Oleh:
Sri Mulawardani
H1A 008 023
Pembimbing:
dr. Bambang Priyanto, Sp.BS
Identitas Pasien
II.
Nama
: Ahmad Fauzi
Usia
: 15 tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Suku
: Sasak
Agama
: Islam
Alamat
Tanggal MRS
: 16 Oktober 2013
Tanggal pemeriksaan
: 21 Oktober 2013
No RM
: 521037
Anamnesa
A. Keluhan Utama
Nyeri kepala.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan nyeri kepala sejak 1,5 bulan yang lalu (beberapa
hari setelah kecelakaan). Awalnya, nyeri kepala dirasakan goyang terutama pada
malam hari, namun akhir-akhir ini pasien mengeluhkan nyeri kepalanya terasa
seperti tertusuk-tusuk, terutama di bagian tengah kepala, dan terus-terusan
sepanjang hari. Bersamaan dengan munculnya nyeri kepala, pasien juga
mengeluhkan penglihatannya kabur dan penglihatan ganda terutama pada mata
sebelah kanan. Keluhan-keluhan ini muncul setelah pasien mengalami kecelakaan
motor vs motor, saat itu pasien tidak menggunakan helm, sempat pingsan dan
kesadarannya menurun, muntah 1x namun tidak ada darah yang keluar dari hidung
ataupun telinga dan juga tidak kejang. Pada saat kecelakaan, kepala pasien
terbentur ke aspal sehingga terdapat luka lecet dan bengkak sekepalan tangan
pada kepala sebelah kanan atas. Luka tersebut tidak dijahit, hanya dibersihkan dan
diberikan betadin serta disuruh kompres.
Menurut pasien, ukuran kepalanya tidak semakin membesar, dan juga pasien tidak
merasa mual ataupun muntah. Nafsu makan / minum pasien baik, sama seperti
sebelum sakit. Buang air besar dan buang air kecil pasien juga dirasakan biasa saja
seperti sebelum kecelakaan dan tidak ada keluhan.
Pemeriksaan Fisik
A. Status Generalis
Keadaan umum
: baik
Kesadaran
: kompos mentis
GCS
: E4V5M6
Nadi
Frekuensi napas
Temperatur axila
: 36,7oC
Tinggi Badan
: 160 cm
Berat badan
: 45 Kg
Kepala
Mata
Hidung
Telinga
B. Leher
Jejas (-), deformitas tulang belakang leher (-), pergerakan leher bebas ke
segala arah, pembesaran KGB (-).
C. Thorax
Inspeksi
Palpasi
: pergerakan dinding dada kanan dan kiri simetris, nyeri tekan (-)
Perkusi
: massa (-), nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi
E. Ekstremitas
Akral hangat:
Edema
Deformitas
C. Pemeriksaan Neurologis
GCS
: E4V5M6
3
Kesadaran
: Compos mentis
Kepala
1. Rangsang meningeal
Kaku kuduk (-), Kernig Sign (-).
2. Pemeriksaan Saraf kranialis
a. Nervus kranialis I
b. Nervus kranialis II
OD
Ketajaman penglihatan
> 3/60
(bedrest)
Lapang pandang
OS
> 3/60
(bedrest)
sama dengan
sama dengan
Pemeriksa
Pemeriksa
Funduskopi
tde
tde
Pupil
Gerakan bola mata : gerakan bola mata kanan ke arah luar bawah
terbatas, nistagmus (-).
OD
OS
Sensibilitas
N. V1 +/+
N. V2 +/+
N. V3 +/+
ii.
Motorik
i.
Fungsi Motorik
m. frontalis
Istirahat
Gerak mimik
ii.
N
N
m. orbicularis
occuli
N
N
m. orbicularis
oris
N
N
Fungsi Sensorik
Pengecap 2/3 lidah bagian anterior : rasa manis (+), asam (+), asin
iii.
(+).
Fungsi Parasimpatik
Kelenjar ludah
: tidak dilakukan
Kelenjar lakrimalis : tes schemer tidak dilakukan
: (+)
Suara
Takikardia / bradikardi
: (-)
h. Nervus kranialis XI
M. sternocleidomastoideus : Memalingkan kepala dengan / tanpa tahanan
(+) normal.
: mengangkat bahu (+) normal.
M. trapezius
i. Nervus kranialis XII
Saat istirahat
: deviasi lidah (-), fasikulasi(-), tremor (-)
Saat menjulurkan lidah : deviasi lidah (-), fasikulasi(-), tremor (-)
Pergerakan lidah
: lancar ke segala arah, simetris.
Disartria
: (-)
3. Refleks fisiologis
i.
Biseps
: + /+
ii.
Triseps
:+/+
iii.
Patella
:+/+
iv.
Achilles
:+/+
4. Refleks patologis
5
i.
Babinsky
:-/-
ii.
Chaddok
:-/-
iii.
Gordon
:-/-
iv.
Oppenheim
:-/-
v.
Scaefer
:-/-
5. Motorik
Motorik
Pergerakan
Kekuatan
Tonus Otot
Bentuk otot
Superior
Dekstra
Sinistra
Normal
Normal
5
5
Normal
Normal
Normal
Normal
Inferior
Dekstra
Sinistra
Normal
Normal
5
5
Normal
Normal
Normal
Normal
6. Sensorik
i.
ii.
Sensasi superfisial
Raba
: +/+
Nyeri
:+/+
Suhu
:+/+
: +/+
Sensasi viseral
Lapar
IV.
