TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Partus Lama
2.1.1. Definisi
Persalinan atau partus lama adalah persalinan yang telah berlangsung 12 jam atau
lebih tanpa kelahiran bayi dimana fase laten lebih dari 8 jam dan dilatasi serviks di
kanan garis waspada pada partograf.
distosia,
protraction
a.
1)
Nulipara
Multipara
Kelainan Protraksi
Pembukaan
Penurunan
> 2 jam
> 2 jam
> 1 jam
> 1 jam
Persalinan Macet
2.1.6. Diagnosis
Adapun kriteria diagnosis dari tiap klasifikasi persalinan lama dan terapi yang
disarankan ditampilkan pada tabel 2 dibawah ini.
Tabel 2. Klasifikasi persalinan lama berdasarkan pola persalinannya5
Selain kriteria diatas, terdapat pula sebuah alat bantu yang dapat membantu
dalam mempermudah diagnosis persalinan lama. Alat bantu tersebut adalah
partograf. Partograf terutama membantu dalam pengawasan fase aktif
persalinan. Kedua jenis gangguan dalam fase aktif dapat didagnosis dengan
melihat grafik yang terbentuk pada partograf. Protraction disorder pada fase
aktif dapat didagnosis bila pembukaan serviks kurang dari 1 cm/ jam selama
minimal 4 jam. Sedangkan arrest disorder (partus macet) didiagnosis bila
tidak terjadi penambahan pembukaan serviks dalam jangka waktu 2 jam
maupun penurunan kepala janin dalam jangka waktu 1 jam.
2.1.7. Penatalaksanaan
Prinsip utama dalam penatalaksanaan pasien dengan persalinan lama adalah
mengetahui penyebab kondisi persalinan lama itu sendiri. Persalinan lama adalah
sebuah akibat dari suatu kondisi patologis. Pada akhirnya, setelah kondisi
patologis penyebab persalinan lama telah ditemukan, dapat ditentukan metode
yang tepat dalam mengakhiri persalinan, apakah persalinan tetap dilakukan
pervaginam, atau akan dilaukan per abdominam melalui seksio sesarea.
Secara umum penyebab persalinan lama dibagi menjadi dua kelainan yaitu
disproporsi sefalopelvik dan disfungsi uterus (gangguan kontraksi). Adanya
disproporsi sefalopelvik pada pasien dengan persalinan lama merupakan indikasi
untuk dilakukannya seksio sesarea. Disproporsi sefalopelvik dicurigai bila dari
pemeriksaan fisik diketahui ibu memiliki faktor risiko panggul sempit (misal:
tinggi badan < 145 cm, konjugata diagonalis < 13 cm) atau janin diperkirakan
berukuran besar (TBBJ > 4000 gram, bayi dengan hidrosefalus, riwayat berat
10
badan bayi sebelumnya yang > 4000 gram). Bila diyakini tidak ada disproporsi
sefalopelvik, dapat dilakukan induksi persalinan.
Pada kondisi fase laten berkepanjangan, terapi yang dianjurkan adalah menunggu.
Hal ini dikarenakan persalinan semu sering kali didiagnosis sebagai fase laten
berkepanjangan. Kesalahan diagnosis ini dapat menyebabkan induksi atau
percepatan persalinan yang tidak perlu yang mungkin gagal sehingga dapat
menyebabkan seksio sesaria yang tidak perlu. Dianjurkan dilakukan observasi
selama 8 jam. Bila his berhenti maka ibu dinyatakan mengalami persalinan semu,
bila his menjadi teratur dan bukaan serviks menjadi lebih dari 4 cm maka pasien
dikatakan berada dalam fase laten. Pada akhir masa observasi 8 jam ini, bila
terjadi peerubahan dalam penipisan serviks atau pembukaan serviks, maka
pecahkan ketuban dan lakukan induksi persalinan dengan oksitosin. Bila ibu tidak
memasuki fase aktif setelah delapan jam infus oksitosin, maka disarankan agar
janin dilahirkan secara seksio sesarea.
