Anda di halaman 1dari 31

BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA
3.1

Ruang Intersitial Paru


Kapiler darah dipisahkan dengan gas alveolar oleh beberapa lapisan

anatomi, diantaranya adalah endotel kapiler, endotel membrane basement, ruang


interstitial, epitel membrane basement, dan epitel alveolus (tipe 1 pneumosit).
Membrane basement epitel dan endotel dipisahkan oleh ruang yang mengandung
jaringan ikat fibrosa, ikat elastic, fibroblast, dan makrofag. Tidak ada sistem
limfatik di ruang interstitial pada septum alveoli, kapiler limfatik pertama muncul
di ruang interstitial mengelilingi bronkiolus terminal, arteri, dan vena kecil
(Chruchill Livingstone, 2010).

Gambar. Alran Cairan Interstitial


Diantara sel endotel dan epitel, terdapat lubang atau penghubung yang
memungkinkan aliran cairan dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial, dan
akhirnya dari ruang interstitial menuju ruang alveolar. Penghubung antara sel
endotel biasanya lebih besar dan disebut loose, sedangkan penghubung antara sel

epitel relative lebih kecil yang disebut tight. Untuk mengetahui bagaimana cairan
interstitial paru diproduksi, disimpan, dan dibersihkan, maka kita harus
mengetahui konsepnya. Konsep pertama adalah ruang interstitial paru merupakan
terusan dari ruangan di antara jaringan ikat perianteriolar dan peribronchial yang
berlanjut menjadi ruang interstitial di antara membrane basement endotel dan
epitel di alveolus; kedua, tekanan negatifnya progresif dari distal ke proksimal
(Chruchill Livingstone, 2010).
Tidak ada sistem limfatik di ruang interstitial di septum alveolus. Kapiler
limfatik mulai ada di ruang interstitial yang mengelilingi terminal bronkiolus dan
arteri kecil. Cairan interstitial normalnya dibuang dari ruang interstitial alveolar ke
saluran limfa oleh mekanisme gradient tekanan, yang disebabkan karena tekanan
ruang interstitial yang lebih negative di daerah arteri besar dan brokus. Aliran
cairan interstitial yang menuju hilum dibantu oleh perbedaan tekanan negative,
katub limfatik, dan pulsasi arteri pulmonalis. Cairan tersebut akhirnya diteruskan
dari limfonodi ke sirkulasi vena sentral. Peningkatan tekanan vena sentral
menurunkan aliran limfa di paru-paru, yang dapat menjadi faktor edema
interstitial (Chruchill Livingstone, 2010).
3.2

Definisi
Edema paru adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya cairan

ekstravaskular yang patologis pada jaringan parenkim paru. Edema paru


disebabkan karena akumulasi cairan di paru-paru yang dapat disebabkan oleh
tekanan intrvaskular yang tinggi (edema paru kardiak) atau karena peningkatan
permeabilitas membran kapiler (edema paru non kardiak) yang mengakibatkan
terjadinya ekstravasasi cairan. (Sjaharudin Harun & Sally Aman Nasution,2006).
3.2

Epidemiologi
Menurut penelitian pada tahun 1994, secara keseluruhan terdapat 74,4 juta

penderita edema paru di dunia. Di Inggris sekitar 2,1 juta penderita edema paru
yang perlu pengobatan dan pengawasan secara komprehensif. Di Amerika serikat
diperkirakan 5,5 juta penduduk menderita Edema. Di Jerman 6 juta penduduk.
Edema paru akut dapat terjadi karena penyakit jantung maupun penyakit di luar
jantung ( edema paru kardiogenik dan non kardiogenik ). Angka kematian edema

paru akut karena infark miokard akut mencapai 38 57% sedangkan karena gagal
jantung mencapai 30% (Nendrastuti, 2010).
3.3

Patofisiologi
Edema, pada umumnya, berarti pembengkakan. Ini secara khas terjadi

ketika cairan dari bagian dalam pembuluh darah merembes kedalam jaringan
sekelilingnya, menyebabkan pembengkakan. Ini dapat terjadi karena terlalu
banyak tekanan dalam pembuluh darah atau tidak ada cukup protein dalam aliran
darah untuk menahan cairan dalam plasma (bagian dari darah yang tidak
mengandung sel-sel darah).
Edema paru adalah istilah yang digunakan ketika edema terjadi di paru.
Area yang ada diluar pembuluh darah kapiler paru ditempati oleh kantongkantong udara yang sangat kecil yang disebut alveoli. Ini adalah tempat dimana
oksigen dari udara diambil oleh darah yang melaluinya, dan karbondioksida
dalam darah dikeluarkan kedalam alveoli untuk dihembuskan keluar. Alveoli
normalnya mempunyai dinding yang sangat tipis yang mengizinkan pertukaran
udara ini, dan cairan biasanya dijauhkan dari alveoli kecuali dinding-dinding ini
kehilangan integritasnya. Edema paru terjadi ketika alveoli dipenuhi dengan
cairan yang merembes keluar dari pembuluh darah dalam paru sebagai ganti
udara. Ini dapat menyebabkan persoalan pertukaran gas (oksigen dan
karbondioksida), berakibat pada kesulitan bernapas dan oksigenasi darah yang
buruk. Adakalanya, ini dapat dirujuk sebagai air di dalam paru ketika
menggambarkan kondisi ini pada pasien.
Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru dapat terjadi pada
Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri
(stenosis mitral); Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan
fungsi ventrikel kiri; Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena
peningkatan tekanan arteri pulmonalis. Penurunan tekanan onkotik plasma pada
hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal, hati, atau penyakit nutrisi.
Peningkatan tekanan negatif interstisial pada pengambilan terlalu cepat
pneumotorak atau efusi pleura (unilateral); Tekanan pleura yang sangat negatif
oleh karena obstruksi saluran napas akut bersamaan dengan peningkatan volume
akhir ekspirasi (asma).

