Anda di halaman 1dari 31

DITERBITKAN OLEH

YAYASAN TANAH MERDEKA (YTM)


Jl. Tg. Manimbaya No. 111 B Palu 94113
Sulawesi Tengah Indonesia
Telp/Fax. 0451- 425892
www.ytm.or.id
ytm@ytm.or.id
desain & layout
andi miswar arman
2007

Agama dan Suku:


Kepemilikan dan Penguasaan Usaha Pertanian
Di Dataran Tinggi Sulawesi Tengah

Agama dan Suku:


Kepemilikan dan Penguasaan Usaha Pertanian
Di Dataran Tinggi Sulawesi Tengah

I. PENDAHULUAN
Secara garis besar, pola penguasaan dan
kepemilikan tanah di Lembah Napu, Lembah Doda
dan Lembah Palolo sangat beragam dan rumit. Pola
kerumitan itu, bisa dilihat dari aspek penguasaan
misalnya, antara lain sewa menyewa, bagi hasil,
hak milik, buruh tani, dan lainnya.
Pola penguasaan lahan juga diikuti oleh
penguasaan berdasarkan etnis, sub-etnis dan
agama. Terjadinya berbagai konflik tanah di ketiga
lembah pada dataran tinggi itu selama lima tahun
terakhir merupakan akses dari kepemilikan di atas
tanah tumpang tindih antara suku, agama dan
bentuk hak milik dan hak menguasai. Apalagi
masuknya sejumlah investasi ke dataran itu, selama
kurun waktu tiga puluh tahun terakhir.
Kerumitan itu, pertama, selama ini pengelolaan
sumber daya tanah di ketiga lembah itu, selalu
dipandang dari sudut nilai ekonomi penguasaan
tanah. Tanpa melihat asal usul dan dinamika tanah
di tingkat masyarakat. Sejarah asal usul
kepemilikan tanah di ketiga lembah sudah
berlangsung lama dengan tujuan dan motif yang
berbeda dan tekanan penduduk komposisi yang
berbeda ke wilayah itu. Sekurangnya itu telah
menyebabkan perubahan bentuk kepemilikan dan
penguasaan tanah dan memiliki aspek yang sangat
kompleks, seperti tanah dari aspek hukum, aspek

sosial, budaya, demografi dan politik.


Menurut Aragon (2003) pola perubahan tanah
itu di Lembah Napu berkembang berdasarkan
periodesasi. Aragon membagi kedalam tiga
periodesasi. Pertama, pada waktu wilayah itu
dihuni para suku, tidak dikenal bentuk kepemilikan
tanah, kecuali menguasai tanah dengan cara
memanfaatkan tanah untuk pertanian. Karena
suku-suku itu percaya, bahwa tanah adalah milik
yang kuasa (Pue). Paruh kedua, ketika masuknya
pemerintahan kolonial Belanda ke Sulawesi Tengah
tahun 1905. Pemerintah Kolonial mulai
memperkenalkan komoditi pertanian yang bernilai
ekonomi untuk di budidayakan, kemudian
mendorong masyarakat uintuk memanfaatkan hasil
hutan non kayu (Damar, Rotan dll). Tujuannya agar
pemerintah kolonial dapat menarik pajak penghasil
dari orang pribumi, dan mendorong pertanian
berpindah-pindah (Nomaden) menjadi pertanian
menetap (Araggon, 2001).
Kedua, konflik tanah di kedua wilayah semakin
mengalami segragasi yang menajam, menyusul
berbagai persoalan demografi, karena tumpang
tindih kepemilikan dan penguasaan terhadap
sumber daya alam, antara suku, agama, dan klaim
adat. Apa lagi kedinamikaan suku, agama di

dataran tinggi itu, menunjukkan angka meningkat


karena menyusul tekanan pendatang ke wilayah itu
semakin meningkat, yang datang dari latar belakang
dan motivasi yang berbeda di wilayah itu. Akan
tetapi motivasi yang dominan untuk masuk ke
dataran tinggi Sulawesi Tengah itu, sebagian besar
dipengaruhi kepentingan ekonomi yang berbasis
pertanian.
Indikatornya, bisa dilihat dari tanah di ketiga
lembah itu menyediakan lahan subur untuk tanah
pertanian. Kedua, menurut laporan statistik
provinsi sulawesi tengah tahun 2000, melalui sensus penduduk terdapat 52 % dari rumah tangga di
Sulawesi Tengah adalah bekerja sebagai petani.
Jumlah ini menunjukkan, bahwa sektor tani
merupakan mayoritas penduduk di Sulawesi Tengah,
yang menggantungkan hidupnya pada hasil-hasil
pertanian dan Sebagian besar mereka tinggal di
pedesaan. Dengan kata lain, bahwa tanah
merupakan faktor produksi utama untuk memenuhi
berbagai kebutuhan hidup. Indikator ketiga, jumlah
ekspor sektor pertanian dan hasil hutan Sulawesi
Tengah menempati urutan teratas dibandingkan
dengan jenis industri lainnya.
Itulah sebabnya, penggunaan sumber daya tanah
meningkat sejalan dengan permintaan terhadap
sumber daya produksi komoditi pertanian di
berbagai pasar di daerah Sulawesi Tengah maupun
diluar Sulawesi Tengah meningkat sedemikian rupa.
Permintaan itu, baik berupa palawija,Jagung, Teh,
produk non kayu, Kakao, Vanili, Kopi dan lainnya.
Untuk itu semakin banyak tanah diperlukan.
Pada saat berlangsungnya penggunaan sumber
daya tanah untuk perkebunan berbagai komoditi
itu, pada saat yang sama bidang tanah yang
mengandung mutu lahan yang subur senantiasa
terbatas. Namun, permintaan dan kebutuhan terus
mendesak dengan penggunaan tanah yang yang
tinggal menyisahkan tanah di lereng bukti dan tidak
subur, bahkan sebagian kwalitas tanah juga sudah
mulai menurun. Tekanan penggunaan tanah untuk
pertanian berlangsung yang tinggal menyisakan
tanah untuk kebutuhan pekarangan rumah, dan
tanah pertanian yang diperoleh dari warisan.
Sementara tanah lain telah jatuh ke negara, dan
perusahaan perkebunan dan para pendatang.
Ketiga, terkonsentrasinya pemilikan dan
penguasaan tanah pada sekelompok kecil
masyarakat. Penyebab ini, karena meningkat
pendatang dan pengungsi dari berbagai daerah,

yang rata-rata sebagai petani, yang secara nyata


membutuhkan tanah pertanian. Terjadi dua
ketimpangan secara bersamaan, selain
ketimpangan dalam komposisi kepemilikan luas
tanah, juga pada saat yang sama terjadi
ketimpangan penguasaan tanah yang subur. Dimana
sebagian besar luas tanah dikuasai sedikit orang
jatuh ke tangan pendatang, juga hampir semua
lahan subur dan produktif jatuh ke tangan para
pendatang dan perusahaan perkebunan.
Keempat, lemahnya jaminan kepastian hukum
atas pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah.
Gambaran sengketa tanah dapat dilihat dari
berbagai kejadian di Lembah Napu, Doda dan
Donggala. Hal ini diperparah dengan keamanan
tanah, karena sebagian besar kepemilikan tanah
di ketiga lembah di dataran tinggi itu, tidak
memiliki bukti kepemilikan berdasarkan hukum
positif 1 . Sebagai besar penguasaan tanah
dibuktikan lewat klaim dan bukti pembayaran pajak
(PBB), maka tidak heran jika kemudian muncul
berbagai sengketa dan ancaman terhadap
masyarakat yang tinggal di 64 desa yang
berhubungan langsung dengan Taman Nasiona Lore
Lindu.
Hal di atas sekurangya telah menjadi masalah
lama bagi sengketa tanah yang ada di TNLL, meski
di satu sisi, pemerintah tengah mempercepat
proses sertifikasi tanah terhadap warga negara yang
yang tinggal di lembah itu melalui berbagai program pemerintah dan program Organisasi nonpemerintah, dengan harapan konflik antara
pemerintah rakyat, konflik antara warga, konflik
antara pelaku bisnis berkurang. Akan tetapi disisi
lain, kecenderungan pemilikan pribadi dan klaim
hak milik atas tanah, bisa berdampak jatunhya
kepemilikan dan penguasaan tanah ke tangan
investaor, karena dengan begitu, transaksi
penjualan tanah dimungkinkan secara besarbesaran terjadi, yang dilakukan oleh masyarakat
lokal.
Kelima, konflik yang bersifat sektoral dan
horisontal, yakni tarik-menarik antara kepentingan
perlindungan kawasan konservasi dengan
kepentingan sektor pembangunan. Disisi lain,
otoritas yang dimiliki TNLL sama sekali tidak
membolehkan masyarakat masuk merusak TNLL.
Apa lagi tinggal di dalamnya untuk mengambil kayu,
mengolah lahan untuk usaha pertanian. Padahal

masyarakat di sekitarnya TNLL 99% hidup mereka


adalah petani dan kekurangan lahan.
Artinya kehadiran Taman Nasional Lore Lindu
(TNLL) dengan luas wilayah sebesar 218.000 hektar
terletak di antara Kabupaten Poso dan Kabupaten
Donggala. Dari jumlah 67 desa yang berhubungan
langsung dengan TNLL dengan jumlah penduduk
sekitar 104.631 jiwa berada di dalam otonomi
TNLL. Sebagian besar mereka adalah etnik yang
sudah sejak lama turun-temurun berdiam di daerah
tersebut, seperti: To Lindu, To Kulawi, To Gimpu,
To Pili, To Moa, To Bada, To Behoa, To Pekurehua,
To Tawaelia, dan lain-lain, selain itu penduduk
pendatang baru yang bermigrasi oleh karena konflik
sosial politik, seperti: Orang Rampi (1958), Orang
Seko (1958), Orang Pamona dan Poso (1998) atau
karena migrasi lokal. Disamping itu penduduk dan
desa transmigrasi yang sengaja didatangkan oleh
pemerintah melalui proyek transmigrasi (Sangadji,
et.el., 2003 ). Sekiranya keberadaan TNLL dan
masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah TNLL,
mengisyaratkan adanya ketimpangan struktur
agraria di wilayah lembah Napu, Doda dan Palolo.
Sementara pada saat yang sama, ditengah
terjadinya krisis lahan itu, pemerintah mengizinkan
sejumlah usaha yang menguras penggunaan lahan
begitu luas di satu pemilik. Contoh yang paling
nyata, pemerintah mengizinkan 8.600 hektar
konsesi Hak Guna Usaha (HGU) kepada PT Haspam,
di Lembah Napu. Belum lagi pemberian izin ini
mengundang kotraversi terutama masyarakat yang
tinggal lembah itu, mereka datang dari Maholo,
Watumaeta, Wanga dan lainnya, sebab menguasai
dan mengusir paksa penduduk sebagai pemilik
tanah yang dikuasai secara adat oleh orang Napu.
Contoh lain, di tengah otoritas TNLL melarang
masyarakat masuk ke dalam TNLL, pada saat yang
sama pemerintah telah menyetujui konsesi
pertambangan seluas 500.000 hektar diberikan
kepada PT Uli Mandar Mineral2 di dalam TNLL.
Proyek-proyek pembangunan pemerintah dan
Ornop yang buruk3, sekurangnya telah memicu
konflik-konflik lahan bagi masyarakat yang tinggal
di daratan tinggi Sulawesi Tengah itu. Karena
kehadiran proyek itu, selain memicu ekspansi
penanam komoditi berorientasi pasar secara besarbesaran juga, pada saat yang sama melakukan
marginalisasi masyarakat dengan cara pemindahan
dan mega proyek yang merugikan. Kasus penduduk

Desa Katu di Kecamatan Lore Tengah Kabupaten


Poso, misalnya, Pemerintah Provinsi Sulawesi
Tengah, pernah memaksa orang Katu pindah dari
TNLL melalui proyek Central Sulawesi Integrated
Area Conservation and Development Project
(CSIACDP). Proyek ini didanai dari loan Asian Development Bank (ADB) pada tahun 1997. Pemerintah
menganggap orang Katu mengancam kawasan
konservasi itu. Sebaliknya, orang Katu menolak dan
menganggap bahwa wilayah yang saat ini mereka
tempati merupakan bagian dari milik tradisional
yang diperoleh dari para leluhur (Sangaji, 2002a).
Studi bertujuan untuk menggambarkan
komposisi kepemilikan dan penguasaan tanah
antara masyarakat lokal dan masyarakat pendatang
di ketiga lembah di dataran tinggi Napu, Doda dan
Dongidongi. Komposisi kepemilikan tanah diuraikan
berdasarkan periodesasi waktu,juga berdasarkan
sejarah pada masa sebelum kolonial Belanda masuk
ke Sulawesi Tengah, masa kolonial Belanda Masuk
ke Sulawesi Tengah dan postcolonialistme di
Sulawesi Tengah. Selain karakter komposisi
kepemilikan dan penguasaan, juga mengungkap
pola pemanfaatan atau pengefektifan tanah,
jaringan pemasaran, dan juga pola pemanfaatan
hasil hutan non kayu.
Sajian deskriktif, yang menggambarkan
kepemilikan dan penguasaan tanah di dataran tinggi
Napu, Doda dan Dongidongi dilakukan dengan
metode survey per-kepala keluarga. Survey
dilakukan secara langsung dengan mendata seluruh
kepala keluarga di lima desa di ketiga lembah itu.
Selain itu, ketiga wilayah itu memiliki karakter suku
yang berbeda, dan cara memperoleh, menguasai
dan memiliki tanah yang berbeda pula.