: +/+
: +/+
RESUME
Pasien laki-laki, usia 15 tahun, datang dengan keluhan nyeri kepala. Nyeri
kepala dirasakan sejak sejak 1,5 bulan yang lalu, seperti tertusuk - tusuk, terutama di
bagian tengah kepala, dan terus - terusan. Penglihatan kabur dan ganda pada mata
sebelah kanan. Keluhan - keluhan ini muncul setelah pasien mengalami kecelakaan
motor sekitar 2 bulan yang lalu, saat itu pasien tidak menggunakan helm, sempat
pingsan dan kesadarannya menurun, muntah 1x. Setelah kecelakaan pasien dirawat di
RSUP NTB selama 8 hari, selanjutnya kontrol rawat jalan.
Pemeriksaan fisik : keadaan umum baik, kesadaran CM, GCS E4V5M6, tanda
vital dalam batas normal. Pada kepala didapatkan normosefali, diameter fronto6
DIAGNOSIS
A. Diagnosis Klinis
Sefalgia + Strabismus eksotropia OD post trauma kapitis
B. Diagnosis etiologis
1. Curiga proses intrakranial :
a. Edema serebri
b. Perdarahan otak
c. Hidrosefalus
d. Abses otak
e. Tumor otak
2. Curiga proses intraorbita :
a. Papil edema
b. Kelumpuhan saraf otot penggerak bola mata (nervus III, IV dan atau VI)
c. Perdarahan badan kaca
C. Diagnosis topis
Supratentorial
VI.
PLANNING
A. Diagnostik
1. Pemeriksaan darah lengkap
2. CT Scan kepala
B. Terapi
1. Medikamentosa
a. Tab asetozolamid 2 x 125 mg / hari
b. Tab Parasetamol 3 x 500 mg
7
VII.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
A.
Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium (11/10/2013)
B.
HB
: 14,1 g/dl
RBC
: 4,74 x 106/l
HCT
: 40,3 %
MCV
: 85,0 fL
MCH
: 29,7 pg
MCHC
: 35,0 g/dL
WBC
: 5,40 x 103/l
PLT
: 254 x 103/l
Kesan (16/10/2013) :
1. Fraktur linear os temporal dextra
2. Hidrosefalus Komunikan
3. Infark lobus temporal kanan
4. Edema serebri
VIII.
DIAGNOSIS
1. Hidrosefalus komunikan post trauma kapitis
2. Strabismus OD
9
PLANNING
A.
Planning Diagnostik
Funduskopi
B.
Planning terapi :
Pro VP Shunt
C.
Planning Monitoring
Melakukan home visit untuk mengevaluasi :
1. Keluhan
2. Vital sign
3. Status neurologis
D.
Planning Edukasi
Penjelasan mengenai diagnosis, tindakan yang akan dilakukan, serta prognosis
penyakit pasien.
X.
PROGNOSIS
Dubia.
XI.
FOLLOW UP
Pada tanggal 12 November 2013 dilakukan pemeriksaan evaluasi post VP Shunt. Pada
pemeriksaan ditemukan perbaikan klinis yaitu pasien sudah tidak mengeluhkan nyeri
kepala, pandangan kabur dan penglihatan ganda, serta tidak ada strabismus OD.
Namun, pasien mengeluhkan nyeri perut di atas simfisis pubis yang muncul beberapa
hari setelah pasien menjalani operasi.
10
TINJAUAN PUSTAKA
I.
TRAUMA KEPALA
A. Definisi Trauma Kepala
Trauma kepala adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung
ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi yaitu
gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen
(PERDOSSI, 2006).
B. Anatomi
Berdasarkan ATLS (2004), anatomi yang bersangkutan antara lain :
1. Kulit Kepala (SCALP)
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu :
a. Skin atau kulit
b. Connective Tissue atau jaringan penyambung
c. Aponeurosis atau galea aponeurotika
d. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar
e. Perikranium.
2. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Kalvaria
khususnya di bagian temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot
temporal. Basis kranii berbentuk tidak rata sehinga dapat melukai bagian dasar
otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi.
3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3
lapisan yaitu : duramater, araknoid dan piamater.
4. Otak
Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak. Serebrum
terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri yaitu
lipatan duramater dari sisi inferior sinus sagitalis superior. Batang otak terdiri
dari mesensefalon (mid brain), pons, dan medula oblongata. Serebelum
bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan, terletak dalam
11
fosa posterior, berhubungan dengan medula spinalis, batang otak, dan juga
kedua hemisfer serebri.
5. Cairan Serebrospinal
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh pleksus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml / jam.
6. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supra
tentorial (terdiri atas fossa kranii anterior dan fossa kranii media) dan ruang
infratentorial (berisi fosa kranii posterior).
C. Patofisiologi Trauma Kepala
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala
sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan
langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi - deselerasi
gerakan kepala (Israr dkk, 2009).
Pada trauma kepala, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada
permukaan otak yang berbentuk titik - titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada
duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area benturan
disebut lesi kontusio coup, di seberang area benturan tidak terdapat gaya kompresi,
sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut dinamakan lesi
kontusio countercoup. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi linear, bahkan
akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi
rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi rotatorik adalah sukar untuk
dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat akselerasi linear dan
rotatorik terdapat lesi kontusio coup, countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi
kontusio intermediate adalah lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan
countercoup (Mardjono, 2008).
Akselerasi - deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak
(substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak
lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa
otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari
benturan (countrecoup) (Israr dkk, 2009).
