Anda di halaman 1dari 6

Kebangkitan Nasional: Budi Utomo atau Sarekat Islam?

20 Mei menjadi Hari Kebangkitan Nasional bagi Republik Indonesia. Hari tersebut bukan
hanya sekedar hari-hari belaka, tetapi menghujam ke dalam benak masyarakat Indonesia, bahwa
pada hari kelahiran Budi Utomo-lah Indonesia memiliki kesadaran untuk bangkit secara
menyeluruh. Penetapan seperti ini tak semestinya dianggap enteng. Penetapan hari penting bagi
negara, penetapan pahlawan-pahlawan nasional, tugu-tugu peringatan memiliki makna yang
mendalam sebagai simbol-simbol negara yang memiliki makna.[1]
Ketika berbicara mengenai hari kelahiran organisasi Budi Utomo sebagai Hari Kebangkitan
Nasional, akan ada konsekuensi-konsekuensi dari simbol tersebut. Pertanyaan-pertanyaan layak
dilontarkan, seperti misalnya, apa benar kesadaran kebangkitan nasional kita berasal dari
kesadaran kesukuan (Jawa)? Betulkah ikatan kesukuan lebih mendorong kebangkitan ketimbang
agama? Lantas bagaimana peran nyatanya dalam kehidupan? Pertanyaan, jika tak ingin dibilang
gugatan seputar penetapan Hari Kebangkitan Nasional bukanlah hal baru. Setidaknya, sejak 1956,
ketika diperingati Hari Kebangkitan Indonesia, gugatan tersebut telah mengemuka.[2]
Kesadaran kita sebagai sebuah bangsa (bukan negara-bangsa) telah lama muncul dan diakui
oleh masyarakat dunia. Bukan melalui ranah-ranah politis, namun melalui para haji dan penuntut
ilmu. Di Tanah Suci Mekkah, ratusan hingga ribuan orang telah pergi beribadah haji dan sebagian
lainnya melanjutkan untuk menuntut ilmu disana. Setidaknya ulama-ulama nusantara, telah dikenal
sebagai bangsa Jawi oleh para masyarakat di Timur Tengah. Orang-orang Jawi ini tidak saja
pengakuan terhadap orang Jawa, tetapi juga Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Sumbawa
hingga Patani (Thailand) dan Mindanao (Filipina).[3]
Eksistensi ulama-ulama nusantara ini semakin berkibar tatkala nama-nama seperti
Abdusshomad Al Palimbani, Hamzah Fansuri, Yusuf Al Maqassari, Daud Fattani, Arsyad Al Banjari
hingga Nawawi Al Bantani dan Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi menghiasi deretan para
penuntut ilmu dan ulama di tanah Suci. Bangsa Jawi, telah dikenal dan mengenali dirinya sendiri
sebagai orang Jawi yang diikat oleh sebuah ikatan abadi bernama Akidah. Islam telah menjadi tali
yang kokoh mengikat bangsa kita selama berabad-abad, jauh sebelum ikatan politis bernama
nasionalisme hadir di tanah air.
Perlawanan terhadap penjajahan juga didorong oleh ikatan Islam. Berabad-abad ia menjadi
obor yang berkobar-kobar membakar semangat jihad melawan penjajahan. Ketika diabad ke 19,
Penjajah Belanda membungkam hampir seluruh perlawanan di nusantara, maka di awal abad ke 20
saluran-saluran perlawanan muncul dalam bentuk pergerakan. Penilaian seputar Kebangkitan
Nasional perlu dicermati. Menimbang dan menelisik kehadiran Budi Utomo, dapat dilakukan dengan
melihat tahun-tahun pertama berdirinya organisasi Budi Utomo.
Pidato Ratu Wilhelmina di tahun 1901, menandai beralihnya suatu periode baru yang lazim
disebut politik Etis. Sang Ratu menitahkan,
Sebagai Negara Kristen, Negeri Belanda Wajib memperbaiki kedudukan hukum orangorang Kristen Pribumi di Kepulauan Hindia, memberikan dukungan kuat pada misi Kristen dan
menanamkan pada seluruh system pemerintahan dengan kesadaran bahwa Negeri Belanda
mempunyai kewajiban moral terhadap penduduk di kawasan ini.[4]
Proses politik etis ini dapat kita baca sebagai proses pembaratan penduduk pribumi dengan
segala batasannya. Salah satu tujuan politik etis adalah desentralisasi (birokrasi) pemerintahan
kolonial. Tetapi tentu saja, pemerintah Belanda tak berniat memberikan kemerdekaan kepada
Hindia Belanda. Pemerintah colonial tetaplah penguasanya. Hanya saja perailhan ini memberikan

