Anda di halaman 1dari 75

PERILAKU API DAN DAMPAK PEMBAKARAN TERHADAP

FAUNA TANAH PADA AREAL PENYIAPAN LAHAN DI


HUTAN SEKUNDER HAURBENTES,
JASINGA JAWA BARAT

Oleh :
RACHMA DONNA
E14201025

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN


FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006

PERILAKU API DAN DAMPAK PEMBAKARAN TERHADAP


FAUNA TANAH PADA AREAL PENYIAPAN LAHAN DI
HUTAN SEKUNDER HAURBENTES,
JASINGA JAWA BARAT

RACHMA DONNA

Karya Ilmiah
sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Kehutanan
pada Fakulta s Kehutanan
Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN


FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006

RINGKASAN

RACHMA DONNA. E14201025. Perilaku Api dan Dampak Pembakaran


terhadap Fauna Tanah pada Areal Penyiapan Lahan di Hutan Sekunder
Haurbentes, Jasinga Jawa Barat (Di bawah bimbingan Dr. Ir. Lailan
Syaufina, M. Sc)
Pada dasarnya penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia hampir
99% karena ulah manusia yaitu kegiatan konversi lahan, perladangan berpindah,
pertanian, proyek transmigrasi dan dari alam yang bermula dari proses reaksi
cepat dari oksigen dengan bahan bakar yang ada di hutan dan ditandai dengan
meningkatnya suhu dan disertai dengan menyalanya api (Chandler et al., 1983).
Adapun pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dilakukan dengan cara
mengenali perilaku api pada tempat berlangsungnya kebakaran bahkan dapat juga
dilaksanakan sebelum kebakaran itu terjadi. Faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku api antara lain angin, suhu udara, kelembaban udara, curah hujan,
topagrafi dan tipe serta sifat bahan bakar yang terdapat di hutan. Kebakaran hutan
menimbulkan berbagai macam dampak, salah satunya adalah dampak terhadap
fauna tanah. Akibat dari kebakaran hutan langsung berpengaruh terhadap
kehidupan fauna tanah yang ada di permukaan tanah maupun di dalam tanah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengukur perilaku api dan dampak yang
ditimbulkan oleh pembakaran hutan terhadap fauna tanah pada lahan terbakar di
hutan sekunder. Manfaat penelitian ini adalah diharapkan mampu memberikan
informasi dan pengetahuan tentang perilaku api dan dampak pembakaran hutan
terhadap fauna tanah pada lahan terbakar di hutan sekunder.
Penelitian dilaksanakan pada bulan April Juli 2005 yang berlokasi di hutan
Sekunder Haurbentes, Jasinga Jawa Barat. Metode yang digunakan untuk perilaku
api dengan 3 plot penelitian dengan luas masing-masing 25 m2. Proses
pengambilan data meliputi pembuatan plot dan sekat bakar, pengukuran parameter
awal (muatan, ketebalan dan kadar air bahan bakar), penyiapan bahan bakar,
pengukuran parameter sebelum pembakaran, kondisi cuaca, pembakaran plot,
pengukuran parameter pada saat pembakaran (tinggi api, laju penjalaran api, suhu
pembakaran), pengukuran suhu setelah api padam, bahan bakar yang terbakar,

luas lahan yang te rbakar dan penutupan abu di setiap plot penelitian. Rancangan
percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL).
Perilaku api diperoleh pada saat melakukan proses pembakaran yang
merupakan suatu reaksi api terhadap lingkungannya seperti keadaan bahan bakar
yang tersedia untuk terbakar (muatan bahan bakar, ketebalan bahan bakar, kadar
air bahan bakar), iklim, kondisi cuaca lokal (suhu udara, kelembaban udara,
kecepatan angin) dan topografi. Adapun perilaku api terbaik yang dihasilkan
adalah pada plot 1 dibandingkan kedua plot lainnya dengan muatan bahan bakar
dan ketebalan bahan bakar tertinggi sebesar 8.33 ton/ha dan 17 cm, kadar air
bahan bakar rata-rata dan kadar air tanah terendah sebesar 41.04 % dan 21.95 %.
Plot 1 memiliki kadar air bahan ba kar terendah sehingga menghasilkan suhu
pembakaran tertinggi berkisar antara 39 0 C 765 0C. Adapun perilaku api pada
plot 1 tersebut menunjukkan tinggi nyala api sebesar 3.6 m, intensitas api 3946.32
kW/m dimana besarnya intensitas api dipengaruhi oleh tinggi api. Laju penjalaran
api yang dihasilkan sebesar 1.56 m/menit dan panas per unit area sebesar 2532.45
Kj/m2 dimana besarnya panas per unit area dipengaruhi oleh tinggi api dan laju
penjalaran api.
Pembakaran hutan menimbulkan berbagai macam dampak, salah satunya
adalah dampak terhadap fauna tanah. Pengumpulan fauna tanah dari 3 sub plot
masing-masing berukuran 1 m x 1 m di setiap plot penelitian adalah dengan cara
manual yaitu penangkapan langsung terhadap fauna tanah yang ada di permukaan
tanah sedangkan pada kedalaman tanah 0-5 cm dengan cara diambil tanahnya dan
diekstraksi menggunakan corong berlis. Parameter yang digunakan adalah Indeks
Kekayaan Jenis (Dmg), Indeks Keragaman Jenis (H) dan Indeks Kemerataan
Jenis (E) fauna tanah.
Nilai Kekayaan Jenis (Dmg) tertinggi terdapat pada periode sebelum
penebangan dibandingkan dengan periode lainnya yaitu sebesar 2.69 pada
permukaan tanah dan pada kedalaman tanah 0-5 cm sebesar 1.78. Akibat proses
penebangan, Nilai Kekayaan Jenis (Dmg) mengalami penurunan menjadi 0.52
(sekitar 80.67 %) pada permukaan tanah dan pada kedalaman tanah 0-5 cm
menjadi 0.92 (sekitar 48.35 %). Nilai Keragaman Jenis (H) sebelum penebangan
sebesar 2.116 (permukaan tanah) dan 2.01 (kedalaman tanah 0-5 cm), akibat

penebangan menurun menjadi 1.348 (sekitar 36.29 %) pada permukaan tanah dan
kedalaman tanah 0-5 cm menjadi 1.491 (sekitar 25.82 %). Setelah proses
pembakaran juga menyebabkan penurunan nilai kekayaan jenis (Dmg) dan nilai
kemerataan jenis (H), sampai dengan minggu ke -4 sete lah pembakaran nilai
kekayaan dan keragaman jenis pada permukaan tanah baru mencapai 84.39 % dan
94.75 % dari kondisi semula sedangkan pada tingkat kedalaman tanah 0-5 cm
mencapai 77.57 % dan 87.56 % dari kondisi semula.
Nilai Kemerataan Jenis (E) fauna tanah sebelum penebangan sebesar 0.719
(permukaan tanah) dan 0.809 (kedalaman tanah 0-5 cm), sesaat setelah
penebangan sebesar 0.973 (permukaan tanah) dan sebesar 0.832 (kedalaman tanah
0-5 cm). Setelah pembakaran nilai kemerataan jenis berkisar antara 0.719 0.973
pada permukaan tanah dan 0.781 0.927 pada tingkat kedalaman tanah 0-5 cm.
Berdasarkan hasil tersebut nilai kemerataan jenis hampir mendekati 1 berarti
sebaran kelimpahan individu pada setiap famili sebelum dan setelah pembakaran
hampir merata, jadi tidak ada famili yang jumlah individunya mendominasi.
Perilaku api yang dihasilkan dari proses pembakaran yang dilakukan pada
area pengamatan di hutan Sekunder Haurbentes, Jasinga Jawa Barat sangat
mempengaruhi kondisi fauna tanah setelah pembakaran pada area tersebut yang
dapat dilihat dari terjadinya penurunan nilai indeks kekayaan jenis (Dmg), indeks
keragaman jenis (H) dan nilai indeks kemerataan jenis (E) fauna tanah baik pada
permukaan tanah maupun pada tingkat kedalaman tanah 0-5 cm dari kondisi
semula.

Judul Skripsi

: PERILAKU API DAN DAMPAK PEMBAKARAN


TERHADAP FAUNA TANAH PADA AREAL
PENYIAPAN LAHAN DI HUTAN SEKUNDER
HAURBENTES, JASINGA JAWA BARAT

Nama

: RACHMA DONNA

NIM

: E14201025

Menyetujui :
Dosen Pembimbing

(Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc.)


Tanggal :

Mengetahui :
Dekan Fakultas Kehutanan

(Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS )


Tanggal :

Tanggal Lulus :

RIWAYAT HIDUP
Penulis terlahir pada tanggal 14 Desember 1983 di Rumah Sakit Petala
Bumi Pekanbaru Riau. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara
pasangan suami istri Bapak H. Rachmadi dengan Ibu Hj. Magdalena.
Penulis menyelesaikan SLTP di SMP Negeri I Pekanbaru dan lulus tahun
1998. Tingkat SMU lulus tahun 2001 dari SMU Negeri 9 Pekanbaru. Selepas dari
SMU penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada
tahun 2001 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan diterima di
Fakultas Kehutanan Jurusan Manajemen Hutan Program Studi Budidaya Hutan.
Selama menuntut ilmu di IPB, penulis cukup aktif di sejumlah organisasi
fakultas seperti FMSC sebagai salah satu staff Departemen Informasi dan
Komunikasi (2002-2003),

FMSC

sebagai

salah

satu

staff

Departemen

Pengembangan Sumberdaya Manusia (2003-2004), AFSA sebagai salah satu staff


Depertemen Informasi dan Komunikasi. Selain itu penulis pernah menjadi panitia
BCR (Bina Corps Rimbawan) Fakultas Kehutanan tahun 2003, panitia TM (Temu
Manajer) Jur usan Manajemen Hutan tahun 2003, dan panitia AMT AFSA (20032004). Penulis juga melakukan praktek kerja lapang dalam bentuk Kuliah Kerja
Nyata (KKN) di desa Sirnabaya Kecamatan Teluk Jambe, Karawang.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan,
penulis melakukan penelitian dengan judul. Perilaku Api dan Dampak
Pembakaran terhadap Fauna Tanah pada Areal Penyiapan Lahan di Hutan
Sekunder Haurbentes, Jasinga Jawa Barat. Selama penyelesaian tugas akhir,
penulis berada di bawah bimbingan Ibu Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc.

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan ridho serta karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi yang berjudul Perilaku Api dan
Dampak Pembakaran terhadap Fauna Tanah pada Areal Penyiapan Lahan di
Hutan Sekunder Haurbentes, Jasinga Jawa barat yang ditulis oleh penulis
merupakan salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di
Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Penulis berharap bahwa hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi
masyarakat umum yang memerlukan informasi mengenai pengaruh cuaca (suhu
udara, curah hujan, kelembaban udara dan kecepatan angin) terhada p perilaku api
pada upaya penyiapan lahan dan informasi mengenai pengaruh pembakaran hutan
terhadap fauna tanah.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis telah berusaha semaksimal
mungkin untuk dapat menghasilkan sebuah skripsi yang sempurna. Penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak untuk
perbaikan di masa yang akan datang.
Bogor, Januari 2006
Penulis

UCAPAN TERIMAKASIH
Penelitian yang dilakukan penulis telah banyak melibatkan berbagai pihak,
maka dari itu penulis ingin mengucapkan terimakasih dan rasa syukur atas segala
bantuannya kepada :
1. Kedua orangtuaku. Ayahku tercinta yang dengan keikhlasannya, keletihannya
dan semangatnya yang besar untuk berjuang mencari nafkah demi suksesnya
ananda dan ibuku tersayang yang tiada pernah lelah untuk memberikanku nasehat
dalam segala hal demi kebaikan dan kesehatan ananda.
2. Ibu Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan motivasi, arahan dan bimbingannya.
3. Bapak Ir. Jajang Suryana, M.Sc dan bapak Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA sebagai
dosen penguji skripsi yang telah memberikan motivasi dan arahan.
4. Proyek Penelitian Hibah Bersaing XII, Dirjen DIKTI, DEPDIKNAS atas
dukungan finansialnya pada sebagian dari penelitian ini.
5. Kedua adik-adikku yang tersayang, Dian dan Dolly. Kalian adalah harta paling
berharga yang kumiliki selama aku hidup di dunia ini. Kalian dapat menjadi
semangatku dan selalu mendukungku dalam menjalani hidup dan kalian juga
dapat menjadi sosok teman yang selalu setia menemaniku dalam suka dan duka.
6. Seseorang yang terkasih Aaku, Yudhi pramita. Kehadiranmu telah mewarnai
hidupku kembali, kehadiranmu telah membawa kebahagiaan dalam hidupku,
sosokmu yang apa adanya membuatku tidak mau kehila ngan dirimu dan aku
bersyukur pada Allah yang telah memberikanku seseorang yang dengan ikhlas
dan kasih sayangnya selalu menemaniku.
7. Seluruh kru-kru lab. Kebakaran hutan, pak Bambang, bu Lailan, pak Wardana
yang tanpa kenal lelah menemaniku, mbak Atik yang cantik, teman-temanku:
mami ira yang bawel, elen, eshin, cepot, samson, erica, asri, erin, derry, syuhada,
riko, candra, abang manan, si pongi, dan ade, terimakasih atas kebersamaan yang
telah kita lewati bersama.
8. Teman-temanku di BDH38, neng siti, nunu, welly, ice, ibenk, lilies, abank
dika, tezar, rinto, danu, eka, fiki, among dan lainnya atas kebersamaan kita.
9. Keluarga besarku di Pekanbaru dan Cisarua terimakasih atas segala
dukungannya dan nasehatnya.

10. My soulmate, itox, dinbem, putri, tisonk yang telah menghiasi hari-hariku di
griya.
11. Anak-anak A38, mami inonk, hanny, asri, pretty, anunk, wati, manda, lukluk,
tito, papi obe, aslaha, ari, ojay, pak eko. Alhamdulillah jaza kumullohu khoiro atas
kebersamaan kita selama 4 tahun ini.
12. Se luruh anak-anak griya; meti, erma, dewi, dwi, danank, yuta, mas budi, irma,
yasmin, ica, yuli, leli, yusuf, gilang, daud, rida, ina, dessy, aline, mas adam, dan
mas anto.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................

iv

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................

DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................

vi

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .........................................................................................

B. Tujuan.......................................................................................................

C. Manfaat Penelitian....................................................................................

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Kebakaran Hutan....................................................................................

B. Perilaku Api dan Faktor yang Mempengaruhi.......................................

C. Dampak Kebakaran................................................................................

D. Sifat Biologi Tanah ...............................................................................

10

III. METODE PENELITIAN


A. Waktu dan Lokasi Penelitian.................................................................

13

B. Bahan dan Alat......................................................................................

13

C. Metode ...................................................................................................

13

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN


A. Letak dan Luas .......................................................................................

23

B. Topografi ................................................................................................

23

C. Kondisi Iklim..........................................................................................

23

D. Kondisi Tanah ........................................................................................

25

E. Kondisi Vegetasi.....................................................................................

26

V. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Karakteristik Bahan Bakar .....................................................................

27

B. Perilaku Api............................................................................................

29

C. Dampak Pembakaran Hutan terhadap Fauna Tanah...............................

33

1. Nilai Kekayaan Jenis ..........................................................................

39

2. Nilai Keragaman Jenis .......................................................................

41

3. Nilai Kemerataan Jenis.......................................................................

43

D. Pengaruh Perilaku Api terhadap Fauna Tanah........................................

47

VI. KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan..............................................................................................