3.4

Klasifikasi
Edema paru dapat disebabkan oleh banyak faktor yang berbeda. Ia

dapat dihubungkan dengan gagal jantung, disebut cardiogenic pulmonary


edema (edema paru kardiak), atau dihubungkan pada sebab-sebab lain, dirujuk
sebagai non-cardiogenic pulmonary edema (edema paru nonkardiak).
Diagnosis Banding Edema Paru Kardiak dan Nonkardiak
Edema paru kardiak
Riwayat Penyakit :
Penyakit Jantung Akut
Pemeriksaan Klinik :
Akral dingin
S3 gallop/Kardiomegali
Distensi vena jugularis
Ronki basah

Edema paru nonkardiak


Penyakit Dasar di luar Jantung
Akral hangat
Pulsasi nadi meningkat
Tidak terdengar gallop
Tidak ada distensi vena jugularis
Ronki kering

Tes Laboratorium :
EKG : Iskhemia/infark
Ro : distribusi edema perihiler
Enzim jantung mungkin meningkat
Tekanan Kapiler Paru > 18mmHg
Intrapulmonary shunting : meningkat

EKG : biasanya normal


Ro : distribusi edema perifer
Enzim jantung biasanya normal
Tekanan Kapiler Paru < 18mmHg
Intrapulmonary shunting : sangat

ringan
Cairan edema/protein serum < 0,5

meningkat
Cairan edema/serum protein > 0,7

Klasifikasi Edema Paru


Disertai perubahan tekanan kapiler
Kardiak
Gagal ventrikel kiri
Penyakit katup mitral
Penyakit pada vena pulmonal
Penyakit oklusi vena primer
Mediastinitis sklerotik kronik
Aliran vena pulmonal yang abnormal
Stenosis atau atresi vena congenital
Neurogenik
Trauma kepala
Tekanan intrakranial meningkat
Tekanan kapiler normal
Ketoasidosis diabetik
Feokromositoma
Pankreatitis
Obstruksi saluran nafas

Penurunan tekanan onkotik kapiler


Secara patofisiologi penyakit dasar penyebab edema paru kardiak dibagi
menjadi 3 kelompok : Peningkatan afterload (Pressure overload) : terjadi
beban yang berlebihan terhadap ventrikel pada saat sistolik. Contohnya ialah
hipertensi dan stenosis aorta; Peningkatan preload (Volume overload) : terjadi
beban yang berlebihan saat diastolik. Contohnya ialah insufisiensi mitral,
insufisiensi aorta, dan penyakit jantung dengan left-to-right shunt (ventricular
septal defect); Gangguan kontraksi otot jantung primer : pada infark miokard
akut jaringan otot yang sehat berkurang, sedangkan pada kardiomiopati
kongestif terdapat gangguan kontraksi otot jantung secara umum.
Penyebab edema paru non kardiak secara patofisiologi dibagi menjadi :
Peningkatan permeabilitas kapiler paru (ARDS) : tenggelam, inhalasi bahan
kimia, dan trauma berat; Peningkatan tekanan kapiler paru : pada sindrom
vena kava superior, pemberian cairan berlebih, dan transfusi darah; penurunan
tekanan onkotik plasma : sindrom nefrotik dan malnutrisi.
Klasifikasi edema paru berdasarkan mekanisme pencetus
1. Ketidak-seimbangan Starling Forces:
Peningkatan tekanan kapiler paru:
Edema paru akan terjadi hanya apabila tekanan kapiler pulmonal
meningkat sampai melebihi tekanan osmotic koloid plasma, yang
biasanya berkisar 28 mmHg pada manusia. Sedangkan nilai normal
dari tekanan vena pulmonalis adalah antara 8-12 mmHg, yang
merupakan batas aman dari mulai terjadinya edema paru tersebut.
Etiologi dari keadaan ini antara lain:
a) Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi
ventrikel kiri (stenosis mitral).
b) Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan
fungsi ventrikel kiri.
c) Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena
peningkatan

tekanan

arteria

pulmonalis (over

perfusion

pulmonary edema).
Penurunan tekanan onkotik plasma.
Hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal, hati, proteinlosing enteropaday, penyakit dermatologi atau penyakit nutrisi.Tetapi

hipoalbuminemia saja tidak menimbulkan edema paru, diperlukan


juga peningkatan tekanan kapiler paru. Peningkatan tekanan yang
sedikit saja pada hipoalbuminemia akan menyebabkan edema paru.
Peningkatan tekanan negatif intersisial:
Edema paru dapat terjadi akibat perpindahan yang cepat dari udara
pleural, contoh yangs erring menjadi etiologi adalah:
a) Pengambilan terlalu cepat pneumotorak atau efusi pleura
(unilateral).
b) Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena obstruksi
saluran napas akut bersamaan dengan peningkatan endexpiratory volume (asma).
Peningkatan tekanan onkotik intersisial.
Sampai sekarang belum ada contoh secara percobaan maupun klinik.
2. Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (Adult Respiratory
Distress Syndrome)
Keadaan ini merupakan akibat langsung dari kerusakan pembatas antara
kapiler dan alveolar.Cukup banyak kondisi medis maupun surgical
tertentu yang berhubungan dengan edema paru akibat kerusakan
pembatas ini daripada akibat ketidakseimbangan Starling Force.
Pneumonia (bakteri, virus, parasit).
Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, NO).
Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin bakteri, alloxan,
alpha-naphthyl thiourea).
Aspirasi asam lambung.
Pneumonitis radiasi akut.
Bahan vasoaktif endogen (histamin, kinin).
Disseminated Intravascular Coagulation.
Imunologi: pneumonitis hipersensitif,

obat

leukoagglutinin.
Shock Lung oleh karena trauma di luar toraks.
Pankreatitis Perdarahan Akut.
3. Insufisiensi Limfatik:
Post Lung Transplant.
Lymphangitic Carcinomatosis.
Fibrosing Lymphangitis (silicosis).
4. Tak diketahui/tak jelas
High Altitude Pulmonary Edema.
Neurogenic Pulmonary Edema.
Narcotic overdose.
Pulmonary embolism

nitrofurantoin,

Eclampsia
Post cardioversion
Post Anesthesia
Post Cardiopulmonary Bypass
(Sjaharudin Harun & Sally Aman Nasution,2006)
3.5