kesempatan bagi orang jawa untuk mencicipi posisi birokrasi kolonial. Maka sejumlah besar
bangsawan Jawa, Priyayi lebih tepatnya, mendapat kesempatan ini.
Priyayi yang telah merasakan birokrasi kolonial ini memang terbatas jumlahnya jika
dibandingkan dengan penduduk Jawa yang ada. Para priyayi terdidik barat ini lambat laun mulai
untuk memperjuangkan nasib, meski untuk kalangan mereka sendiri. Hal itu dapat dilihat, misalnya
dari terbitnya majalah Retnodoemillah atauPewarta Prijaji. Meski awalnya mungkin majalah ini
dipakai sebagai sarana komunikasi antar elit Jawa, namun majalah ini memuat pula berita-berita
lain, misalnya berita dunia.[5]

Dr. Wahidin Soedirohoesodo. Sumber foto: Nagazumi, Akira. 1989.


Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti-KITLV

Lama kelamaan Retnodoemillah menyasar pula tak hanya


kalangan
elit,
tetapi
juga
orang
Jawa.
Otak
dibalik
Redaksi Retnodoemillah adalah Dr. Wahidin Soedirohoesodo. Dr.
Wahidin memang memimpikan kebangkitan bangsa Jawa. Pendapatnya
yang menyatakan Hindu-Budha yang memberikan pengaruh pada
budaya Jawa, memperkuat citanya untuk menggerakan bangsa Jawa.
Maka citanya disambut ketika ia bertemu dengan murid-murid,
STOVIA, terutama Soetomo dan Soeradji di akhir 1907. Murid-murid STOVIA kemudian menjadi
pelopor lahirnya Budi Utomo.[6]
Budi Utomo akhirnya di bentuk tanggal 20 Mei 1908 pukul sembilan pagi di aula STOVIA.
Tidak hanya dihadiri oleh siswa STOVIA namun dari sekolah lain seperti sekolah pertanian dan
kehewanan di Bogor, serta sekolang pamong praja di Magelang dan Probolinggo. Meski para
pelopor Budi Utomo tampak lebih progresif dalam pemikiran dibandingkan Dr. Wahidin, namun
sentimen Jawa dan non-Jawa masih tak bisa lepas dari Budi Utomo. Maka tak heran apabila muridmurid STOVIA tersebut tampak enggan untuk mengundang orang non Jawa sebagai anggota
mereka.
Goenawan Mangunkusumo, salah seorang penggerak Budi Utomo kala itu menyatakan,
Dengan orang-orang Sumatera, Menado, Ambon dan banyak lagi lainnya yang diam di Hindia, dan
hidup dibawah naungan bendera Belanda, kami tidak berani mengajak bekerja sama
Meski Goenawan juga menyebut penolakan terhadap orang-orang Prbumi Kristen, karena mereka
diistimewakan, namun tampaknya sentiment kedaerahan masih mewarnai pandangannya, Dengan
demikian kita membatasi kegiatan kita dari kalangan luar. Karena sudah menjadi konsep budaya. Di
dalam konsep budaya inilah kita mencari unsure-unsur yang membentuk suatu rakyat. Suatu
bangsa.[7]
Elemen yang bersuara untuk persatuan Hindia bukannya tidak ada, namun minoritas.
Diwakili oleh Tjipto Mangoennkoesoemo. Tjipto adalah penganjur pendidikan untuk seluruh warga
Hindia Belanda. Tjipto dengan keras pula mencela seni dan sejarah Jawa, serta bangsawan Jawa.
Hasrat ingin membawa Budi Utomo ke arah politik radikal yang menjadikan Hindia tanah merdeka
jelas berseberangan dengan Budi Utomo yang cenderung menjauhi politik dan hanya berkutat di
pendidikan dan kebudayaan. Maka jelas, jalan Tjipto bukanlah di Budi Utomo. Sehingga ia pun
akhirnya mengundurkan diri dari Budi Utomo.[8]

