Anda di halaman 1dari 28

ANALISIS TINGKAT ANGKA

KEMISKINAN JAWA TENGAH


TAHUN 2005 2008
Disusun untuk memenuhi Ulangan Tengah Semester Genap Tahun 2014
Dosen Pengampu

: Dr. Amin Pujiati, SE., M.Si.

Disusun Oleh

Nama

: Diah Nurlaili

NIM

: 7101412175

Prodi

: Pendidikan Akuntansi B

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah Swt. karena berkat
limpahan rahmat taufik dan hidayah-Nya makalah yang berjudul Analisis
Tingkat Angka Kemiskinan Jawa Tengah Tahun 20052008 ini dapat
terselesaikan.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Ulangan tengah
Semester Genap salah satu mata kuliah yakni Perekonomian Indonesia. Besar
harapan kami agar terselesaikanya makalah ini mampu memberi manfaat bagi
segenap tim penyusun serta bagi para pembacanya.
Keberhasilan penulis dalam penyusunan makalah ini tentunya tidak lepas
dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu penyusun mengucapkan banyak
terimakasih kepada rekan-rekan yang telah berkenan meluangkan waktunya untuk
membantu terselesaikanya makalah ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang perlu kami
benahi terkait penyusunan makalah ini. Untuk itu kami sangat mengharapkan
kritik dan saran dari para pembaca yang membangun demi kesempurnaan
makalah ini dan sebagai koreksi bagi kami, sehingga kedepan kami bisa lebih
baik.

Semarang, 3 Mei 2014

Penyusun

DAFTAR ISI
Halaman Cover ...................................................................................................i
Kata Pengantar ...................................................................................................ii
Daftar Isi .............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakan Masalah ...........................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................6
1.3 Tujuan .....................................................................................................6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori .......................................................................................7
2.2 Penelitian Terdahulu ...............................................................................12
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi Kemiskinan......................................15
3.2 Kondisi Faktor Penyebab Kemiskinan di Jawa Tengah .........................17
3.3 Solusi Untuk Mengurangi Tingkat Kemiskinan .....................................23
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan .............................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................26

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perencanaan

merupakan

sebuah

upaya

untuk

mengantisipasi

ketidakseimbangan yang terjadi yang bersifat akumulatif. Artinya, perubahan


yang terjadi pada sebuah keseimbangan awal dapat menyebabkan perubahan pada
sistem sosial

yang

kemudian akan membawa sistem yang ada menjauhi

keseimbangan semula. Perencanaan memiliki peran yang sangat penting


dalam proses pembangunan. Salah satu peran perencanaan adalah sebagai
arahan bagi proses pembangunan untuk berjalan menuju tujuan yang ingin dicapai
disamping sebagai tolok ukur keberhasilan proses pembangunan yang dilakukan.
Sedangkan pembangunan

sendiri

dapat

diartikan

sebagai

upaya

yang

dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB)


di tingkat nasional atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di tingkat
daerah.
Pemerintah

Indonesia

menyadari

bahwa

pembangunan

nasional

adalah salah satu upaya untuk menjadi tujuan masyarakat adil dan makmur.
Sejalan dengan
diarahkan

tujuan

tersebut,

berbagai

kegiatan

pembangunan

telah

kepada pembangunan daerah khususnya daerah yang relatif

mempunyai kemiskinan yang terus naik dari tahun ke tahun. Pembangunan daerah
dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan sesuai prioritas dan kebutuhan
masing-masing daerah dengan akar dan sasaran pembangunan nasional yang
telah ditetapkan melalui pembangunan jangka panjang dan jangka pendek.
Oleh karena itu, salah satu indikator utama keberhasilan pembangunan
nasional adalah laju penurunan jumlah penduduk miskin. Efektivitas dalam
menurunkan jumlah penduduk miskin merupakan pertumbuhan utama dalam
memilih strategi atau instrumen pembangunan. Hal ini berarti salah satu kriteria
utama pemilihan sektor titik berat atau sektor andalan pembangunan nasional
adalah

efektivitas

dalam

penurunan jumlah penduduk miskin. (Pantjar

Simatupang dan Saktyanu K, 2003).

Permasalahan strategis di pemerintahan Provinsi Jawa Tengah tidak jauh


berbeda dengan di pemerintahan pusat (problem nasional), yakni masih tingginya
angka kemiskinan jika di bandingkan dengan provinsi lain di pulau Jawa.
Oleh karena itu, kemiskinan menjadi tanggung jawab bersama, terutama
pemerintah sebagai penyangga proses perbaikan kehidupan masyarakat dalam
sebuah pemerintahan, untuk segera mencari jalan keluar dengan merumuskan
langkah-langkah yang sistematis dan strategis sebagai upayapengentasan
kemiskinan.

Bagi Provinsi Jawa Tengah, kemiskinan merupakan issue strategis


dan mendapatkan prioritas utama untuk ditangani. Hal tersebut terbukti
selain di dalam Renstra Jawa Tengah (Perda No. 11/2003), Pergub 19 tahun 2006
tentang Akselerasi

Renstra,

Keputusan

tentang pembentukan Tim Koordinasi

Gubernur

No.

