TUGAS KELOMPOK
EUTHANASIA
Dosen Pembimbing:
Disusun Oleh:
Misbahul Munir
Andi Pranoto
JURUSAN TARBIYYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
AL-FATAH JAYAPURA
2010
BAB I
EUTHANASIA
A. PENDAHULUAN
Setiap makhluk hidup, termasuk manusia akan mengalami siklus kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan
berbagai permasalahannya, dan diakhiri dengan kematian. Dari berbagai siklus kehidupan di atas, kematian merupakan salah satu yang masih mengandung
misteri yang sangat besar. Mati sesungguhnya masalah yang sudah pasti terjadi, akan tetapi tidak pernah diketahui dengan tepat kapan saatnya terjadi.
Pengertian tentang kematian itu sendiri mengalami perkembangan dari waktu ke waktu sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Kematian
dapat dibagi menjadi 2 fase, yaitu: somatic death (Kematian Somatik) dan biological death (Kematian Biologik). Kematian somatik merupakan fase
kematian dimana tidak didapati tanda tanda kehidupan seperti denyut jantung, gerakan pernafasan, suhu badan yang menurun dan tidak adanya aktifititas
listrik otak pada rekaman EEG. Dalam waktu 2 jam, kematian somatik akan diikuti fase kematian biologik yang ditandai dengan kematian sel. Kurun waktu
2 jam diantaranya dikenal sebagai fase mati suri. Dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan seperti alat respirator (alat bantu nafas), seseorang yang
dikatakan mati batang otak yang ditandai dengan rekaman EEG yang datar, masih bisa menunjukkan aktifitas denyut jantung, suhu badan yang hangat,
fungsi alat tubuh yang lain seperti ginjalpun masih berjalan sebagaimana mestinya, selama dalam bantuan alat respirator tersebut. Tanda tanda kematian
somatik selain rekaman EEG tidak terlihat. Tetapi begitu alat respirator tersebut dihentikan, maka dalam beberapa menit akan diikuti tanda kematian somatik
lainnya. Walaupun tanda tanda kematian somatik sudah ada, sebelum terjadi kematian biologik, masih dapat dilakukan berbagai macam tindakan seperti
pemindahan organ tubuh untuk transplantasi, kultur sel ataupun jaringan dan organ atau jaringan tersebut masih akan hidup terus, walaupun berada pada
tempat yang berbeda selama mendapat perawatan yang memadai.
Jadi dengan demikian makin sulit seorang ilmuwan medik menentukan terjadinya kematian pada manusia. Apakah kematian somatik secara lengkap
harus terlihat sebagai tanda penentu adanya kematian, atau cukup bila didapati salah satu dari tanda kematian somatik, seperti kematian batang otak saja,
henti nafas saja atau henti detak jantung saja sudah dapat dipakai sebagai patokan penentuan kematian manusia. Permasalahan penentuan saat kematian ini
sangat penting bagi pengambilan keputusan baik oleh dokter maupun keluarganya dalam kelanjutan pengobatan. Apakah pengobatan dilanjutkan atau
dihentikan. Dilanjutkan belum tentu membawa hasil, tetapi yang jelas akan menghabiskan materi, sedangkan bila dihentikan pasti akan membawa kefase
kematian. Penghentian tindakan pengobatan ini merupakan salah satu bentuk dari euthanasia.
Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa euthanasia adalah usaha mempercepat kematian seorang pasien penderita penyakit kritis
yang dilakukan/petugas medis lainya berdasarkan permintaan pasien sendiri dan atau keluarganya.
Dengan demikian dapat diungkapkan bahwa euthanasia aktif adalah suatu kejadian dimana dokter atau tenaga medis lainya secara sengaja
melakukan suatu tindakan untuk memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien. Sedangkan euthanasia pasif adalah suatu kejadian dimana dokter atau
tenaga medis lainnya secara sengaja tidak memberikan bantuan medis terhadap pasien yang akhirnya menyebabkan pasien meninggal dunia.
Euthanasia pasif atas permintaan sendiri biasanya disebut pula auto euthanasia, yaitu situasi dimana seorang pasien dengan sadar menolak secara
tegas untuk menerima perawatan medis, bahkan ia telah menyadari bahwa hal itu akan dapat memperpendek atau mengakhiri hidupnya sendiri.
