Anda di halaman 1dari 8

Cedera kepala

Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama
pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu
lintas. Di samping penanganan di lokasi kejadian dan selama transoortasi korban ke
rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat
menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya.
Tindakan resusitasi, anamnesis dan pemeriksaan fisik umum serta neurologis harus
dilakukan secara serentak. Pendekatan yang sistematis dapat mengurangi
kemungkinan terlewatinya evaluasi unsure vital.tingkat keparahan cedera kepala
menjadi ringan segera ditentukan saat pasien tiba di rumah sakit.
Klasifikasi
Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, keparahan, dan
morfologi cedera.
1. mekanisme : berdasarkan adanya penetrasi duramater

Trauma tumpul : kecepatan tinggi (tabrakan otomobil)


Kecepatan rendah (terjatuh, dipukul)
Trauma tembus (luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya)

2. keparahan cedera

Ringan
: skala koma Glasgow (Glasgow coma scale, GCS) 14-15
Sedang
: GCS 9 13
Berat : GCS 3 8

3. morfologi

Fraktur tengkorak : cranium : linear/stelatum; depresi/non depresi;


terbuka/tertutup
basis
: dengan/ tanpa kebocoran cairan serebrospinal
Dengan/ tanpa kelumpuhan nervus VII
Lesi intracranial
: fokal : epidural, subdural, intraserebra
difus : konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonal
difus

penatalaksanaan
pedoman resusitasi dan penilaian awal
1. menilai jalan napas : bersikan jalan napas dari debris dan muntahan, lepaskan
gigi palsu, pertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan memasang

kolar servikal, pasang guedel bila dapat ditolerir. Jika cedera orofasial mengganggu
jalan napas, maka pasien harus diintubasi.
2. menilai pernapasan : tentukan apakah pasien bernapas spontan atau tidak. Jika
tidak, beri oksigen melalui masker oksigen. Jika pasien bernapas spontan, selidiki
dan atasi cedera dada berat seperti pneumotoraks, pneumotoraks tensif,
hemopneumotoraks. Pasang oksimeter nadi, jika tersedia, dengna tujuan menjaga
saturasi oksigen minimum 95%. Jika jalan nafpas pasien tidak terlindung bahkan
terancam atau memperoleh oksigen yang adekuat (PaO 2 >95mmHg dan PaCO2 <40
mmHg serta saturasi O2 >95%) atau muntah maka pasien harus diintubasi serta
diventilasi oleh ahli anastesi.
3. menilai sirkulasi : otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua
perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan secara khusus adanya cedera
intraabdomen atau dada. Ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan tekanan
darah, pasang alat pemantau dan EKG bila tersedia. Pasang jalur intravena yang
besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan darah perifer legkap, ureum, elektrolit,
glukosa dan analisis gas darah arteri, berikan larutan koloid. Sedangkan larutan
kristaloid (dekstrosa atau dekstrosa dalam salin) mneimbulkan eksaserbasi edema
otak pascacedera kepala. Keadaan hipotensi hipoksia, dan iperkapnia memperburuk
cedera kepala.
4. obat kejang : kejang konvulsi dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus
diobati. Mula mula berikan diazepam 10mg intravena perlahan lahan dan dapat
diulangi sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin
15mg/kgBB diberikan intravena perlahan lahan dengna kecepatan tidak melebihi
50mg/menit
5. menilai tingkat keparahan
a. cedera kepala ringan (kelompok risiko rendah)

Skor skala Glasgow 15(sadar penuh, atentif, dan orientatif)


Tidak ada kehilangann kesadaran (misalnya konkusi)
Tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang
Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
Pasien dapat menderita aberasi, laserasi, atau hematoma kulit kepala
Tidak adanya criteria cedera sedang berat

b. cedera kepala sedang (kelompok risiko sedang)

Skor skala Glasgow 9 14 (konfusi, letargi, atau stupor)


Konkusi
Amnesia pasca trauma
Muntah

Tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda battle, mata rabun,


hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebrospinal)
Kejang

c. cedera kepala berat (kelompok risiko berat)

Skor skala koma Glasgow 3 8 (koma)


Penurunan derajat kesadaran secara progresif
Tanda neurologis fokal
Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium
Skala koma Glasgow

Pedoman penatalaksanaan
1. pada semua pasien dengna cedera kepala dan/ atau leher, lakukakan foto
tulang belakang servikal (proyeksi antero posterior, lateral, dan odontoid),
kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa tulang servikal C1 C7
normal.
2. pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, lakukan
prosedur berikut :

