Anda di halaman 1dari 18

KAJIAN BUDAYA KESENIAN WAYANG KULIT

Disusun untuk Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Kajian Budaya Jawa
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Suharti, M. Pd.

oleh:
Tri Wisnu Handoy

15714251008

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA JAWA


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2016

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat Jawa mempunyai kekayaan hasil budaya, antara lain Pertunjukan
wayang dengan kemahiran sang dalang, dapat menyajikan berbagai macam pengetahuan,
filsafat hidup berupa nilai-nilai budaya dan berbagai unsur budaya seni yang terpadu dalam
seni pendalangan. Pertunjukan wayang yang didalamnya terdapat perpaduan antara sesuara,
seni musik (gamelan) dan seni rupa.
Cerita pewayangan bersumber pada epos Ramayana dan Mahabrata yang diadopsi
dari India. Kemudian cerita pertunjukan wayang dalam perkembangan selanjutnya juga
menampilkan cerita-cerita di luar patokan yang ada, sehingga merupakan bentuk variasi
untuk menghilangkan kebosanan para penontonnya. Cerita-cerita tersebut pada akhimya juga
kembali lagi pada inti atau sumber cerita.
Wayang kulit merupakan salah satu kebudayaan yang dikagumi oleh masyarakat
Indonesia dan masyarakat internasional. Kesenian wayang telah diangkat sebagai karya
agung budaya dunia oleh UNESCO tanggal 7 Nopember 2003 atau Masterpiece of Oral And
Intangible Heritage of Humanity. Di daerah Jawa cerita yang populer yang tersebar di
masyarakat adalah cerita epik Ramayana, Mahabharata, dan cerita Arjunasasrabahu. Namun
cerita Arjuna-sasrabahu kalah populer dibanding kedua cerita lainnya. Ketiga cerita tersebut
merupakan cerita yang berasal dari tanah India. Cerita yang diangkat dalam pewayangan
mengandung nilai-nilai kehidupan yang sangat mendalam.
Wayang kulit pernah mengalami masa kejayaan dimasa lampau, bahkan pada masa
penyebaran agama Islam di pulau Jawa, para Wali menggunakan cerita dan pertunjukan
wayang kulit yang telah disisipi oleh ajaran-ajaran dan kaidah-kaidah Islam sebagai media
penyebaran agama Islam, hal ini dapat terwujud karena cerita-cerita wayang memiliki cerita
yang menggambarkan tentang kehidupan manusia yang mengajarkan pada kita untuk
menjalani hidup pada jalan yang benar, dimana dalam hal ini agama Islam juga mengajarkan
hal yang sama sehingga mudah bagi para wali untuk memasukkan ajaran Islam ke dalam
cerita wayang. Metode tersebut terbukti cukup berhasil, karena pada zaman itu, pertunjukan
wayang kulit merupakan sarana hiburan bagi rakyat yang dapat merangkul masyarakat luas.
Seiring dengan perkembangan zaman, wayang mulai tergeser oleh media-media hiburan lain
yang lebih modern dan lebih mudah dijangkau oleh masyarakat. Masyarakat modern lebih
memilih untuk menonton televisi di ruangan keluarga yang nyaman daripada menghabiskan
waktu semalam suntuk untuk menonton pertunjukan wayang yang panjang, cenderung

membosankan, dan sulit untuk dimengerti apalagi untuk dinikmati. Kecanggihan teknologi
telah melahirkan instrumen-instrumen hiburan baru yang memungkinkan manusia untuk
mendapatkan berbagai macam hiburan tanpa perlu keluar rumah. Hal ini membuat
masyarakat moderen melupakan kesenian tradisional yang ada di indonesia salah satunya
wayang kulit.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana wujud fisik wayang kulit?
2. Bagaimana sistem sosialnya dalam wayang kulit?
3. Bagaimana peran wayang kulit sebagai sistem budaya?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Wujud fisik wayang kulit
1. Tokoh Wayang Kulit

Yudhistira

Werkudara

Duryudana

Banowati

Antasena

Pancawala

Gatot kaca

Abimanyu

Arjuna

Dursasana

Gareng

Wisanggeni

Nakula

Kartamarma

Petruk

Bima

Sadewa

Antareja

Bagong

Gendari

2. Perlengkapan Pagelaran Wayang Kulit


a. Panggung pertunjukan

Untuk pertunjukan wayang kulit diperlukan panggung pertunjukan yang berupa kelir
atau layar. Oleh karena itu, pagelaran wayang kulit juga disebut Pakeliran. Selain layar, juga
diperlukan tempat untuk menancapkan wayang. Biasanya tempat meletakkan wayang kulit
adalah debog (pelepah pisang), karena gampang ditusuk gagang wayang. Layar dilengkapi
lampu sorot untuk menerangi wayang.
Lampu sorot dipakai untuk menyorot wayang kulit agar bayangan wayang yang
terdapat di layar dapat terlihat jelas. Dengan begitu penonton dapat melihat pertunjukan dari
balik layar. Tatahan (pahatan) wayang kulit yang dipantulkan di layar pun dapat terlihat jelas
b. Pemain Wayang