49

B. Saran ........................................................................................................

50

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................

51

DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................

53

DAFTAR TABEL
No.

Halaman

1. Rata-Rata Unsur Iklim Bulanan Periode Tahun 2004 dan 2005 di


Wilayah Bogor

23

2. Karakteristik Bahan Bakar sebelum Penebangan, sesaat setelah


Penebangan dan sebelum Pembakaran

28

3. Perilaku Api dan Kondisi setelah Pembakaran

30

4. Suhu Pembakaran dan Suhu setelah Pembakaran

32

5. Rekapitulasi Kelimpahan Individu Fauna Tanah sebelum dan setelah


Pembakaran

36

6. Rekapitulasi Fauna Tanah Berdasarkan Ordo sebelum dan setelah


Pembakaran

38

7. Nilai Kekayaan Jenis (Dmg) Fauna Tanah

39

8. Nilai Keragaman Jenis (H) Fauna Tanah

41

9. Nilai Kemerataan Jenis (E) Fauna Tanah

43

10. Nilai Kemiripan Dua Komunitas (Index of Similarity/IS)

45

11. Rata -Rata Nilai Dmg, H, E Fauna Tanah sebelum dan setelah
Pembakaran

46

DAFTAR GAMBAR
No.

Halaman

1. Segitiga Api ( Clar and Chatten, 1954)

2. Sketsa Plot Penelitian dan Sekat Bakar

14

3. Proses Pembakaran

16

4. Pengukuran Laju Penjalaran Api

17

5. Pengukuran Tinggi Api

17

6. Nilai Kekayaan Jenis Fauna Tanah

40

7. Nilai Keragaman Jenis Fauna Tanah

42

8. Nilai Kemerataan Jenis Fauna Tanah

44

9.

47

Nilai Dmg, H, E pada sebelum Penebangan, setelah Penebangan, 3 hari


setelah Penebangan dan 2 Minggu setelah Penebangan

DAFTAR LAMPIRAN
No.

Halaman

1. Gambar Kondisi Plot Penelitian sebelum dan setelah Pembakaran

53

2. Rekapitulasi Keanekaragaman Fauna Tanah Sebelum dan Setelah


Pembakaran

54

3. Distribusi Jumlah Fauna Tanah Berdasarkan Ordo Sebelum dan Setelah


Pembakaran

62

4. Gambar Fauna Tanah pada Areal Pengamatan

66

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebakaran hutan merupakan salah satu penyebab dari musnahnya hutan


secara cepat, padahal suksesi secara alami yang diharapkan untuk mengembalikan
hutan ke asalnya sangat memerlukan waktu yang lama. Kebakaran hutan yang
terjadi dapat menimbulkan dampak yang sangat besar bagi kelangsungan
ekosistem dunia dan manusia.
Pada dasarnya penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia hampir
99% karena ulah manusia baik sengaja maupun tidak sengaja (unsur kelalaian)
yaitu kegiatan konversi lahan, perladangan berpindah, pertanian, proyek
transmigrasi dan dari alam yang bermula dari proses reaksi cepat dari oksigen
dengan bahan bakar yang ada di hutan dan ditandai dengan meningkatnya suhu
dan disertai dengan menyalanya api (Chandler et al., 1983). Masalah kebakaran
hutan dan lahan mengalami peningkatan yang cukup serius, terbukti pada tahun
1997/1998 telah terjadi kebakaran hutan dan lahan seluas 10 juta hektar dan 75
juta orang terkena dampaknya serta kerugian ekonomi yang diduga mencapai 9
milyar US Dollar (Bapenas / ADB, 1999 dalam Suyanto dan Applegate, 2001).
Kegiatan pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan membutuhkan
biaya yang sangat tinggi dalam hal pengadaan sarana dan prasarana pengendalian
kebakaran hutan, penyediaan sumberdaya manusia dan pelatihan pencegahan
kebakaran hutan. Adapun salah satu faktor penentu dalam kegiatan pencegahan
dan pengendalian / pemadaman api adalah dengan cara mengenali perilaku api
pada tempat berlangsungnya kebakaran bahkan dapat juga dilaksanakan sebelum
kebakaran itu terjadi. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku api antara lain
angin, suhu udara, kelembaban udara, curah hujan, topagrafi dan tipe serta sifat
bahan bakar yang terdapat di hutan. Pengetahuan tentang perilaku api ini sangat
membantu dalam mengantisipasi kebakaran yang lebih besar dan dapat
mengurangi kerugian yang dikaitkan dengan dampak terhadap lingkungan.

Kebakaran hutan menimbulkan dampak terhadap tanah, salah satunya


adalah mempengaruhi sifat biologi tanah yang terdiri dari fauna tanah, bakteri,
fungi, akar tanaman dan biji-bijian. Akibat dari kebakaran hutan langsung
berpengaruh terhadap kehidupan fauna tanah yang ada di permukaan maupun di
dalam tanah. Kebakaran hutan dapat menyebabkan kematian, penurunan dan
mempengaruhi perkembangan kelimpahan fauna tanah (makroorganisme dan
mikroorganisme) yang penting dalam ekosistem hutan untuk menjaga dan
meningkatkan kesuburan tanah.
Fauna tanah yang mengalami penurunan atau bahkan habis terkena dampak
kebakaran hutan membutuhkan waktu yang lama untuk dapat kembali seperti
semula. Kondisi tanah setelah kebakaran dapat dikembalikan seperti kondisi tanah
yang tingkat ketersediaan haranya mencukupi kebutuhan tanaman sangat
membutuhkan peran penting dari fauna tanah, oleh karena itu dibutuhkan data
tentang pengaruh kebakaran hutan terhadap fauna tanah pada kondisi sebelum dan
sesudah terbakar.

B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengukur perilaku api dan dampak yang
ditimbulkan oleh pembakaran hutan terhadap fauna tanah pada lahan terbakar di
hutan sekunder.

C. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi dan
pengetahuan tentang perilaku api dan dampak pembakaran hutan terhadap fauna
tanah pada lahan terbakar di hutan sekunder.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan merupakan salah satu bentuk ancaman dan gangguan
terhadap kelestarian hutan. Brown dan Davis (1973) menyebutkan bahwa
kebakaran hutan adalah fenomena alam yang merupakan peristiwa perubahan
fisika dan kimia dari bahan bakar hutan akibat pemanasan (peristiwa oksidasi)
yang menghasilkan energi panas yang mempunyai sifat tidak tertekan dan bebas
dalam geraka nnya (free burning). Selain itu kebakaran hutan juga didefenisikan
sebagai suatu proses pembakaran yang menyebar secara bebas dengan
mengkonsumsi bahan bakar alam hutan seperti serasah, rumput, humus, rantingranting kayu mati, kayu, tiang, gulma, dedaunan, semak dan pohon-pohon segar.
Terjadinya suatu proses kebakaran dipengaruhi oleh tiga elemen penting
yaitu tersedianya bahan bakar yang mudah terbakar, cukup panas yang digunakan
oleh bahan bakar untuk menaikkan temperatur sampai ke titik penyalaan dan
cukup udara untuk mensuplai oksigen yang dibutuhkan untuk menjaga proses
pembakaran dan menjaga persediaan panas untuk menyalakan bahan bakar yang
belum terbakar, kombinasi ketiga elemen tersebut biasa disebut dengan segitiga
api atau fire triangle (Clar and Chatten, 1954)

Bahan bakar

API

Oksigen

Sumber Panas

Gambar 1. Segitiga Api (Clar and Chatten, 1954)

Menurut Brown dan Davis (1973), proses kebakaran merupakan reaksi


kimia yang merupakan kebalikan dari proses fotosintesis. Dimana reaksinya
sebagai berikut:
Proses fotosintesis:
6CO 2 + 6H2O + Energi Matahari

C 6 H12O6 + 6O2

Proses Pembakaran:
C6 H12 O6 + 6O2 + Sumber Panas

6CO 2 + 6H2O + Energi Panas

Selama proses kebakaran terdapat lima fase kebakaran (DeBano et al.,1998)


terdiri dari:
1. Pra -penyalaan (Pre-Ignition)
Pada fase ini bahan bakar mulai terpanaskan, kering dan mulai mengalami
pelepasan uap air, CO 2 dan gas-gas yang mudah terbakar termasuk methane,
methanol dan hidrogen (pirolisis). Dalam proses ini terjadi perubahan reaksi yaitu
dari proses exothermic (melepaskan panas) menjadi endothermic (memerlukan
panas).
2. Penyalaan (Flaming )
Proses pirolisis melaju dan mempercepat oksidasi dari gas-gas yang mudah
terbakar. Gas-gas yang mudah terbakar dan uap air mengakibatkan pirolisis
meningkat disekitar bahan bakar termasuk oksigen dan pembakaran terjadi selama
tahap ini. Api mulai menyala dan dapat merembet dengan cepat akibat hembusan
angin dan gas-gas yang pada tahap flaming mudah terbakar menandai penyalaan
bahan bakar.

3. Pembaraan (Smoldering)
Pada fase ini mempunyai dua zona, yaitu (1) zona pirolisis dengan
berkembangnya hasil-hasil pembakaran dan (2) zona arang dengan pelepasan hasil
pembakaran yang tidak terlihat. Laju penjalaran api mulai menurun karena bahan
bakar tidak dapat mensuplai gas-gas yang dapat terbakar. Panas yang dilepaskan

menurun dan suhunya pun menurun menyebabkan gas-gas lebih banyak


berkondensasi ke dalam asap.
4. Pemijaran (Glowing )
Fase ini merupakan fase akhir dari Smoldering. Bila suatu kebakaran
mencapai fase glowing, sebagian dari gas -gas yang mudah menguap akan hilang
dan oksigen mengadakan kontak langsung dengan permukaan dari bahan bakar
yang mengarang. Hasil dari fase ini adalah CO, CO2, dan abu sisa pembakaran.

5. Padam (Extinction)
Suatu kebakaran akhirnya berhenti bila semua bahan bakar yang te rsedia
telah dikonsumsi atau ketika panas yang dihasilkan dari oksidasi tidak mampu
lagi untuk menguapkan air yang berasal dari bahan bakar. Panas yang diserap oleh
bahan bakar, udara sekitar atau bahan inorganik akan mempercepat proses
kematian api.
Ada tiga tahap dalam proses kebakaran pada pohon (Chandler et al., 1983)
yaitu:
1. Penyerapan panas (endoterm), dimana bahan bakar menyerap panas sampai
mencapai titik bakar.
2. Peningkatan suhu yang disertai penguapan air dan hancurnya molekul pada
jaringan pohon serta melepaskan kandungannya yang mudah terbakar.
3. Pelepasan panas (eksoterm), dimana bahan bakar selulosa terbakar dan
melepaskan panas serta uap air dari pembakaran.

Kebakaran hutan terbagi menjadi tiga tipe berdasarkan perbedaan cara


penjalaran dan posisi api di tanah (Brown and Davis, 1973):

1. Kebakaran bawah (ground fire)


Merupakan kebakaran yang mengkonsumsi bahan bakar berupa material
organik di bawah permukaan tanah hutan seperti bahan organik yang membusuk,
humus, gambut dan lapisan tanah bagian atas. Kebakaran ini sangat sulit dideteksi
dan penjalaran api lambat sekali karena tidak dipengaruhi oleh kecepatan angin

serta ditandai dengan adanya asap putih yang keluar dari bawah permukaan tanah.
Arah kebakaran bawah adalah kesegala arah sehingga kebakaran bawah berbentuk
lingkaran.

2. Kebakaran permukaan (surface fire)


Kebakaran yang mengkonsumsi bahan bakar yang ada di lantai hutan yaitu
di bawah tajuk pohon dan di atas permukaan tanah berupa serasah dan tumbuhan
bawah. Kebakaran ini sering terjadi di tegakan hutan alam dan sekunder dan tidak
pada hutan rawa gambut. Kemudian kebakaran ini juga dapat menjalar pada
vegetasi yang lebih tinggi dan penjalarannya dimulai dari permukaan lantai hutan.
Penjalaran api berbentuk lonjong atau clips karena dipengaruhi oleh angin.

3. Kebakaran atas (crown fire)


Kebakaran atas disebut juga dengan kebakaran tajuk. Kebakaran atas ini
menjalar dari satu tajuk pohon ke tajuk pohon lainnya dengan cara mengkonsumsi
bahan bakar yang ada di tajuk pohon tersebut berupa daun, cangkang, biji dan
ranting bagian atas pohon.

B. Perilaku Api dan Faktor yang Mempengaruhi


Perilaku api adalah suatu reaksi api terhadap lingkungannya seperti keadaan
bahan bakar yang tersedia untuk terbakar, iklim, kondisi cuaca lokal dan
topografi. Perilaku api dapat berubah dalam ruang dan waktu atau keduanya
dalam hubungan perubahan komponen lingkungan tersebut (Chandler et al.,
1983).
Menurut Clar dan Chatten (1954), faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku api antara lain:
1. Ketersediaan bahan bakar
Intensitas kebakaran ditentukan oleh jumlah energi yang tersimpan di dalam
bahan bakar, susunan bahan bakar dapat mempengaruhi aerasi dan penjalaran api
secara vertikal dan horizontal, distribusi ukuran bahan bakar dapat mempengaruhi

api yang menyala dan kandungan bahan kimia bahan bakar dapat mempengaruhi
flammabilitas (kemudahan untuk terbakar).
2. Kondisi lingkungan (kelembaban dan temperatur)
Kelembaban dan temperatur dapat mempengaruhi kadar air bahan bakar,
mengurangi nyala api, pembakaran dan penjalaran api. Suhu bumi tertinggi (Clar
and Chatten, 1954) terjadi pada pukul 13.30-15.30 WIB yang tidak berhimpit
dengan radiasi matahari maksimum pada pukul 12.00 WIB. Faktor curah hujan,
temperatur dan kelembaban nisbi berpengaruh terhadap kadar air bahan bakar
sehingga berpengaruh terhadap peristiwa kebakaran. Panjang suatu musim
kemarau mempengaruhi panjang musim kebakaran.

3. Angin
Angin berperan dalam penyediaan oksigen untuk menunjang terjadinya
pembakaran, membantu dalam pengeringan bahan bakar dan mempengaruhi arah
penjalaran api, hal ini didukung oleh Chandler et al., (1983) yaitu penjalaran api
sangat dipengaruhi oleh keadaan angin. Udara panas dan angin kencang dapat
menghembuskan bara api sehingga menimbulkan kebakaran baru pada daerah
yang dilaluinya.

4. Topografi
Faktor topografi yang berperan dalam penyebaran api adalah kemiringan.
Ketinggian tempat, letak, lereng dan kondisi permukaan tanah berpengaruh
terhadap penjalaran dan kekerasan pembakaran. Pada daerah yang tidak rata
dimana frekwensi dan variasi topografi cukup besar maka penyebaran kebakaran
hutan tidak teratur yang dapat menyulitkan untuk tindakan pemadaman kebakaran
hutan. Berkaitan dengan kelerengan bahwa kecepatan penjalaran api meningkat
dua kali pada setiap kenaikan kelerengan sebesar 100 (Mc Arthur,1962 dalam
Chandler et al., 1983), kecepatan penjalaran api meningkat dua kali pada
kelerengan 150-300 dan setiap 100 (Chandler et al., 1983), kecepatan penjalaran
api dapat meningkat sepuluh kali lipat pada kelerengan di atas 350 (Sheshukov op.
cit,1970 dalam Chandler et al., 1983).

