Anda di halaman 1dari 60

PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT

TANAMAN PADI (Oryza sativa L.) PADA BEBERAPA


SISTEM BUDIDAYA

ABRIANI FENSIONITA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006

ABSTRAK
ABRIANI FENSIONITA. Perkembangan Hama dan Penyakit Tanaman Padi
(Oryza sativa L) pada Beberapa Sistem Budidaya. Dibimbing oleh GEDE
SUASTIKA, DADANG dan NINA MARYANA.
Di Indonesia, budidaya padi saat ini masih sangat bergantung pada
penggunaan pupuk anorganik dan pestisida sintetik. Penggunaan pestisida sintetik
secara terus menerus dapat menimbulkan efek samping yang sangat merugikan
seperti timbulnya hama baru, residu pada hasil pertanian dan pencemaran
lingkungan. Dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap
kesehatan, maka pertanian organik mulai dipilih untuk menghasilkan bahan pangan
aman (safe food) dan bersahabat bagi lingkungan (environmental friendly).
Penelitian ditujukan untuk 1) membandingkan perkembangan hama dan penyakit
tanaman padi pada sistem konvensional (urea 200 kg/ha, TSP 100 kg/ha, KCl 100
kg/ha dan aplikasi pestisida berkala), dengan sistem input rendah (bokashi 1 ton/ha,
urea 100 kg/ha, TSP 50 kg/ha, KCl 50 kg/ha dan aplikasi pestisida tergantung
serangan OPT), dan pertanian organik (bokashi 5 dan 10 ton/ha, tanpa aplikasi
pestisida sintetik dan pupuk anorganik), 2) mengetahui keanekaragaman dan
kelimpahan arthropoda dan 3) mengetahui keanekaragaman dan kelimpahan
mikroorganisme pada sistem konvensional, input rendah dan pertanian organik.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan selama dua musim tanam, tingkat
serangan hama (penggerek batang) dan penyakit (tungro, kresek, bercak coklat dan
hawar pelepah) pada ketiga sistem budidaya hampir sama. Keanekaragaman dan
kelimpahan arthropoda dan mikroorganisme ditemukan lebih tinggi pada pertanian
organik. Walaupun hasil panen gabah pada sistem konvensional lebih tinggi dari
pada sistem lainnya, namun dari segi keamanan dan nilai jual beras, pertanian
organik memberikan harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan sistem pertanian
konvensional maupun input rendah.

PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT


TANAMAN PADI (Oryza sativa L.) PADA BEBERAPA
SISTEM BUDIDAYA

ABRIANI FENSIONITA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Entomologi-Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ...................................................................................

vii

DAFTAR GAMBAR ..............................................................................

viii

DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................

xi

PENDAHULUAN
Latar Belakang .......
Tujuan .....
Hipotesis .....
Manfaat Penelitian ......

1
3
4
4

TINJAUAN PUSTAKA
Sistem Budidaya Konvensional, Input Rendah dan Organik .........
Keanekaragaman Hayati ....................................................................
Potensi Mikroorganisme sebagai Agens Pengendali .........................
Konsep PHT dalam Pertanian Organik ..........
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................
Persiapan Lahan .................................................................................
Penanaman Padi .................................................................................
Perlakuan ............................................................................................
Pengamatan Hama dan Penyakit ........................................................
Pengamatan Arthropoda .....................................................................
Analisis Mikroorganisme ...................................................................

11
11
11
11
12
14
15

HASIL DAN PEMBAHASAN


Keadaan Umum Lokasi .......
Luas dan Intensitas Serangan Hama dan Penyakit .....
Keanekaragaman Spesies dan Peranan Arthropoda ...........................
Kerapatan dan Keanekaragaman Mikroorganisme ....
Analisis Usahatani ..

17
17
28
34
37

PEMBAHASAN UMUM ....

39

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan ........................................................................................
Saran ...................................................................................................

43
43

DAFTAR PUSTAKA ..

44

LAMPIRAN ..

50

5
7
8
9

DAFTAR TABEL
Halaman
1.

Kategori serangan penyakit ..........................................................

13

2.

Persentase kelimpahan individu arthropoda hasil pengumpulan


dengan jaring serangga pada beberapa sistem budidaya ..............

28

Persentase kelimpahan individu arthropoda hasil pengumpulan


dengan lubang jebakan pada beberapa sistem budidaya ..............

31

Jumlah ordo, famili, spesies dan individu arthropoda, indeks


keanekaragaman shannon-wienner (H) dan evenness (E) pada
MT I dan MT II pada beberapa sistem budidaya .........................

32

Kerapatan koloni bakteri dan cendawan di filosfer dan rhizosfer


pada MT I dan MT II pada beberapa sistem budidaya .................

