ULKUS DM
Oleh:
Alia Nessa Utami (0906507772)
Lutfie (0906487871)
Narasumber:
dr. Suhartono, SpB(K)BV
ILUSTRASI KASUS
I.
II.
Identitas
Nama
Tanggal lahir
Usia
RM
Alamat
Pendidikan terakhir
Pekerjaan
Agama
Status pernikahan
Masuk Rumah Sakit
: Tn. MP
: 21 Oktober 1959
: 54 tahun
: 371-55-88
: Jl. S. Kampar XI No. 793, RT 014/01, Cilincing
: SMA
: Wiraswasta
: Kristen protestan
: Sudah menikah
: 28 November 2013
sejak timbul luka yang tidak sembuh di tungkai bawah kanan 1 bulan SMRS. 1 bulan yang
lalu, tiba-tiba muncul luka di jempol kaki kanan dan punggung kaki kanan. Luka timbul
setelah pasien memakai sepatu yang rutin dipakai oleh pasien ke tempat kerja. Riwayat
trauma disangkal. Luka dirasa nyeri seperti berdenyut, VAS 4-5. Keluhan demam ada, namun
pasien hanya mengonsumsi obat warung. Setiap hari, pasien merawat luka sendiri di rumah,
kemudianluka bertambah luas dan semakin nyeri. Pasien kemudian berobat ke klinik,
diberikan antibiotik (pasien lupa nama antibiotik tersebut).
Sejak 1 minggu SMRS, luka bertambah luas, pasien semakin tidak kuat untuk berjalan
dan beraktivitas. Nyeri semakin bertambah hingga pasien susah tidur, di daerah luka, VAS 67, dirasa berdenyut.
Sejak 3 hari SMRS, nyeri di kaki memberat, dirasa berdenyut dengan VAS 7-8.
Keluhan disertai dengan demam yang terus menerus dan nafsu makan menurun. Mualmuntah disangkal.
Pasien memiliki riwayat luka sebelumnya di tungkai atas kiri sejak 2 tahun yang lalu. 1
tahun yang lalu, luka kembali muncul di tungkai bawah kiri. Pasien kemudian menjalani
operasi untuk membersihkan luka tungkai atas dan bawah kiri.
Pasien telah didiagnosis diabetes melitus sejak 14 tahun yang lalu, saat itu mengeluh
cepat lapar, cepat haus, dan sering buang air kecil (3P +). Sejak 14 tahun yang lalu, pasien
memiliki riwayat luka yang sukar sembuh dan timbul bisul kehitaman, terutama di jari-jari
tangan dan kaki. Pasien mengontrol gula dengan glucophage 3x1 tab, rutin kontrol ke poli.
Keluhan pandangan kabur ada, pasien belum berobat. Keluhan tangan kaku dan
kesemutan disangkal. Riwayat keluhan sesak napas ada, pasien dikatakan memiliki sakit
jantung sejak 1 tahun yang lalu.
Selama perawatan, pasien telah menjalani operasi debridement 1x. Saat itu juga
dilakukan pemasangan CuraVAC. Pasien juga telah menjalani terapi heparin.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat hipertensi dan asma disangkal. Pasien pernah dirawat di rumah sakit 1 tahun
yang lalu, saat itu dikatakan memiliki sakit jantung dan paru-paru terendam air. 1 tahun yang
lalu, pasien juga menjalani operasi untuk membersihkan luka yang terdapat pada tungkai
kirinya.
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat hipertensi, diabetes melitus, asma, dan alergi di keluarga disangkal. Riwayat
terdapat penyakit jantung dan paru di keluarga disangkal. Keluhan serupa di anggota keluarga
lain disangkal.
Riwayat Sosial
Pasien bekerja sebagai kontraktor, telah bekerja sejak 21 tahun yang lalu. Saat ini
pasien memiliki 4 orang anak dan membayar dengan menggunakan KJS (Kartu Jakarta
Sehat). Sehari-hari, pekerjaan pasien sebagai kontraktor membuat pasien harus memakai
sepatu yang sempit untuk naik dan turun tangga. Sebelumnya, pasien tidak pernah
menggunakan sepatu khusus untuk penyandang kaki diabetik.
Hingga saat ini, pasien masih menjalani diet DM, berat badan telah turun sebanyak 22
kg dalam 14 tahun terakhir. Pasien jarang berolahraga. Selama 30 tahun, pasien merokok 5
bungkus/hari. Semenjak 5 tahun yang lalu (2009), pasien telah berhenti merokok. Konsumsi
alkohol disangkal.
III.