Karakteristik bahan bakar yang berpengaruh terhadap perilaku api (Clar and
Chatten, 1954) adalah:
1. Ukuran bahan bakar
Bahan bakar halus mudah mengering dan mudah menyerap air. Karena
bahan bakar halus mudah kering maka apabila terbakar akan cepat meluas dan
juga cepat padam. Adapun bahan bakar halus itu berupa ranting, daun, serasah
rumput, dan semak. Mengenai bahan bakar kasar yang cepat mengering sehingga
sulit untuk terbakar seperti pohon, log-log kayu, dll.

2. Susunan bahan bakar


Susunan bahan bakar terdiri dari susunan vertikal dan horizontal. Secara
vertikal merupakan bahan bakar yang bertingkat sehingga apabila terjadi
kebakaran, api akan dapat mencapai tajuk dengan cepat. Secara horizontal
merupakan bahan bakar yang tersusun menyebar secara mendatar di lantai hutan
akan mempercepat penyebaran kebakaran.

3. Volume bahan bakar


Ada dua yaitu bahan bakar padat dan bahan bakar jarang. Pada bahan bakar
padat menimbulkan api yang besar, temperatur lebih tinggi dan sangat sulit untuk
dipadamkan sedangkan pada bahan bakar jarang menimbulkan api yang kecil dan
mudah untuk dipadamkan.

4. Jenis bahan bakar


Pada tumbuhan berdaun jarum lebih mudah terbakar daripada tumbuhan
berdaun lebar karena pada tumbuhan berdaun jarum banyak mengandung resin
(zat ekstraktif) sehingga mudah terbakar dan sulit untuk terdekomposisi.
5. Kerapatan bahan bakar
Kerapatan bahan bakar berhubungan dengan jarak antar partikel dari bahan
bakar yang berpengaruh pada persediaan udara dan pemindahan panas.

6. Kadar air bahan bakar


Kadar air bahan bakar adalah jumlah kandungan air dalam bahan bakar
yang dinyatakan dalam persentase berat air terhadap berat kotor bahan bakar yang
dikeringkan dalam suhu 100 0C. Apabila bahan bakar mengandung kadar air yang
tinggi maka api tidak akan menyala dan kebakaran hutan tidak akan terjadi tetapi
jika bahan bakar mengandung kadar air yang sedikit maka api akan menyala dan
kebakaran hutan akan terjadi. Besar kecilnya nyala api tergantung pada besar
kecilnya proses pembakaran sedangkan besar kecilnya proses pembakaran
tergantung pada bahan bakar yang mengandung kadar air cukup sehingga
memungkinkan api menyala.

C. Dampak Kebakaran
Kebakaran hutan dalam beberapa tahun terakhir ini ter jadi hampir setiap
tahun, khususnya pada musim kering. Kebakaran yang cukup besar terjadi di
Kalimantan Timur yaitu pada tahun 1982/1983 dan tahun 1997/1998.
Menurut Chandler et al., (1983) menyebutkan bahwa kebakaran hutan
banyak menimbulkan pengaruh pada areal yang terbakar tersebut yaitu terhadap
tanah, udara, iklim (terutama iklim mikro), vegetasi, margasatwa, dan ekosistem.
Kebakaran hutan yang cukup besar seperti yang terjadi pada tahun 1997/1998
menimbulkan dampak yang sangat luas seperti kerugian material kayu, non kayu
dan hewan. Selain itu, dampak dari kebakaran hutan yang sampai saat ini menjadi
isu global adalah asap dari hasil pembakaran yang telah melintasi batas negara.
Akibat dari kebakaran hutan berpengaruh langsung terhadap satwa liar yang
mempunyai kemampuan terbatas untuk berpindah jauh atau bergerak cepat dan
satwa yang hanya tahan terhadap kondisi suhu dan kelembaban tertentu seperti
serangga dan amfibia.
Dampak lain dari kebakaran hutan adalah rusaknya kondisi tanah hutan.
Hutan yang terbakar berat akan sulit dipulihkan, karena struktur tanahnya
mengalami kerusakan. Hilangnya tumbuh-tumbuhan menyebabkan lahan terbuka
sehingga mudah tererosi dan tidak dapat lagi menahan bencana banjir. Adapun
kerugian akibat bencana banjir tersebut sangat sulit untuk diperhitungkan.

Perusakan serasah atau lapisan penutup tanah akibat ganasnya api atau
mekanisme lainnya akan sangat berpengaruh di dalam suplai makanan, kandungan
air, suhu dan pH tanah yang dapat mengurangi sepertiga jumlah fauna tanah.
Serasah membantu tanah dalam mempertahankan tingginya tingkat kelembaban
yang mempengaruhi kestabilan temperatur sehingga tubuh hewan yang hidup di
dalam tanah tidak kehilangan kelembaban (Wallwork, 1970).
Kebakaran hutan juga berdampak terhadap biota-biota ta nah yang terdapat
pada areal hutan yang terbakar tersebut. Makroorganisme tanah seperti cacing
tanah yang dapat meningkatkan aerasi dan drainase tanah serta mikroorganisme
tanah seperti mikoriza yang dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara P, Zn,
Cu, Ca, Mg dan Fe akan terbunuh. Selain itu bakteri fiksasi nitrogen pada bintilbintil akar tumbuhan Leguminosae juga akan mati sehingga laju fiksasi nitrogen
akan menurun. Mikroorganisme tersebut mati apabila temperatur melebihi batas
normal, karena sebagian besar mikroorganisme tanah memiliki adaptasi suhu yang
sempit. Namun demikian, apabila mikroorganisme tanah tersebut mampu bertahan
hidup, maka ancaman berikutnya adalah terjadinya perubahan iklim mikro yang
juga dapat membunuh mikroorganisme tanah tersebut.

D. Sifat Biologi Tanah


Sifat biologi tanah adalah kisaran luas dari organisme hidup yang tinggal di
dalam tanah dan mendukung secara langsung produktivitas serta kelestarian dari
ekosistem teresterial. Adapun komponen sifat biologi tanah itu terdiri dari fauna
tanah, bakteri, fungi, akar tanaman, biji-bijian (Burges, et al.,1967). Dalam suatu
ekosistem hutan, organisme yang hidup di dalam tanah berfungsi sebagai
penghancur dan pengurai bahan organik tanah serta sebagai faktor pembentuk
tanah untuk me njaga kesuburan tanah hutan.
Fauna tanah adalah sebagian besar binatang yang siklus hidupnya
berlangsung di dalam tubuh tanah, permukaan tanah dan lapisan serasah.

Wallwork (1970), membagi fauna tanah berdasarkan ukuran tubuh menjadi


tiga kelompok, yaitu :
1. Kelompok Mikrofauna yang memiliki ukuran tubuh 20-200, seperti :
Protozoa, Acarina, Nematoda, Rotifera dan Tardigrada.
2. Kelompok Mesofauna yang memiliki ukuran tubuh 200-1 cm, seperti :
Acarina, Collembola, Nematoda, Rotifera, Araneida, larva serangga dan
Isopoda.
3. Kelompok Makrofauna yang memiliki ukuran tubuh lebih dari 1 cm,
seperti : Megascolecidae, serangga dan vertebrata kecil.
Kevan (1962) dan Groombridge (1991), membagi fauna tanah
berdasarkan habitatnya menjadi tiga kategori yaitu :
1. Hemiedaphon adalah binatang tanah yang mendiami lapisan serasah yang
membusuk, contoh : kutu kayu dan kaki seribu.
2. Epedaphon adalah binatang tanah yang mendiami permukaan tanah,
contoh : kumbang dan kalajengking.
3. Eudaphon adalah binatang tanah yang mendiami tanah mineral, contoh :
cacing tanah dan kutu.
Menurut Hole (1981), binatang endopedonik adalah kelompok binatang
yang lazim terdapat/ditemukan/menghuni sistem tanah dan mempengaruhi aspek
penampilan tanah dari sisi dalam. Binatang endopedonik dapat dibagi berdasarkan
lama menghuni sistem tanah, ukuran tubuh, kedudukan dalam rantai makanan,
relung ekologisnya, kemampuan membuat rongga. Binatang endopedonik dapat
dibagi menjadi :
1. Binatang-binatang penghuni lapisan atas permukaan tanah yang hidup
dalam serasah, (misalnya : Isoptera, Glomeridae, Diplopoda, Collembola)
dan binatang yang hidup di balik batu, kayu dan celah (misalnya :
kalajengking).
2. Binatang-binatang perombak tanah yang terdiri dari binatang pemamah
tanah (misalnya : cacing tanah dan milipede) dan binatang-binatang
penggunduk tanah (misalnya : semut, rayap, mamalia dan cryfish).
3. Binatang-binatang penggali tanah(misalnya : semut, rayap, Nematoda,
cacing tanah dan binatang penghuni rongga).

Berdasarkan hubungan filogeniknya, binatang endopedonik ini terbagi menjadi :


1. Binatang protozoa protistan, terdiri dari filum Mycomycetes, misalnya :
Suctoria, filum Ciliophora, misalnya : Ciliata , filum Rhizopoda,
misalnya : Flagellata .
2. Animalia, terdiri dari filum Platyhelminthes, misalnya : Turbellaria,
filum Aschelminthes, misalnya : Rotifera, Gastrotrica dan Nematoda ,
filum Mollusca, misalnya : Gastropoda, filum Annelida, misalnya :
Oligochaeta, Tradigrada, Crustacea, Arachnida, Myriaphoda, Hexapoda
dan Chordata.

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April Juli 2005 yang berlokasi di
Hutan Sekunder Haurbentes, Jasinga Jawa Barat.

B. Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan bakar yang
tersedia di setiap plot pengamatan, air, contoh tanah, alkohol 70%, kertas label
dan kantong plastik transparan. Sedangkan alat-alat yang digunakan adalah
thermometer, hygrometer, anemometer, oven, timbangan/neraca digital, parang,
kantong plastik, koran pembungkus, tali, stopwatch, pita ukur, patok kayu, tiang
penggantung alat, tiang bambu berskala (untuk mengukur tinggi api), bahan bakar
minyak, obor penyulut, kamera, timbangan O Hauss, pisau, cangkul, ring tanah,
tabung plastik bekas film, corong berlis, cawan petri, mikroskop, botol aqua,
penggaris, alat tulis dan tally sheet.

C. Metode Penelitian
1. Kegiatan Sebelum Pembakaran
a. Pengukuran parameter kondisi lingkungan
Sebelum kegiatan pembakaran, dilakukan pengukuran kondisi lingkungan.
Parameter yang diukur adalah suhu udara dengan menggunakan thermometer,
kelembaban udara dengan menggunakan hygrometer serta kecepatan angin
dengan menggunakan anemometer. Pengukuran dilakukan pada setiap plot untuk
mengetahui kondisi lingkungan sebelum dilakukan pembakaran.

b. Pembuatan plot dan sekat bakar


Pada lahan hutan sekunder dibuat tiga plot yang berukuran 25 m2 (5m x
5m). Lalu dibuat sekat bakar berbentuk jalur yang dibersihkan dari bahan bakar
dengan lebar 3 m dengan tujuan agar tidak terjadi penjalaran api keluar plot.
Sekat Bakar

Gambar 2. Sketsa plot penelitian dan sekat bakar

c. Penyiapan lahan
Seluruh vegetasi (semak, semai, pancang, tiang dan pohon) yang ada pada
masing-masing plot ditebang dan ditebas mulai dari pangkal kemudian
dikeringkan selama 5 minggu secara ala mi dibawah terik matahari.

d. Pengukuran kadar air bahan bakar


Untuk pengukuran kadar air bahan bakar dilakukan dengan membuat 3 subplot dengan ukuran 1 m x 1 m pada setiap plot yaitu sesaat setelah semua vegetasi
ditebang dan 5 minggu setelah ditebang. Dari pengukuran kadar air bahan bakar
ini akan diketahui penurunan kadar air bahan bakar (serasah/daun, ranting dan
batang) sebagai akibat pengeringan di bawah terik matahari. Pengukuran kadar air
dilakukan dengan mengambil sampel bahan bakar seberat 20 gr untuk ditentukan
berat basahnya dan dioven dengan suhu 1000 C selama 24 jam untuk mengetahui
berat keringnya (Clar and Chatten, 1954). Penentuan kadar air bahan bakar
dihitung dengan rumus:
KA = {(BB BK) / BK} x 100%
Keterangan : KA = Kadar air bahan bakar (%)
BB = Berat basah bahan bakar (gr)
BK = Berat kering bahan bakar (gr)

e. Pengukuran muatan dan ketebalan bahan bakar


Pengukuran muatan bahan bakar dilakukan pada setiap sub-plot untuk
masing-masing plot pada saat setelah ditebang dan 5 minggu setelah ditebang
(sebelum dibakar). Muatan bahan bakar diukur dengan cara mengumpulkan
seluruh bahan bakar yang terdapat dalam sub plot kemudian ditimbang
berdasarkan jenis bahan bakarnya (serasah, ranting dan batang), dan dinyatakan
dalam ton/ha. Untuk pengukuran ketebalan bahan bakar dihitung berdasarkan
tinggi rata-rata bahan bakar yang dilakukan secara acak pada sub-plot untuk
masing-masing plot.

f. Pengamatan fauna tanah


Pengamatan fauna tanah sebelum pembakaran dilakukan pada tiga sub-plot
berukuran 1 m x 1 m di setiap plot pengamatan. Pengamatan dilakukan pada
permukaan tanah dan tingkat kedalaman 0 5 cm pada lahan yang belum dibakar.
Fauna-fauna yang dijumpai dan yang dapat ditangkap dimasukkan ke dalam
tabung-tabung plastik berisi alkohol 70% yang telah diberi label berdasarkan plot
pengamatan dan kedalamannya. Sedangkan untuk mendapatkan fauna -fauna tanah
yang terdapat dalam tanah menggunakan corong berlis. Tanah yang telah diambil
dengan ring tanah dimasukkan ke dalam corong berlis selama 24 jam untuk
pemisahan fauna tanah dari tanah.

2. Kegiatan pada Saat Pembakaran


a. Pengukuran parameter kondisi lingkungan
Pada saat kegiatan pembakaran, dilakukan pengukuran kondisi lingkungan.
Parameter ya ng diukur adalah suhu udara dengan menggunakan thermometer,
kelembaban udara dengan menggunakan hygrometer dan kecepatan angin dengan
menggunakan anemometer. Pengukuran dilakukan pada setiap plot karena kondisi
lingkungan dapat mempengaruhi proses pembakaran dan perilaku api.

b. Proses Pembakaran
Proses pembakaran dilakukan dengan metode Ring Firing pada masingmasing plot mulai dari pukul 14.10 hingga 15.45 WIB dengan menggunakan obor
minyak tanah yang terbuat dari kain sebagai sumber api. Dimulai denga n
penentuan titik pembakaran sebanyak 4 titik oleh 4 orang yang akan melakukan
penyulutan api.

