BRONKOPNEUMONIA
Program Internsip
RSUD MENGGALA
Tulang Bawang, 2014
I.
PENDAHULUAN
Struktur dasar jalan nafas telah ada sejak lahir dan berkembang selama neonatus dan
dewasa menjadi sistem bronkhopulmonal. Jalan nafas pada setiap usia tidak
simetris. Apabila dibagi menjadi dua bagian, ada perbedaan bentuk dan jumlah
cabang yang tergantung dari lokasinya. Variasi tersebut menyebabkan implikasi
fisiologi yang berbeda. Alur yang berbeda menyebabkan perbedaan resistensi
terhadap aliran udara, sehingga menyebabkan distribusi udara atau partikel yang
terhisap tidak merata. Cabang dari bronkus mengalami pengecilan ukuran dan
kehilangan kartilago, yang kemudian disebut bronkhiolus. Bronkhiolus terminalis
membuka saat pertukaran udara dalam paru-paru.
Jalan nafas dilapisi oleh membran epitel yang berganti secara bertahap dari epitel
kolumner bertingkat bersilia di bronkus menjadi epitel kubus bersilia pada area
tempat pertukaran udara. Sillia berfungsi untuk menghantarkan mukus dari pinggir
jalan nafas ke faring. Sistem transport mukosilier ini berperan penting dalam
mekanisme pertahanan paru.
Sel goblet pada trakhea dan bronkhus memproduksi musin dalam retikulum
endoplasma kasar dan apparatus golgi. Sel goblet meningkat jumlahnya pada
beberapa gangguan seperti bronkhitis kronis yang hasilnya terjadi hipersekresi
mukus dan peningkatan produksi sputum.
Unit pertukaran udara (terminal respiratory) terdiri dari bronkhiolus distal sampai
terminal : bronkhiolus respiratorius, duktus alveolaris dan alveoli. Pada pemeriksaan
luar pulmo dekstra lebih pendek dan lebih berat dibanding pulmo sinistra. Pulmo
dekstra dan sinistra dibagi oleh alur yang disebut incissura interlobaris dalam
beberapa Lobus Pulmonis.
Pulmo dekstra dibagi menjadi 3 lobi, yaitu:
1. Lobus Superior dibagi menjadi 3 segmen: apikal, posterior, inferior
2. Lobus Medius dibagi menjadi 2 segmen: lateralis dan medialis
3. Lobus Inferior dibagi menjadi 5 segmen: apikal, mediobasal, anterobasal,
laterobasal, posterobasal
Pulmo sinistra dibagi menjadi 2 lobi, yaitu:
1. Lobus Superior
2.
a.
Pneumonia Lobaris
b.
c.
c. Jamur
II.
DEFINISI
Bronkopneumonia merupakan salah satu bagian dari penyakit Pneumonia.
Bronkopneumonia adalah suatu infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah dari
parenkim paru yang melibatkan bronkus / bronkiolus yang berupa distribusi
berbentuk bercak-bercak yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti
bakteri, virus, jamur dan benda asing.
Bronkopneumonia adalah peradangan paru, biasanya dimulai di bronkioli
terminalis. Bronkiolus terminalis menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen
membentuk bercak-bercak konsolidasi di lobulus yang bersebelahan. Penyakit ini
seringnya bersifat sekunder, mengikuti infeksi dari saluran nafas atas, demam pada
infeksi spesifik dan penyakit yang melemahkan sistem pertahanan tubuh. Pada bayi
dan orang-orang yang lemah, Pneumonia dapat muncul sebagai infeksi primer.
III. EPIDEMIOLOGI
Pneumococcus merupakan penyebab utama pneumonia. Pneumococcus dengan
serotipe 1 sampai 8 menyebabkan pneumonia pada orang dewasa lebih dari 80%,
sedangkan pada anak ditemukan tipe 14, 1, 6 dan 9.
Angka kejadian tertinggi ditemukan pada usia kurang dari 4 tahun dan megurang
dengan meningkatnya umur. Pneumonia lobaris hampir selalu disebabkan oleh
pneumococus, ditemukan pada orang dewasa dan anak besar, sedangkan
bronkopneumonia lebih sering dijumpai pada anak kecil dan bayi.