Penanggulangan

412.6.05/55/2006
Kemiskinan juga

(TKPK) di dalam draft Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah


(RPJPD) Jawa Tengah tahun 2005-2025, kemiskinan merupakan salah satu
dari

issue strategis yang

mendapat prioritas untuk penanganan pada setiap

tahapan pelaksanaannya. Terkait dengan target tujuan pembangunan millenium


yang harus tercapai pada tahun 2015, maka Provinsi Jawa masih harus bekerja
keras untuk dapat mencapai target tersebut, mengingat upaya penanggulangan
kemiskinan bukan merupakan hal yang mudah untuk dilaksanakan. Pertumbuhan
ekonomi Jawa Tengah pada tahun 2008 secara agregat terlihat cukup dinamis
yaitu diatas 5 persen. Selama periode 2004 sampai dengan 2008, perekonomian
Jawa Tengah menunjukan adanya peningkatan dari tahun ke tahun yaitu tumbuh
2

berkisar 5,0 sampai 5,5 persen. Namun pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah tidak
selalu diiringi dengan penurunan kemiskinan yang signifikan di Jawa Tengah.
Bahkan ketika indikator perekonomian Jawa Tengah naik di tahun 2006,
kemiskinan di Jawa Tengah juga ikut naik mencapai 547.100 penduduk.
Yang lebih memprihatinkan yaitu bahwa berdasarkan data BPS (Badan Pusat
Statistik) tahun 2009, kemiskinan Jawa Tengahmenduduki peringkat ke 22 dari
33 Provinsi di indonesia yaitu sebesar 18,99 persen. Dan lebih lagi bahwa
jika dibandingkan kemiskinan di Pulau Jawa, Jawa Tengah mempunyai
kemiskinan paling besar di banding Provinsi lainnyadi pulau Jawa.

Rendahnya pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk yang sangat


besar akan berpengaruh terhadap kondisi sosial manusia di Jawa Tengah.
Permasalahan dan tantangan pembangunan daerah lima tahun ke depan
masih diprioritaskan pada masalah-masalah sosial yang mendasar, antara lain
besarnya angka kemiskinan dan pengangguran.

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Tengah memberikan


gambaran kinerja pembangunan ekonomi dari waktu ke waktu, sehingga
arah perekonomian daerah akan lebih jelas. Produk Domestik regional Bruto
(PDRB) atas dasar harga konstan digunakan untuk menunjukan laju pertumbuhan
ekonomi secara keseluruhan dari tahun ke tahun.

Hampir tidak ada yang membantah bahwa pendidikan adalah pionir


dalam pembangunan masa depan suatu bangsa. Jika dunia pendidikan suatu
bangsa sudah jeblok, maka kehancuran bangsa tersebut tinggal menunggu waktu.
Sebab, pendidikan

menyangkut

pembangunan

karakter

dan

sekaligus

mempertahankan jati diri manusia suatu bangsa. Banyak orang miskinyang


mengalami kebodohan atau mengalami kebodohan bahkan secara sistematis.
Karena itu, menjadi penting bagi kita untuk memahami bahwa kemiskinan bisa
mengakibatkan kebodohan,dan kebodohan jelas identik dengan kemiskinan
(Winardi,2010 dalam http://andalas van java online.com). Di Jawa Tengah

tingkat pendidikan dapat diukur salah satunya dengan besarnya angka melek
huruf. Dan berdasarkan tabel 1.5 tingkat melek huruf di Jawa Tengah dari
tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 cenderung meningkat.

Tingkat pertumbuhan angkatan kerja yang cepat dan pertumbuhan


lapangan kerja yang relatif lambat menyebabkan masalah pengangguran yang ada
di suatu daerah menjadi semakin serius. Besarnya tingkat pengangguran
merupakan cerminan kurang berhasilnya pembangunan di suatu negara.
Pengangguran

dapat

mempengaruhi

kemiskinan

dengan

berbagai

cara

(Tambunan, 2001). Di Jawa Tengah besarnya tingkat pengangguran bergerak


secara naik turun. Dan di tahun 2007 sampai dengan tahun 2008
mengalami penurunan sebesar 132.911 jiwa.
Dian

Oktaviani

(2001)

dalam

analisisnya

tentang

bagaimana

pengaruh pengangguran terhadap kemiskinan di indonesia menemukan bahwa


tingkat pengangguran berpengaruh positif dan signifikan terhadap kemiskinan,
yang artinya bahwa semakin tinggi tingkat penggauran di Indonesia maka
jumlah penduduk miskin di Indonesia juga akan semakin bertambah seiring
pertambahan jumlah pengguran. Selain itu Deni Tisna (2008) dengan penelitian
yang sama juga menghasilkan hasil yang sama pula, yaitu bahwa tingkat
pengangguran berpengaruh positif dan signifikan terhadap kemiskinan di
Indonesia. Yang mana penelitiannya menggunakan metode panel data tahun 2003
- 2004.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di Jawa Tengah ?
1.2.2 Bagaimana kondisi kemiskinan di Jawa Tengah?
1.2.3 Bagaimana solusi yang dapat diberikan untuk mengurangi tingkat
angka kemiskinan di Jawa Tengah ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di
1.3.2
1.3.3

Jawa Tengah.
Mengetahui kondisi kemiskinan di Jawa Tengah.
Mengetahui solusi untuk mengurangi tingkat kemiskinan di Jawa
Tengah.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1

2.1 Landasan Teori


Kemiskinan
Dalam arti

proper,

kemiskinan

dipahami

sebagai

keadaan

kekurangan uang dan barang untuk menjamin kelangsungan hidup. Dalam arti
luas. Chambers (dalam Chriswardani Suryawati, 2005) mengatakan bahwa
kemiskinan adalah suatu intergrated concept yang memiliki lima dimensi,
yaitu: 1) kemiskinan (proper), 2) ketidakberdayaan (powerless), 3) kerentanan
menghadapi situasi darurat (state of emergency), 4) ketergantungan (dependence),
dan 5) keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis.