B
BAHAN BAKAR
C
D
Gambar 3. Metode pembakaran pada plot

Keterangan:
A, B, C, D : Pembakar
: Arah pembakaran
: Arah angin
c. Pengukuran suhu pembakaran
Suhu api diukur pada 5 titik yaitu pada permukaan tanah, kedalaman 1 cm,
5 cm, 10 cm dan 15 cm di bawah permukaan tanah dengan menggunakan
thermometer tanah.
d. Pengukuran laju penjalaran api
Dilakukan dengan memasang kayu yang dipancangkan pada setiap 1 m di
sisi plot. Laju penjalaran api dihitung dengan merata -ratakan jarak yang ditempuh
muka api per menit. Adapun alat yang digunakan adalah stopwatch dan pita ukur.

X X X

Gambar 4. Pengukuran laju penjalaran api

Keterangan: X = pancang kayu


= arah angin
e. Pengukuran tinggi api
Pengukuran tinggi api dilakukan dengan mengukur jarak rata-rata antara
tinggi puncak nyala api dari permukaan bahan bakar. Alat pengukur tinggi berupa
tiang bambu disertai skala selang 1 m yang dipasang pada 5 titik. Alat yang
digunakan adalah kamera sebagai sarana penghitungan.
X

X
X

Gambar 5. Pengukuran tinggi api

Keterangan: X = tiang pohon berskala

3. Kegiatan Setelah Pembakaran


a. Pengukuran bahan bakar yang tersisa
Pengukuran bahan bakar yang tersisa karena tidak terbakar dilakukan
dengan cara mengamati pada setiap plot dan dihitung persentase untuk setiap jenis
bahan bakar yang terbakar dan dikalikan dengan potensial dari masing-masing
jenis bahan bakar.

b. Pengukuran luas lahan yang terbakar


Pengukuran dilakukan setelah kebakaran benar-benar telah selesai dengan
menggunakan pita ukur. Persentase luas lahan yang terbakar dihitung dengan
menggunakan rumus :
% luas lahan yang terbakar = Luas lahan yang terbakar/Luas plot x 100%
c. Pengukuran suhu setelah pembakaran
Pengukuran dilakukan pada permukaan tanah, 1 cm, 5 cm, 10 cm dan 15 cm
di bawah permukaan tanah dengan menggunakan thermometer tanah. Kemudian
dilakukan pengukuran suhu udara dengan menggunakan thermometer udara.
d. Pengukuran penutupan abu
Pengukuran penutupan abu setelah pembakaran pada lahan yang terbakar
dilakukan dengan cara memperkirakan persentase abu yang menutupi setiap plot
pengamatan.

e. Pengamatan fauna tanah


Pengamatan fauna tanah setelah pembakaran dilakukan pada tiga sub-plot
berukuran 1 m x 1 m di setiap plot pengamatan. Pengamatan dilakukan pada lahan
yang telah dibakar yaitu sesaat setelah dibakar, 3 hari, 1 minggu, 2 minggu, 3
minggu dan 4 minggu setelah pembakaran. Fauna -fauna yang dijumpai dan yang
dapat ditangkap dimasukkan ke dalam tabung-tabung plastik berisi alkohol 70%
yang telah diberi label berdasarkan sub-plot di setiap plot pengamatan dan
kedalamannya. Sedangkan untuk mendapatkan fauna-fauna tanah yang terdapat
dalam tanah menggunakan corong berlis. Tanah yang telah diambil dengan ring
tanah dimasukkan ke dalam corong berlis selama 24 jam untuk pemisahan fauna
tanah dari tanah.

4. Variabel Perilaku Api

Variabel perilaku api antara lain:


a. Intensitas kebakaran
Intensitas kebakaran diukur dengan menggunakan persamaan Bryam
(Chandler et al., 1983).
I = 237 (H) 2.17
Dimana, I : Intensitas api (kW/m)
H: Tinggi api (m)

b. Pemanasan per unit area


Pemanasan per unit area diukur dengan menggunakan persamaan Bryam
(Johnson, 1992).
HA = I/R
Dimana, H : Pemanasan per unit area (Kj/m2)
I : Intensitas kebakaran (kW/m)
R : Kecepatan penjalaran (m/menit)

5. Analisis Data
Analisis statistik rancangan percobaan yaitu Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dengan bentuk persamaan :
yi j =

+ i

i j

(Mattjik dan Sumetajaya, 2000)

Dimana :
yij = Parameter pada plot ke-i dan pengukuran ke-j
= Rataan umum
I = Pengaruh plot ke -i
ij = Pengaruh acak pada plot ke-i pengukuran ke -j
Selanjutnya dengan menggunakan Uji Duncan dengan p<0,05 untuk melihat
hubungan parameter yang diukur untuk setiap plot penelitian yang menggunakan
analisis One Way Anova dengan software SPSS.

6. Analisis data untuk sifat biologi tanah


Analisis data yang dilakukan adalah analisis kekayaan, keragaman dan
kemerataan jenis pada lahan sebelum dibakar dan setelah dibakar.

a. Nilai kekayaan jenis


Nilai kekayaan jenis digunakan untuk mengetahui keanekaragaman jenis
berdasarkan jumlah jenis pada suatu ekosistem. Indeks yang digunakan adalah
indeks kekayaan jenis Margalef (Magurran, 1998) :
DMg = (S 1)
ln N
Keterangan :
DMg = Indeks kekayaan jenis Margalef
S

= Jumlah jenis yang ditemukan

= Jumlah individu seluruh jenis

b. Nilai keragaman jenis


Untuk mengetahui keragaman jenis berdasarkan kelimpahan individunya
digunakan Indeks Shannon-Wiener :
H = Keterangan :

Pi ln Pi

dengan

Pi = ni/N

H = Indeks keragaman jenis Shannon-Wiener


ni = Jumlah individu jenis ke-i
Jumlah individu jenis ke -i (ni) diperoleh dengan memperhitungkan nilai
frekuensi kemunculan jenis tersebut dari seluruh plot pengamatan di setiap
ekosistem.
Ni = Frekuensi x jumlah individu yang tertangkap
Frekuensi = plot pengamatan jenis ke-i
Seluruh petak yang diamati

Nilai H berkisar antara 1,5 3,5. Nilai <1,5 menunjukkan keragaman


rendah, nilai 1,5 3,5 menunjukkan keragaman sedang dan nilai >3,5
menunjukkan keragaman tinggi (Magurran, 1998).

c. Nilai kemerataan jenis


Indeks ini menunjukkan derajat kemerataan kelimpahan individu setiap
jenis. Rumus yang digunakan adalah nilai evenness :
E = H/ln S
Keterangan :
E = Indeks kemerataan jenis
H = Indeks kelimpahan individu jenis Shannon-Wiener
S = Jumlah jenis yang ditemukan
Nilai E berkisar antara 0 1. Nilai 1 menunjukkan seluruh jenis ada dengan
kelimpahan yang sama (Magurran, 1998).

d. Indeks of Similarity (IS)


Indeks kesamaan antar 2 komunitas fauna tanah sebelum dan setelah
pembakaran dapat dibandingkan dengan menggunakan analisis asosiasi komunitas
dengan rumus :
2W
IS =

X 100 %
a+b

Keterangan :
IS = Index of Similarity (indeks kesamaan antara 2 komunitas)
sebelum dan setelah pembakaran
W = Nilai yang lebih rendah atau sama dengan dari 2 komunitas
yang dibandingkan
a = total komunitas fauna tanah sebelum pembakaran
b = total komunitas fauna tanah setelah pembakaran
Nilai IS berkisar antara 100 % dan 0 %. Nilai 100 % menunjukkan apabila dua
komunitas fauna tanah yang dibandingkan benar-benar sama (persis kembali ke

kondisi sebelum dibakar), nilai 0 % apabila dua komunitas tersebut berbeda. Pada
umumnya dua komunitas dianggap sama apabila mempunyai nilai IS>75 %.
e. Uji Duncan dengan p<0.05 untuk mengetahui hubungan antara nilai kekayaan
jenis, keragaman jenis dan kemerataan jenis untuk beberapa periode sebelum dan
setelah pembakaran yang menggunakan analisis One Way Anova dengan software
SPSS.

IV. KEADAAN UMUM LOKASI


A. Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksa nakan di hutan sekunder yang berlokasi di Desa Curug,
Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Status lahannya
adalah sebagai lahan milik dan mempunyai total luas areal 10 ha.

B. Topografi
Areal penelitian terletak pada ketinggian berkisar antara 200-300 m di atas
permukaan laut dengan keadaan lapangan yang datar.

C. Iklim
Daerah ini termasuk dalam kategori iklim basah dengan tipe curah hujan A
(menurut Scmidt dan Fergusson), curah hujan rata-rata 3000-4000 mm/tahun dan
jumlah hari hujan rata-rata 140-260 hari/tahun.
Kondisi iklim daerah ini pada periode tahun 2004 dan 2005 dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Rata -rata unsur iklim bulanan periode tahun 2004 dan 2005 di wilayah
Bogor
Unsur Iklim
Suhu
Suhu
Suhu
Kelembaban
Lama
Kecepatan
Curah
rataMaksi
Minim
Relatif (%)
Penyinaran
Angin
hujan
rata
mum
um
Matahari (%)
(km/jam)
(mm)
0
0
0
( C)
( C)
( C)
Januari 04
25.6
30.9
22.5
88
57
2.1
376
Februari
25.3
30.3
22.9
89
30
1.8
232
Maret
25.8
31.8
23.0
85
53
2.3
246
April
26.3
32.6
23.2
87
76
2.3
462
Mei
26.1
32.4
23.1
86
70
1.7
258
Juni
25.4
31.9
21.7
82
75
1.8
142
Juli
25.5
31.7
22.2
83
79
1.7
283
Agustus
25.7
32.5
21.4
76
87
2.1
221
September
25.8
32.5
22.3
82
82
2.2
161
Oktober
26.3
33.1
22.4
80
88
2.3
220
November
26.1
32.0
26.1
86
64
2.3
238
Desember
25.8
30.7
23.1
86
35
2.3
302
Rata-rata
25.8
32.0
22.8
84.0
69.0
2.0
262
Januari 05
25.2
29.7
23.0
90
35
2.3
332
Februari
25.4
30.8
23.0
89
48
2.1
303
Maret
26.0
31.3
23.2
87
59
2.4
362
April
26.2
31.9
23.2
85
67
2.3
199
Mei
26.4
31.9
23.5
85
74
1.9
233
Juni
25.9
31.4
23.0
87
67
1.9
484
Rata-rata
25.8
31.1
23.2
87.1
56.6
2.2
318.8
Sumber : Badan Meteorologi dan Geofisika Balai Wilayah II, Stasiun Klimatologi Kelas I Darmaga Bogor
Bulan

Hari
hujan
(Hari)
14
15
14
19
9
5
8
4
11
12
14
14
12
12
13
11
9
12
16
12.2

Tabel 1 menunjukkan bahwa suhu udara rata -rata bulanan periode tahun
2004 berkisar antara 25.3 0C sampai dengan 26.3 0 C, suhu udara rata-rata terendah
terjadi pada bulan Februari sebesar 25.3 0C dan tertinggi terjadi pada bulan April
dan Oktober sebesar 26.3 0C. Pada tahun 2005 suhu udara rata-rata berkisar antara
25.2 0C sampai 26.4 0 C dengan suhu udara rata-rata terendah pada bulan Januari
sebesar 25.2 0 C dan tertinggi pada bulan Mei sebesar 26.4 0C.
Suhu udara maksimum pada tahun 2004 berkisar antara 30.3 0C sampai
dengan 33.1 0 C, suhu udara maksimum terendah terjadi pada bulan Februari
sebesar 30.3 0C dan tertinggi terjadi pada bulan Oktober sebesar 33.1 0C. Pada
tahun 2005 suhu udara maksimum berkisar antara 29.7

C sampai 31.9 0C, suhu

udara maksimum terendah pada bulan Januari sebesar 29.7 0C dan tertinggi pada
bulan April dan Mei sebesar 31.9 0C.
Suhu udara minimum pada tahun 2004 berkisar antara 21.4 0 C sampai
dengan 26.1 0C, suhu udara minimum terendah yaitu pada bulan Agustus sebesar
21.4 0 C dan tertinggi pada bulan November sebesar 26.1 0C. Pada tahun 2005
suhu udara minimum berkisar antara 23.0 0C sampai 23.5 0C, suhu udara
minimum terendah terjadi pada bulan Januari, Februari dan Juni sebesar 23.0 0C
sedangkan suhu udara minimum tertinggi terjadi pada bulan Mei sebesar 23.5 0C.
Kelembaban relatif merupakan kebalikan dari suhu udara rata -rata dan suhu
udara maksimum. Pada tahun 2004 kelembaban relatif berkisar antara 76 %
sampai 89 %, kelembaban relatif terendah terjadi pada bulan Agustus yaitu
sebesar 76 % dan tertinggi pada bulan Februari sebesar 89 %. Kelembaban relatif
pada tahun 2005 berkisar antara 85 % sampai 90 %, kelembaban relatif terendah
terjadi pada bulan April dan Mei sebesar 85 % sedangkan tertinggi pada bulan
Januari sebesar 90 %.
Pada tahun 2004 lama penyinaran matahari berkisar antara 30 % sampai
dengan 88 %, lama penyinaran matahari terendah terjadi pada bulan Februari
sebesar 30 % (suhu udara maksimum terendah, kelembaban relatif tertinggi) dan
tertinggi terjadi pada bulan Oktober sebesar 88 %. Pada tahun 2005 lama
penyinaran matahari berkisar antara 35 % sampai 74 %, lama penyinaran matahari
terendah terjadi pada bulan Januari sebesar 35 % dan tertinggi pada bulan Mei
sebesar 74 %.

Kecepatan angin pada tahun 2004 berkisar antara 1.7 km/jam sampai 2.3
km/jam, kecepatan angin terendah terjadi pada bulan Mei dan Juli sebesar 1.7
km/jam sedangkan tertinggi terjadi pada bulan Maret, April, Oktober, November
dan Desember sebesar 2.3 km/jam. Kemudian kecepatan angin pada tahun 2005
berkisar antara 1.9 km/jam sampai 2.4 km/jam, kecepatan angin terendah terjadi
pada bulan Mei dan Juni sebesar 1.9 km/jam sedangkan tertinggi terjadi pada
bulan Maret sebesar 2.4 km/jam.
Pada periode tahun 2004 curah hujan berkisar antara 142 mm sampai dengan
462 mm, curah hujan terendah terjadi pada bulan Juni sebesar 142 mm dan
tertinggi pada bulan Apr il sebesar 462 mm sedangkan pada tahun 2005 curah
hujan berkisar antara 199 mm sampai 484 mm dengan curah hujan terendah
terjadi pada bulan April sebesar 199 mm dan tertinggi pada bulan Juni yaitu
sebesar 484 mm. Pada tahun 2004 kejadian hujan berkisar antara 4 hari sampai
dengan 19 hari, kejadian hujan terendah pada bulan Agustus dengan jumlah hari
hujan sebesar 4 hari dan tertinggi pada bulan April dengan 19 hari hujan
sedangkan pada tahun 2005 kejadian hujan berkisar antara 9 hari sampai 16 hari
dimana terendah terjadi pada bulan April sebesar 9 hari hujan dan tertinggi pada
bulan Juni sebesar 16 hari hujan.