35

Jumlah koloni, spesies, indeks shannon-wienner (H) dan


evenness (E) pada musim tanam ke-dua ......................................

36

Analisis usahatani pada dua musim tanam pada beberapa sistem


budidaya .......................................................................................

37

3.
4.

5.
6.
7.

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.
2.
3.
4.

Bagan pengambilan sub petak contoh tanaman padi pada satu


perlakuan ......................................................................................

12

Gejala tanaman padi yang terserang penggerek batang padi:


sundep, beluk dan larva penggerek batang padi ..........................

18

Perkembangan luas serangan penggerek batang padi pada MT I


dan MT II pada beberapa sistem budidaya ...................................

19

Perkembangan intensitas serangan penggerek batang padi pada


5

MT I dan MT II pada beberapa sistem budidaya .........................

20

5.

Gejala penyakit tungro pada tanaman padi ..................................

6.

Perkembangan luas serangan tungro pada MT I dan MT II pada


beberapa sistem budidaya .............................................................

22

7.

Gejala penyakit kresek pada tanaman padi ..................................

23

8.

Perkembangan intensitas serangan kresek pada MT I dan MT II


pada beberapa sistem budidaya ....................................................

23

9.

Gejala penyakit cercospora pada tanaman pad i ...........................

24

10.

Perkembangan intensitas serangan bercak cercospora pada MT I


dan MT II pada beberapa sistem budidaya ...................................

25

11.

Gejala penyakit hawar pelepah daun pada tanaman padi ............

26

12.

Perkembangan intensitas serangan hawar pelepah daun pada MT


I dan MT II pada beberapa sistem budidaya ................................

13.

Komposisi arthropoda berdasarkan peranannya pada beberapa


pada MT I dan MT II pada beberapa sistem budidaya .................

21

27
33

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.

Bagan lokasi penelitian di Desa Situgede ....................................

50

2.

Curah hujan dari bulan Januari Agustus 2005 ..........................

51

3.

Luas serangan penggerek batang padi pada MT I pada beberapa


sistem budidaya ............................................................................

51

Luas serangan penggerek batang padi pada MT II pada beberapa


sistem budidaya ............................................................................

51

Intensitas serangan penggerek batang padi pada MT I pada


beberapa sistem budidaya .............................................................

51

4.
5.

6.

Intensitas serangan penggerek batang padi pada MT II pada


beberapa sistem budidaya .............................................................

52

7.

Luas serangan tungro pada MT I pada beberapa sistem budidaya


........................................................................................................

52

8.

Luas serangan tungro pada MT II pada beberapa sistem budi


daya ..............................................................................................

52

9.

Intensitas serangan kresek pada MT I pada beberapa sistem budi


daya ..............................................................................................

52

10.

Intensitas serangan kresek pada MT II pada beberapa sistem


budidaya ......................................................................................

53

11.

Intensitas serangan bercak cercospora padi pada MT I pada


beberapa sistem budidaya .............................................................

53

12.

Intensitas serangan bercak cercospora padi pada MT II pada


beberapa sistem budidaya .............................................................

53

13.

Intensitas serangan hawar pelepah daun pada MT I pada


beberapa sistem budidaya .............................................................

53

14.

Intensitas serangan hawar pelepah daun pada MT II pada


beberapa sistem budidaya .............................................................

54

15.

Jumlah individu dan spesies tiap ordo dan famili serangga yang
diperoleh dengan jaring serangga dan lubang jebakan pada
beberapa sistem budidaya ............................................................

16.

Peranan beberapa ordo dan famili arthropoda yang ditemukan


pada beberapa sistem budidaya ....................................................

55
57

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kegiatan pertanian tradisional d i Indonesia pada awalnya merupakan pertanian
organik yang hanya bergantung pada sumber daya lahan dengan cara melakukan
daur ulang limbah sisa panen sebagai pupuk. Sistem pertanian tradis ional tersebut
tidak mampu memenuhi permintaan akan hasil pertanian terutama pangan yang
terus meningkat seiring deng an meningkatnya jumlah penduduk. Sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sistem tradisional ini mulai
7

ditinggalkan oleh petani ketika teknologi intensifikasi yang mengandalkan bahan


sintetik diterapkan di bidang pertanian (Deptan 2005).
Penggunaan pupuk anorganik dan pestisida sintetik merupakan komponen
utama dalam teknologi intensifikasi pertanian yang diterapkan pada saat ini untuk
memaksimalkan produksi beras dan palawija (jagung, kacang -kacangan dan umbiumbian). Penggunaan pupuk anorganik dan pestisida sintetik yang terus menerus
ternyata dapat menimbulkan efek samping yang kurang menguntungkan seperti
kemunduran kualitas lingkungan dan pengurangan stabilitas produksi oleh
munculnya hama dan penyakit baru, senyawa beracun pada tanaman (residu),
menurunnya kesuburan tanah dan meningkatnya biaya sarana produksi (Deptan
2005).
Berbagai dampak yang ditimbulkan akibat aplikasi kimia sintetik di bidang
pertanian, menyadarkan masyarakat untuk mendapatkan produk pertanian yang
aman untuk kesehatan (food safety) dan bersahabat dengan