Manifestasi Klinik Edema Paru Kardiogenik


Manifestasi dapat dicari dari keluhan, tanda fisik dan perubahan

radiografi (foto toraks).Gambaran dapat dibagi 3 stadium, meskipun


kenyataannya secara klinik sukar dideteksi dini.Secara patofisiologi edema
paru kardiogenik ditandai dengan transudasi cairan dengan kandungan protein
yang rendah ke paru, akibat terjadinya peningkatan tekanan di atrium kiri dan
sebagian kapiler paru.Transudasi ini terjadi tanpa perubahan pada permeabilitas
atau integritas dari membran alveoli-kapiler, dan hasil akhir yang terjadi adalah
penurunan kemampuan difusi, hipoksemia dan sesak nafas.Seringkali keadaan
ini berlangsung dengan derajat yang berbeda-beda.
Stadium 1. Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen
akan memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan
kapasitas difusi gas CO. Keluhan pada stadium ini mungkin hanya
berupa adanya sesak napas saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak
jelas menemukan kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi pada
saat inspirasi karena terbukanya saluran napas yang tertutup pada
saat inspirasi.
Stadium 2. Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh
darah paru menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur
dan septa interlobularis menebal (garis Kerley B). Adanya
penumpukan cairan di jaringan kendor intersisial, akan lebih
memperkecil saluran napas kecil, terutama di daerah basal oleh
karena

pengaruh

gravitasi.

Mungkin

pula

terjadi

refleks

bronkhokonstriksi.Sering terdapat takhipnea. Meskipun hal ini


merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takhipnea
juga membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan
cairan intersisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya
terdapat sedikit perubahan saja.

Stadium 3. Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat
terganggu, terjadi hipoksemia dan hipokapnia. Penderita nampak
sesak sekali dengan batuk berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan
volume paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi right-to-left
intrapulmonary shunt. Penderita biasanya menderita hipokapnia,
tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute
respiratory acidemia. Pada keadaan ini morphin hams digunakan
dengan hati-hati.Edema Paru yang terjadi setelah Infark Miokard
Akut biasanya akibat hipertensi kapiler paru.Namun percobaan
pada anjing yang dilakukan ligasi arteriakoronaria, terjadi edema
paru walaupun tekanan kapiler paru normal, yang dapat dicegah
dengan pemberian indomethacin sebelumnya. Diperkirakan bahwa
dengan menghambat cyclooxygenase atau cyclic phosphodiesterase
akan mengurangi edema' paru sekunder akibat peningkatan
permeabilitas alveolar-kapiler; pada manusia masih memerlukan
penelitian lebih lanjut. Kadangkadang penderita dengan Infark
Miokard Akut dan edema paru, tekanan kapiler pasak parunya
normal; hal ini mungkin disebabkan lambatnya pembersihan cairan
edema secara radiografimeskipun tekanan kapiler paru sudah turun
atau kemungkinan lain pada beberapa penderita terjadi peningkatan
permeabilitas alveolar-kapiler paru sekunder oleh karena adanya isi
sekuncup yang rendah seperti pada cardiogenic shock lung.
(Sjaharudin Harun & Sally Aman Nasution,2006)
3.6

Diagnosis Edema Paru Kardiogenik dan Non kardiogenik


Tampilan klinis edema paru kardiogenik dan nonkardiogenik mempunyai

beberapa kemiripan.
1.

Anamnesis
Anamnesis dapat menjadi petunjuk ke arah kausa edema paru, misalnya

adanya riwayat sakit jantung, riwayat adanya gejala yang sesuai dengan gagal
jantung kronis. Edema paru akut kardiak, kejadiannya sangat cepat dan terjadi
hipertensi pada kapiler paru secara ekstrim. Keadaan ini merupakan pengalaman
yang menakutkan bagi pasien karena mereka batuk-batuk dan seperti seseorang
yang akan tenggelam (Harun dan Sally, 2009; Maria, 2010).

2.

Pemeriksaan fisik
Terdapat takipnea, ortopnea (manifestasi lanjutan). Takikardia, hipotensi

atau tekanan darah bisa meningkat. Pasien biasanya dalam posisi duduk agar
dapat mempergunakan otot-otot bantu nafas dengan lebih baik saat respirasi atau
sedikit membungkuk ke depan, akan terlihat retraksi inspirasi pada sela interkostal
dan fossa supraklavikula yang menunjukkan tekanan negatif intrapleural yang
besar dibutuhkan pada saat inspirasi, batuk dengan sputum yang berwarna
kemerahan (pink frothy sputum) serta JVP meningkat. Pada pemeriksaan paru
akan terdengar ronki basah setengah lapangan paru atau lebih dan terdapat
wheezing. Pemeriksaan jantung dapat ditemukan gallop, bunyi jantung 3 dan 4.
Terdapat juga edema perifer, akral dingin dengan sianosis (Harun dan Sally, 2009;
Maria, 2010).
3.

Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang relevan diperlukan untuk mengkaji

etiologi edema paru. Pemeriksaan tersebut diantaranya pemeriksaan hematologi /


darah rutin, fungsi ginjal, elektrolit, kadar protein, urinalisa, analisa gas darah,
enzim jantung (CK-MB, troponin I) dan Brain Natriuretic Peptide(BNP). BNP
dan prekursornya Pro BNP dapat digunakan sebagai rapid test untuk menilai
edema paru kardiogenik pada kondisi gawat darurat. Kadar BNP plasma
berhubungan dengan pulmonary artery occlusion pressure, left ventricular enddiastolic pressure dan left ventricular ejection fraction. Khususnya pada pasien
gagal jantung, kadar pro BNP sebesar 100pg/ml akurat sebagai prediktor gagal
jantung pada pasien dengan efusi pleura dengan sensitifitas 91% dan spesifisitas
93% (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010). Richard dkk melaporkan bahwa nilai
BNP dan Pro BNP berkorelasi dengan LV filling Pressure (Pasquate et al, 2004).
Pemeriksaan BNP ini menjadi salah satu test diagnosis rutin untuk menegakkan
gagal jantung kronis berdasarkan pedoman diagnosis dan terapi gagal jantung
kronik Eropa dan Amerika. Bukti penelitian menunjukkan bahwa Pro BNP/BNP
memiliki nilai prediksi negatif dalam menyingkirkan gagal jantung dari penyakit
lainnya (AHA, 2009).
4.

Ekokardiografi

Pemeriksaan ini merupakan gold standard untuk mendeteksi disfungsi


ventrikel kiri. Ekokardiografi dapat mengevalusi fungsi miokard dan fungsi katup
sehingga dapat dipakai dalam mendiagnosis penyebab edema paru (Maria, 2010).
Pemeriksaan EKG bisa normal atau seringkali didapatkan tanda-tanda
iskemia atau infark miokard akut dengan edema paru. Pasien dengan krisis
hipertensi gambaran ekg biasanya menunjukkan gambaran hipertrofi ventrikel
kiri. Pasien dengan edema paru kardiogenik tetapi yang non iskemik biasanya
menunjukkan gambaran gelombang T negatif yang lebar dengan QT memanjang
yang khas, dimana akan membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil dan
menghilang dalam 1 minggu. Penyebab dari non iskemik ini belum diketahui
tetapi beberapa keadaan yang dikatakan dapat menjadi penyebab, antara lain:
iskemia sub-endokardial yang berhubungan dengan peningkatan tekanan pada
dinding, peningkatan akut dari tonus simpatis kardiak atau peningkatan elektrikal
akibat perubahan metabolik atau ketokolamin (Harun dan Sally, 2009).

Kateterisasi pulmonal
Pengukuran tekanan baji pulmonal (Pulmonary artery occlusion

pressure / PAOP) dianggap sebagai pemeriksaan gold standard untuk menentukan


penyebab edema paru akut. Lorraine dkk mengusulkan suatu algoritma
pendekatan klinis untuk membedakan kedua jenis edema tersebut (Gambar 2.7).
Disamping itu, ada sekitar 10% pasien dengan edema paru akut dengan penyebab
multipel. Sebagai contoh, pasien syok sepsis dengan ALI, dapat mengalami
kelebihan cairan karena resusitasi yang berlebihan. Begitu juga sebaliknya, pasien
dengan gagal jantung kongesti dapat mengalami ALI karena pneumonia
(Lorraine et al, 2005; Maria, 2010).

5.

Radiologis
Pada foto thorax menunjukkan jantung membesar, hilus yang melebar,

pedikel vaskuler dan vena azygos yang melebar serta sebagai tambahan adanya
garis kerley A, B dan C akibat edema interstisial atau alveolar (Cremers et al,
2010; Harun dan Sally, 2009). Lebar pedikel vaskuler < 60 mm pada foto
thorax Postero-Anterior terlihat pada 90% foto thorax normal dan lebar pedikel

vaskuler > 85 mm ditemukan 80% pada kasus edema paru. Sedangkan vena
azygos dengan diameter > 7 mm dicurigai adanya kelainan dan dengan diameter >
10mm sudah pasti terdapat kelainan, namun pada posisi foto thorax terlentang
dikatakan abnormal jika diameternya > 15 mm. Peningkatan diameter vena
azygos > 3 mm jika dibandingkan dengan foto thorax sebelumnya terkesan
menggambarkan adanya overload cairan (Koga dan Fujimoto, 2009).
Garis kerley A merupakan garis linear panjang yang membentang dari
perifer menuju hilus yang disebabkan oleh distensi saluran anastomose antara
limfatik perifer dengan sentral. Garis kerley B terlihat sebagai garis pendek
dengan arah horizontal 1-2 cm yang terletak dekat sudut kostofrenikus yang
menggambarkan adanya edema septum interlobular. Garis kerley C berupa garis
pendek, bercabang pada lobus inferior namun perlu pengalaman untuk melihatnya
karena terlihat hampir sama dengan pembuluh darah (Koga dan Fujimoto, 2009).
Gambaran foto thorax dapat dipakai untuk membedakan edema paru
kardiogenik dan edema paru non kardiogenik. Walaupun tetap ada keterbatasan
yaitu antara lain bahwa edema tidak akan tampak secara radiologi sampai jumlah
air di paru meningkat 30%. Beberapa masalah tehnik juga dapat mengurangi
sensitivitas dan spesifisitas rontgent paru, seperti rotasi, inspirasi, ventilator, posisi
pasien dan posisi film (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010).

Gambaran Radiologis
Terdapat gambaran radiologis yang penting dalam edema paru. Gambaran
tersebut adalah penebalan septa interlobar yang biasa disebut septal lines atau
kerley lines, peribronchial cuffing, cairan di fisura, dan efusi pleura. Septa

interlobar biasanya tidak terlihat pada rontgen dada. Septa ini akan terlihat jika
terdapat akumulasi cairan di daerah tersebut.