Hidup dalam kemiskinan bukan hanya hidup dalam kekurangan uang dan
tingkat pendapatan rendah, tetapi juga banyak hal lain, seperti tingkat kesehatan
dan pendidikan rendah, perlakuan tidak adil dalam hukum, kerentanan
terhadap ancaman tindak kriminal, ketidak berdayaan dalam menentukan
jalan hidupnya sendiri (Chriswardani Suryawati, 2005).
Menurut Todaro (2002), salah satu generalisasi (anggapan sederhana)
yang terbilang paling sahih (valid) mengenai penduduk miskin adalah
bahwasannya mereka pada umumnya bertempat tinggal di daerah-daerah
pedesaan, dengan mata pencaharian pokok di bidang pertanian dan kegiatankegiatan lainnya yang erathubungannya dengan sektor ekonomi tradisional.
Pengertian kemiskinan itusangat luas, dimana Arsyad (1997) mengelompokkan
ukuran kemiskinan menjadi 2 macam, yaitu.
1. Kemiskinan Absolut, yang diartikan sebagai suatu keadaan dimana tingkat
pendapatan dari seseorang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan
pokoknya seperti sandang, pangan, pemukiman, kesehatan dan pendidikan.
Ukuran ini dikaitkan dengan batasan pada kebutuhan pokok atas kebutuhan
dasar minimum yang memungkinkan seseorang dapat hidup secara layak.
Seseorang yang mempunyai pendapatn dibawah kebutuhan minimum, maka
orang tersebut dikatakan miskin.
2. Kemiskinan Relatif, yang berkaitan dengan distribusi pendapatan yang
mengukur ketidakmerataan. Dalam kemiskinan relatif ini, seseorang yang
telah mampu memenuhi kebutuhan minimumnya belum tentu disebut tidak
miskin. Kondisi seseorang atau keluarga apabila dibandingkan dengan
masyarakat sekitarnya mempunyai pendapatan yang lebih rendah, maka orang
atau keluarga tersebut beradadalam keadaan miskin. Dengan kata lain,
kemiskinan ditentukan oleh keadaan sekitarnya dimana orang tersebut
tinggal.
Kemudian Dilihat dari segi penyebabnya (Baswir :1997) kemiskinan
dapat dibagi menjadi:
1. Kemiskinan natural adalah keadaan miskin karena dari awalnya memang
miskin. Kelompok masyarakat tersebut menjadi miskin karena tidak memiliki
sumberdaya yang memadai baik sumberdaya alam, sumberdaya manusia
maupun sumberdaya pembangunan, atau kalaupun mereka ikut serta dalam
pembangunan, mereka hanya menadapat imbalan pendapatan yang rendah.

Kemiskinan natural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor


alamiah seperti karena cacat, sakit, usia lanjut atau karena bencana alam.
2. Kemiskinan kultural mengacu pada sikap hidup seseorang atau kelompok
masyarakat yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budaya
dimana mereka merasa hidup berkecukupan dan tidak merasa kekurangan.
Kelompok masyarakat seperti ini tidak mudah untuk diajak berpartisipasi
dalam pembangunan, tidak mau berusaha untuk memperbaiki dan merubah
tingkat kehidupannya. Akibatnya tingkat pendapatan mereka rendah menurut
ukuran yang dipakai secara umum.
3. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktorfaktor buatan manusia seperti kebijakan ekonomi yang tidak adil,distribusi
aset produksi yang tidak merata, korupsi dan kolusi serta tatanan ekonomi
dunia yang cenderung menguntungkan kelompok masyarakat tertentu.
Menurut Djojohadikusumo (1994) kemiskinan muncul sebagai akibat
kesenjangan yang mengandung dimensi ekonomis sosiologis dan berdimensi
ekonomi regional. Kemiskinan ini terjadi sebagai akibat adanya ketimpangan
kekuatan yang sangat mencolok diantaragolongan-golongan pelaku ekonomi,
dimana pengusaha besar cenderung mengandalkan kekuatan sumberdayanya
untuk merebut suatu kedudukan di pasar barang dan jasa. Selain dari dimensi
ekonomi dan non ekonomi, kemiskinan juga dapat disebabkan oleh dimensi
geografis, sebuah rumah tangga miskin diwilayah yang mendukung dapat
memiliki kesempatan yang lebih besar untuk keluar dari kemiskinan, sementara
rumah tangga miskin yang berada

pada wilayah yang tidak mendukung,

cenderung menjadi stagnan dan bahkan menjadi sangat miskin. Kebijakan yang
memperhatikan ketimpangan geografis memberikan sumberdaya (tenaga kerja dan
modal) di wilayah miskin menjadi

lebih

produktif kemudian menstimulasi

pertumbuhan yang pro orang miskin (Rusastra dan Napitupulu, 2006).


Menurut

Rencana

Kerja

Pemerintah

Bidang

Prioritas

Penanggulangan Kemiskinan, penyebab kemiskinan (dikutip dari Deny Tisna,


2008) adalah pemerataan pembangunan yang belum menyebar secara merata
terutama di daerah pedesaan. Penduduk miskin di daerah pedesaan pada tahun
2006

diperkirakan lebih tinggi dari penduduk miskin di daerah perkotaan.

Kesempatan berusaha di daerah

pedesaan

dan

perkotaan

belum

dapat

mendorong penciptaan pendapatan bagi masyarakat terutama bagi rumah tangga


miskin.

Penyebab yang lain adalah masyarakat

miskin

belum

mampu

menjangkau pelayanan dan fasilitas dasar seperti pendidikan, kesehatan, air


minum dan sanitasi, serta transportasi. Gizi buruk masih terjadi di lapisan
masyarakat miskin. Hal ini disebabkan terutama oleh cakupan perlindungan
sosial bagi masyarakat miskin yang belum memadai. Bantuan sosial kepada
masyarakat miskin, pelayanan bantuan kepada masyarakat rentan

(seperti

penyandang cacat, lanjut usia, dan yatim-piatu), dan cakupan jaminan sosial
bagi rumah tangga miskin masih jauh dari memadai.
2.1.2

