Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN PRAKTIKUM UNIT OPERASI II

SEMESTER GENAP 2015/2016

MODUL ABSORBSI

KELOMPOK 10KP
ANGGOTA KELOMPOK :
ABU BAKAR ASH SHIDDIQ

(1306449302)

AULIA RAHMI HARIANTI

(1306370631)

MAKHDUM MUHARDIANA PUTRA

(1406643091)

DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK 2016

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................... 2


BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 3
1.1

Tujuan ........................................................................................................... 3

1.2

Prinsip Kerja ................................................................................................ 3

1.3

Alat dan Bahan ............................................................................................. 4

1.4

Prosedur ........................................................................................................ 6

BAB II LANDASAN TEORI ..................................................................................... 7


2.1

Definisi Absorpsi .......................................................................................... 7

2.2

Kolom Absorpsi ............................................................................................ 7

2.3

Absorben ....................................................................................................... 7

2.4

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Absorbsi ............................ 11

2.5

Kriteria Pemilihan Solvent ........................................................................ 13

2.6

Persamaan Umum Kolom Absorbsi ......................................................... 14

2.7

Aplikasi Proses Absorbsi ........................................................................... 16

BAB III HASIL PERCOBAAN............................................................................... 20


3.1

Data Pengamatan ....................................................................................... 20

3.2

Pengolahan Data......................................................................................... 21

BAB IV ANALISIS ................................................................................................... 27


4.1

Analisis Alat Bahan .................................................................................... 27

4.2

Analisis Percobaan ..................................................................................... 29

4.3

Analisis Data dan Hasil Pengamatan ....................................................... 33

4.4

Analasis Kesalahan .................................................................................... 36

BAB V KESIMPULAN ............................................................................................ 38


DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 39

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Tujuan Percobaan

Menentukan dan mempelajari pola absorpsi CO2 dengan larutan NaOH


menggunakan alat analisis gas yang tersedia.

Menentukan dan mempelajari pola absorpsi CO2 dengan larutan NaOH


menggunakan alat analisis larutan yang tersedia.

1.2 Prinsip Kerja

Menentukan dan mempelajari pola absorpsi CO2 dengan larutan NaOH


menggunakan alat analisis gas dimana dari alat ini diambil data V1
(volume CO2 dan udara pada analisis sample keluaran gas sisa absorbsi
yang diukur dalam piston) dan V2 (Volume CO2 yang terlarut dalam
NaOH pada analisis sample keluaran gas sisa absorpsi yang diukur di
dalam tabung liquid overspill) yang kemudian dapat digunakan untuk
menghitung kandungan CO2 dalam sampel gas dan koefisien transfer
massa gas.

Menentukan dan mempelajari pola absorpsi CO2 dengan larutan NaOH


menggunakan alat analisis larutan yakni titrasi. Absorbsi CO2 dari udara
dengan menggunakan kaustik soda secara umum digambarkan oleh reaksi
berikut :

CO2 2NaOH Na 2CO3 H 2O

Dengan menggunakan teknik analisis titrasi, asam digunakan untuk


menetralisir kaustik soda dan pada waktu yang bersamaan mengubah
semua sodium karbonat menjadi bikarbonat. Apabila konsentrasi total dari
karbonat dapat ditentukan, maka jumlah CO2 yang terabsorp juga dapat
ditentukan.

1.3 Alat dan Bahan


1.3.1

Alat

1. Menara Absorbsi
Menara absorbsi yang dipakai pada praktikum ini menggunakan packing
berupa pall ring yang disusun secara dumping. Penggunaan packing
disini bertujuan untuk memperluas permukaan kontak antara gas dan
cairan agar proses absorbsi berjalan dengan lebih optimal. Sesuai dengan
namanya,

menara

absorbsi

disini

digunakan

sebagai

tempat

berlangsungnya proses absorpsi.


2. Tangki Gas CO2
Alat ini berfungsi sebagai wadah tempat menyimpan gas CO2 yang akan
digunakan sebagai spesi zat kimia yang akan diabsorbsi.
3. Tangki Air/NaOH
Digunakan sebagai wadah untuk menampung air dan juga larutan NaOH
(secara bergantian) yang telah digunakan sebagai solvent dalam proses
absorbsi gas CO2. Tangki yang digunakan ini memiliki kapasitas 30
Liter.
4. Gelas Ukur
Digunakan untuk mengambil sampel pada titik 4 dan 5, dimana untuk
setiap titik tersebut diambil sampel masing masing sebanyak 60 ml.
5. Labu Erlenmeyer
Digunakan untuk menampung larutan HCl 12 M yang telah diencerkan,
dimana HCl ini nantinya akan digunakan sebagai titran dalam proses
titrasi. Selain itu labu erlenmeyer ini juga digunakan untuk menampung
larutan NaOH yang akan digunakan nantinya sebagai solvent dalam
proses absorbsi gas CO2 ini. Disamping itu labu erlenmeyer ini
digunakan dalam proses titrasi sampel dengan menggunakan larutan
HCl.
6. Labu Ukur
Digunakan untuk membuat larutan NaOH yang akan digunakan sebagai
solvent dalam proses absorbsi gas CO2. Selain itu labu ukur ini juga

digunakan untuk mengencerkan larutan HCl yang nantinya akan


digunakan sebagai titran pada proses titrasi.
7. Pipet Tetes
Digunakan untuk mengambil pH indikator berupa phenolpthalein dan
methyl orange yang akan digunakan pada proses titrasi.
8. Buret
Berfungsi sebagai alat titrasi, dimana alat ini dijadikan sebagai wadah
dari titran (larutan HCl) selama proses titrasi berlangsung .
9. Statif
Penyangga / penyokong bagi buret selama proses titrasi berlangsung.
10. Stopwatch
Digunakan sebagai alat untuk mengukur waktu dalam proses
pengambilan data praktikum.
1.3.2

Bahan

1. Air
Digunakan sebagai solvent dalam proses absorbsi gas CO2.
2. Larutan NaOH
Digunakan sebagai solvent dalam proses absorbsi gas CO2 selain dari
solvent air.
3. Larutan HCl
Digunakan sebagai titran (larutan pentiter) dalam proses titrasi sampel.
4. Larutan BaCl2 5% wt
Ditambahkan kedalam sampel larutan yang akan dititrasi.
5. Gas CO2
Digunakan sebagai spesi yang akan diabsorbsi pada percobaan kali ini.
6. Phenolpthalein (PP)
Digunakan sebagai pH indikator dalam proses titrasi sampel yang
diperoleh dari titik 4 dan 5.
7. Methyl Orange (MO)
Digunakan sebagai pH indikator dalam proses titrasi sampel yang
diperoleh dari titik 4 dan 5

1.4 Prosedur Percobaan


Dalam percobaan ini, akan dilakukan dua buah percobaan, yaitu percobaan 1
dan percobaan 2. Percobaan 1 adalah absorpsi CO2 dengan air (menggunakan
analisis gas), sementara percobaan 2 adalah absorpsi CO2 dengan NaOH
(menggunakan analisis larutan).
1.4.1

Absorpsi CO2 dengan air (menggunakan analisis gas)


1. Mengisi tangki dengan air yang baru sebanyak 30 liter (3/4 penuh).
2. Mengalirkan air (6 liter/menit).
3. Mengalirkan udara (10 liter/menit).
4. Mengalirkan CO2 (15 liter/menit).
5. Menunggu hingga steady selama 15 menit.
6. Mengambil sampel gas (menunggu 1 menit).