Gambar. Anatomi Interstitium Paru


Terdapat beberapa Kerley lines, kerley lines A, garis ini akan muncul ketika
jaringan ikat di sekitar bronchoarterial sheath di paru berisi cairan. Panjannya
sekitar 6 cm dari hilus dan tidak sampai ke perifer paru. Kerley lines B, garis ini
biasanya disebut sebagai septal lines, garis ini akan muncul biasanya di basis paru
atau di sekitar sudut costofrenikus. Panjang garis horizontal ini 1-2 cm dengan
tebal hanya 1 mm. Kerley lines C merupakan Kerley lines B en face, merupakan
opasitas reticular pada basis paru. Kerley lines D, merupakan garis yang sama
dengan Kerley lines B, dan akan terlihat hanya pada lateral chest radiograph.
Peribronchial cuffing

adalah penebalan dinding bronkus dan terlihat seperti

ringlike density. Peribronchial cuffing terjadi ketika terdapatnnya akumulasi


cairan di jaringan ikat sekitar dinding bronkus. Peribronchial cuffing bentuknya
ringerlike, kecil, multiple, seperti donat.

Gambar. Kerley lines A (panah putih), Kerley lines B (kepala panah putih),
Kerley lines C (kepala panah hitam), Peribronchial cuffing, pleural effusion.
Edema paru dapat diklasifikasikan menjadi edema peningkatan tekanan
hidrostatik, edema permeabilitas dengan kerusakan alveolus difus, edema
permeabilitas tanpa kerusakan alveolus difus, edema campuran. Edema paru
memiliki beberapa manifestasi radiologis yang bermacam-macam. Edema paru
post-obstruktif memiliki gambaran khas pada radiologi berupa septal line (Kerley
B lines), peribronchial cuffing, dan pada kasus yang lebih berat terdapat central
alveolar edema (perivascular hazzines). Edema paru dengan emboli kronis paru
bermanifestasi sebagai area dengan garis demarkasi yang tajam atau sharply
demarcated area dengan peningkatan ground-glass attenuation. Edema paru
dengan penyakit oklusi vena bermanifestasi dengan arteri paru yang besar, edema
interstitial difus dengan kerley lines, peribronchial cuffing, dan dilatasi ventrikel.
Pada stadium 1 edema paru pada pasien yang hampir tenggelam bermanifestasi
dengan kerley lines, peribronchial cuffing, dan patchy, konsolidari perihilar
alveolus; sedangkan pada stadium 2 dan 3 manifestasi radiologisnya tidak
spesifik. Edema paru pada ketinggian bermanifestasi sebagai edema interstitial
sentral yang berhubungan dengan peribronchial cuffing, dan konsolidasi patchy
rongga udara. Pada edema paru neurogenik manifestasinya bilateral dengan
konsolidasi homogen ruang udara yang hampir ditemukan pada 50% kasus.
Reperfusi edema paru digambarkan dengan konsolidasi heterogen ruang udara
yang predominan pada bagian distal menuju kanal pembuluh darah. Post reduksi
edema paru digambarkan dengan konsolidasi ipsilateral paru, sedangkan edema

paru dikarenakan emboli udara digambarkan dengan terstitial edema diikuti


bilateral opasitas pada alveolus yang predominan di basis paru.

Edema karena Peningkatan Tekanan Hidrostatik


Terdapat dua stadium patofisiologi dan radiologi pada perkembangan

tekanan edema, yaitu stadium edema interstiial dan edema alveolar. Kedua
stadium ini identik pada gagal jantung kiri dan kelebihan cairan intravaskuler.
Keduanya sering dijumpai pada pasien dengan edema tekanan di ICU maupun
IGD. Intensitas dan durasi dari kedua stadium ini tergantung dari peningkatan
tekanan yang terjadi, yaitu tergantung dari rasio tekanan hidrostatik dan onkotik.

Gambar. Gambaran foto thorax edema peningkatan tekanan hidrostatik karena


kelebihan cairan karena gagal ginjal dan gagal jantung. Panah hitam pada gambar
b menunjukkan adanya pelebaran progresif pembuluh darah lobus (peribronchial
cuffing), panah putih gambar c menunjukkan adanya bilateral kerley lines, dan
juga terdapat area noduler dengan peningkatan opasitas. Kelebihan cairan dapat
dikonfirmasi dari pertambahan ukuran dari vena zygos.

Gambar 11. Gambaran CT-scan dengan edema peningkatan tekanan hidrostatik.


Didapatkan adanya peribronchial cuffing (panah hitam) pada bagian anterior paru
kiri. Kedua paru terlihat adanya ground-glass area.
Edema interstitial terjadi saat tekanan arteri transmural diantara 15-25
mmHg, yang nantinya akan terlihat pada gambaran radiologis dengan
mengaburkan

gambaran

pembuluh

darah

subsegmental

dan

segmental,

pembesaran dari ruang peribronkovaskular, munculnya kerley lines, dan dapat


muncul efusi subpleura. Jika cairan ekstravaskuler terus menerus bertambah,
maka edema akan bermigrasi ke cenral dan akan mengaburkan secara prograsif
pembuluh darah di lobus dan berlanjut pada pembuluh darah di hilus. Pada poin
ini, radiolusens pada paru akan berkurang, sehingga indentifikasi pembuluh darah
kecil akan sulit dilakukan. Pada area perihilar, peribronchial cuffing dapat
muncul. Jika tekanan melebihi 25 mmHg, cairan akan mengalir dari kompartmen
ekstravaskuler yang kapasitasnya sudah maksimal menuju ke stadium kedua, yaitu
edema alveolus. Gambaran radiologis pada stadium kedua ini adalah tiny nodular
atau acinar area dengan peningkatan opasitas yang dapat bergabung dan
membentuk suatu konsolidasi frank atau frank consolidation.

Gambar. Hubungan antara Tekanan Kapiler Paru dengan Temuan Radiologi.