Pendidikan
Hampir tidak ada yang membantah bahwa pendidikan adalah pionir

dalam pembangunan masa depan suatu bangsa. Jika dunia pendidikan suatu
bangsa sudah jeblok, maka kehancuran bangsa tersebut tinggal menunggu waktu.
Sebab, pendidikan

menyangkut

pembangunan

karakter

dan

sekaligus

mempertahankan jati diri manusia suatu bangsa. Sehingga, setiap bangsa


yang ingin maju maka pembangunan dunia pendidikan selalu menjadi prioritas
utama. Banyak orang miskin yang mengalami kebodohan atau mengalami
kebodohan bahkan secara sistematis. Karena itu, menjadi penting bagi kita untuk
memahami bahwa kemiskinan bisa mengakibatkan kebodohan,dan kebodohan
jelas identik dengan kemiskinan. Untuk memutus rantai sebab akibat diatas, ada
satu unsur kunci yaitu pendidikan. Karena pendidikan adalah sarana menghapus
kebodohan sekaligus kemiskinan. Namun ironisnya, pendidikan di Indonesia
selalu terbentur oleh tiga realitas (Winardi, 2010 dalam http://andalas van
java online.com)
2.1.3

Pengangguran
Dalam standar

pengertian

yang

sudah

ditentukan

secara

internasional, yang dimaksudkan dengan pengangguran adalah seseorang yang


sudah digolongkan dalam angkatan kerja yang secara aktif sedang mencari
pekerjaan pada suatu tingkat upah tertentu, tetapi tidak dapat memperoleh
pekerjaan yang diinginkannya. Oleh sebab itu, menurut Sadono Sukirno
(2000) pengangguran biasanya dibedakan atas 3 jenis berdasarkan keadaan
yang menyebabkannya, antara lain:

1. Pengangguran friksional, yaitu pengangguran yang disebabkan oleh


tindakan seseorang pekerja untuk meninggalkan kerjanya dan mencari
kerja yang lebih baik atau sesuai dengan keinginannya.
2. Pengangguran struktural, yaitu pengangguran yang disebabkan oleh
adanya perubahan struktur dalam perekonomian.
3. Pengangguran konjungtur, yaitu pengangguran yang disebabkan oleh
kelebihan pengangguran alamiah dan berlaku sebagai akibat pengurangan
dalam permintaan agregat.
Menurut Edwards, 1974 (dikutip dari Lincolin,1997), bentuk-bentuk
pengangguran adalah:
1. Pengangguran terbuka (open unemployment), adalah mereka yang mampu dan
seringkali sangat ingin bekerja tetapi tidak tersedia pekerjaan yang cocok
untuk mereka.
2. Setengah pengangguran (under unemployment), adalah mereka yang secara
nominal

bekerja

penuh

namun

produktivitasnya rendah

sehingga

pengurangan dalam jam kerjanya tidak mempunyai arti atas produksi


secara keseluruhan.
3. Tenaga kerja yang lemah (impaired), adalah mereka yang mungkin
bekerja penuh

tetapi intensitasnya

lemah

karena

kurang gizi

atau

penyakitan.
4. Tenaga kerja yang tidak produktif, adalah mereka yang mampu bekerja
secara produktif tetapi tidak bisa menghasilkan sesuatu yang baik.
Menurut

Tambunan

(2001),

pengangguran

dapat

mempengaruhi

tingkat kemiskinan dengan berbagai cara, antara lain:


1. Jika rumah tangga memiliki batasan likuiditas yang berarti bahwa
konsumsi saat ini sangat dipengaruhi oleh pendapatan saat ini, maka
bencana pengangguran akan

secara langsung mempengaruhi income

poverty ratedengan consumption poverty rate.


2. Jika rumah tangga tidak menghadapi batasan likuiditas yang berarti bahwa
konsumsi saat ini tidak terlalu dipengaruhi oleh pendapatan saat ini, maka
peningkatan pengangguran akan menyebabkan peningkatan kemiskinan
dalam jangka panjang, tetapi tidak terlalu berpengaruh dalam jangka
pendek.
Tingkat pertumbuhan angkatan kerja yang cepat dan pertumbuhan
lapangan kerja yang relatif lambat menyebabkan masalah pengangguran yang ada
di negara yang sedang berkembang menjadi semakin serius. Tingkat
10

pengangguran terbuka sekarang ini yang ada di negara yang sedang berkembang
seperti Indonesia rata-rata sekitar 10 persen dari seluruh angkatan kerja di
perkotaan. Masalah ini dipandang lebih serius lagi bagi mereka yang
berusia antara 15 - 24 tahun yang kebanyakan mempunyai pendidikan yang
lumayan. Namun demikian, tingkat pengangguran terbuka di perkotaan hanya
menunjukkan aspek-aspek yang tampak saja dari masalah kesempatan kerja
di negara yang sedang berkembang yang bagaikan ujung sebuah gununges.
Apabila mereka tidak bekerja konsekuensinya adalah mereka tidak dapat
memenuhi kebutuhan dengan baik, kondisi seperti ini membawa dampak bagi
terciptanya dan membengkaknya jumlah kemiskinan yang ada.
2.2 Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan

oleh

Hermanto

Siregar

dan Dwi

Wahyuniarti (2006) dengan judul Dampak Pertumbuhan Ekonomi Terhadap


Penurunan Jumlah Penduduk Miskin. Tulisannya menganalisis tentang
pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia.
Analisis yang dilakukan adalah analisis Deskriptif dan ekonometrika dengan
menggunakan metode Panel Data. Model yang digunakan adalah modifikasi
model ekonometri sebagi berikut:
Poverty = 0+ 1PDRB + 2Populasi + 3Agrishare + 4Industrieshare +
5Inflasi + 6SMP + 7SMA + 8DIPLOMA + 9Dummy Krisis +
Dimana:
Poverty = Tingkat kemiskinan
PDRB = Pendapatan PDRB
Agrishare = Pangsa sektor pertanian dalam PDRB
Industrieshare = Pangsa sektor industri dalam PDRB
Inflasi = Tingkat inflasi
SMP = jumlah lulusan setingkat SMP
SMA = jumlah lulusan setingkat SMA
DIPLOMA = jumlah lulusan setingkat Diploma
Dummy Krisis = dummy krisis ekonomi
Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa

kenaikan

PDRB

mengakibatkan penurunan atas angka kemiskinan, kenaikan Jumlah Penduduk


mengakibatkan

peningkatan

atas

angka

kemiskinan,

kenaikan

Inflasi

mengakibatkan peningkatan atas angka kemiskinan, kenaikan Share pertanian


dan industri mengakibatkan penurunan atas angka kemiskinan, kenaikan

11

tingkat pendidikan mengakibatkan penurunan atas angka kemiskinan. Dimana


pengaruh tingkat pendidik SMP lebih besar daripada pengaruh share pertanian.
Sedangkan kenaikan Dummy krisis mengakibatkan peningkatan atas angka
kemiskinan.
Wongdesmiwati (2009) dalam jurnal Pertumbuhan Ekonomi Dan
Pengentasan