1.4.2 Absorpsi CO2 pada NaOH (menggunakan analisis larutan)


1. Mengisi tangki dengan 30 liter NaOH 0.1 M (3/4 penuh).
2. Mengalirkan larutan (3 liter/menit).
3. Mengalirkan udara (30 liter/menit).
4. Mengalirkan CO2 (3 liter/menit).
5. Menunggu hingga steady selama 15 menit.
6. Mengambil sampel gas tiap 20 menit setelah steady dari S4 dan S5
sebanyak 250 ml.
Prosedur titrasi :
1. Memisahkan larutan sampel S4 dan S5 pada 2 buah erlenmeyer @60
ml.
2. Erlenmeyer 1 :
Menteteskan PP (1 tetes) dan titrasi hingga warna pink hilang dengan
larutan HCl. Kemudian menteteskan MO (1 tetes) dan titrasi hingga
berubah warna dengan HCl.
3. Erlenmeyer 2 :
Menambahkan larutan BaCl2 sebanyak > 10% dari nilai T2 T1.
Kemudian menteteskan PP (2 tetes) dan titrasi hingga titik akhir
dengan larutan HCl.

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1

Definisi Absorbsi
Absorpsi adalah proses pemisahan bahan dari suatu campuran gas dengan

cara pengikatan bahan tersebut pada permukaan absorben cair yang diikuti dengan
pelarutan. Absorpsi dapat dilakukan pada gas-gas atau cairan yang relatif
berkonsentrasi rendah maupun konsentrat. Prinsip absorpsi adalah dengan
memanfaatkan besarnya difusivitas molekul-molekul gas pada larutan tertentu.
Dengan demikian, bahan yang memiliki koefisien partisi hukum Henry (tekanan
uap/kelarutan) rendah sangat disukai dalam proses absorpsi. Pada proses absorpsi,
campuran gas tersebut biasanya terdiri dari gas inert dan gas yang larut dalam
cairan. Cairan yang digunakan juga umumnya ntidak mudah menguap dan larut
dalam gas.
Kelarutan gas yang akan diserap dapat disebabkan hanya oleh gaya-gaya
fisik (pada absorpsi fisik) atau selain gaya tersebut juga oleh ikatan kimia (pada
absorpsi kimia). Komponen gas yang dapat mengadakan ikatan kimia akan
dilarutkan lebih dahulu dan juga dengan kecepatan yang lebih tinggi. Karena itu
absorpsi kimia mengungguli absorpsi fisik. Tujuan dari operasi absorpsi dalam
industri adalah untuk meningkatkan nilai guna dari suatu zat dengan cara merubah
fasenya, mengurangi impurities (pemurnian).

2.2

Kolom Absorbsi
Kolom absorpsi adalah suatu kolom atau vessel tempat terjadinya proses

pengabsorpsi

(penyerapan/penggumpalan)

dari

zat

yang

dilewatkan

di

kolom/tabung tersebut. Proses ini dilakukan dengan melewatkan zat yang


terkontaminasi oleh komponen lain dan zat tersebut dilewatkan ke kolom ini
dimana terdapat fase cair dari komponen tersebut.

Gambar 2.1 Kolom Absorpsi.

Kolom absorpsi adalah sebuah kolom, dimana ada zat yang berbeda fase
mengalir berlawanan arah (counter current) yang dapat menyebabkan komponen
kimia ditransfer dari satu fase cairan ke fase lainnya, terjadi hampir pada setiap
reaktor kimia. Proses ini dapat berupa absorpsi gas, distilasi, pelarutan yang
terjadi pada semua reaksi kimia.
Campuran gas yang merupakan keluaran dari reaktor diumpankan
kebawah menara absorber. Didalam absorber terjadi kontak antar dua fasa yaitu
fasa gas dan fasa cair mengakibatkan perpindahan massa difusional dalam umpan
gas dari bawah menara ke dalam pelarut air sprayer yang diumpankan dari bagian
atas menara. Peristiwa absorpsi ini terjadi pada sebuah kolom yang berisi packing
dengan dua tingkat. Keluaran dari absorber pada tingkat I mengandung larutan
dari gas yang dimasukkan tadi.
Pada kolom absorpsi ini yang perlu diperhatikan adalah pada dasarnya ini
adalah alat dimana diciptakan bidang (permukaan) kontak antar fasa yang luas.
Makin luas permukaan antar fasanya makin baik. Hal ini dapat dilakukan dengan
2 cara yaitu:
Penyebaran (dispersi) cairan dalam gas
Penyebaran (dispersi) gas dalam cairan
Struktur dari absorber dapat dilihat dalam Gambar 2.2. Penjelasannya
adalah sebagai berikut :
Bagian atas:
Sebagai outlet dari gas yang telah mengalami kontak dengan absorben.
inlet dari absorben
Spray untuk mengubah gas input menjadi fase cair.

Bagian tengah:
Packed tower untuk memperluas bidang permukaan sentuh sehingga
memudahkan proses absorpsi.
Disini terjadi kontak antara absorben dengan fluida yang akan di absorpsi.
Bagian bawah:
Input gas sebagai tempat masuknya gas ke dalam reaktor, dan juga sebagai
outlet dari absorben untuk kemudian di-regenerasi.

Gambar 2.2 Struktur Absorber

Secara umum kolom absorber dibagi menjadi tiga, yaitu:


Packed Bed Column

Gambar 2.3 Packed Bed Column.

Plate Column

Gambar 2.4 Plate Column.

Spray Column

Gambar 2.5 Spray Column.

2.3

Absorben
Absorben adalah cairan yang dapat melarutkan bahan yang akan

diabsorpsi pada permukaannya, baik secara fisik maupun secara reaksi kimia.
Absorben sering juga disebut sebagai pelarut. Persyaratan absorben adalah :
Absorben yang digunakan harus sesuai dengan senyawa yang akan
dipisahkan atau dimurnikan.
Absorben yang digunakan harus memiliki kelarutan gas harus tinggi
sehingga dapat meningkatkan laju absorpsi dan menurunkan kuantitas
absorben yang diperlukan. Umumnya, absorben yang memiliki sifat yang
sama dengan bahan terlarut akan mudah dilarutkan.
10

Absorben harus memiliki tekanan uap yang rendah karena jika gas yang
meninggalkan kolom absorpsi jenuh dengan absorben, maka akan ada
banyak absorben yang terbuang. Jika diperlukan, dapat menggunakan cairan
absorben kedua, yaitu yang volatilitasnya lebih rendah untuk menangkap
porsi gas teruapkan.
Absorben yang digunakan tidak boleh bersifat korosif karena dapat merusak
peralatan kolom absorber.
Penggunaan pelarut yang lebih murah.
Ketersediaan absorben di dalam negeri akan sangat berpengaruh terhadap
stabilitas harga dan biaya operasi secara keseluruhan.
Viskositas absorben yang rendah amat disukai karena akan terjadi laju
absorpsi yang tinggi, meningkatkan karakter flooding dalam menara, serta
perpindahan kalor yang baik.
Sebaiknya absorben tidak memiliki sifat toksik, flamable, dan sebaliknya
absorben sedapat mungkin harus stabil secara kimiawi dan memiliki titik
beku yang rendah.