II. Istilah Penguasaan dan Kepemilikan Tanah


Beberapa pandangan mengenai istilah
kepemilikan dan penguasaan dilihat dari berbagai
aspek pendekatan. Istilah penguasaan dan
kepemilikan tanah memiliki makna yang berbeda.
Istilah penguasaan tanah dalam literatur asing
disebut land tenure. Land berasal dari bahasa
Inggiris jelas artinya adalah tanah, dan tenere
berasal dari bahasa Yunani, yang artinya mencakup
memelihara, memegang, memiliki.4 Karena itu,
istilah land tenure biasanya dipakai dalam
membicarakan mengenai status hukum tanah,

seperti sewa menyewa, buruh tani, hak milik,


gadai, bagi hasil dan lainnya (Wiradi, 1984; Fausi,
2003). Implikasi terhadap land tenure adalah
tumbuhnya pembedaan antara penguasaan, maka
institusi atau lembaga yang menguasai dinamakan
land tenacy (Wiradi, 1984).
Seperti juga pendekatan di atas, tapi dalam
penggunaannya, land tenure kerap kali dianggap
sebagai salah satu sumber kepemilikan, dimana
mengurus dan memerintah praktek distribusi
merata dan penanaman melalui prosedur (Sikor,
2002). Jika demikian, maka Ridell (1987)
menyebutkan sistem tenurial sebagai sekumpulan
atau serangkaian hak-hak, tenure system is a
bundle of rights.5 Karena itu, tenural sistem ini
dilihat sebagai sekumpulan atau serangkaian hakhak (tenure system is a bundle of rights) yang mana
didalamnya juga terkandung makna kewajiban (obligation)
Pendekatan Ridell itu, jika ditelaah dalam
pendekatan hukum, maka sistem tenurial,
sekurangnya mengandung tiga komponen, yaitu
subyek hak, obyek hak, dan jenis haknya. Selain
itu, dalam sistem tenurial juga penting untuk
mengetahui siapa yang memiliki hak (de jure) atas
sumberdaya dan siapa yang dalam kenyataannya
(de facto) menggunakan sumberdaya. Berdasarkan
kedua hal itu, maka istilah penguasaan dapat
didefenisikan tanah atau hak atas tanah (Fauzi,
2003).
Sedangkan istilah kepemilikan merujuk pada
penguasaan formal, seperti hak milik atas tanah,
dengan merujuk pada hukum agraria. Sedangkan
penguasaan merujuk pada efektifitas penggunaan
tanah (Wiradi, 1984).6 Misalnya jika seseorang
memiliki hak atas tanah dua hektar, sementara
pada saat yang sama orang itu juga menyewa dua
hektar tanah. Artinya orang itu memiliki dua hektar
tanah dan menguasai empat hektar tanah pada saat
yang sama.
Namun dari pendekatan umum mengenai
penguasaan dan kepemilikan, baik tanah, laut
udara dan sumber daya alam lainnya. Secara garis
besar, pada dasarnya, ada empat kategorisasi
mengenai kepemilikan, yakni property rights atas
sumberdaya yang sangat berbeda satu dengan yang
lain, yaitu : milik pribadi (private property), milik
umum atau bersama (common property), milik

negara (state property), tidak bertuan (open access).


Karena itu, istilah penguasaan dan kepemilikan
yang yang disebutkan di atas, di Indonesia
bersumber dari konstitusi Undang Udang Dasar
1945, bahwa bumi, air, udara dan kekayaan alam
di dalamnya dikuasai negara.7 Dalam pengertian
tanah, menurut Peraturan Pemerintah No.8/1953,
maka tanah yang dikuasai negara meliputi semua
tanah yang sama sekali bebas dari hak-hak
seseorang, baik yang berdasarkan hukum adat
maupun hukum barat. 8
Pengelolaan tanah negara diletakkan pada satu
instansi pemerintah yang diserahi tugas mengurusi
soal tanah. Instansi yang dimaksud adalah
kementerian dalam negeri (Sekarang Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional).
Implikasinya, tanah-tanah yang tidak digunakan
atau diperlukan, maka masing-masing instansi yang
diberi kewenangan sesuai tugas menyerahkan
tanah itu kepada Menteri Agraria Kepala BPN.
Berbeda dengan yang di atas, domain yang
merujuk pada Undang undang Pokok Agraria No.5/
1960 istilah penguasaan dan kepemilikan, atau,
menguasai, dan bukan memiliki, diletakkan
dalam hubungan antara negara dengan tanah.
Negara sebagai personifikasi dari seluruh rakyat
Indonesia mempunyai kewenangan tertinggi untuk
mengatur penggunaan dan penyelenggaran tanah.
Dalam Undang-undang ini dikenal berbagai
bentuk penguasaan dan kepemilikan tanah, antara
lain: Hak guna usaha, hak milik, hak guna
bangunan, kak pakai, hak sewa, hak membuka
hutan, hak memungut hasil hutan.9

III. Beberapa Aspek Lokasi Penelitian: Komposisi


demografi.
Aspek kepemilikan dan penguasaan tanah di
lembah Napu memiliki dinamika yang berbeda dari
tiap kampung yang di teliti. Dari empat lokasi yang
di survey, diantaranya dua desa di Lembah Napu,
yakni Toe Jaya (Dodolo), Wanga dan Dua Desa di
Lembah Doda, yakni Desa Doda, Desa Lempe dan
Satu Kampung di Lembah Palolo, yakni Dongidongi.
Secara garis besar, memiliki keragaman etnis
yang rata-rata memiliki usaha pertanian di wilayah

itu, antara lain: Behoa; Napu; Rampi; Bugis; Toraja;


Kulawi; Mori; Bada; Pamona; Tator; Flores; Manado;
Bali; Saluan (banggai); Jawa; Poso; Sangir. Kedua
memiliki keragaman agama yang mayoritas Kristen
sebagai penduduk asli, sementara hanya sebagaian
kecil yang beragama Islam sebagai suku asli.
Sementara sebagian besar beragama Islam,
bersumber dari pendatang, yang masuk kira-kira
60-an ke lembah Napu dan lembah Doda. Sedangkan
pemukiman di Dongidongi terbentuk ketika baru
tiga tahun lalu. Ketiga, kelahiran berbagai di desa
itu dilatar belakangi oleh berbagai sejarah yang
berbeda. Desa Toe Jaya di Lembah Napu terbentuk
karena proyek transmigrasi lokal. Dari proyek ini,
tanah diberikan masyarakat dua hektar per-kepala
keluarga dan pekarangan rumah seluas nol koma
delapan area. Selama hidup ditempat baru sebagai
transmigrasi lokal pemerintah memberikan jaminan
hidup selama dua tahun berturut.
Orang yang ditransmigrasikan di Toe Jaya
berasal dari Dodolo, dibagian selatan lembah Napu
dan atau bagian Tenggara Taman Nasional Lore
Lindu. Sebelumnya, mereka adalah pengungsi
korban Darul Islam Tentara Indonesia (DI/TII) pada
tahun 1950 karena dipaksa masuk Islam. Dari
pemaksaan ini mereka berpindah terpencar sebelum
kemudian sampai di Dodolo tahun 19. Karena itu,
Toe Jaya merupakan desa terbentuk karena
trasmigrasi lokal, sebelumnya mereka bermukin di
Dodolo10. Satu wilayah yang terletak di Taman
Nasional Lore Lindu (TNNL) di Selatan, yang
berdekatan dengan Desa Katu. Orang Rampi
ditransmigrasikan, karena pada tahun 1993,
wilayah yang di tempati itu ditetapkan sebagai
Taman Nasional Lore Lindu. Program transmigrasi
lokal baru dimulai sejak tahun 1996 (Sangadji.et.el,
2003).
Berbeda dengan desa tetangga, Wanga, yang
terletak di lembah yang sama, desa ini merupakan
pemukiman tua, yang sudah ada sebelum Belanda
masuk ke Sulawesi. Pembentukan Wanga menjadi
desa sudah terjadi sejak tahun 1906. Itulah
sebabnya, komposisi penduduk di daerah ini lebih
didominasi oleh suku asli (Napu). Desa-desa itu,
memiliki tanah dengan pola yang berbeda.
Sedangkan memanfaatkan tanah dengan pola yang
sama, hanya dibedakan kategorisasi modal dan
bentuk pola penguasaan.
Komposisi kepemilikan dan penguasaan tanah
di ketiga lembah itu, juga ditentukan oleh faktor

etnisitas 11 , dan agama. Penguasaan tanah


berdasarkan suku menunjukkan ciri khas yang paling menyolok yang terdapat di lembah Napu, Doda
dan Dongidongi. Komposisi penguasaan etnis,
agama ditunjukkan dalam berbagai klaim atas nama
suku, agama dan lainnya.
Namun selama lima tahun terakhir, sejak
menguatnya orientasi produk komoditi yang bernilai
ekonomi tinggi seperti coklat, vanili dan cengkeh,
komposisi kepemilikan dan penguasaan tanah
diketiga lembah itu, mulai mengalami pergeseran,
dimana penguasaan lahan berdasarkan klaim suku,
agama dan ras mulai digantikan dengan dengan
penguasaan tanah berdasarkan modal dan teknologi
pertanian .
Secara garis besar gambaran lokasi penelitian
dapat digambarkan latar belakang memperoleh
tanah. Pertama, adalah memperoleh tanah karena
desa-desa itu terbentuk dari warisan dan
kepemilikan adat sebelumnya. Misalnya di desa
Wanga, Doda, Lempe;
Pola kedua, melakukan reklaiming, tanah negara
yang berada di wilayah taman nasional, direklaiming
oleh masyarakat menyusul terjadinya krisis tanah
terhadap orang-orang yang korban transmigrasi
lokal. karena tidak sesuai dengan rencana semula,
seperti yang dijanjikan pemerintah, maka
masyarakat di lembah Palolo melakukan reklaiming
terhadap tanah-tanah di Dongidongi, yang berada
di wilayah taman nasional bagian timur. Contoh
kasus yang mirip ini adalah orang yang bermukim
di Dongidongi.
Ketiga, memperoleh karena diberikan
pemerintah melalui proyek transmigrasi. Proyek
transmigrasi lokal, yang memindahkan orang di
Dodolo ke Toe Jaya, yang dibiayai pemerintah, dan
menyediakan tanah dua hektar tanah per-kelapa
keluarga,
IV. Pola Pegeseran dan Penguasaan Tanah
Pergeseran penguasaan tanah di tiga lembah
pada dataran tinggi Sulawesi Tengah berlangsung
secara pasif selama dua tiga tahun terakhir.
Dinamika tumpang tindih antara suku, agama dalam
usaha tani merupakan salah satu faktor penyebab
pergeseran dan penguasaan tanah di lembah Napu,
Behoa, Dongidongi. Pola pergeseran antara lain:

berbagai suku dengan pola penguasaan dan usaha


tani berbeda; kelompok agama juga memegang
peranan penting dalam pemanfaatan lahan;
tumpang tindih yang lain juga terjadi karena
pembangunan pemerintah yang tidak
mempertimbangkan aspek sosial agraria dalam
menata pembangunan di ketiga daerah itu.
Pertama, Penguasaan berdasarkan komposisi
etnis dan agama, dari sekian banyak etnis terdapat
di lembah Behoa dan Napu. Etnis Behoa dan Napu
rata-rata memiliki tanah untuk usaha pertanian,
karena secara demografi kedua suku itu paling
banyak menghuni kampung-kampung seperti di
Doda dan Wanga.
Berbeda dengan di Dongidongi, suku Kaili Sub
etnis Daa rata-rata memiliki dan menguasai lahan
dua hektar per-kepala. Penguasaan lahan
berdasarkan etnistas, meski warga Behoa dan Napu
memiliki lahan hampir merata, tetapi mereka
memiliki lahan antara setengah hektar hingga dua
hektar ke bawah. Hanya sepuluh hingga dua puluh
diantaranya memiliki lahan di atas puluhan hektar.
Sementara berbagai warga yang masuk ke wilayah
itu, meski jumlah komposisi mereka sedikit tetapi
menguasai lahan rata-rata di atas dua hektar perkepala keluarga.
Tingkat keamanan tanah bagi kelompok suku,
maka penduduk asli memiliki tingkat keamanan
tanah paling rendah, karena sebagian besar tidak
memiliki bukti kepemilikan tanah, kecuali bukti

pembayaran Pajak Bumi Dan Bangunan (PBB).


Sedangkan penduduk pendatang lebih banyak
memiliki bukti berupa sertifikat dan Surat
Keterangan Pemilikan Dan Penguasaan Tanah
(SKPPT)
Jika rata-rata, etnis Behoa dan Napu memiliki
usaha tanah yang merata, maka beberapa etnis,
seperti Bugis, Jawa, dan Toraja memiliki usaha
pertanian rata-rata diantara lebih besar dari dua
hektar keatas, meski jumlah kepala keluarga
mereka jauh lebih kecil jika dibanding dengan
penduduk asli. Sementara etnis seperti Rampi;
Kulawi; Mori; Bada; Pamona; ; Flores; Manado; Bali;
Banggai; Bugis; Poso; Sangir tidak memiliki dan
menguasai dominan di dataran tinggi Napu dan
Behoa.
Berkaitan dengan kedatangan etnis di kedua
lembah itu, maka sebelum masuk ke lembah Napu,
para etnis itu, melalui berbagai daerah, terlebih
dahulu. Lalu kemudian masuk ke Lembah Behoa
dan Napu. Alasan berpindah, karena ditempat
semula tidak subur. Misalnya, sejumlah orang Bugis
yang terdapat di Lembah Napu dan Behoa, sebelum
mereka masuk kedua lembah itu, mereka terlebih
dahulu tinggal di Poso. Karena alasan ekonomi dan
kerusuhan, lalu kemudian mereka berpindah ke
lembah Napu dan Doda, karena dianggap tanah
pertanian lebih subur. Diagram 1 memperlihatkan
luas penguasaan usaha pertanan di Dongidongi,
Wanga, Dodolo, Lempe dan Doda berdasarkan
agama dan suku, sebagai berikut:

Sementara berkaitan dengan penguasaan


berdasarkan komposisi agama, penguasaan
berdasarkan komposisi agama, 458 (92%)kepala
keluarga beragam Kristen menguasai dan memiliki
tanah di lembah Napu, 38 kepala keluarga Islam
menguasai (8%). Terutama di lembah Behoa, suku
menguasai sejumlah 453 kepala keluarga, baik
mereka yang beragama Islam maupun Kristen. Tabel
berikut memperlihatkan komposisi suku dan
agama yang menguasai usaha pertanian di lembah
Napu dan Doda.
Komposisi penguasaan di atas, berdasarkan suku
dan agama, jika dilihat dari pergeseran
kepemilikan, sudah berlangsung sejak
pemerintahan kolonial mulai mengintrodusir
berbagai komoditi ke wilayah dataran tinggi Napu
dan Doda (Aragon, 2003). Akan tetapi jika dilihat
dari segi keragaman penguasaan tanah pertanian
berdasarkan luas, antara kurang dari setengah
hektar hingga dua hektar ke atas, sebagian besar
kelompok suku dan agama memiliki sebagian besar
agama Kristen di lembah Napu dan Doda memiliki
antara 05-1 sebesar 180 kepala keluarga Kristen,
perbedaan kepemilikan dan penguasaan tanah
antara agama yang sama, dengan luas antara 1- 2
hektar tidak berbeda jauh, yakni 136 kepala
keluarga. Di kelompok agama islam, yang minoritas
di kedua lembah itu, sebagian besar diantara
mereka adalah pendatang dari berbagai daerah 41
kepala keluarga menguasai tanah kurang dari 0,5
hektar. Sementara sebagian kecil diantara
kelompok orang yang beragama Islam di lembah
Napu menguasai tanah di atas 2 hektar. Meski
jumlah sedikit tetapi penguasaan tanah cukup luas
per-kepala keluarga. Tabel berikut memperlihatkan
penguasaan dan kepemilikan tanah berdasarkan
agama dan suku.
Kedua, perpindahan penduduk, baik dilakukan
secara alami (migrasi) maupun dilakukan dengan
proyek pembangunan transmigrasi. Dalam
pembangunan ini, negara memberikan tanah secara
cuma-cuma kepada para trasmigrasi. Perolehan hak
atas tanah itu, diberikan negara atas nama tanah
negara.. Proyek transmigrasi pemerintah tahun
1979. Proyek Ini memindahkan tidak kurang dari
1000 KK masyarakat yang berasal dari Kulawi, Palu,
Rondingo, Kamalisi dan lainnya. Mereka dipindahkan
ke Desa Rahmat, Kadidia, Togoga, Kamarora di
Lembah Palolo, bagian Timur Laut TNLL Proyek