Pemain wayang dalam wayang kulit adalah seperagkat wayang kulit lengkap, yaitu
tokoh wayang yang terbuat dari bahan kulit dan diberi gagang untuk pegangan. Wayang kulit
yang baik terbuat dari kulit lembu dan gagangnya terbuat dari kulit penyu. Tatahan atau

ukiran di lembaran kulitnya terlihat halus dengan warna-warna cerah sesuai dengan karakter
masing-masing tokoh. Ukiran/tatahan wayang kulit disebut sungging.
Ada wayang kulit yang dinamakan Gunungan atau Kayon, yaitu wayang kulit yang
berbentuk seperti gunung. Gunungan menggambarkan Sangkan Paraning Dumadi (asal
muasal kehidupan), suatu simbol awal dan akhir dari kehidupan. Gunungan tampil setiap
akan memulai dan mengakhiri pertunjukan, yang berarti pertunjukan wayang kulit adalah
sebuah cerita tentang kehidupan dunia. Jumlah satu set wayang kulit berkisar antara 250-600
wayang.
Wayang kulit yang tidak dimainkan dalam pegelaran, biasanya diajarkan/ditancapkan
di layar sebelah kanan dan kiri kelir. Wayang tersebut disebut simping kiwo (untuk wayang
yang diletakkan di sebelah kiri layar) dan Simping Tengen (untuk wayang yang diletakkan di
sebelah kanan layar). Sedangkan wayang kulit yang akan dimainkan disisipkan di atas kotak
wayang. Wayang ini disebut wayang dedudah.
c. Gamelan

Gamelan adalah seperangkat alat musik yang menonjolkan metalofon, gambang,


gendang, dan gong. Kata gamelan berasal dari bahasa jawa, gamel, yang beearti memukul
atau menabuh. Gamelan terbuat dari kayu dan gangsa, sejenis logam yang dicampur tembaga
atau timah dan rejasa. Alat musik pengiring instrumen gamelan terdiri dari kendang, bonang,
penerus, gender, gambang, suling, siter, clempung, slethem, demung, saron, kenong, kethuk,
japan, kempyang, kempul, peking, dan gong. Gamelan yang dipakai untk mengiringi
pertunjukan wayang memiliki nada seru slendro dan pelog.
d. Nayaga atau Pangrawit

Penabuh gamelan jawa disebut Nayaga atau Pengrawit. Nayaga atau yaga berasal dari
kata wiyaga yang berarti semedi atau meditasi. Dalam menjalankan tugas menabuh gamelan,
seorang nayaga menabuh dengan konsentrasi dengan tujuan untuk memberi ruh terhadap
gending yang sedang dimainkan. Keseriusan tersebut seperti seorang yang sedang bersemedi.
Sedangkan pengrawit berasal dari kata rawit, yang berarti rumit. Pengrawit memang selalu
berhadapan dengan hal-hal rumit, misalnya harus menghapal ratusan gending yang berbentuk
not-not angka di luar kepala dan menyajikannya dengan baik dan benar.
Setiap kali menjalankan tugas mengiringi pertunjukan wayang, para nayaga selalu
berpakaian resmi, yaitu pakaian tradisional dengan baju beskap, kain jarit dan blankon (ikat
kepala dari bahan batik).
e. Pesinden atau Waranggana

Pesinden juga sering disebut sinden, berasal dari kata pasindhian yang berarti yang
kaya akan lagu atau yang melagukan (melantunkan lagu). Sinden juga disebut waranggana,
yang berasal dari kata wara yang berarti seseorang yang berjenis kelamin wanita, dan
anggana berarti sendiri. Pada zaman dahulu, waranggana adlah satu-satunya wanita dalam
pergelaran wayang ataupun pentas klenengan.

Setiap menjalankan tugas, pesinden harus berpakaian resmi, memakai kain kebaya,
rambut digelung atau di sanggul. Mereka harus duduk bersimpuh (duduk di lantai dengan
posisi kaki dilipat). Posisi duduk bersimpuh merupakan posisi duduk yang di anggap sopan
manakala menghadapi seseorang yang dihormati.
Pesinden haruslah mempunyai suara yang khas sebagai pesinden, yaitu suara yang
melengking merdu dengan cengkok suara yang luwes. Mereka harus hafal tembang-tembang
tradisional lama dan baru.
f. Dalang

Dalang adalah pengatur jalannya pertunjukan wayang. Dalam pertunjukan wayang


kulit, dalang adalah bagian terpenting. Dalang berasal dari akronom Ngudhal Piwulang. Kata
Ngudhal berarti membongkar atau menyebar luaskan dan Piwulang berarti ajaran,
pendidikan, ilmu, informasi. Jadi fungsi dalang dalam pergelaran wayang kulit bukan saja
pada segi pertunjukan atau hiburan, namun juga harus memberi tuntutan. Dalang harus
menguasai teknik pedalangan sebagai aspek hiburan, juga berpengetahuan luas dan mampu
memberikan pengaruh.