D. Tanah
Menurut peta tanah Propinsi Jawa Barat 1966 dengan skala 1:250.000, tanah
di daerah ini termasuk jenis tanah Podsolik Merah Kuning dan sebagian Latosol
Coklat Kuning dengan bahan induk batuan ilat dengan fisiografi bukit lipatan.
Tanah ini bersifat masam dengan pH berkisar antara 4,5-4,7. Sedangkan tekstur
tanahnya liat dan berstruktur gumpal, dengan drainase agak baik sampai baik,
solum tanah agak dalam, kandungan bahan organik N, P dan K relatif rendah.

E. Vegetasi
Lokasi penelitian didominasi antara lain oleh jenis pohon Puspa (Schima
walichii), Sempur (Dillenia suffruticosa ), Ki Sireum (Eurya acuminata) dan jenis
tumbuhan bawah antara lain adalah Rumput Kawat (Cynodon dactylon),
Harendong Hitam (Melastoma

malabathricum), Paku Rane (Selaginella

wildenowii), Rumput Ilat (Saccarum edule ) dan Paku Hitam (Taenitis


blenchnoides ).

V. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Karakteristik Bahan Bakar
Karakteristik bahan bakar seperti muatan bahan bakar, ketebalan bahan
bakar dan kadar air bahan bakar sangat berpengaruh terhadap perilaku api dalam
proses pembakaran di suatu areal hutan.
Menurut Chandler et al., (1983) muatan bahan bakar merupakan jumlah dari
material yang dapat dikonsumsi oleh intensitas kebakaran yang tinggi dan dapat
diharapkan membentuk lokasi yang spesifik. Kemudian ketebalan bahan bakar
berhubungan erat dengan susunan bahan bakar (Brown dan Davis, 1973). Susunan
bahan bakar merupakan faktor utama dalam perilaku api, karena transfer panas
yang dihasilkan dengan radiasi, konduksi maupun konveksi berhubungan dengan
variabel jarak bahan bakar. Selanjutnya Brown dan Davis (1973) juga menyatakan
bahwa kadar air bahan bakar menentukan banyaknya bahan bakar yang potensial
untuk terbakar dan juga menentukan besar kecilnya proses pembakaran. Salah
satu cara yang dapat dilakukan untuk menentukan kadar air yang rendah yaitu
dengan jalan pengeringan di bawah terik sinar matahari dalam jangka waktu
tertentu. Meskipun bahan bakar yang tersedia di dalam hutan tertumpuk dalam
jumlah yang besar, tetapi apabila bahan bakar tersebut mempunyai kadar air yang
tinggi maka api tidak akan menyala dan kebakaran hutan tidak akan terjadi (Clar
dan Chatten, 1954).
Pengukuran terhadap karakteristik bahan bakar dilakukan pada sebelum
penebangan, sesaat setelah penebangan dan sesaat sebelum pembakaran pada
masing-masing

plot

penelitian.

Adapun

sebelum

penebangan

dilakukan

pengukuran terhadap ketebalan bahan bakar serasah, hal ini bertujuan untuk
mengetahui berapa besar penurunan ketebalan serasah setelah dilakukan
pembakaran. Pada sesaat setelah penebangan dan sesaat sebelum pembakaran
dilakukan pengukuran terhadap muatan bahan bakar, ketebalan bahan bakar dan
kadar air bahan bakar (serasah, ranting, batang). Selain itu pada sesaat sebelum
pembakaran juga dilakukan pengukuran kadar air tanah yang berpengaruh
terhadap besar kecilnya suhu tanah pada proses pembakaran.

Tabel 2. Karakteristik bahan bakar sebelum penebangan, sesaat setelah


penebangan dan sesaat sebelum pembakaran
Parameter
Sebelum penebangan
Ketebalan bahan bakar serasah (cm)
Sesaat setelah penebangan
Muatan bahan bakar (t/ha)
Serasah
Ranting
Batang
Total
Ketebalan bahan bakar (cm)
Kadar air bahan bakar (%)
Serasah
Ranting
Batang
Rata-rata
Sesaat sebelum pembakaran
Muatan bahan bakar (t/ha)
Serasah
Ranting
Batang
Total
Ketebalan bahan bakar (cm)
Kadar air bahan bakar (%)
Serasah
Ranting
Batang
Rata-rata
Kadar air tanah (%)

Plot 1

Plot 2

Plot 3

Rata-rata

(10.00 4.00)a

(9.00 2.65)a

(8.00 2.87)a

(9.00 3.17)a

(7.50 3.29)ab
(5.17 2.36)a
(7.90 1.48)a
(20.57 6.50)a
(28.33 7.37)a

(4.30 1.99)a
(4.53 2.86)a
(8.17 5.20)a
(17.00 9.53)a
(26.67 5.03)a

(10.53 2.83)b
(5.67 1.53)a
(7.17 3.40)a
(23.37 2.76)a
(25.00 4.58)a

(20.31 6.26)a
(26.67 5.66)a

(134.4419.97)a
(99.44 77.32)a
(90.03 54.37)a
(107.3750.55)a

(104.4133.74)a
(43.91 27.74)a
(91.71 21.13)a
(80.01 27.54)a

(92.74 28.52)a
(59.75 25.76)a
(97.11 54.02)a
(83.20 36.10)a

(90.19 38.06)a

(3.33 3.30)a
(1.50 0.70)a
(3.50 0.46)a
(8.33 2.51)a
(17.00 4.58)c

(1.27 0.64)a
(1.06 0.06)a
(3.17 1.76)a
(5.49 1.70)a
(8.67 1.15)a

(1.33 0.42)a
(1.70 0.44)a
(3.00 1.00)a
(6.03 0.29)a
(14.67 4.16)b

(41.57 19.32)a
(51.89 13.98)a
(29.67 13.32)a
(41.04 15.54)a
21.95

(50.45 18.40)a
(40.25 23.36)a
(64.16 20.83)a
(51.62 20.86)a
42.86

(49.35 20.67)a
(29.67 2.72)a
(62.84 30.92)a
(47.29 18.10)a
27.39

(6.62 1.50)a

(46.65 18.17)a
30.73

Keterangan : a,b,c : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata (Uji Duncan)

Pada kondisi sebelum penebangan, ketebalan bahan bakar serasah berkisar


antara 8 cm sampai 10 cm. Ketebalan bahan bakar serasah yang terendah sebesar
8 cm (plot 3) dan tertinggi sebesar 10 cm (plot 1).
Muatan total bahan bakar pada periode sesaat setelah penebangan berkisar
antara 17 ton/ha sampai 23.37 ton/ha, muatan total bahan bakar terendah sebesar
17 ton/ha (plot 2) dan tertinggi sebesar 23.37 ton/ha (plot 3) tetapi pada sesaat
sebelum pembakaran kisaran muatan total bahan bakar mengalami penurunan
menjadi 5.49 ton/ha (sekitar 67.7 %) sampai 8.33 ton/ha (sekitar 64.36 %),
terendah sebesar 5.49 ton/ha (plot 2) dan tertinggi sebesar 8.33 ton/ha (plot 1).
Penurunan muatan total bahan bakar tersebut disebabkan selama 5 minggu
sebelum pembakaran dilakukan pe ngeringan bahan bakar secara alami di bawah
terik matahari untuk mengurangi kadar air bahan bakar. Ketebalan bahan bakar
sesaat setelah penebangan berkisar antara 25 cm sampai 28.33 cm, yang terendah
sebesar 25 cm (plot 3) dan tertinggi sebesar 28.33 cm (plot 1) tetapi pada sesaat
sebelum pembakaran ketebalan bahan bakar mengalami penurunan yaitu sebesar

8.67 cm (sekitar 65.32 %) sampai 17 cm (sekitar 39.99 %), yang terendah sebesar
8.67 cm (plot 2) dan tertinggi sebesar 17 cm (plot 1). Berdasarkan Uji Dunc an
menunjukkan adanya perbedaan nyata antara plot 1 dengan plot 2 dan plot 3 pada
ketebalan bahan bakar sesaat sebelum pembakaran (Tabel 2). Kemudian kadar air
bahan bakar rata-rata sesaat setelah penebangan berkisar antara 80.01 % sampai
107.37 %, dimana kadar air rata-rata terendah sebesar 80.01 % (plot 2) dan
tertinggi sebesar 107.37 % (plot 1). Pada sesaat sebelum pembakaran, kadar air
bahan bakar rata-rata mengalami penurunan menjadi 41.04 % (sekitar 48.71 %)
sampai 51.62 % (sekitar 51.92 %) dimana terendah sebesar 41.04 % pada plot 1
dan tertinggi sebesar 51.62 % pada plot 2. Pengaruh utama dari turunnya kadar
air bahan bakar (Rural Fire Service) adalah meningkatkan kemudahan bahan
bakar untuk menyala. Menurut Brown dan Davis (1973), kadar air bahan bakar
yang kecil dari 5 % pada bahan bakar halus dan kasar cenderung kecepatan
menjalar sebanding. Pada kadar air 5-10 %, api pada bahan bakar halus menjalar
lebih cepat daripada bahan bakar kasar, dan di atas 10 % kecepatan cenderung
sebanding lagi.
Selain itu pada kondisi sesaat sebelum pembakaran dilakukan pengukuran
terhadap kadar air tanah dengan hasil berkisar antara 21.95 % sampai 42.86 %,
kadar air tanah yang terendah sebesar 21.95 % (plot 1) sedangkan tertinggi
sebesar 42.86 % (plot 2). Kadar air ta nah sangat menentukan besar kecilnya suhu
pembakaran pada area plot pengamatan.

B. Perilaku Api
Sebelum proses pembakaran, terlebih dahulu dilakukan penyiapan lahan di
areal penelitian menggunakan metode tebang atau tebas (Slash and Burning).
Semua vegetasi yang terdapat di areal penelitian (semak, semai, pancang, tiang
dan pohon) ditebang atau ditebas lalu dibiarkan mengering secara alami di bawah
sinar matahari selama 5 minggu agar diperoleh kadar air yang kecil dan relatif
seragam. Dengan kadar air yang kecil dan relatif seragam diharapkan api menjalar
dengan cepat dan menghasilkan pembakaran yang sedikit asap.

Perilaku api dapat diperoleh pada saat melakukan proses pembakaran yang
merupakan suatu reaksi api terhadap lingkungannya seperti keadaan baha n bakar
yang tersedia untuk terbakar (muatan bahan bakar, ketebalan bahan bakar, kadar
air bahan bakar), iklim, kondisi cuaca lokal (suhu udara, kelembaban udara,
kecepatan angin) dan topografi.
Tabel 3. Perilaku Api dan Kondisi setelah Pembakaran
Parameter
Kondisi Cuaca
Suhu Udara (0 C)
Kelembaban Relatif (%)
Kecepatan angin (m/dtk)
Perilaku Api
Tinggi api (m)
Intensitas api (kW/m)
Penjalaran api (m/menit)
Panas per unit area (Kj/m2)
Suhu pembakaran (0 C)
Permukaan tanah (0cm)
1 cm di bawah permukaan
5 cm di bawah permukaan
10 cm di bawah permukaan
15 cm di bawah permukaan
Suhu setelah api padam
Permukaan tanah (0cm)
1 cm di bawah permukaan
5 cm di bawah permukaan
10 cm di bawah permukaan
15 cm di bawah permukaan
Kelerengan (%)
Luas plot (ha)
Waktu pembakaran(WIB)
Lama pembakaran(menit)
Setelah pembakaran
% bahan bakar yang terbakar

Plot 1

Plot 2

Plot 3

33
70
2.12

34
60
1.05

34
60
1.10

(3.600.65)b
(3946.321557.62)b
(1.560.027)c
(2532.451010.60)c

(2.600.42)a
(1934.08641.57)a
(1.360.027)a
(1428.38483.73)a

(3.100.42)ab
(2811.51790.99)ab
(1.49 0.029)b
(1886.97542.44)ab

765
50
42
39
39

455
42
31
29
29

580
49
33
30
29

41.5
31.1
30.7
30
30
0
0.0025
14.10
21

36.5
33.6
29.4
27.4
27.3
0
0.0025
14.51
19.1

37.3
35.3
29.5
29.4
28.4
0
0.0025
15.15
15.3

Serasah

100
98
100
95
97
90
Batang
80
60
70
% luas lahan yang terbakar
100
96
100
% penutupan abu
98
90
95
Keterangan : a,b,c : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak ber beda nyata (Uji Duncan)
Ranting

Faktor cuaca (Chandler et al., 1983) terutama curah hujan, temperatur dan
kelembaban udara akan berpengaruh terhadap peristiwa kebakaran hutan,
sehubungan dengan pengaruhnya terhadap kadar air bahan bakar. Pembakaran

plot dilakuka n pada siang hari karena pada saat itu suhu permukaan bumi berada
pada ketinggian tertinggi yang biasanya terjadi pada jam 13.30-15.30 yang tidak
berhimpit dengan radiasi matahari maksimum.
Selama proses pembakaran diperoleh rata-rata tinggi nyala api berkisar
antara 2.6 m sampai 3.6 m, tinggi nyala api terendah sebesar 2.6 m (plot 2) dan
tertinggi sebesar 3.6 m (plot 1). Berdasarkan Uji Duncan menunjukkan adanya
perbedaan yang nyata antara tinggi nyala api pada plot 1 dan plot 2 tetapi tidak
berbeda nyata dengan plot 3 (Tabel 3). Pada plot penelitian juga menunjukkan laju
penjalaran api berkisar antara 1.36 m/menit sampai dengan 1.56 m/menit dimana
terendah sebesar 1.36 m/menit (plot 2) dan tertinggi sebesar 1.56 m/menit (plot 1).
berdasarkan Uji Duncan menunjukkan perbedaan yang nyata antara plot 1, plot 2
dan plot 3 pada parameter laju penjalaran api pada proses pembakaran (Tabel 3).
Dari hasil pengukuran parameter tinggi nyala api, diperoleh besarnya
intensitas kebakaran. Adapun besarnya intensitas kebakaran berkisar antara
1934.08 kW/m sampai 3946.32 kW/m, yang terendah sebesar 1934.08 kW/m
(plot 2) dan tertinggi sebesar 3946.32 kW/m (plot 1). Berdasarkan Uji Duncan
menunjukkan adanya perbedaan nyata antara plot 1 dengan plot 2 tetapi tidak
berbeda nyata dengan plot 3 (Tabel 3). Panas per unit area berkisar antara 1428.38
Kj/m2 sampai 2532.45 Kj/m2 dimana terendah sebesar 1428.38 Kj/m2 (plot 2) dan
tertinggi sebesar 2532.45 Kj/m2 (plot 1). Berdasarkan Uji Duncan menunjukkan
adanya perbedaan nyata antara plot 1 dengan plot 2 dan plot 3 (Tabel 3).
Berdasarkan hasil pada Tabel 3 menunjukkan bahwa perilaku api yang
paling baik adalah pada plot 1 karena plot 1 memiliki muatan bahan bakar dan
ketebalan bahan bakar tertinggi yaitu sebesar 8.33 ton/ha dan 17 cm serta kadar
air bahan bakar rata -rata terendah sebesar 41.04 % dibandingkan dengan plot
lainnya (Tabel 2).
Besar kecilnya suhu pembakaran berkaitan dengan kadar air bahan
bakarnya. Plot 1 memiliki kadar air bahan bakar terendah berarti menghasilkan
suhu pe mbakaran tertinggi dari plot lainnya. Suhu pembakaran pada plot 1
berkisar antara 39 0C sampai 765 0 C, suhu pembakaran terendah pada kedalaman
tanah 10 cm dan 15 cm sebesar 39 0C dan tertinggi sebesar 765 0C pada
permukaan tanah. Setelah 5 menit api pembakaran padam terjadi penurunan suhu

berkisar antara 23.08 % sampai 94.58 %, persentase penurunan suhu terendah


terdapat pada kedalaman tanah 10 cm dan 15 cm sebesar 23.08 % dan tertinggi
pada permukaan tanah sebesar 94.58 %. Adanya perbedaan besarnya suhu
pembakaran dengan suhu setelah 5 menit api padam dipengaruhi oleh faktor
iklim, kadar air tanah dan faktor lingkungan.
Berdasarkan hasil di atas menunjukkan bahwa kondisi bahan bakar
(ketebalan bahan bakar, muatan bahan bakar, kadar air bahan bakar), kadar air
tanah dan kondisi cuaca ( suhu udara, kelembaban udara, kecepatan angin) sangat
berpengaruh terhadap perilaku api yang dihasilkan dari proses pembakaran.
Suhu pada proses pembakaran dan suhu setelah pembakaran (setelah 5
menit api padam) pada berbagai tingkat kedalaman tanah dilakukan Uji Duncan
dan hasilnya terdapat pada Tabel 4.
Tabel 4. Suhu pembakaran dan suhu setelah 5 menit api padam dari pembakaran
Tingkat kedalaman tanah
Permukaan tanah
1 cm di bawah permukaan
5 cm di bawah permukaan
10 cm di bawah permukaan
15 cm di bawah permukaan