10

Transmigrasi Toe Jaya (Dododolo) 1996,


pemindahan tidak kurang dari 70 KK. Mereka
ditempatkan di Lembah Napu. Pemindahan secara
besar-besaran ini merupakan penyebab utama
terjadinya kepadatan penduduk di Lembah Palolo
(Sitorus, 2003) dan lembah Napu.
Proyek transmigrasi yang disebutkan itu,
sekurangnya telah menguras luas lahan
penghilangan hak atas tanah adat; pembangunan
perkebunan skala besar; pembangunan jalan, yang
menggabungkan poros lembah Palu-lembah Napulembah Besoa. Dengan kata lain proyek
pembangunan diatas turut berkontribusi bagi
dinamika penguasaan dan kepemilikan tanah bagi
masyarakat lokal. Misalnya proyek pembangunan
transmigrasi lokal di desa Dodolo, yang juga
memberi dampak bagi kompoisisi politik
penguasaan tanah (Sikor, 2002)
Dalam dua puluh tahun terakhir, jumlah
perpindahan dari berbagai suku masuk kewilayah
itu, antara lain Rampi; Bugis; Toraja; Kulawi; Mori;
Bada; Pamona; Tator; Flores; Manado; Bali; Saluan
(banggai); Jawa; Poso; Sangir. Suku yang
disebutkan di atas, termasuk suku yang melakukan
perpindahan dengan berbagai kepentingan dalam
usaha di bidang pertanian, yang membutuhkan
lahan. Aspek Perpindahan (migrasi) pertambahan
pengungsi, juga berpengaruh pada aspek
ketimpangan kepemilikan dan penguasaan disatu
sisi, pada masyarakat lokal yang sudah tinggal di
Lembah Napu, Doda, dan Lembah Palolo. Penduduk
pendatang yang begitu banyak berdatangan
bermukim di ke-tiga lembah itu, yang sudah
berlangsung lama. Bahkan perpindahan besarbesaran sudah terjadi sejak tahun 1964, ketika
orang dari Rampi, Seko, Sulawesi Selatan masuk
ke lembah Napu dan Doda. Kemudian diikuti oleh
membludaknya pengungsi Poso, yang merupakan
imbas dari kerusuhan Poso sejak Mei 1998 hingga
kini.
Perpindahan penduduk itu, karena motivasi
lahan pertananian subur. Actioli (2003)
menyebutkan, bahwa migrasi Bugis kecenderungan
bergerak kearah daerah yang lebih subur(Actioli,
2003). Namun Sesungguhnya problem migrasi bukan
hanya menjadi problem di Lembah di daratan tinggi
Napu, Behoa, dan Palolo, tetapi menjadi masalah
umum pelik di Indonesia, dimana migrasi
kecedrungan terjadi ke daerah yang lebih kaya atau

daerah yang lebih potesial dari segi sumber daya


alam.
Aspek ini tidak hanya berpengaruhi pada luasnya
komposisi penggunaan tanah, tetapi lebih dari itu,
juga pola kewajiban dan kewajiban para pemakai
tanah dan komposisi efektifitas ekonomi
penggunaan tanah dalam kerangka formal dan non
formal. Hal ini juga menyebabkan menipisnya pola
penguasaan tanah dari sudut pada pelapisan sosial
(strata sosial)
Pola ketiga, Pembangunan pemerintah dalam
berbagai proyek infraksturuktur dan proyek
perkebunan swasta. Pemicu pergeseran penguasaan
lahan lain, pembangunan jalan poros yang
menghubungkan PaluPaloloNapu, pertengahan
tahun 80-an. Poros jalan ini sekurangnya telah
mempengaruhi pola penguasaan agraria di lembah
Napu, karena kehadiran jalan raya ini, sekurangnya
telah memicu tumbuh investasi skala besar di
lembah Napu, yang menguras sumber daya tanah
begitu luas.
Kemudian diteruskan pembangunan jalan poros
yang menghubungkan Napu Lembah Doda, pada
akhir tahun 90-an, juga telah menyebabkan pola
penggunaan lahan dari usaha pertanian subsistence ke usaha pertanian, berorientasi komoditinya produksi kapitalis. Artinya pola penggunaan
lahan mengikuti perkembangan harga pasar
komoditi.
Proyek pembangunan jalan poros yang
menghubungkan lembah Palu-Palolo-Napu dan Doda;
Serta proyek jalan yang menghubungkan lembah
Poso dan Lembah Napu, Doda. Meski sesungguhnya
kontribusi proyek ini cukup besar bagi
perekonomian, Kabupaten Poso, Kabupaten
Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah. Akan tetapi
rendahnya pajak bagi investasi skala besar di
sektor pertanian, subsidi penanaman modal dalam
negeri. Keadaan ini menyebabkan meluas investasi
pertanian dalam skala besar di Lembah Doda, Napu,
misalnya dengan PT Haspam, yang mengelola teh,
kopi dan coklat.
Sementara kehadiran sejumlah perusahaan
swasta, hal ini bisa dilihat selama beberapa 10
tahun terakhir, perusahaan-perusahaan berbasis
sumber daya tanah masuk ke lembah Napu, selain
berkontribusi bagi menipisnya tanah, tetapi yang

paling penting berkontribusi mengubah tanah


menjadi modal dan menghubungkannya dengan
pasar global, dimana hampir semua orientasi
komoditi perusahaan itu, bersentuhan dengan pasar
global. Misalnya PT Hafrm Napu dengan 7.700
Hektar berdasarkan Hak Guna Usaha Nomor, 65/
HGU/PHN/1995 tanggal 11 Oktober 1995, lokasi
Desa Maholo, Wanga, Winowanga dan lainnya,
komoditi Kakao, Teh, Kopi Arabika; PT Wuasa
Sardana Lestari, Lembah Napu, luas 10.000 hektar
berdasarkan izin lokasi Gubenur Sulawesi Tengah
No.460/GKDH-ST/IX/ 95 tanggal 5 September
1995, Lembah Napu, Kopi Arabika (belum aktif) ;
PT Tulus Sintuwu Karya, Kakao, luas 99 hektar,
Lembah Palolo, Penanaman Modal Dalam Negeri
(PMDN), No. 246/I/PMDN/1995 tanggal 29 Mei 1995
; PT Kebun Abdi Dharma, Kulawi, luas 99 hektar,
Kakao, berdasarkan Hak Guna Usaha Nomor, 570/
10/HGU/B.II-BKPMD/1991; PT Gimpu Jaya Coklat,
Kakao, luas 99 hektar berdasarkan Hak Guna Usaha
No.04/HGU/1991 tanggal 20 Mei 1991; PT Gimpu
Jaya Coklat, PMDN No.525/4263/1995 tanggal 27
September 1995, luas 5000 hektar; PT Tangkolowi
Makmur, Lembah Kulawi, berdasarkan No.496/
GKDH-ST/XI/95 1 November 95, luas 275 hektar,
Kopi Arabika; Koperasi Pegawai Negeri Adhyaksa
Kejati, Kulawi No.496/GKDH-ST/XI/95, 1 November 95) luas 125 hektar, Kopi Arabika; Perusahaan
Daerah Sulawesi Tengah 375 hektar, Cengkeh,
Lembah Kulawi; PT. Nagali Jaya, Kecamatan Dolo,
SK.Pencetakan Tanah HK.350/E.4.641/07-91, luas
1.450, Kakao; PT Sinar Tabiora, Kecamatan Dolo
berdasarkan SK Pencetakan Tanah No. HK.350/
E.4.900/10-91, 4.000 hektar, Kakao; . PT. Lestari
Tani Teladan, Kecamatan Dolo, berdasarkan HGU,
No.47/HGU/BPN/1994, luas 10.000 hektar, Kelapa
Sawit; PT Lanang, Kecamatan Dolo berdasarkan
surat keputusan Gubenur Sulawesi Tengah No.550/
GKDH-ST, luas 7.500 hektar, Pisang Abaca; PT Graha
Lestari Pakar Mandiri, Kecamatan Dolo berdasarkan
surat izin gubernur No.385/GKDH-ST/V/96, luas
5.000 hektar, pisang Abaca; PT A Rasmamulia, Dolo,
berdasarkan izin PMD No.02-19/I/PMDN/1998, luas
420 hektar, Kakao. Kemudian pada tahun 1998,
pemerintah juga memberikan KK kepada PT Mandar
Uli Mineral seluas 590.000 hektar, di mana sebagian
arealnya berada di dalam Taman Nasional Lore Lindu
(TNLL) (Seputar Rakyat, April 2003)
Kehadiran perusahaan yang demikian luas,
mempersempit lahan subur yang sebelumnya
dikuasai oleh masyarakat lokal. Karena jauh

11

sebelumnya, pemerintah telah mendorong berbagai


program land reform melalui program transmigrasi
di wilayah itu, karena proletarisasi tanah, tetapi
pada saat yang sama pemerintah memberikan
sejumlah izin kepada perusahaan dengan
memanfaatkan areal yang cukup luas.
Nampaknya, bahwa kehadiran perusahaan itu,
pada saat yang tidak berselang lama, pergeseran
pekerjaan petani menjadi buruh tani terjadi di
wilayah lembah Palolo, Napu, dan Doda. Dari jumlah
perusahaan itu, tidak kurang mempekerjakan
sekitar 10.000 tenaga kerja, baik mereka yang
berasal dari lembah Palolo, Napu, Kulawi.
Sementara mereka yang didatangkan dari Pulau
Jawa melalui program transmigrasi, yang bekerja
sebagai PIR-trans di PT Hasfam, Napu.
Masalah kedua, kehadiran perusahaan
perkebunan di ketiga lembah itu, sekurangnya telah
memicu ketimpangan pemilikan lahan. Dimana
sebagian besar lahan dikonversi menjadi
perkebunan Kopi, Kakao, Pisang Abacca di tanah
yang diklaim diatas tanah negara. Makanya acapkali
ada pembukaan selalu diikuti dengan proses ganti
rugi. Itulah sebabnya proses perizinan dengan
mudah terjadi. Padahal tanah yang diklaim sebagai
tanah negara itu, adalah tanah warisan dan tanah
adat. Karena tidak memiliki bukti sah, menurut
prepektif hukum negara, makanya dianggap tanah
negara. Tidak heran kemudian jika terjadi berbagai
macam konflik kekerasan untuk mempertahankan
tanah, dengan alasan bentuk ketidakadilan
terhadap masyarakat kampung.
Pola keempat, politik hegomoni pemerintahan
orde baru selama berkuasa, sekurangnya telah
mengubah komposisi penguasaan tanah secara
tidak langsung dengan memperkenalkan
penyeragaman bentuk desa melalui regulasi dalam
UU No.5/1979 tentang pelaksanaan pemerintah
desa12. Regulasi ini, unit pemerintahan terkecil
dilakukan secara seragam, yakni perubahan bentuk
pemerintahan itu menjadi nama Desa.
Sekurangnya hal itu telah memperlemah posisi
hukum adat dana lembaga adat adat yang ada di
tingkat kampung. Dengan kata lain pemerintah
semakin memperketat kontrol gerakan terhadap
komunitas lokal (Mahanani, 2001). Sebaliknya
memperkuat peran negara melalui lembaga kepala
desa dan perangkatnya. Akibatnya, peran
pemerintah desa yang begitu dominan

12

menyebabkan hukum adat kehilngan fungsi dalam


menyelesaikan sengketa baik, pertanahan, maupun
masalah kemasyarakatan yang lainnya.
Pola Kelima, Aspek Pasar mengenai harga
komoditi ditingkat global, kenaikan harga coklat13.
di pasar internasional sejak sejak tahun 1990-an
memicu konversi hutan menjadi perkebunan coklat.
Hal yang sama juga terjadi di perkebunan, dimana
sebagain besar masyarakat mengubah komoditi
pertanian mereka untuk dijadikan perkebunan
Kakao dalam skala besar.
Tidak heran hanya dalam jangak waktu lima,
tahun provinsi Sulawesi Tengah termasuk daerah
penghasil biji Kakao di Sulawesi Tengah. Namun
pola perubahan usaha komdoditi Kakao diatas
karena harga di pasar global naik, tetapi juga sudah
terjadi pada satu dasawarsa sebelumnya, dimana
harga Cengkeh naik secara besar-besaran pada
tahun 1980-an. Praktis hampir sebagain besar
petani di Sulawesi Tengah memiliki usaha
perkebunan Cengkeh. Tidak lama kemudian setelah
harga Cengkeh anjlok di pasar internasional, maka
kemudian banyak petani di Sulawesi Tengah tidak
mengolah usaha kebun Cengkehnya lagi. Bahkan
banyak diantara para petani mengubah komoditi
Cengkeh itu ke perkebunan Kakao.
Tidak heran kemudian selama periode 20012003 hasil biji Kakao yang keluar dari Sulawesi
Tengah menempati urutan kedua setelah Kopra,
misalnya pada tahun 2001, biji Kakao hasil bumi
Sulawesi Tengah sebesar 56.825 ton kemudian
meningkat menjadi sebesar 59.294 ton pada tahun
2002, pada tahun berikutnya, 2003 tidak mengalami
perubahan berarti, yakni 59.358 ton. Tabel 1
memperlihatkan hasil berbagai komoditi pertanian
Sulawesi Tengah selama periode 2001-2003.
Selama tahun 2004 dan awal 2005, Sulawesi
Tengah berhasil mengekspor sekitar 14.708 ton
(Januari Februari 2005) biji Kakao ke sejumlah
negara di kawasan Asia dan Mancanegara. Ekspor
komoditi itu, sekurangnya telah menyumbang
devisa bagi negara tidak kurang dari 15 juta Dollar Amerika Serikat (US$) . Perolehan ini menurun
dibandingkan dengan volume ekspor maupun
perolehan devisa yang diperoleh periode yang sama
tahun 2004, sebesar 20% (berkurang sekitar US$ 3
juta)14. Penurunan tersebut, disebabkan karena
persediaan kakao di tangan para petani masih

Tabel 1. Hasil berbagai komoditi pertanian Sulawesi Tengah selama periode


2001-2003
Volume (Ton)
Komoditi

No.
1.

Kelapa

2.

2002

2001
185.474,0

185.323,0

2003
194.504,0

Kakao

56.825,0

59.294,0

59.358,0

3.

Kelapa sawit

28.926,0

34.791,0

40.054,0

4.

Cengkeh

8.345,0

9.322,0

9.350,0

5.

Kopi

5.705,0

7.257,0

7.368,0

6.

Jambu mete

2.164,0

4.063,0

4.144,0

7.

Karet

2.371,0

2.415,0

2.215,0

8.

