PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Udang merupakan hasi laut dengan komposisi nutrisi yang baik, hal ini
menjadikan udang mudah terkontaminasi oleh mikroba pembusuk. Komponen
pangan yang mempengaruhi pola pertumbuhan mikroba pada bahan pangan,
termasuk udang, adalah suhu penyimpanan, keasaman, aktivitas air (Aw), nutrisi
pangan (kadar karbohidarat, asam amino, protein, dan asam lemak), potensial
oksidasi-reduksi bahan, dan laju pertumbuhan mikrobial spesifik yang dimiliki
masing-masing spesies. Selain itu, pola pertumbuhan juga dipengaruhi secara
tidak langsung oleh perlakuan penyimpanan. Udang yang disimpan dalam
kemasan yang baik akan mengurangi potensi pertumbuhan mikroorganisme di
dalamnya.
Keberadaan mikroba pada udang dapat mengakibatkan kerusakan serta
penurunan mutu udang. Kerusakan visual yang tampak pada udang setelah
terkontaminasi mikroba pembusuk antara lain mata udang tampak suram,
tenggelam, berwarna putih serta tidak bercahaya. Tekstur dagingnya lunak,
lembek dan berbau busuk, serta kulit udang menjadi berwarna merah kecoklatan
(diskolorasi), pucat, berlendir, kendur mudah terkelupas dan terdapat bercakbercak hitam (black spot) pada kulit udang yang disebabkan oleh kegiatan
enzimatik (Buckle 1995).
Untuk memperpanjang umur simpan dan menghambat pertumbuhan
mikroba perusak, udang dapat diolah, salah satunya dengan fermentasi.
Fermentasi adalah suatu proses penguraian senyawa-senyawa yang lebih
sederhana oleh enzim atau fermen yang berasal dari tubuh ikan itu sendiri atau
dari mikroorganisme dan berlangsung dalam kondisi lingkungan yang terkontrol.
Proses penguraian ini dapat berlangsung dengan atau tanpa aktivitas
mikroorganisme, terutama dari golongan jamur dan ragi (Afrianto dan Liviawaty,
2005). Terasi adalah salah satu produk hasil fermentasi udang yang hanya
mengalami perlakuan penggaraman (tanpa diikuti dengan penambahan warna),
kemudian dibiarkan beberapa saat agar terjadi proses fermentasi. Dalam
pembuatan terasi, proses fermentasi dapat berlangsung karena adanya aktivitas
enzim yang berasal dari tubuh udang itu sendiri.
2. Tujuan
1. Untuk mengetahui karakteristik pada udang
2. Untuk mengetahui proses pengawetan pada udang
3. Untuk mengetahui pola pertumbuhan mikroba pada udang
4. Untuk mengetahui kontaminan dan mikroba pembusuk pada udang
5. Untuk mengetahui mikroba patogen yang menyerang udang
6. Untuk mengetahui cara mengontro mikroba pada udang
7. Untuk mengetahui cara menganalisis mikroba pada udang
3. Rumusan Masalah
1. Bagaimana karakteristik pada udang?
2. Bagaimana proses pengawetan pada udang dan produknya?
3. Bagaimana pola pertumbuhan mikroba pada udang?
4. Apa saja kontaminan dan mikroba pembusuk pada udang?
Karakteristik udang
Udang memiliki kadar air (70-80%) dan aktivitas air yang tinggi, sehingga
memungkinkan terjadinya kondensasi pada permukaan (kulit) dan merupakan
media yang baik untuk pertumbuhan kapang dan bakteri. Udang juga merupakan
bahan padat protein yang menjadi sumber nutrisi bagi mikroorganisme maka
lebih cepat rusak/busuk. Kerusakan yang umum terjadi pada produk udang segar
adalah terjadinya kontaminasi bakteri pembusuk dan kerusakan/cacat udang
akibat penanganan/handling. Cacat pada udang akan mempercepat pembusukan
karena kontaminasi (Saksono 1986).