Pada kondisi fase aktif memanjang, perlu dilakukan penentuan apakah kelainan
yang dialami pasien termasuk dalam kelompok protraction disorder (partus lama)
atau arrest disorder (partus tak maju). Bila termasuk dalam kelompok partus tak
maju, maka besar kemungkinan ada disproporsi sefalopelvik. Disarankan agar
dilakukan seksion sesarea. Bila yang terjadi adalah partus lama, maka dilakukan
penilaian kontraksi uterus. Bila kontraksi efisien (lebih dari 3 kali dalam 10 menit
dan lamanya lebih dari 40 detik), curigai kemungkinan adanya obstruksi,
malposisi dan malpresentasi. Bila kontraksi tidak efisien, maka penyebabnya
kemungkinan adalah kontraksi uterus yang tidak adekuat. Tata laksana yang
dianjurkan adalah induksi persalinan dengan oksitosin.
Pada kondisi kala II memanjang, perlu segera dilakukan upaya pengeluaran janin.
Hal ini dikarenakan upaya pengeluaran janin yang dilakukan oleh ibu dapat
meningkatkan risiko berkurangnya aliran darah ke plasenta. Yang pertama kali
harus diyakini pada kondisi kala II memanjang adalah tidak terjadi malpresentasi
dan obstruksi jalan lahir. Jika kedua hal tersebut tidak ditemukan, maka dapat
dilakukan percepatan persalinan dengan oksitosin. Bila percepatan dengan
oksitosin tidak mempengaruhi penurunan janin, maka dilakukan upaya pelahiran
11
janin. Jenis upaya pelahiran tersebut tergantung pada posisi kepala janin. Bila
kepala janin teraba tidak lebih dari 1/5 diatas simfisis pubis atau ujung penonjolan
kepala janin berada di bawah station 0, maka janin dapat dilahirkan dengan
ekstraksi vakum atau dengan forseps. Bila kepala janin teraba diantara 1/5 dan 3/5
diatas simfisis pubis atau ujung penonjolan tulang kepala janin berada diantara
station) dan station-2, maka janin dilahirkan dengan ekstraksi vakum dan
simfisiotomi. Namun jika kepala janin teraba lebih dari 3/5 diatas simfisis pubis
atau ujung penonjolan tulang kepala janin berada diatas station-2, maka janin
dilahirkan secara seksio sesaria.
2.1.8. Komplikasi1
Persalinan lama dapat menimbulkan konsekuensi bik bagi ibu maupun bagi anak
yang dilahirkan. Adapun komplikasi yang dapat terjadi akibat persalinan lama
antara lain :
a. Infeksi intrapartum
Infeksi adalah bahaya serius yang mengancam ibu dan janinnya pada persalinan
lama, terutama bila disertai pecahnya ketuban. Bakteri dalam cairan amnion
menembus amnion dan menginvasi desidua serta pembuluh korion sehingga
terjadi bakteremia dan sepsis pada ibu dan janin. Pneumonia pada janin, akibat
aspirasi cairan amnion yang terinfeksi adalah konsekuensi serius lainnya.
Pemeriksaan serviks dengan jari tangan akan memasukkan bakteri vagina ke
dalam uterus. Pemeriksaan ini harus dibatasi selama persalinan, terutama apabila
terjadi persalinan lama.
b. Ruptura uteri
Penipisan abnormal segmen bawah uterus menimbulkan bahaya serius selama
persalinan lama, terutama pada ibu dengan paritas tinggi dan pada mereka
dengan riwayat seksio sesarea. Apabila disproporsi antara kepala janin dan
panggul semakin besar sehingga kepala tidak engaged dan tidak terjadi
penurunan, segmen bawah uterus dapat menjadi sangat teregang kemudian
beresiko terjadinya ruptur uterus. Pada kasus ini, mungkin terbentuk cincin
retraksi patologis yang dapat diraba sebagai sebuah krista transversal atau oblik
yang berjalan melintang di uterus antara simfisis dan umbilikus. Apabila
dijumpai keadaan ini, diindikasikan persalinan perabdominam segera.