Pasang jalur intravena dengan larutan salin normal (NaCl 0,9 %) atau
dengan ringer laktat : cairan isotonis lebih efektif mengganti volume
intravascular daripada cairan hipotonis, dan larutan ini tidak menambah
edema serebri.
Lakukak pemeriksaan : hematokrit, periksa darah perifer lengkat, trobosit,
kimia darah: Glukosa, ureum dan kreatinin, masa protrombin aau masa
tromboplastin parsial, skrining toksikologi dan kadar alcohol bila perlu

3. lakukan CT scan dengna jendela tulang : foto rontgen kepala tidak diperlukan
jika CT scan dilakukan, karena CT scan ini lebih sensitive untuk mendeteksi
fraktur. Pasien dengna cedera kepala ringan, sedang, atau berat, harus
dievaluasi adanya :

Hematoma epidural
Darah dalam subaraknoid dan intraventrikel
Kontusio dan perdarahan jaringan otak
Edema serebri
Obliterasi sisterna perimesensefalik
Pergeseran garis tengah
Fraktur cranium, cairan dalam sinus, dan pnumosefalus.

4. pada pasien yang koma (skor GCS < 8) atau pasien dengan tanda tanda
herniasi, lakukakn tindakan berikut ini :

Elevasi kepala 30o


Hiperventilasi : intubasi dan berikan ventilasi mandatorik intermitten
dengan kecepatan 16 20 kali /menit dengan volume tidal 10 12 ml/Kg.
atur tekanan CO2 sampai 28 32 mmHg. Hipokapnia berat (pCO2 <
25mmHg) arus dihindari sebab dapat menyebabkan vasokonstriksi dan
iskemik serebri
Berikan manitol 20 % 1g/Kg intravena dalam 20 30 menit. Dosis ulangan
dapat diberikan 4 6 jam kemudian yaitu sebesar dosis semula setiap 6
jam sampai maksimal 48 jam pertama
Pasang kateter foley
Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi operasi (hematoma epidural
yang besar, jematoma subdural, cedera kepala terbuka, dan fraktur
impresi >1 diploe)

Penatalaksaan khusus

1. cedera kepala ringan : pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat
dipulangkan ke rumah tanpa perlu dilakukan pemeriksaan CT scan bila memenuhi
criteria berikut :

Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan gaya


berjalan) dalam batas normal
Foto servikal jelas normal
Adanya orang yang bertanggung jawab untuk mengamati pasien selama 24
jam pertama, dengan instruksi untuk segera kembali ke bagian gawat darurat
bila timbul gejala perburukan

Criteria perawatan di rumah sakit :

Adanya darah intracranial atau fraktur yang tampak pada CT scan


Konfusi, agitasi, atau kesadaran menurun
Adanya tanda atau gejala neurologis loka
Intoksikasi obat atau alcohol
Adanya penyakit medis komorbid yang nyata
Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien di rumah

2. cedera kepala sedang : pasien yang menderita konkusi otak (komosio otak)
dengan skala koma Glasgow 15 (sadar penuh, orientasi baik dan mengikuti
perintah) dan CT scan normal, tidak perlu dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan
untuk observasi di rumah meskipun terdapat nyeri kepala, mual, muntah,
pusing,atau amnesia. Risiko timbulnya lesi intracranial lanjut yang bermakna pada
pasien dengna cedera kepala sedangn adalah minimal
3. cedera kepala berat : setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital, keputusan
segera pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi bedah saraf
segera (hematoma intracranial yang besar) jika ada indikasi, harus segera
dikonsulkan ke bedah saraf untuk tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala
berat seyogyanya dilakukan di unit rawat intensif. Walauun sedikit sekali yang dapat
dilakukakn untuk kerusakan primer akibat cedera, tetapi setidaknya dapat
mengurangi kerusakan otak sekunder akibat hipoksia, hipotensi, atau tekanan
intracranial yang meningkat.

Penilaian ulang jalan nafas dan ventilasi : umumnya, pasien dengna stupor
atau koma (tidak dapat mengikuti perintah karena derajat kesadaran
menurun) harus diintubasi untuk proteksi jalan nafas. jika tidak ada bukti
tekanan intracranial meninggi, parameter ventilasi harus diatur sampai pCO 2
40 mmHg dan pO2 90 100 mmHg.
Monitor tekanan darah : jika pasien memperlihatkan tanda ketidakstabilan
hemodinamik (hipotensi atau hipertensi), pemantauan paling baik
dilakukakan dengan kateter arteri. Karena autoregulasi sering terganggu
pada cedera kepala akut, maka tekanan arteri rata rata harus