B. Sistem Sosialnya Dalam Wayang Kulit


1. Wayang sebagai Budaya Nasional
Masyarakat jawa mempunyai jenis kesenian tradisional yang bisa hidup dan
berkembang hingga kini dan mampu menyentuh hati sanubari dan menggetarkan jiwa, yaitu
seni pewayangan. Secara lahiriah, kesenian wayang merupakan hiburan yang mengasyikkan
baik ditinjau dari segi wujud maupun seni pakelirannya. Namun demikian dibalik apa yang
tersurat ini terkandung nilai adiluhung sebagai santapan rohani secara tersirat.

Sebagai salah satu bentuk kebudayaan, maka wayang menduduki tempat yang
terhormat dan menjadi suatu bentuk kebudayaan nasional. Selain identik dengan budaya
Jawa, wayang kulit kini juga sudah menjadi budaya nasional dan merupakan ciri khas Bangsa
Indonesia. Tidak hanya tampil dalam pagelaran, wayang kulit kini juga banyak digunakan
sebagai pajangan dan produk kerajinan tangan lainnya. Memang wayang kulit selama ini
identik dengan tokoh-tokoh pewayangan, seperti Gatot Kaca, Semar beserta anak-anaknya
atau Arjuna. Wayang kulit selalu dikonotasikan barang-barang budaya yang selalu digunakan
dalam pagelaran semalam suntuk dengan lakonnya masing-masing.
2. Wayang dan Kehidupan
Wayang dalam pengertian bayang-bayang memberikan gambaran bahwa di
dalamnya terkandung lukisan tentang berbagai aspek kehidupan manusia dalam hubungannya
dengan manusia lain, alam, dan Tuhan; meski dalam pengertian harfiah wayang merupakan
bayangan yang dihasilkan oleh boneka-boneka wayang dalam seni pertunjukan.
Wayang dalam pengertian hyang, dewa, roh, atau sukma memberikan
gambaran bahwa wayang merupakan perkembangan dari upacara pemujaan roh nenek
moyang bangsa Indonesia pada masa lampau. Benang merah dari tradisi ini tampak pada
upacara ruwatan, yakni wayang sebagai sarana pembebasan malapetaka bagi seseorang/
kelompok orang yang terkena sukerta/noda gaib.
Wayang bagi orang jawa merupakan sibolisme pandangan-pandangan hidup orang
jawa mengenai hal-hal kehidupan. Dalam wayang seolah-olah orang Jawa tidak hanya
berhadapan dengan teori-teori umum tentang manusia, melainkan model-model hidup dan
kelakuan manusia digambarkan secara konkrit. Pada hakekatnya seni pewayangan
mengandung konsepsi yang dapat dipakai sebagai pedoman sikap dan perbuatan dari
kelompok sosial tetentu.
Konsepsi-konsepsi tersebut tersusun menjadi nilai nilai budaya yang tersirat dan
tergambar dalam alur cerita-ceritanya, baik dalam sikap pandangan terhadap hakekat hidup,
asal dan tujuan hidup, hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan
lingkungannya serta hubungan manusia jawa dengan manusia lain.
Pertunjukkan wayang terutama wayang kulit sering dikaitkan dengan upacara adat:
perkawinan, selamatan kelahiran bayi, pindahan rumah, sunatan, dll, dan biasanya disajikan
dalam cerita-cerita yang memaknai hajatan dimaksud, misalnya dalam hajatan perkawinan
cerita yang diambil "Parto Krama" (perkawinan Arjuna), hajatan kelahiran ditampilkan cerita
Abimanyu lahir, pembersihan desa mengambil cerita "Murwa Kala/Ruwatan".

