Anda di halaman 1dari 5

Kurzbericht FES Indonesien

Pembangunan Ekonomi dan Sosial di Timor Leste


Peranan Masyarakat Sipil dan Serikat Pekerja
Tia Mboeik, FES Jakarta, April 2008

Tahun 2007 Timor Leste telah menjalani langkah-langkah penting ke arah demokrasi. Kini tiba
saatnya parlamen yang terbentuk Oktober 2007 menetapkan hal politik ekonomi dan penciptaan
lapangan kerja sebagai prioritas dalam agenda kerjanya.
Pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Ramos Horta dan Perdana Menteri Xanana
Gusmao sangat mengerti risiko dari tingginya tingkat pengangguran, kemiskinan, serta pesimisme
kaum muda terhadap stabilitas politik negara. Perubahan haluan politik ekonomi dilakukan untuk
memperbaiki iklim investasi dan memperbesar peluang penciptaan lapangan kerja.
Masa peralihan sistem ekonomi berorientasi dana bantuan internasional (Aid Economy) menuju
berkelanjutan yang mengandalkan pemasukkan dari sektor migas sangat memerlukan lobi intensif
antara masyarakat sipil, kelompok sosial dan serikat pekerja.

Sejak kemerdekaannya dari Indonesia pada


tahun 2002 hingga saat ini, Timor Leste telah
mengalami beberapa pergolakan hebat. Jalan
menuju pencapaian kesatuan bangsa dan
negara penuh kendala dan berliku. Umumnya,
pemberitaan tentang Timor Leste meliputi
perkembangan politik negara itu. Kunci
keberhasilan pencapaian negara damai dan
Nationbuilding terletak pada pertumbuhan
ekonomi negara yang pesat dan berkelanjutan,
karena ini penting untuk meredam gejolak
sosial. Analisa singkat di bawah ini bermaksud
menunjukkan kontribusi konstruktif yang dapat
diberikan organisasi-organisasi masyarakat
sipil dan serikat pekerja terhadap upaya
pencapaian tujuan tersebut.
Babak Baru dalam Perkembangan Politik
Ekonomi?
Pelaksanaan Pemilu pada bulan April dan Juni
2007 secara damai dan demokratis menandai
era baru kehidupan bernegara di Timor Leste.
Pemerintahan baru terpilih koalisi antara
CNRT, ASDT/PSD dan PD bertekad
mendukung proses Nation dan State Building
melalui kemandirian ekonomi dan perbaikan riil
situasi sosial rakyatnya. Sejak dulu hal ini
merupakan salah satu tujuan pemerintahan
sebelumnya di bawah kepemimpinan Perdana
Menteri Mari Alkatiri dari partai FRETELIN.
Politik keuangan pemerintahan Alkatiri dikenal
sangat mengandalkan aliran deras dana
bantuan internasional (1999 sampai 2006
mencapai 5 Milyar USD), sehingga utang
negara dapat ditahan di level nol. Sementara
kebutuhan sehari-hari diimpor dengan harga
yang semakin mahal, bea masuk untuk
barang-barang mewah dibiarkan rendah.
Politik keuangan FRETELIN yang demikian
juga berimbas terhadap pembangunan jangka
panjang infrastruktur perekonomian nasional.

Hampir sepenuhnya Timor Leste kini


bergantung kepada impor untuk mencukupi
kebutuhan konsumsi dan investasi.
Rencana pemerintahan kini di bawah pimpinan
Perdana Menteri Xanana Gusmao adalah
melakukan reformasi ekonomi politik guna
membuka secara bertahap pasar domestik
agar investor asing dapat diterima. Modal
asing diharapkan dapat dipergunakan untuk
menunjang pengembangan potensi ekonomi
negara sesuai kebutuhan pasar domestik.
Namun, rencana ini berseberangan dengan
pandangan FRETELIN yang ragu atas kinerja
pemerintah muda. Mereka juga khawatir
bahwa pemerintah akan terlalu mudah terlena
politik
neo-liberalis
seiring
dengan
meningkatnya pengaruh lembaga keuangan
internasional. Padahal jika dilihat situasi
sesungguhnya, Timor Leste tidak memiliki
pilihan lain selain membuka pasar lokal. Ini
terlihat pada BIP negara selama 4 tahun
terakhir yang terpaku di 400 juta USD.
Pemerintah berharap bahwa penetapan
prioritas baru dan pemberdayaan sektor
swasta paling tidak dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi jangka panjang sebesar
lima sampai enam persen per tahun. Sejumlah
langkah konkret sedang dijajaki, termasuk di
dalamnya membentuk badan pengawasan
sistem perbankan, sistem keuangan dan
badan statistik nasional, mengarahkan politik
anggaran belanja negara berkelanjutan,
membatasi angkatan pegawai negeri, serta
menyederhanakan sistem perpajakan. Semua
ini ditujukan untuk membuka pasar domestik
secara bertahap dan menyesuaikannya
dengan kondisi di negara-negara tetangga di
kawasan Asia. Perihal Millenium Goal PBB
(MDG), Bank Dunia memperhitungkan bahwa
Timor Leste setidaknya memerlukan tujuh
persen pertumbuhan ekonomi berkelanjutan