: kompos mentis
Keadaan umum
Tekanan darah
: 100/60 mmHg
Nadi
: 83x/menit
Suhu
: 36,7C
Pernapasan
: 20x/menit
Kulit
Warna kulit sawo matang, tidak tampak pucat, tidak terdapat ikterik dan hiperpigmentasi,
turgor baik.
Mata
Konjungtiva pucat tidak ada dan sklera ikterik tidak ada
Tenggorokan
Uvula di tengah, arkus faring simetris, tonsil T1-T1
Gigi Dan Mulut
Oral hygiene baik, tidak ada gigi berlubang
Leher
Posisi trakea ditengah, tidak ada pembesaran KGB dan tiroid, JVP 5-2 cmH2O
Jantung
A : Bunyi Jantung I dan II reguler, murmur tidak ada, gallop tidak ada
Paru
A : Vesikuler/vesikuler, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada
Abdomen
I :Datar, lemas, tidak tampak benjolan
P : Nyeri tekan tidak ada, tidak teraba pembesaran hati dan limpa, nyeri ketok CVA -/-,
ballotement -/P : Timpani, shiffting dullness tidak ada
A : Bising usus normal 3x/menit
Ekstremitas
Akral hangat, edema tidak ada, CRT < 2 detik, arteri dorsalis pedis tidak teraba dan
simetris kanan maupun kiri (lengkap lihat status lokalis)
Status Lokalis
(Pre-op) Tampak jaringan parut hipertrofik pada 1/3 proksimal regio femur
Kaki Kanan
Palpasi: tidak teraba
Kaki Kiri
Palpasi: tidak teraba
Tekanan sistolik: 60
Pulsasi: tidak teraba
Tekanan sistolik: 60
Pulsasi: tidak teraba
Tekanan sistolik: TD sistolik arteri brachialis: 100 / 100 mmHg (kanan / kiri)
Tekanan sistolik: -
tendon.
I: Riwayat infeksi dengan manifestasi sistemik: demam, leukositosis, instabilitas
Gambar 3. Regio Cruris Dextra (pre-op) Gambar 4. Regio Cruris Dextra (post-op)
(terbalut verban)
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (16/1/2014) pre-op
Nilai Rujukan
Darah perifer lengkap
Hemoglobin
13-17
Hematokrit
40-50
Eritrosit
4,5-5,5
MCV/VER
80,0-95,0
MCH/HER
27,0-31,0
MCHC/KHER
32,0-36,0
Jumlah trombosit
150-400
Jumlah leukosit
Elektrolit
5-10
132-147
3,30-5,40
94,0-111,0
A1C
b.
13-17
Hematokrit
40-50
Eritrosit
4,5-5,5
MCV/VER
80,0-95,0
MCH/HER
27,0-31,0
MCHC/KHER
32,0-36,0
Jumlah trombosit
150-400
Jumlah leukosit
5-10
Hitung Jenis
Basofil
0,5-1,0
Eosinofil
1-4
Neutrofil
55,0-70,0
Limfosit
20-40
Monosit
2-8
0-10
Ureum darah
<50
Kreatinin darah
0,8-1,3
eGFR
Hemostasis
79,0-117,0
PT
Pasien
9,8-12,6
Kontrol
APTT
Pasien
31,0-47,0
Kontrol
c.
Radiologi
10
V.
o
o
o
o
VI.