2.4

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Absorbsi


Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi jalannya proses absorbsi,

diantaranya :
Luas pemukaan kontak
Semakin besar permukaan gas dan pelarut yang kontak, maka laju absorpsi
yang terjadi juga akan semakin besar. Hal ini dikarenakan, permukaan
kontak yang semakin luas akan meningkatkan peluang gas untuk berdifusi
ke pelarut.
Laju alir fluida
Jika laju alir fluida semakin kecil, maka waktu kontak antara gas dengan
pelarut akan semakin lama. Dengan demikian, akan meningkatkan jumlah
gas yang berdifusi.
Konsentrasi gas
Perbedaan konsentrasi merupakan salah satu driving force dari proses difusi
yang terjadi antar dua fluida.

11

Tekanan operasi
Peningkatan tekanan akan meningkatkan efisiensi pemisahan.
Temperatur komponen terlarut dan pelarut
Temperatur pelarut hanya sedikit berpengaruh terhadap laju absorpsi.
Kelembaban Gas
Kelembaban yang tinggi akan membatasi kapasitas gas untuk mengambil
kalor laten, hal ini tidak disenangi dalam proses absorpsi. Dengan demikian,
proses dehumidification gas sebelum masuk ke dalam kolom absorber
sangat dianjurkan.

2.5

Kriteria Pemilihan Solven


Pemilihan solven pada umumnya disesuaikan dengan tujuan absorpsi,

antara lain:
Jika tujuan utama operasi untuk menghasilkan larutan yang spesifik, maka
solven ditentukan berdasarkan sifat dari produk. Contoh : produksi asam
hidroklorida.
Jika tujuan utama adalah menghilangkan kandungan tertentu dari gas,
maka ada banyak pilihan yang mungkin. Contoh : air adalah solven yang
paling murah dan sangat kuat untuk senyawa polar.

Beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan solven :

Kelarutan gas
Kelarutan gas yang tinggi akan meningkatkan laju absorpsi dan
menurunkan kuantitas solven yang diperlukan. Pelarut (solvent) yang
memiliki sifat yang sama dengan bahan terlarut akan mudah dilarutkan.
Jika gas larut dengan baik dalam fraksi mol yang sama pada beberapa
jenis solven, maka harus dipilih solven yang memiliki berat molekul
terkecil. Sehingga akan diperoleh fraksi mol gas terlarut lebih besar.
Jika terjadi reaksi kimia dalam absorpsi, maka kelarutan akan sangat
besar. Namun jika pelarut akan di-recovery, maka reaksi tersebut harus
reversible. Contoh: etanolamina digunakan untuk mengabsorpsi hidrogen
sulfida dari campuran gas karena sulfida tersebut sangat mudah diserap

12

pada suhu rendah dan dengan mudh dilecut (stripped) pada suhu tinggi.
Sebaliknya, soda kaustik tidak dapat digunakan walaupun sangat mudah
menyerap sulfida, namun tidak dapat dilecut dengan operasi stripping.
Volatilitas
Pelarut harus memiliki tekanan uap yang rendah karena jika gas yang
meninggalkan kolom absorpsi jenuh dengan pelarut, maka akan ada
banyak solven yang terbuang. Bila diperlukan, dapat digunakan cairan
pelarut kedua, yaitu pelarut yang volatilitasnya lebih rendah untuk
menangkap porsi gas yang teruapkan. Aplikasi bagian recovery ini
umumnya pada proses pengilangan minyak dimana terdapat menara
absorpsi hidrokarbon yang menggunakan pelarut hidrokarbon yang
cukup volatil dan di bagian atas digunakan minyak tidak volatil untuk
me-recovery pelarut utama.

Gambar 2.6 Kolom absorber piringan dengan bagian recovery

Korosivitas
Material bangunan menara absorpsi sebisa mungkin tidak dipengaruhi
oleh sifat solven. Solven atau pelarut yang korosif dapat merusak
menara, sehingga diperlukan material menara yang mahal atau tidak
mudah dijumpai.

13

Harga dan Ketersediaan


Penggunaan solven yang mahal dan tidak mudah di-recovery, akan
meningkatkan

biaya

operasi

menara

absorber.

Sementara

itu,

ketersediaan pelarut di dalam negeri akan sangat mempengaruhi stabilitas


harga pelarut dan biaya operasi secara keseluruhan.
Viskositas
Viskositas pelarut yang sangat rendah amat disukai karena akan terjadi
laju absorpsi yang tinggi, meningkatkan karakter flooding dalam menara,
jatuh-tekan yang kecil, dan sifat perpindahan panas yang baik.

Tabel 1. Perbedaan distilasi, absorpsi, ekstraksi, leaching

Distilasi
Prinsip pemisahan

Absorpsi

Perbedaan

titik Perbedaan

didih

dan difusivitas

tekanan uap

tekanan uap

Fasa

Cair Gas

Cair - Gas

Kondisi operasi :

Suhu masuk dan Suhu


keluar berbeda

paling Tray column

Peralatan

Ekstraksi

Leaching

Perbedaan sifat
dan fisika dan kimia

Cair - Cair
dan Suhu

Padat Cair
dan Suhu

dan

tekanan tetap

tekanan tetap

tekanan tetap

Packed column

banyak dipakai

2.6

Persamaan Umum Kolom Absorbsi


Neraca Massa
Untuk memahami persamaan neraca massa yang berlaku pada kolom
absorber, perhatikan gambar berikut:

14

Gambar 2.7 Skema neraca massa pada kolom absorber.

Masuk = Keluar

Gm y1 y2 Lm x1 x2

Gm1 Lm 2 Gm 2 Lm1
Dimana,

Gm1

= Laju alir molar inlet gas

Gm2

= Laju alir molar outlet gas

Lm1

= Laju alir molar outlet liquid

Lm2

= Laju alir molar inlet liquid

= Fraksi mol gas terlarut dalam liquid murni

= Fraksi mol gas terlarut dalam inert gas

Koefisien Transfer Massa Gas Menyeluruh


Koefisien transfer massa gas menyeluruh (Overall Mass Transfer
Coefficient, gas concentration) merupakan parameter yang erat kaitannya
dengan laju difusi atau perpindahan massa gas ke liquid. Semakin besar
nilai koefisien, semakin besar pula laju difusi gas. Persamaan yang
digunakan untuk menentukan KOG adalah sebagai berikut:

K OG

P
ln i
Po
Ga


a AH
Pi Po

15

Dimana,
KOG

= koefisien transfer massa gas menyeluruh (gr.mol/atm.m2.sekon)

Ga

= jumlah gas terlarut dalam liquid

= luas spesifik (440 m2/m3)

AH

= volume kolom

Pi

= Fraksi mol inlet tekanan total

Po

= Fraksi mol outlet tekanan total

Persamaan tersebut menunjukkan bahwa semakin besar nilai koefisien


transfer massa gas, maka jumlah gas yang terlarut dalam liquid akan
lebih banyak. Selain itu, persamaan tersebut menunjukkan adanya
pengaruh tekanan kolom dalam menentukan nilai koefisien transfer
massa gas. Hal ini karena pengaruh adanya isian pada kolom yang
menyebabkan pressure drop yang selalu harus diperhitungkan dalam
kolom isian. Semakin besar pressure drop maka perpindahan massa gas
ke liquid akan semakin kecil.