2. Proses pengawetan pada udang dan produknya
Fermentasi adalah suatu proses penguraian senyawa-senyawa yang lebih
sederhana oleh enzim atau fermen yang berasal dari tubuh ikan itu sendiri atau
dari mikroorganisme dan berlangsung dalam kondisi lingkungan yang terkontrol.
Proses penguraian ini dapat berlangsung dengan atau tanpa aktivitas
mikroorganisme, terutama dari golongan jamur dan ragi (Afrianto dan Liviawaty,
2005). Terasi adalah salah satu produk hasil fermentasi udang yang hanya
mengalami perlakuan penggaraman (tanpa diikuti dengan penambahan warna),
kemudian dibiarkan beberapa saat agar terjadi proses fermentasi. Dalam
pembuatan terasi, proses fermentasi dapat berlangsung karena adanya aktivitas
enzim yang berasal dari tubuh udang tu sendiri.
Prinsip dari fermentasi ikan atau udang adalah fermentasi di dalam larutan
garam atau dengan penambahan garam kristal sehingga terbentuk flavour yang
masih enak atau falvour yang menyerupai daging. Proses dari fermentasi dari
substrat tidak diharapkan sempurna dalam pembuatan bagoong (terasi) karena
produk harus mengandung protein yang terhidrolisis atau tanap hidrolisis. Salah
satu perubahan selama fermentasi yang diharapkan adalah liquid fiksi. Setelah
proses penggaraman, cairan dari dalam ikan (udang) terekstrak keluar.
Kandungan nitrogen pada cairan mula-mula rendah tapi setelah disimpan
beberapa hari, yaituselama proses fermentasi menyebabkan terjadinya proses
hidrolisis protein sehingga kandungan nitrogen terlarut naik. Bila menggunakan
garam yang kurang murni meneyababkan pengerasan jaringan, sehingga
memperlambat penetrasi garam kedalam jaringan ikat (udang). Dengan
menggunakan garam murni bakteri halofil dapat tumbuh baik sehingga terbentuk
flavour yang enak. Pada suhu fermentasi yang tinggi 55C dapat mempercepat
proses hidrolisis. Tetapi setelah 1 minggu fermentasi kandungan protein terlarut
dalam cairab lebih tinggi bila fermentasinya dilakukan pada suhu 45C . Suhu
optimal untuk fermentasi adalah 1-2 minggu (Rahayu, 1992).
Penggaraman pada pembuatan terasi mempunyai peranan utama sebagai
pemberi rasa asin dan sebagai pengawet. Selain itu penggaraman dalam jumlah
yang optimum sangat baik untuk merangsang pertumbuhan bakteri asam laktat.
Pada fermentasi asam laktat ini terjadi proses otoksis atau enzimatis dengan
berwarna putih serta tidak bercahaya. Tekstur dagingnya lunak, lembek dan
berbau busuk, serta kulit udang menjadi berwarna merah kecoklatan (diskolorasi),
pucat, berlendir, kendur mudah terkelupas dan terdapat bercak-bercak hitam
(black spot) pada kulit udang yang disebabkan oleh kegiatan enzimatik (Buckle
1995).
Kemunduran mutu udang dimulai setelah udang mati dan terus berlangsung
tanpa kontrol hingga udang terdekomposisi sempurna. Penurunan mutu pada
udang akan semakin cepat apabila udang tersebut di simpan pada suhu kamar.
Penyimpanan udang selama enam jam pasca panen pada suhu kamar akan
menurunkan nilai organoleptik dari udang secara perlahan, kemudian setelah 8
jam pasca panen penurunan mutunya akan meningkat. Kerusakan ini ditandai
dengan mulai terlihat noda-noda hitam (melanosis) di kepala dan di bagian antar
segmen yang kemudian akan meluas ke punggung hingga sirip ekor. Bau
ammoniak dan bau busuk juga akan sangat jelas tercium (Mulyanty 1990).