Dalam kaitannya dengan masalah euthanasia ini J.E. Sahetapy membagi euthanasia dalam tiga jenis, yaitu :
1. Kematian yang terjadi karena pasien dengan sungguh-sungguh dan secara cepat menghendaki untuk mati;
2. Kematian yang terjadi karena kelalaian/kegagalan dari dokter dalam mengambil suatu tindakan untuk mencegah adanya kematian;
[4]
3. Kematian yang terjadi karena tindakan positif dari donter untuk mempercepat kematian.
Artinya : “ Janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan” (Q.S. Al-Isra’: 31 )
Tegasnya, bahwa kemiskinan atau alasan lainnya bukanlah menjadi legitimasi terhadap suatu tindakan pembunuhan. Dalam syariat Islam memang ada
alasan sah yang membolehkan mengakhiri hidup orang lain, yaitu karena yang bersangkutan membunuh orang lain secara melawan hukum, orang yang sudah
menikah melakukan perzinaan atau murtad. Rasulullah SAW bersanda :
Artinya : “ Tidak dihalalkan darah seorang muslim yang mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Aku (Muhammad) itu utusan Allah, kecuali oleh
satu sebab dari tiga alasan, yaitu orang yang (diqisas) karena membunuh orang lain, berzina sedang ia sudah kawin, dan keran meninggalkan agamanya serta
memisahkan diri dari jama’ah (kaum muslimin).” (HR. Buhkari)
Berdasarkan ayat dan hadits diatas dapat dikatakan bahwa larangan pembunuhan tanpa hak itu bersifat umum dan mutlak. Dengan demikian dokter yang
memberikan suntikan obat berdosis tinggi dengan tujuan untuk mempercepat kematian pasiennya adalah termasuk tindakan pembunuhan yang terlarang.
Karena yang berhak menentukan cepat atau lambatnya ajal adalah merupakan hak prerogatif Allah, seperti diungkapkan dalam firman Allah yang berbunyi :
Artinya : “Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak
dapat (pula) memajukannya.” (Q.S. Al-A’raf :34)
Namun demikian ayat diatas tidak bertentangan dengan Q.S. Yunus : 107.
Artinya : “Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki
kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurniaNya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-
hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Yunus : 107)
Pada ayat diatas Hamka menafsirkannya bahwa “ kalau suatu mala petaka atau mara bahaya menimpa diri, tak ada yang lain berkuasa atau
berkesanggupan menghidarkan mala petaka itu melainkan Tuhan Allah jua dengan hukum sebab akibat.
Dengan demikian tindakan dokter itu bertentangan dengan kehendak Allah. Sebab mungkin saja Allah hendak mencoba hamba-Nya itu dengan penyakit
yang dideritanya tadi. Sehingga walaupun niat dokter dalam memberikan obat berdosis tinggi itu untuk “kebaikan” (agar penderitaan pasiennya cepat
berakhir), namun cara yang ditempuhnya berdampak kematian bagi pasien. Sehingga euthanasia tersebut tetap dilarang, sebab perbuatan haram tak akan
menjadi halal lantaran niat baik. Islam memandang tindakan yang bermanfaat adalah caranya benar secara syara dan niatnya pun benar secara syara pula.
Niat baik dalam euthanasia pada hakekatnya termasuk dalam kategori pemberian bantuan dalam perbuatan yang dilarang Tuhan sebab menginginkan
kematian lantaran suatu penderitaan hidup – termasuk penyakit yang kunjung sembuh adalah dilarang oleh Allah. Nabi SAW bersabda :
Artinya : “Janganlah seorang kamu mengharapkan kematian karena sesuatu musibah yang menimpanya, tetapi jika terpaksa ia harus berbuat begitu maka
katakanlah: Ya Allah biarkanlah aku hidup jika hidup ini lebih baik bagiku dan matikanlah aku jika mati itu lebih baik bagiku.” (HR. Bukhari dari Anas)
Terhadap makna hadits ini Husaini A. Majid Hasyim menjelaskan, bahwa “mengharapkan-harapkan mati karena alasan apapun tidak boleh, baik karena
musibah yang menimpa dirinya, hartanya, ataupun anaknya. Dikecualikan mengharapkan mati karena rindu kepada Allah karena ingin syahid atau karena
takut fitnah dengan satu keyakinan, bahwa kematian itu lebih baik. Namun itupun tidak boleh secara pasti mengharapkan niat.