2.7

Aplikasi Proses Absorbsi


Proses Pengolahan Gas Alam
Pada proses penghilangan senyawa asam pada gas alam (sweetening) dapat
digunakan proses absorbpsi dengan pelarut. Jenis pelarut yang sering
digunakan dalam industri pengolahan gas alam adalah pelarut amine.
Tujuan proses absorpsi pada gas sweetening adalah untuk :
1 Mencegah pembentukan senyawa asam
2 Meningkatkan nilai kalor gas alam,
3 Mencegah korosi selama transportasi dan distribusinya,
4 Mencegah polusi udara oleh SO2, yang dihasilkan selama pembakaran
H2S dalam gas alam, dan
5 Mencegah pembekuan air dalam jalur pipa pada pendistribusian gas
alam.

16

Gambar 2.8 Diagram Alir Proses Amine.

Pada gambar di atas, dapat dilihat bahwa feed yang dimasukkan


berupa gas alam yang masih mengandung senyawa asam yaitu CO2 dan
H2S. Feed masuk melalui bagian bawah kolom absoprsi packed bed.
Pelarut amine dimasukkan ke dalam kolom melalui bagian atas sehingga
terjadi kontak antara feed dengan pelarut. Dalam proses perpindahan
massa ini, senyawa asam akan terlarut ke dalam pelarut amine. Pelarut
amine yang telah jenuh dengan senyawa asam akan dikeluarkan dari
bagian bawah kolom absorber dan kemudian melalui proses regenerasi
untuk mendapatkan pelarut amine yang murni kembali. Sedangkan gas
alam yang telah murni dari gas asam, dialirkan melalui bagian atas kolom
absorber yang kemudian akan masuk ke dalam proses gas dehydration.
Dalam proses

ini,

liquid

dessicant

dehydrator

berfungsi

untuk

mengabsorpsi uap air dari aliran gas. Glikol, agen utama dalam proses ini,
memiliki afinitas kimia untuk air. Ini berarti bahwa, ketika glikol kontak
dengan aliran gas alam yang mengandung air, glikol akan berfungsi untuk
mengambil air dari aliran gas.
Pada dasarnya, dehidrasi glikol ini melibatkan penggunaan larutan
glikol, biasanya baik diethylene glycol (DEG) atau triethylene glycol
(TEG), yang dibawa ke dalam kontak dengan aliran wet gas yang disebut
dengan kontaktor. Laruan glikol akan mengabsorpsi air dari wet gas.

17

Setelah air diabsorpsi, partikel glikol menjadi lebih berat dan tenggelam ke
bagian bawah kontaktor di mana air dimana mereka di-remove. Gas alam
yang telah kehilangan sebagian besar kadar air, kemudian dibawa keluar
dari dehydrator tersebut. Larutan glikol, yang menanggung semua air yang
diambil dari gas alam, dimasukkan ke boiler yang khusus dirancang hanya
untuk menguapkan air dari larutan . Sementara air memiliki titik didih
212oF (100oC), glikol tidak mendidih sampai 400oF (204.4oC). Perbedaan
titik didih ini membuatnya relatif mudah untuk menghilangkan air dari
larutan glikol, dan memungkinkan digunakan kembali dalam proses
dehidrasi.
Proses Pembuatan Formalin
Formaldehid sebagai gas input dimasukkan ke dalam reaktor. Output
dari reaktor yang berupa gas yang mempunyai suhu 182 0C didinginkan
pada kondensor hingga suhu 55 0C,dimasukkan ke dalam absorber.
Keluaran dari absorber pada tingkat I mengandung larutan formalin
dengan kadar formaldehid sekitar 37 40%. Bagian terbesar dari metanol,
air,dan formaldehid dikondensasi di bawah air pendingin bagian dari
menara, dan hampir semua removal dari sisa metanol dan formaldehid dari
gas terjadi dibagian atas absorber dengan counter current contact dengan
air proses. Skema proses absorpsi yang terjadi dapat dilihat pada Gambar
2.8.

Gambar 2.9 Proses Absorpsi.

18

Proses Pembuatan Asam Nitrat


Tahap akhir dari proses pembuatan asam nitrat berlangsung dalam
kolom absorpsi. Pada setiap tingkat kolom terjadi reaksi oksidasi NO
menjadi NO2 dan reaksi absorpsi NO2 oleh air menjadi asam nitrat.
Kolom absorpsi mempunyai empat fluks masuk dan dua fluks keluar.
Empat fluks masuk yaitu air umpan absorber, udara pemutih, gas proses,
dan asam lemah. Dua fluks keluar yaitu asam nitrat produk dan gas buang.
Kolom absorpsi dirancang untuk menghasilkan asam nitrat dengan
konsentrasi 60 % berat dan kandungan NOx gas buang tidak lebih dari 200
ppm.

Gambar 2.10 Proses Pembuatan Asam Nitrat.

19

BAB III
HASIL PERCOBAAN
3.1

Data Pengamatan
Percobaan 1 : Absorpsi CO2 ke dalam Air pada Packed Column
Menggunakan Analisis Gas

Sample point

L1

V1 (ml)

40 ml

V2 (ml)

7.5 ml

dengan :
F1 = 6 liter/menit = 0,1 liter/sekon
F2 = 10 liter/menit = 0,17 liter/sekon
F3 = 15 liter/menit = 0,25 liter/sekon

Keterangan :
F1 : laju alir air masuk packed column
F2 : laju alir udara masuk packed column
F3 : laju alir CO2 masuk packed column
V1 : Volume CO2 dan udara pada pada analisis sample keluaran gas sisa
absorpsi (diukur dalam piston)
V2 : Volume CO2 yang terlarut dalam NaOH pada analisis sample keluaran
gas sisa absorpsi (diukur di dalam tabung liquid overspill).