lingkungan

(environmental friendly). Perubahan gaya hidup kembali ke alam (back to nature)


menyebabkan permintaan produk pertanian organik di dunia tumbuh 20% per tahun.
Data Word Trade Organization (WTO) menunjukkan dalam tahun 2000-2004
perdagangan produk pert anian organik telah mencapai 17,5 milyar dollar AS dan
pada tahun 2010 diperkirakan mencapai 100 milyar dollar AS (Darmadjati 2005).
Teknologi budi daya berkembang untuk memenuhi kebutuhan tersebut dengan
mengurangi penggunaan pupuk anorganik dan pestisida sintetik yang disebut sistem
input rendah. Pada sistem pertanian ini aplikasi pestisida sintetik tidak dilakukan
bila tidak ada serangan hama. Sistem budidaya input rendah ini banyak diterapkan
perusahaan yang produknya disebut dengan produk pertanian aman (safe
agricultural products) atau di Vietnam dikenal sebagai produk pertanian hijau
(green agricultural product) (Dadang 2005).

Sistem input rendah ini dianggap

sebagai transisi untuk mencapai sistem pertanian organik murni karena sulit untuk
mengubah sistem pertanian input tinggi dengan hanya mengandalkan daur ulang
sisa panen atau organik lainnya. Efisiensi penggunaan pupuk anorganik dengan
menggunakan mikroorganisme mendukung upaya penghematan biaya pemupukan.
Aplikasi pupuk anorganik yang dikombinasikan dengan sebagian dosis pupuk
organik yaitu 75% pupuk anorganik dan 25% pupuk organik dapat meningkatkan
hasil kentang 6,94%, jagung 10,98% dan padi 25,1%, serta mengurangi biaya
8

produksi sebesar 17 sampai 25% (Goenadi et al. 1998 dalam MAPORINA 2005).
Menurut Ar-Riza et al. (2000), pemberian bahan organik dapat mengefisienkan
penggunaan pupuk anorganik pada lahan padi gogo, yaitu pemberian pupuk
nitrogen 90 kg/ha yang dikombinasikan dengan pupuk kandang dapat meningkatkan
hasil antara 133,8 sampai 183%.
Teknologi pertanian organik merupakan sistem usahatani spesifik lokasi
yang diterapkan berdasarkan interaksi tanah, tanaman, ternak, manusia, ekosistem
dan lingkungan. Pertanian organik menggunakan sebanyak mungkin bahan organik
sebagai sumber hara dan sebagai bahan yang dapat memperbaiki sifat fisik tanah.
Bahan organik yang digunakan bersumber antara lain dari pupuk kandang dan
limbah pertanian (kompos) dan dibuat dengan memanfaatkan mikroba yang dapat
berfungsi melindungi tanaman dari serangan hama dan penyakit (IP2TP 2000).
Berbagai informasi tentang bahan organik yang dapat meningkatkan kesuburan
tanah, memperbaiki struktur tanah dan meningkatkan hasil telah banyak dilaporkan.
Penelitian Saragih et al. (2000) menunjukkan bahwa penggunaan bahan organik
yang berasal dari jerami tanaman yang baru dipanen seperti jerami padi, jerami
kedelai, sekam padi atau abu sekam untuk pertanaman padi di lahan lebak dapat
meningkatkan hasil sebesar 0,69 sampai 1,98 t/ha atau meningkat 19 sampai 54,7%.
Pada musim tanam II pertanaman kacang hijau yang diberi kompos jerami dapat
meningkatkan hasil menjadi 204% dan bila d iberi bahan bokashi maka hasilnya
dapat

meningkatkan

menjadi 177%. Bila pada bahan

bokashi

tersebut

diinokulasikan Effective Microorganism (EM)4 maka meningkatkan hasil menjadi


177%, sedangkan bila bahan bokashi diinokulasi Trichoderma sp. serta Azotobacter
sp. maka hasilnya dapat meningkat menjadi 257% (Santosa dan Widati 2000).
Pengaruh pemberian kompos pada tanaman tomat dapat menurunkan serangan
antraknosa sebesar 9 sampai 12,9%, sehingga meningkatkan produksi sebesar 16
dan 33% (Abbasi et al. 2002). Penggunaan bahan organik dari bahan sisa
penggilingan kertas dengan rotasi tanaman tomat, buncis dan ketimun, dapat
menurunkan penyakit rebah kecambah, bercak coklat, antraknosa (masing-masing
1,5%) dan meningkatkan hasil 10,2 to n/ha pada buncis, sedangkan pada ketimun
penyakit bercak daun menurun sampai 14 sampai 16% dan