Tindakan euthanasia berbeda dengan berdoa memohon tunjukan kepada Allah agar dipilihkan yang terbaik antara hidup dengan mati karena tindakan ini
merupakan cerminan sikap hidup yang optimis dan bukan keputusasaan. Sedangkan mengharapkan kematian yang diwujudkan melalui euthanasia merupakan
sikap keputusan yang dibenci oleh Tuhan, sesuai Q.S. Yusuf (12) : 87.
Artinya : “Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”. (Q.S. Yusuf :
87)
Dari ayat diatas dapat dipahami bahwa sikap putus asa dikategorikan sebagai sikap kekufuran apalagi keputusasaan yang menjurus kepada kematian
melalui euthanasia. Bahkan tindakan euthanasia dalam hal ini mengakibatkan dosa yang berlipat ganda yaitu dosa karena putus asa dari rahmat Allah dan dosa
karena membunuh diri sendiri baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam hal ini tindakan dokter yang membantu mempercepat kematian pasien melalui euthanasia juga pada hakekatnya turut menanggung dosa dan
perbuatannya itu termasuk kategori haram. Niat “baik” dokter dalam kasus ini tetap haram karena cara yang ditempuh adalah salah sehingga berakibatkan
kematian juga salah menurut hukum Islam. Sebab dalam kondisi kritis itu seharusnya dokter berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan pengobatan
kepada pasiennya, bukannya diberikan obat yang dapat mempercepat kematian pasien. Dalam kaidah fiqh dijelaskan, bahwa al-dararu la yuzalu bi al-
darar (bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya yang lain).
Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa memudahkan proses kematian pasien secara euthanasia aktif, seperti pada contoh yang telah dikemukakan di
atas, tidak dibolehkan. Sebab tindakan aktif dengan tujuan membunuh si pasien dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis atau
cara lainnya. Tindakan ini tetap dalam kategori pembunuhab, walaupun yang mendorong itu rasa kasihan kepada pasien dan untuk meringankan
penderitaannya. Karena bagaimanapun dokter tidak lebih pengasih dan penyayang daripada Allah. Manusia harus menyerahkan hidup dan matinya kepada
Allah. Dalam euthanasia menandakan manusia terlalu cepat menyerah kepada (fatalis), padahal Allah menyuruh manusia untuk selalu berusaha / berikhtiar
sampai akhir hayatnya.
Sedangkan memudahkan proses kematian pasien dengan euthanasia pasif ini adalah boleh dan dibenarkan syara, bila keluarga penderita mengizinkannya
dan dokter diperbolehkan melakukannya untuk meringankan penderitaan si sakit dan keluarganya. Hal ini berlaku juga terhadap tindakan dokter
menghentikan alat pernapasan buatan dari si sakit, yang menurut pandangan dokter dia dianggap sudah “mati” atau “dihukumi telah mati” karena jaringan otak
atau sumsun yang dengannya seorang dapat hidup dan merasakan sesuatu, telah rusak. Apabila.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa euthanasia aktif haram hukumnya sedangkan euthanasia pasif dibolehkan karena pada hakekatnya tidak ada
keterlibatan langsung dokter dalam kasus terjadinya kematian penderita. Kematian yang dialaminya disebabkan oleh penyakit yang dideritanya, bukan karena
[5]
akibat tindakan dokter.
Pasal 344: “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesunguhan hati, diancam dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahun.”
Pasal 345 : “ Barang siapa yang mendorong orang lain untuk membuntuh diri, menolongnya dalam perbuatan ini atau memberi sarana kepada untuk itu,
[8]
diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun kalau orang itu menjadi bunuh diri.”
Undang undang yang tertulis dalam KUHP Pidana diatas hanya melihat dari dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan
dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada
pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut. Tidak perduli apakah tindakan tersebut
atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang
belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup,
dan bukan menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat oleh pasal pasal dalam undang undang yang terdapat
[9]
dalam KUHP Pidana.
Artinya : “Dan kami telah tetapkan terhadap mereka didalamnya (at-Taurat) bahwasanya jiwa(dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung,
telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qiyasnya.” (Q.S.al-Maidah : 45)
Jadi, dokter yang melakukan euthanasia aktif secara diam-diam (sepengetahuan/izin kelurga pasien) dijatuhi hukuman qiyas. sedangkan euthanasia aktif
yang dilakukan dokter dengan sepengetahuan keluarga dan atau korban termasuk pembunuhan semi sengaja sehingga pelakunnya dijatuhi hukuman diyat
(membayar denda). berbeda dengan euthanasia pasif karena ditolerir ileh syara (boleh). sehingga pelaku euthanasia pasif /negatif tidak dikenai sangsi pidana.