3. Wayang sebagai Sarana Pendidikan


Peranan seni dalam pewayangan merupakan unsur dominan. Akan tetapi bila dikaji
secara mendalam dapat ditelusuri nilai-nilai edukatif yang sangat penting dalam kehidupan
manusia.
Unsur-unsur pendidikan tampil dalam bentuk pasemon atau perlambang. Oleh
karena itu sampai dimana seseorang dapat melihat nilai-nilai tersebut tergantung dari
kemampuan menghayati dan mencerna bentuk-bentuk simbol atau lambang dalam
pewayangan. Dalam lakon-lakon tertentu misalnya baik yang diambil dari Serat Ramayana
maupun Mahabarata sebenarnya dapat diambil pelajaran yang mengandung pendidikan.
Bagaimana peranan Kesenian Wayang sebagai sarana penunjang Pendidikan Kepribadian
Bangsa, rasanya perlu mendapat tinjauan secara khusus. Berdasarkan sejarahnya, kesenian
wayang jelas lahir di bumi Indonesia. Sifat lokal genius yang dimiliki bangsa Indonesia,
maka secara sempurna terjadi pembauran kebudayaan asing, sehingga tidak terasa sifat
asingnya.
Berbicara kesenian wayang dalam hubungannya dengan Pendidikan Kepribadian
Bangsa tidak dapat lepas dari pada tinjauan kesenian wayang itusendiri dengan falsafah hidup
bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Pancasila sebagai falsafah negara dan pandangan hidup
bangsa Indonesia, merupakan ciri khusus yang dapat membedakan bangsa Indonesia dengan
bangsa lain. Pancasila adalah norma yang mengatur tingkah laku dan prikehidupan bangsa.
Menurut TAP MPR-Rl No. II/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara; disitu
ditandaskan bahwa untuk mewujudkan tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar1945. perlu menetapkan Ketetapan yang mengatur GarisGaris Besar Haluan Negara yang didasarkan atas aspirasi dan Kepribadian Bangsa demi
penghayatan dan pengamalan kehidupan kenegaraan yang demokratis-konstitusional
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pengertian Kepribadian Bangsa
adalah suatu ciri khusus yang konsisten dari bangsa Indonesia yang dapat memberikan
identitas khusus, sehingga secara jelas dapat dibedakan dengan bangsa lain.
4. Hubungan Politik dengan Wayang
Bagaimana hubungan antara ideologi-politik dan wayang? Wayang oleh kekuasaan
dipandang sebagai salah satu hasil budaya, sekaligus sebagai media yang memiliki kekuatan
untuk menyampaikan hal-hal yang terkait dengan kepentingan ideologi-politik. Wayang
dipandang sebagai mitos, yakni cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada

sekelompok orang. Mitos memberikan arah kepada kelakuan manusia dan merupakan
semacam pedoman untuk kebijaksanaan manusia. Lewat mitos manusia dapat turut serta
mengambil bagian dalam kejadian-kejadian sekitarnya dan dapat menanggapi daya-daya
kekuatan alam.
Dalam konsep Jawa tentang organisasi negara, raja atau ratu lah yang menjadi
eksponen mikrokosmos dari Negara. Religi masyarakat Jawa memandang bahwa alam
semesta merupakan satu kesatuan yang serasi dan harmonis, tidak lepas satu dengan yang lain
dan selalu berhubungan. Alam semesta terdiri dari dua eksponen, yakni mikrokosmos dan
makrokosmos, yang dalam kehidupannya terjadi kelabilan. Kelabilan yang terjadi di dalam
makrokosmos sebagai akibat yang ditimbulkan oleh makrokosmos, atau sebaliknya.
Keteraturan di dalam makrokosmos dan mikrokosmos adalah terkoordinasi dan apabila
masing-masing berusaha keras ke arah kesatuan dan keseimbangan, maka hidup akan tentram
dan harmonis. Usaha keteraturan dapat dilakukan dengan baik bila semua orang
menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada. Orang-orang harus mengetahui tempat dan
tugas masing-masing, harus menghormati kedudukan yang lebih tinggi, harus bersikap baik
dan bertanggungjawab kepada mereka yang berkedudukan lebih rendah.
Wayang dari masa ke masa dipergunakan oleh penguasa maupun partai politik
sebagai media untuk mengarahkan masyarakat agar mengikuti nilai-nilai yang diamanatkan
dalam suatu pergelaran wayang. Di dalam wayang juga sarat akan sign (tanda) dalam hal
ini simbol. Simbol-simbol ini dimanfaatkan oleh penguasa dan partai politik untuk
mempengaruhi dan mengarahkan masyarakat agar mengikuti pedoman yang telah
dirancang/dikonsep di dalam sebuah pertunjukan wayang. Sebagai contoh, yakni: Ketika
presiden Soeharto berkuasa, nilai-nilai Pancasila disebarluaskan dalam berbagai media
pendidikan, baik formal, informal, dan non formal. Wayang dan macapat juga merupakan
media seni tradisi yang memiliki fungsi untuk menyebarluaskan nilai-nilai Pancasila itu.
Bagaimana presiden Soeharto memasyarakatkan nilai-nilai Pancasila melalui wayang?
Lahirnya lakon wayang yang berjudul Semar mBabar Jatidiri (Jawa) merupakan wujud dari
sebuah kepentingan ideologi-politik yang tertuang di dalam wayang.
Didalam lakon Semar mBabar Jatidiri disebutkan bahwa kerajaan Yawastina
memiliki dasar Negara/kerajaan, yakni: panca prasedya (lima kehendak) lima dasar yang
merupakan inti sari budaya yang sungguh-sungguh menjadi segala sumber hukum negara
utama (panca prasedya liregegebengan limang prakara sari pathining budaya kang nyata
dadya anggerugering praja utama). Ini menunjukkan bahwa Ideologi Pancasila telah masuk
ke dalam wayang melalui narasi kerajaan Yawastina/Astina yang mendambakan negara yang

