Anda di halaman 1dari 12

YURISPRUDENSI HAKIM SEBAGAI SALAH SATU UPAYA MENCARI

KEADILAN DALAM PENEGAKAN HUKUM

A. PENDAHULUAN
Hukum mempunyai relevansi yang erat dengan keadilan. Bahkan ada orang
yang berpandangan bahwa hukum harus digabungkan dengan keadilan, supaya
sungguh-sungguh berarti sebagai hukum. Hanya melalui suatu tata hukum yang adil
orang dapat hidup dengan damai menuju kebahagiaan. Hakikat hukum adalah
membawa aturan yang adil dalam masyarakat. Hukum harus mengadakan peraturan
yang adil tentang kehidupan masyarakat, sebagaimana dicita-citakan. Hukum
mengandung suatu tuntutan keadilan. Diharapkan seluruh ketentuan yang mengatur
segala perilaku atau keadaan manusia dalam kehidupan mencerminkan rasa keadilan.
Aristoteles dalam karyanya Nicomachean Ethics menempatkan keadilan
sebagai keutamaan yang paling penting dalam hukum.. Alasannya, keadilan
merupakan keutamaan yang lengkap dibandingkan dengan keutamaan yang lain
karena pelaksanaannya selalu berkaitan dengan orang atau pihak lain. Bertindak adil
berarti melakukan sesuatu demi kebaikan tanpa syarat apapun. Pada kontek hukum,
keadilan sebagai norma moral mendapat tempat yang kongkret dalam penegakan
hukum, dalam arti keadilan menjadi perspektif pengambilan keputusan. Bahwa
keadilan menjadi titik tolak bagi seorang hakim dalam pengambilan keputusan.[1]
Pada kontek ini Keadilan dipandang dari perspektif pengambilan keputusan
dalam proses penegakan hukum. Penegakan hukum mana dilakukan oleh kekuasaan

Hakim. Hendaknya tindakan Hakim pada saat pengambilan keputusan terhadap


perkara yang sedang dihadapi mempertimbangkan dampak yang terjadi bagi
masyarakat luas. Pertimbangan moral dalam pengambilan keputusan oleh Hakim
menjadi hal yang pokok, terutama prinsip moral berperan sebagai uji kritis terhadap
hukum positif.

[2]

Hakim dalam pengambilan keputusan terhadap perkara yang sedang dihadapi,


tidak sekedar sebagai terompet undang-undang saja. Hakim seyogianya mendasarkan
putusannya sesuai dengan memperhatikan kesadaran hukum dan perasaan hukum
serta kenyataan-kenyataan yang sedang hidup di dalam masyarakat, ketika putusan itu
dijatuhkan. Upaya mencari hukum yang tepat dalam rangka penyelesaian suatu
perkara yang dihadapkan kepadanya, Hakim yang bersangkutan dapat melakukan
Penemuan Hukum. Pranata hukum Yurisprudensi sebagai salah satu pranata yang
dapat dipergunakan hakim dalam upaya untuk menegakan keadilan.
Hadirnya Yurisprudensi dalam proses pengambilan keputusan oleh Hakim,
pada saat Hakim dihadapkan pada kasus hukum dan mengalami bahwa hukum yang
ada tidak mewadai untuk memecahkan persoalan. Hakim dituntut untuk memiliki
keberanian mengambil keputusan yang berbeda dengan ketentuan normatif undangundang, sehingga keadilan substanstif dapat diwujudkan melalui putusan hakim.
Keadilan substantif bukan berarti Hakim harus selalu mengabaikan bunyi
undang-undang. Melainkan, dengan keadilan substantif berarti hakim bisa
mengabaikan undang-undang yang tidak memberi rasa keadilan, tetapi tetap
berpedoman pada formal undang-undang yang sudah memberi rasa keadilan sekaligus
menjamin kepastian hukum. Ini berarti bahwa apa yang secara formal benar bisa saja

disalahkan secara materiil dan substansinya melanggar keadilan. Demikian


sebaliknya, apa yang secara formal salah bisa saja dibenarkan jika secara materiil dan
substansinya sudah cukup adil[3]
Untuk mewujudkan suatu keadilan yang substantif tentunya harus
menyelaraskan antara substansi hukum, struktur hukum dan kultur hukum dengan
hukum yang dibutuhkan masyarakat. Realitas objektif didalam kehidupan sehari-hari,
sering kali terjadi benturan antara materi hukum (substansi) dengan kebutuhan hukum
masyarakat yang terkadang belum terakomodir dalam hukum positif. yakni dengan
menelaah kembali sumber-sumber hukum yang berlaku. Adanya ruang kebebasan bagi
hakim untuk menggarap peraturan-peraturan hukum dengan cara mempelajari sebab
akibatnya dalam hubungannya dengan kenyataan-kenyataan sosial dalam masyarakat.