Suhu pembakaran
(600.00 155. 96)b
(47.00 4.36)a
(35.33 5.86)a
(32.67 5.51)a
(32.33 5.77)a

Suhu setelah api padam


(38.43 2.69)c
(33.33 2.11)b
(29.87 0.72)a
(28.93 1.36)a
(28.57 4.12)a

Keterangan : a,b,c : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata (Uji Duncan)

Berdasarkan Uji Duncan diperoleh bahwa suhu pembakaran pada


permukaan tanah berbeda nyata dengan suhu pembakaran di bawah permukaan
tanah sedangkan setelah 5 menit api padam, suhu pada permukaan tanah berbeda
nyata dengan suhu di bawah permukaan tanah (kedalaman 1 cm, 5 cm, 10 cm dan
15 cm) tetapi suhu pada kedalaman tanah 5 cm tidak berbeda nyata dengan suhu
pada kedalaman tanah 10 cm dan 15 cm.
Pada kondisi setelah pembakaran, dilakukan pengukuran terhadap persentase
bahan bakar yang terbakar, persentase luas lahan yang terbakar dan persentase
penutupan abu sisa pembakaran pada masing-masing plot penelitian.
Dari hasil pembakaran (Tabel 3), bahan bakar serasah ter lihat lebih cepat
dan banyak terbakar dibandingkan dengan bahan bakar ranting dan batang.
Persentase bahan bakar serasah yang terbakar lebih dari 98 % sampai 100 %,
terendah sebesar 98 % (plot 2) dan tertinggi sebesar 100 % (plot 1 dan 3). Untuk
ranting le bih dari 90 % sampai 97 %, terendah 90 % (plot 3) dan tertinggi sebesar

97 % (plot 2) sedangkan persentase bahan bakar batang yang terbakar antara 60 %


sampai 80 % dengan nilai terendah pada plot 2 sebesar 60 % dan tertinggi pada
plot 1 sebesar 80 %.
Besarnya persentase luas lahan yang terbakar sangat tergantung pada
penyebaran bahan bakar di permukaan tanah. Selain itu, karakteristik bahan bakar
seperti kadar air, susunan, ukuran bahan bakar dan kecepatan angin sangat
mempengaruhi luas lahan yang terbakar. Setelah pembakaran terlihat bahwa lahan
plot 1 dan plot 3 terbakar semua sedangkan plot 2 sekitar 96 % lahan yang
terbakar (Tabel 3). Hal ini disebabkan karena pada plot 1 dan 3 memiliki
penyebaran bahan bakar lebih baik dan kadar air bahan bakar yang relatif rendah
daripada plot 2. Kemudian abu dari sisa pembakaran sekitar 98 % menutupi plot 1
sehingga plot ini mempunyai persentase penutupan abu tertinggi sedangkan
terendah pada plot 2 sebesar 90 %.

C. Dampak Pembakaran Hutan terhadap Fauna Tanah


Berdasarkan hasil pengamatan pada seluruh sub plot di setiap plot penelitian
yang berlokasi pada areal hutan sekunder Haurbentes Jasinga menunjukkan fauna
tanah yang ditemukan pada sebelum dan setelah pembakaran pada berbagai
lapisan tanah cukup bervariasi (Tabel 5 dan Tabel 6).
Tabel 5 menunjukkan bahwa sebelum penebangan pada permukaan tanah
ditemukan 787 individu fauna tanah dari 11 ordo dan 19 famili yang ada,
sementara pada tingkat kedalaman 0-5 cm adalah 478 individu dengan 8 ordo dan
12 famili. Pada sesaat setelah penebangan terjadi penurunan jumlah individu di
permukaan tanah sebesar 58.07 %, penurunan jumlah ordo sebesar 90.91 % dan
jumlah famili sebesar 78.95 % sedangkan pada tingkat kedalaman 0-5 cm
penurunan jumlah individu sebesar 50.84 % dan penurunan jumlah ordo serta
famili sebesar 50 %. Sehingga persentase penurunan jumlah individu, ordo
maupun famili fauna tanah setelah penebangan tertinggi terdapat pada permukaan
tanah. Hal ini diduga karena adanya perpindahan oleh beberapa jenis fauna tanah
di permukaan tanah ke daerah yang lebih aman disebabkan ekosistem tempat

tinggal asalnya telah terganggu oleh penebangan dan tidak sedikit juga fauna
tanah yang masih dapat bertahan di lingkungan tersebut.
Pada kondisi sesaat setelah pembakaran tidak ditemukan fauna tanah pada
permukaan tanah karena mati akibat pemanasan dari pembakaran tetapi pada
tingkat kedalaman 0-5 cm ditemukan fauna tanah yang masih hidup yaitu berupa
larva Coleoptera dengan suhu pembakaran sekitar 31-42 0C. Pada 3 hari setelah
pembakaran terjadi penurunan jumlah individu pada permukaan tanah sebesar
88.18 %, jumlah ordo sebesar 72.73 % dan jumlah famili sebesar 68.42 %.
Sementara penurunan jumlah individu pada tingkat kedalaman 0-5 cm sebesar
79.29 %, jumlah ordo sebesar 62.5 % dan jumla h famili sebesar 66.67 %. Kondisi
1 minggu setelah pembakaran juga mengalami penurunan jumlah individu fauna
tanah sebesar 84.88 %, jumlah ordo sebesar 54.55 % dan jumlah famili sebesar
57.89 % pada permukaan tanah sedangkan pada kedalaman 0-5 cm jumlah
individu menurun sebesar 57.11 %, jumlah ordo sebesar 12.5 % dan jumlah famili
sebesar 25 %. Kemudian penurunan jumlah individu pada 2 minggu setelah
pembakaran di permukaan tanah sebesar 65.06 %, jumlah ordo sebesar 36.36 %,
jumlah famili sebesar 42.11 % sedangkan penurunan jumlah individu pada
kedalaman 0-5 cm sebesar 41.42 %, jumlah famili sebesar 16.67 %. Jumlah ordo
pada periode ini sama dengan sebelum penebangan tetapi komposisi jenis ordo
yang berbeda (Tabel 5). Pada 3 minggu setelah pembakaran, penur unan jumlah
individu pada permukaan tanah sebesar 62.01 %, jumlah ordo sebesar 27.27 %
dan pada tingkat kedalaman 0-5 cm jumlah individu berkurang sebesar 35.56 %
tetapi jumlah ordo yang ditemukan meningkat daripada sebelum penebangan
sebesar 11.1 % karena adanya perbedaan komposisi ordo serta munculnya ordo
baru. Penurunan jumlah famili pada periode ini di permukaan tanah maupun
kedalaman 0-5 cm sama dengan periode sebelumnya yaitu pada 2 minggu setelah
pembakaran. Dan pada 4 minggu setelah pembakaran juga mengalami penurunan
jumlah individu, ordo serta jumlah famili fauna tanah tetapi persentase
penurunannya tidak terlalu besar karena kondisi area penelitian mulai kembali
seperti keadaan semula. Pada permukaan tanah terjadi penurunan jumlah individu
sebesar 61.25 %, jumlah famili sebesar 26.32 % dan penurunan jumlah ordo sama
dengan periode 3 minggu setelah pembakaran sedangkan pada tingkat kedalaman

0-5 cm terjadi penurunan jumlah individu sebesar 32.01 % dan jumlah famili
sebesar 25 %. Jumlah ordo yang ditemukan sama dengan periode sebelum
penebangan, hanya komposisi ordo yang berbeda.
Berdasarkan hasil di atas bahwa setelah proses pembakaran terjadi
penurunan kelimpahan fauna tanah berdasarkan ordo dan famili pada beberapa
periode setelah pembakaran. Pada permukaan tanah terjadi penurunan kelimpahan
fauna tanah tertinggi daripada kedalaman 0-5 cm, hal ini disebabkan oleh faunafauna tanah yang terdapat di permukaan tanah lebih sensitif apabila terjadi
gangguan terhadap lingkungannya dibandingkan dengan fa una-fauna tanah yang
terdapat pada lapisan tanah (kedalaman 0-5 cm). Pada areal plot penelitian
sebelum penebangan, sesaat setelah penebangan dan setelah pembakaran terlihat
bahwa fauna tanah yang paling banyak adalah dari ordo Hymenoptera (semut)
famili Formicidae. Ordo Hymenoptera merupakan serangga yang paling seragam
dalam hal habitat dan struktur pada setiap fase baik stadium larva maupun stadium
dewasa. Jumlah yang besar dari ordo ini merupakan suatu bukti tentang
keberhasilannya sebagai sebuah kelompok yang mampu beradaptasi terhadap
habitatnya dan dalam hal keragaman makanannya.

1.Nilai Kekayaan (Richness Index ) Fauna Tanah


Pada lokasi penelitian menunjukkan adanya kekayaan jenis fauna tanah yang
bervariasi. Kekayaan jenis fauna tanah mengacu pada banyaknya spesies yang
ditemukan pada suatu ekosistem. Tingkat kekayaan jenis ini dapat diketahui dari
hasil perhitungan dengan menggunakan indeks kekayaan jenisnya (Dmg).
Beberapa jenis fauna tanah ditemukan dalam jumlah yang banyak dan juga
ditemukan dalam jumlah yang sedikit.
Tabel 7. Nilai kekayaan jenis (Dmg) fauna tanah sebelum dan setelah pembakaran
di hutan Sekunder Haurbentes Jasinga, Jawa Barat
No.

1
2
3
4
5
6
7

Periode pengambilan data

Sebelum penebangan
Sesaat setelah penebangan
3 hari setelah pembakaran
1 minggu setelah pembakaran
2 minggu setelah pembakaran
3 minggu setelah pembakaran
4 minggu setelah pembakaran

Kekayaan jenis (Dmg)


Permukaan
0
Nilai
Penur unan
Nilai
2.69
1.78
0.52
80.67 %
0.92
1.1
59.2 %
0.65
1.46
45.72 %
1.5
1.78
33.83 %
1.6
1.75
34.94 %
1.57
2.27
15.61 %
1.38

5 cm
Penurunan
48.35 %
63.48 %
15.73 %
10.12 %
11.8 %
22.43 %

Berdasarkan nilai Dmg yang ditunjukkan pada Tabel 7 dan Gambar 6


terlihat bahwa nilai kekayaan jenis fauna tanah pada tia p periode pengambilan
data menunjukkan perbedaan. Nilai indeks kekayaan jenis (Dmg) tertinggi
terdapat pada periode sebelum penebangan dibandingkan periode lainnya yaitu
pada permukaan tanah sebesar 2.69 dan pada tingkat kedalaman 0-5 cm sebesar
1.78. Pada sesaat setelah penebangan terjadi penurunan nilai Dmg yaitu sebesar
80.67 % di permukaan tanah dan sebesar 48.35 % di kedalaman 0-5 cm.
Selanjutnya kekayaan jenis fauna tanah berkurang setelah terjadi pembakaran
terutama pada sesaat setelah pembakaran dimana fauna tanah mati semua
kemudian pada periode 3 hari, 1 minggu, 2 minggu, 3 minggu dan 4 minggu
setelah pembakaran terlihat bahwa kekayaan jenis fauna tanah tetap berkurang
daripada sebelum penebangan. Hal tersebut dapat dilihat pada persentase
penurunan nilai kekayaan jenis fauna tanah di dalam Tabel 7. Akibat proses
pembakaran, terlihat jelas bahwa penurunan nilai kekayaan jenis fauna tanah
paling tinggi terdapat pada periode 3 hari setelah pembakaran sebesar 59.2 % pada

permukaan tanah dan sebesar 63.48 % pada tingkat kedalaman tanah 0-5 cm jika
dibandingkan dengan periode-periode pasca pembakaran lainnya.
3

2.69

2.5
Nilai Dmg

2.27
1.78

1.78
1.46 1.5

1.5
0.92

0.52

1.6

1.75
1.57

1.38

1.1

Permukaan
0-5 cm

0.65

0.5
0
sblm
sesaat stlh
penebangan
pnbgn

3 hari

1 mg

2 mg

3 mg

4 mg

waktu

Gambar 6. Nilai kekayaan jenis (Dmg) fauna tanah sebelum dan setelah pembakaran di
hutan Sekunder Haurbentes Jasinga, Jawa Barat

Pengaruh pembakaran hutan ditunjukkan dengan menurunnya nilai


kekayaan jenis (Dmg) pada areal setelah pembakaran dibandingkan dengan areal
sebelum pembakaran (Tabel 7 dan Gambar 6). Pada periode 4 minggu setelah
pembakaran, penurunan nilai Dmg tidak begitu besar melainkan mendekati nilai
Dmg kondisi awal, disebabkan karena pada periode ini keadaan area pasca
pembakaran mulai muncul vegetasi baru sehingga perlahan-lahan kembali seperti
keadaan semula. Dimana sampai dengan 4 minggu setelah pembakaran baru
mencapai 84.39 % pada permukaan tanah dan 77.57 % pada kedalaman 0-5 cm
dari kondisi semula.
Fuller (1991) menyatakan bahwa pada umumnya pengaruh kebakaran
hutan pada fauna tanah berubah setiap saat tetapi pengaruh yang paling besar
adalah mengubah habitatnya. Perubahan habitat ini membawa dua proses adaptasi
yang dilakukan oleh fauna tanah yaitu dengan melakukan migrasi atau bertahan
hidup pada lingkungan yang baru dengan keragaman makanan yang berbeda.

2. Nilai Keragaman ( Diversity Index) Fauna tanah

Tingkat kelimpahan jenis merupakan ukuran keanekaragaman yang diukur


berdasarkan kelimpahan individunya. Keanekaragaman jenis ini dapat dilihat dari
indeks keragaman Shannon-Wiener (H) dengan nilai kisaran antara 1.5 3.5.
Dilihat dari nilainya, tingkat keragaman jenis pada areal sebelum dan setelah
pembakaran tergolong sedang karena sebaran kelimpahan jumlah individu pada
setiap famili cukup merata. Magurran (1998) mengelompokkan indeks keragaman
di bawah 1.5 tergolong rendah, antara 1.5 sampai 3.5 tergolong sedang dan diatas
3.5 indeks keragamannya tergolong tinggi.
Tabel 8. Nilai keragaman jenis (H) fauna tanah sebelum dan setelah pembakaran
di hutan Sekunder Haurbentes Jasinga, Jawa Barat
No.