Haluan Budi Utomo, menurut soewarno, seorang tokoh Budi Utomo, menyatakan bahwa Budi
Utomo menjadi pelopor bagi Algemeen Javaansche Bond atau Persatuan Seluruh Jawa. Namun
tugas pokok Budi Utomo adalah untuk merintis jalan bagi perkembangan yang harmonis bagi
negeri dan bangsa Hindia Belanda.
Kecondongan, jika tak ingin disebut pemujaan, Budi Utomo pada Jawa memang akhirnya
yang mengurung organisasi itu sendiri, sehingga tak berkiprah luas. Dalam Anggaran Dasar yang
ditetapkan, Budi Utomo menyebutkan bahwa tujuan organisasi adalah untuk menggalang
kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis. Budi Utomo
memang tidak pernah berniat untuk memperluas organisasinya pada daerah lain yang bukan
dibawah pengaruh kebudayaan Jawa. Meskipun sejak 1909 cabang-cabang dibuka di Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, dan Ambon, namun keanggotaan dibatasi pada personil militer yang berasal
dari Jawa, atau untuk imigran Jawa yang telah bermukim di sana. Hal ini disebabkan karena dalam
syarat untuk menjadi anggota Budi Utomo, disebutkan syarat keanggotaan terbatas pada pribumi
Jawa dan Madura.[9]
Sikap dan pandangan Jawa sentris ini memang membelenggu Budi Utomo. Maka tak heran
hingga akhir tahun 1900-an pun anggotanya paling banyak hanya 10 ribu orang. Salah satu faktor
yang membuat orang Jawa enggan untuk bergabung dengan Budi Utomo adalah karena organisasi
ini diisi oleh para priyayi. Bagi rakyat Jawa jelata ada perasaan sungkan untuk begabung dengan
(Priyayi dan ningrat) Budi Utomo. Di Surakarta sendiri, Budi Utomo tidak mendapat sambutan
hangat. Kecondongan Budi Utomo kepada Kesultanan Jogjakarta membuat rakyat Surakarta yang
didominasi pedagang dan santri enggan merapat ke Budi Utomo.
Budi Utomo memang terang bukan organisasi yang mendekat pada Islam. Budi Utomo
menganut paham netral agama. Bahkan Budi Utomo, jika ditelisik lebih dalam lebih condong kepada
Theosofi. Kedekatan Budi Utomo dengan theosofi misalnya, dapat kita lihat dari seorang tokoh
wakil sekretaris Himpunan Theosofi di Hindia Belanda, yaitu D. Van Hinloopen Labberton.
Labberton, yang disebut Kiai oleh Dr. Sutomo ini, memberikan dukungannya kepada Budi Utomo.
Maka meski ada upaya-upaya mendekatkan Budi Utomo kepada umat Islam yang dilakukan oleh
segelintir pengurus Budi Utomo, namun upaya ini akhirnya kandas, karena tak disetujui oleh
perkumpulan secara resmi. [10]
Budi Utomo memang melakukan pencapaian-pencapaian di tanah Jawa, misalnya dengan
membuka sekolah-sekolah untuk pribumi Jawa. Namun melihat kenyataan-kenyataan yang
terhampar, Budi Utomo lebih tepat untuk disebut pelopor kebangkitan Jawa ketimbang nasional.
Hal ini berbanding terbalik, jika kita melihat kiprah Sarekat Islam di tanah air.
Sarekat Islam yang awalnya disebut Sarekat Dagang Islam, lahir lebih dahulu ketimbang
Budi Utomo, yaitu tahun 1905. Memang ada perbedaan pendapat di kalangan sejarawan mengenai
tahun kelahiran Sarekat Dagang Islam.[11] Namun, menurut kesaksian sang pendiri, yaitu H.
Samanhoedi, Sarekat Dagang Islam (SDI) lahir 1905 di Surakarta. Sarekat Dagang Islam lahir
awalnya sebagai upaya untuk mengimbangi pedagang Cina pada masa itu.[12] Perkumpulan ini
berupaya mengumpulkan para pedagang batik pribumi dan arab di Surakarta. Persaingan dengan
orang tionghoa semakin rumit dengan retaknya hubungan social diantara pribumi dan Cina di
masyarakat. Sikap orang Cina yang menjadi arogan, akibat meningkatnya nasionalisme Cina.
Mereka mengaitkan diri mereka dengan orang-orang Cina di tanah leluhur mereka dan sebagai
bagian dari Cina raya di dunia.Hal ini mengakibatkan munculnya fundamentalisme dan rasa ekslusif
serta agresif dari kalangan orang Cina di Jawa masa itu. Lahirnya Republik Tiongkok semakin
menambah rasa percaya diri mereka. Berbagai perkumpulan eksklusif orang-orang Cina seperti
Tiong Hoa Hwee Koan, yang mendirikan sekolah-sekolah berbahasa Cina semakin memperbesar