Percobaan 2 : Absorpsi CO2 dalam Larutan NaOH Dengan Analisis


Larutan Cair

VB dari S4 (outlet)

Vol BaCl2

VB dari S5 (inlet)

Vol BaCl2

T1

T2

T3

untuk S4

T1

T2

T3

untuk S5

0.9

1.3

1.1

2.2

1.1

0.5

1.3

1.1

20

Sampel S4
T1

T2

Sample S4

Sample S5

Sampel S5

0.9 ml (HCl 1.1 ml (BaCl

1.1 ml (HCl +

1.3 (BaCl +

+ PP)

PP)

HCl)

+ HCl)

1.3 ml

0.5 ml (MO)

(MO)
T1-T2

0.4

0.6

dengan :
F1 = 3 liter/menit = 0.05 liter/sekon
F2 = 30 liter/menit = 0.5 liter/sekon
F3 = 3 liter/menit = 0.05 liter/sekon
Konsentrasi NaOH = 0.25 M
Konsentrasi HCl = 0.2 M
Volume sampel = 60 ml

Keterangan:
T1 = volume HCl yang dibutuhkan untuk menetralisir NaOH dan
mengubah karbonat menjadi bikarbonat
T2 = total volume HCl yang ditambahkan hingga mencapai end point
kedua atau volume HCl yang digunakan untuk menetralkan basa NaOH
dan Na2CO3 dalam ml
T3 = volume asam yang ditambahkan untuk menetralkan NaOH (dalam
ml)

3.2

Pengolahan Data
Percobaan 1 : Absorpsi CO2 ke dalam Air pada Packed Column
Menggunakan Analisis Gas

Kandungan CO2 Pada Sample Gas


Dari V1 dan V2 yang diketahui pada data, dapat dihitung fraksi volume dari
V

CO2 = V1
2

21

Dalam perhitungan tersebut, diasumsikan gas berperilaku sebagai gas ideal


sehingga,
fraksi volume = fraksi mol = Y
Pada percobaan ini juga dilakukan pengecekan terlebih dahulu pada
sample yang masuk ke dalam kolom absorpsi agar mempunyai nilai fraksi
CO2 yang sama seperti yang diindikasikan oleh flowmeter pada aliran
masuk.
Fraksi mol gas CO2 pada aliran gas masuk/inlet (Yi):
V1
F3
( ) = Yi =
V2
F2 + F3
V1
0.25 lt/sekon
( ) = Yi =
V2
0.17 lt/sekon + 0.25 lt/sekon
V1
( ) = Yi = .
V2
Fraksi mol gas CO2 pada aliran gas keluar/outlet (Yo):
Yo =
Yo =

V2
V1

7.5 ml
40 ml

Yo = .
Kandungan gas CO2 dapat ditentukan dengan menggunakan neraca massa
pada kolom absorber. Neraca massa yang terjadi adalah
in out = accumulation
(Fin Yin ) (Fout Yout ) = Fabsorbed
Fa adalah banyaknya CO2 yang diabsorpsi dari bagian atas kolom
absorber hingga bagian bawah. Oleh karena itu, neraca massanya menjadi
:
(F2 + F3 )Yi (F2 + (F3 Fa ))Yo = Fa
Fa =
Fa =

(Yi Yo )(F2 + F3 )
1 Yo

(0.595 0.1875)(0.17 lt/sekon + 0.25 lt/sekon)


1 0.1875
Fa = . /
22

Hasil

yang

didapatkan

dengan

satuan

liter/sekon

selanjutnya

dikonversikan menjadi g.mol/sekon (Ga), dengan persamaan di bawah:


Ga =

Fa
Pkolom mmHg
273

22.42
760 mmHg
Tkolom + 273

Dengan nilai Pkolom = 760 mmHg


Tkolom = 21 0C
Maka :
Ga =

0.211 760 mmHg


273

22.42 760 mmHg 21 + 273


Ga = 0.00874 g. mol/sekon
Ga = 0.5244 g. mol/menit

Maka, banyaknya CO2 yang diabsorbsi adalah . . /.

Koefisien Transfer Massa Gas


Pada perhitungan sebelumnya diketahui bahwa Ga merupakan jumlah CO2
terabsorpsi di dalam air. Pada perhitungan koefisien transfer massa
diasumsikan bahwa aliran volume tidak dipengaruhi oleh penurunan
tekanan sepanjang kolom. Pada packed column terdapat koefisien transfer
massa film (kya dan kxa) dan koefisien transfer massa overall (Kya).

Diketahui:
Yi = 0,5
Yo = 0,0466
Ga = 0.001998 g. mol/sekon
s = 440 m2
V=

(0.075)2 1,4 = 0,0062 m


4

Diameter partikel bed = 0,1 dm

23

Koefisien Transfer Massa Film


Volum packing =
=

Dp 3 jumlah bed
4

0.13 8913
4
= 6.997 dm3

kya =
k ya =

Ga
s volum packing Yi

0.00874
440 6.997x103 0.595

k y a = . . /

kxa =
k xa =

Ga
s volum packing Xi

0.00874
440 6.997x103 (1 0.595)

k x a = . . /
Koefisen Transfer Massa Overall
1
1
1
=
+
K y a/(1 Yo ) k y a/(1 Yi ) k x a/(1 Yi )
K

1
1
1
=
+
0.00477/(1 0.595) 0,00701/(1 0.595)
y a/(1 0.1875)
1
= 142.68
K y a/(1 0.1875)
= . . /

Pada perhitungan ini diasumsikan aliran volume tidak dipegaruhi oleh


penurunan tekanan sepanjang kolom.

24

Percobaan 2 : Absorpsi CO2 dalam Larutan NaOH Dengan Analisis


Larutan Cair

Inlet
1.

Penentuan konsentrasi NaOH pada sampel:


=
=

2.

3
0.2
60

1.3
0.2 = 0.0043
60

Penentuan konsentrasi Na2CO3 pada sampel:


3 2
0.2 0.5
60
1.3 0.5
=
0.2 0.5
60

23 =
23

23 = 0.0013
Outlet
1.

Penentuan konsentrasi NaOH pada sampel:


=
=

2.

3
0.2
60

1.1
0.2 = 0.0037
60

Penentuan konsentrasi Na2CO3 pada sampel:


2 3
0.2 0.5
60
1.3 1.1
=
0.2 0.5
60

23 =
23

23 = 0.00033
Penentuan Laju Absorpsi
a.

Penentuan absorbsi dari NaOH


= 1 =
1 =

1
[( ) ( ) ]
2

0.05
[0.0043 0.0037 ]
2

1 = 1.5 105 . /

25

b.

Penentuan absorbsi dari Na2CO3


23 = 2 = 1 [(23 ) (23 ) ]
2 = 0.05 (0.0013 0.00033 )
2 = 4.85 105 . /

Sehingga nilai dari laju absorpsi dari NaOH adalah sebesar


. . /
dan laju absorbsi dari Na2CO3 adalah
. . /.

26

BAB IV
ANALISIS

4.1 Analisis Alat dan Bahan


4.1.1 Analisis Alat
NO

NAMA

FUNGSI

ALAT
1

Kolom Absorbsi

Kolom absorpsi terbuat dari plastic cylindricals yang ditata di

packed column

dalam tabung silinder

secara

tidak

beraturan sebagai packing.