Teh

673,0

655,0

1.101,0

9.

Kemiri

199,0

383,0

Berkaitan dengan kecenderungan


pemanfaatan sumber daya tanah
bergeser tinggi rendah harga komoditi
di berbagai pasaran lokal maupun
internasional.
Misalnya,
kecenderungan, naiknya harga
komoditi Coklat dan Vanili di pasar
internasional, pada saat yang hampir
sama, harga kedua komoditi itu juga
mengalami lompatan harga di tingkat
lokal.

394,0

Itulah sebabnya banyak para petani


mengubah pemanfaat lahan mereka,
12.
217,0
165,0
Lada
159,0
dari umumnya menanam komoditi
13.
61,0
81,0
Pala (nutmeg)
68,0
Jagung menggantinya menjadi
14.
54,0
58,0
Panili
57,0
komoditi Kakao dan Vanili. Karena
15.
8,0
57,0
Aren
22,0
kedua komoditi Kakao dan Vanili
16.
0,0
0,0
Jahe
0,0
mengalami peningkatan sejak dua
tahun terakhir.15 Laju perkembangan
kebun Coklat dan Vanili mengalahkah
kurang sebab musim panen raya belum tiba dan komoditi lainnya, jika dibanding dengan tanaman
kedua disebabkan menurunnya nilai harga coklat pertanian lahan basa (sawah)
di pasaran, sehingga ada Sebagian petani
menelantarkan kebun kakaonya. Tujuan ekspor itu,
Selain aspek pasar, pengetahuan teknologi dan
antara lain ke negara Asia, Amerika Serikat, modal dalam mengelolah kebun Coklat dan Vanili
Jerman, Belanda dan lainnya. Menyangkut Boom- turut mempengaruhi perkembangan tanaman coklat
ing Coklat, di tingkat nasional, negara berhasil di ketiga lembah itu. Pengalaman perkembangan
meraup 297 juta US$ dalam tahun 1999; 236 juta pengelolaan Kakao di Sulawesi Tengah sudah
US$ dalam tahun 2000; 277 juta US$ dalam tahun berkembang sejak tahun 70-an, ketika para Tenaga
2001 dan 521 juta US$ dalam 2002; 853 juta US$ Kerja Indonesia asal indonesia bekerja di
perkebunan Kakao di Malasyia pulang dan berbekal
dalam tahun 2003.
10.

Kemiri

199,0

383,0

394,0

11.

Kapok

189,0

292,0

174,0

13

pengalaman
itu,
kemudian
mereka
mengembangkan perkebunan Kakao di Sulawesi
Tengah.
Berkaitan dengan itu, sampai dengan saat ini
kecenderungan menanam komoditi yang
berhubungan dengan pasar dapat dilihat dibeberapa
desa berikut:
Pada diagram 2, memperlihatkan penggunaan
tanah (lahan) dalam berbagai jenis komoditi.
Komoditi Kakao menempati urutan terbesar
diberbagai daerah itu. Daerah yang baru terbuka
tahun 2000, Dongidongi menempati urutan teratas
dalam menanam komoditi Kakao dan Vanili.
Sementara di Doda, lebih dominan menguasai
komoditi padi, kemudian di Wanga.
Pola Ketujuh, pergeseran pemanfaatan komoditi
mengalami perubahan ketika pola pertanian yang
dibawah para pendatang dan ini menguat ketika
terbukanya jalan di kedua lembah itu. Pada tahun
1970-an, di lembah Napu, dan tahun 1960-an di
Lembah Palolo dan lembah Doda pada akhir tahun
2000-an. Teknologi pertanian moderen yang dibawah
para pendatang ke lembah itu, telah turut
mengubah pola pertanian lokal.
Pertanian orang pendatang lebih dominan
berorientasi pasar ketimbang orang lokal.
Sementara orang lokal hanya terbiasa menjalankan
pertanian mereka yang sudah dikembangkan sejak
dulu. Meski ada perubahan tidak seradikal
pertanian yang dikembangkan oleh masyarakat
pendatang. Misalnya jika di Doda, lebih dominan
ditemukan pertanian lahan basa dengan usaha
pertanian sawah tada hujan, maka di Dongidongi
tidak ditemukan usaha pertanian sawah.
Penyebabnya, karena orang Kaili sub-etnis Daa
mempunyai pengalaman panjang dengan pertanian
lahan kering, menyusul mereka berasal dari
punggung gunung Gawalise, yang tak tersedia
pertanian lahan basa. Pola pemanfaatan lahan
secara garis besar juga dipengaruhi oleh kebiasaan
etnis di lembah itu mengelola pertanian dan
sebagian besar diantara suku asli mereka memiliki
memanfaatkan lahan berdasarkan kebiasaan
mereka mengelola pertanian, berdasarkan tradisi
yang sudah berlangsung lama (subsituen).
Terlepas dari soal pengaruh harga pasar
mengenai komodoti itu, migrasi, peguasaan tanah

14

berdasarkan suku, agama dan lainnya, tetapi


secara garis besar, perubahan semacam itu,
sekurangnya telah memicu menipisnya penguasaan
tanah bagi komunitas miskin.Sebagian besar
perkebunan coklat itu hanya bisa tumbuh subur di
daerah geografi tertentu. Misalnya di lembah napu,
dan daerah yang beriklim sedang di Sulawesi
Tengah. Berarti, perkembangan perkebunan Kakao
dapat mengurangi jatah penggunaan lahan
masyarakat lokal di daratan tinggi dan iklim sedang.
Jika ini terus berlangsung, maka wajar pertanian
dataran tinggi yang di dominasi masyarakat adat
akan semakin terancam kehilangan tanah-tanah
mereka. Apalagi sebagai besar mereka memiliki
tingkat keamanan tanah sangat rendah dari sekian
banyak bukti kepemilikan hak atas tanah.
Gambaran di atas, bisa disebutkan bahwa
evolusi pola pergesearan kepemilikan dan
penguasaan tanah di Lembah Napu, Doda dan Palolo
jika dilihat dalam sebelum kolonial,kemerdekaan
cenderung bergeser kearah kepemilikan struruktur
penguasan dan pemilikan berdasarkan suku, agama.
Kemudian, karena berbagai program kemudian
disusul dengan program pembangunan pemerintah
yang merusak, baik infrastruktur jalan, program
penguatan ekonomi rakyat di wilayah itu, maka
pergeseran kepemilikan berdasarkan agama, suku
sudah mulai bergeser ke arah penguasaan dan
kepemilikan menurut kekuatan modal dan alat dan
sarana pertanian. Dengan kata lain, bahwa evolusi
Perubahan sangat dipengaruhi oleh faktor
kekuasaan dan politik menjadi penentunya (Sikor,
2003).
Kekuasaan politik dalam penguasaan sumber
daya alam dapat dilihat berubah ke cara produksi
sekarang dapat dilihat dalam dua tahap, yakni tahap
pertama, sedang terjadi perubahan kekayaan alam
menjadi modal dalam ekonomi produksi pertanian
dalam bentuk kapitalisasi komoditi pertanian;
tahap kedua, pada saat yang sama, banyaknya
petani yang tumbuh menjadi buruh upahan dalam
berbagai bentuk sistem pengupahan, antara lain
bagi hasil, sewa menyewa lahan, buruh harian,
perpanen dan lainnya. Boleh dikata petani diubah
menjadi buruh upahan.
Hal yang sama, di Afrika Selatan ketika masih
Apartheid berkuasa, sebagian besar penduduk
negeri itu bekerja sebagai buruh tani di ladangladang orang kulit putih, setelah tanah mereka

dikuasai dengan cara kolonilisasi dan berbagai


kebijakan diskriminatfi di negeri itu16.
Tapi sesungguhnya secara garis besar bisa
disebut, proses ini yang ditandai dengan kebrutalan
dan perampasan harta benda secara kekerasan,
melalui berbagai penggusuran paksa. Dalam
konteks sistematik, terjadi transformasi dari
ekonomi produksi untuk subsistensi menjadi
ekonomi produksi komoditi. Dominasi absolut dari
ekonomi produksi komoditi merupakan salah satu
ciri pokok kapitalisme di sektor pertanian yang
berkembang di Indonesia. Gambaran transformasi
ini secara massif berlangsung dari kekayaan nonmodal menjadi modal dalam sirkuit produksi
kapitalis di satu pihak; dan di pihak lain,
transformasi dari kelas petani yang pada gilirannya
menuju terbentuknya kelas buruh.
Pendapat di atas, bisa diterapkan untuk melihat
lebih jauh bagaimana kekayaan alam diubah
menjadi modal dan tumbuhnya corak produksi baru
dalam pertanian di Lembah Napu, Palolo, dan Behoa
di beberapa desa. Kemudian dampak dari proses
itu, melahirkan berbagai macam konflik di tingkat
desa di lembah itu. Mengingat wilayah itu,
merupakan daerah termasuk menyediakan sumber
daya lahan subur bagi usaha pertanian.
Di desa Wanga terletak di Lembah Napu, Hampir
rata-rata orang yang bermukin di Desa Wanga 98%
adalah petani dan memiliki luas lahan antara: 0,5
hektar hingga 2 hektar ke bawah. Sebagian besar
usaha pertanian di dominasi pertanian lahan kering,
seperti kopi, coklat, jagung. Sementara usaha
pertanian lahan basa, juga terdapat di daerah itu,
usaha pertanian lahan basa di jumpai seperti pasi
sawah. Pada awalnya usaha pertanian di wilayah
itu, didominasi oleh komoditi pertanian pada sawah
dan padi ladang.
Lahan pertanian subur terkonsentrasi pada
petani migran dengan komoditi yang berhubungan
dengan pasar, seperti Kakao, Vanili. Sementara
usaha pertanian tradisional, seperti sawah dikuasai
penduduk lokal dengan komoditi Jagung, Padi sawah
dengan merata. Meski sebagian lahan usaha
pertanian dengan kesuburan sederhana, tiap kepala
keluarga lokal memanfaatkan lahan lebih dari satu
komoditi pertanian. Rata-rata tiap hektar tanah
ditanami lebih dari dua jenis komoditi, terutama
Vanili, Padi, Kakao, Kopi, Jagung dan lainnya.

Komposisi kepemilikan berdasarkan agama dan


suku di Wanga, dimana tiap agama rata-rata
menguasai antara 1-2 hektar luas lahan. Tidak ada
kepemilikan yang paling dominan diantara kedua
agama yang terdapat di daerah itu. Namun jika
dilihat kecenderungan pergeseran penguasaan
tanah berkembang dari kelompok penduduk asli
yang sebagian beragama Kristen menuju kelompok
suku Pendatang seperti Kulawi, Bugis, Flores,
Toraja, Behoa, Manado, Jawa.
Jadi pergeseran kepemilikan dan penguasaan
tanah dapat terjadi ke dalam dua penguasaan yang
berbeda. Pertama, pergeseran pemilikan
berdasarkan suku, dimana suku asli semakin
mengalami penyempitan kepemilikan tanah, zaman
mereka menguasai 42% luas lahan di Wanga (39
KK). Sementara lima puluh delapan kepala keluarga
pendatang menguasai tanah sekitar 58% tanah di
Wanga.
Pergeseran kedua, dari segi luas pemilikan
tanah, jika dilihat dalam penguasaan agama di Desa
Wanga, dimana terjadi pergeseran pemilikan dan
penguasaan tanah dari kelompok agama mayoritas
(kristen) yang dianut suku Wanga, ke kelompok
orang yang beragama Islam, yang di motori
kelompok suku Bugis. Contoh ini bisa dilihat dari
24 KK Bugis berada di Wanga, mereka menguasai
tanah rata-rata diatas dua hektar dengan 58 jenis
komoditi diatasnya. Tabel 2 memperlihatkan
penguasaan dan kepemilikian tanah berdasarkan
luas, suku, dan agama, sebagai berikut:
Karena tingkat keamanan tanah di Wanga
sedang bertransisi menuju penguasaan berdasarkan
hak milik. Kecenderungan itu, bisa diamati dari
petani yang berminat membuat sertifikat untuk
usaha pertanian mereka. Misalnya dari 77 kepala
keluarga di Wanga, yang memiliki bukti kepemilikan
tanah berupa Surat pembayaran Pajak Tanah (SPPT)
sebesar 57% (65 KK); hanya 17% (19 KK) yang
memiliki bukti kepemilikan berupa surat keterangan
penguasaan tanah (SKPT); dan 16% (18 KK))
memiliki sertfikat hak milik tanah. Kepemilikan
sertifikat hak milik itu, lebih banyak ditemukan
pada areal pekarangan rumah tinggal. Selebihnya,
10 % (12 KK) lainnya memiliki bukti berupa kwitansi
jual beli, surat hibah, akte jual beli. Jika
dibandingka tiga tahun sebelumnya (2002), dari
75 KK keluarga hanya 15 KK yang memiliki bukti

15

Tabel 2. Komposisi Penguasaan Luas Tanah berdasarkan


agama dan suku di desa Wanga
Islam
Islam
Islam
Suku <
0,5 0,5 - 1
ha
ha
1 - 2 ha
Napu
0
39
39
Kulawi
0
0
0
Bugis
0
0
19
Flores
0
39
0
Toraja
0
0
0
Behoa
0
0
0
Manado 0
0
0
Jawa
0
0
19
Poso
0
0
0
other
0
0
0
Totals
0
78
77
%Agama
0%
17%
15%

Islam
> 2 ha
0
0
58
0
0
0
0
0
0
58
116
23%

SKPT; 7 KK yang memiliki bukti serfikat termasuk


pekarangan rumah dan kebun
Sementara transisi kedua menuju ke
penguasaan berdasarkan suku dari 77 KK,
diantaranya 58 KK suku Napu, hanya 12 KK (51)%
memiliki sertifikat dari 58 KK itu. Sertifkat itu

Kristen Kristen Kristen Kristen


<
0,5 0,5 - 1 1 - 2
Total
ha
ha
ha
> 2 ha Suku
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

43
4
0
8
4
0
0
0
4
13
76
0%

15%

33
11
0
3
5
8
5
3
3
6
77

57
8
0
0
4
0
4
0
0
4
77

15%

%Suku

211
23
77
50
13
8
9
22
7
81
501

15%

42%
5%
15%
10%
3%
2%
2%
4%
1%
16%
100%

100%

berupa pekarangan rumah lebih dominan. Dari


jumlah 58 KK itu, 5 KK memiliki SKPT dan 37 KK
lainnya memiliki SPPT. Dibandingkan dengan yang
masuk ke Wanga selama 20 tahun terakhir, seperti
suku Bugis, Jawa, Flores, Toraja, Behoa, Manado
dan Kulawi memiliki bukti kepemilikan tanah berupa
sertfikat, SKPT, SPPT, Akte jual belih tidak kurang

Tabel 3. Alat Bukti Kepemilikan Tanah di Wanga


Surat
Surat
Akte
Keterangan
Surat
Kwitansi
Pembayaran Sertifikat
jual Jumlah
hibah
Jual beli
Penguasaan
Pajak Tanah
beli.
Tanah
58