Kemiskinan

Di

Indonesia:

Analisis

Ekonometrika,

menggunakan metode analisis regresi berganda dari tahun1990 hingga tahun


2004.

model

yang

digunakan

adalah

LogY = 0+ 1 LogX 1 i+ 2 LogX 2 i+ 3 LogX 3 i+ 4 LogX 4 i+ 5 LogX 5 i+ 6 LogX 6 i+ i.

Dimana Yi adalah jumlah penduduk miskin, X1i adalah jumlah penduduk


Indonesia per tahun, X2i adalah PDB yang menggambarkan pertumbuhan
ekonomi, X3i adalah angka harapan hidup, X4i adalah persentase angka melek
huruf, X5i

adalah

konsumsi

makanan.

persentase
Hasil

penggunaan

dari

penelitian

listrik, X6i

adalah persentase

ini

variabel

adalah

jumlah

penduduk berpengaruh positif dan signifikan terhadap jumlah penduduk miskin.


Variabel pertumbuhan ekonomi dan variabel angka melek huruf berpengaruh
negatif dan signifikan terhadap jumlah penduduk miskin. Variabel angk aharapan
hidup,

penggunaan

listrik,

dan

konsumsi

makanan

tidak

signifikan

berpengaruh terhadap penduduk miskin.


Penelitian yang dilakukan oleh Dian Octaviani (2001) dengan judul
Inflasi, Pengangguran, dan Kemiskinan di Indonesia: Analisis Indeks
Forrester Greer & Horbecke. Tulisannya menganalisis tentang pengaruh
pengangguran

terhadap

tingkat

kemiskinan

di

Indonesia.

Model

yang

digunakan adalah modifikasi model ekonometri yang dikemukakan oleh


Cutler dan Katz (1991), yaitu :
Pt = 0 + 1 (P/Y)T + 2 T + 3 t + 4 Gt + t
Dimana:
Pt = tingkat kemiskinan agregat pada tahun ke t diukur dengan indeks
FGT
(P/Y)t = rasio garis kemiskinan terhadap pendapatan rata-rata
T = tingkat inflasi Gt = rasio gini
t = tingkat pengangguran t = error term
Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa kenaikan angka pengangguran
mengakibatkan peningkatan atas angka kemiskinan, sebaliknya semakin kecil

12

angka pengangguran akan menyebabkan semakin rendahnya tingkat kemiskinan


di Indonesia.
Penelitian yang dilakukan oleh Deny Tisna Amijaya (2008) dengan judul
Pengaruh ketidakmerataan distribusi pendapatan, pertumbuhan ekonomi, dan
pengangguran terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia tahun 2003-2004.
Tulisannya meneliti tentang pengaruh ketidakmerataan distribusi pendapatan,
pertumbuhan ekonomi, dan pengangguran terhadap kemiskinan di Indonesia,
dalam hal ini untuk seluruh Provinsi di Indonesia dari tahun 2003 2004. Analisis
yang dilakukan adalah analisis Deskriptif dan ekonometrika dengan menggunakan
metode Panel Data. Model

yang

digunakan

adalah

modifikasi

model

ekonometri sebagai berikut:


MS = f (GR, PDRB, PG)
Y it= 0 + 1 X1it + 2 X2it+ 3 X3it + Uit
dimana:
MS = jumlah kemiskinan.
GR = variabel ketidakmerataan distribusi pendapatan.
PDRB = variabel tingkat pertumbuhan ekonomi.
PG = variabel tingkat pengangguran.
i = cross section.
t = time series.
0 = konstanta.
1, 2, 3 = koefisien.
U = error.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa variabel ketidakmerataan
distribusi

pendapatan

berpengaruh

variabel

pertumbuhan

ekonomi

positif

terhadap

berpengaruh

tingkat

negatif

kemiskinan,

terhadap

tingkat
13

kemiskinan, sedangkan variabel pengangguran berpengaruh positif terhadap


tingkat kemiskinan.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan
Kemiskinan merupakan sebuah konsep abstrak yang dapat dijelaskan
secara berbeda dimana tergantung dari pengalaman dan perspektif analis.
Cara pandang analis akan menentukan pemahaman tentang kondisi, sifat dan
konteks kemiskinan,

bagaimana

kemiskinan

itu

terjadi

(sebab-sebab

kemiskinan) dan bagaimana masalah kemiskinan dapat diatasi. Oleh karena


itu, agar upaya penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan secara tepat maka
hal pertama yang harus dilakukan adalah menjelaskan pengertian dan penyebab
kemiskinan secara lengkap.Ada banyak hal yang menyebabkan seseorang
masuk kedalam kategori miskin. Namun, menurut World Bank setidaknya ada
tiga faktor utama penyebab kemiskinan, yaitu:
1. Rendahnya pendapatan dan aset untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti:
makanan, tempat tinggal, pakaian, kesehatan dan pendidikan.
2. Ketidakmampuan untuk bersuara dan ketiadaan kekuatan didepan institusi
negara dan masyarakat.
3. Rentan terhadap guncangan ekonomi, terkait dengan ketidakmampuan
menanggulanginya.
Bank Dunia (World Bank) memiliki indikator-indikator kemiskinan
yang terdiri dari:
5. Kepemilikan tanah dan modal yang terbatas
6. Terbatasnya sarana dan prasarana yang dibutuhkan
7. Pembangunan yang bias di kota
8. Perbedaan kesempatan diantara anggota masyarakat
9. Perbedaan sumber daya manusia dan sektor ekonomi
10. Rendahnya produktivitas
11. Budaya hidup yang jelek
12. Tata pemerintahan yang buruk
13. Pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan
World Bank (2005) menjelaskan bahwa kemiskinan memiliki banyak
pengertian dimana menyimpulkan bahwa kemiskinan adalah suatu kondisi dimana
orang ingin lepas darinya.
3.1.1