Daftar Masalah
Ulkus DM pedis et cruris dekstra pro debridement + STSG
PAD
DM tipe II
CHF fc. II-III
Tata Laksana (23/01/2014)
Kontrol mekanik: istirahatkan kaki
Kontrol luka
o Rencana tutup luka dengan STSG (soft tissue skin graft)
Kontrol infeksi: Ciprofloxacin 2x400 mg iv
Kontrol metabolik: Lantus 1x6 unit sc, Novorapid 3x8 unit sc
Kontrol edukasi
Atasi nyeri
o Tramadol 3x50 mg
VII. Prognosis
Ad vitam
Ad fungsionam
: bonam
: dubia ad bonam
Ad sanasionam
: dubia ad bonam
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Ulkus DM
Kaki diabetik merupakan komplikasi kronik Diabetes Melitus (DM) yang paling
kompleks karena melibatkan tindakan amputasi. Angka kematian akibat ulkus atau gangren
DM di Indonesia berkisar 17-23%, sedangkan angka amputasi saat ini berkisar 15-30%.1
II. Patofisiologi
Kejadian kaki diabetik melibatkan berbagai komponen, seperti neuropati perifer,
gangguan vaskular, infeksi, dan perubahan tekanan plantar. Neuropati perifer dan gangguan
vaskularisasi terutama memegang peranan penting dalam patofisiologi kaki diabetik.2
a. Neuropati perifer
Manifestasi klinis neuropati perifer terhadap saraf otonom, sensorik, dan motorik dapat
meningkatkan risiko terjadinya kaki diabetik. Hal tersebut terjadi akibat tiga hal berikut:
- Neuropati pada saraf sensorik mengurangi fungsi protektif saraf, sehingga kemungkinan terpajan trauma fisik, kimia, dan suhu semakin meningkat. Fungsi protektif
saraf sensoris yang menurun dapat meningkatkan risiko ulkus DM hingga tujuh kali
lipat.1,2
- Neuropati motorik menyebabkan deformitas kaki (hammer toes, claw foot),
sehingga distribusi tekanan pada tonjolan tulang di kaki menjadi tidak normal. Hal
tersebut disebabkan oleh atrofi dan kelemahan otot-otot intrinsik (m. introsseus dan
lumbrikal) sehingga terjadi peningkatan tekanan pada daerah metatarsal dan ujung
jari kaki. 1,2
- Neuropati pada saraf otonom berkaitan dengan kulut yang kering. Kulit kering
dapat menimbulkan fisura, kalus, dan kulit pecah-pecah. Bounding pulse yang
terjadi pada neuropati otonom seringkali salah diinterpretasikan sebagai sirkulasi
yang baik. Neuropati otonom juga menyebabkan vasodilatasi perifer. Hal tersebut
meningkatkan pintasan arteri-vena yang mempengaruhi perfuwsi tulang pada
ekstremitas
bawah.
Akibatnya,
terjadi
peningkatan
resorpsi
tulang
yang
bertujuan mengetahui ambang rasa tekan. Sensasi proteksi masih ada bila pengidap kaki
diabetik masih merasakan tekanan monofilamen berukuran 5,07 yang setara dengan tekanan
10 gram.1
b. Gangguan vaskular
Gangguan vaskularisasi, terutama makroangiopati dan mikroangiopati acap terjadi pada
pasien diabetes. Risiko untuk mendapat peripheral artery disease (PAD) pada pasien diabetes
dapat mencapai dua kali lipat. Vaskularisasi yang tidak baik merupakan merupakan penyebab
utama kaki diabetik pada 50% pasien.2
Mikroangiopati pada pasien diabetes menyebabkan penyembuhan luka menjadi
terganggu.2 Gangren yang luas dapat terjadi karena sumbatan pembuluh darah luas yang
dapat berujung pada amputasi. Adanya gangguan pembuluh darah dapat dideteksi dengan
pemeriksaan fisik (nilai Ankle Brachial Index dan perabaan pulsasi denyut nadi), alat
ultrasound Doppler, dan angiografi.1
jari I, sementara tumit memiliki beban tekanan yang lebih tinggi pada orang sehat. Tidak
terdapat perbedaan tekanan pada sisi-sisi plantar kaki yang lain.2
Bagian yang menerima tekanan lebih besar, seperti kaput metatarsal jari III disusul
kaput metatarsal jari I sering mengalami tukak. Hal tersebut menjadi pertimbangan saat
memilih bentuk insole pada penyandang kaki DM.1
Penyebab terjadinya luka pada penyandang kaki DM:1
o Tekanan terus menerus
o Home surgery
o Tekanan berulang
o
o Luka tusuk
o Antiseptik
o Trauma panas
Kaki DM4
o
o
Neuropati perifer
PAD
Infeksi
Riwayat ulkus DM
Deformitas kaki struktural
Trauma
Charcoat foot
Penglihatan kabur
Kontrol gula darah buruk
Usia lebih tua
Jenis kelamin laki-laki
Ras (paling banyak di hispanik dan
kulit hitam)
III. Klasifikasi
Terdapat berbagai klasifikasi kaki diabetes, penggunaannya disesuaikan dengan
Stadiu
Tingkat
m
A
Infeksi
SIRS (-)
Iskemi
Infeksi
dan
Iskemi
Klasifikasi yang masih banyak dipakai hingga kini adalah klasifikasi Wagner.3
Detailnya adalah sebagai berikut:
0: kulit intak/utuh
1: tukak superfisial
2: tukak dalam (sampai tendon dan tulang)
Impaired Perfusion
Size/Extent in mm
Tissue Loss/Depth
1= tidak ada
Infection
sendi
1= tidak ada tanda dan gejala infeksi
Tidak
ada
tanda
sistemik
respons
inflamasi
Impaired Sensation
hipotensi, azotemia
1= absent
2= tidak ada
Terdapat pula klasifikasi lain yang acap dipakai, seperti klasifikasi Liverpool:3
Klasifikasi primer
Klasifikasi sekunder
Vaskular
Neuropati
Neuroiskemik
Tukak sederhana, tanpa komplikasi
Tukak dengan komplikasi
Pendekatan diagnosis kaki DM dilalui dengan anamnesis keluhan dan faktor risiko,
Pada anamnesis, harus dievaluasi mengenai penyakit DM, kontrol gula darah, serta
komplikasinya. Harus diteliti pula mengenai riwayat merokok, status gizi, dan lain-lain.