12
pola
tertentu
yang
dapat
diperkirakan,
menyebabkan
berubahnya
3. Morfologi
a. Fraktur Kranium
Menurut Japardi (2004), klasifikasi fraktur tulang tengkorak sebagai
berikut;
i.
ii.
ii.
Perdarahan epidural
iii.
Perdarahan subdural
iv.
b. GCS 9 13
c. GCS > 13
2. Pemeriksaan Pupil
Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya.
Perbedaan diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1 mm adalah
abnormal. Pupil yang terfiksir untuk dilatasi menunjukkan adanya penekanan
terhadap saraf okulomotor ipsilateral. Respon yang terganggu terhadap cahaya
bisa merupakan akibat dari cedera kepala.
14
3. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf
perifer. Tonus, kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan
semua hasilnya harus dicatat
F. Prosedur Imaging dalam Diagnosa Trauma Kepala
1. Foto Polos kepala
Indikasi foto polos kepala tidak semua penderita dengan cedera kepala
diindikasikan untuk pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaan
yang sekarang makin ditinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm,
luka tembus (tembak / tajam), adanya korpus alineum, deformitas kepala (dari
inspeksi dan palpasi), nyeri kepala yang menetap, gejala fokal neurologis,
gangguan kesadaran. Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi jangan
mendiagnosa foto kepala normal jika foto tersebut tidak memenuhi syarat, Pada
kecurigaan adanya fraktur depresi maka dillakukan foto polos posisi AP / lateral
dan oblique (Haryo, 2008).
2. CT Scan Kepala
Indikasi CT Scan adalah :
a. Nyeri kepala menetap atau muntah - muntah yang tidak menghilang setelah
pemberian obat - obatan analgesia / anti muntah.
b. Adanya kejang - kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi
intrakranial dibandingkan dengan kejang general.
c. Penurunan GCS lebih dari 1 poin dimana faktor - faktor ekstrakranial telah
disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi syok,
febris, dll).
d. Adanya lateralisasi.
e. Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur
depresi temporal kanan tapi terdapat hemiparese / plegi kanan.
f. Luka tembus akibat benda tajam dan peluru
g. Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.
h. Bradikardia (denyut nadi kurang 60x / menit).
i. Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan
perubahan jaringan otak.
15
Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilakukan pada 24 72 jam setelah injuri (Haryo, 2008).
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI) Kepala
Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna didalam menilai
prognosa. MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang
sering luput pada pemeriksaan CT Scan kepala. Ditemukan bahwa penderita
dengan lesi yang luas pada hemisfer, atau terdapat lesi batang otak pada
pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa yang buruk untuk pemulihan kesadaran,
walaupun hasil pemeriksaan CT Scan awal normal dan tekanan intrakranial
terkontrol baik (Sastrodiningrat, 2007).
4. Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS)
Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) menambah
dimensi baru pada MRI dan telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk
mendeteksi Cedera Akson Difus (CAD). Mayoritas penderita dengan cedera
kepala ringan sebagaimana halnya dengan penderita cedera kepala yang lebih
berat, pada pemeriksaan MRS ditemukan adanya CAD di korpus kalosum dan
substantia alba. Kepentingan yang nyata dari MRS di dalam menjajaki prognosa
cedera kepala berat masih harus ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat ini dapat
menolong menjelaskan berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan kognitif
pada penderita cedera kepala ringan (Sastrodiningrat, 2007).
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan
untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta
memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu
penyembuhan sel - sel otak yang sakit. Penatalaksanaan cedera kepala tergantung
pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepala ringan, sedang, atau berat (Haryo,
2008).
Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam
penatalaksanaan survei primer hal - hal yang diprioritaskan antara lain airway,
breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan
resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei
primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan menjaga
homeostasis otak (ATLS, 2004).
16
Tidak semua pasien cedera kepala perlu dirawat inap di rumah sakit. Indikasi
rawat antara lain:
1. Amnesia post traumatika jelas (lebih dari 1 jam)
2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
3. Penurunan tingkat kesadaran
4. Nyeri kepala sedang hingga berat
5. Intoksikasi alkohol atau obat
6. Fraktura tengkorak
7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
8. Cedera penyerta yang jelas
9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggungjawabkan
10. CT scan kepala abnormal (Israr dkk, 2009).
Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk
memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal - hal yang dilakukan
dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi, pemberian
manitol, steroid, furosemid, barbiturat dan antikonvulsan (ATLS, 2004).
Pada penanganan beberapa kasus cedera kepala memerlukan tindakan operatif.
Hasil segera yang ingin dicapai dari operasi adalah kembalinya pergeseran garis
tengah, kembalinya tekanan intrakranial ke dalam batas normal, kontrol pendarahan
dan mencegah perdarahan ulang. lndikasi operasi pada cedera kepala harus
mempertimbangkan status neurologis, status radiologis dan pengukuran tekanan
intrakranial (Japardi, 2004)
Secara umum indikasi operasi pada hematoma intrakranial :
1. Massa hematoma kira - kira 40 cc.
2. Masa dengan pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm.
3. EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis tengah dengan
GCS 8 atau kurang.
4. Kontusio cerebri dengan diameter 2 cm dengan efek massa yang jelas atau
pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm.
5. Pasien - pasien yang menurun kesadarannya dikemudian waktu disertai
berkembangnya tanda - tanda lokal dan peningkatan tekanan intraknial lebih
dari 25 mmHg (Japardi, 2004).
17
meninggi dengan cepat, aliran darah akan menurun. Bila kenaikan TIK sangat
lambat seperti pada neoplasma jinak otak, kemungkinan TIK tidak meninggi
banyak karena selain penyerapan otak yang meningkat, otak akan mengempes
dan mengalami artrofi ditempat yang tertekan yang dapat menetralisir volume
massa desak ruang yang bertambah.