Bat Wing Edema


Bat wing edema mengarah pada distribusi edema alveolar di bagian sentral

dan dengan distribusi non-gravitasional. Gambaran radiologis ini biasanya


terdapat pada 10% kasus edema paru, dan secara keseluruhan terjadi pada kasus
perkembangan cepat gagal jantung berat seperti pada insufisiensi katub mitral
akut (yang berhubungan dengan rupturnya otot papilar, infark miokard masif, dan
destruksi katub seperti pada endokarditis septik) atau pada kasus gagal ginjal.
Pada kasus bat wing edema, korteks paru bersih dari cairan alveolar ataupun
interstitial. Kondisi patologis ini berkembang secara cepat yang ditandai secara
radiologis dengan infiltrat alveolus, dan gambaran tipikal edem pulmo jarang
ditemukan.

Gambar. Bat wing edema dengan kelebihan cairan dan gagal jantung. Pada
gambaran foto thorax dada (3.a) dan gambaran CT-scan (3.b) menunjukkan
adanya wing alveolar edema yang distribusinya sentral dan sparing dari konteks
paru.
Beberapa teori diungkapkan dalam patofisiologis bat wing edema. Salah
satu teorinya menyebutkan peningkatan konduktifitas hidraulik. Hal ini
menyebabkan mukopolisakarida mengisi ruang sitokeleton perivaskular dan
menghambat aliran cairan. Namun, dengan meningkatnya hidrasi cairan, matrix
ekstraseluler ini memberikan jalan agar cairan dapat mengalir ke central.
Penemuan lainnya mengungkapkan efek pumping dari siklus pernafasan, yang
lebih besar berada di kortex paru, yang menyebabkan banyak cairan dialirkan ke
hilus. Penemuan lainnya mengungkapakn kontraktilitas septum alveolus menjadi
faktor pendukung untuk mengalirkan cairan interstitial ke hilus.

Gambar. Bat wing edema dengan overload cairan dari gangguan ginjal.
Gambaran radiologis menunjukkan adanya unusual recumbent bat wing
pulmonary edema yang berhubungan dengan efusi pleura sebelah kanan.
4.3. Distribusi Asimetris dari Edema Peningkatan Tekanan
Penyebab tersering terjadinya distribusi asimetris dari edema tekanan
adalah perubahan morfologi dari parenkim paru pada kasus penyakit paru
obstruksi kronis. Selain itu, pada kasus gagal jantung, emfisema pada apices atau
gambaran destruksi dan fibrosis pada bagian paru bagian atas dan tengah (sering
ditemukan pada kasus end-stage tuberculosis, sarcoidosis, atau asbestosis) akan
terlihat pada kasus edema paru yang predominan pada bagian yang kurang
berpengaruh pada proses penyakit ini.
Faktor hemodinamik mungkin juga berpengaruh pada distribusi asimeteris
edema paru ini. Edema paru yang berhubungan dengan regurgitasi mitral
menunjukkan bagian lobus atas kanan yang predominan dikarenakan gangguan
aliran yang disebabkan oleh refluks langsung pada vena paru bagian atas kanan.
Distribusi asimetris ini terjadi pada 9% dewasa dan 22% pada anak-anak dengan
regurgitasi mitral derajat 3 dan 4.

Gambar 15. Edema paru asimetris pada dengan chronic obstructive pulmonary
disease. Pada gambar 5.a yang merupakan parenkim paru dan gambar 5.b yang
merupakan gambaran mediastinum menunjukkan edema dengan gambaran diffuse
ground-glass attentuation dengan gradien anteroposterior. Cairan yang memenuhi
bula subpleura paling jelas terlihat pada gambar 5.b di bagian kiri bawah.

Gambar 16. Edema paru asimetris pada pasien laki-laki 70 tahun, dengan endstage fibrosis dan emfisema bulosa dikarenakan asbestosis dengan gagal jantung.
Pada gambaran radiografi didapatkan infiltrat edema paru predominan pada basis
paru karena aliran darah paru mengalir ke bagian ini dari bula lobus bagian atas.
Fibrosis interstitial yang disebabkan karena asbestosis dapat menjadi tempat
masuknya edema ke ruang alveolus.

Gambar 17. Edema paru dengan serangan asma akut pada anak-anak berumur 3
tahun. Gambaran radiografi ditemukan adanya edema paru yang berhubungan
dengan peribronchial cuffing, ill-defined vessels, pembesaran hilus, dan
peningkatan opasitas area alveolar.
Akhirnya, posisi pasien juga menentukan distribusi cairan intra dan
extravaskuler ini. Pada pasien dengan posisi supine, CT scan axial selalu
menunjukkan gradien anteroposterior dengan distribusi asimetris dari edema yang
disebabkan karena operasi prolong atau imobilisasi. Distribusi ini juga dapat
didapatkan pada pasien dengan gagal jantung kongestive dan pasien dengan
overghidrasi.
4.4. Edema Paru dengan Asma Akut
Kondisi edema paru pada asma akut sangat jarang terjadi, kondisi ini
berhubungan dengan gas yang terperangkap menyebabkan tekanan intraalveolar
menjadi positif, hal ini menyebabkan menurunnya gradien tekanan hidrostatik.
Pada saat inspirasi tidal, anak-anak dengan episode serangan asma akut
menunjukkan hasil tingginya tekanan negatif puncak inspirasi (sekitar 29 cm air),
dibandingkan dengan pada anak yang sehat (sekitar 7 cm air). Selanjutnya,
didapatkan pula tekanan pleura yang menurun saat respirasi tidal, mencapai -25.5
cm air, dibandingkan dengan anak yang sehat dengan penurunan tekanan sekitar
-5 cm air. Tekanan negatif pleura saat serangan asma akut ini membantu untuk
pelebaran saluran pernafasan. Obstruksi saluran nafas pada kasus asma