Kurzbericht FES Indonesien

untuk mencapai hanya satu dari berbagai


tujuan MDG yaitu pengentasan kemiskinan
negara sepertiga dari tingkat sekarang hingga
tahun 2015.
Pemberdayaan
Stabilitas

Sosial

Sebagai

Kunci

Pada tanggal 11 Februari 2008 terjadi


pencobaan pembunuhan terhadap Presiden
Jose Ramos-Horta dan Perdana Menteri
Xanana Gusmao. Sementara Gusmao selamat
tanpa cedera, Ramos-Horta mengalami cedera
berat. Diberitakan, dalang aksi tersebut adalah
Major Alfredo Reinaldo yang desersi dari
satuannya tahun 2006 dan tewas di tempat.
Aksi 11 Februari dipercaya merupakan
dampak
berkepanjangan
dari
konflik
kekerasan tahun 2006. Aksi semacam ini
menuntut pemerintah untuk sangat berhati-hati
dan bijak dalam mencari solusi damai atas
konflik kekerasan bermuatan politik. Salah
satu penyebab utama instabilitas politik di
Timor Leste adalah hubungan keterkaitan
antara
kemiskinan,
pengangguran
dan
kurangnya visi masa depan, khusunya bagi
penduduk usia muda (40% berumur di bawah
20 tahun). Demikian pula halnya dengan
Alfredo Reinaldo, yang semasa hidupnya
dikenal sebagai idola kalangan pengangguran
usia muda. Mereka melihat dirinya sebagai
korban suatu sistem perekonomian negara
yang gagal dan maraknya praktek korupsi
kaum elit politik. Ini menunjukkan bahwa
pemberdayaan masyarakat dan reformasi
sektor ekonomi guna kebaikan rakyat luas
merupakan suatu tugas pokok yang sangat
mendesak .
Waktunya mendesak karena krisis sosial
mempercepat putaran spiral kekerasan.
Tercatat ada 14.000 anak putus sekolah setiap
tahunnya, yaitu 23% di daerah dan hampir
44% di Dili dan kawasan sekitar. Yang perlu
ditanggapi dengan serius adalah tingkat
kerentanan yang tinggi dari kalangan
pengangguran laki-laki terhadap manipulasi
politik dan penggunaan kekerasan. Walau
pemerintahan
Alkatiri
telah
berupaya
membangun banyak sarana publik, seperti
sekolah dan rumah sakit, namun pada
kenyataannya, jumlah dan kondisinya masih
jauh dari cukup. Lebih dari 30.000 penduduk
masih tinggal di kamp-kamp pengungsian.
Mereka belum kembali ke desa asalnya
karena takut menghadapi aksi balas dendam
di desa asal, atau karena di sana tidak ada
harta benda yang tersisa akibat konflik
berpuluh tahun lamanya. Pemerintah juga
harus memperhatikan masalah pokok lainnya,
seperti tingginya pertumbuhan penduduk
(3,2% di tahun 2006), rendahnya standar