Packing berguna sebagai pembuat aliran turbulen pada absorben


sehingga gas

yang diabsorpsi lebih mudah masuk

ke

badan

cairan dan untuk menambah luas kontak antara absorben dan absorbat.
2

Flowmeter

dan Terdapat 3 buah flowmeter

Apparatus Hempl

CO2

dan

air

yaitu

berupa

flowmeter

udara,

serta apparatus Hempl. Untuk mengetahui

banyaknya absorbat yang terabsorpsi, yaitu dengan memutar atau


membuka valve T

kemudian dengan menarik piston agar level

fluida pada labu bergerak. Berikut ini prosedur penggunaan


apparatus hempl:
3

Sump Tank

Sump

tank

sebagai

tempat

berkumpulnya absorben yang

melarutkan gas pengotor karbondioksida kemudian dipompakan ke


atas. Selain itu sump tank juga sebagai tempat pembuatan
larutan NaOH sebanyak 3,75 liter 0,2 M pada percobaan kedua.
4

Tabung Gas

Sumber gas karbondioksida adalah tabung yang sangat kokoh

Karbondioksida

dengan pressure gauge seperti gambar di samping. Sumber udara


tersebut

tentunya

berasal

dari

kompresor yang berfungsi

menaikkan tekanan udara sehingga udara dapat teralirkan


5

Terdapat peralatan kimia lain berupa erlenmeyer, corong, buret, gelas ukur, statif,
timbangan digital, gelas beker, dan buret. Sebagaimana dalam

praktikum-praktikum

sebelumnya, alat-alat tersebut merupakan alat penunjang yang seringkali digunakan


untuk membantu kelancaran praktikum.

27

4.1.2 Analisis Bahan


NO

NAMA BAHAN

FUNGSI
NaOH

berfungsi

sebagai

absorben dari absorbat CO 2 yang


melarutkan gas CO 2
gas masuk

dari aliran

kolom abssorbsi yang

tercampur dengan udara. Dalam


1

NaOH 0,2 M

penggunaan bahan ini, harus hatihati dan jangan sampai menyentuh


tangan

karena

panas

dan

bersifat cukup

dapat menyebabkan

iritasi. Sehingga biasanya

digunakan

sarung tangan ataupun spatula untuk


HCl berfungsi sebagai larutan
menghindari kemungkinan buruk
lainnya.
standar yang

digunakan

titrasi sampel S4
2

HCl 0,2 M

dalam

dn S5

yang

ditambahkan dengan indikator PP


dan MO, serta setelah penambahan
BaCl2. Dalam penggunaan
ini

juga dibutuhkan

karena apabila

bahan

kehati-hatian

terkena

tangan

terlalu
banyak
maka
dapat
Air
merupakan
universal
menyebabkan
iritasi pelarut
atau gatal-gatal.
dimana
3

Air

dalam percobaan ini air

digunakan
dan

sebagai media absorben

pelarut

dalam

berbagai

preparasi bahan.
Berfungsi
4

Indikator PP

tercapainya

sebagai
titik

indikator

akhir titrasi tahap

awal untuk menetralisir anion karbonat

28

Indikator MO

Berfungsi sebagai indikator tercapainya


titik akhir pada titrasi tahap lanjut

Berfungsi
6

BaCl2

untuk

mengendapkan

semua anion karbonat menjadi barium


karbonat pada sampel kedua.

4.2 Analisis Percobaan


4.2.1

Analisis Percobaan Absorbsi CO2 ke dalam Air


Didalam percobaan ini, absorbsi CO2 ke dalam air yang bertujuan
untuk menghitung absorbsi yang terjadi dengan memperhatikan
kondisi gas inlet dan outlet. Absorbsi antara CO2 dan air terjadi
karena besarnya difusivitas molekul gas CO2 pada larutan absorben
(air). Difusi tersebut dipengaruhi oleh gradien konsentrasi zat
terlarut (solute), dimana dalam percobaan ini adalah CO2 antara gas
dan cairan yang yang dilewati.
Gas CO2 pada percobaan ini diasumsikan sebagai gas ideal,
sehingga fraksi volume dari gas akan sama dengan fraksi mol gas.
Oleh karena itu, dengan menggunakan data volume CO2, maka
dapat dilakukan analisis gas untuk mengetahui absorpsi CO2 ke
dalam air.
Laju alir air (6 L/menit) diatur agar lebih rendah dibanding laju alir
udara (10 L/menit) dan CO2 (15 L/menit). Hal ini dimaksudkan
agar air dapat berada lebih lama di dalam kolom, dan waktu kontak
antara ketiganya semakin lama, sehingga dapat mengabsorb jumlah
CO2 lebih banyak. Namun, tidak semua gas CO2 dalam percobaan
ini terabsorbsi dalam air, karena adanya beberapa faktor
penghambat seperti pressure drop di dalam kolom. Oleh karena itu,
untuk mengetahui banyaknya jumlah CO2 yang dapat terabsorbsi
oleh air dapat digunakan analisis gas sisa dengan peralatan Hempl.

29

Analisis gas sisa yang dimaksud di sini adalah pengukuran gas CO2
yang keluar (CO2 outlet) dari kolom absorber. Gas CO2 yang keluar
ini mengindikasikan jumlah gas CO2 yang tidak terabsorbsi oleh
air.
Sedangkan jumlah gas CO2 yang terabsorbsi oleh air dapat
ditentukan dengan menghitung selisih gas CO2 yang masuk ke
dalam kolom absorber dengan gas CO2 yang keluar. Gas CO2 yang
keluar kemudian akan masuk ke dalam peralatan Hempl untuk
dianalisis lebih lanjut.
Pada peralatan Hempl, sebelum digunakan sebaiknya disterilkan
dari keberadaan gas sisa yang terdapat di sekitar absorption globe,
hal ini agar gas yang berada dalam sistem dalam keadaan vakum
sehingga gas yang akan dianalisis tidak tercampur dengan gas lain.
Pada peralatan Hempl juga terdapat piston yang akan mendorong
gas outlet, kemudian piston akan menarik sampel gas dalam jumlah
tertentu. Sampel ini merupakan gas CO2 yang tidak terabsorbsi oleh
air. Selanjutnya, piston didorong untuk memasukkan sampel gas
ke dalam absorbtion globe yang berisi NaOH 1M yang berfungsi
untuk mengabsorbsi CO2. Volume CO2 yang telah terabsorbsi oleh
larutan NaOH yang ditunjukkan oleh skala yang dalam perhitungan
digunakan sebagai jumlah CO2 pada aliran keluar. Kemudian
piston ditarik kembali, dengan tujuan untuk menghilangkan udara
yang tidak terabsorpsi oleh NaOH ke atmosfer. Hal ini karena
NaOH hanya akan mengabsorpsi CO2 saja, tidak termasuk udara.