2. Komplikasi Infeksi pada Trauma Kepala
Kemungkinan terjadinya infeksi sekunder pada trauma kapitis meningkat
bila duramater robek terutama sekali bila terjadi di daerah basal yang letaknya
berdekatan dengan sinus - sinus tulang dan nasofaring. Keadaan ini juga bisa
terjadi bila ada fraktur basis kranii.
3. Lesi akibat Trauma Kepala pada Tingkat Sel
Lesi dapat mengenai semua jenis sel di dalam jaringan otak yaitu neuron
dengan dendrit dan aksonnya, astrosit, oligodendrosit, sel ependim maupun sel
-sel yang membentuk dinding pembuluh darah. Bila badan sel neuron rusak,
maka seluruh dendrit dan aksonnya juga akan rusak. Kerusakan dapat mengenai
percabangan dendrit dan sinaps - sinapsnya, dapat pula mengenai aksonnya saja.
Dengan kerusakan ini hubungan antar neuron pun akan terputus. Lesi sekunder
juga dapat mengakibatkan kerusakan - kerusakan demikian.
4. Epilepsi Pasca Trauma Kepala
Pada sebagian penderita trauma kepala dapat terjadi serangan kejang.
Serangan ini dapat timbul dini pada minggu - minggu pertama sesudah trauma,
mungkin pula timbul berbulan bulan sesudahnya. Epilepsi kasip cenderung
terjadi pada pasien yang mengalami serangan kejang dini, fraktur impresi dan
hematoma akut. Epilepsi juga lebih sering terjadi pada trauma yang menembus
durameter. Lesi di daerah sekitar sulkus sentralis cenderung menimbulkan
epilepsi fokal.
5. Hidrosefalus Post Trauma Kepala
Hidrosefalus
pasca
trauma
posttraumatic
hydrocephalus
(PTH)
merupakan komplikasi yang sering terjadi dan serius yang mengikuti traumatic
brain injury (TBI). Berdasarkan lokasi penyebab obstruksi dibagi menjadi
komunikan dan nonkomunikan. Kebanyakan kasus PTH adalah hidrosefalus
komunikan dan terdapat pembesaran khas yang melibatkan semua bagian sistem
ventrikel. Produk darah, protein dan fibrosis ikut dengan aliran CSS dan
diabsorpsi ke dalam aliran darah melalui granulasio araknoid. Hidrosefalus
19
gambaran
hidrosefalus
tekanan normal :
demensia, ataksia, dan inkontinensia urin. PTH harus ditentukan baik dengan
kriteria radiologis maupun neurologis, karena setiap kelainan harus ada untuk
menegakkan diagnosis. PTH sangat berdampak pada morbiditas setelah TBI dan
dapat mengakibatkan meningkatkan mortalitas jika tidak dikenali dan diobati
(Pangilinan, 2013 ; Long, 2012).
II.
HIDROSEFALUS
A. Definisi Hidrosefalus
Hidrosefalus berasal dari kata hidro yang berarti air dan chepalon yang
berarti kepala. Hidrosefalus merupakan penumpukan cairan serebrospinal (CSS)
secara aktif yang menyebabkan dilatasi sistem ventrikel otak (De Jong, 2004).
Hidrosefalus adalah terjadinya pengumpulan cairan otak secara berlebihan di
dalam sistem ventrikel yang normal sehingga menyebabkan pelebaran sistem
ventrikel dan terjadi peninggian tekanan (Ashari, 2011).
B. Epidemiologi PTH
Onset PTH bervariasi dari 2 minggu hingga tahunan setelah TBI. Mazzini
dkk, menemukan bahwa 50% pasien dengan postacute phase severe TBI mengalami
PTH tapi hanya 11% yang membutuhkan pembedahan. Studi Kim dkk, mengikuti
789 pasien yang menderita TBI, didapatkan 129 pasien yang mengalami PTH
(16,3%). 64 pasien dengan PTH membutuhkan shunting. Jika PTH tidak dikenali
dan diobati, akan meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas pasien. Ras dan
jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap kejadian PTH. Peningkatan usia tampak
meningkatkan resiko kejadian PTH (Pangilinan, 2013).
Pemeriksaan CT Scan selama tiga bulan setelah cedera kepala, Gardeur
mendapatkan pembesaran ventrikuler pada 78% pasien. Dongen dan Braakman
20
melaporkan bukti atrofi serebral dari CT scan sebanyak 86% pada pasien yang
diamati satu hingga empat tahun setelah cedera kepala tertutup yang berakibat koma
paling tidak enam minggu. Levin mempelajari area ventrikel lateral pada CT Scan,
dan mendapatkan pembesaran pada 72% kasus (Saanin, 2010).
Penelitian Nor, dkk, menemukan bahwa >50% pasien PTH terjadi setelah
mengalami cedera otak berat dan 78% penyebab trauma ini adalah kecelakaan
kendaraan bermotor. Areal kaen dkk, menemukan bahwa 31,8% pasien yang
mengalami interhemispheric subdural hygroma pada CT ulangan akan berkembang
menjadi PTH ; 38,6% pasien dengan traumatic subarachnoid haemorrhage akan
berkembang menjadi PTH ; 40,9% pasien dengan perdarahan intraventrikel
berkembang menjadi PTH ; dan 45,5% pasien dengan fraktur basis kranii
berkembang menjadi PTH (Nor, et al., 2013).