12
Tipe yang paling sering adalah cincin retraksi patologis Bandl, yaitu
pembentukan cincin retraksi normal yang berlebihan. Cincin ini sering timbul
akibat persalinan yang terhambat disertai peregangan dan penipisan berlebihan
segmen bawah uterus. Pada situasi semacam ini, cincin dapat terlihat jelas
sebagai suatu identasi abdomen dan menandakan akan rupturnya seegmen bawah
uterus. Pada keadaan ini, kadang-kadang dapat dilemaskan dengan anestesi
umum yang sesuai dan janin dilahirkan secara normal, tetapi kadang-kadang
seksio sesarea yang dilakukan dengan segera menghasilkan prognosis yang lebih
baik.
c. Pembentukan fistula
Apabila bagian terbawah janin menekan kuat pintu atas panggul, tetapi
persalinan tidak maju untuk jangka waktu yang cukup lama, jalan lahir yang
terletak diantaranya dan dinding panggul dapat mengalami tekanan yang
berlebihan. Karena gangguan sirkulasi, dapat terjadi nekrosis yang akan jelas
dalam beberapa hari setelah persalinan dengan timbulnya fistula vesikovaginal,
vesikorektal atau rektovaginal. Umumnya nekrosis akibat penekanan ini terjadi
pada persalinan kala dua yang berkepanjangan.
d. Cedera otot dasar panggul
Suatu anggapan yang telah lama dipegang adalah bahwa cedera otot dasar
panggul atau persarafan atau fasi penghubungnya merupakan konsekuensi yang
tidak terelakkan pada persalinan pervaginam, terutama apabila persalinannya
sulit saat kelahiran bayi. Dasar panggul mendapatkan tekanan langsung dari
kepala janin dan tekanan ke bawah akibat upaya mengejan ibu. Gaya-gaya ini
meregangkan dan melebarkan dasar panggul sehingga terjadi perubahan
anatomis dan fungsional otot, saraf, dan jaringan ikat panggul.
e. Kaput suksedaneum
Apabila panggul sempit, sewaktu persalinan sering terjadi kaput suksedaneum
yang besar di bagian terbawah kepala janin. Kaput ini dapat berukuran cukup
besar dan menyebabkan kesalahan diagnosis yang serius.
f. Molase kepala janin
Akibat tekanan his yang kuat, lempeng-lempeng tulang tengkorak saling
bertumpang tindih satu sama lain di sutura-sutura besar, suatu proses yang
disebut molase (molding, moulage). Perubahan ini biasanya tidak menimbulkan
kerugian yang nyata. Namun, apabila distorsi yang terjadi mencolok, molase
13
persalinan
adalah
upaya
menstimulasi
uterus
untuk
memulai
14
15
Faktor
Nilai
Pembukaan (cm)
0
0
1
1-2
2
3-4
3
5-6
Penipisan/Pendataran (%)
0-30%
40-50%
60-70%
80%
Penurunan
-3
-2
-1 / 0
+1 / +2
Konsistensi
Kuat
Sedang
Lunak
Posisi
Posterior
Pertengahan
Anterior
16
untuk
17
Regimen
Dosis
awal
(mU/meni
t)
0,5 1,5
15 40
Rendah
2
Tinggi
Penaikan
dosis
(mU/men
it)
Interval
(menit)
4,8,12,16,20,25,30
15
15
4,5
4,5
15 30
20 40
Manfaat yang lebih banyak didapatkan dengan memberikan regimen dosis yang
lebih tinggi dibandingkan dosis yang lebih rendah. Di Parkland hospital penggunaan
regimen oksitosin dengan dosis awal dan tambahan 6 mU/menit secara rutin telah
dilakukan hingga saat ini. Sedangkan di Birmingham Hospital di University Alabama
memulai oksitosin dengan dosis 2 mU/menit dan menaikkannya sesuai kebutuhan
setiap 15 menit yaitu menjadi 4, 8, 12, 16, 20, 25, dan 30 mU/menit. Walaupun
regimen yang pertama tampaknya sangat berbeda, jika tidak ada aktifitas uterus,
kedua regimen tersebut mengalirkan 12 mU/menit selama 45 menit ke dalam
infuse.5
Di bawah ini merupakan tabel untuk salah satu protab kecepatan infus oksitosin untuk
induksi persalinan:
Tabel 5. Kecepatan Infus Oksitosin untuk Induksi Persalinan
Jika setelah mengikuti protokol berdasarkan tabel di atas tetap belum terbentuk pola
kontraksi yang baik dengan penggunaan konsentrasi oksitosin yang tinggi maka pada
multigravida induksi dinyatakan gagal, dan lahirkan janin dengan section caesar. Pada
primigravida dapat diberikan infuse oksitosin konsentrasi tinggi (10 unit dalam 500 ml)
sesuai dengan protocol.