4.2.2

Analisis Percobaan Absorbsi CO2 ke dalam NaOH


Didalam percobaan ini absorbsi CO2 ke dalam NaOH pada packed
bed column menggunakan analisis larutan. Adapun yang dimaksud
dengan menggunakan analisis larutan ialah penentuan atau
perhitungan yang dilakukan untuk mendapatkan laju absorpsi CO2
ke dalam NaOH dengan mengukur banyaknya jumlah CO2 yang
terdapat dalam larutan berdasarkan perbedaan jumlah Na2CO3 yang

30

terdapat pada inlet dan outletnya. Perbedaan jumlah Na2CO3 pada


inlet dan outlet ini menandakan banyaknya CO2 yang terabsorbsi
ke dalamnya. Reaksinya adalah,
CO 2 2NaOH Na 2 CO 3 H 2 O

Terdapat tambahan pengukuran jumlah Na2CO3 pada inlet. Hal ini


dilakukan karena larutan yang berasal dari inlet tidaklah NaOH
murni, terdapat kemungkinan kandungan Na2CO3 yang berasal dari
reaksi antara CO2 dan NaOH pada kolom absorber. Hal ini dapat
terjadi dikarenakan siklus tertutup yang diberlakukan pada unit ini
dengan alasan efisiensi. Oleh karena itu, untuk menghitung jumlah
Na2CO3 yang ada dilakukan proses titrasi.
Setelah 15 menit, dan dianggap bahwa telah terjadi proses absorbsi
secara steady state, praktikan mengambil sampel secara bersamaan
pada S4 yang merupakan outlet (keluar dari absorber) dan S5 yang
merupakan inlet (masuk ke dalam kolom absorber). Pengambilan
sampel yang dilakukan melebihi jumlah yang diharuskan untuk
berjaga bila terdapat kesalahan pada proses titrasi selanjutnya.
Kemudian, larutan dari masing-masing tempat tersebut dibagi
menjadi dua bagian dengan jumlah yang sama (60 ml) dan diberi
perlakuan titrasi untuk masing-masing tempat. Untuk memudahkan
pemahaman pada analisis ini erlenmeyer akan diberi nama S41, S42
dan S51, S52 .

Titrasi 1
Titrasi yang dilakukan pada erlenmeyer S41 merupakan titrasi agar
didapatkan jumlah BaCl2 yang harus ditambahkan agar seluruh
Na2CO3 mengendap sehingga didapatkan jumlah NaOH di dalam
larutan pada erlenmeyer S51. Untuk mendapatkan jumlah BaCl2
yang harus ditambahkan, maka diperlukan,

Titrasi NaOH + HCl


Untuk tahap ini sampel (S4)1 dan (S5)1 diteteskan larutan pp
sebanyak satu tetes. Larutan yang awalnya berwarna bening

31

berubah menjadi berwarna ungu. Hal ini dikarena larutan sampel


mengandung senyawa yang bersifat basa yang dideteksi sebagai
NaOH dan Na2CO3. Hal ini mengindikasikan bahwa NaOH
telah bereaksi dengan HCl menjadi NaCl dan terbentuknya
NaHCO3. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut :
NaOH + HCl NaCl + H2O
Na2CO3 + HCl NaHCO3 + NaCl
Pada titrasi ini, volume HCl yang dibutuhkan untuk menetralkan
NaOH dan mengubah Na2CO3 menjadi NaHCO3 disebut dengan
volume T1. Setelah titrasi tahap satu ini, larutan akhir yang
berwarna bening kemudian mengalami titrasi tahap dua.

Titrasi Na2CO3 + HCl


Tujuan dari titrasi ini adalah untuk mendeteksi terbentuknya
H2CO3, oleh karena itu digunakan indikator methyl orange yang
trayek pH indikatornya berada di daerah asam. Ketika diteteskan
methyl orange warna sampel menjadi orange.
Pada kondisi ideal, setelah sampel dititrasi dengan HCl warna
sampel berubah menjadi merah muda. Hal ini menunjukkan
bahwa H2CO3 telah terbentuk. Dan volume HCl yang
dibutuhkan untuk mengubah NaHCO3 menjadi H2CO3 disebut
dengan volume T2. Akan tetapi, pada percobaan yang kami
lakukan, perubahan warna yang terjadi kurang signifikan
sehingga kami hanya mencatat volume saat larutan sedikit
berubah warna. Hal ini dikarenakan terdapatnya pengotor atau
zat-zat lain yang mengganggu proses titrasi.

Titrasi 2
Untuk titrasi 2 ini digunakan sampel (S4)2 dan (S5)2. Pada proses
ini, sebelum dititrasi dengan HCl, masing-masing sampel
ditambahkan dengan BaCl2. Volume BaCl2 yang ditambahkan
bervariasi, bergantung dari volume untuk titrasi tahap satu dan dua.

32

Penambahan BaCl2 ini dimaksudkan agar terjadi pengendapan


Na2CO3 ketika bereaksi dengan BaCl2 dengan reaksi sebagai
berikut :
Na2CO3 + BaCl2 BaCO3 + 2 NaCl
Pengendapan Na2CO3 dimaksudkan agar dalam proses titrasi ini
volume HCl yang dibutuhkan hanya untuk menetralkan NaOH
sehingga HCl tidak bereaksi dengan Na2CO3. Setelah ditambahkan
BaCl2 kemudian ditambahkan larutan pp sebagai indikator.
Kemudian NaOH dititrasi dengan menggunakan HCl menurut
reaksi :
NaOH + HCl NaCl + H2O
Volume HCl yang dibutuhkan untuk menetralkan NaOH disebut
dengan volume T3. Dari volume T3 ini dapat diperoleh konsentrasi
NaOH sisa yang tidak bereaksi membentuk Na2CO3 pada reaksi :
2 NaOH + CO2 Na2CO3 + H2O

4.3 Analisis Data dan Hasil Pengamatan


4.3.1

Analisis Gas pada Percobaan Absorbsi CO2 ke dalam Air


Data yang diperoleh dari percobaan ini adalah volume CO2.
Langkah pertama yang dilakukan adalah menghitung jumlah
kandungan CO2 pada sample yang masuk ke dalam packed column.
Kandungan CO2 dapat diketahui dengan menghitung fraksi CO2
pada aliran gas CO2 maupun udara. Kemudian dihitung jumlah CO2
yang diserap dalam kolom dari analisis sample dalam inlet dan
outlet. Dilakukan juga perhitungan fraksi volume CO2 pada aliran
gas outlet, yaitu dari nilai V2/V1, dimana V1 merupakan volume
CO2 dan udara pada sample yang akan diabsorbsi oleh NaOH.
Sedangkan V2 merupakan CO2 yang terabsorbsi oleh NaOH. Selain
itu, gas CO2 dianggap sebagai gas ideal sehingga dapat
menggunakan persamaan gas ideal. Sehingga didapat banyaknya
CO2 yang diabsorbsi,

33

= . . /
Sedangkan untuk koefisien transfer massa gas overall, Kya, dapat
dihitung dengan mengasumsikan bahwa aliran volume tidak
dipengaruhi oleh penurunan tekanan yang terjadi sepanjang kolom
(P=760 mmHg), karena penurunan ini nilainya sangat kecil jika
dibandingkan dengan tekanan atmosfer sehingga dapat diabaikan.
Nilai Koefisien Transfer massa gas overall yang didapat:
= . . /

4.3.2

Analisis Larutan pada Percobaan Absorbsi CO2 ke dalam


NaOH
Pada awalnya menghitung konsentrasi inlet dan outlet pada
percobaan ini supaya menghasilkan laju absorbsi yang diinginkan.
Alasan menggunakan analisis larutan ialah penentuan atau
perhitungan yang dilakukan untuk mendapatkan laju absorpsi CO2
ke dalam NaOH dengan mengukur banyaknya jumlah CO2 yang
terdapat dalam larutan berdasarkan perbedaan jumlah Na2CO3 yang
terdapat pada inlet dan outletnya. Perbedaan jumlah Na2CO3 pada
inlet dan outlet ini menandakan banyaknya CO2 yang terabsorb ke
dalamnya. Reaksinya adalah:
CO 2 2NaOH Na 2 CO 3 H 2 O