jurang yang ada. Di Hindia Belanda, mereka menuntut statusnya disamakan dengan orang eropa.
Keretakan hubungan ini seringkali ditandai dengan bentrok antara penduduk pribumi dan Cina. [13]
Kiprah Sarekat Dagang Islam, meski telah melakukan kongresnya sejak tahun 1906, namun
belum berbuat banyak. Tahun 1909, H. Samanhoedi bertemu dengan Tirtoadisoerjo, seorang
pelopor pers di tanah air yang juga memiliki organisasi Sarekat Dagang Islamijah di Batavia.
Mereka kemudian menggabungkan kedua organisasi tersebut dan melebur menjadi Sarekat Dagang
Islam. Tirtoadisoerjo yang juga memimpin surat kabar Medan Prijaji ditugaskan untuk
mengenalkan Sarekat Dagang Islam melalui pers. Tahun 1911, ketika Sarekat Dagang Islam
melebur, telah terasa kecondongan organisasi tersebut kearah persatuan. Hal ini dapat dilihat
dari tujuan organisasi tersebut yang berupaya untuk membantu sesama muslim dan meningkatkan
kesejahteraan pribumi.[14]
Tahun 1912, organisasi ini semakin besar. Dengan 4.500 orang anggotanya, dalam beberapa
kasus, anggota Sarekat Dagang Islam berkonflik dengan orang-orang Cina, sebagai bagian dari
pembelaan terhadap sesama anggota SDI. Jumlah yang semakin membesar ini membuat
pemerintah kolonial mencekal organisasi tersebut dan melarang mereka untuk mengadakan
pertemuan. Di lain sisi, SDI terus membesar dan memperoleh pengikut di Surabaya. Di Surabaya
inilah Sarekat Dagang Islam mengajak Oemar Said Tjokroaminoto untuk bergabung. Suatu
kejadian yang akan mengubah jalan SDI dan juga bangsa Indonesia.[15]
Terjepit oleh pencekalan dari pemerintah kolonial SDI akhirnya melebur dengan cabang
Surabaya dan membentuk nama baru, yaitu Sarekat Islam (SI). Dengan lahirnya Sarekat Islam,
maka arah pergerakan di Hindia Belanda tak lagi sama. Sarekat Islam meroket dan merebut hari
masyarakat pribumi ketika itu. Jumlah anggotanya meledak, Dari 35 ribu orang di Agustus 1914,
pada tahun 1915, Sarekat Islam telah memiliki 490.120 anggota. Bahkan pada tahun 1919, anggota
Sarekat Islam telah mencapai 2 juta orang.[16]

Pertemuan Sarekat Islam di Blitar, tahun 1914. Sumber foto: KITLV Digital Media Library
(http://media-kitlv.nl/all-media/indeling/detail/form/advanced/start/7?
q_searchfield=sarekat+Islam)
Sarekat Islam memang mampu menyatukan penduduk pribumi. Agama Islam sebagai
pengikat yang erat diantara masyarakat Hindia Belanda ketika itu. Kala itu, menyebut orang
pribumi berarti adalah orang Islam.[17]Sarekat Islam mampu menyatukan rakyat pribumi dari
berbagai lapisan, mulai dari kalangan bangsawan, terdidik barat, hingga para ulama. Karena azas
Islam ini pula SI memilki daya ikat yang luar biasa. Bagi SI, agama Islam bukanlah sekedar jualan
untuk mengumpulkan massa, seperti yang dituduhkan sebagian kalangan peneliti. Dampak dari