IV. ETIOLOGI
Penyebab bronkopneumonia yang biasa dijumpai adalah :
A. Faktor Infeksi
1. Pada neonatus : Streptokokus grup B, Respiratory Sincytial Virus (RSV).
2. Pada bayi :
Virus : Virus parainfluensa, virus influenza, Adenovirus, RSV,
Cytomegalovirus.
Organisme atipikal : Chlamidia trachomatis, Pneumocytis.
Bakteri
:Streptokokus
pneumoni,
Haemofilus
yang terinhalasi. Jenis minyak binatang yang mengandung asam lemak tinggi
bersifat paling merusak contohnya seperti susu dan minyak ikan .
Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk terjadinya
Bronkopneumonia. Menurut sistem imun pada penderita-penderita penyakit yang
berat seperti AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang pada bayi dan
anak merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit ini.
V.
PATOGENESIS
Dalam keadaan sehat pada paru tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme, keadaan
ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Mekanisme daya tahan
traktus respiratorius bagian bawah sangat efisien untuk mencegah infeksi dan terdiri
dari :
1.
2.
3.
Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan secret liat
yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut
4.
Refleks batuk
5.
6.
7.
perifer melalui saluran napas menyebabkan reaksi jaringan berupa edema yang
mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman.
1.
Stadium kongesti : Kapiler melebar dan kongesti serta dalam alveolus terdapat
eksudat jernih, bakteri dalam jumlah banyak, bebrapa neutrophil dan makrophag
2.
Stadium Hepatisasi Merah : Lobus dan lobulus yang terkena menjadi padat tidak
mengandung udara, warna menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar. Dalam
alveolus didapatkan fibrin, leukosit netrofil, eksudat dan banyak sekali eritrosit dan
kuman. Stadium ini berlangsung sangat pendek.
3.
Stadium Hepatisasi Kelabu : Lobus masih tetap padat dan warna merah berubah
menjadi pucat kelabu. Permukaan pleura suram karena diliputi oleh fibrin. Alveolus
terisi fibrin dan leucosit, tempat terjadi fagositosis pneumococcus, kapiler tidak lagi
kongestif.
4.
Proses kerusakan yang terjadi dapat di batasi dengan pemberian antibiotik sedini mungkin
agar system bronkopulmonal yang tidak terkena dapat di selamatkan.
VI.
GEJALA KLINIS
Bronchopneumonia biasanya di dahului oleh infeksi saluran napas bagian atas
selama beberapa hari. Suhu dapat naik sangat mendadak sampai 39 40 0 C dan
mungkin disertai kejang demam yang tinggi. Anak megalami kegelisahan,
kecemasan, dispnoe pernapasan. Kerusakan pernapasan diwujudkan dalam bentuk
napas cepat dan dangkal, pernapasan cuping hidung, retraksi pada daerah
supraclavikular, ruang-ruang intercostal, sianosis sekitar mulut dan hidung,
kadang-kadang disertai muntah dan diare. Pada awalnya batuk jarang ditemukan
tetapi dapat dijumpai pada perjalanan penyakit lebih lanjut, mula-mula batuk
kering kemudian menjadi produktif.
Pada bronkopneumonia, pemeriksaan fisik tergantung dari pada luas daerah yang
terkena. Pada perkusi toraks sering tidak ditemukan kelainan. Pada auskultasi
mungkin terdengar ronki basah nyaring halus sedang.
Bila sarang bronkopneumonia menjadi satu (konfluens), mungkin pada perkusi
terdengar keredupan dan suara pernapasan pada auskultasi terdengar mengeras.
Pada stadium resolusi, ronki terengar lagi. Tanpa pengobatan biasanya
penyembuhan dapat terjadi sesudah 2 3 minggu.
VII. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan :
1.