kesehatan (50% penduduk tanpa akses ke air


bersih), maupun tingkat pendidikan khususnya
generasi pra-dewasa. Penerapan mata uang
US Dollar sebagai mata uang resmi pada
tahun 2000 dikarenakan luasnya kehadiran
pihak internasional yang turut melejitkan biaya
hidup yang bahkan melampai batas rata-rata
biaya hidup level Asia. Kesenjangan sosial di
antara segelintir kelompok pemenang (net
winner) dan pihak yang kalah (net loser) dalam
enam tahun proses State- dan Nationbuilding
menjadi semakin lebar. Tingkat kemiskinan di
bawah 55 Cent per hari mencapai 40%.
Demikian juga Human Development Index
Timor Leste tahun 2005 hanya mencapai
0,514, ini jauh lebih rendah dibandingkan
dengan negara-negara ASEAN lainnya.
Sangat mungkin bahwa keterpurukan ekonomi
dapat semakin dalam berimbas pada naiknya
tingkat penggunaan kekerasan. Hal ini juga
memperkecil
kesempatan
mencapai
perdamaian.
Kekayaan Sumber Alam Sebagai Generator
Perekonomian?
Mayoritas penduduk Timor Leste (80%)
mengandalkan subsistence farming untuk
pemenuhan kebutuhannya. Di Timor Leste
tidak ditemukan industri besar lain selain kopi.
Meskipun
peluang
ekonominya
sangat
terbatas, Timor Leste mustahil menampik
aliran dana internasional. Membuka pasar
nasional tanpa persiapan matang juga
bereisiko terjadinya dominasi pemilik modal
asing. Tingginya tingkat impor Timor Leste hampir 220 juta USD per tahun juga bukan
persoalan mudah. Pemerintah sangat sadar
akan bahaya masuknya Neo-Liberalisme ke
negara muda ini.
Selain dana internasional, Timor Leste sangat
mengandalkan
pendapatan
nasional
utamanya, yaitu eksplorasi migas di laut Timor
(Selatan). Untuk itu, lembaga eksplorasi migas
gabungan Australia Timor Leste tahun 2006
dibentuk. Dari eksplorasi Greater Sunrise
diprediksi mendatangkan penghasilan sekitar
10 Millyar USD selama 30 tahun mendatang,
yang sebagian besar diperuntukan bagi Timor
Leste. Dari Bayu-Undan juga dinantikan 250
Juta USD per tahun selama 20 tahun
mendatang. Guna menjamin pemakaian dana
perminyakan untuk mendukung perbaikan
kondisi hidup keseluruhan penduduk Timor
Leste, sangat diperlukan kecerdasan politik.
Beberapa langkah pencapaian pun dilakukan.
September 2005 Timor Leste membentuk
suatu Dana Perminyakan Timor-Leste (Timor
Leste Petroleumfond) yang mencontoh model
Norwegia. Di dalamnya semua pendapatan

Kurzbericht FES Indonesien

perminyakan langsung didepositokan untuk


jangka waktu 10 tahun di Federal Reserve
Bank, Amerika Serikat, sebelum akhirnya
ditransfer ke anggaran tahunan pemerintah
Timor Leste. Penggunaan dana perminyakan
mensyaratkan persetujuan dari parlamen yang
diperuntukkan
khusus
untuk
investasi
pembangunan prasarana publik. Untuk
mengantisipasi penghentian dana akibat
batasan alamiah eksplorasi, sebagian besar
dana perminyakan juga disimpan dalam
bentuk saham risiko rendah. Hal ini diharapkan
dapat menunjang anggaran negara Timor
Leste setelah sumber alam migas habis.
Pemerintahan
FRETELIN
merayakan
pembentukan dana perminyakan sebagai
suatu kesuksesan. Namun, keterbatasan
penggunaan
dana
perminyakan
juga
menghadapi kritik tajam. Merujuk pada
stagnasi perkembangan ekonomi dan sosial,
para
kritisi
mempertanyakan
manfaat
penyimpanan secara ketat dana perminyakan
di Amerika Serikat. Kritik demikian juga
sempat populer di negara-negara kaya migas
dan penuh konflik. Contohnya saja negara
Tschad di Afrika yang pemerintahannya
merubah sepihak undang-undang alokasi dana
perminyakannya untuk kepentingan jangka
pendek. Imbasnya adalah meluasnya praktek
korupsi, peningkatan inflasi dan krisis ekonomi
berkelanjutan, yang pada akhirnya merubah
Tschad menjadi Failed State. Belajar dari
pengalaman negara lain, pemerintahan Timor
Leste dan parlamen sangat dianjurkan untuk
bersabar dan berhati-hati dalam menggunakan
dana perminyakan. Tujuan jangka panjang
sebaiknya tidak dikorbankan oleh upaya
jangka pendek untuk kepentingan menaikkan
anggaran negara. Selain Dana Perminyakan,
perlu juga diperhatikan rendahnya daya
eksekusi anggaran negara yang periode
2005/2006 hanya mencapai dua pertiga dari
anggaran belanja negara yang disetujui.
Dalam menghadapi warisan pemerintahan
sebelumnya bebas hutang di atas tingginya
ketimpangan sosial dan perpecahan bangsa
tahun 2006, pemerintahan sekarang justru
dituntut untuk lebih giat mencari potensi
ekonomi yang dapat dikembangkan. Inisiatif
tinggi serta sikap terbuka Ramos Horta dan
Xanana Gusmao dalam mencari mitra
ekonomi dari kawasan Asia Pasifik seperti
Australia dan Indonesia layaknya disambut
positif. Minat khusus membangun kemitraan
dengan negara RRC, yang kehadirannya di
Timor Leste semakin jelas juga mempunyai
potensi ekonomi.
Sejumlah langkah awal perlu dilakukan untuk
memastikan investasi jangka panjang pemilik