Jika masih tidak terbentuk kontraksi yang baik pada dosis maksimal, lahirkanlah janin
melalui sectio caesar. Dalam pemberian infuse oksitosin, selama pemberian ada beberapa
hal yang harus diperhatikan oleh petugas kesehatan yaitu:
a) Observasi ibu selama mendapatkan infuse oksitosin secara cermat.
b) Jika infuse oksitosin menghasilkan pola persalinan yang baik, pertahankan
kecepatan infuse yang sama sampai pelahiran.
c) Ibu yang mendapat oksitosin tidak boleh ditinggal sendiri
d) Jangan menggunakan oksitosin 10 unit dalam 500 ml (20 mIU/ml) pada
multigravida dan pada ibu dengan riwayat section caesar.
e) Peningkatan kecepatan infus oksitosin dilakukan hanya sampai terbentuk pola
kontraksi yang baik, kemudian pertahankan infus pada kecepatan tersebut.4
b. Secara mekanis atau tindakan
1). Kateter Transservikal (Kateter Foley)
2). Dilator Servikal Higroskopik (Batang Laminaria)
3). Stripping membrane
4). Induksi Amniotomi
5). Stimulasi putting susu
6). Hubungan seksual
7). Minyak castor
2.3.
2.3.1. Definisi
Meskipun sindrom klinis khas asma yaitu batuk-batuk episodik, wheezing, dan
dispneu dengan obstruksi jalan nafas reversibel tidak sulit dikenali, asma dapat
timbul dengan gejala-gejala tidak khas seperti batuk kadang-kadang, rasa tertekan
pada dada, atau dispneu yang dipicu oleh aktivitas. Banyak definisi asma yang
diterima secara luas, salah satunya menurut American Thoracic Society (1987)10
2.3.2. Prevalensi
Di Indonesia prevalensi asma sekitar 5-6% dari populasi. Prevalensi asma dalam
kehamilan sekitar 3,7-4%. Hal tersebut membuat asma menjadi salah satu
permasalahan yang biasa diemukan dalam kehamilan.1
Pada penelitian yang terbaru dari 366 kehamilan yang diikuti terhadap 330 wanita
penderita asma dimana 35% asamnya bertambah buruk, 28% sembuh dan 33%
tidak berubah, sedangkan 4% nya tidak jelas perubahannya. Analisis dari
penelitian-penelitian ini memberikan kesimpulan10
1.
2.
3.
Ketika asma bertambah buruk, gejala bertambah pada umur kehamilan 2936 minggu.
4.
5.
peningkatan 15% FEV1 atau lebih setelah 2 kali menghirup preparat agonis Badrenergik. Jika pemerikasaan spirometri memperlihatkan hasil yang normal,
diagnosis dapat dibuat berdasarkan peningkatan respon saluran napas terhadap
tantangan dengan histamine, methacholine atau isocapnic hiperventilasi udara
dingin.
Penderita asma biasanya memiliki riwayat episode batuk, dada terasa tertekan,
wheezing, dan dispneu. Asma mungkin timbul dengan gejala-gejala yang tidak
khas seperti batuk terisolasi, nyeri dada, bronkitis berulang, atau dispneu yang
timbul karena aktivitas10.