Ukuran Kemiskinan

14

Menurut BPS (Badan Pusat Statistik), tingkat kemiskinan didasarkan


pada jumlah rupiah konsumsi berupa makanan yaitu 2100 kalori per orang
per hari (dari 52 jenis komoditi yang dianggap mewakili pola konsumsi
penduduk yang berada dilapisan bawah), dan konsumsi nonmakanan (dari 45
jenis komoditi makanan sesuai kesepakatan nasional dan tidak dibedakan
antara wilayah pedesaan dan perkotaan). Patokan kecukupan 2100 kalori ini
berlaku untuk semua umur, jenis kelamin, dan perkiraan tingkat kegiatan
fisik, berat badan, serta perkiraan status fisiologis penduduk, ukuran ini
sering disebut dengan garis kemiskinan. Penduduk yang memiliki pendapatan
dibawah garis kemiskinan dikatakan dalam kondisi miskin.
Menurut Sayogyo, tingkat kemiskinan didasarkan jumlah rupiah
pengeluaran

rumah

tangga

yang

disetarakan

dengan

jumlah

kilogram

konsumsi beras per orang per tahun dan dibagi wilayah pedesaan dan
perkotaan (Criswardani Suryawati, 2005).
Daerah pedesaan:
b. Miskin, bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 320 kg nilai tukar
beras per orang per tahun.
c. Miskin sekali, bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 240 kg nilai
tukar beras per orang per tahun.
d. Paling miskin, bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 180 kg nilai
tukar beras per orang per tahun.
Daerah perkotaan:
a. Miskin, bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 480 kg nilai tukar
beras per orang per tahun.
b. Miskin sekali: bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 380 kg nilai
tukar beras per orang per tahun.
c. Paling miskin, bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 270 kg nilai
tukar beras per orang per tahun.
Banyak ukuran yang menentukan angka kemiskinan, salah satunya
adalah garis

kemiskinan. Garis kemiskinan adalah suatu ukuran yang

menyatakan besarnya pengeluaran (dalam rupiah) untuk memenuhi kebutuhan


dasar minimum makanan dan kebutuhan non makanan, atau standar yang

15

menyatakan

batas seseorang dikatakan miskin bila dipandang dari sudut

konsumsi. Garis kemiskinan digunakan untuk mengetahui batas seseorang


dikatakan miskin atau tidak, sehingga garis kemiskinan dapat digunakan
untuk mengukur dan menentukan jumlah kemiskinan. Untuk provinsi Jawa
Tengah, menurut laporan Badan Pusat Statistik melalui data Survey Sosial
Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2008, batas garis kemiskinannya yaitu
sebesar 181.877 rupiah (BPS,2008).
3.2 Kondisi Kemiskinan di Jawa Tengah
3.2.1 Kemiskinan
Kemiskinan merupakan masalah yang menyangkut banyak aspek
karena berkaitan dengan pendapatan yang rendah, buta huruf, derajat
kesehatan

yang rendah dan ketidaksamaan derajat antar jenis kelamin serta

buruknya lingkungan hidup (Word Bank, 2004). Selain itu kemiskinan juga
merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling
berkaitan, antara lain tingkat
pengangguran,

pendapatan,

pertumbuhan

ekonomi,

tingkat

kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang dan jasa,

lokasi,geografis, gender, dan lokasi lingkungan. Berikut disajikan data tentang


kemiskinan yang terjadi menurut kabupaten/kota di Jawa Tengah tahun 20052008.

16

Sumber: Data dan informasi Kemiskinan Jateng 2008


Dari tabel diatas menunjukan bahwa persentase penduduk miskin
provinsi Jawa Tengah tahun 2005 - 2008 terbanyak yaitu berada di Kabupaten
Wonosobo yaitu Sebesar 31,68 persen di tahun 2005 dan mengalami kenaikan
pada tahun 2006 yaitu menjadi 34,43 persen dan penurunan hingga 27,72 persen
di tahun 2008. Dan kota Semarang merupakan kota yang memiliki persentase
penduduk miskin paling sedikit meskipun dalam kenyataannya Kota Semanrang
terus mengalami peningkatan persentase, namun presentase tersebut merupakan
presentase terkecil di Jawa Tengah yaitu sebesar 6 persen di tahun 2008.
3.2.2

Produk Domestik Regionl Bruto (PDRB)


Menurut BPS (2008), Produk Domestik Bruto (PDRB) merupakan

penjumlahan nilai output bersih (barang dan jasa akhir) yang ditimbulkan
oleh seluruh kegiatan ekonomi, di suatu wilayah tertentu (provinsi dan
kabupaten/kota), dan dalam satu kurun waktu tertentu (satu tahun kalender).
17

Kegiatan ekonomi yang dimaksud mulai kegiatan pertanian, pertambangan,


industri pengolahan, sampai dengan jasa-jasa. PDRB merupakan salah satu
indikator penting untuk mengetahui peranan dan potensi ekonomi di suatu
wilayah dalam periode tertentu. Berikut disajikan data PDRB yang terjadi
menurut kabupaten/kota di Jawa Tengah tahun 2005-2008.