Munculnya noda hitam pada udang sangat dipengaruhi oleh adanya radiasi sinar
matahari terhadap kulit udang dan kegiatan enzimatik. Sedangkan bau busuk
dipengaruhi oleh adanya degradasi protein dan aktivitas mikrobiologi.
Udang merupakan hewan paling banyak dikonsumsi manusia. Udang
mengandung 1 juta populasi mikroba per gram udang. Kontaminasi bakteri terjadi
selama proses sebelum pembekuan.Proses fermentasi maupun pengeringan
pada produk olahan udang mempunyai tujuan untuk mengurangi ataupun
menghilangkan bakteri patogen. Namun proses pemasakan yang tidak sempurna
saat mengolah udang, dapat berakibat masih tertinggalnya bakteri Vibrio cholera
(Prajitno 2007)
5. Mikroba patogen pada udang
Mikroba patogen adalah mikroba yang dapat menimbulkan penyakit bagi
manusia, sedangkan mikroba pembusuk dapat menyebabkan kerusakan atau
pembusukan pada bahan pangannya (Rahayu 2012). Mikroba patogen yang
dapat mengontaminasi udang adalah Vibrio cholera (Vibrio ssp.) dan bakteri
Vibrio parahaemolyticus. Vibrio merupakan bakteri akuatik yang dapat ditemukan
di sungai, muara sungai, kolam, dan laut. Bakteri V. parahaemolyticus tahan
terhadap salinitas yang cukup tinggi sehingga pada udang, ikan, kerang, dan
pangan hasil laut lainnya dapat ditemukan apabila proses pemasakannya kurang
sempurna (Volk dan Wheeler 1990). Bakteri ini sudah ada sewaktu udang masih
hidup. Setelah udang mati, bakteri menggunakan daging udang tersebut untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi sehingga populasi bakteri segera bertambah dengan
cepat dan dapat mempercepat proses autolisis yang berdampak pada penurunan
mutu bahan pangan.
Bakteri Vibrio cholera hidup pada kulit udang. Udang yang terkontaminasi
dan terinfeksi bakteri Vibrio cholera menunjukkan gejala nekrosis, terlihat
menyala dalam gelap akibat pigmen dari bakteri (Rozi 2008), dan diketahui dapat
mati dalam waktu 2-5 hari (Spira et al. 1981). Bakteri tersebut pada manusia
menyebabkan terjadinya penyakit kolera atau vibriosis. Mekanisme patogenitas
dari bakteri ini melalui toksikoinfeksi, yaitu masuknya bakteri tersebut ke dalam
saluran pencernaan (usus) dan mengalami kolonisasi yang cukup pada dinding
usus, kemudian menghasilkan toksin ekstraselular yang bersifat virulen
(Benenson et al. 1964). Gejala penyakit akibat konsumsi pangan udang yang
terkontaminasi akan muncul 24 48 jam setelah konsumsi (Pengsuk et.al 2010).
Gejala tersebut berupa gastroenteritis dengan gejala sakit perut, diare (kotoran
berair dan mengandung darah), mual dan muntah, demam ringan, dan sakit
kepala selama 2 5 hari (Sudheesh et.al 2001).
6. Kontrol mikroba pada udang
Udang mudah rusak akibat kontaminasi mikroba yang disebabkan oleh
pengolahan dan penanganan yang kurang baik. Mikroba yang umumnya
mengontaminasi adalah Vibrio sp., Vibrio parahaemolitycus dan Vibrio cholerae.
Kontaminasi tersebut dapat dihindari dengan menjaga kebersihan dan sanitasi
seluruh permukaan yang kontak dengan pangan dan alat pengolah pangan
selama proses pengolahan (Budiyanto 2004).