Tabel. Hasil Pengolahan Data Analisis Larutan


Laju Absorbsi
(gmol/min)
NaOH

0.000015

Na2CO3

0.000048

Seharusnya sesuai dengan reaksi NaOH dan CO2, laju alir


pemakaian NaOH sama dengan setengah kali laju pembentukan
Na2CO3 (NaOH: Na2CO3 = 2:1). Akan tetapi, pada hasil
pengolahan data terdapat perbedaan nilai laju pemakaian NaOH

34

dengan laju terbentuknya Na2CO3 dimana perbedaan tersebut tidak


mengikuti teori seharusnya dengan perbandingan 2:1. Laju
terbentuknya NaOH adalah 1.5 x 10-5 gmol/min sedangkan laju
pembentukan Na2CO3adalah 4.8 x 10-5 gmol/min.
Perbedaan itu dapat disebabkan oleh belum tercapainya kondisi
steady saat dilakukan pengambilan sampel. Selain itu, pengambilan
sampel sebaiknya dilakukan beberapa kali sehingga dapat diketahui
tren laju pemakain NaOH dan laju pembentukan Na2CO3, karena
dalam hal ini belum tentu konversi dari CO2 adalah 100%.

4.3.3

Perbandingan Analisis Gas dan Analisis Larutan


Tabel. Perbandingan Laju Absorbsi
Laju absorbsi
(gmol/min)
Analisis Gas
Analisis Larutan

0.5244
0.00004835

Berdasarkan tabel perbandingan diatas, dapat disimpulkan bahwa


laju absorbsi yang didapatkan saat meng-analisis gas lebih besar
dari laju absorbsi yang didapatkan saat meng-analisis gas. Hal ini
dikarenakan,

Kondisi laju alir inlet air, udara, CO2 (F1, F2, F3) yang berbeda
Hal ini memungkinkan adanya perbandingan optimum yang
seharusnya di set untuk mencapai laju absorbsi yang optimum.
Sehingga, dalam percobaan ini perbandingan F1: F2: F3 =
6:10:15 menghasilkan laju absorbsi yang lebih besar dari
perbandingan F1: F2: F3 = 3:30:3

Absorben yang dipakai


Pada analisis gas, absorben yang dipakai adalah air (senyawa
netral). Sedangkan pada analisis larutan, absorben yang
diapakai adalah NaOH (senyawa basa). Perbedaan absorben
sangat mempengaruhi difusivitas absorbat kedalam absorben.
Gas CO2 dapat lebih mudah bereaksi dengan NaOH daripada

35

bereaksi dengan air, hal ini dikarenakan energi deaktivasi Gas


CO2 cukup tinggi untuk berikatan dengan air. Untuk itu,
analisis larutan seharusnya dapat mengabsorbsi gas CO2 yang
lebih besar.
Namun, pada hasil percobaan ini terjadi sebaliknya. Hal ini
dapat dikarenakan, pada analisis gas kondisi yang ditinjau
hanya inlet dan outlet, tanpa melalui tahap titrasi seperti
analisis larutan. Dikarenakan proses analisis gas yang
sederhana, laju absorbsi yang didapatkan juga kurang
terkoreksi sehingga menghasilkan jumlah yang lebih besar.
Sedangkan pada analisis larutan, kondisi yang ditinjau berupa
inlet dan outlet, dan 2 tahap titrasi, sehingga banyak
kandungan gas CO2 yang terkoreksi sehingga menghasilkan
laju absorbsi yang lebih kecil.
4.4 Analisis Kesalahan
Berdasarkan hasil pengolahan data, dapat dilihat bahwa data yang
didapat masih kurang sesuai dengan teori yang ada. Hal ini dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
Kesalahan pada alat
Aliran air yang kurang merata ke seluruh bagian dari packed column.
Air terkadang hanya mengalir pada pinggir atau tengah kolom.
Penentuan waktu apakah kondisi packed column telah steady yang
kurang tepat. Hal itu disebabkan praktikan mengalami kesulitan untuk
melihat apakah aliran air telah merata.
Kemungkinan adanya kebocoran pada saluran pipa, sehingga laju alir
yang terbaca pada flowmeter menjadi berkurang keakuratannya.

Kesalahan pada praktikan


Kesalahan

pembacaan

skala

pada

manometer

yang

dapat

mempengaruhi data hasil percobaan.


Kesalahan dalam membaca skala titrasi pada buret.

36

Saat melakukan penggambilan sampel S4 dan S5 tidak benar-benar


pada waktu yang bersamaan sehingga juga mempengaruhi konsentrasi
NaOH dan Na2CO3 yang diperoleh.

37

BAB V
KESIMPULAN

Dari keseluruhan percobaan, diperoleh beberapa kesimpulan antara lain :

Absorbsi adalah peristiwa perpindahan massa yang melibatkan pelarutan


suatu bahan dari fase gas ke fase cair dengan tujuan untuk memisahkan
gas tertentu dari campuran gas gas dengan menggunakan pelarut.

Absorbsi adalah peristiwa yang memanfaatkan prinsip perpindahan


senyawa dengan densitas lebih rendah ke senyawa dengan densitas lebih
tinggi. Sehingga udara dan CO2 yang merupakan senyawa yang memiliki
densitas lebih rendah akan terabsorbsi oleh air.

Tujuan dari operasi absorpsi adalah memisahkan gas tertentu dari


campuran gas-gas dengan menggunakan pelarut/absorben.

Penggunaan packing pada kolom absorbsi untuk memperbesar luas


permukaan kontak.

Absorpsi CO2 ke dalam air dapat terjadi karena adanya perbedaan densitas
antara pelarut udara yang merupakan pelarut awal CO2 dengan air.

Laju CO2 yang terabsorpsi ke dalam air dapat diketahui dengan cara
membandingkan fraksi mol CO2 pada bagian inlet kolom dengan bagian
outlet.

Absorpsi CO2 ke dalam NaOH terjadi karena adanya reaksi antara CO2
yang bersifat asam serta NaOH yang bersifat basa, yang kemudian
menghasilkan garam Na2CO3 dan air.

Laju CO2 yang terabsorpsi dapat dilihat dari laju NaOH yang digunakan
serta reaksi serta laju Na2CO3 yang terbentuk selama reaksi.

Laju absorbsi gas CO2 pada air menggunakan analisis gas sebesar 0.5244
gmol/menit

Laju absorbsi gas CO2 pada NaOH menggunakan analisis gas sebesar
0.000048 gmol/menit

38

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1995. Petunjuk Praktikum Proses & Operasi Teknik II. Depok :
Departemen Gas & Petrokimia Fakultas Teknik
Treyball, Robert E. 1981. Mass Transfer Operations. New York : McGraw-Hill
Gozan, Misri. 2006. Absorpsi, Leaching dan Ekstraksi pada Industri Kimia.
Jakarta : UI Press

39

Anda mungkin juga menyukai