C. Anatomi dan Fisiologi Normal
Sebagian besar (80 - 90%) CSS dihasilkan oleh pleksus khoroidalis pada
ventrikel lateralis sedangkan sisanya (10 - 20%) di ventrikel III, ventrikel IV, juga
melalui difusi pembuluh - pembuluh ependim dan piamater. Kecepatan
pembentukan CSS 0,3 - 0,4 cc / menit atau antara 0,2 - 0,5% volume total per menit
dan ada yang menyebut antara 14 - 38 cc / jam. Sekresi total CSS dalam 24 jam
adalah sekitar 500 - 600 cc, sedangkan jumlah total CSS adalah 150 cc, berarti
dalam 1 hari terjadi pertukaran atau pembaharuan dari CSS sebanyak 4 - 5 kali /
hari. Pada neonatus jumlah total CSS berkisar 20 - 50 cc dan akan meningkat sesuai
usia sampai mencapai 150 cc pada orang dewasa (Sri, 2006).
Setelah CSS diproduksi oleh pleksus khoroideus pada ventrikel lateralis,
kemudian mengalir ke ventrikel III melalui foramen Monro. Selanjutnya melalui
akuaduktus serebri (Sylvius) menuju ventrikel IV. Dari ventrikel IV sebagian besar
CSS dialirkan melalui foramen Luschka dan Magendie menuju ruang subarakhnoid,
setinggi medula oblongata dan hanya sebagian kecil CSS yang menuju kanalis
sentralis (Sri, 2006).
Dalam ruang subarakhnoid CSS selanjutnya menyebar ke segala arah untuk
mengisi ruang subarakhnoid, serebral maupun spinal. Kecepatan aliran CSS ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain tekanan CSS, tekanan dalam sinus
durameter dalam sistem vena kortikal dan tekanan pada vili arakhnoid (Sri, 2006).
21
Absorpsi CSS dilakukan oleh vili - vili arakhnoid yang jumlahnya sangat
banyak pada permukaan hemisferium serebri, basis serebri dan sekeliling radiks
nervi spinalis. Vili arakhnoid yang besar dikenal sebagai granulasi arakhnoid
pacchioni yang merupakan jonjot piaarakhnoid yang luas bersama lapisan dura yang
menipis dan menonjol ke dalam ruang - ruang sinus sagitalis superior. Vili
arakhnoid terdiri dari anyaman - anyaman yang berupa saluran. Anyaman ini
bekerja sebagai katup yang memungkinkan adanya aliran CSS yaitu dari ruang
subarakhnoid menuju ke dalam aliran darah vena pada sinus sagitalis superior.
Apabila tekanan CSS melebihi tekanan vena maka katup akan membuka dan
mengalirkan CSS ke sinus. Akan tetapi apabila tekanan vena yang meningkat maka
vili arakhnoid akan mengalami kompresi dan katup akan menutup. Perlu diketahui
bahwa kemampuan vili - vili arakhnoid mengabsorpsi CSS adalah 2 - 4 kali lebih
besar dari produksi CSS normal (Sri, 2006).
Gambar 1.
Sirkulasi CSS
Pada orang dewasa, berikut adalah keadaan yang ditemui pada PTH
(Pangilinan, 2013) :
1. Tekanan intrakranial normal kira - kira 8 mmHg
2. Jumlah volume intrakranial sekitar 1700 mL.
22
Obstruktif
IVH
Hematoma fossa posterior
Gliosis of aquaduct
Ventriculitiasis due to EVD
Komunikan
SAH
Post craniectomy
Meningitis
SAH
23
hidrosefalus
yang
mengakibatkan
peningkatan
PTH mungkin tampil sebagai NPH klasik, dengan demensia, ataksia, dan
inkontinensia urin. Namun perubahan tingkat kesadaran dan bahkan koma mungkin
terjadi sebagai bagian dari sindroma. Karena cedera kepala berat sering berakibat
disfungsi neurologis luas yang berat, gambaran tersebut mungkin sulit untuk
dipisahkan dari akibat cedera otak pada fase akuta. Pemantauan TIK serta CT Scan
serial berguna pada keadaan ini. Pada fase pemulihan yang lebih kronik, perburukan
tingkat kesadaran, penurunan kapasitas fungsional, atau semua gambaran NPH
harus dianggap sebagai pertanda. Manifestasi tidak khas, seperti masalah emosi,
respon ekstensor bilateral, kejang, dan spastisitas tungkai juga pernah dilaporkan
(Saanin, 2010).
Pemeriksaan Fisik pada PTH
a. Pemeriksaan neurologis lengkap harus dilakukan dan diulang untuk menilai
perubahan dari waktu ke waktu.
b. PTH dapat menunjukkan gejala - gejala peningkatan tekanan intrakranial seperti
edema papil, defisit neurologis fokal, atau koma.
c. Berdasarkan lokasi penyebab obstruksi dibagi menjadi komunikan dan
nonkomunikan. Umumnya, PTH muncul sebagai hidrosefalus komunikans
dengan temuan berikut: a) Papil edema, akibat peningkatan tekanan intrakranial
dan transmisi melalui ruang subarakhnoid, b) Perubahan kognitif, termasuk
penurunan memori, penurunan atensi dan iritabilitas (Pangilinan, 2013).