Sumber: PDRB Jawa Tengah 2005-2008


Dari tabel diatas menunjukkan bahwa laju PDRB yang terjadi di
kabupaten/ kota di provinsi Jawa Tengah tahun 2005 2008 menunjukkan
18

angka yang fluktuatif dari masing-saing kabupaten / kota. Laju PDRB


tersebut dapat menunjukan kondisi perekonomian di masing-masing kabupaten
/

kota

di

Jawa

Tengah. Dilihat dari besarnya PDRB menunjukan terjadi

kesenjangan ekonomi yang relatif besar antara daerah maju dan tertinggal.
3.2.3

Pendidikan (Melek Huruf)


Hampir tidak ada yang membantah bahwa pendidikan adalah pionir

dalam pembangunan

masa

depan

suatu

bangsa.

Sebab,

pendidikan

menyangkut pembangunan karakter dan sekaligus mempertahankan jatidiri


manusia suatu bangsa. Banyak orang miskin yang mengalami kebodohan
atau mengalami kebodohan bahkan secara sistematis. Sehingga, menjadi
penting bagi kita untuk memahami bahwa kemiskinan bisa mengakibatkan
kebodohan,dan

kebodohan jelas identik dengan kemiskinan. Untuk memutus

rantai sebab akibat diatas, ada satu unsur kunci

yaitu pendidikan. Karena

pendidikan adalah sarana menghapus kebodohan sekaligus kemiskinan. Salah satu


indikator pendidikan adalah tingkat angka melek huruf di suatu daerah. Berikut
disajikan data melek huruf menurut kabupaten/kota di Jawa Tengah tahun 20052008.

19

Tabel diatas menunjukan bahwa tingkat Melek huruf di provinsi Jawa


Tengah tahun 2005 - 2008 terbesar yaitu Kota Surakarta berturut-turut dari
tahun 2005 2007 yaitu sebesar 95,80 persen, 96,58 persen, dan 96,58 persen,
sedangkan untuk tahun 2008 yaitu kota Pekalongan

sebesar 97,2 persen dan

yang paling sedikit yaitu di Kabupaten Sukoharjo yaitu sebesar 81,2 persen.

3.2.4

Pengangguran

20

Pengangguran adalah meliputi penduduk yang sedang mencari pekerjaan,


atau sedang mempersiapkan suatu usaha, atau merasa tidak mungkin mendapatkan
pekerjaan, atau sudah punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja. Tingkat
Pengangguran Terbukan (TPT) adalah angka yang menunjukkan banyaknya
pengangguran terhadap 100 penduduk yang masuk kategori angkatan kerja (BPS,
2008). Tingkat pengangguran sangat erat hubungannya dengan laju pertumbuhan
penduduk. Apabila mereka tidak bekerja konsekuensinya adalah mereka tidak
dapat memenuhi kebutuhan dengan baik, kondisi seperti ini membawa dampak
bagi terciptanya dan membengkaknya jumlah kemiskinan

yang ada. Berikut

disajikan data tentang pengangguran yang terjadi menurut kabupaten/kota di


Jawa Tengah tahun2005 2008.

21

Dari tabel diatas

menunjukkan

bahwa

tingkat

pengangguran

di

provinsi Jawa Tengah tahun 2005 - 2008 terbesar yaitu berada Kota
Magelang yaitu sebanyak 17,81 persen ditahun 2005, tetapi di tahun 2008 yang
paling besar yaitu di kota Tegal sebesar 13,32 persen. Dan yang paling
sedikit yaitu di Kabupaten Blora yaitu sebesar 4,60 persen di tahun 2005,
sedangkan di tahun 2008 yang paling sedikit yaitu kabupaten Purworejo sebesar
4,32 persen
3.3 Solusi Untuk Mengurangi Tingkat Kemiskinan
Berdasarkan pembahasan diatas, upaya yang mungin dapat dilakukan
untuk mengurangi tingkat angka kemiskinan di Jawa Tengah antara lain :
3.3.1 Upaya Peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Keberadaan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dan
koperasi dapat berperan sebagai penyangga sekaligus penggerak
perekonomian daerah dalam rangka mendukung upaya penciptaan
lapangan pekerjaan, penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan
masyarakat dan mempercepat pengurangan jumlah penduduk miskin.
Dengan memaksimalkan daya saing objek wisata daerah, mengoptimalkan
pengembangan potensi event dan kegiatan wisata berbasis wilayah,
mengoptimalkan keterkaitan lintas destinasi wisat unggulan (DiengBorobudur,

Solo-Sangiran,

Nusakambangan,

Karimunjawa,

Tegal-

Pekalongan, Rembang-Blora), meningkatkan sarana dan prasarana yang


mendukung akses ke tempat wisata, mengoptimalkan kerjasama para
pemangku kepentingan dalam mengembangkan wisata di Jawa Tengah
dapat meningkatkan Produk Domesik Regional Bruto (PDRB). Selain hal
tersebut diatas, upaya peningkatan PDRB yaitu dengan mengoptimalkan
3.3.2

pengelolaan asset daerah.


Upaya Peningkatan Pendidikan
Upaya pembangunan di bidang pendidikan bertujuan untuk
peningkatan sumber daya manusia. Pendidikan mempunyai peranan
penting bagi suatu bangsa dan merupakan salah satu sarana untuk
meningkatkan kecerdasan dan keterampilan manusia. Kualitas sumber
daya manusia antara lain sangat tergantung dari kualitas pendidikan.
Pentingnya pendidikan tercermin dalam UUD45 dan GBHN yang

22

mengatakan bahwa pendidikan merupakan hak setiap warga negara yang


bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan demikian
program pendidikan mempunyai andil besar terhadap kemajuan bangsa,
ekonomi maupun sosial. Oleh karena itu, pemerintah berupaya untuk
menyediakan sarana wajib belajar 6 tahun yang dicanangkan pada
tahun 1984 menjadi wajib belajar 9 tahun yang dimulai sejak tahun 1994.
Kebijakan wajib belajar 9 tahun hendaknya ditingkatkan menjadi 12 tahun,
sehingga semua mendapat pendidikan yang lebih tinggi dari pada
pendidikan dasar, sehingga tingkat kemiskinan dapat diturunkan.
Memberikan

jaminan

pendidikan

bagi

orang

miskin

serta

meningkatkan fasilitas-fasilitas pendidikan secara merata tidak hanya


terpusat

di

suatu daerah tetapi merata ke seluruh daerah. Selain itu

pemerintah harus mengoptimalkan pengembangan pendidikan vokasi


beserta kompetensinya, dan pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan
khusus. Mengoptimalkan pengembangan muatan lokal yang penting bagi
3.3.3

sarana untuk menglah kekhasan identitas sebagai bagian dari watak.