dipertahankan untuk menghindari hipotensi (<70mmHg) dan hipertensi


(>130mmHg). Hipotensi dapat menyebabkan iskemik otak sedangkan
hipertensi dapat mengeksaserbasi serebri.
Pemasanagna alat monitor tekanan intracranial pada pasien dengan skor GCS
<8, bila memungkinkan.
Penatalaksanaan carian : hanya larutan isotonis (salin normal atau larutan
ringer laktan) yang diberikan kepada pasien dengan cedera kepala karena air
bebas tambahan dalam salin 0.45% atau dekstrosa 5% dalam air (D5W)
dapat menimbulkan eksaserbasi edema serebri.
Nutrisi : cedera kepala berat menibulkan respons hipermetabolik dan
katabolic dengan keperluan 50 100 % lebih tinggi dari normal. Pemberian
makanan enteral melalui pipa nasogastrik atau nasuduodenal harus diberikan
sesegera mungkin (biasasnya hari ke-2 perawatan).
Temperature badan : demam (temperature >1010 F) mengeksaserbasi
cedera otak dan harus diobati secara agresif dengna asetaminofen atau
kompres dingin. Pengobatan penyebab (antibiotic) diberikan bila perlu.
Anti kejang : fenitoin 15 20 mg/kgBB bolus intravena, kemudian 300mg/hari
intravena mengurangi frekuensi kejang pascatrauma dini (minggu pertama)
dari 14% menjadi 4 % pada pasiendengan perdarahan intracranial traumatic.
Pemberian fenitoin tidak mencegah timbulnya epilepsi pasca trauma di
kemudian hari. Jika pasien tidak menderita kejang, fenitoin harus dihentikan
setelah 7 -10 hari. Kadar fenitoin harus dipantau ketat karena kadar subterapi
sering disebabkan hipermtabolisme fenitoin.
Steroid : steroid tidak tebukti mengubah hasil pengobatan pasien dengan
cedera kepala dan dapat meningkatkan resiko infeksi, hiperglikemia, dan
komplikasi lain.untuk itu, steroid hanya dipakai sebagai pengobatan terakhir
pada herniasi serebri akut (deksametaso 10mg intravena setiap 4 6 jam
selam 48 - 72 jam).
Profilaksis thrombosis vena dalam : sepatu bot kompresif pneumatic dipakai
pada pasien yang tidak bergerak untuk mencegah terjadinya thrombosis
venadalam pada eksremitas bawah dan resiko yang berkaitan dengan
troboemboli paru. Heparin 5.000 unit subkutan setiap 12 jam dapat diberikan
72 jam setelah cedera pada pada pasien dengan imobilisasi lama, bahkan
dengna adanya perdarahan intracranial.
Profilaksis ulkus peptik : pasien dengna ventilasi mekanis atau koagulopati
memliki resiko ulserasi sres gastric yang meningkat dan harus mendapat
ranitidine 50mg intravena setiap 8 jam atau sukralfat 1g per oral setiap 6 jam
atau H2 antagonis lain atau inhibitor proton.
Antibiotic : penggunaan antibiotic rutin untuk profilaksis pada pasien dengan
cedera kepala terbuka masih controversial. Golongan penisilin dapat
mengurangi risiko meningitis pneumokok pada pasiendengna otorea, rinorea
cairan serebrospinal atau udara intracranial tetapi dapat meningkatkan risiko
infeksi dengan organism yang lebih virulen.

CT scan lanjutan : umumnya, scan otak lanjutan harus dilakukakan 24 jam


setelah cedera awal pada pasien dengan perdarahan intracranial untuk
menilai perdarahan yang progresif datau yang timbul belakangan. Namun,
biaya menjadi kendala penghambat.