[10]
BAB II
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Euthanasia adalah usahaa mempercepat kematian seorang pasien penderita penyakit kritis yang dilakuakan oleh dokter/petugas medis lainnya baik
berdasarkan permintaan pasien sendiri dan atau keluarganya maupun tidak, karena merasa kasihan dengan penderita pasien. euthanasia terbagi dua
macam, yakni euthanasia aktif/positif dan euthanasia pasif/negaitif;
2. Euthanasia aktif/positif haram hukumnya, sedangkan euthanasia pasif atau negative dibolehkan oleh syara. euthanasia memiliki akibat hukum trhadap
kewarisan. sehingga pelaku euthanasia aktif/pasif dicabut haknya sebagai ahli waris, baik keluarga korban maupun dokter (yang memiliki hubungan
keluarga dengan korban) sedangkan pelaku euthanasia pasif/negatif tetap menjadi ahli waris dari harta yang ditinggalkan korban;
3. Euthanasia menimbulkan dilema karena disatu sisi euthanasia dilakukan dengan rasa kasihan terhadap penderitaan pasien yang tak kunjung sembuh
sehingga terkesan selaras dengan rasa kemanusiaan tetapi disatu sisi euthanasia dapat melanggar hukum baik dari etika kedokteran, hukum positif maupun
hukum Islam;
4. Pelaku euthanasia aktif/positif dijatuhi hukuman qisas jika euthanasia itu dilakukan diam-diam oleh dokter tanpa sepengaetahuan keluarga dan atau
korban. pelaku euthanasia aktif/positif dijatuhi hukuman diyat (membayar denda) jika dokter melakukan euthanasia aktif dengan sepengetahuan keluarga
dan atau korban. sedangkan pelaku euthanasia pasif/negatif tidak dijatuhi hukuman pidana.
B. SARAN
1. Meningkatnya ilmu pengetahuan khususnya dibidang kedokteran diharapkan tidak membuat pola piker medis untuk membuat sesuatu yang bertentangan
dengan kode etik kedokteran, agama dan hukum yang berlaku ;
2. Untuk menghindari keputus asaan kepada pasien dalam menghadapi cobaan yang diberi oleh Allah berupa penyakit, diharapkan tenaga medis selain
berperan sebagai orang yang mengobati juga berperan sebagai motivasi kepada pasien untuk dapat sembuh dari penyakitnya walaupun sebenarnya
penyakitnya sudah tidak dapat disembuhkan;
3. Untuk menghindari hal-hal yang melanggar peraturan agama dan hukum, maka diharapkan adanya …………..khususnya terhadap tindakan medis.
DAFTAR PUSTAKA
La Jamaa’. Euthanasia Menurut Tinjauan Hukum Islam. Jurnal JABAL HIKMAH, STAIN AL-FATAH JAYAPURA. No.2, Vol.1 Januari-Juni 2008.
http://www.rudyct.com/PPS702-ipb/04212/aris_wibudi.htm
KUHP & KUHAP. 2007. Permata Press
NS. Rohmani. (2009). Masalah-masalah Etik Dalam Keperawatan. STIKES. Jayapura Papua.
[1]
Aris Wibudi, Euthanasia (http://www.rudyct.com/PPS702-ipb/04212/aris_wibudi.htm)
[2]
La Jamaa’, Euthanasia Menurut Tinjauan Hukum Islam. Jurnal JABAL HIKMAH, STAIN AL-FATAH JAYAPURA. No.2, Vol.1 Januari-Juni 2008.
[3]
NS. Rohmani, Masalah-masalah Etik Dalam Keperawatan. STIKES. Jayapura papua. 2009. Hlm. 3.
[4]
La Jamaa’, op.cit., hlm.270-174
[5]
Ibid., hlm.277-283
[6]
KUHP & KUHAP (Pertama Press, 2007), hlm.106
[7]
Ibid., 107.
[8]
Ibid., 116
[9]
Aris Wibudi, op.cit.
[10]
la Jamaa’, op.cit., hlm.283-286