Pertumbuhan mikroba dapat dicegah dengan sanitasi yang dapat
dilakukan secara fisik (pemanasan dan iradiasi); ataupun penggunaan bahan
kimia (hidrogen peroksida, klorin, ozon). Aplikasi suhu tinggi dapat menjadi cara
efektif untuk mereduksi jumlah mikroba pada udang dan produk olahannya selain
dengan perlakuan iradiasi (blansir, pasteurisasi, dan sterilisasi). Aplikasi suhu
rendah juga dapat dilakukan karena aktivitas mikroba mengalami penurunan di
atas suhu beku dan terhenti dibawah titik beku. Pembekuan akan menyebabkan
aktivitas air berkurang dan reaksi-reaksi kimia maupun enzimatis terhambat.
Bahan pengawet yang dapat digunakan untuk memperpanjang umur
simpan udang maupun olahannya antara lain biji kepayang dan buah picung,
karagenan, sulfit, sodium metabisulfit. Pengawetan berbagai produk perikanan
laut yang diasinkan termasuk terasi dapat diawetkan dengan penambahan
ekstrak air daun jambu biji dan daun sirih (Ariyani, dkk 2012). Mekanisme
pengawetannya dengan berperan sebagai antioksidan.
7. Analisis mikrobiologi pada udang
Keberadaan mikroba pada udang ini tentu saja akan mengkontaminasi
udang dan mengakibatkan kerusakan serta penurunan mutu udang baik secara
visual maupun tekstural (Buckle 1995). Metode yang dapat digunakan untuk
menghitung jumlah mikroba pada udang adalah dengan metode hitungan cawan
atau Colony Count Methods (CCM). Medium yang digunakan pada metode CCM
adalah medium agar yaitu Plate Count Agar (PCA) yang ditempatkan dalam
cawan petri.
Jumlah mikroba yang terdapat di udang pada metode CCM dapat
diketahui dengan menghitung jumlah mikroba yang tumbuh pada media agar
setelah diinkubasi pada suhu 30oC selama kurang lebih 2 hari (Rahayu 2012).
Metode CCM ini merupakan metode yang paling efektif untuk menghitung jumlah
mikroba pada udang, karena media PCA berisi nutrisi yang cukup sehingga
memungkinkan tumbuhnya baik bakteri, kapang, maupun khamir dan metode ini
dapat digunakan untuk menghitung jumlah mikroba pada permukaan udang dan
daging udang baik pada sampel beku maupun segar.
Persiapan penting yang harus dilakukan sebelum menganalisis jumlah
mikroba
pada
udang
adalah
pengambilan
sampel,
pengenceran,
pengolesan/penuangan pada medium, serta lama waktu dan suhu inkubasi.
Apabila jumlah mikroba yang akan dihitung berasal dari permukaan kulit atau
permukaan daging udang maka teknik pemindahan sampel dapat dilakukan
dengan Swabs (batang kayu steril yang ujungnya dibungkus dengan kapas steril)
atau adhesive tape (menggunakan adhesive label) kemudian dipindahkan ke
dalam cairan pengencer, sedangkan bila jumlah mikroba yang akan dihitung
berasal dari daging udang maka sampel daging dapat diblender terlebih dahulu
agar dapat dilakukan pengenceran. Pengenceran dilakukan secara bertahap
setelah sampel dicampurkan dalam larutan pengencer. Untuk udang dapat
digunakan pengencer umum yaitu 0,1% pepton ditambah 0,85% NaCl.
Pemindahan sampel ke dalam media dapat dengan metode cawan tuang atau
cawan permukaan (Rahayu 2012). Sedangkan untuk inkubasi dilakukan selama
kurang lebih 48 jam pada suhu 30-35oC
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Udang merupakan pangan hasil laut dengan kadar air dan protein tinggi.