Komplikasi cedera kepala berat


1. kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknya leptomenignen
dan terjadi pada 2 6 % pasien dengna cedera kepala tertutup. Kebocoran ini
berhenti spontan dengan elevasi kepala setelah beberapa hari pada 85% pasien.
Drainase lumbal dapat mempercepat proses ini. Walaupun pasien ini memiliki risiko
meningitis yang meningkat (biasanya pneumokok), pemberian antibiotic profilaksis
masih controversial. Otorea atau rinorea cairan serebrospinal yang lmenetap atau
meningitis berulang merupakan indikasi untuk operasi reparative.
2. fistel karotis kavernosus dintandai oleh trias gejala : eksolftalmos, kemosis dan
bruit orbita, dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cedera. Angiografi
diperlukan untuk konfirmasi diagnosis dan terapi dengan oklusi balon endovascular
merupakan cara yang paling efektif dan dapat mencegah hilangnya penglihatan
yang permanen.
3. diabetes insipidus dapat disebabkna oleh kerusakan taumatik pada tangkai
hipofisis, menyebabkan penghentian sekresi hormone antidiuretik. Pasien
mengekskresikan sejumlah besar volume urin encer, menimbulkan hipernatremia
dan deplesi volum. Vasopressin arginin (piuressin) 5 10 unit intravena,
intramuscular, atau subkutan setiuap 4- 6 jam atau desmopressin asetat subkutan
atau intravena 2 4 mg setiap 12 jam, diberikan untuk mempertahankan
pengeluaran urin kurang dari 200ml/jam, dan volume diganti dengan cairan
hipotonis (0.25% atau 0.45% salin) tergantung pada berat ringannya
hipernatremia.
4. kejang pacatrauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama), dini (minggu
pertama) atau lanjut (setelah satu minggu). Kejang segera tidak merupakan
predisposisi untuk kejang lanjut, dan pasien ini harus dipertahankan dengna anti
konvulsan. Insidens keseluruhan epilepsi pascatrauma lanjut (berulang, tanpa
provokasi) setelah cederah kepala tertutup adalah 5%; risiko mendekati 20% pada
pasien dengan perdarahan intracranial atau fraktur depresi.
Sekuele
1. konkusi otak (komosio serebri). Konkusi berkaitan dengan hilangnya kesaran
untuk sementara yang rerjadi pada saat benturan. Kejadian ini biasanya
berhubungan dengan perioda amnesia yang singkat. Sebagian besar pasien dengan
konkusi dengan CT scan atau resonansi magnetic yang normal, yang menujukkkan

bahwa konkusi disebabkan oleh efek fisiologis atau fungsional pada otak (bukan
structural). Kira kira 5% pasien yang menderita konkusi terus menerus akan
menderita perdarahan otak.
2. hematoma epidural. Perdarahan epidural biasanya disebabkan oleh robeknya
arteri menginea mediam sekitar 75 % kasus demikian berkaitan dengan fraktur
cranium.perjalanan klinis klasik (pada sepertiga kasus), mula mula kehilangan
kesadaran sejenak (konkusi) kemudian melalui interval bebas gejala (lusid), yang
diikuti oleh penurunan kesadaran sekunder ketika hematom epidural membesar.
Darah dalam rongga epidural akan menggembung keluar (konveks) pada CT scan
karena keterbatasan rongga akibat perlekatan yang erat dengna duramater pada
sutura cranium. Progresi ke herniasi dan kematian dapat terjadi cepat karena
perdarahan berasal dari arteri.
3. hematoma subdural biasanya berasal dari sumber vena, dengan pengumpulan
dalam rongga antara duramater dan memberan subaraknoid. CT scan
memperlihatkan bentuk hematoma yang kresentik (Bulan sabit) sepanjang
konveksitas hemisfer serebri. Pasien usia lanjut dan alkoholik terutama yang mudah
terhadap perdarahan subdural. Pada pasien ini, hematoma besar dapat disebabkan
oleh benturan kuat atau cedera akselerasi/deselerasi (cedera whiplash)
4. kontusio parenkim dan hematoma : kontusio serebri disebabkan oleh gesekan
atau goresan otak ketika otak bergerak melalui permukaan dalam cranium yang
kasar. Lobus frontal inferior dan temporal merupakan lokasi yang sering dari
kontusio traumatic. Dengan benturan lateral, kontusio dapat terjadi tepat dalam
lokasi benturan ( lesi bentur) atau pada lokasi kontra bentur di sisi lain yang
berseberangan. Kontusio sering berkembang menjadi lesi yang lebih besar antara
12 24 jam dan pada kasus yang jarang, kontusio dapat berkembang dalam 1 hari
atau lebih setelah cedera (hematom spat)
Prognosis
Prognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besarm terutama pada
pasien dengan cedera berat. Skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki nilai
prognosis yang besar: skor pasien 3 4 memiliki kemungkinan meninggal 85% atau
tetap dalam kondisi vegetative, sedangkan pada pasien dengan GCS 12 atau lebih
kemungkinan meninggal atau vegetative hanya 5 10 %. Sindrom pascakonkusi
berhubungan dengan sindrom kronis nyeri kepala, keletihan, pusing,
ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas, dan perubahan kepribadian yang
berkembang pada banyak pasien setelah cedera kepala. Sering kali bertumpang
tindih dengan gejala depresi.
(Kapita selekta kedokteran, edisi ketiga, jilid 2, penerbit media Aesculapius, editor,
arif mansjoer, suprohaita, wahyu ika wardhani, wiwiek setiowulan halaman 3 - 8)

Anda mungkin juga menyukai