1
2
3
4
5
6
7

Periode pengambilan data

Sebelum penebangan
Sesaat setelah penebangan
3 hari setelah pembakaran
1 minggu setelah pembakaran
2 minggu s etelah pembakaran
3 minggu setelah pembakaran
4 minggu setelah pembakaran

Keragaman Jenis (H)


Permukaan
0 5 cm
Nilai
Penurunan
Nilai
Penurunan
2.116
2.01
1.348
36.29 %
1.491
25.82 %
1.524
27.98 %
1.177
41.44 %
1.782
15.78 %
1.715
14.68 %
1.838
13.14 %
2.135
1.993
5.81 %
1.987
1.14 %
2.062
2.55 %
1.76
12.44 %

Tabel 8 dan Gambar 7 menunjukkan nilai keragaman jenis fauna tanah (H)
sebelum penebangan tertinggi pada permukaan tanah sebesar 2.116 dan terendah
pada tingkat kedalaman 0-5 cm sebesar 2.01. Pada sesaat setelah penebangan
terjadi penurunan keragaman jenis sebesar 36.29 % di permukaan tanah dan
sebesar 25.82 % di kedalaman 0-5 cm. Keragaman jenis fauna tanah berkurang
setelah terjadi pembakaran yang terlihat pada persentase penurunan nilai H pada
beberapa periode pasca pembakaran (Tabel 8). Penurunan nilai kekayaan jenis
fauna tanah paling tinggi setelah pembakaran juga terdapat pada periode 3 hari
sete lah pembakaran sebesar 27.98 % pada permukaan tanah dan sebesar 41.44 %
pada tingkat kedalaman 0-5 cm.

2.5
2.116

2.135

2.01

1.782

Nilai H'

1.491

1.715

1.993 1.987

1.838

2.062
1.76

1.524

1.348

1.5

Permukaan
0-5 cm

1.177

0.5
0
sblm
penebangan

sesaat stlh
pnbgn

3 hari

1 mg

2 mg

3 mg

4 mg

waktu

Gambar 7. Indeks keragaman jenis (H) fauna tanah sebelum dan setelah pembakaran di
hutan Sekunder Haurbentes Jasinga, Jawa barat

Nilai keragaman jenis fauna tanah (H) antara sebelum penebangan dengan
setelah pembakaran cukup bervariasi. Pada 2 minggu setelah pembakaran terlihat
bahwa nilai keragaman jenisnya meningkat sekitar 5.85 % dari sebelum
penebangan, hal ini diduga karena pada periode ini telah muncul jenis fauna tanah
baru dalam jumlah yang cukup banyak disamping fauna tanah yang sudah ada.
Selain itu sangat tersedianya sumber makanan dan tempat hidup bagi jenis fauna
baru tersebut sehingga terdapat dalam jumlah yang cukup banyak Adapun fauna
baru tersebut adalah Isoptera (Termitidae), Metastigmata (Argacidae) dan
Cryptostigmata (Rhysotritiidae dan Sclerobatydae). Nilai kekayaan jenis (H)
pada 4 minggu setelah pembakaran sekitar 2.55 % mendekati nilai H kondisi
awal dengan kata lain pada periode ini kekayaan jenis fauna tanah baru mencapai
94.75 % pada permukaan tanah dan 87.56 % pada tingkat kedalaman 0-5 cm dari
kondisi semula.
Borror et al., (1979) menyatakan bahwa famili Termitidae (rayap) sering
dijumpai di pohon, tanah diantara perakaran dan berbagai tempat lainnya. Rayap
sangat cepat perkembangannya sehingga populasinya sangat besar dan berpusat di
sarangnya. Rayap ini ditemukan pada areal yang sudah terbakar karena pada areal
ini tersedia sumber makanannya seperti kayu-kayu kering atau lembab.
Ordo Metastigmata dan Cryptostigmata merupakan jenis Acarina. Jenis
tersebut merupakan mesofauna yang banyak ditemukan pada lapisan permukaan,
lapisan fermentasi dan lapisan humus. Acarina mengkonsumsi tanaman yang
lapuk, lumut, fungi dan alga. Acarina juga berperan sebagai dekomposer. Pada
lahan hutan yang tidak kondusif bagi dekomposer yang lebih besar maka

dekomposisi bagian tanaman dilakukan oleh Acarina. Ordo Cryptostigmata


berperan dalam mencampurkan bahan organik pada lapisan tanah di bawah
permukaan. Dalam Wallwork (1976) disebutkan bahwa Acarina adalah yang
paling umum meskipun bukan yang paling mewakili pada sebagian besar tanah,
dan banyak terdapat pada tanah organik tinggi dan lahan hutan. Pada kebanyakan
tipe hutan khususnya konifer, bagian tumbuhan yang hancur membentuk lapisan
yang terkadang satu kaki atau lebih dalam Brown dan Davis (1973). Kebakaran
menyebabkan terbukanya akses ke lantai hutan sehingga dekomposisi bahan
organik menjadi lebih cepat. Kondisi ini menyebabkan tersedianya habitat yang
baik untuk perkembangan Acarina setelah kebakaran.

3. Nilai Kemerataan (Evenness Index) Fauna tanah


Kemerataan kelimpahan antar individu yang terdapat pada area pengamatan
bervariasi. Nilai kemerataan jenis digunakan untuk mengetahui tingkat
kemerataan kelimpahan individu antar jenis. Magurran (1998) menyatakan bahwa
nilai kemerataan berkisar 0 1. Jika nilainya mendekati atau sama dengan satu
maka sebaran-sebaran individu antar jenis relatif merata, tetapi jika nilainya
mendekati atau sama dengan nol maka sebaran individu sangat tidak merata.
Dilihat dari nilainya, nilai kemerataan jenis pada areal plot sebelum dan
setelah dilakukan proses pembakaran tergolong relatif merata penyebaran individu
antar jenisnya. Nilai kemerataan jenis juga dapat menunjukkan adanya gejala
dominasi antar jenis dalam suatu ekosistem.
Tabel 9. Nilai kemerataan jenis (E) fauna tanah sebelum dan setelah pembakaran
di hutan Sekunder Haurbentes Jasinga, Jawa barat
No.
1
2
3
4
5
6
7

Periode pengambilan data


Sebelum penebangan
Sesaat setelah penebangan
3 hari setelah pembakaran
1 minggu setelah pembakaran
2 minggu setelah pembakaran
3 minggu setelah pembakaran
4 minggu setelah pembakaran

Kemerataan Jenis (E)


Permukaan
0 5 cm
0.719
0.809
0.973
0.832
0.85
0.849
0.857
0.781
0.766
0.927
0.831
0.863
0.781
0.801

Pada Tabel 9 dan Gambar 8 terlihat bahwa nilai kemerataan jenis fauna
tanah (E) sebelum penebangan dan setelah pembakaran pada permukaan tanah
dan pada kedalaman 0-5 cm hampir mendekati 1 yang artinya sebaran kelimpahan
individu pada masing-masing famili hampir merata, jadi tidak ada famili yang
jumlah individunya mendominasi.
Nilai kemerataan jenis fauna tanah (E) pada permukaan tanah sebelum
penebangan sebesar 0.719 dan pada kedalaman 0-5 cm sebesar 0.809 kemudian
sesaat setelah dilakukan penebangan kemerataan jenis pada permukaan tanah
sebesar 0.973 dan untuk kedalaman 0-5 cm sebesar 0.832. Setelah pembakaran,
nilai kemerataan jenis fauna tanah tertinggi terdapat pada periode 1 minggu
setelah pembakaran yaitu pada permukaan tanah sebesar 0.857 sedangkan pada
tingkat kedalaman tanah 0-5 cm tertinggi pada 2 minggu setelah pembakaran yaitu
sebesar 0.927.

1.2
0.973

Nilai E

0.8

0.927
0.832

0.809

0.85 0.849

0.857
0.781

0.719

0.831

0.863

0.766

0.781 0.801

Permukaan
0-5 cm

0.6
0.4
0.2
0
sblm
penebangan

sesaat stlh
pnbgn

3 hari

1 mg

2 mg

3 mg

4mg

waktu

Gambar 8. Indeks kemerataan jenis (E) fauna tanah sebelum dan setelah pembakaran di
hutan Sekunder Haurbentes Jasinga, Jawa Barat

Dalam menentukan nilai kemerataan jenis (E), tidak dicari persentase


penurunan nilai E setelah pembakaran karena menggambarkan sebaran
kelimpahan individu di setiap familinya pada plot penelitian sehingga tidak
menjamin bahwa nilai kemerataan jenis setelah pembakaran lebih kecil daripada
sebelum penebangan.
Perbedaan kelimpahan individu suatu jenis fauna tanah dapat disebabkan
oleh kondisi kehidupan fauna tanah yang ditentukan oleh faktor iklim, penyinaran

cahaya matahari, nutrisi makanan yang tersedia dan faktor gangguan di sekitar
areal pengamatan yang dapat mempengaruhi kelimpahan individu fauna tanah.
Keadaan organisme pada lokasi kebakaran mengalami perubahan. Dari nilai
INP fauna tanah maka tingkat kemiripan dari dua komunitas atau Index of
Similarity (IS) dapat diketahui seperti terlihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Tingkat kemiripan dua komunitas/Index of Similarity (IS)
Periode
Sebelum
penebangan

Sesaat
setelah
penebangan

3 hari

52.87 %

68.99 %

Setelah pembakaran
1 minggu
2 minggu
3 minggu

74.86 %

71.89 %

69.35 %

4 minggu

73.3 %

Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa pembakaran hutan berpengaruh terhadap


komunitas fauna tanah pada setiap periode pengambilan data. Nilai Indeks
Kemiripan antara dua komunitas

75 %, yang terendah terjadi pada sesaat setelah

penebangan yaitu sebesar 52.87 % sedangkan yang tertinggi pada 1 minggu


setelah pembakaran karena munculnya ordo baru yaitu Isoptera yang jumlah
individunya cukup tinggi.
Nilai Indeks Kemiripan antara dua komunitas semakin lama semakin
meningkat, berarti bahwa komunitas fauna tanah setelah pembakaran akan
mendekati keadaan semula. Ada beberapa faktor yang menyebabkan tingginya
tingkat keberhasilan hidup serangga antara lain kemampuan untuk terbang,
kemampuan adaptasi yang tinggi, mempunyai rangka luar yang kokoh, ukuran
yang kecil, memiliki siklus metamorfosa dan sistem reproduksi yang spesifik.
Secara deskriptif telah dijelaskan antara Richness Index, Diversity Index dan
Evennes Index fauna tanah pada periode sebelum dan setelah pembakaran.
Kemudian untuk mendukung hal tersebut, dilakukan uji dengan menggunakan Uji
Duncan terhadap nilai-nilai tersebut pada periode sebelum dan setelah
pembakaran. Adapun hasilnya dapat dilihat di dalam Tabel 11.

Tabel 11. Rata -rata Nilai kekayaan jenis (Dmg), keragaman jenis (H) dan nilai
kemerataan jenis (E) fauna tanah sebelum dan setelah pembakaran di
hutan Sekunder Haurbentes, Jasinga, Jawa Barat
Periode pembakaran

Dmg

Sebelum penebangan

(2.235 0.643)d

(2. 063 0.075)d

(0.764 0.064)b

Sesaat setelah penebangan

(0.720 0.283)ab

(1.419 0.101)bc

(0.903 0.099)b

3 hari setelah pembakaran

(0.875 0.318)bc

(1.350 0.245)b

(0.849 0.001)b

1 minggu setelah pembakaran

(1.480 0.028)bcd

(1.749 0.047)cd

(0.819 0.054)b

2 minggu setelah pembakaran

(1.690 0.127)cd

(1.987 0.210)d

(0.846 0.114)b

3 minggu setelah pembakaran

(1.660 0.127)cd

(1.990 0.004)d

(0.847 0.023)b

4 minggu setelah pembakaran

(1.825 0.629)d

(1.911 0.214)d

(0.791 0.014)b

Keterangan : a,b,c : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata (Uji Duncan)

Uji Duncan menunjukkan nilai kekayaan jenis (Dmg) fauna tanah sebelum
penebangan berbeda nyata dengan sesaat setelah penebangan dan 3 hari setelah
pembakaran tetapi tidak berbeda nyata dengan nilai Dmg pada 1 minggu, 2
minggu, 3 minggu dan 4 minggu setelah pembakaran karena nilai Dmg yang
diperoleh pada periode tersebut mulai mendekati nilai Dmg pada kondisi semula.
Hal yang sama terjadi juga pada nilai ke ragaman jenis fauna tanah (H).
Berbeda dengan nilai Dmg dan nilai H, berdasarkan Uji Duncan nilai
kemerataan jenis (E) fauna tanah pada sebelum dan setelah pembakaran tidak
berbeda nyata. Berarti penyebaran kelimpahan individu fauna tanah di setiap
familinya relatif merata baik pada sebelum penebangan maupun setelah
pembakaran.
Berdasarkan hasil di atas (Tabel 11) menunjukkan bahwa nilai Dmg
(kekayaan jenis), H (keragaman jenis) dan E (kemerataan jenis) fauna tanah pada
sebelum penebangan, sesaat setelah penebangan, 3 hari setelah pembakaran dan 2
minggu setelah pembakaran menunjukkan perbedaan yang paling signifikan
dibandingkan periode yang lainnya.