Aktivitas sehari-hari, pemakaian sepatu, riwayat pajanan bahan kimia, kalus, infeksi, gejala
neuropati, klaudikasio, kelainan bentuk kaki, dan riwayat luka harus ditanyakan secara
cermat. Tanyakan pula menenai charcoat foot dan riwayat keluarga.1,2,4
Pemeriksaan fisik terdiri atas beberapa jenis, meliputi pemerikssaan vaskular,
neuropati, kulit, tulang dan otot, serta sepatu atau alas kaki.1,2 Perabaan pulsasi arteri tungkai
merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Selain itu, ada atau tidaknya perubahan
warna kulit, suhu, dan edema juga harus diperhatikan.
Pemeriksaan neurologi harus meliputi saraf sensorik, motorik, dan otonom. Dalam
meneliti kelainan motorik, dapat ditemui lengkung longitudinal kaki yang lebih meninggi,
sehingga terjadi peningkatan tekanan pada kaput metatarsal I. Kelemahan nervus peroneal
dapat menyebabkan foot drop. Pemeriksaan sensoris dilakukan dengan monofilamen Semmes
Weinstein 10g.1,4
Alas kaki pasien juga harus diperiksa. Perhatikan jenis sepatu, bentuk dan jenis insole,
kecocokan dengan bentuk kaki, serta ada atau tidaknya benda asing di dalam alas kaki.1
Setelah itu, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang. Seluruh faktor yang berperan
penting dalam penyembuhan luka harus diteliti, seperti faktor hemostasis, fungsi ginjal,
jantung, hati, dan paru-paru. Ada atau tidaknya infeksi pada luka juga harus diteliti, jika ada,
dilakukan kultur pus luka. Foto polos pedis dapat dilakukan untuk deteksi osteomielitis.
Faktor vaskular juga harus diteliti dengan cermat melalui beberapa pemeriksaan, seperti ABI
(ankle brachial index, butuh penilaian lanjut jika ABI <0,7, toe blood pressure <40 mmHg
atau TcPO2 <30 mmHg), USG Doppler, dan arteriografi.1
kelompok besar, yaitu pencegahan terjadinya kaki diabetes dan progresinya menuju ulkus
yang dikenal sebagai pencegahan primer serta pencegahan agar tidak terjadi kecacatan yang
lebih parah atau dikenal sebagai pencegahan sekunder. Pengelolaan kaki diabetes tidak dapat
diperankan oleh satu bidang tertentu dalam dunia kedokteran, namun menjadi sebuah bentuk
kerja sama multidisiplin di antara seluruh bidang ilmu yang terkait.
Pencegahan Primer
kaki. Pada kelompok risiko kategori 3 dan 5, diperlukan pemilihan alas kaki yang tepat untuk
melindungi kaki yang telah menjadi insensitif. Demikian pula halnya pada pasien dengan
faktor risiko 2 dan 5, agar tekanan pada kaki dapat lebih merata. Pada faktor risiko 4,
diperlukan latihan khusus untuk memperbaiki vaskularisasi kaki.3
Di samping itu, pada seluruh kelompok risiko, salah satu poin kunci
pencegahan primer ulkus DM adalah penyuluhan. Adapun penyuluhan harus dilakukan pada
setiap kesempatan pertemuan dan diingatkan kembali tanpa bosan. Penyuluhan juga
dibarengi dengan pemeriksaan rutin pada kaki penyandang DM setelah kaus kaki dan sepatu
dilepas.3 Senam kaki juga disarankan untuk memperkuat otot-otot di sekitar kaki maupun
tungkai bawah serta melenturkan sendi dan ligamen di sekitar kaki, di samping membantu
melancarkan aliran darah ke kedua kaki. Senam dilakukan secara teratur senayak 3-5 kali
seminggu.1
Pencegahan Sekunder
dilakukan kontrol terhadap setidaknya 6 faktor, yaitu kontrol metabolik, vaskular, luka,
mikrobiologik / infeksi, tekanan, serta edukasi.