37

12

% -Suku
51%

Kulawi
Bugis

10
21

0
14

2
0

1
0

1
0

6
4

0
3

9%
18%

Flores
Toraja
Behoa

3
7
3

0
0
0

0
1
0

0
1
0

0
0
0

3
4
3

0
1
0

3%
6%
3%

Manado
Jawa

4
0

0
0

0
0

0
0

0
0

3
0

1
0

4%
0%

Poso
Other
No Answer

0
8
0

0
0
0

0
1
0

0
1
0

0
0
0

0
5
0

0
1
0

0%
7%
0%

Totals
% - Bukti
pemilikan

114

19

65

18

100%

100%

17%

4%

3%

3%

57%

16%

Suku
Napu

16

dari 43%. Badingkan dengan tahun sebelumnya


(2003), angka itu berjumlah 30% dari jumlah 75
KK warga Wanga
Sementara tingkat keamanan tanah tertinggi
hampir rata-rata dikuasai para pendatang
ketimbang penduduk asli, dimana Bugis memiliki

sebagian besar ditanami untuk komoditi Kakao,


Vanili, dan Jagung. Karena ketiga komoditi,
harganya cukup mahal dibanding dengan komdoiti
lainnya. Sementara komoditi Jagung banyak di
tanam, karena mudah mengolah dan menjualnya,
karena pembeli datang ke kampung di Wanga. Tabel
4 memperlihatkan cara memperoleh tanah di Desa

Tabel 4. Cara memperoleh tanah di Wanga


Cara
Memperoleh/Peruntukan

Membuka
hutan

Beli Warisan Pinjam Hibah Sewa

Pembagian
negara

%Totals peruntukan

Sawah

10

26

13

66

Kolam Ikan

12

4%

Kebun Coklat

14

21

14

67

23%

Kebun Kopi

21

7%

13

4%
34%
2%

Kebun Vanili

Ladang jagung

19

29

12

26

100

Ladang sayur-sayuran

Ladang kacang-kacangan

Totals

30

48

95

14

37

66

13%

0%

%_ Peroleh

10% 17%

33%

tingkat keamanan tertinggi (18% - 21 KK) memiliki


bukti kepemilikan tanah. Terdiri dari memiliki SKPT
(14 kk) dari 21 kepala keluarga. Bisa dipaham,
bahwa sebagian besar orang Bugis memperoleh
tanah karena membeli, karena itu, untuk
pembuktian kepemilikan, maka Camat
mengeluarkan SKPT. Sementara tingkat keamanan
tanah suku lainnya cukup rendah, sebagain besar
mereka hanya memiliki bukti SPPT. Tabel 3
memperlihat keamanan tanah berdasarkan bukti
kepemilikan di desa Wanga dan komposisi
kepemilikan alat bukti berdasarkan suku.
Sebagian besar tanah dengan tingkat keamanan
rendah diperoleh dari tanah warisan, dan pada
umumnya adalah tanaman pada usaha pertanian
lahan basa, yang dikuasai Suku Napu. Sementara
tingkat keamanan tanah paling tinggi di Napu
adalah tanah diperoleh dengan cara membeli.
Sekurangnya tanah yang diperoleh dengan cara
membeli sudah memiliki seperti: Kwitansi, akte jual
beli dari kantor camat, surat penguasaan tanah juga
di keluarkan camat. Meski tanah pembagian
negara merupakan konversi tanah negara menjadi
tanah hak milik, tetapi banyak diantara mereka
yang menerima tanah pembagian dari negara tidak
memegang alat bukti kepemilikan hak atas tanah.
Berbeda dengan tanah warisan, sebagain besar
adalah sawah yang diperoleh dengan cara membeli

5%

290

23%

1%
100%

23% 100%

Wanga, sebagai berikut:


Seperti disebutkan dalam tabel 4 di atas, bahwa
sebagian besar suku asli yang tinggal di Wanga,
mereka pada umumnya memperoleh tanah dari
warisan, yang sudah dicetak menjadi sawah
sebelumnya. Selain itu, bagi memperoleh warisan
dari lahan kering, maka sebagian besar berupa
warisan diatas tanahnya sudah dicetak menjadi
ladang jagung dan kebun kopi.
Pergeseran penguasaan lahan yang memiliki
bukti hak milik sedang terjadi di Wanga. Lahan
usaha pertanian yang disertfikatkan umunya adalah
lahan yang subur dan produktif, sementara lahan
usaha pertanian kurang produktif jarang sekali
disertifikatkan. Paling kurang memiliki bukti SPPT
dan umumnya dikuasai orang lokal. Pergeseran ini
juga menunjukkan sedang terjadi pergeseran luas
lahan produktif ke tangan pendatang bersamaan
dengan meningkatnya jumlah bukti penguasaan
lahan tiap tahunnya ke para pendatang.
Meski demikian, orang di Wanga menyadari hal
ini, bersama lembaga desa dan lembaga adat,
mereka sudah membangun sistem pertahanan
mengenai tanah, dimana tanah tidak dapat
diperjual belikan kepada orang yang berasal dari
luar. Jika itu terjadi maka adat, aparat desa akan
memberikan sanksi kepada pelaku penjual tanah.

17

Berkaitan dengan perkembangan pasar begitu


cepat, maka orang Napu di Wanga, sudah mulai
mengubah wajah kebun Kopi, ladang Jagung dan
sebagian sawah untuk dijadikan perkebunan coklat
dan vanili, mengikuiti jejak-jejak petani migran
lainnya seperti yang berasal dari tanah Bugis,
Manado, Jawa dan Toraja. Tabel 5, berikut
memperlihatkan penguasaan berbagai suku di Desa
Wanga dalam memanfaatkan lahan:

menghasilkan sekitar tiga sampai empat ton per


hektar. Sedangkan komoditi Kacang-kacangan,
Sayuran, orang Wanga menyebutnya sebagai
komoditi tingkat rendah. Itulah sebabnya komoditi
ini tidak begitu banyak ditemukan di daerah ini,
meski sesungguhnya daerah lembah Napu, Doda
merupakan pemasok sayur-sayuran yang tergolong
besar di pasar lokal Palu.
Sebagian besar biaya produksi untuk tiap

Tabel 5. Usaha tani, kepemilikan lahan berdasarkan suku di Wanga


Suku/Lad
ang

Sawah

Kolam
ikan

Kebun Coklat

Kebun
Kopi

Kebun
vanili

Ladang
jagung

Ladang sayur
sayuran

Ladang
kacang kacangan

Tot
als

% - Suku

Behoa

4%

Bugis

5%

Flores

3%
1%

Jawa

Kulawi

11

7%

Manado

4%

Napu

29

21

32

10
4

62%

Poso

2%

Toraja

3%

Other

16

10%

Totals

40

39

10

60

16
8

100%

%Usaha
Tani

24%

5%

23%

6%

4%

36%

2%

1%

10
0%

Sebagain besar komoditi menopang kebutuhan


keluarga di Wanga lebih banyak didominasi oleh
komoditi Padi sawah, Jagung, Kakao. Sementara
komoditi Vanili belum memberikan kontribusi yang
berarti bagi perekonomi di daerah itu, karena
sebagain besar penduduk baru mulai menanam
kebun mereka dengan Vanili sekurangnya dua tahun
terakhir, sehingga boleh dikata belum dapat
berproduksi secara maksimal.

komoditi memiliki ragam yang berbeda. Biaya


produksi mencakup, antara lain: pembelian pupuk,
obat-obatan, alat-alat pertanian, pengadaan benih,
biaya buruh tani dan lainnya. Pembelian pengadaan
benih untuk komoditi Padi sawah misalnya di Wanga
memiliki biaya produksi yang paling tinggi perhektarnya, yakni Rp. Antara Rp.1.000.000
2.000.000 per-hektar, ketimbang komoditi lainnya
seperti komoditi Jagung, komoditi Sayur-sayuran.

Kecuali komoditi Kakao yang dipasarkan di Palu,


komoditi seperti
Jagung, Kopi, dan Gabah lebih banyak
diperdagangkan di pasar lokal, dimana sebagain
besar perjualan itu dilakukan melalui pembeli yang
dari Palu ke Wanga. Frekwesi kedatangan mereka
hampir tiap minggu mendatangi desa-desa yang
terletak di Lembah Palolo, Napu, dan Doda.

Pembelian pupuk, obat-obatan, alat pertanian


dari 77 KK di Wanga 32% diantaranya mengaku
meminjam modal dari tengkulak untuk digunakan
sebagai biaya produksi dengan catatan, para
peminjam melakukan pembayarannya hasil panen
komoditi yang bersangkutan dengan persetujuan
memberikan nilai panen per-kilogramnya dikurangi
hingga 21% dari harga pasar. Misalnya Jagung
kering, jika di pasar lokal dibeli dengan harga
Rp.1400/Kg, maka jika para peminjam (debitor)
menjual Jagung itu dengan berat yang sama ke
tengkulak maka akan dihargai sekitar Rp.1100/Kg.

Hampir rata-rata, hektar sawah dapat


memproduksi rata-rata tiga sampai empat ton
berar( bukan gabah). Komoditi Jagung dapat

18

Kehilangan nilai harga dari Jagung kering tidak


hanya terjadi pada tengkulak, tetapi juga terjadi
pada corak lain, penjualan komoditi pada pedagang
pembeli yang datang ke Wanga, yang
memberlakukan biaya pembelian di kampung
dengan pasar di Palu.

bekerja gotong royong (Mapalus) usaha pertanian


di Wanga perlahan mulai terkikis digantikan dengan
buruh upahan, meski sebagian orang asli masih
menjalankan sistem mapalus.

Meski demikian berbagai kendala yang dihadapi


komunitas di Wanga dalam mengelola pertanian
Sebagian besar penggunaan buruh tani, dengan lebih banyak di jumpai karena kurangnya alat dan
berbagai variasi pola pengupahan, seperti bagi sarana pertanian. Meski sudah terdapat sarana
hasil, sistem pengupahan per-minggu, per-panen, irigasi di Wanga untuk pertanian sawah, akan
per-kelompok. Rata buruh tani yang dipakai dalam tetapi masih membutuhkan irigasi untuk
tiap hektarnya, antara tiga sampai enam orang, mengelolah tanah-tanah yang hingga kini belum di
terutama ditemukan pada komoditi Padi, sementara kelolah menjadi sawah. Demikian pula dengan
kebun komoditi Kakao dan Vanili tergantung luasnya komoditi Jagung, membutuhkan prasarana
ketersedian modal dan tingkat kesibukan. Jika pengelolaan Jagung berupa, sarana pabrik untuk
tidak para pemilik kebun masih bisa melakukan memisahkan biji jagung (pemipil biji Jagung) dari
sendiri tanpa menyewa buruh tani. Tabel 6 tongkolnya, sehingga pengelolaan komoditi jagung
memperlihatkan penggunaan buruh tani diberbagai dapat dikembangkan dalam skala yang lebih besar.
usaha pertanian di Wanga:
Hambatan kedua di Wanga adalah, hama pertanian,
hama tidak hanya gulma,
tetapi juga, kerbau dan
juga
sering
adanya
Tabel 6. Luas komoditi dan rata-rata tenaga kerja yang digunakan di
pencurian untuk kasus
Wanga
kebun Vanili. Sementara
Luas/Tenaga Kerja Overall 1 - 3 orang 3 - 6 orang 6 - 9 orang > 9 orang
komoditi Kopi tidak
ditemukan hama yang
< 0,5 ha
38
0
12
21
5
berarti.
0,5 - 1 ha.
54
0
25
18
11
1 -2 ha.

11

> 2 ha.

Totals

106

41

Jika dilihat dari tabel 6 di atas, tanah yang


kurang dari setengah hektar dari 77 KK responden
di Wanga dikerjan sampai 21 orang tenaga kerja.
Ini menunjukkan pekerjaan tersebut membutuhkan
buruh tani semacam itu, bukan buruh upahan,
melainkan sistem gotong royong (Mapalus) yang
sudah lama dikembangkan di Wanga. Dibandingkan
dengan tanah yang luas 2 hektar dari 77 KK
responden, hanya 3 KK yang menjawab dikerjakan
antar enam orang keatas tenaga kerja. Ini
menunjukkan buruh upahan di perkebunan para
migran. Dibandingkan dengan 30 tahun sebelumnya
sistem buruh upahan di Wanga tidak di kenal sama
sekali.
Ada kecenderungan meningkat penggunaan
buruh tani, baik dari segi jumlah buruh tani yang
bekerja di pertanian orang lokal mapun pertanian
yang dikuasai para pendatang. Dimana, sistem

Di Dodolo (Toe Jaya)


Orang di Dodolo, hampir
43
22
sebagian besar menguasai
tanah rata-rata antara 1-2
hektar, karena mereka
memperoleh tanah dari pembagian negara melalui
proyek transmigrasi lokal. Penduduk desa ini,
sekitar 97,4% dari 76 KK adalah petani dan
komposisi etnis adalah Rampi 47 KK (61.8%) Bugis
(13 KK - 17.1%); Behoa 3,9% (3 KK); Tator 3,9% (3
KK) dan lainnya 9%. Dan komposisi agama di Dodolo
adalah Kristen (60 Kk) 78.9%, Islam (16;KK) 21.1%
Bisa disebutkan, orang yang bermukim di Toe
Jaya hampir semua adalah pendatang. Dominasi
orang Rampi tinggal di Dodolo, karena mereka
merupakan program transmigrasi lokal utama dan
sebagian besar adalah orang yang melakukan
migrasi dari Sulawesi Selatan karena DII/TI pada
tahun 1964 (Arianto, 2003). Sebagian besar orang
atau sekitar 95 % dari (76) KK menyatakan mereka
tinggal di Dodolo lebih dari empat tahun yang lalu.
Di Dodolo suku yang baru datang kemudian sekitar
dua tahun terakhir, Behoa, Pamonan, Bugis dan

19

Tabel 7. Kendala Dihadapi Petani di Wanga


Komoditi

Overall Hama

Ladang jagung.
Sawah.
Kebun Coklat
Kebun Kopi.
Kolam ikan.
Kebun vanili.
Ladang sayur - sayuran.
Ladang kacang kacangan.
Total

Biaya
Lahan
Alat dan
produksi Pemasaran
pertanian
sarana
Other
hasil
yang
yang
pertanian
tinggi
sempit

125
89
81
27
21
18
10

52
32
30
9
8
6
3

13
13
11
5
3
5
3

5
5
4
3
2
1
1

44
32
27
5
5
4
2

10
6
8
4
2
2
1

1
1
1
1
1
0
0

6
377

2
142

2
55

1
22

1
120

0
33

0
5

Toraja.
Kedatangan mereka karena motivasi yang
berbeda, suku pamona karena termotivasi sebagai
penyiar agama (Pendeta), yang ditugaskan
organisasi dan kawin dengan orang Rampi yang
tinggal di Dodolo, demikian pula dengan
kedatangan orang Toraja dan lainnya. Orang Behoa
masuk ke Dodolo, selain karena kawin juga
termotivasi karena menipisnya tanah di tanah asal
mereka, seperti di lembah Doda.

tambahan di desa itu, juga masih kurang karena


pasar, kecuali rotan yang mengalami perkembangan
meningkat. Tabel 8, memperlihatkan suku dan cara
memperoleh tanah di desa Dodolo
Seperti diketahui tanah di Wilayah Dodolo
diklaim sebagai tanah adat orang yang bermukim
di Wanga. Tabel diatas memperlihatkan, bahwa
sebagian besar tanah yang dikuasai orang yang
bermukim di Dodoloa diperoleh dari negara lebih
dominan. Tabel diatas juga menunjukkan bahwa
tanah telah diubah menjadi modal usaha dengan
berbagai komoditi pertanian.