F. Prosedur Diagnostik
Selain dari gejala - gejala klinik, keluhan pasien maupun dari hasil
pemeriksaan fisik dan psikis, untuk keperluan diagnostik hidrosefalus dilakukan
pemeriksaan - pemeriksaan tertentu berdasarkan tipenya :
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap untuk mengevaluasi infeksi dan anemia.
b. Kultur dan analisis urin untuk mengevaluasi infeksi traktus urinarius.
c. Profil metabolik mengevaluasi ketidaknormalan elektrolit, termasuk
cerebral salt wasting, hipoglikemia / hiperglikemia dan ensefalopati
(uremik atau hepatik).
d. TSH, fT4 untuk mengevaluasi hipotiroid atau hipertiroid.
26
yang
paling
sering
digunakan.
CT
scan
kepala
dapat
Gambaran
ini
yang
membedakan
hidrosefalus
dengan
menentukan
hidrosefalus :
a. Tampilan tanduk frontal ventrikel lateral yang distensi;
b. Pembesaran tanduk temporal dan ventrikel ketiga;
c. Sulsi normal atau tak ada; dan
d. Bila ada, pembesaran sisterna basal dan ventrikel keempat (Saanin, 2010).
3. MRI
MRI merupakan pemeriksaan terpilih untuk meneliti penyebab
anatomis yang mendasari hidrosefalus. Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan
gambaran anatomis otak dan lesi intrakranial (tumor, vaskuler) dengan lebih
baik. Aliran cepat yang melewati aquaduktus Sylvii dapat dideteksi sebagai
27
penurunan signal atau flow void dalam aquaduktus Sylvii pada pasien
hidrosefalus karenan penurunan komplians dinding ventrikel III selama sistol
(Ashari, 2011 ; Pangilinan, 2013 ; Long, 2012).
PTH mungkin muncul sebagai NPH klasik, pada MRI didapatkan
gambaran sebagai berikut :
a. Pembesaran ventrikel yang tidak sesuai dengan atrofi sulkal, seperti yang
ditunjukkan pada gambar di bawah ini.
b. Hipersensitivitas periventrikular sangat prominen / mencolok sesuai
dengan aliran CSS transependimal CSS. Juga ditunjukkan pada gambar di
bawah ini
c. Periventricular edema
d. Aqueductal / fourth ventricular flow void (Dalvi, 2013).
4. Radionuclide Cisternography
Radioiodinated serum albumin (RISA) diinjeksikan ke dalam ruang
subarakhnoid melalui pungsi lumbal (LP) yang normalnya dapat dideteksi di
dalam cisterna magna, cisterna basalis dan ruang subarakhnoid subtentorial
dalam waktu 6 jam, dengan sedikit akumulasi di dalam sistem ventrikel. Pada
NPH, RISA terakumulasi di dalam sistem ventrikel dengan keterlambatan
difusi periserebral (Pangilinan, 2013).
G. Tatalaksana
Sebelum pengobatan PTH, kondisi seperti infeksi, anemia, hipoksia,
gangguan kejang, uremia, dan ensefalopati harus disingkirkan atau ditangani. Jika
dicurigai adanya PTH, evaluasi bedah saraf yang cepat sangat dianjurkan. Prinsip
pengobatan pasien dengan hidrosefalus tergantung atas dua hal yakni ada atau
tidaknya fasilitas bedah saraf di rumah sakit tempat pasien dirawat dan gawat atau
tidaknya pasien. Pengobatan PTH relative sederhana. VP shunt adalah prosedur
pilihan pada kasus hidrosefalus obstruktif. Pada hidrosefalus komunikan, pungsi
lumbal berulang atau lumboperitoneal shunt memberikan hasil yang cukup bagus
(Mahapatra, 2012 ;Pangilinan, 2013 ; Sri, 2006 ; Rokhamm, 2004).
1. Terapi Medikamentosa
Terapi medikamentosa dapat dicoba pada pasien yang tidak gawat,
terutama pada pusat - pusat kesehatan dimana sarana bedah saraf tidak ada.
Tidak terdapat terapi medis yang dapat mengobati hidrosefalus secara efektif.
Pengelolaan hidrosefalus adalah mengurangi tekanan intrakranial (TIK) dan
mengkoreksi faktor - faktor yang menyebabkan peningkatan TIK. Elevasi
kepala dapat membantu mengurangi tekanan, serta untuk menjaga tekanan
darah darah normal. Obat dengan efek osmotik (seperti manitol) atau yang
mengurangi produksi CSS (seperti acetazolamide) mungkin memiliki nilai
yang terbatas. Oleh karena itu, obat - obatan mungkin tidak memainkan peran
utama dalam pengobatan PTH. Bila tidak ada perubahan setelah satu minggu
pasien diprogramkan untuk operasi. Obat - obatan yang sering dipakai untuk
terapi ini adalah (Ashari, 2011 ; Pangilinan, 2013 ; Sri, 2006) :
a. Asetazolamid
29
intermiten
yang
memungkinkan
absorpsi
CSS
oleh
vili
30
31
dan tinggi merujuk pada opening pressure sekitar 5, 10, dan 15 cm H2O.
Aliran cairan otak baru akan terjadi jika tekanan intraventrikular melebihi
opening pressure dari katup alat shunt. Flow - regulating valves mampu
mempertahankan aliran cairan otak yang tetap walaupun terjadi perubahan
tekanan dan posisi. Siphon - resisting valves digunakan untuk mencegah
pengaliran berlebih dari cairan serebrospinal akibat pengaruh gravitasi.
Pilihan penggunaan jenis katup tergantung pengalaman dari ahli bedah
saraf. Sampai saat ini belum terdapat data tentang keunggulan satu jenis
katup dibanding yang lain (Ashari, 2011).