modal asing: menjamin keamanan dan


stabilitas politik, membangun prasarana pokok,
mengadakan sektor produksi berpotensi,
memenuhi standar pendidikan dasar, serta
mengadakan
pelatihan
tenaga
ahli.
Sedangkan kendala utama untuk investor
asing seringkali adalah biaya produksi dan
biaya hidup yang terlampau tinggi dan tidak
terkalkulasi, rendahnya tingkat pendidikan dan
produktivitas tenaga kerja, inefisiensi struktur
birokrasi, pasar domestik yang terlampau kecil,
serta lokasi yang jauh dari pusat pasar dunia.
Masyarakat Sipil Penunjang
Pembangunan Sosial
Tantangan yang dihadapi lembaga kerjasama
dan pembangunan internasional di Timor
Leste sangat banyak. Meskipun demikian,
UNDP dalam laporan Human Development
Report 2006 tentang Timor Leste berpendapat
bahwa pemasukkan Timor Leste dari sektor
migas cukup untuk mereduksi kemiskinan
sampai tahun 2015 setinggi 50%. Disebutkan
pula bahwa penggunaan dana minyak untuk
tujuan pengentasan kemiskinan hanya bisa
efektif jika dana minyak khususnya digunakan
untuk pembangunan daerah pedalaman dan
pengembangan layanan pendidikan dan
kesehatan publik. Secara ideal, sistem
perekonomian daerah pedalaman yang
dinamis dan yang memungkinkan petani
memperbaiki tingkat hidup adalah kunci
kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Hal
tersebut mustahil tercapai jika tidak ada
struktur birokrasi memadai dan mekanisme
pengawasan ketat terhadap penyelewengan
anggaran. Demikian pula dana 100 juta USD
dari Uni Eropa untuk pengembangan daerah
pedalaman yang hanya akan tepat sasaran
jika prasyarat yang disebutkan di atas juga
diperhatikan dengan sungguh-sungguh.
Prasyarat kedua yang dipaparkan UNDP
dalam laporannya adalah efisiensi struktur
birokrasi dan tenaga ahli lokal yang mencukupi
dalam badan kerja negara. Dalam hal ini
UNDP menganjurkan agar kerjasama antara
pemerintah
dan
kelompok-kelompok
masyarakat sipil ditingkatkan. Walaupun
kapasitas masyarakat sipil terbatas, namun
peranan mereka bisa sangat menentukan
masa depan Timor Leste. Non-Governmental
Organisation (NGO) pada umumnya memiliki
pengetahuan
dasar
berorganisasi
dan
bersosialisasi, bekerja dalam jaringan, serta
tidak mengejar kepentingan politik selayaknya
parpol.
Sekurang-kurangnya di Timor Leste ada 400
NGO yang bekerja di 13 distrik dengan
beragam fokus kerja: bantuan kemanusiaan,