bersifat panjang (terkenal), punjung (berwibawa), pasir (mempunyai samodra yang luas),
wukir (berbukit dan bergunung-gunung), loh (subur tanahnya), jinawi (barang-barang murah),
gemah (ramai), ripah (perdagangan lancar), karta (tentram), raharja (tidakpunya musuh).
Gambaran negara/kerajaan Yawastina dalam lakon wayang merupakan ideologi yang
diharapkan berpengaruh pada pemikiran manusia dalam kehidupan nyata, sehingga nantinya
akan tercipta suatu keadaannegara/kerajaan sesuai dengan yang digambarkan di dalam lakon
tersebut.
Sebenarnya dalam lakon Semar mBabar Jatidiri inti permasalahan terdapat pada
tokoh Semar. Ia meinggalkan kerajaan Yawastina/Astina, karena seisi negara/kerajaan dalam
keadaan kacau dan para penyelenggara negara telah melupakannya; oleh karena itu para
petinggi negara Yawastina mencari Semar. Para petinggi Negara Yawastina berhasil menemui
Semar, yang kemudian diberi wejangan tentang Pancasila dan P4 (Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila). Dalam konteks ini, rupanya pemerintah ingin mempertegas tentang
pentingnya Pancasila sebagai filsafat hidup bangsa, meskipun di dalam wayang
sesungguhnya secara implisit daneksplisit mengungkapkan nilai-nilai ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial. Pasca 1995 terjadi krisis politik,
ekonomi, hukum, dan budaya yang mempengaruhi masyarakat harus melakukan reformasi.
Presiden Soeharto rupanya ingin menguji sejauh mana kesetiaan masyarakat Indonesia
melalui wayang. Pola pemikiran masyarakat Indonesia dibentuk dan diarahkan kepada suatu
rumusan bahwa krisis/kekacauan hampir di segala bidang ini sebagai kesalahan bersama,
seperti terlukis dalam ungkapan: tiji tibeh/mati siji mati kabeh (mati satu mati semua); jika
ada salah satu yang mati dalam suatu tragedi maka harus mati semuanya.
Pada masa berikutnya dipentaskan sebuah lakon wayang yang berjudul Rama
Tambak, dimaksudkan agar pemerintah dapat membuat tanggul untuk menyeberang lautan
dan selamat dari ancaman bahaya/kekacauan.
Ada beberapa interpretasi mengenai lakon yang berorientasi pada tokoh Semar
tersebut, yakni: tokoh Semar ada kaitannya dengan pak Harto sebagai pemegang Super semar
(dari presiden Soekarno) pada tahun 1966.Supersemar itu sendiri dpat dimaknai Semar
yang bersifat super atau Surat Perintah Sebelas Maret. Ini dapat dirumuskan bahwa
Semar yang super tersebut tiada lain adalah pemegang Super semar itu sendiri. Didalam
wayang, Semar bertugas mengantar ksatria utama dengan aman dari segala bahaya sampai ke
tujuannya. Jika ksatria berada dalam kesulitan, Semar memberi nasehat; jika ia terlalu agresif
dan emosi, ia direm oleh Semar dan ditarik kembali dari langkah-langkah yang kurang

dipikirkan. Jika ksatria itu sedih Semar menjadikannya senang dengan lelucon-lelucon. Jika
ksatria dalam kesendirian dan kesepian maka Semar menemainya.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan bahwa wacana kekuasaan orde
baru dalam pertunjukan wayang, pada masa berikutnya bergeser menjadi wacana
reformasi dalam segala unsur dan bentuknya. Pada masa ini kreativitas di bidang
pedalangan dan perwayangan dilakukandi semua unsur-unsur yang terdapat di dalamnya
dengan berorientasi pada wacana reformasi itu.
Pada era reformasi wayang menjadi media untuk berkampanye, melegitimasi, serta
menyampaikan pesan-pesan partai politik tertentu, misalnya: dalam rangka ulang tahun
Partai Amanat Nasional (PAN), KiJoko Hadiwijoyo (Joko Edan) dari Semarang
menampilkan lakon wayang yang berorientasi pada keagungan matahari. Partai Amanat
Nasional bersimbolkan matahari. Melalui penampilan tema lakon wahyu (anugerahIllahi)
tersebut diharapan dapat memberikan pengaruh kepada partai dankhalayak luas, sehingga
Indonesia dengan kepemimpinan PAN dapat menuju masyarakat yang tentram, damai,
sejahtera berkat matahari yang memberikan penerangan seluruh masyarakat Indonesia.
5. Fungsi Wayang
a) Fungsi religius.
Pada awalnya wayang diciptakan oleh manusia adalah sebagai alat pemenuhan kebutuhan
religiusnya. Manusia zaman dahulu, mementaskan wayang (yang bentuknya tidak seperti kita
kenal sekarang) untuk memuja dan mempertemukan mereka dengan roh-roh nenek moyang.
Kepercayaan yang seperti demikian disebut Animisme. Lalu untuk zaman sekarang,wayang
masih dikaitkan dengan nilai-nilai religius. Masih sering kali sebelum pementasan wayang
ada sesajen tertentu yang harus dibuat. Contoh yang lebih nyata lagi dengan adanya upacara
ruwatan dengan tujuan membuang sial yang mengharuskan adanya pertunjukan wayang.
b) Fungsi Pendidikan.
Wayang digunakan juga oleh masyarakat sebagai media pendidikan. Dengan wayang
transformasi nilai-nilai luhur budaya dapat berlangsung secara efektif. Banyak nilai-nilai
kebaikan yang bisa diambil dari cerita atau lakon yang ada dalam wayang. Transformasi ini
bersumber dari dalang yang biasanya adalah orang penting di masyarakat, kepada masyarakat
baik itu kalangan atas atau bawah. Pada masa Sunan Kalijagapun wayang dijadikan media
pendidikan dan dakwah. Melaluinya, ajaran-ajaran Islam disisipkan agar lebih mudah
dimengerti oleh masyarakat Jawa waktu itu.