Selang distal dapat diletakkan di rongga peritoneal, atrium kanan
jantung, rongga pleura, dan kandung kemih. Tempat yang paling sering
digunakan adalah rongga peritoneum karena ruangannya yang besar
memungkinkan memasukkan selang peritoneal yang panjang sehingga
dapat mengikuti pertumbuhan tubuh dengan kebutuhan revisi yang rendah,
memiliki kemampuan absorbsi yang efisien, mudah diakses dan jika terjadi
infeksi biasanya lebih terlokalisir (Ashari, 2011).
Hasil dari pemasangan shunt ini dapat terlihat pada minggu
-minggu pertama setelah pemasangan. Sedangkan pada NPH, hasil akhir
dari pemasangan mungkin akan terlihat dalam waktu yang lebih lama
(Long, 2012).
Tipe - tipe shunt serebral antara lain :
Ventrikulo - peritoneal shunt (VP shunt). Prosedur yang paling sering
dilakukan dalam terapi hidrosefalus. Cairan dialirkan dari ventrikel
lateral atau ventrikel III menuju rongga peritoneum dan diserap
menuju aliran darah.
Ventriculo - atrial shunt (VA shunt). Shunt ini mengalirkan CSS
menuju atrium jantung dan langsung bergabung dengan aliran darah.
Shunt ini lebih sering digunakan pada anak dengan hidrosefalus
obstruktif.
Ventriculo-cisternal shunt (Torkildsen procedure,) digunakan pada
obstruksi aliran dari ventrikel menuju rongga subarakhnoid. Sehingga
33
merupakan
masalah
utama
yang
menyebabkan
H. Prognosis
Outcome pengobatan PTH tergantung dari beberapa faktor. Beberapa faktor
yang penting adalah usia pasien, penyebab hidrosefalus, derajat dilatasi ventrikel,
kerusakan parenkim dan kondisi pasien. Studi Tribl dan Oder menemukan bahwa
outcome juga ditentukan oleh status pasien sebelum operasi. Pasien dalam kondisi
koma, neonatus, dengan IVH dan pasien dengan kerusakan otak yang luas,
prognosisnya buruk. Dengan diagnosis dan waktu pelaksanaan prosedur shunting
yang tepat akan memberikan hasil yang baik, yaitu sekitar 40-70% kasus Pasien
biasanya mengalami perbaikan setelah dilakukan shunt untuk PTH. (Mahapatra,
2012 ; Pangilinan, 2013).
I. Komplikasi
Kemungkinan komplikasi PTH antara lain :
a. Herniasi serebral
b. Resiko aspirasi akibat disfagia
c. Peningkatan resiko terjatuh
d. Kelainan penglihatan, pendengaran atau kepribadian tergantung hemisfer yang
terlibat (Pangilinan, 2013).
PEMBAHASAN
Pasien laki-laki, usia 15 tahun, datang dengan keluhan nyeri kepala. Selain nyeri
kepala, pasien juga mengeluhkan penglihatan kabur dan penglihatan ganda pada mata sebelah
kanan. Keluhan - keluhan ini muncul setelah pasien mengalami kecelakaan lalu lintas.
Pemeriksaan fisik didapatkan strabismus esotropia OD (+), visus ODS > 3/60 (bedrest). Pada
pemeriksaan CT Scan kepala berseri ditemukan hidrosefalus. Pasien didiagnosis mengalami
PTH, dilakukan terapi medikamentosa namun tidak berespon dan akhirnya dilakukan operasi
shunting.
35
PTH dapat muncul dengan berbagai cara, sebagian besar gejala muncul dalam dua
minggu sejak cedera. Hal ini sesuai dengan pasien, dimana keluhan yang dirasakan tersebut
muncul beberapa hari setelah kecelakaan.
Manifestasi PTH sering tidak jelas, PTH dapat menunjukkan gejala - gejala
peningkatan tekanan intrakranial seperti edema papil, defisit neurologis fokal, atau koma.
Pada pasien ini ditemukan nyeri kepala yang mungkin disebabkan karena trauma kepalanya
sendiri atau karena tekanan intrakranial yang meningkat. Pada pasien ini juga ditemukan
penglihatan kabur, yang mungkin disebabkan oleh adanya edema papil. Untuk mengetahui
adanya tidaknya edema papil harus dilakukan pemeriksaan funduskupi.
Penglihatan kabur dan ganda juga dapat disebabkan oleh adanya strabismus.
Strabismus adalah penyimpangan posisi bola mata yang terjadi oleh karena syarat - syarat
penglihatan binokuler yang tidak terpenuhi. Syarat - syarat penglihatan binokuler normal
yaitu faal masing - masing mata baik, kerja sama dan faal masing - masing otot luar bola
mata baik, dan kemampuan fusi normal. Pada pasien ini, kemungkinan penyebab terjadinya
yaitu faal mata yang kurang baik dan kerja sama / faal otot - otot luar bola mata yang
terganggu, dalam hal ini, pasien mengalami gangguan pada muskulus rektus inferior OD
yang dipersarafi oleh nervus kranialis III. Apabila semua cabang - cabang nervus III terlibat,
maka lesi diduga mengenai nervus III sendiri (lesi perifer nervus III). Apabila satu otot saja
yang terlibat, maka lesi tersebut biasanya lebih sering disebabkan oleh suatu proses di daerah
nukleus. Nukleus okulomotorius saraf otak somato dan viseromotorik. Nukleus ini terletak di
bawah mesensefalon di bawah akuaduktus Sylvii dan terdiri dari beberapa kelompok neuron.