Kurzbericht FES Indonesien

capacity
building,
bantuan
teknis
(pembangunan jalan, jalur air bersih dan
fasilitas MCK - mandi cuci kakus),
pemberdayaan ekonomi kemasyarakatan,
penguatan pemahaman dan pembelaan hak
asasi manusia (HAM) serta good governance.
Lebih dari seperempat NGO tersebut adalah
implementing NGO yang mengandalkan
pendanaan dari sumber internasional. Di
daerah pedalaman kinerja NGO lebih ditujukan
untuk pemberdayaan kelompok kerja mandiri
serta penyaluran bantuan teknis. Pencapaian
hasil optimal disayangkan sering kali terbentur
pada keterbatasan kapasitas struktur birokratis
yang sentralis. Hal ini juga menimbulkan
pertanyaan apakah lebih baik menambah
angkatan kerja pegawai negeri ataukah
mengintegrasi personal NGO ke dalam
struktur
birokrasi.
Analisa
menyeluruh
mengenai sisi baik dan buruk kedua opsi
sangat dianjurkan untuk mengkaji efektifitas
saran dari UNDP. Perlu diingat, secara jangka
panjang langkah memperluas angkatan
pegawai negeri bisa berbalik bagai bumerang
untuk Timor Leste.
Peranan khusus NGO di Dili juga perlu
diperhatikan.
Sebagai
pressure
groups
independen, mereka mengarahkan perhatian
pemerintah dan masyarakat umum terhadap
masalah-masalah
aktual
seperti
pengungkapan masa lalu dan rekonsiliasi,
proses peradilan terhadap pelanggaran HAM,
pemberantasan korupsi, serta penyelesaian
konflik secara damai. Organisasi-organisasi
tersebut sebagian besar bekerja dengan risiko
tinggi. Walaupun tidak mengikat diri secara
politis dan mengandalkan aturan main sipil,
tidak sedikit dari NGO yang menjadi korban
intimidasi dan permainan politik. Undangundang yang dikeluarkan FRETELIN untuk
membatasi kebebasan berpendapat dan
berkumpul sering diselewengkan untuk
membungkam kritisi pemerintah yang dinilai
terlalu vokal.
Peran Serikat Pekerja dalam Politik
Ketenagakerjaan Aktif
Di samping NGO, Serikat Pekerja juga
berperan penting dalam membentuk dinamika
masyarakat
sipil.
Mengingat
rencana
pemerintah meningkatkan investasi di sektor
migas maka dapat dipastikan bahwa peranan
serikat pekerja di masa depan akan semakin
besar. Serikat pekerja diharapkan berperan
aktif dalam meningkatkan produktivitas dan
perbaikan iklim investasi guna perluasan
kesempatan kerja. Bersamaan dengan itu,
Serikat Pekerja juga mesti berperan dalam
menjamin perlindungan hak-hak pekerja dan
anggotanya serta perbaikan situasi materiil

anggotanya. Mencapai kedua tujuan ini adalah


balancing act yang sangat sulit. Sebagai
advocacy group, keberadaan Serikat Pekerja
sangat penting dan bermanfaat karena Serikat
Pekerja, seperti juga NGO, memiliki kapasitas
dan pengetahuan dasar aturan main sipil
serta bekerja lintas politik. Timor Leste
mempunyai satu konfederasi nasional, yaitu
Konfederasaun Sindicatu Timor Lorosae
(KSTL) yang beranggotakan sekitar 6.400
pekerja dari delapan federasi industri. Namun
hanya 1.400 anggotanya yang membayar
iuran secara aktif. Pada tahun 2007 terbentuk
juga federasi untuk public service, yaitu
Sindicatu Funsaun Publiku Timor Leste
(SFPTL).
Konstitusi dan Undang-Undang Timor Leste
menjamin hak dasar berserikat, hak mogok
dan juga hak untuk melakukan negosiasi upah.
Namun peraturan-peraturan baru mengenai
hak berkumpul dan migrasi berdampak pada
pembatasan hak mogok dari Serikat Pekerja.
Seringkali ketidakberadaan badan resmi
pengawasan ketenagakerjaan mempersulit
pemenuhan
penerapan
undang-undang
ketenagakerjaan. Peluang kerja yang terbatas
juga membuat pihak majikan berada dalam
posisi
yang
diuntungkan.
Peraturan
ketenagakerjaan dari era UNTAET Mei 2002