c) Fungsi penerangan dan kritik sosial.


Dalam pertunjukan wayang, masyarakat bisa diinformasikan tentang peristiwa apa yang
penting untuk diketahui oleh para dalang. Misalnya dengan mementaskan lakon-lakon
tertentu yang sesuai dengan keadaan masyarakat pada waktu itu. Lalu juga bisa dijadikan
sarana kritik sosial.Masyarakat bisa mengkiritik kebijakan pemimpin mereka tanpa resiko
kemarahan pemimpin melalui wayang. Dengan lakon-lakon tertentu pula atau fragmen
wayang goro-goro dalang bisa bebas mengkritik kebijakan pemimpin.
d) Fungsi Hiburan.
Wayang di sini murni merupakan hiburan bagi masyarakat. Tidak ditujukan untuk maksudmaksud religi tertentu. Tapi hanya untuk menghibur masyarakat yang gemar akan seni
pertunjukan ini. Seperti pada acara khitanan, resepsi pernikahan, acara besar desa, yang
dipentaska nuntuk menghibur khalayak ramai.
6. Ajaran Moral dalam Wayang
Cerita dalam pertunjukan wayang kulit sejatinya menampilkan ajaran moral,
dimana manusia hidup diharapkan dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk.
Tamsil etika nilai-nilai dalam wayang biasanya disampaikan secara tegas misalnya jangan
membunuh, jangan berdusta, jangan berkhianat, tidak boleh marah, tidak boleh munafik dan
lain sebagainnya.
Hal lain yang ditampilkan dalam pergelaran wayang adalah soal dilema atau pilihan.
Manusia hidup ternyata selalu dihadapkan dengan pilihan. Tetapi apapun pilihannya manusia
toh harus memilih, meski pilihan atau keputusan yang diambilnya tidak pernah sempurna.
Hal ini menunjukan bahwa manusia secara spikologis dan filosofis selalu dihadapkan dengan
problemanya yang tak pernah terpecahkan dengan sempurna. Kemudian manusia harus
mampu berdiri di salah satu pihak, mau yang baik atau yang buruk misalnya; Jamadagni
harus memilih membunuh istrinya atau membiarkan istrinya berdosa, Rama Parasu harus
memilih membunuh Ibunya atau menentang perintah Ayahnya Harjunasasrabau harus
memilih meninggalkan tahtahnya atau mencari Nirwana Wibisana harus memilih ikut
angkara atau ikut kebenaran. Sri Rama Harus memilih, mengorbankan rakyatnya atau
mengorbankan cintanya.
Sesudah manusia berani menetapkan pilihannya maka barulah keputusan dan
tindakan manusia itu berarti dan bermakna bagi kehidupannya. Tanpa pendirian yang tegas
mengenai pilihan dasarnya maka sebenarnya manusia tidak menjalani kemanusiaaanya atau
eksistensinya. Jadi dengan demikian setiap tindakan manusia akan selalu didukung oleh suatu