menyebabkan akumulasi cairan ekstravaskular. Dari salah satu pusat penelitian,


didapatkan bahwa kasus ini sangat jarang, dan hanya ada satu kasus selama lima
tahun. Gambaran radiologi pada kasus ini adalah adanya Kerley lines,
peribronchial cuffing, dan peningkatan opasitas area alveolus.
4.5. Edema Paru Postobstruksi
Edema paru postobstruksi terjadi setelah obstruksi saluran pernafasan atas
dan membentuk edema hidrostatik. Edema paru ini sering terjadi karena
masuknya benda asing, laringospasme, epiglotitis, atau strangulation. Jika
obstruksi terjadi obstruksi saat inspirasi, hal ini mengakibatkan tekanan negatif
intratorax meningkat dan membuat venous return meningkat pula. Edema terjadi
karena penurunan tekanan negatif pleura secara tiba-tiba, yang menyebabkan
gradien tekanan hidrostatik antara intravaskular dan ekstravaskular meningkat.
Jika obstruksi terjadi saat inspirasi dan ekspirasi, maka tekanan positiv intratorax
akan meningkat dan dapat membuat terjadinya edem.

Gambar. Edema paru postobstruksi pada laringospasme postekstubasi. Gambaran


CT scan didapatkan adanya edema paru dengan peribronchial cuffing yang
predominan di parenkim paru sentral. Kortex paru tidak didapatkan adanya edema
alveolar ataupun Kerley lines.
Pada gambaran radiografi dada dan CT, edema paru postobstruksi ditandai
dengan garis septal atau septal lines, peribronchial cuffing, dan pada kasus yang
berat akan didapatkan central alveolar edema. Gambaran ini hampir sama dengan
gambaran pada edema karena tekanan hidrostatik. Ukuran jantung biasanya
normal, yang mengindikasikan tekanan edema tidak berhubungan dengan

overhidrasi. Resolusi biasanya didapatkan pada hari ke 2 sampai ke 3 setelah


terapi yang cepat dan sesuai.
4.6. Edema Paru pada Penyakit Oklusi Vena
Penyakit oklusi vena paru merupakan kondisi letal yang berhubungan
dengan menyempit atau oklusi nya vena atau venula kecil paru yang dikarenakan
trombus. Penyakit ini tersebar menyebar pada vena kecil paru, dan tidak
melibatkan vena besar. Oklusi vena menyebabkan resistensi pembuluh darah
perifer meningkat sehingga menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik
vaskuler. Gambaran radiografi dan CT menunnjukkan hasil pembesaran arteri
paru, difus edema interstitial dengan Kerley lines, peribronchial cuffing, dan
dilatasi ventrikel kanan.

Gambar. Gambaran foto thorax edema paru yang berhubungan dengan penyakit
oklusi vena pada pasien wanita 28 tahun dengan dispneu akut.

Gambar. Gambaran angiogram didapatkan arteri paru perifer paten, kecil, dan
elongasi. Tekanan kapiler paru normal, namun tekanan arteri paru meningkat 54
mmHg.

Gambar. High resolusi CT scan, didapatkan penebalan septum inter dan


intralobular, peribronchial cuffing, efusi pleura minimal, dan residual diffuse
ground-glass attenuatin. Oklusi vena paru didiagnosis dengan biopsi paru.
4.8. Near Drowning Pulmonary Edema
Near drowning didefinisikan sebagai asfiksiasi yang diakibatkan karena
inhalasi air dan masih bertahan hidup sampai minimal 24 jam setelahnya. Terdapat
tiga stadium pada kasus ini. Stadium pertama adalah laringospasme akut yang
diakibatkan karena inhalasi air yang sedikit (dry drowning). Hal ini akan
bermanifestasi hampir sama dengan edema paru postobstruktif. Gambaran
radiologis yang dapat terlihat adalah kerley lines, peribronchial cuffing, patchy,
konsolidasi alveolar perihilar. Gambaran tersebut akan hilang setelah 24 sampai
48 jam dilakukan terapi. Pada stadium kedua, masih terdapat laringospasme pada
korban, dan sebagian air akan ditelan ke perut. Pada stadium ketiga, 10-15%
pasien masih menampakkan gejala dry drowning dikarenakan laringospasme yang
persisten, sedangkan sisanya sekitar 90% pasien, laringospasme yang terjadi akan
mulai berelaksasi karena hipoksia dan aspirasi air dalam jumlah yang cukup
banyak. Pada kasus seperti ini, lesi di paru tidak lagi berhubungan dengan edema
tekanan, namun lebih karena hipoksia yang dapat menyebabkan pengeluaran
sitokin, dan akhirnya terjadi edema permeabilitas. Gambaran radiologis pada
stadium dua dan tiga biasanya tidak spesifik. Bisa didapatkan gambaran illdefiined lessions dan konsolidasi ruang udara lobus. Besarnya lesi tergantung dari
volume air yang dihirup dan durasi dari hipoksia, maupun jenis air yang terhirup
(air garam atau air segar).

Gambar. Gambaran edema paru pada kondisi tenggelam. Terdapat pembesaran


jantung, diffuse confluent alveolar patterns of pulmonary edema, dan
peribronchial cuffing. Gambaran cortikal paru bersih dari edema interstitial, hal
ini mengindikasikan edema berasal dari kerusakan alveolar langsung dari inhalasi
air atau edema karena laringospasme dibandingkan dengan edema karena
hipoksia.
4.9. Edema Permeabilitas dengan DAD (diffuse alveolar damage)
Acute respiratory distress syndrome atau ARDS merupakan istilah yang
digunakan untuk akut atau subakut, lesi difus paru yang dapat menyebabkan
hipoksemia berat. Lesi ini berhubungan dengan beberapa faktor persipitasi dan
tidak berhubungan dengan insufisiensi jantung. Lebih lanjut, ARDS terjadi tanpa
peningkatan tekanan kapiler paru. Kerusakan difus alveolus merupakan hasil dari
beberapa faktor persipitasi, atau terjadi karena kondisi sekunder sistemik.
Kerusakan langsung sel biasanya terjadi karena agen kimia, agen infeksi, cairan
lambung, dan gas toksin yang dapat menyebabkan kerusakan berat pada sel.
Sedangkan kerusakan tidak langsung atau secondary damage terjadi karena
kaskade biokimia sistemik yang dapat menimbulkan agen oksidatif, mediator
inflamasi, dan enzim yang dapat merupakan endotel, contoh penyebabnya adalah
sepsis, pankreatitis, trauma berat, dan transfusi darah.
Terdapat tiga stadium pada ARDS. Stadium pertama mempunyai
karakteristik edema interstitial dengan konten protein yang tinggi diikuti dengan