Kontrol Metabolik, merupakan upaya kendali pada kadar glukosa darah pasien
agar selalu senormal mungkin, untuk memperbaiki berbagai faktor terkait hiperglikemia yang
dapat menghambat penyembuhan luka. Hal ini umumnya dicapai dengan penggunaan insulin.
Di samping itu, dilakukan pula koreksi kadar albumin serum, kadar Hb, serta derajat
oksigenasi jaringan.1,3
yang harus diketahui adalah luka memerlukan kondisi optimal / kondusif. Setelah dilakukan
debridemen yang baik dan adekuat, maka jaringan nekrotik akan berkurang dan dengan
sendirinya produksi pus dari ulkus juga akan berkurang. Di samping itu, debridemen juga
berfungsi untuk mengurangi tekanan pada luka, mengurangi bengkak, membuat lingkungan
menjadi aerob, mempermudah swab, dan membuat luka koronik menjadi akut kembali.
Tahapan ini kemudian dapat dilanjutkan dengan dressing yang disesuaikan dengan keadaan
dan letak luka. Pada luka yang masih produktif, dipakai dressing dengan komponen penyerap
seperti carbonated dressing dan alginate dressing mengingat sifatnya yang absortif. Bila luka
tersebut terinfeksi, dapat digunakan hydrophilic fiber dressing atau silver impregnated
dressing dengan efek kerja dari kandungan antibiotik di dalamnya. Bila luka telah relatif baik,
dilakukan hydrocolloid dressing dengan sifat yang impermeabel sehingga dapat
mempertahankan lingkungan lembab yang dapat dipertahankan selama beberapa hari. 1,3,6
mengenai jenis mikroorganisme pada ulkus, dengan demikian dapat pula dilakukan
penyesuaian antibiotik yang digunakan dengan tetap melihat hasil biakan kuman dan
resistensinya. Pada ulkus DM, umumnya pola kuman yang ditemukan polimikrobila dengan
kombinasi gram positif, gram negatif, serta anaerob. Oleh karena itu, mutlak diberikan
antibiotik dengan spektrum luas misalnya golongan sefalosporin dikombinasikan dengan
metronidazol. 1,3
penting untuk proses penyembuhan luka mengingat setiap kaki digunakan untuk berjalan dan
menahan berat badan luka akan sulit menyembuh. Untuk mencapai keadaan non weightbearing, dapat dilakukan modifikasi non surgikal maupun surgikal. Secara non surgikal, kaki
diistirahatkan serta dapat diberikan removable cast walker, total contact casting, temporary
shoes, felt padding, crutches, wheelchair, electric carts, dan craddled insoles. Secara
surgikal, dapat dilakukan dekompresi ulkus / abses melalui insisi, serta koreksi bedah unntuk
setiap bentuk deformitas yang terjadi pada kaki.
1,3
Ruang jari kaki pada sepatu (toe box) cukup lebar sehingga tidak terjadi penekanan.
Panjang sepatu diukur dari tumit sampai 0,5 inch dari ujung jari kaki terpanjang.
Lebar sepatu diukur dari kaput metatarsal I-V.
Memiliki tali atau sabuk pengaman sehingga kaki terfiksasi dalam sepatu dan
mengurangi geseakan antara kaki dan lapisan dalam sepatu selama berjalan.
Tinggi hak sepatu tidak lebih dari 5 cm untuk mengurangi tekanan berlebihan pada
bagian metatarsal.
Bahan untuk insole / alas kaki lunak
Sepatu dibeli pada sore/malam hari mengingat secara relatif kaki lebih membengkak
keluarganya terkait segala upaya yang dapat dilakukan guna mendukung optimalisasi
penyembuhan luka, termasuk di antaranya kondisi saat ini, rencana diagnosis dan terapi, serta
prognosis. 1,3
Kontrol Vaskular, merupakan salah satu faktor kunci untuk kesembuhan luka.
yang bersifat non invasif seperti Ankle Brachial Index (ABI) hingga invasif seperti
arteriografi. 1,3
yang dapat dilakukan, misalnya terapi oksigen hiperbarik yang dikatakan dapat memperbaiki
vaskularisasi dan okisgenasi jaringan luka pada kaki sebagai sebuah terapi ajuvan. 3 Dengan
pemberian oksigen bertekanan tinggi, diharapkan kadar oksigen dalam darah akan menjadi
lebih tinggi, demikian pula dengan kapasitas difusinya ke dalam jaringan. Pada kadar oksigen
yang lebih tinggi, stimulasi neovaskularisasi, replikasi fibroblas, serta fagositosis akan
berjalan dengan lebih baik.6,7
Keenam jenis kontrol ini menjadi pedoman utama dalam penanganan kaki
diabetik dalam konteks rawat jalan maupun rawat inap. Secara ringkas, algoritma tatalaksana
ulkus DM dijelaskan pada bagan 3.