sikap etis. Ia tidak akan dapat lari dan melepas tangung jawab dari tindakan-tindakannya.
Inilah salah satu ajaran wayang tentang bagaimana manusia harus bersikap.
B. Peran wayang kulit sebagai sistem budaya
Peranan Wayang Kulit sebagai salah satu kesenian luhur dan agung yang berbudaya di
Indonesia.
Wayang diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya bangsa Indonesia pada tahun
2003. Wayang sebagai Karya Agung Budaya Dunia yang diakui oleh UNESCO bukan
hanya wayang Jawa tapi wayang Indonesia, termasuk wayang Bali, wayang golek Sunda,
wayang Lombok, dll. Tapi wayang yang lebih dikenal di Indonesia adalah wayang kulit Jawa.
Suatu gejala yang patut untuk diamati dalam masyarakat Jawa yang punya
pengaruh yang kuat dalam masyarakat Indonesia pada umumnya adalah masih lestarinya
budaya wayang kulit biarpun berbagai unsur budaya telah mempengaruhi bangsa Jawa
maupun bangsa Indonesia, termasuk unsur-unsur budaya Budha, Hindhu, Islam maupun
Barat.
Bukti yang nyata dari masih besarnya pengaruh budaya wayang kulit pada saat ini
dengan masih banyaknya peminat pada siaran wayang kulit dilayar TV maupun pertunjukan
langsung pada acara-acara tertentu. Bertahannya budaya wayang kulit menjadi menarik
mengingat bahwa:
1. Wayang kulit berbasis cerita Mahabharata dan Ramayana yang berasal dari budaya
Hindhu dari India.
2. Masyarakat Jawa mayoritas beragama Islam
3. Cerita dalam wayang kulit berbasiskan cerita tentang kerajaan yang raja dan ksatria
sebagai fokus utamanya yang berarti semangat dalam ceritanya adalah tata budaya feodal.
4. Masyarakat Jawa terpelajar umumnya berbasis pendidikan Barat yang tidak mau
terpengaruh budaya Barat.
Jelas bagi masyarakat di luar Indonesia akan terkejut melihat segala kontradiksi
yang mungkin timbul dalam kompleksitas masyarakat Jawa maupun Indonesia. Oleh karena
itu masyarakat di luar Indonesia tidak mungkin bisa menyelami sepenuhnya manusia Jawa
atupun Indonesia tanpa mempelajari lebih jauh pengaruh budaya masalalu termasuk yang
sangat besar pengaruhnya seperti wayang kulit.
Di masa yang lalu wayang kulit dipergunakan oleh masyarakat Jawa untuk
keperluan ritual seperti upacara ruwatan. (Note: Ruwatan adalah upacara yang diadakan
untuk menolak bala/sial yang dikarenakan secara alami seseorang dilahirkan dengan kondisi
membawa ke arah malapetaka atau yang dipercaya akan membawa malapetaka umpamanya:
anak tunggal, anak kembar, anak lelaki yang diapit oleh dua anak dan sebagainya.
Upacara lainnya yaitu untuk keperluan keselamatan desa yang setiap bulan Suro
(awal bulan tahun Jawa atau bulan Muharam dalam tahun Islam) setahun sekali diadakan

upacara pagelaran wayang kulit semalam suntuk dengan cerita Bharatayuda agar dalam
tahun berjalan desa akan diberi panen yang banyak dan keselamatan seluruh warganya.
Bharatayuda adalah cerita peperangan antara Kurawa dan Pandawa yang sesama darah
Bharata untuk memperebutkan kerajaan Indrapasta (Amartapura) dan Hastinapura, dianggap
cerita yang sakral yang tidak setiap dalang bisa melaksanakan dan tidak setiap saat
pertunjukan tersebut bisa dipentaskan.
Jelas bahwa wayang tidak lepas dari keseharian kehidupan manusia Jawa di masa
lalu (yang juga masih hidup di pedesaan masa kini) dalam ritus kehidupan sehari-hari.
Dipercaya bahwa budaya wayang kulit sudah ada bahkan sebelum pengaruh agama Hindu
datang dengan bukti adanya unsur punakawan (Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong) yang
tidak ada dalam cerita asli baik Ramayana ataupun Mahabharata. Walaupun basis cerita
wayang adalah Ramayana dan Mahabharata tetapi dalam kenyataannya ceritayang dibawakan
sudah bercampur atau diubah dengan cerita yang diperhalus dan disesuaikan dengan budaya
Jawa sebagai contohnya adalah :
1. Dewi Drupadi dalam cerita Mahabharata yang asli bersuami lima yaitu semua Pendawa
Lima (Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa) dalam pewayangan diceritakan adalah
hanya istri Puntodewo/Yudistira karena budaya Jawa tidak mengenal poliandri.
2. Dalam Mahabarata ttidak diceritakan bahwa masing-masing Pandawa Lima diberi daerah
kekuasaan, di dalam pewayangan diceritakan bahwa Arjuna mempunyai daerah teritori
namanya Madukara, Bhima dari Jodhipati, Gatotkaca dari Pringgodhani dan sebagainya.
Dari indikasi di atas jelas bahwa cerita Ramayana dan terutama Mahabarata telah
diberikan kandungan lokal sedemikan rupa sehingga mengalami internalisasi dan sangat
dekat dengan masyarakat Jawa, termasuk memasukkan unsure punakawan didalamnya.
Bahkan di beberapa tempat di Jawa diberi nama tempat yang mengesankan seolah-olah
kejadian cerita Mahabharata itu memang betul-betul terjadi ditanah Jawa. Sebagai contoh:
Didaerah yang sekarang dijadikan waduk Sempor, Gombong, Jawa Tengah, nama asli desa
tersebut adalah Cicingguling. Penduduk setempat percaya tempat tersebut adalah tempat
Bhima berperang melawan Duryudana dengan menghantamkan gadanya di bagian pahanya
sehingga Duryudana terpaksa menyisingkan kainnya (celananya) bahasa Jawanya
menyisingkan adalah cicing juga berguling- guling karena kesakitan, oleh karena itu desa
tersebut diberi nama Cicingguling. Begitu juga di daerah pegunungan Dieng di Jawa Tengah
maupun di puncak gunung Lawu di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur, namanama tempatnya diberi kesan seolah-olah tempat tersebut adalah tempat keberadaan para
dewa dalam cerita Mahabharata.