Salah satu produk fermentasi udang yang sering dikonsumsi adalah terasi. Bakteri
yang berperan dalam proses ini adalah bakteri asam laktat. Keberadaan mikroba
pembusuk dapat mendekomposisikan dan menurunkan mutu udang. mikroba
tersebut didominasi oleh bakteri, yaitu Pseudomonas, Alcaligenes, Salmonella, E.
coli, Coliform, Staphylococcus aureus dan Listeria monocytogenes. Sedangkan
mikroba patogen yang dapat mengontaminasi udang adalah dari jenis Vibrio ssp,
yaitu bakteri Vibrio cholera dan Vibrio parahaemolyticus. melalui mekanisme
toksikoinfeksi (intoksikasi). Pada produk olahan udang, dapat dilakukan
pengendalian untuk memperpanjang umur simpan produk, diantaranya melalui
pengaplikasian suhu, pengawetan, dan sanitasi. Metode efektif yang dapat
digunakan untuk menghitung jumlah mikroba pada udang adalah dengan metode
CCM. Persiapan penting yang dilakukan sebelum menganalisis jumlah mikroba
adalah pengambilan sampel, pengenceran, pengolesan/penuangan pada medium,
serta lama waktu dan suhu inkubasi.
DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E dan E. Liviawaty, 2005. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius :
Yogyakarta
Ariyani F, Jovita T M, Gunawan, dan Irma H. 2012. Pemanfaatan ekstrak air daun
jambu biji sebagai antioksidan alami pada pengolahan patin asin. Jurnal
Pascapanen dan Biotek. 7 (1) : 49-60
Benenson AS et al.1964.Rapid identification of Vibrio cholerae by darkfield
microscopy. Bull WHO. 30 : 827-831
Buckle, K. A., dkk. 1985. Ilmu Pangan. Penerjemah : Hari Purnomo dan Afiono.
Jakarta : Erlangga
Budiyanto, A. K. 2004. Mikrobiologi Terapan. Malang : UMM Press
Mulyanty, Nina, Marlon Tampubolon. 1990. Studi kemunduran mutu udang putih
(Penaeus merguiensis) pada suhu kamar dan dalam es. Jurnal Pen. Pasca
Panen Perikanan. 64 : 41-46
Pengsuk, C., et al. 2010. Development of monoclonal antibodies for simple detection
and differentiation of Vibrio mimicus from V. cholerae and Vibrio spp. by dot
blotting. Journal Aquaculture. 300 : 1724
Prajitno, Arief. 2007. Penyakit ikan udang : bakteri. UM Press : Malang
Rahayu, W.P, Nurwitri C.C. 2012. Mikrobiologi Pangan. Bogor : IPB Press
Rahayu, W.P; S. Maoen; Suliantari dan Fardiaz. 1992. Teknologi Fermentasi Produk
Perikanan. Bogor : IPB
Ray, B. 2003. Fundamental of Food Microbiology 3th Edition. Boca Raton, Florida :
CRC Press
Rozi, F.A. 2008. Penerapan budidaya udang ramah lingkungan dan berkelanjutan
melalui aplikasi bakteri antagonis untuk biokontrol vibriosis Penaeus monodon
Fabr.[makalah]. Yogyakarta : Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada
Sudheesh, P.S., Xu H.S. 2001. Pathogenicity of Vibrio parahaemolyticus in tiger
prawn Penaeus monodon Fabricius: possible role of extracellular proteases.
Journal Aquaculture. 196 : 3746
Suksono, L. 1986. Pengantar Sanitasi Makanan : Untuk Keluarga, Industri Makanan.
Penerbit Alumni : Bandung
Suparno dan J.T Martini. 1992. Terasi Bubuk. Kumpulan-kumpulan hasil-hasil
Penelitian Pasca Panen Perikanan. Jakarta : Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian dan Perikanan
Spira, W.M., Ahmed Q.S. 1981. Gauze filtration and enrichment procedures for
recovery of Vibrio cholerae from contaminated waters. Appl. Environ.
Microbiol. 42 : 730733
Volk, W.A. dan Wheeler M.F. 1990. Mikrobiologi Dasar jilid II. Jakarta : Erlangga