3
2.69

2.5
2.135

2.116
2.01

1.78

sblm ditbg

1.838

1.78
1.6

1.5

1.524

stlh ditbg
3 hr stlh dibkr

1.491

2 mg stlh dibkr

1.348
1.177
1.1
0.973

0.92

0.85
0.766

0.719
0.65

0.809 0.832 0.849

0.927

0.52

0.5

0
Dmg (perm)

Dmg (0-5cm)

H' (perm)

H' (0-5cm)

E (perm)

E (0-5cm)

Kondisi fauna tanah

Gambar 9. Nilai Dmg, H, E pada sebelum penebangan, sesaat setelah penebangan, 3 hari
setelah pembakaran dan 2 minggu setelah pembakaran

D. Pengaruh Perilaku Api terhadap Kondisi Fauna Tanah


Perilaku api yang dihasilkan dari proses pembakaran yang dilakukan pada
area pengamatan di hutan Sekunder Haurbentes, Jasinga Jawa Barat sangat
mempengaruhi kondisi fauna tanah pada area tersebut yang dapat dilihat dari nilai
indeks kekayaan jenis (Dmg), indeks keragaman jenis (H) dan nilai indeks
kemerataan jenis (E) fauna tanah baik pada permukaan tanah maupun pada tingkat
kedalaman tanah 0-5 cm.
Berdasarkan hasil di atas diperoleh bahwa kondisi fauna tanah setelah
terjadi proses pembakaran mengalami penurunan dibandingkan pada kondisi
sebelum pembakaran, hal ini sangat terlihat dari adanya penurunan kelimpahan
individu fauna tanah. Pada sesaat setelah terjadinya pembakaran tidak ditemukan
satupun fauna tanah pada permukaan tanah karena mati akibat pemanasan dari
pembakaran tapi pada tingkat kedalaman tanah 0-5 cm ditemukan fauna tanah
yang masih hidup yaitu berupa larva Coleoptera. Kemudian pada periode-periode
setelah pembakaran lainnya setelah pembakaran, kelimpahan individu fauna tanah
masih lebih kecil dibandingkan kondisi awal dan pada minggu ke-4 setelah
pembakaran jumlah kelimpahan individu mulai mendekati kondisi awal tersebut.
Hal yang sama juga terjadi pada kekayaan jenis, keragaman jenis dan kemerataan
jenis fauna tanah. Kondisi setelah pembakaran menunjukkan bahwa nilai

kekayaan jenis (Dmg) dan keragaman jenis fauna tanah (H) mengalami
penurunan tetapi sampai pada minggu ke-4 setelah pembakaran mulai mendekati
kondisi semula. Lain halnya dengan nilai kemerataan jenis fauna tanah (E), akibat
pembakaran tidak menjamin terjadinya penurunan karena nilai kemerataan jenis
ini menggambarkan sebaran kelimpahan individu fauna tanah di setiap familinya.
Nilai ke merataan jenis fauna tanah pada kondisi sebelum dan setelah pembakaran
hampir mendekati, hal ini berarti sebaran kelimpahan individu fauna tanah pada
masing-masing familinya hampir merata jadi tidak ada famili yang jumlah
individunya mendominasi.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan
1. Perilaku api pada proses pembakaran untuk kegiatan penyiapan lahan di
hutan sekunder Haurbentes, Jasinga Jawa Barat sangat dipengaruhi oleh
faktor -faktor seperti muatan bahan bakar, ketebalan bahan bakar, kadar air
bahan bakar, kadar air tanah dan kondisi cuaca (suhu udara, kelembaban
udara, kecepatan angin).
2. Kegiatan penebangan dalam proses penyiapan lahan di hutan Sekunder
Haurbentes, Jasinga Jawa Barat menurunkan nilai kekayaan jenis fauna
tanah sebesar 80.67 % pada permukaan tanah dan 48.35 % pada tingkat
kedalaman 0-5 cm dan nilai keragaman jenis pada permukaan tanah
sebesar 36.29 % dan pada tingkat kedalaman 0-5 cm sebesar 25.82 %.
4. Kegiatan pembakaran dalam proses penyiapan lahan di hutan Sekunder
Haurbentes Jasinga, Jawa Barat dapat menurunkan nilai kekayaan dan
keragaman jenis fauna tanah. Sampai dengan minggu ke-4 setelah
pembakaran nilai kekayaan dan keragaman jenis pada permukaan tanah
baru mencapai 84.39 % dan 94.75 % dari kondisi semula sedangkan pada
tingkat kedalaman tanah 0-5 cm mencapai 77.57 % dan 87.56 % dari
kondisi semula.
5. Fauna tanah yang hilang akibat pembakaran pada plot penelitian yaitu ordo
Lepidoptera, Odonata dan beberapa famili yang hilang berasal dari ordo
Coleoptera dan Araneida. Fauna tanah yang paling sensitif terhadap
pembakaran yaitu ordo Coleoptera (Ciidae dan Curculionidae), Araneida
(Thomisidae), Lepidoptera, Odonata. Adapun fauna tanah jenis baru yang
muncul setelah pembakaran yaitu Isoptera, Isopoda, Metastigmata,
Cryptostigmata, Coleoptera (Chrysomelidae), Araneida (Lycosidae),
Orthoptera (Tettigoniidae dan Rhaphidoporinae), Uropygi dan Solifugae.

6. Perilaku api pada proses pembakaran mempengaruhi kondisi fauna tanah


setelah pembakaran.

B. Saran
Diperlukan pengamatan dengan periode lebih dari 4 minggu setelah
pembakaran terhadap kondisi fauna tanah seperti kekayaan jenis, keragaman jenis
dan kemerataan jenis untuk melihat proses pemulihan areal yang terbakar.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. 2004. Studi Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Biota Tanah dengan
Metode Forest Health Monitoring di Taman Buru Masigit Gunung
Kareumbi Sumedang. Skripsi. Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor
Brown, A. A and K. P. Davis. 1973. Forest Fire Control and Use. Mc. Graw-Hill
Books Company. New York. 658p.
Burges, A dan F. Raw. 1967. Soil Biology. Academic Press. London, New York.
Baeza, J. M, Hidalgo-Gonzales. C. J, Luis. D. M. 2004. Fuel Characteristic and
Fire Behaviour in Mature Mediterranean Gorse Shrublands. International
Journal of Wildland Fire. Volume 13. No. 1. pp : 83-84.
Borror, D. J., C. A. Triplehon dan N. F. Johnson. 1996. Pengenalan Pelajaran
Serangga : Edisi Keenam (Terjemahan). Gadjah Mada University.
Yogyakarta.
Chandler, C., D. Che ney., P. Thomas., L. Trabaud., and D. Williams. 1983. Fire in
Forestry : Forest Fire Behaviour and Effects. Volume I. John Wiley and
Sons. New York. 450p.
Clar, C. R and L. R. Chatten. 1954. Principles of Forest Fire Management.
Department of Natural Resources Division of Forestry. California. 200p.
DeBano, L. F., D. G. Neary and P. F. Folliot. 1998. Fires Effect on Ecosystems.
John Wiley and Sons, Inc. New York.
Fuller, M. 1991. Forest Fire. John Wiley and Sons Inc. Canada, p:32-37.
Groombridge, B. 1992. Global Biodiversity: Status of the Earths living resources
World Conservation Monitoring Centre, Chapman and Hill. New York.
Himpunan Mahasiswa Statistika. 2005. Aplikasi SPSS dalam Pengolahan Data
Stastistik. Modul. Fakultas MIPA, IPB. Bogor.
Johns on, E. A. 1992. Fire and Vegetation Dynamic. Studies from the North
America Boreal Forest. Cambridge University Press, New York. 129 p.
Jamalis. 2004. Perilaku Api pada Areal Penyiapan Lahan di Hutan Sekunder
Munggaram Kabupaten Kampar Propinsi Riau. Skripsi. Fakultas
Kehutanan, IPB. Bogor
Magurran, A. E. 1988. Ecological Diversity and Measurement. Croom Helm
Limited. London.

Mattjik, A. dan Sumetajaya, M. 2000. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi


SAS dan Minitab. Jilid I. IPB Press. Bogor.
Pyne, S. J, P. L, Andrews, dan R. D. Laven. 1996. Introduction to Wildland Fire.
Second Edition. John Wiley and Sons, Inc. New York-ChichesterBrisbane-Toronto-Singapore.
Purba, D. 2002. Dampak Kebakaran Hutan terhadap Kelimpahan Serangga Tanah
pada Tegakan Hutan Sekunder Haurbentes Jasinga Jawa Barat. Skripsi.
Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor
Partosoejono, S. 1985. Mengenal Serangga. Agromedia. 223p
Wallwork, A. 1970. Ecology of Soil Animals. Mc Graw Hill Book Co., London.

Lampiran 1. Kondisi plot penelitian sebelum dan setelah pembakaran

Gambar 1. Kondisi plot sebelum ditebang

Gambar 2. Kondisi plot setelah ditebang

Gambar 3. Kondisi plot setelah 5 minggu ditebang

Gambar 4. Proses pembakaran pada plot

Lampiran 3.
Distribusi Jumlah Fauna Tanah Berdasarkan Ordo Sebelum dan Setelah
Pembakaran
800
731

700
600
permukaan
0 - 5 cm

Jumlah (ekor)

500
400

339

300
200
100
2 8

23

27

44
1 0

0 5

31

13 0

3 0

3 0

1 0

1 0

0 1

1 0

27

Hy

me

no
p
Co ter
le a
op
t
Ar e r a
an
Co eida
lle
Le mbo
pi
do la
pt
Ch e r a
ilo
po
An da
ne
O r lida
th
op
te
r
Di a
pt
er
Bl a
att
a
H e ria
m
ip
Th
te
ys
ra
an
op
te
Od ra
on
Ho ata
mo
p
Pl tera
ec
op
Ps ter
oc
a
op
te
ra

ordo

Gambar 5. Distribusi jumlah fauna tanah berdasarkan ordo sebelum penebangan

400 366
350

Jumlah (ekor)

300

permukaan
0 - 5 cm

250
200

186

150
100
50
0

19

26
0

A
nn
el
id
a

H
ym
en
op
te
ra
C
ol
eo
pt
er
a
C
ol
le
m
bo
la
C
hi
lo
po
da

ordo

Gambar 6. Distribusi jumlah fauna Tanah berdasarkan ordo sesaat setelah penebangan

Lampiran 3 (lanjutan)

100

91

90
80
Jumlah (ekor)

70

permukaan
0 - 5 cm

60
50

42

40

40
30
20

14

10

0 3

1 0

1 0

A
nn
el
id
a
O
rt
h
o
p
te
ra

H
ym
en
op
te
ra
C
ol
le
m
bo
Le
la
pi
do
pt
er
a
C
hi
lo
po
da

ordo

Gambar 7. Distribusi jumlah fauna tanah berdasarkan ordo pada 3 hari setelah
pembakaran

140

127

120 109

Jumlah (ekor)

100

permukaan
0 - 5 cm

80
60
60

52

40
20

8
0

14
0 2

0 1

1 0

1 0

0 1 1 0

Hy
m
en
op
te
C
ra
ol
eo
pt
er
a
Ar
an
eid
Co
a
lle
m
bo
Ch la
ilo
po
d
An a
ne
lid
a
Iso
pt
e
ra
O
rth
op
te
ra
Di
pt
er
a
Is
op
od
a
Bl
at
ta
ria

ordo

Gambar 8. Distribusi jumlah fauna tanah berdasarkan ordo pada 1 minggu setelah
pembakaran

Lampiran 3 (lanjutan)

160
136

140 132128

Jumlah (ekor)

120

permukaan
0 - 5 cm

100
80
60

43

35

40

24

20

3 2

20

19

1 0

1 0

1 0

12

ata

ta

gm

ma

sti

Cy

Me

pto

tas

an
ys

Th

ordo

tig

op

pt

te

er

ra

ia
He

Bl

mi

att

pte

ar

ra

a
Iso

Di

pt

lid
ne
An

lle
Co

er

ola

mb

eid
an
Ar

Hy

me

Co

no

leo

pt

pt

er

er

Gambar 9. Distribusi jumlah biota tanah berdasarkan ordo pada 2 minggu setelah
pembakaran
250
216

Jumlah (ekor)

200

permukaan
0 - 5 cm

175

150
112
100

41

50
18
6 1

3 3

0 1

17

0 3

1 0

2 0

1 0

1 0

i
So

lifu

ga

yg

a
at

op

gm

Ur

ia
ar
ta

sti

att

pt

er

a
Bl

te
op
th

Or

Di

ra

a
er
pt

a
lid

po

ne
An

mb

ilo
Ch

lle
Co

Iso

da

a
ol

a
eid
an

Ar

op
le

Co

ordo

Me

Hy

me

no

pt

er

te

ra

Gambar 10. Distribusi jumlah biota tanah berdasarkan ordo pada 3 minggu setelah
pembakaran

Lampiran 3 (lanjutan)

300

250

239

Jumlah (ekor)

200

permukaan
0 - 5 cm

181

150
109
100
49

40

50
20
0 3

50

01

2 0

0 2

10

10

20

0 1

1 0

Hy

Co

me

no

pt
er
leo a
pt
e
Ar ra
an
eid
Co
a
lle
mb
o
la
Ch
ilo
po
da
An
ne
lid
a
Is
op
Or tera
th
op
te
ra
Di
pt
er
Bl a
att
Me
ar
ia
ta
sti
gm
He ata
mi
pt
Ho era
mo
p
P l tera
ec
op
Ps tera
oc
op
te
ra

ordo

Gambar 11. Distribusi jumlah biota tanah berdasarkan ordo pada 4 minggu setelah
pembakaran

Lampiran 4.
Beberapa Contoh Fauna Tanah pada Areal Pengamatan

a (Perbesaran 6x)

b (Perbesaran 8x)

c (Perbesaran 7x)

d (Perbesaran 18x)

e (Perbesaran 5x)

f (Perbesaran 3x)

g (Perbesaran 47x)

h (Perbesaran 18x)

i (Perbesaran 16x)

j (Perbesaran 12x)

Gambar 12. Beberapa Contoh Gambar Fauna tanah pada Areal Pengamatan
a. Hymenoptera Sp.1
f. Coleoptera (Chrysomelidae)
b. Hymenoptera Sp.2
g. Coleoptera (Anthicidae)
c. Hymenoptera Sp.3
h. Coleoptera (Ciidae)
d. Hymenoptera Sp.4
i. Coleoptera (Curculionidae)
e. Larva Coleoptera
j. Coleoptera (Staphylinidae)

Lampiran 4 (lanjutan)

k (Perbesaran 4x)

l (Perbesaran 4x)

m (Perbesaran 9x)

n (Perbesaran 20x)

o (Perbesaran 4x)

p (Perbesaran 3x)

q (Perbesaran 7x)

r (Perbesaran 11x)

s (Perbesaran 3x)

t (Perbesaran 2x)

Gambar 13. Beberapa Contoh Gambar fauna Tanah pada Areal Pengamatan
k. Araneida (Salticidae)
p. Orthoptera (Acrididae)
l. Araneida (Thomicidae)
q. Orthoptera (Grylidae)
m. Araneida (Linyphilidae) r. Orthoptera (Rhapidophorinae)
n. Laba-laba tanah
s. Orthoptera (Tettigoniidae)
o. Araneida (Lycosidae)
t. Annelida

Lampiran 4 (lanjutan)

u (Perbesaran 6x)

v (Perbesaran 60x)

w (Perbesaran 5x)

x (Perbesaran 60x)

y (Perbesaran 25x)

z (Perbesaran 10x)

a.1 (Perbesaran 49x)

a.2 (Perbesaran 27x)

a.3 (Perbesaran 68x)

a.4 (Perbesaran 52x)

Gambar 14. Beberapa Contoh Gambar Fauna Tanah pada Areal Pengamatan
u. Chilopoda (Geophilomorpha)
z. Blattaria (Blattidae)
v. Collembola (Entomobryidae)
a.1 Larva Diptera
w. Lepidoptera (Sphingidae)
a.2 Diptera (Cecidomyidae)
x. Isopoda
a.3 Metastigmata (Argacidae)
y. Isoptera (Termitidae)
a.4 Cryptostigmata (Rhysotritiidae)

Lampiran 4 (lanjutan)

a.5 (Perbesaran 8x)

a.6 (Perbesaran 10x)

a.7 (Perbesaran 10x)

a.8 (Perbesaran 64x)

a.9 (Perbesaran 15x)

a.10 (perbesaran 4x)

a.11 (Perbesaran 8x)

a.12 (Perbesaran 8x)

a.13 (Perbesaran 33x)


Gambar 15. Beberapa Contoh Gambar Fauna Tanah pada Areal Pengamatan
a.5 Hemiptera (Miridae)
a.10 Uropygi
a.6 Hemiptera (Pyrrhocoridae)
a.11 Solifugae
a.7 Hemiptera (Reduviidae)
a.12 Plecoptera (Capniidae)
a.8 Larva Homoptera
a.13 Psocoptera (Lepidopsocidae)
a.9 Thysanoptera (Phlaeotriphidae)

Anda mungkin juga menyukai