Adapun rawat inap terutama diindikasikan pada ulkus yang mencapai lapisan
subkutan atau lebih dalam disertai adanya gejala SIRS. Pada kasus-kasus rawat inap,
antibiotik yang digunakan biasanya merupakan antibiotik jenis kombinasi dengan tindakan
nekrotomi serta kontrol hiperglikemia yang lebih agresif, umumnya menggunakan insulin.1
Adapun rekomendasi gizi yang diberikan ialah makanan yang sehat dan seimbang dngan
cukup energi dan protein. Perhitungan kecukupan kalori pada penatalaksanaan ulkus DM
wajib memperhitungkan faktor infeksi atau stres yang lebih tinggi pada pasien rawat inap,
dengan kalori basal dihitung dengan mengalikan berat badan ideal pasien dengan 30 kcal
pada laki-laki atau 25 kcal pada perempuan. Untuk proses penyembuhan luka, diperlukan
sekitar 1,5-2 gram protein per kg berat badan per hari. Karbohidrat disarankan menyusun
sekitar 45-65% dari kebutuhan kalori karena bila tidak terpenuhi akan memperberat
hipoalbuminemia akibat pemecahan protein.
melalui sinstesis sel baru, sehingga diberikan sebanyak 20-25% dari kebutuhan energi, degan
asam lemak jenuh < 7%, lemak tidak jenuh < 10%, dan sisanya lemak tidak jenuh tunggal.
Mikronutrien sepertu vitamin dan mineral juga dibutuhkan, misalnya vitamin A, vitamin B
kompleks, vitamin C, vitamin E, vitamin K, besi, seng, selenium, dan lain-lain.1
bentuk nekrotomi jaringan nekrotik / debridemen. 1 Apabila selama debridement tulang dapat
divisualisasi atau dipalpasi, dapat dicurigai terjadinya osteomielitis. Terapi bedah dapat
diklasifikasikan sebagai:
aterokslerotik pada semua kasus. Dalam hal ini, dilakukan pemeriksaan pada seluruh arteri
kaki yang dapat diperiksa. Bila diperlukan, dapat dilakukan restorasi perfusi melalui
rekonstruksi distal, misalnya berupa bypass atau angioplasti perifer dan rekanalisasi segmen
yang teroklusi. Adapun indikasi pembedahan ini ialah rasa nyeri yang sama sekali tidak dapat
ditahan pada saat istirahat atau malam hari, luka kompleks / sulit dikontrol, dan gangren.6
diabetik mengingat sifatnya yang permanen. Amputasi umumnya dilakukan untuk alasan live
saving, terutama untuk mencegah penyebaran asendens dari infeksi atau kematian jaringan. 5
Indikasi amputasi ekstremitas bawah umumnya adalah komplikasi diabetes melitus,
umumnya berupa gangren pedis, ulkus yang tidak menyembuh, serta nyeri saat istirahat yang
sama sekali tidak tertangani (60-80%), infeksi non diabetik dengan iskemia (15-25%),
iskemia tanpa infeksi (5-10%), osteomielitis kronik (3-5%), trauma (2-5%), dan lain-lain.