hadirnya Sarekat Islam amat terasa pada sisi keshalehan. Masjid-masjid menjadi lebih penuh,
bukan hanya di hari Jumat, tetapi juga di hari-hari biasa. Ada kalanya masjid-masjid sampai penuh
sesak tak mampu menampung jamaah. Banyak pekerja yang meminta libur pada hari Jumat. Di
Menggala, Lampung, warung tutup saat waktu Jumat. Kehadiran Sarekat Islam juga menimbulkan
rasa keterkaitan dengan kekhalifahan Turki Usmani.[18]
Di pedesaan, Sarekat Islam menjadi saluran bagi para petani untuk menyalurkan
aspirasinya. Tak bisa dipungkiri memang, karisma Tjokroaminoto begitu dahsyat. Ketika rapat
terbuka SI pertama kali diadakan (setelah masuknya Tjokroaminoto), massa yang berkumpul
mencapai 80 ribu orang. Tjokroaminoto, dengan suara bariton dan kemampuannya yang luar biasa
dalam berpidato, telah menyihir masyarakat pribumi ketika itu. Namun adalah sebuah kekeliruan
ketika mengggap bergabungnya orang-orang ke dalam Sarekat Islam akibat pribadi Tjokroaminoto
semata.[19]
Sarekat Islam telah menjadi pembela bagi para pedagang kecil, kaum buruh, kaum tani dan
rakyat miskin lainnya. Sarekat Islam sejak awal kongres pertamanya telah berbicara mengenai
negeri, bukan suku seperti Budi Utomo. Dalam tujuan awalnya, Sarekat Islam berikhtiar
mengangkat derajat rakyat agar menimbulkan kemakmuran, kesejahteraan dan kebesaran
negeri.[20]
Sikap politik Sarekat Islam memang bukan sikap konfrontatif seperti Indische Partij (IP).
Hal ini disebabkan oleh sikap pemerintah kolonial yang amat represif. Bersikap seperti IP berarti
pembungkaman. Melalui sikap yang koperatif, SI mampu mempertahankan dirinya agar tetap bisa
hidup. Bahkan SI mulai berbicara tentang pemerintahan sendiri (selfbestuur) dan nasionalisme
pada kongresnya yang kedua.
Sikap Tjokroaminoto tentang emansipasi politik, dapat kita tangkap dari pidatonya tahun
1916 di Bandung. Ia mengatakan, tidaklah layak Hindia Belanda diperintah oleh Holland. Zoals een
landheer zijn percelen beheert(Sebagai tuan tanah yang menguasai tanah-tanahnya). Hindia
Belanda tidaklah layak lagi dianggap sebagai seekor sapi perahan, yang hanya diberi makan demi
susunya. Tempat dimana orang-orang berdatangan hanya untuk memperoleh keuntungan. Keadaan
yang sekarang, yaitu negeri kita diperintah oleh suatu Staten-Generalyang begitu jauh tempatnya
nun di sana, harus diganti dengan situasi pemerintahan sendiri. Setidak-tidaknya digantikan oleh
suatu keadaan dimana penduduk Hindia Belanda mempunyai hak untuk berbicara mengenai urusan
pemerintahan. Selanjutnya lagi dikatakan pula bahwa tidak layak lagi, undang-undang dibuat untuk
kita tanpa kita.[21]
Sarekat Islam meski bersikap tidak frontal, namun tetap berdiri tegak membela rakyat
pribumi di tanah air. Mereka tetap tajam mengkritik praktek-praktek keji kolonialisme, mulai dari
urusan kesejahteraan, ekonomi, nasib kaum buruh, hingga menentang kristenisasi di tanah air.
[22] Anggotanya mengikat seluruh lapisan masyarakat. Kaya hingga miskin. Pedagang, hingga priyai.
Jurnalis hingga ulama. Dan kepeduliannya tak disekat oleh belenggu suku atau etnis. Maka,
bertolak dari kenyataan, kenyataan tersebut, amat layak jika kita kedepankan Sarekat Islam
sebagai pelopor Kebangkitan Nasional Indonesia. Suatu gerakan merakyat, merentang
luas,mengikat rakyat dalam satu ikatan, yaitu Islam.
Oleh : Beggy Rizkiyansyah Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

[1] Schreiner, Klaus H. 2002. National Ancestors: The Ritual Construction of Nationhood dalam
Potent Dead: Ancestors, Saints and Heroes in Contemporary Indonesia. Honolulu: University of
Hawaii Press.

[2] Rambe, Safrizal. 2008. Sarekat Islam: Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 19051942. Jakarta: Yayasan Insan Cendikia.
[3] Laffan, Michael Francis. 2003. Islamic Nationhood And Colonial Indonesia. New York:
Reoutledge Curzon
[4] Nagazumi, Akira. 1989. Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918. Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti-KITLV
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] Ibid
[11] Rambe, Safrizal. 2008.
[12] Jaylani, Timur. 1959. Sarekat Islam: Its Contribution to Indonesian Nationalism . Tesis tidak
diterbitkan untuk Institute Islamic Studies, McGill University, Montreal, Canada.
[13] Rambe, Safrizal. 2008.
[14] Jaylani, Timur. 1959.
[15] Ibid
[16] Rambe, Safrizal. 2008.
[17] Ibid
[18] Korver, A.P.E. 1985. Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil? Jakarta: Grafiti Pers.
[19] Rambe, Safrizal. 2008.
[20] Ibid
[21] Korver, A.P.E. 1985.
[22] Melayu, Hasnul Arifin. 2000. Islam and Politics in the Thought of Tjokroaminoto.(18821934). Tesis tidak diterbitkan untuk Institute Islamic Studies, McGill University, Montreal,
Canada.

Anda mungkin juga menyukai