Upaya Pengurangan Pengangguran
Untuk
menurunkan
tingkat
kemiskinan, maka tingkat
pengangguran juga harus diturunkan, Upaya penanganan pengangguran
di

Jawa

Tengah

dapat

dilakukan

dengan

upaya

perlindungan,

pemberdayaan, dan pengembangan kelompok petani (buruh tani, petani


penggarap), nelayan, masyarakat terkena PHK, anak putus sekolah dan
sektor UMKM. Selain itu perlu diupayakan perluasan kesempatan kerja
dan lapangan usaha, peningkatan kualitas calon tenaga kerja melalui
peningkatan kualitas sarana dan prasarana dn pengelola Balai Latihan
Kerja (BLK), penidikan yang berorientasi pasar kerja, pengembangan
informasi pasar kerja, serta pengembangan wirausaha baru sektor UMKM
berbasis sumber daya lokal termasuk kewirausahaan di kalangan pemuda.
Dengan dimikian diharapkan akan membuka peluang kesempatan kerja,
sehingga banyak tenaga kerja yang terserap.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan

23

Penyebab kemiskinan (dikutip dari Deny Tisna, 2008) adalah


pemerataan pembangunan yang belum menyebar secara merata terutama di daerah
pedesaan.

Penduduk

miskin

di

daerah

pedesaan

pada

tahun

2006

diperkirakan lebih tinggi dari penduduk miskin di daerah perkotaan. Kesempatan


berusaha di daerah
penciptaan

pedesaan

dan

perkotaan

belum

dapat

mendorong

pendapatan bagi masyarakat terutama bagi rumah tangga miskin.

Penyebab yang lain adalah masyarakat miskin belum mampu menjangkau


pelayanan dan fasilitas dasar seperti pendidikan, kesehatan, air minum dan
sanitasi,

serta

transportasi.

Hal

ini

disebabkan

terutama oleh cakupan

perlindungan sosial bagi masyarakat miskin yang belum memadai. Dari


pembahasan diatas dapat diketahui bahwa tingkat kemiskinan di Jawa Tengah
masih sangat tinggi karena rata-rata tiap daerah tingkat kemiskinannya lebih dari
5 persen. Oleh sebab itu perlu kerjasama antara pemerintah dengan masyarakat
dalam menanggulangi kemiskinan di Jawa Tengah.

DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, Lincolin. 1997. Ekonomi Pembangunan. Edisi Ketiga. Penerbit BP STIE
YKPN: Yogyakarta.
Badan Pusat Statistik. 2008. Jawa Tengah Dalam Angka 2008. Jakarta: Badan
Pusat Statistik
Badan Pusat Statistik. 2008. Produk Domestik Regional Bruto Jawa Tengah 2008.
Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Badan Pusat Statistik. 2008. Data dan Informasi Kemiskina 2008. Jakarta: Badan
Pusat Statistik.

24

Badan Pusat Statistik. 2008. Keadaan Angkatan Kerja di Provinsi Jawa Tengah,
edisi Agustus 2008. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Criswardani
Suryawati,
2005.
Memahami
Kemiskinan

Secara

Multidimensional.
http://www.jmpk-online.net/Volume_8/Vol_08_No_03_2005.pdf. Diakses
tanggal 11 November 2009.
Deny Tisna A. 2008. Pengaruh Ketidakmerataan Distribusi Pendapatan,
Pertumbuhan Ekonomi, dan Pengangguran terhadap tingkat Kemiskinan
di Indonesia tahun 2003-2004. Kumpulan Skripsi UNDIP: Semarang.
Dian Octaviani. 2001. Inflasi, Pengangguran, dan Kemiskinan di Indonesia :
Analisis Indeks Forrester Greer & Horbecke, Media Ekonomi, Hal. 100118, Vol. 7, No. 8.
Hermanto S., Dwi W. 2006. Dampak Pertumbuhan Ekonomi Terhadap
Penurunan Penduduk Miskin di Indonesia : Proses Pemerataan dan
Pemiskinan, Direktur Kajian Ekonomi, Institusi Pertanian Bogor Sumitro
Djojohadikusumo. 1995. Perkembangan Pemikiran Ekonomi Dasar Teori
Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan. Penerbit LP3ES: Jakarta.
Todaro, Michael P. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Edisi Ketujuh,
Terjemahan Haris Munandar. Penerbit Erlangga: Jakarta.
Tulus H. Tambunan. 2001. Perekonomian Indonesia. Penerbit Ghalia Indonesia:
Jakarta.
Winardi. 2010 dalam http://andalas van java online.com
Winarno Wahyu. 2007. Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan Eviews.
UPP STIM YKPN : Yogyakarta.
Wongdesmiwati. 2009. Pertumbuhan Ekonomi dan Pengentasan Kemiskinan di
Indonesia : Analisis Ekonometrika.
http://wongdesmiwati.files.wordpress.com/2009/10/pertumbuhan
ekonomi-dan-pengentasan-kemiskinan-di-indonesia-_analisis
ekonometri_.pdf. Diakses tanggal 7 Desember 2009.

25

Anda mungkin juga menyukai