[4]

B. PEMBAHASAN
Penegakan hukum tidak lepas dari konsep hukum yang mendasari pemikiran
dalam menentukan cara-cara yang dijalankan dan dikembangkan untuk mencapai
tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Pemahaman mengenai konsep hukum dan
pemikiran itu, telah disadari terdapat perbedaan paradigmatik diantara para penegak
hukum (hakim) dalam memandang hakikat hukum. Dalam ilmu hukum terdapat
berbagai aliran pemikiran yang meggunakan paradigma-paradigma tertentu.
Paradigma tersebut, yaitu :[5]
1. Yuridis - dogmatis, yaitu suatu cara pendekatan di mana diolah peraturan-

peraturan hukum dengan logika aka1 saja dan selanjutnya pengertian-pengertian


hukum tersebut diberlakukan hanya dengan aka1 logika tanpa memperhitungkan
kenyataan dan keadilan (dogma adalah ajaran atau pendapat yang diterima begitu saja
tanpa menyelidiki benar tidaknya);
2. Kausal-empiris/sosiologis, ialah suatu cara pendekatan yang menggarap
peraturan-peraturan hukum dengan cara mempelajari sebab akibatnya dalam
hubungannya dengan kenyataan-kenyataan sosial dalam masyarakat;
3.

Filosofis/idealis/ideologis, yaitu metode pendekatan yang menggarap

peraturan,peraturan hukum dengan mempelajari hubungannya dengan hal-ha1 yang


timbul dari ide-ide atau cita-cita atau hasil pemikiran manusia.
Pembedaan terhadap paradigma ini tidak dimaksudkan untuk menyekat
sedemikian rupa sehingga masing-masing model paradigma memisahkan diri satu
sama lainnya. Pemisahan masing-masing model paradigma ini berimplikasi negatif
terhadap proses penegakan hukum oleh Hakim. Sehingga tujuan dari penegakan
hukum oleh Hakim yaitu keadilan yang dicita-citakan atau dikehendaki oleh
masyarakat luas tidak tercapai.
Idealnya Hakim menggunakan ketiga paradigma itu sebagai konsep dasar
pemikiran atau pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Penggunaan ketiga
metode

pendekatan

itu,

hendaknya

selalu

bermuara

pada

paradigma

filosofi/idealis/ideologis sebagai pertimbangan yang harus digunakan Hakim.


Paradigma filosofi meyakini bahwa norma moral tidak akan lepas dari hukum,
terutama karena prinsip moral berperan sebagai uji kritis terhadap hukum positif.
Ronald Dowrkin, pemikir hukum kontemporer, menegaskan hal serupa namun

dengan memberikan penekanan pada isi hukum. Hadirnya pranata hukum


Yurisprudensi dalam proses penegakan hukum oleh Hakim, menjadi bukti yang jelas
untuk maksud tersebut. Menurut Dowrkin, yang menjadi pertimbangan pertama dalam
Yurisprudensi bukan persoalan fakta dan strategi hukum melainkan dengan masalah
moral. Hakim dibenarkan untuk mencari penyelesaian masalah dengan bimbingan
moral yang rasional. Di tengah kebutuhan hukum positif yang sedang berhadapan
dengan kasus berat, Hakim dibenarkan untuk menggunakan pertimbangan moral
dalam penyelesaiannya. Posisi moral dalam hukum bukan selalu bersifat serba
subyektif. Pertanggung jawaban moral selalu menuntut argumen yang secara rasional
dapat diuji oleh siapapun.[6]
Konsekuansi logis terhadap perbedaan paradigma diatas berdampak pada
perbedaan teori-teori yang dibangun dan dikembangkan. Sebagai kelanjutan dari
perbedaan paradigma tersebut, maka metode yang digunakan untuk memahami
keadilan substansinya pun berbeda. Paradigma dipahami sebagai asumsi-asumsi dasar
yang ingin kita kembangkan, yang kita yakini benar dan yang nantinya menentukan
cara pandang kita tentang obyek yang kita telaah.[7]
Asumsi-asunsi dasar inilah, yang menimbulkan perbedaan cara pandang
penegak hukum pada saat dihadapkan dengan perkara yang harus diselesaikan.
Berawal dari perbedaan cara pandang atau paradigma ini, maka menimbulkan
beberapa aliran-aliran yang menggambarkan hubungan hukum dengan Hakim dalam
penegakan hukum, yaitu :[8]
(1) Aliran Legis (pandangan Legalisme), menyatakan bahwa hakim tidak boleh