Karena kekurangan tanah, kemudian orang


bermukim di Dodolo membuka hutan di dalam
Taman Nasional Lore Lindu di bagian timur. Karena
faktanya, jumlah pertumbuhan penduduk lebih
besar ketimbang jumlah lahan yang tersedia untuk
para transmigran, sementara alternatif pekerjaan
lain seperti mengambil hasil non kayu, seperti
damar, rotan dan lainnya, merupakan perkerjaan

Berkaitan dengan jual - beli tanah, dari 77 KK,


85.7% (12) diantaranya menyatakan pernah menjual
tanah satu kali dan 14,3% (2 KK) menyatakan pernah
menjual tanah dua kali. Menjual tanah disebabkan
Karena kebutuhan biaya anak sekolah (20%),
kebutuhan keluarga (20%); modal usaha pertanian
(20%); pesta kematian (7%); pesta kawin (7%) dan
(27%) lainnya. Pembelian
tanah yang mempunyai
bukti
kepemilikan
Tabel 8. Cara Memperoleh Tanah berdasarkan kepala keluarga di
sebagian
besar
dilakukan
Dodolo
Bugis yakni 70% dari 10
Peroleh
Jumlah
%
KK yang pernah beli tanah
Pembagian Dari Negara.
47
35%
Membuka Hutan.
39
29%
di Desa Dodolo, 30%
Pinjam.
22
17%
lainnya adalah suku
Beli.
21
16%
Toraja, Pamona dan
Warisan.
4
3%
Behoa.

20

Hibah.

0%

Sewa.

0%

Totals

133

100%

Sementara berkaitan
dengan kehilangan hak

atas penguasaan dan pemilikan tanah, dari 76 KK


yang diwawancarai 14 Kk menyatakan pernah
dirampas tanahnya oleh berbagai aktor , antara
lain: saudara, pemerintah, warga desa, pengusaha
tengkulak. Perampasan berbagai aktor dapat dilihat
dalam tabel 9 berikut:

memiliki sertifikat sebagian besar adalah tanah


yang diperoleh dari pembagian negara berupa
pekarangan rumah. Sementara tanah yang memiliki
bukti SPPT adalah lahan dua atau tanah perkebunan
yang diperoleh dari negara karena program
transmigrasi. Pada Tabel 10 memperlihatkan
administrasi
kepemilikan tanah di
Dodolo.
Tabel 9. Aktor Perampas Tanah di Dodolo

Pemerintah
Saudara
Warga desa
Pengusaha
Tengkulak
Totals

6
4
4
0
0
14

43%
29%
29%
0%
0%
100%

Pergeseran
penguasaan tanah
berdasarkan suku di
Dodolo lebih besar
dikuasai oleh oleh Suku
Rampi, karena mereka
memperoleh tanah
dengan
berbagai
metode pembagian negara, membuka hutan di areal Taman Nasional Lore Lindu, warisan dan
membeli. Suku Bugis 9 KK dinatarnya memperoleh
tanah dengan cara membeli dari 13 KK suku itu
tinggal di Dodolo. Sementara 5 KK Suku Behoa dari
28 KK yang bermukin di Dodolo memperoleh tanah
dengan metode membeli. Meski suku Rampi
mengaku menguasai jumlah kwantitas tanah lebih
banyak, namun jika dibandingkan dengan suku
Bugis, Behoa, Pamona, dan Toraja, maka dari segi
luas tanah mereka hampir sama dengan luas tanah

Dari tabel 9 di atas juga memperlihatkan,


bahwa kehilangan hak atas tanah dari 14 KK, enam
KK (43%) yang menyatakan di kehilangan hak atas
penguasaan tanah karena alasan pemerintah.
Alasan pemerintah mengambil tanah untuk
kepentingan umum dan tanah negara. Kepentingan
umum, seperti pembangunan jalan, sekolah, Taman
Nasional Lore Lindu dan lainnya. Namun ada juga
warga Dodolo yang mengklaim, bahwa tanah
mereka dirampas pemerintah dengan alasan tanah
negara, dimana mereka
tidak dapat memperlihatkan
bukti hak milik kepada
Tabel 10. Kepemilikan Administrasi Tanah di Dodolo
pemerintah kecamatan.
Surat Pembayaran Pajak Tanah
Surat Keterangan Penguasaan Tanah
Kwitansi Jual beli
Akte jual - beli.
Sertifikat
Surat hibah
Totals

Bukti penguasaan dan


kepemilikan tanah di Dodolo
berdasarkan administrasi
pemerintahan. Dari 80 KK,
rata-rata memiliki bukti
kepemilikan lahan antara
satu sampai di atas dua
hektar, berupa SPPT atau 58 KK (73%); sementara
9% (7 KK) memiliki bukti penguasaan SKPT yang
dikeluarkan pemerintahan kecamatan; 8% (6 KK)
memiliki bukti penguasaan berupa kwitansi jual
beli; 6% ( 5 KK) memiliki bukti akte jual beli; dan
5% (4 KK) memiliki bukti kepemilikan berupa
sertifikat.
Luas kepemilikan antara 05-1 hektar sampai
dua hektar ke atas, adalah tanah yang memiliki
bukti akte jual-beli dan SKPT yang dikeluarkan oleh
pemerintah kecamatan. Sementara tanah yang

58
7
6
5
4
0
80

73%
9%
8%
6%
5%
0%
100%

yang dikuasai Suku Rampai. Pembagian tanah


menurut tabel dibawah, dalam tiap kepala keluarga
memperoleh tanah dengan lebih dari satu cara yang
berbeda. Tabel 11 memperlihatkan Cara
Memperoleh Tanah berdasarkan Suku di Desa
Dodolo.
Di Doda, penduduk yang bermukim berjumlah
193 KK yang tinggal di Desa Doda Komposisi
kepemilikan tanah di daerah ini sebagian besar
antara 0,5 1 Hektar per-kepala keluarga.
Pergeseran komposisi penguasaan tanah ada dua

21

Suku/
Asal

Tabel 11. Cara Memperoleh Tanah berdasarkan Suku di Dodolo


Membuk
Beli
Warisan
Pinjam
Hibah
Sewa
Pembagian
a Hutan
Negara

Rampi

75

16

11

28

89

Total

%-Suku

219

68%

Bugis

13

4%

Behoa

10

10

28

9%

Pamona

2%

Tator

1%

Other

19

11

12

51

16%
100%

Totals

98

53

12

47

113

323

% - Peroleh

30%

16%

4%

15%

0%

0%

35%

100%

kategorisasi. Pergeseran penguasaan berdasarkan


agama suku bergeser penguasaan berdasarkan
agama . Awalnya di Doda merupakan warga yang
menganut agama suku, mulai dari tumpang tindih
penguasaan tanah berdasarkan agama, suku,
lainnya. Penguasaan berdasarkan agama bisa
dilihat setelah masuknya agama Kristen di Doda
pada tahun 1905, dimana sebagian besar tanah
dikuasai agama suku bergeser ke agama Kristen.
Sampai saat ini penguasaan di Doda 94 % (182 kk)
beragama kristen menguasai tanah di atas dua
hektar sebesar 30 KK; dan 72 KK menguasai tanah
antara satu sampai dua hektar dan 22 KK menguasai
tanah antara nol hingga satu hektar; sementara
agama Islam dari 7 KK, 5 KK diantaranya menguasai
tanah antara satu hingga dua hektar; dua KK
menguasai tanah kecil dari 0,5 hektar di atas dua
hektar.
Pergeseran kedua, penguasaan tanah
berdasarkan komposisi suku dari 193 KK
diantaranya: 83.9%; (162KK ) Behoa; 3.1%; ( 6 KK)
Toraja; 2.1% (4 KK) Mori; 1.6% (3 KK)Napu;1.0% (2
KK) Bada; 5.2% (10 KK) ; lainnya 3.1% (6 KK).
Dibandingkan dengan tiga tahun sebelumnya
(2002), penguasaan suku asli Behoa berkurang,

dari 108 KK, 93% diantara mereka menguasai tanah


dan 6% lainnya dikuasai suku pendatang, seperti
Mori, Toraja. Pergeseran ke arah komposisi suku
bersamaan dengan beralihnya kwalitas kepemilikan
tanah ke tangan para pendatang. Dimana sebagian
besar tanah subur di daerah itu, jatuh ke tangan
migran melalui jual beli tanah. Orang Behoa, yang
mayoritas beragama Kristen, memiliki tanah dari
warisan orang tua mereka, sementara Toraja
memperoleh tanah selain karena perkawinan, juga
membeli tanah, demikian pula dengan orang Mori,
selain membeli tanah ada juga yang datang ke Doda
karena datang sebagai pegawai negeri
Belakangan, penguasaan tanah juga mulai
bergeser ke beberapa perusahaan sejak terbuka
jalan poros Doda yang menghubungkannya dengan
lembah Napu, kemudian menghubungkannya
dengan kota Poso dan kota Palu. Soni Tandra
(pengusaha asal Poso) kini menjadi anggota DPRD
Provinsi Sulawesi Tengah, mempunyai bukti hak
milik 1000 hektar tanah pertanian di lembah Napu.
Tabel 12 memperlihatkan komposisi kepemilikan
tanah berdasarkan agama dan suku di Desa Doda.
Cara memperoleh tanah sebagian besar

Tabel 12. Luas Lahan Dikuasai Berdasarkan Suku dan Agama di Doda
Suku

< 0,5
ha
Islam

< 0,5 ha

0,5 - 1
ha
Kristen

1-2
ha
Islam

1-2
ha
Kristen

> 2 ha

> 2 ha

Kristen

0,5 - 1
ha
Islam

Behoa

Toraja

Islam

Kristen

14

64

42

Mori

Napu

% - Suku

28

157

77%

2%

2%

1%

Bada

1%

Other

25

33

16%
100%

Totals
% -Agama

22

Totals

18

74

72

30

204

0%

9%

2%

36%

1%

35%

1%

15%

100%

Tabel 13. Cara memperoleh Tanah dan Usaha Pertanian di Doda


Suku
/Ladang

Sawah

Kola
m
ikan

Kebun
Coklat

Kebun
Kopi

Kebun
vanili

Ladang
jagung

Ladang
sayur
sayuran

Ladang
kacang
kacangan

Tota
l

%-Peroleh
tanah

Buka Hutan

25

17

10

11

75

14%

Beli

46

12

36

13

10

16

140

26%

Warisan

119

17

71

28

12

19

277

51%

Pinjam

10

2%

Hibah

14

3%

Sewa

0%

Pembagian
Negara

22

4%

204

33

139

58

33

50

16

540

100%

Totals

masyarakat di Doda melalui warisan 51% (227 KK); pesta kematian dan pesta kawin; 24% untuk
dan 26% (140 KK) diperoleh karena membeli; 14% kepentingan lainnya. Orang Toraja menjual
(75 KK) diperoleh karena membuka hutan. Dan tidak tanahnya, karena pesta kematian keluarga mereka
terdapat sewa menyewa tanah di Doda.
Perolehan warisan lebih besar
Tabel 14. Penjualan Tanah di Doda
dibandingkan frekwesi lain, karena
Suku/Freqwensi Jual
1X
2X
3X
> 3X
Doda merupakan warisan tanah
Behoa
34
2
1
0
kampung tua.
Toraja
Mori
Napu
Bada
Others

Cara memperoleh tanah melalui


pembelian tanah terjadi karena
menyusul meningkatnya laju migrasi
belakangan ini masuk ke Lembah
Totals
Behoa dengan motivasi tanah
pertanian subur untuk komoditi Kakao
dan Vanili yang baru berlangsung selama tiga tahun
terakhir. Tabel 13, memperlihatkan cara
memperoleh Tanah dan Usaha Pertanian di Doda.
Ini juga bisa dilihat dari tingkat frekwensi
penjualan tanah, dimana suku Behoa lebih banyak
melakukan penjualan tanah, sementara suku lain
tidak pernah menjual tanah, melainkan hanya
membeli tanah lebih besar. Alasan utama penjualan
tanah disebabkan untuk kepentingan biaya anak
sekolah dan rumah tangga (36%); (30%) biaya

Suku/Pela
ku
Behoa
Toraja
Mori
Napu
Bada
Other
Totals

0
0
0
0
1
35

1
0
0
0
0
3

0
0
0
0
0
1

0
0
0
0
0
0

di Tanah Toraja. Tabel 14 memperlihatkan Suku


dan frekwensi menjual.
Kehilangan tanah bagi suku behoa, tidak hanya
disebabkan oleh penjualan, juga disebabkan oleh
perampasan, terutama sebagian besar dilakukan
oleh warga desa, kemudia saudara dan
pemerintah.Suku yang paling banyak kehilangan
tanah dari 193 reponden yang di wawancarai,
mengaku 17 KK (81%) suku Behoa kehilangan hak
atas, kemudian suku Bada 2 KK (5%) dalam berbagai
cara penghilangan penguasaan tanah oleh berbagai

Tabel 15. Penyebab Kehilangan Hak Milik atas Tanah di Doda


Pengusaha
Pemerintah Saudara
Warga
Tengkulak Total
desa
0
2
6
9
0
17
0
0
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
0
0
0
2
0
0
1
0
0
1
0
4
7
10
0
21

%-Suku
81%
5%
0%
0%
10%
5%
100%

23

Suku/Pela
ku
Behoa
Toraja
Mori
Napu
Bada
Other
Totals

Tabel 15. Penyebab Kehilangan Hak Milik atas Tanah di Doda


Pengusaha
Pemerintah Saudara
Warga
Tengkulak Total
desa
0
2
6
9
0
17
0
0
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
0
0
0
2
0
0
1
0
0
1
0
4
7
10
0
21

aktor, seperti pengusaha, pemerintah, saudara,


warga desa. Tabel 15 memperlihatkan suku dan
penyebab kehilangan hak atas tanah.
Kehilangan hak atas tanah di Doda, pada saat
yang bersamaan juga diiringi dengan tumbuhnya
buruh tani, yang bekerja di ladang pertanian milik
para pendatang di Doda. Usaha pertanian antara
satu hingga dua hektar sebagian besar
mempekerjakan buruh tani antara tiga sampai
sembilan orang keatas. Meski sesungguhnya sistem
kerja Mapalus (gotong Royong adat) untuk usaha
pertanian masih tetap dipertahankan hingga kini,
tetapi menunjukkan frekwensi yang menurun tiap
tahunnya. Sistem pengupahan tenaga kerja di Doda
dilakukan dengan berbagai cara, misalnya bagi
hasil, bayar per-minggu; bayar per-musim panen
dan lainnya.