isinya
sangat
umum
dan
untuk
penerapannya terbentur pada ketidakberadaan
peraturan eksekusi, umpamanya perihal
prosedur penanganan perselisihan hubungan
industrial.
Berbagai upaya telah dilakukan KSTL untuk
meningkatkan perhatian pemerintah atas
pelanggaran hak-hak pekerja yang semakin
sering terjadi. Di antaranya adalah upaya
untuk
memperjuangkan suatu peraturan
khusus yang menjamin perlindungan bagi
pekerja dari tindakan PHK sepihak pada saat
situasi darurat sedang diberlakukan. Latar
belakang dari langkah tersebut adalah krisis
tahun 2006 yang mengakibatkan banyak
pekerja di-PHK sepihak oleh majikannya.
KSTL dengan tegas membela pekerja yang diPHK saat krisis 2006 agar dipekerjakan
kembali. Walau masih terbatas pada pegawai
negeri, KSTL juga mengupayakan perbaikan
peraturan jaminan sosial pekerja dan juga
pembayaran pensiun kepada pegawai negeri.
Selain demonstrasi masal yang diorganisir
bersama oleh berbagai NGO dan kalangan
masyarakat sipil, KSTL terus melakukan lobi
intensif dengan anggota parlamen komisi HAM
dan demokrasi guna mempertegas kerangka
hukum perlindungan hak-hak pekerja.

Kurzbericht FES Indonesien

Kesimpulan
Bagi masyarakat sipil, makna pergantian
pemerintahan setelah pemilu 2007 sangat
besar. Rencana reformasi politik ekonomi
pada dasarnya disambut positif. Harapan ini
juga berdasarkan terjadinya alih generasi
dalam politik. Terlepas dari sikap hormat
terhadap generasi tua pejuang kemerdekaan,
ada kesadaran bahwa suatu dinamika
memang diperlukan untuk perbaikan iklim
politik di Timor Leste.
Penyerangan
Alfredo
Reinaldo
dan
pendukungnya terhadap Ramos Horta dan
Xanana Gusmao bisa juga diartikan sebagai
tanda keraguan terhadap tokoh politik generasi
tua dan elit dari pihak generasi muda karena
didorong oleh ketidaksabaran dan rasa putus
asa. Ini adalah saat yang tepat bagi Timor
Leste untuk memaksimalkan sumber daya
yang dimiliki guna mendorong pembangunan
ekonomi berkelanjutan.
Terpilihnya orang muda untuk menduduki
posisi penting dalam pemerintahan baru
mencerminkan harapan bagi Timor Leste
bahwa pencarian solusi untuk krisis ekonomi

dan sosial mendapat prioritas. Perrmasalahan


segala konflik khususnya terletak pada krisis
ekonomi dan sosial. Mengingat adanya
batasan waktu berakhirnya bantuan dana
internasional dan juga tingginya pemasukkan
dari sektor migas yang diharapkan negara,
maka kerjasama yang lebih intensif antara
pemerintah dan kelompok masyarakat sipil di
pembangunan daerah pedalaman serta good
governance sangat penting. Serikat pekerja
sebagai advocacy group yang memiliki struktur
organisasi dan bekerja lintas politik juga
memiliki potensi untuk menjadi pihak
penasihat pemerintah dalam hal kebijakan
ketenagakerjaan yang berkeadilan sosial.
Keterlibatan aktif masyarakat sipil sebagai
aktor berpengaruh dan pressure group bukan
hanya diharapkan namun akan menjadi
penentu bagi masa depan demokrasi,
pembangunan ekonomi berkelanjutan dan
stabilitas di Timor Leste.
Judul naskah asli: Wirtschaftliche und soziale
Entwicklung in Timor Leste Zur Rolle der
Zivilgesellschaft und der Gewerkschaften, Tia
Mboeik, FES Jakarta, 2008.

Penanggung Jawab: Dr. Beate Bartoldus, Pimpinan Referat Asia dan Pasifik kantor pusat Friedrich
Ebert Stiftung (E-Mail: beater.bartoldus@fes.de, Tel. 0228-883516/7)
Kontak: Julia Mueller, Referat Asia dan Pasifik kantor pusat Friedrich Ebert Stiftung (E-Mail:
juliamueller@fes.de, Tel. 0228-883-536)

Anda mungkin juga menyukai