berbuat selain daripada menerapkan undang-undang secara tegas. Hakim hanya


sekedar terompet undang-undang. Menurut ajaran ini, undang-undang dianggap
sebagai suatu sistem logis yang berlaku bagi semua perkara, karena sifatnya rasional.
Tokoh-tokohnya antara lain John Austin, Hans Kelsen.
(2) Aliran Penemuan Hukum Oleh Hakim.
(a) Aliran Begriffsjurisprudenz, mengajarkan bahwa sekalipun benar undangundang itu tidak lengkap, namun undang-undang masih dapat menutupi kekurangankekurangannya sendiri, karena undang-undang memiliki daya meluas, dan hukum
sebagai sistem tertutup. Kekurangan undang-undang menurut aliran ini hendaknya
diisi oleh Hakim dengan penggunaan hukum-hukum logika (silogisme) sebagai dasar
utamanya dan memperluas undang-undang berdasarkan rasio sesuai dengan
perkembangan teori hukum berupa sistem pengertian-pengertian hukum (konsepkonsep yuridik) sebagai tujuan bukan sebagai sarana, sehingga Hakim dapat
mengwujudkan kepastian hukum.
(b) Aliran Interessenjurisprudenz (Freirechtsschule), menyatakan Hakim dan
pejabat lainnya mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya untuk melakukan
penemuan hukum, tidak sekedar menerapkan undang-undang, tetapi juga mencakupi
memperluas, mempersempit dan membentuk peraturan dalam putusan Hakim dari
tiap-tiap perkara konkrit yang dihadapkan padanya, agar tercapai keadilan yang
setinggi-tingginya, dan dalam keadaan tertentu Hakim bahkan boleh menyimpang dari
undang-undang, demi kemanfaatan masyarakat.
Jadi yang diutamakan bukanlah kepastian hukum, karena peraturan
perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian internasional dan

doktrin hanyalah sebagai pengantar atau Pembuka jalan, pedoman dan bahan
inspirasi atau sarana bagi Hakim untuk membentuk dan menemukan sendiri
hukumnya yang dinyatakan dalam putusannya atas suatu perkara yang diadilinya dan
dihadapkan padanya itu.
Tokoh-tokoh aliran ini antara lain O. Bulow, E. Stampe dan E. Fughs.
(c)

Aliran

Soziologische

Rechtsschule,

mengajarkan

bahwa

Hakim

seyogianya mendasarkan putusannya sesuai dengan dan memperhatikan kesadaran


hukum dan perasaan hukum serta kenyataan-kenyataan masyarakat, yang sedang
hidup di dalam masyarakat ketika putusan itu dijatuhkan.
Tokoh-tokoh aliran ini antara lain Arthur Honderson, J. Valkhor, A Auburtin
dan G. Gurvitch.
(d) Ajaran Paul Scholten. Sistem hukum itu tidak statismelainkan sistem
terbuka, open system van het recht, karena sistem hukum itu membutuhkan putusanputusan (penetapan-penetapan) dari hakim atas dasar penilaian dan hasil dari penilaian
itu menciptakan sesuatu yang baru dan senantiasa menambah luasnya sistem hukum
tersebut.
Dalam mencarikan hukum yang tepat dan melakukan Penemuan hukum, guna
memberikan putusan atas dan terhadap peristiwa konkrit yang dihadapkan padanya
tersebut, Hakim akan mengolah sumber-sumber hukum baik yang telah tersedia
maupun yang belum tersedia, dengan cara mengambil rujukan utama dari sumbersumber tertentu yang secara hirarkis berturut dan bertingkat dimulai dari hukum
tertulis (peraturan perundang-undangan) sebagai sumber utama, apabila tidak
ditemukan barulah ke hukum kebiasaan atau hukum tidak tertulis, kemudian

yurisprudensi, begitu seterusnya dilanjutkan pada perjanjian internasional barulah