edema alveolar dan pembentukan membran hialin. Edema cepat pada ruang
alveolar menyebabkan Kerley lines tidak terlihat pada ARDS. Stadium kedua
adalah stadium proliferasi yang berhubungan dengan eksudat fibrosa. Stadium
ketiga adalah stadium fibrotik, yang mempunyai karakteristik dengan jaringan
parut dan formasi dari subpleural dan intrapulmonary cysts. Pada stadium
pertama gambaran radiologis yang dapat terlihat adalah adanya edema interstitial
diikuti dengan opasitas pada daerah perihilar. Selanjutnya dapat terlihat gambaran
konsolidasi dengan air bronkogram jika edema sudah berlanjut ke edema alveolar.
Tidak didapatkan adanya kardiomegali, apical vascular redistribution, dan Kerley
lines. Pada stadium proliferasi akan terlihat gambaran ground glass yang
opasitasnya meningkat. Pada stadium fibrotik, akan didapatkan adanya lesi
subpleural dan intrapulmonary cystic, hal ini dapat menjadi pneumotoraks.

Gambar. ARDS yang berhubungan dengan DAD dengan bronkoaspirasi saat


dilakukan intubasi trakea. Gambar a, b, c menunjukkan adanya konsolidasi pada
anteroposterior gradien. Hiperlusensi pada area perifer bilateral menunjukkan
adanya udara yang terperangkap. Tidak terdapat Kerley lines pada gambaran di
atas. Gambar d, e menunjukkan hasil CT scan 1 hari setelah pasien diposisikan
secara prone position selama 12 jam menunjukkan hasil konsolidasi yang
berkurang pada bagian posterior, dan juga efusi pleura yang mulai berkurang.

Gambar. Gambaran atipikal ARDS yang disebabkan karena shyok septik.


Gambaran CT scan pasien tersebut menunjukkan bilateral konoslidasi yang
predominan pada bagian anterior.

Gambar. Edema paru yang diakibatkan karena heroin. Gambaran thorax a


menunjukkan adanya edema paru difus masif. Sedangkan pada gambar thorax b
menunjukkan gambaran 27 jam setelah dirawat menunjukkan resolusi edema
paru. Perubahan edema ini mungkin dapat disebabkan karena intubasi dan
ventilasi tekanan positif pada pasien.
4.10. Edema Permeabilitas tanpa DAD
Edema permeabilitas tanpa DAD berarti tidak adanya kerusakan sel pada
kondisi patologis. Beberapa kondisi edema permeabilitas tanpa DAD adalah
edema paru dikarenakan heroin, edema paru yang mengikuti sitokin, dan highaltitude pulmonary edema.
4.10.1. Edema Paru dikarenakan Heroin
Edema paru yang terjadi secara langsung berhubungan dengan kondisi
overdosis dari opiat, heroin, atau cocain. Edema paru terjadi pada 15% kasus
overdosis heroin dengan mortalitas 10%. Overdosis heroin dipercaya akan
menyebabkan depresi dari pusat pernafasan yang akan menimbulkan hipoksia dan
asidosis, yang keduanya dapat menyebabkan edema permeabilitas tanpa DAD.
Kondisi absen-nya DAD dapat diduga karena resolusi yang terjadi secara cepat.
Gambaran radiologi dari edema paru dikarenakan heroin tidak dapat dibedakan
dengan gambaran radiologi dari edema permeabilitas tanpa DAD lainnya.
Manifestasinya berupa patchy, bilateral konsolidasi, ill-defined vessels, dan
peribrochial cuffing. Sering terjadi komplikasi berupa insufisiensi ginjal dan
aspirasi cairan lambung pada kondisi ini.

Gambar. Edema paru yang diakibatkan karena heroin. Gambar a merupakan foto
thorax dengan edema paru kanan dengan posisi right lateral decubitus. Gambar b
merupakan gambar thorax setelah 28 jam, yang menunjukkan resolusi cepat
infiltrat pada paru.
4.10.2. Edema Paru yang Mengikuti Sitokin
Interleukin atau IL-2 merupakan glukoprotein memiliki aktivitas
tumoricidal yang berguna pada pasien dengan metastase melanoma dan metastase
adenocarcinoma ginjal. Sitokin lain yang mungkin berpengaruh adalah TNF
(tumor necrosis factor). Baik IL-2 maupun TNF dapat menimbulkan gangguan
permeabilitas tanpa DAD yang akhirnya dapat menimbulkan edema paru. Sitokin
ini lebih sering menyerang pada sel endotel kapiler. Gambaran radiologis pada
keadaan ini adalah bilateral simetris interstitial edema dengan penebalan septal
lines, dan tidak didapatkannya adanya edema alveolar. Selain itu peribronchial
cuffing juga didapatkan pada 75% kasus.

Gambar. Edema paru yang mengikuti sitokin dengan melanoma maligna.


Gambaran radiologis didapatkan bilateral difus edema paru dengan peribronchial
cuffing (tanda panah hitam), pelebaran hilus, ill-defined vessels, dan efusi pleura.
Tidak ada daerah alveolus yang opasitasnya meningkat.

3.7

Penatalaksanaan Edema Paru

Anda mungkin juga menyukai