Prosedur ini dapat dilakukan setinggi digital tertentu, trans metatarsal, Symes, below knee,
disartikulasi lutut, suprakondilar, paha tengah, paha tinggi, dan disartikulasi panggul.8
Luka dengan tendon, saraf, serta tulang yang terekspos didefinisikan sebagai
luka kompleks. Adapun kompleksitas luka dapat diperparah pada ukuran luka yang besar,
trauma tumpul, infeksi, kronisitas, dan riwayat radiasi sebelumnya, mengakibatkan luka
menjadi sulit untuk mengalami penyembuhan.10,11
penutupan luka. Walaupun pembedahan merupakan terapi terpilih, saat ini penggunaan terapi
tekanan negatif (Negative Pressure Wound Therapy / NPWT) mulai mendapat posisi pada
praktik klinis sebagai terapi ajuvan, misalnya CuraVAC. Alat ini bekerja dengan cara
mempercepat pembentukan jaringan granulasi melalui penyedotan eksudat, stabilisasi
lingkungan luka, dan aplikasi stres mekanis.9,10,11
berkurangnya risiko infeksi, berkurangnya sitokin pro inflamasi, serta meningkatnya perfusi
aliran darah dan oksigen. Adapun stres mekanik dapat mendukung terjadinya angiogenesis
(mikrodeformasi) dan pembentukan jaringan granulasi (makrodeformasi) yang lebih cepat. 10
NPWT terbukti efektif untuk meningkatkan organisasi kolagen, ekspresi VEGF dan
fibroblast growth factor 2. Ditinjau secara molekular, NPWT juga memicu neovaskularisasi
melalui mediasi mobilisasi endothelial progenitor cell. Dengan demikian, akan teraktivasi
jalur HIF/VEGF dengan vaskulogenesis dan peningkatan vaskularisasi sebagai hasil
akhirnya.9 Selain itu, data juga menunjukkan bahwa kejadian amputasi sekunder pada
pemakaian NPWT juga dapat ditekan.
125 mmHg, kemudian dihubungkan pada unit penyedot. Hasil akhir yang diperoleh adalah
peningkatan perfusi vaskular dan penutupan luka yang lebih cepat. Tekanan dapat diberikan
secara kontinyu, intermitten, maupun variasi siklik. Dengan pemberian tekanan secara siklik,
nyeri yang dirasakan umumnya berkurang.10,11
Indikasi penggunaan alat ini adalah ulkus diabetik, ulkus dekubitus, ulkus
traumatik (sindrom kompartemen), ulkus sternal, STSG, donor site, serta cedera jaringan
lunak sebelum terapi surgikal.10,11 Pada kasus ulkus diabetik, adanya insufisiensi arteri perifer
menambah kebutuhan pemakaian NPWT ini. Kontraindikasi sistem tekanan negatif ini ialah
fistula organ / rongga tubuh, jaringan nekrotik, kanker, dan osteomielitis yang tidak
ditangani.10
Setelah administrasi NPWT dijalankan dan luka diyakini telah bersih, langkah
BAB III
PEMBAHASAN
Pasien laki-laki, usia 54 tahun, datang dengan keluhan utama nyeri kaki yang
memberat sejak 3 hari SMRS.
Nyeri dirasakan berdenyut dengan VAS yang semakin memberat seiring dengan
perkembangannya. Atas sifatnya yang bersifat pulsatil, karakteristik ini sugestif ke arah nyeri
akibat sumbatan / oklusi pada arteri perifer. Nyeri yang dirasakan tidak hanya saat
beraktivitas / intermitten menandakan bahwa sumbatan yang terbentuk telah cukup
bermakna.
Keluhan nyeri telah dirasakan sejak timbul luka yang tidak sembuh di tungkai bawah
kanan sejak 1 bulan SMRS. Luka awalnya muncul di jempol kaki kanan dan dan punggung
kaki kanan setelah pasien memakai sepatu yang biasa dipakainya. Area jempol kaki kanan
merupakan area dengan penekanan, sehingga luka pada tempat tersebut diperkirakan
disebabkan oleh faktor neurogenik sedangkan punggung kaki kanan merupakan tempat
vaskularisasi pembuluh darah perifer sehingga luka pada tempat tersebut makin menguatkan
dugaan adanya sumbatan. Oleh karena itu, luka pada kaki ini merupakan kombinasi akibat
faktor neuropati dan mikroangiopati.
Sebagai faktor risiko, pasien diketahui memiliki riwayat penyakit diabetes
melitusyang telah ditegakkan sejak 14 tahun lalu. Adapun keluhan per anamnesis saat itu
cukup khas yaitu dengan adanya keluhan klasik, penurunan berat badan, serta luka yang
sukar sembuh.Di samping itu, pasien juga memiliki riwayat merokok sejak 5 tahun lalu dan
jarang berolahraga. Kedua faktor ini sangat erat kaitannya dengan pembentukan plak ateroma
pada pembuluh darah. Dugaan keluhan terkait DM makin kuat dengan adanya komplikasi
mikroangiopati lain pada mata berupa pandangan kabur di samping pasien juga mengalami
penyakit jantung.
Adanya keluhan demam pada pasien menunjukkan terjadinya infeksi dengan fokus
infeksi yang paling mungkin berasal dari ulkus / luka pada kaki pasien.
Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan tanda vital dan keadaan umum dalam batas
normal. Dari pemeriksaan status lokalis, terdapat jaringan parut hipertrofik pada tungkai kiri
pasien sebagai bekas operasi pada luka yang pernah terjadi sebelumnya. Berdasarkan
klasifikasi PEDIS, diperoleh perfusi menurun dengan ABI 0,6 sugestif ke arah PAD, ekstensi
luka tidak diperiksa karena saat pemeriksaan luka masih ditutup dengan CuraVAC,
kedalaman luka diketahui dari pemeriksaan sebelumnya tidak mencapai tulang, terdapat
riwayat manifestasi sistemik berupa infeksi, serta terapat gangguan sensorik pada kedua kaki.
Di samping itu, ditemukan pula kalus dan hiperpigmentasi pada kulit kaki kanan serta
perubahan warna dan penebalan kuku kaki. Hasil temuan ini memperlihatkan bahwa kaki
pasien memiliki kecenderungan untuk menjadi luka.
Berdasaarkan pemeriksaan penunjang, gula darah serta HbA1C pasien masih berada
dalam rentang batas normal, menandakan gula darah saat pemeriksaan dan 3 bulan
sebelumnya realtif terkontrol. Adapun pemeriksaan radiologis juga tidak menunjukkan
adanya ekspansi luka hingga ke tulang. Pemeriksan USG Doppler menunjukkan beberapa
plak yang bermakna pada pembuluh darah arteri, ditunjukkan dengan penurunan aliran darah,
terutama pada tungkai kanan.
Dengan demikian, ditegakkan diagnosis ulkus DM pedis sinistra, PAD, serta DM tipe
2. Adapun berdasarkan hasil seluruh data ini, sesuai algoritma kaki diabetik, pasien masuk
indikasi untuk rawat inap, yaitu dengan adanya tanda-tanda infeksi sistemik.
Pada pasien, dilakukan tatalaksana kontrol terhadap 6 aspek.
Pada aspek kontrol mekanik, dilakukan pengistirahatan pada kaki sebagai penopang
berat tubuh agar dapat memfasilitasi penyembuhan luka. Aspek kontrol infeksi dilakukan
dengan pemberian antibiotik untuk spektrum luas sesuai dengan hasil kultur resistensinya.
Saat ini pasien sudah memasuki perawatan pada bulan ke dua, sehingga antibiotik yang
digunakan, yaitu Ciprofloxacin 2x400 mg iv, sudah merupakan stepdown dari antibiotik
sebelumnya, yaitu Meropenem iv. Kontrol metabolik dilakukan dengan pemberian insulin
kerja cepat dan kerja panjang, yaitu Lantus dan Novorapid.
Kontrol vaskular telah dilakukan dengan pemeriksaan ABI serta USG Doppler. Pada
kasus ini, dapat pula dipertimbangkan arteriografi untuk penilaian yang lebih baik pada
kondisi pembuluh darah pasien. Apabila ternyata sumbatan sangat bermakna, dapat dilakukan
tindakan invasif oleh dokter bedah vaskular. Kontrol luka dilakukan dengan operasi
derbridement untuk mengangkat jaringan nekrotik dilanjutkan dengan dressing.
Terkait kedua kontrol terakhir, terapi terpilih pada pasien adalah pemasangan
CuraVAC. Alat ini diketahui bekerja dengan prinsip tekanan negatif yang memfasilitasi
terjadinya penyedotan eksudat, stabilisasi luka, serta aplikasi stres mekanis. Adapun NPWT
ini diketahui juga dapat memperbaiki aliran darah perifer melalui mobilisasi EPC dan
angiogenesis. Setelah terapi NPWT dijalankan, pasien direncanakan untuk menjalani STSG
untuk penutupan ulkus pada kakinya.
Di samping itu, diberikan pula terapi simtomatis pereda nyeri berupa tramadol drip
3x50 mg. Pasien juga diberikan edukasi sebagai aspek kontrol ke enam. Salah satu hal yang
diedukasikan adalah prognosis pasien. Secara umum, kondisi akut pasien telah teratasi,
sehingga saat ini prognosis dubia ad vitam pasien bonam. Dengan perawatan dan pencegahan
sekunder yang baik, fungsi tungkai masih dapat berfungsi baik serta kekambuhan dapat
dicegah. Salah satu upaya pencegahan yang perlu dilakukan adalah pemilhan sepatu yang pas
disesuaikan dengan ukuran kaki pasien saat ini. Oleh karena itu, pasien harus sering kontrol
ke poliklinik dan menjalani pengobatan. Melihat kadar HbA1C pasien dan konsumsi obat
yang teratur, prognosis ad functionam serta ad sanationam pasien digolongkan dubia ad
bonam.
DAFTAR PUSTAKA
2.