%-Suku
81%
5%
0%
0%
10%
5%
100%

Tidak berbeda jauh dengan desa tetangga, Doda,


pergeseran penguasaan tanah di Lempe memiliki
karakter yang sama dengan Doda. Karena, antara
Lempe dan Doda memiliki komposisi penduduk yang
sama, latar belakang sejarah yang sama. Lempe
sebelum masuknya agama Kristen ke wilayah itu,
tanah dikuasai oleh agama suku dengan berbagai
hukum adat. Setelah masuknya siar agama kristen
ke wilayah itu, maka pada saat yang sama peralihan
penguasaan tanah mulai bergeser ke agama
kristen. Saat ini dari 64 KK di Lempe, diantaranya
menguasai tanah usaha pertanian adalah agam
kristen 82% (52 KK) dan 18% (12) tanah usaha
pertanian dikusai oleh orang yang beragama Islam.
Dengan kata lain, secara kwalitas dari 2500 hektar
tanah pertanian di Lempe, tidak kurang dari 2132
hektar dikuasai agama Kristen dan 368 hektar
dikuasai oleh agama Islam. Penguasaan berdasarkan
agama Islam sebagian dikuasai melalui hak
kepemilikan, sewa menyewa, warisan dan bagi hasi,
buka hutan. Sementara sebagian besar penguasaan
penguasaan agama Kristen diperoleh dengan
warisan, membuka hutan, pinjam dan lainnya. Tabel

Di Lempe, seperti halnya di Doda, sekitar


98,40% (64 kk) orang tinggal di Desa Lempe adalah
petani, selebihnya adalah pegawai negeri sebagai
guru, pekerja sosial di lembaga pelayanan ibadah.
Rata- rata orang yang berada di Lempe adalah
petani dan mereka berasal
penduduk asli yang sudah
bermukim di daerah itu
Tabel 16. Memperoleh tanah berdasarkan Agama di Lempe
lebih dari lima dan sepuluh
Memperoleh tanah Overall Islam Kristen
Others
tahun terakhir. Dari 64 KK
Membuka hutan
22
2
20
0
penduduk yang tinggal di
Lempe, diantaranya 95 %
Beli
10
2
8
0
penduduk
mengaku
Warisan
38
4
34
0
memiliki tanah untuk
Pinjam
6
1
5
0
pertanian dan lokasi
Hibah
1
0
1
0
perumahan. Namun sekitar
Sewa
1
0
1
0
satu sampai tiga orang
tidak memiliki tanah untuk
Pembagian dari negara
1
0
1
0
pertanian di desa Lempe.
Totals
79
9
70
0

24

16 memperlihatkan komposisi penguasaan tanah


di Lempe berdasarkan luas dan agama.

perkembangan pembelian tanah mengalami


peningkatan terus tiap tahunnya. Sementara
perolehan tanah melalui membuka lahan baru tidak
Pergeseran penguasaan tanah kedua, adalah akan berubah lagi di Lempe, karena wilayah
dari suku asli Behoa ke suku pendatang yang baru mereka berada di Eklaf Taman Nasional Lore Lindu,
masuk belakangan ini sejak 30 tahun belakangan demikian pula perolehan tanah melalui warisan.
ini. Suku pendatang di Lempe seperti Toraja, Napu Sebagai contoh, dalam kasus jual beli tanah, pada
dan lainnya, memperoleh tanah karena membeli, tahun sebelumnya, menurut laporan Sekdes Lempe,
sewa dan membuka hutan. Tabel 17, komposisi Mbalea, ada 14 kejadian jual beli tanah, sementara
suku, dan cara memperoleh tanah di Desa Lempe. setahun kemudian meningkat menjadi 24 kejadian
jual
beli
tanah.
Peningkatan jual-beli
Tabel 17. Cara memperoleh tanah berdasarkan Suku Lempe
Suku/
Overall Membuka beli Warisan Pinjam Hibah. Sewa Pembagian
tanah selain karena
perolehan
hutan
dari negara
motivasi
kebutuhan
Behoa
50
19
5
33
2
0
1
1
keluraga, anak sekolah,
Napu
2
1
1
2
1
0
0
0
pesta kawin dan biaya
Toraja
2
1
1
1
0
0
0
0
upacara kematian di
Other
10
2
4
3
3
1
0
0
Totals
64
23
11
39
6
1
1
1
Lempe.
Sebagaian besar orang
di daerah ini memiliki usaha petanian untuk satu
Meski demikian, laju pergeseran tanah komoditi kurang dari setengah hektar, dan hanya
ketangan para pendatang cukup tinggi dari sebagian kecil orang memiliki usaha pertanian
untuk satu komoditi
Tabel 18. Cara peroleh tanah berdasarkan bukti kepemilikan di Lempe
dengan luas lebih dari dua
Perolehan Tanah Overall
Surat
Kwitansi Akte jual Surat
Surat
Sertifikat
hektar. Meski demikian,
Keterangan Jual beli - beli hibah Pembayaran
Pajak Tanah
Penguasaan
rata-rata kepala keluarga
Tanah
memiliki lebih dari satu
Warisan
63
16
3
1
0
38
5
komoditi untuk usaha
Membuka hutan
44
12
1
3
0
21
7
Beli
24
5
1
4
0
9
5
pertanian yang mereka
Pinjam
7
2
0
0
0
4
1
kelolah. Misalnya untuk
Hibah
0
0
0
0
0
0
0
tiap kepala keluarga,
Sewa
2
1
0
0
0
1
0
Pembagian dari negara
1
0
0
0
0
1
0
selain memiliki usaha
Totals
141
36
5
8
0
74
18
pertanian jenis komoditi
Kakao, juga memiliki Kopi,
penduduk asli di desa Lempe tinggi. Karena menanam Padi, Vanili dan lainnya. Rata-rata Luas
mudahya orang kehilangan hak atas penguasaan Komoditi di Lempe, diperlihatkan pada tabel 19.
lahan, selain soal keamanan hak atas tanah, juga
Sebagian besar komoditi pertanian orang di
karena bukti kepemilikan berdasarkan hukum Lempe di pasarkan di kampung sendiri, dimana
positif semakin kuat digunakan sebagai alat untuk hampir tiap minggu pedagang berasal dari Palu
menyelesaikan masalah belakangan ini di daratan mengunjungi desa Lempe, mereka membeli
tinggi itu. Sementara sebagian besar penduduk asli berbagai komoditi, terutama komoditi setingkat
hanya memiliki bukti yang paling dominan adalah palawija, misalnya Jagung, sayur-sayuran, kacangSurat Pembayaran Pajak Tanah (SPPT). Hanya kacangan. Sementara komoditi Kopi, selain dijual
sedikit diantara mereka yang memiliki sertifikat. ke pedagang membeli datang kerumah, mayoritas
Tanah yang disertifikatkan itu, sebagian besar hasil di kopi digunakan untuk konsumsi sendiri.
adalah tanah pekarangan rumah yang diperoleh dari Berbeda dengan komoditi diatas, bagi komoditi
warisan. Tabel 18 memperlihatkan cara memperoleh seperti Kakao, gabah, sebagian besar dijual ke
tanah dan bukti kepemilikan tanah di Desa Lempe pedagang pengumpul yang ada di desa Lempe.
Meski angka membeli tanah cukup rendah Hanya sebagian kecil diantara komoditi itu di jual
dibanding dengan, angka perolehan tanah melalui langsung ke ibukota provinsi Sulawesi Tengah, di
warisan dan membuka hutan cukup tinggi, tetapi

25

Palu. Pemasaran Hasil Komoditi di Desa Lempe dapat


dilihat dalam tabel 20 berikut:

pedagang.
Penguasaan dalam komposisi agama, dimana

Tabel 20. Pemasaran Hasil Komoditi di Lempe


Pemasaran/Komoditi

Overall

Sawah

Kolam
ikan

Kebun
Coklat

Kebun
Kopi

Kebun
vanili

Ladang
jagung

Ladang
sayur
sayuran

Ladang
kacang kacangan

Pembeli datang ke rumah

74

15

15

24

Konsumsi sendiri

49

30

10

Dijual ke pedagang pengumpul

35

19

162

65

13

21

24

27

Dijual Langsung ke Ibu Kota


Totals

Di Dongidongi, Berbeda denga pola pergeseran


penguasaan tanah yang terjadi di Desa Lempe,
Doda dan Wanga maupun di Desa Dodolo, di
Dongidongi krisis tanah terjadi pada berbagai suku
dari dataran tinggi Kulawi, Kamilisi yang mengikuti
Program Transmigrasi Masyarakat Terasing (PMKT)
kehilangan hak atas penguasaan sumber daya
tanah. Penyebabnya, selain menjualnya kembali
tanah pemberian negara itu ke tangan orang lain,
juga karena sebagian tanah yang di janjikan
pemerintah sebesar dua hektar sebelumnya kepada
mereka tidak direalisasikan oleh pemerintah yang
sudah menjelang hampir dua puluh tahun. Akibat
krisis tanah ini, tidak kurang dari 1.000 anak usia
sekolah tidak menikmati sekolah karena alasan
biaya.
Proletarisasi tanah oleh berbagai proyek
pemerintah di wilayah lembah Palolo, kabupaten
Donggala yang sudah berlangsung sejak dua puluh
tahun terakhir, karena berbagai program
pembangunan transmigrasi terus belangsung.17
Puncak krisis tanah terjadi di wilayah lembah Palolo,
ketika 1030 KK orang yang berasal dari lembah itu
memasuki wilayah Dongidongi di dalam Taman
Nasional Lore Lindu membuka areal kawasan
konservasi itu menjadi perkebunan. Tanah-tanah
usaha pertanian dibagi dua hektar per-kepala
keluarga.
Survey dilakukan pada wilayah Dongidongi ratarata ditujukan pada kepala keluarga berusia antara
20 hingga 53 tahun. Mereka membagi wilayah
yang diduduki itu ke dalam, pembagian wilayah,
antara lain: Boyalentora; Anutapura, Toraranga.
Tidak kurang dari 99.2% dari 1055 KK bekerja
sebagai petani, selebihnya adalah bekerja sebagai

26

Kristen lebih banyak tinggal di Dongidongi,


menguasai tanah lebih dominan. Seperti diketahui,
dari 1064 kk orang yang tinggal di Dongidongi tidak
kurang 80.9% atau 865 kk beragama Kristen dan
memiliki usaha pertanian ; 18.2% atau 193
beragama Islam mengaku menguasai tanah usaha
pertanian. Rata rata diantara kedua agama itu
menguasai luas tanah usaha pertanian diatas dua
hektar dan juga rata-rata tanpa ada perbedaan yang
menyolok.
Keragaman kepemilikan itu, di pengaruhi oleh
semangat land reform para pejuang orang di
Dongidongi merebut tanah lebih banyak tentukan
oleh perjuangan aksi bersama, atau biasanya
disebut reclaiming. Dari 1064 KK di Dongidongi
99.1%; (1026 KK) mengakui memperoleh tanah
dengan cara reclaiming. Kemudian, sari 1064 KK
yang disurvey, 80% diantaranya memperoleh tanah
1-2 hektar dengan cara reclaiming lalu membuka
hutan untuk usaha pertanian. Dari jumlah itu, 20%
memperoleh tanah karena mendapat pembagian
dari Forum Petani Merdeka, karena telah dianggap
berusia 17 tahun.
Dari jumlah disebutkan di atas, hanya sebagian
kecil kepala keluarga yang tinggal di Dongidongi
tidak memiliki usaha pertanian. Mereka yang tidak
memiliki usaha pertanian itu, karena tidak tinggal
menetap di Dongidongi. Selain karena alasan
modal, juga karena alasan keluarga dan lainnya.
Tabel berikut memperlihatkan usaha pertanian
berdasarkan suku dan agama di Dongi dongi.
Mereka yang bertani secara menetap dan tinggal
di wilayah Dongidongi menetap 88.5% (920 kk), dan
11.5% (120 kk) tidak menetap. Tabel 21
memperlihatkan
Kepemilikan Usaha Tani

Berdasarkan Agama, dan Suku di Dongidongi

kedua setelah Kaili Sub-etnis Daa. Kemudian


disusul Suku Uma (kulawi) diurutan ketiga. Cara
memperoleh tanah orang Dongidongi
Tabel 21. Kepemilikan Usaha Tani Berdasarkan
berdasarkan suku dapat dilihat dalam tabel
Agama, dan Suku di Dongidongi
22 .
Suku
Islam (KK)
Kristen (KK)
Dari 1064 KK orang Dongidongi 98,9%
Daa
21
366
(1040 kk) memiliki usaha pertanian dengan
Kulawi
1
67
berbagai komoditi baik skala kecil dan
Kaili
76
50
besar.Usaha petanian berdasarkan suku,
Seko
1
9
hampir tidak bisa diidentifikasi, karena
Manado
1
6
hampir semua suku dan agama menanam
Toraja
1
4
komoditi yang sama, seperti Kakao, Vanili,
Behoa
1
3
Jagung dalam jumlah dan komposisi yang
Bugis
1
1
hampir sama
Lindu
0
2
Napu
0
3
Dari 1064 KK yang menghuni
Tialo
1
0
Dongidongi, 40% diantaranya memiliki
Other
33
61
kebun Kakao dan, 30% memiliki kebun
Totals
137
572
Jagung. Umumnya kebun Kakao digunakan
sebagai komoditi jangka panjang, karena
usia mulai sejak ditanam, Kakao di
Dongidongi membutuhkan waktu tiga tahun
Suku yang menghuni wilayah itu, antara lain: baru dapat dipanen. Sementara kebun Jagung, rataDaa, Kulawi, Kaili, Seko, Mandar, Manado, Batak, rata tiga bulan sejak waktu ditanaman sudah bisa
Napu, Behooa, Bali, Mori, Bugis, Toraja. Rata-rata dipanen, lalu kemudian dijualkan ke pasar di Palu.
orang yang bermukim di Dongidongi mayoritas Itulah sebabnya banyak diantara mereka menanam
sudah berdomisili 2-4 tahun lalu, yakni sejak tahun Jagung sebagai sumber ekonomi keluarga untuk
2001, meski sebelumnya, seperti Papa Lili, sudah jangka pendek. Sementara komoditi lainnya,
berdomisili di Dongidongi sejak tahun 1979,ketika seperti Sayur-sayuran, kebun Kopi hanya digunakan
baru pertama kali mereka dipindahkan ke daerah sebagai komoditi tambahan. Karena itu, komoditi
itu. Penguasaan berdasarkan komposisi suku, lebih ini tidak pernah ditanam dalam kebun-kebun di
dominan dikuasai Kaili Sub-etnis Daa, sementara Dongidongi secara besar-besaran
Kaili Sub-etnis lainnya menguasai tanah terbesar
Tabel 22.
Suku Asal/
Menggarap
Tanah/Luas
(Ha)

