakhir membelok kekiri membentuk sinus
transfersus.
Sinus transverses merupakan struktur berpasangan dan mereka mulai
pada protuberantia occipitalis interna. Sinus kanan biasanya berlanjut
dengan sinus sagitalis superior, dan bagian kiri berlanjut dengan sinus
rektus. Setiap sinus menempati tepi yang melekat pada tentorium
serebelli, membentuk sulkus pada os occipitalis dan angulus posterior
os parietale. Mereka menerima sinus petrosus superior, vena vena
serebralis inferior, vena vena serebellaris dan vena vena diploika.
Mereka berakhir dengan membelok ke bawah sebagai sinus
sigmoideus.
Sinus sigmoideus merupakan lanjutan langsung dari sinus tranversus
yang akan melanjutkan diri ke bulbus superior vena jugularis interna.
Sinus occipitalis merupakan suatu sinus kecil yang menempati tepi falx
serebelli yang melekat, ia berhubungan dengan vena vena vertebralis
dan bermuara kedalam sinus konfluens. Sinus kavernosus terletak
dalam fossa kranialis media pada setiap sisi corpus os sphenoidalis.
Arteri karotis interna, dikelilingi oleh pleksus saraf simpatis, berjalan
kedepan melalui sinus. Nervus abdusen juga melintasi sinus dan
dipisahkan dari darah oleh suatu pembungkus endothelial. Sinus
petrosus superior dan inferior merupakan sinus sinus kecil pada batas
batas superior dan inferior pars petrosus os temporale pada setiap
sisi kranium. Setiap sinus kavernosus kedalam sinus transverses dan
setiap sinus inferior mendrainase sinus cavernosus kedalam vena
jugularis interna.

Arachnoidea Mater (4)


Arachnoidea mater merupakan membran tidak permeable, halus,
menutupi otak dan terletak diantara pia mater di interna dan
duramater di eksterna. Arachnoidea mater dipisahkan dari duramater
oleh suatu ruang potensial, ruang subdural, terisi dengan suatu lapisan
tipis cairan, dipisahkan dari piamater oleh ruang subarachnoidea, yang
terisi dengan cairan serebrospinal. Permukaan luar dan dalam
arachnoidea ditutupi oleh sel sel mesothelial yang gepeng.
Pada daerah daerah tertentu, arachnoidea terbenam kedalam sinus
venosus untuk membentuk villi arachnoidalis. Villi arachnoidalis
bertindak sebagai tempat cairan serebrospinal berdifusi kedalam aliran
darah. Arachnoidea dihubungkan ke piamater oleh untaian jaringan
fibrosa halus yang menyilang ruang subarachnoidea yang berisi cairan.
Cairan serebrospinal dihasilkan oleh pleksus choroideus dalam
ventrikulus lateralis, ketiga dan keempat otak. Cairan ini keluar dari
ventrikulus memasuki subarachnoid, kemudian bersirkulasi baik kearah
atas diatas permukaan hemispherium serebri dan kebawah disekeliling
medulla spinalis.

Piamater otak (4)


Piamater merupakan suatu membrane vaskuler yang ditutupi oleh sel
sel mesothelial gepeng. Secara erat menyokong otak, menutupi gyri
dan turun kedalam sulki yang terdalam. Piamater meluas keluar pada
saraf saraf cranial dan berfusi dengan epineurium. Arteri serebralis
yang memasuki substansi otak membawa sarung pia mater
bersamanya. Piamater membentuk tela choroidea dari atap ventrikulus
otak ketiga dan keempat, dan berfusi dengan ependyma untuk
membentuk pleksus choroideus dalam ventrikulus lateralis, ketiga, dan
keempat otak.

FISIOLOGI MENINGEN (4)


Otak dan medulla spinalis terbungkus dalam tiga sarung membranosa
yang konsentrik. Membran yang paling luar tebal, kuat dan fibrosa
disebut duramater, membrane tengah tipis dan halus serta diketahui
sebagai arachnoidea mater, dan membrane paling dalam halus dan
bersifat vaskuler serta berhubungan erat dengan permukaan otak dan
medulla spinalis serta dikenal sebagai piamater.

Duramater mempunyai lapisan endosteal luar, yang bertindak sebagai


periosteum tulang tulang kranium dan lapisan bagian dalam yaitu
lapisan meningeal yang berfungsi untuk melindungi jaringan saraf
dibawahnya serta saraf saraf cranial dengan membentuk sarung
yang menutupi setiap saraf kranial. Sinus venosus terletak dalam
duramater yang mengalirkan darah venosa dari otak dan meningen ke
vena jugularis interna dileher.
Pemisah duramater berbentuk sabit yang disebut falx serebri, yang
terletak vertical antara hemispherium serebri dan lembaran horizontal,
yaitu tentorium serebelli, yang berproyeksi kedepan diantara serebrum
dan serebellum, yang berfungsi untuk membatasi gerakan berlebihan
otak dalam kranium.
Arachnoidea mater merupakan membrane yang lebih tipis dari
duramater dan membentuk penutup yang longgar bagi otak.
Arachnoidea mater menjembatani sulkus sulkus dan masuk kedalam
yang dalam antara hemispherium serebri. Ruang antara arachnoidea
dengan pia mater diketahui sebagai ruang subarachnoidea dan terisi
dengan cairan serebrospinal. Cairan serebrospinal merupakan bahan
pengapung otak serta melindungi jaringan saraf dari benturan mekanis
yang mengenai kepala.
Piamater merupakan suatu membrane vaskuler yang menyokong otak
dengan erat. Suatu sarung pia mater menyertai cabang cabang arteri
arteri serebralis pada saat mereka memasuki substansia otak. Secara
klinis, duramater disebut pachymeninx dan arachnoidea serta pia
mater disebut sebagai leptomeninges.

Anda mungkin juga menyukai