Selama eksaserbasi akut, pada pemeriksaan fisik didapatkan hiperinflasi, ekspirasi
memanjang,
wheezing, dan
penggunaan
otot-otot
pernafasan
tambahan.
Pemeriksaan fisik dapat kembali normal pada interval eksaserbasi. Tes fungsi paru
dapat ditemukan adanya obstruksi aliran udara yang reversibel pada spirometri.
Kegagalan respon langsung terhadap bronkodilator inhalasi tidak menyingkirkan
diagnosis. Spirometri ulang setelah beberapa minggu perawatan dapat
menunjukkan kemajuan. Pengukuran udara ekspiratoar puncak mungkin
menunjukkan peningkatan variabilitas atau penurunan aliran puncak seiring
timbulnya gejala-gejala. Metacholine challenge test dapat menunjukkan adanya
hiperreaktivitas jalan nafas namun tes ini jarang diperlukan untuk menegakkan
diagnosis asma. Tes ini tidak menimbulkan efek samping berlebihan pada wanita
hamil jika dilakukan dengan pemantauan yang baik.
Setelah diagnosis dipastikan, perjalanan penyakit dan efektifitas dari terapi dapat
diikuti dengan pengukuran Peak Expiratori Flow Rate (PEFR) atau FEV1. Untuk
mengetahui jenis elergi yang dimiliki dapat dilakukan test dengan bermacmmacam allergen. Secara labolatoris dapat ditemukan sel-sel eosinofil dari darah
dan sputum dan juga dapat diukur serum IgE, walupun penemuan tersebut tidak
hanya terjadi pada asma. 10
dengan asma biasa dengan tambahan ambang batas rawat inap yang lebih rendah.
tidak terkontrol atau asma berat dan tidak memiliki tes masuk rumah sakit yang
meyakinkan atau faktor risiko lainnya. Hal ini dapat dilakukan dengan
pemantauan denyut jantung janin elektronik kontinyu atau auskultasi intermiten
(setiap 15 menit pada kala 1, setiap 5 menit pada kala 2). Selama persalinan,
pemantauan janin intensif ini dapat djiadikan pedoman untuk mengambil
keputusan dalam pengelolaan asma dan obstetris yang baik.
Karena pada persalinan kebutuhan ventilasi bisa mencapai 20 I/menit, maka
persalinan harus berlangsung pada tempat dengan fasilitas untuk menangani
komplikasi pernapasan yang berat; peneliti menunjukkan bahwa 10% wanita
memberat gejala asmanya pada waktu persalinan5
Selama persalinan kala I, pengobatan asma selama masa prenatal harus diteruskan,
ibu yang sebelum persalinan mendapat pengobatan kortikosteroid harus
hidrokortison 100 mg intravena, dan diulangi tiap 8 jam sampai persalinan. Bila
mendapat serangan akut selama persalinan, penanganannya sama dengan
penanganan serangan akut dalam kehamilan seperti telah diuraikan di atas.
Untuk induksi persalinan, oksitosin merupakan obat terpilih. Penggunaan 15-metil
prostaglandin F2-alfa harus dihindari karena merupakan analog prostaglandin F2alfa sintetik yang dilaporkan menyebabkan bronkospasme pada pasien asma.
Penggunaan prostaglandin E2 dilaporkan juga dapat menyebabkan bronkospasme.
Namun, sebuah penelitian terakhir menyebutkan bahwa bahan ini aman untuk
abortus terapeutik atau induksi persalinan janin mati pada pasien dengan asma.
Penggunaan jel prostaglandin E2 intravaginal atau intracervical untuk pematangan
serviks sebelum induksi persalinan tidak dilaporkan menyebabkan bronkospasme.
Pada persalinan kala II persalinan per vaginam merupakan pilihan terbaik untuk
penderita asma, kecuali jika indikasi obstetrik menghendaki dilakukannya seksio
sesarea. Jika dilakukan seksio sesarea lebih dipilih anestesi regional daripada
anestesi umum karena intubasi trakea dapat memacu terjadinya bronkospasme
yang berat5.
Saat
memilih
analgesik
narkotik
untuk
pasien
dengan
asma,
harus