Ketika agama Islam datang ke Indonesia, bahkan oleh salah satu wali sanga
(sembilan wali) Sunan Kalijaga, wayang dijadikan alat untuk penyebaran agama Islam yang
memasukkan unsur Islam dalam kandungan cerita Mahabharata. Sebagai contoh: Yudhisthira
sebagai raja di Amartapura mempunyai jimat (pusaka) yang bernama Jamus Kalimasada
yang merupakan pegangan atau lambang keunggulan sebagai raja diterjemahkan sebagai
Kalimat Sahadat yang melambangkan keunggulan Islam sebagai pegangan hidup dengan
pengakuan Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah.
Konon diceritakan Yudhisthira belum bisa meninggal sebelum ada yang bisa
menjabarkan jimat Kalimasada yang kemudian dalam pertapaannya bertemu dengan Sunan
Kalijaga di hutan Glagahwangi. Sunan Kalijaga melihat jamus Kalimasada yang ternyata
selembar kulit dengan tulisan Kalimat Sahadat. Setelah dibacakan dan ditirukan oleh
Yudhisthira yang berarti meng-Islamkannya, Yudhistira bisa menemui ajalnya sebagai
seorang Muslim. (Note: apabila dipikirkan secara rasional tentu saja tidak masuk akal karena
Puntadewa bagaimanapun adalah produk dari budaya Hindu berasal dari cerita fiksi epic
Mahabharata. Tentu saja ini adalah kepandaian dari wali sanga untuk meng-Islamkan
masyarakat yang pada saat itu masih mayoritas beragama Hindhu. Dalam hal seberapa besar
Islam betul-betul secara effektif mempunyai pengaruh yang besar dalam wayang kulit
masyarakat Islam masih banyak meragukan. Oleh karena itu ada sebahagian masyarakat
Islam bahkan mengharamkan wayang purwo/kulit yang jelas nafas Hindunya atau Jawanya
lebih menonjol dibandingkan dengan nafas Islamnya, lepas dari kenyataan bahwa wayang
kulit masih tetap digemari masyarakat Jawa yang Islam maupun yang bukan Islam.
BAB III
KESIMPULAN
Pertunjukan wayang kulit telah menjadi salah satu wahana terpenting untuk
menyampaikan berita dan ajaran yang bersifat kebudayaan kepada masyarakat Jawa
khususnya. Melalui cara ini mereka belajar membedakan nilai-nilai positif dan negatif. Di
dalam wayang terkandung simbol-simbol kehidupan yang dapat dipergunakan sebagai
media komunikasi dan media pendidikan. Pagelaran wayang kulit syarat dengan nilai-nilai
dan petuah hidup bagi manusia. Wayang kulit merupakan refleksi budaya Jawa dalam
pengertian sebagai pencerminan dari kenyataan kehidupan, nilai dan tujuan kehidupan,
moralitas, harapan dan cita-cita kehidupan orang Jawa. Sebagai suatu kebudayaan, dalam
wayang terkandung ajaran-ajaran bagaimana hidup itu harus dijalani. Melalui cerita wayang
masyarakat Jawa memperoleh gambaran kehidupan mengenai bagaimana hidup
sesungguhnya dan bagaimana hidup seharusnya. Wayang sebagai kehidupan rohani

masyarakat Jawa berisi nilai-nilai luhur yang dapat membantu manusia dalam
melangsungkan, mempertahankan hidupnya, sehingga ia dapat mencapai kesempurnaan
hidupnya, yakni dapat membentuk dirinya menjadi manusia dan dapat menciptakan suatu
kehidupan yang lebih baik

DAFTAR PUSTAKA
Gunadi. 2011. Merenungkan Pakem. https://wayang.wordpress.com/2011/05/29/
merenungkan- pakem/. Diunduh pada tanggal 2 April 2016.
Hery. 3013. Macam-macam Lakon Wayang Kulit. http://caritawayang.blogspot.co.id /
2013/11 /macam-macam-lakok-wayang.html. Diunduh pada tanggal 4 April 1016.
Nartosabdo. Lakon Cerita Rahwana Gugur. https://www.youtube.com/watch?v= MTixojp2
Zgs&nohtml5=False. Diunduh pada tanggal 4 April 2016.
Surono. 2012. http://www.academia.edu/3327200/WAYANG_KULIT_UNJUK_
IDENTITAS_ MAS YARAKAT_JAWA. Diunduh pada tanggal 4 April 2016.
Suwarno. 2013. Cerita Lakon-Lakon Wayang Kulit. https://putracelll.wordpress.com/2013 /
06/01/ cerita-lakon-lakon-wayang-kulit/. Diunduh pada tanggal 4 April 2016.
Tribunnews. 2013. Pagelaran Wayang Kulit Oleh Dalang Cilik. http://m.tribunnews.com
/images/view/617542/pagelaran-wayang-kulit-dalang-cilik. Diunduh pada tanggal 2
April 2016.

Anda mungkin juga menyukai