Memperoleh Tanah Membuka hutan dan Beli di Dongidongi

< 0,5 ha

< 0,5 ha

0,5 - 1
ha
Membuka
hutan

0,5 - 1
ha
Beli

Membuka
hutan

Pinjam

Da'a

25

Kaili
Kulawi

5
0

39

2
0

27
11

0
0

Manado
Others

1
1

0
1

1
1

0
0

1 - 2 ha

1- 2
ha
Beli

1- 2
ha
Warisa
n

126

40
29

3
0

8
3

0
0

Membuka
hutan

>2
ha
beli

Totals

>2
ha
Memb
uka
hutan
15

206

0
0

7
9

1
1

85
50

0
0

0
2

0
0

10
8

Mandar

Behoa
Napu

3
2

0
0

1
0

0
0

0
1

0
0

0
0

0
0

0
0

4
3

Bada
Poso

0
2

0
0

3
0

0
0

0
1

0
0

0
0

0
1

0
0

3
4

No Answer

48

252

24

336

Totals

46

132

465

58

715

6%

0%

18%

0%

65%

1%

0%

8%

0%

100%

%Perolehan
Tanah

27

IV. PENUTUP
Sebagai kesimpulan hasil penelitian ini,
terjadinya berbagai konflik di berbagai wilayah di
Doda, Lempe, Wanga, Toejaya dan Dongidongi
disebabkan oleh aspek penguasaan tanah yang
tumpah tindih dengan suku, agama. Pergeseran hak
penguasaan atas tanah, berjalan beberapa arah
yang berbeda, penguasaan berdasarkan suku,
kemudian bergeser penguasaan berdasarkan
agama, penguasaan berdasarkan Pendatang
(migran), penguasaan berdasarkan komposisi luas
dan penguasaan berdasarkan tingkat kesuburan.
Pertama, Penguasaan berdasarkan suku, di
Wanga, kecenderungan suku Napu menguasai tanah
lebih dominan ketimbang suku pendatang yang
masuk ke Desa itu sejak 20 tahun terakhir. Suku
napu, juga menguasai komposisi tanah yang luas
ketimbang migran. Hal yang sama juga terjadi di
Desa Doda, Lempe, dimana kecedrungan suku
Behoa, menguasai komposisi tanah yang luas,
dibandingkan dengan para pendatang. Namun bila
dilihat pada tingkat kesuburan lahan, maka suku
pendatang lebih banyak menguasai usaha pertanian
dilahan-lahan yang subur.
Kedua, penguasaan berdasarkan agama, dimana
penguasaan tanah berdasarkan agama suku, yang

28

merupakan paham yang dianut orang di Lembah


itu, bergeser ke penguasaan agama Kristen dan
Islam, dimana agama Kristen lebih dominan
menguasai usaha pertanian, sebagai agama yang
mayoritas dianut suku asli saat ini di Wanga, Lempe
dan Doda.
Ketiga bersamaan bergesernya penguasaan
tanah subur ke para pendatang, kemudian
pertumbuhan buruh tani mengalami angka
menanjak tiap tahunnya. Buruh tani ini sebagian
besar berasal dari masyarakat asli yang tinggal
menetap di Desa itu., dengan berbagai sistem
pengupahan, seperti bagi hasil, bayar per-minggu;
bayar per- sekali panen dan lainnya. Perlahan-lahan
sistem buruh tani dengan cara adat, seperti
Mapalu, mulai tergusur dengan hadirnya sistem
upahan.
Pola pergeseran penguasaan hak atas tanah
dipengaruhi lebih besar dipengaruhi faktor luar,
seperti tumbuhnya sejumlah perusahaan
perkebunan skala seperti Kakao, Pisang Abacca,
Kopi dan lainnya; proyek pemerintah yang
merugikan rakyat (transmigrasi), pembangunan
berbagai fasilitas infrasturktur), Taman Nasional
Lore Lindu, yang juga turut berkontribusi bagi

proses pergeseran penguasaan tanah Doda, Lempe,


Wanga, Toejaya dan Dongidongi. Selain faktor itu,
juga tingkat kemampuan modal para petani dan
kemampuan teknologi untuk mengelolah usaha
pertanian di Lembah itu.
Ketiga, seperti pada proletarisasi tanah di
lembah Palolo telah memaksa 1064 KK masuk ke
Dongidongi, Taman Nasional Lore Lindu karena
terjadi proletarisasi tanah di wilayah Lembah Palolo.
Sebagai salah satu cara untuk memperoleh tanah
di Wilayah itu.

Rekomendasi
Untuk mengurangi pergeseran penguasaan
tanah, maka penting dilakukan: Pertama, meninjau
kembali izin usaha perkebunan di sekitar Lembah
Napu, Lembah Doda, Lemba Palolo, yang saat ini
masa berlakunya belum berakhir. Karena dengan
begitu dapat memberi kesempatan kepada

pemerintah untuk membuka kembali program land


reform kepada masyarakat yang tidak memiliki
tanah subur untuk usaha pertanian. Tanah yang
sudah berakhir izin usahanya diberikan kepada
dengan catatan pemerintah tidak memperpanjang
lagi sejumlah izin di Lembah Napu, Palolo dan Doda.
Kedua, gambaran tentang desa Wanga, Lempe,
dan Doda memperlihatkan pergeseran penguasaan
tanah berdasarkan tingkat keseburan ke para
pendatang. Proses ini mesti dilihat sebagai masalah
terhadap masyarakat asli di wilayah itu, yang
berpeluang terjadinya konflik horizontal antara
masyarakat pendatang dan penduduk asli.
Ketiga, kasus masuknya orang dari Palolo dan
Orang Dodolo ke Dalam Taman Nasional Lore Lindu
karena program transmigrasi yang menyebabkan
proletarisasi tanah bagi peserta transmigrasi, maka
program yang berkaitan dengan pemindahan
penduduk di dataran tinggih itu, sudah perlu di
tinjau kembali, juga pada saat yang sama program transmigrasi menyebabkan proletarisasi tanah
terhadap masyarakat lokal.

29

Atlov, Hans, 2002, Negara Dalam Desa,


Patronase Kepemimpinan Lokal, Lapera Pustaka
Utama, Yogyakarta.

Sikor Thomas, Conflict And Concepts: The Politics Of Forest Devolution In Postccolonialist Vietnam, Paper Presented in Biennal Confrence of the
International Association for study of common Property, Victorial Fals, 17-21 June 2002.

Aragon, Lorraine, V,, 2003, Japanese time


and the mica mine: occupation experiences in the
Central Sulawesi Highlands, artikel dalam Journal
of Southeast Asian Studies 03/96.

Sangadji, Arianto.et.el, 2003, Masyarakat Di


Sekitar Kawasan Konservasi : Orang Rampi Dan
Kulawi Di TNLL, Paper Posisi, Yayasan Tanah
Merdeka Palu

Fauzi, Noer, 2003, Bersaksi UntukPembaruan


Agraria: Dari Tuntutan Lokal Hingga Kecendrungan
Global, KPA, Karsa, Insist Press, Jogjakarta.

Sitorus Felix, 2003, Revolusi Coklat: Social Formation, Agrarian Structure, and Forest Margins in
Upland, central sulawesi, indonesia, Storma
discusion paper series, No.9 (november, 2003), Palu

Reference

Mahanani, Subekti, Kedudukan UUPA 1960 dan


Sumber Daya Agraria di Tengah Kapitalisasi Negara:
Politik Kebijakan Agraria Melanggenggengkan
ketidak adilan, Jurnal Analisa sosial, Vol.6,No.2 Juli
2001, Akatiga, Bandung.
Leber, Tom, 2003, Land Reform Orientasi Pasar:
Politik Orang Tanpa Tanah dan Kemiskinan di
Pedesaan Afrika Selatan, dalam buku Membongkar
Kepalsuan Land Reform Bank Dunia, Federasi
Serikat Petani Indonesia, Jakarta.
Lounela, Anu, 2002, Menogosiasikan Hak-Hak
Atas Sumber Daya Alam Di Indonesia: Desentralisasi
Di Wonosobo Dalam Buku Berebut Tanah Beberapa
Kajian Berprespektif Kampus Dan Kampung yang di
edit Anu Lounela dan R Yando Zakaria, Penerbit Insist Pres Dan Karsa, Yogjakarta.
Ridell James C. 1987. Land Tenure and
Agroforestry : A Regional Overvew, dalam Land,
Trees and Tenure : Proceedings of an International
Workshop on Tenure Issue in Agro-Forestry, John
B. Raintree (Editor). ICRAF and Land Tenure Centre.

30

Wiradi Gunawan, 1984, Pola Penguasaan Tanah


dan Reforma Agraria bagian tulisan dalam buku,
Dua Abad Penguasaan Tanah, Pola Penguasaan Tanah
di Jawa dari Masa ke Masa, Gramedia , Jakarta.
Situmorang, Abdul Wahib, 2005, The Toba
Batak, Figthing For Environemental Justice (1988
2003), Walhi, Jakarta.
Soimin, Soehardayo, SH, 2004, Status Hak Dan
Pembebasan Tanah, Edisi Kedua, Sinar Grafikas
Jakarta.
Undang Undang Dasar 1945
Undang Undang No.5 tahun 1960 tentang pokokpoko agraria
Widjaja, Gunawan dan Mulyadi, Kartini, 2004,
Hak Ata Tanah, Seri Hukum Kekayaan, Kencana,
Jakarta.

Endnote
Berbagai macam hak atas tanah menurut UUPA
No.5 tahun 1960, pasal 16 ayat 1, antara lain: Hak
Guna usaha, Hak Guna Bangunan, Hak sewa, Hak
Pakai, Hak Milik, hak membuka tanah, hak
memungut hasil hutan,
2
Perusahaan ini adalah Holding Company dan PT
Rio Tinto Groups. Izin yang sama juga telah
diberikan kepada PT Palu Citra Mineral, di Taman
Hutan Raya Palu. Kedua perusahaan itu, di bawah
payung Rio Tinto.
3
Proyek dan dana di TNLL: 1 Central Sulawesi Integrated Area Development and Conservation
Project (1998-2005) oleh ADB- Pemerintah Indonesia sebesar Rp 382.400.000.000; 2 Management
of a GIS unit for environmental monitoring of Lore
Lindu National Park (2002-2004) oleh The Nature
Conservancy-TNC (Rp.517.200.000; 3. Protection
of tropical forests through ecological conservation
of marginal land phase II (2001-2005) oleh CARE
sebesar Rp. 27.123.528.000. Lihat Seputar Rakyat,
Edisi VI
4
Gunawan Wiradi, 1984, Pola Penguasaan Tanah
dan Reforma Agraria bagian tulisan dalam buku,
Dua Abad Penguasaan Tanah, Pola Penguasaan Tanah
di Jawa dari Masa ke Masa, Gramedia , Jakarta,
hal 290.
5
Ridell, James C. 1987. Land Tenure and
Agroforestry : A Regional Overview, dalam Land,
Trees and Tenure : Proceedings of an International
1

Workshop on Tenure Issue in Agroforestry, John B.


Raintree (Editor). ICRAF and Land Tenure Centre.
6
Ibid.
hal 291.
7
Lihat pasal 33 Undang Undang Dasar 1945, ayat
berbunyi, Bumi, Air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat.
Lihat pasal 519 dan pasal 520 Kitab UndangUndang Hukum Perdata.
9
Lihat Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) Undang Undang
Pokok Agrarian No.5 tahun 1960.
10
Sebelum bermukin di Dodolo, orang yang saat ini
tingga di Toe Jaya itu, berasal dari Rampi, Sulawesi
Selatan. Ia datang ke Lembah Napu sebagai
pengungsi pada tahun 1964, karena di kejar oleh
Darul Islam Indonesia, yang berpusat di Palopo,
Sulawesi Selatan. Mereka pindah ke Sulawesi
Tengah, melalui lembah Doda, kemudian ke Lemba
Napu (menetap di Dodolo), lihat Sangadji, Arianto
2002, Masyarakat dan Taman Nasional, YTM, Palu.
11
Konsep etnisitas bersifat relasional yang
berkaitan dengan identifikasi diri dan asal-usul
sosial. Apa yang kita pikirkan sebagai identitas
tergantung kepada apa yang kita pikirkan sebagai
bukan kita. Orang Jawa bukan Madura, Batak dll.
8

31

Konsekuensinya, etnisitas akan lebih baik dipahami


sebagai proses penciptaan batas-batas formasi dan
ditegakkan dalam kondisi sosio-historis yang
spesifik (Barth 1969), lihat Antariksa, 2003, Ras
dan Etnisitas, Newsletter KUNCI No. 8, September
2000
12
Sesungguhnya regulasi ini sangat bertentangan
dengan UU Dasar 1945, sebagai konstitusi. Karena
bertentangan dengan semangat pluralisme di Indonesia, ketika meletakkan semangat kepemilikan
maupun hak pengelolaan pada pemerintah pusat.
lihat Sembering Sulaiman, 2002, Studi Hukum
Pengelolaan Hutan Oleh Masyarakat Adat, Laporan
Hasil Studi, Kerjasama ISHA dan WWF Indonesia,
Jakarta.
13
Harga coklat di pasar lokal Sulawesi Tengah pada
tahun 1990, sebesar Rp.10.000/Kg.
14
Lihat, Agro Indonesia.com, 25 Februri,2005,
Sulteng berhasil ekspor kakao sebanyak 14.708 ton
15
Pada bulan Juni 2000, harga coklat Rp. 15.000/
kg di Pasar local; sementara pada saat yang sama

32

di pasar internasional harga coklat sebesar US


$.1000/100 kg. Sedangkan Vanili kwalitas atas
sebesar Rp.300.000/kg. Sementara di pasar
internasional harga vanili per-kg kwalitas atas
sebesar US $.100/kg. Lihat Deperindag RI, 2001,
Laporan pemantauan harga komoditi, Deperindag.
16
Labert, Tom, Land Reform Berorietasi Pasar:
Politik Orang Tanpa Tanah Dan Kemiskinan
Pedesaan Di Afrikan Selatan, dalam Indar Lubis,
Membongkar Kepalsuan Land reform Bank Dunia,
FSPI, Jakarta, hal 4
17
Orang yang bermukim di Dongidongi merupakan
transmigrasi lokal, dengan proyek Pemukiman
Masyarakat Terasing (PPMT) pada tahun 1975.
Kemudian proyek ini memindahkan sejumlah orang dari gunung Gawalise di bagian Barat kota Palu,
yang banyak dihuni oleh suku Kaili sub-etnis Daa.
Kemudian Kulawai, dan sejumlah suku lainnya, yang
berada di Kota Palu, dan etnis Kaili yang memang
sudah berada di lembah Palolo sebelumnya. [z]

Anda mungkin juga menyukai