Kelompok - kelompok tertentu sel neuron pada nukleus ini melayani otot ekstrinsik tertentu
pula. Bagaimana mekanisme hidrosefalus dapat menyebabkan kelainan hanya pada kelompok
tertentu sel neuron pada nukleus okulomotorius pada pasien ini masih belum dapat dijelaskan
secara teori.
Diagnosis hidrosefalus posttrauma dapat ditegakkan dari hasil anamnesis pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan CT Scan kepala yang berulang menunjukkan adanya pembesaran
sistem ventrikel yang progresif. Pada pasien ini, pemeriksaan CT kepala kepala yang pertama
menunjukkan adanya bekas perdarahan pada temporal kanan dan obstruksi hidrosefalus
ringan setinggi akuaduktus sylvii, kemudian dilakukan terapi medikamentosa. Selanjutnya,
dilakukan CT Scan kepala evaluasi namun masih terdapat hidrosefalus komunikan (tidak ada
perbaikan).
Penatalaksanaan pada pasien ini ditujukan untuk menangani hidrosefalusnya. Obat
-obatan mungkin tidak memainkan peran utama dalam pengobatan PTH. Bila tidak ada
36
perubahan setelah satu minggu pasien diprogramkan untuk operasi. Pada pasien ini dilakukan
operasi VP Shunt. VP Shunt dilakukan karena kita berada pada pusat kesehatan yang
memiliki sarana bedah saraf dan VP Shunt merupakan tatalaksana standar untuk hidrosefalus.
Setelah operasi VP shunt, dilakukan evaluasi ulang pada pasien dan didapatkan
perbaikan klinis berupa menghilangnya nyeri kepala, dan penglihatan kabur dan ganda
namun mengeluhkan nyeri perut di atas simpisis pubis. Kemungkinan penyebab nyeri perut
ini adalah adanya penumpukan CSS di rongga peritoneum yang dialirkan dari sistem
ventrikel. Pada VP shunt, penyulit terjadi pada 40 - 50% kasus, terutama berupa infeksi,
obstruksi, atau dislokasi. Namun, untuk memastikan penyebab nyeri perut ini, diperlukan
pemeriksaan lanjutan berupa pemeriksaan darah lengkap, urine lengkap dan USG abdomen
untuk menyingkirkan kemungkinan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Aldrich, E. Francois, Lawrence S. Chin, Arthur J. DiPatri, and Howard M. Eisenberg.
"Hydrocephalus." In Sabiston Textbook of Surgery, edited by Courtney M. Townsend Jr.
16th ed. Philadelphia: W. B. Saunders Company, 2001.
Anurugo, 2008, Neurologi Update : Cedera Kepala Traumatik, RSUP Dr. Kariadi Semarang.
Ashari, S., 2011. Hidrosefalus. Dalam : W. Sadewo, ed. 2011. Sinopsis Ilmu Bedah Saraf.
Jakarta : CV Sagung Seto. Hal 167-176.
37
ATLS, 2004, Cedera kepala. Dalam : Advanced Trauma Life Support for Doctors. Ikatan Ahli
Bedah Indonesia, penerjemah. Edisi 7. Komisi trauma IKABI ; 2004. 168 - 193.
Dalvi et al, 2013, Normal Pressure Hydrocephalus. Access on 13th Nov. 2013. [Availaable at :
http://emedicine.medscape.com/article/1150924-workup]
De Jong, W. 2004, Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : EGC. Hal 809 - 810
Ghazali Malueka, 2007, Radiologi Diagnostik, Yogyakarta : Pustaka Cendekia.
Harsono, 2008. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Haryo, Ariwibowo et all, 2008, Art of Therapy : Sub Ilmu Bedah. Yogyakarta : Pustaka
Cendekia Press of Yogyakarta
Israr dkk, 2009, Cedera Kepala dan Trauma Kruris, Riau, Faculty of Medicine-University of
Riau.
Japardi, Iskandar, 2004, Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif. Sumatra Utara :
USU Press.
Lombardo. M.C., 2006, Cedera Sistem Saraf Pusat, dalam Price & Wilson, Patofisiologi :
Konsep Klinis Proses - Proses Penyakit, Jakarta : EGC
Long, D.F., 2012, Diagnosis & Management of Late Intracranial Complications of TBI, in
Nathan, et.al. Brain Injury Medicine : Principle and Practice, 2nd edition, pp. 583 - 592.
Mahapatra & Kumar, 2012, Post Traumatic Hydrocephalus, dalam Traumatic brain Injury,
pp, 222-226
Mardjono & Sidharta, 2008, Neurologi Klinis Dasar, Cetakan ke-12, Jakarta : Dian Rakyat
Nor, et al, 2013, Letter to Editor : Post Traumatic Hydrocephalus, dalam Malays J Med Sci.
Jan-Mac 2013 ; 20(1) : 95-96. Malaysia : Penerbit Universiti Sains Malaysia, Access on
24th Oct. 2013. [Available at : www.mjms.usm.my]
Pangilinan et al. 2013. Posttraumatic Hydrocephalus. Access on 13th Nov. 2013. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/326411-0verview ]
PERDOSSI, 2006, Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal,
Jakarta : PERDOSSI.
Rohkamm, R. 2004. Color Atlas of Neurology. Thieme. New York. USA. P 29
Roper A.H, Brown R.H , 2005. Adams and Victors Principles Of Neurology. 8th Ed. New
York : McGraw Hill companies
Saanin, Syariful. 2010. Sekuele Cedera Kepala. dalam Ilmu Bedah Saraf. FK UNAND.
Access
on
26th
Oct.
2013.
[Availaable
at
www.angeelfire.com/nc/neurosurgery/sekuele.html]
38
39