doktrin dan ilmu pengetahuan.
Hakim menerapkan peraturan perundang-undangan (hukum tertulis) sebagai
sumber utama dalam rangka melakukan pembentukan hukum, mencarikan hukum
yang tepat dan penemuan hukum terhadap suatu perkara tersebut, dihadapkan dalam
beberapa keadaan, yaitu dengan cara dan sesuai dengan keadaan yang ditemuinya
sebagai berikut:
a. Bilamana materi ketentuan dari peraturan perudang-undangan yang
mengatur perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut, telah ada dan telah jelas,
maka Hakim menerapkan ketentuan tersebut;
b. Bilamana materi ketentuan dari peraturan perudang-undangan yang
mengatur perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut, telah ada, akan tetapi tidak
jelas arti dan maknanya, maka Hakim yang bersangkutan melakukan interpretasi atas
materi ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut.
c. Bilamana materi ketentuan dari peraturan perudang-undangan yang
mengatur perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut, tidak atau belum ada
pengaturannya, maka usaha yang ditempuh oleh Hakim yang bersangkutan adalah
mengisi kekosongan tersebut dengan melakukan penalaran logis.

C. PENUTUP
Perbedaan Paradigma yang digunakan untuk membangun teori-teori, metode
dan pengembangan konsep hukum dalam bingkai penegakan hukum oleh Hakim
hendakya bukan menjadi penyebab tidak tercapainya keadilan substantif yang dicita-

citakan oleh para pencari keadilan dan masyarakat luas.


Idealnya Hakim menggunakan ketiga paradigma itu sebagai konsep dasar
pemikiran atau pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Penggunaan ketiga
metode

pendekatan

itu,

hendaknya

selalu

bermuara

pada

paradigma

filosofi/idealis/ideologis sebagai pertimbangan yang harus digunakan Hakim.


Yurisprudensi merupakan salah satu pranata hukum yang digunakan Hakim
sebagai

proses

penemuan

hukum

(sumber

hukum),

hendaknya

selalu

mempertimbangan norma moral terutama karena prinsip moral berperan sebagai uji
kritis terhadap hukum positif.

DAFTAR PUSTAKA

Dr. Andrea Ata Ujan,SH,MH, Filsafat Hukum, Membangun Hukum, Membela


Keadilan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2009;

Bahrul
Penegakannya,

Ilmi

Yakup,SH,LLM,

Keadilan

Substantif

dan

Problematika

http://www.situshukum.com/kolom/keadilan-substantif-dan-

problematika-penegakannya.shkm, 2010;

Dansur,

Peran

Hakim

dalam

Penemuan

Hukum,

http://www.blogster.com/dansur/peranan-hakim-dalam-penemuan, 2006;

Prof. Dr.Yusriyadi,SH,MS, Paradigma Positivisme dan Implikasinya Terhadap


Penegakan Hukum di Indonesia, Makalah pada diskusi panel kerjasama Asean
Fundation dan Undip dalam rangka Peringatan Dies Natalis yang ke 46, 2004.

[1] Andrea Ata Ujan, FILSAFAT HUKUM, Membangun Hukum, Membela


Keadilan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2009, hal. 151.

[2] Ibid. hal. 153


[3] Bahrul Ilmi Yakup, Keadilan Substantif dan Problematika Penegakannya,
http://www.situshukum.com/kolom/keadilan-substantif-dan-problematikapenegakannya.shkm, hal. 3
[4] Yusriyadi, Paradigma Positivisme dan Implikasinya Terhadap Penegakan
Hukum di Indonesia, Makalah pada diskusi panel kerjasama Asean Fundation dan
Undip dalam rangka Peringatan Dies Natalis yang ke 46, 2004, hal. 5

[5] Yusriyadi, Paradigma Positivisme dan Implikasinya Terhadap Penegakan


Hukum di Indonesia, Makalah pada diskusi panel kerjasama Asean Fundation dan
Undip dalam rangka Peringatan Dies Natalis yang ke 46, 2004, hal. 3

[6] Andrea Ata Ujan, FILSAFAT HUKUM, Membangun Hukum, Membela


Keadilan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2009, hal. 155.
[7] Yusriyadi, Op. cit. hal. 3

[8] Dansur, Peran Hakim dalam Penemuan Hukum,


http://www.blogster.com/dansur/peranan-hakim-dalam-penemuan, 2006, hal10

TUGAS TEORI HUKUM

Bagus Hibridiawan
156010202111027
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MAGISTER KENOTARIATAN
2016

Anda mungkin juga menyukai