Gejala klinis
Gambaran klinik biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas akut bagian atas
selama beberapa hari, kemudian diikuti dengan demam, menggigil. Suhu tubuh
kadang-kadang melebihi 40 0c, sakit tenggorok, nyeri otot, dan sendi. Juga disertai
batuk dengan sputum mukoid atau purulen, kadang-kadang berdarah.
2.
Pemeriksaan fisik
3.
b.
c.
d.
Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit. Hitung
leukosit dapat membantu membedakan pneumoni viral dan bakterial. Infeksi virus
leukosit normal atau meningkat (tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit
predominan) dan bakteri leukosit meningkat 15.000-40.000 /mm3 dengan neutrofil
yang predominan. Pada hitung jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta
peningkatan LED.
4.
Gambaran radiologis
a. Pneumonia lobularis (bronkopneumoni)
Merupakan pneumonia yang terjadi pada ujung akhir bronkhiolus yang dapat
tersumbat oleh eksudat mukopuren untuk membentuk bercak konsolidasi dalam
lobus. Gambaran radiologis mempunyai bentuk difus bilateral dengan
peningkatan corakan bronkhovaskular dan infiltrat kecil dan halus yang tersebar
di pinggir lapang paru. Bayangan bercak ini sering terlihat pada lobus bawah.
Tampak infiltrate peribronkial yang semi opak dan inhomogen di daerah hilus
yang menyebabkan batas jantung menghilang (silhoute sign). Tampak juga air
bronkogram, dapat terjadi nekrosis dan kavitas pada parenkim paru. Pada
keadaan yang lebih lanjut dimana semakin banyak alveolus yang telibat maka
gambaran opak mnjadi terlihat homogeny.
b. Pneumonia lobaris
Merupakan pneumonia yang terjadi pada seluruh atau satu bagian besar dari
lobus paru dan bila kedua lobus terkena bisa dikatakan sebagai pneumonia
lobaris. Pada foto torax PA posisi erec tampak infiltrate di parenkim paru perifer
yang semiopak, homogeny tipis seperti awan, berbatas tegas, bagian perifer
lebih opak di banding bagian sentral. Konsolidasi parenkim paru tanpa
melibatkan jalan udara mengakibatkan timbulnya air bronkogram. Tampak
pelebaran dinding bronkhiolus. Tidak ada volume loss pada pneumonia tipe ini.
c.
Pneumonia interstitial
Merupakan pneumonia yang dapat terjadi di dalam dinding alveolar. Pneumonia
interstitial ditandai dengan pola linear atau retikuler pada parenkim paru. Pada
tahap akhir, dijumpai penebalan jaringan interstitial sebagai densitas noduler
yang kecil.
IX. KOMPLIKASI
1. Empiema
2. Atelektasis
3. Perikarditis
4. Pleuritis
5. Otitis Media Akut (OMA)
X. PENATALAKSANAAN
A. Penatalaksaan umum:
1. O2 2-4 liter/ menit sampai sesak hilang.
2. Infus 2A 20 tetes per menit mikro (untuk obat)
B. Penatalaksanaan khusus:
1. Mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak diberikan pada
72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi antibiotik awal.
2. Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi,
takikardi, atau penderita kelainan jantung.
3.
XI. PROGNOSIS
Dengan pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat yang dimulai secara dini pada
perjalanan penyakit tersebut maka mortalitas selam masa bayi dan mas kanak-kanak
dapat di turunkan sampai kurang 1% dan sesuai dengan kenyataan ini morbiditas
yang berlangsung lama juga menjadi rendah.
Anak dalam keadaan malnutrisi energi protein dan yang datang terlambat menunjukkan
mortalitas yang lebih tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak, Buku Kuliah kesehatan Anak, Jilid 3, bagian
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 1997
2.
3.
4.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi Idrus, Setiati S, et all: editor. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Edisi keempat, jilid II. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI, 2007.
5.
Ekayuda I, editor. Radiologi Diagnostik. Edisi ke-2. Jakarta: Balai penerbit FKUI.
2009; 100-1.
6.
Patel PR. Lecture notes radiologi. Edisi kedua. Jakarta: Erlangga. 2007; 36-7.