rebah kecambah

(Pythium spp.) 1,65 % (Stone et al. 2003). Menurut Rangarajan dan Aram (2000)
bahwa tanah kompos dapat menurunkan serangan Pythium ultimum antara 67%
9

sampai 81% dan Rhizoctonia solani antara 86% sampai 91% pada tanaman sayuran.
Petani Bantul menggunakan campuran kotoran sapi basah, jerami dan dedaunan
yang diaduk pada lahan sawah dengan dibajak dan dapat meningkatkan hasil padi
menjadi 5,5 ton/ha. Petani tersebut juga membuat sendiri bahan untuk pengendali
hama dan penyakit dari tumbuhan dan kotoran hewan (Tambunan 2005). Untuk
mengoptimalkan sifat kompos dalam pengendalian perlu diperhatikan karakteristik
kompos, pengelolaan, aplikasi dan sistem pertanian yang diterapkan.
Penerapan pertanian organik bertujuan untuk meningkatkan produksi melalui
proses pemupukan, tidak menggunakan bahan penunjang anorganik dengan
penerapan teknologi budidaya yang baik seperti pemilihan bibit berkualitas, pupuk
berimbang, penerapan pengendalian hama terpadu (PHT) dan pengaturan pola
tanam (Deptan 2005). Penelitian yang menggambarkan keberhasilan pertanian
organik dalam memperoleh produk yang berkualitas dan stabil dalam jangka
panjang telah banyak di lakukan, namun informasi mengenai perkembangan hama
dan penyakit tanaman padi serta keanekaragaman arthropoda dan mikroorganisme
pada lahan pertanian organik masih sangat terbatas.
Tujuan
1. Membandingkan perkembangan hama dan penyakit pada tanaman padi pada
lahan konvensional, input rendah dan pertanian organik.
2. Mengetahui keanekaragaman arthropoda pada lahan konvensional, input rendah
dan pertanian organik.
3. Mengetahui keanekaragaman mikroorganisme pada lahan konvensional, input
rendah dan pertanian organik.
Hipotesis
1. Perkembangan hama dan penyakit tanaman padi relatif sama pada pertanian
organik, konvensional dan input rendah.
2. Kelimpahan dan keanekaragaman arthropoda pada pertanian organik relatif
lebih tinggi sehingga dapat mempengaruhi luas serangan hama.
3. Kelimpahan dan keanekaragaman mikroorganisme pada pertanian organik
relatif lebih tinggi sehingga dapat mempengaruhi intensitas perkembangan
penyakit.
10

Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah menyediakan informasi
mengenai kelayakan sistem pertanian organik ditinjau dari perkembangan hama dan
penyakit,

keanekaragaman

arthropoda

dan

mikroorganisme

serta

analisis

usahataninya.

TINJAUAN PUSTAKA
Sistem B udidaya Konvensional, Input Rendah dan Organik
Sistem budidaya konvensional sangat tergantung pada input kimia (pupuk
anorganik dan pestisida), benih hibrida, mekanisasi dan irigasi. Penerapan sistem
pertanian konvensional mampu meningkatkan produksi pertanian, contohnya
produksi gandum di India menjadi tiga kali lipat dalam waktu 20 tahun, di
Kolumbia produksi padi meningkat sampai dua kali lipat selama 5 tahun, dan di
Indonesia mampu berswasembada pangan (beras) pada tahun 1984. Namun
demikian, penerapan teknologi ini diiringi pula dengan terjadinya peningkatan
11

serangan organisme penganggu tanaman (OPT), yang jumlahnya mencapai populasi


yang membahayakan. Penggunaan insektisida telah menyebabkan terjadinya
resistensi, timbulnya hama sekunder, musnahnya musuh alami dan terjadinya
pencemaran lingkungan, juga dapat membahayakan kehidupan manusia, baik petani
maupun konsumen (Deptan 2005).
Berkembangnya sistem pertanian input rendah merupakan teknik pertanian
berkelanjutan dengan masukan sarana produksi rendah, melalui penguasaan
teknologi budi daya yang baik, seperti bibit berkualitas, pemupukan berimbang,
penerapan PHT dan pengaturan jarak tanam (Deptan 2005). Sistem pertanian ini
menggunakan pestisida dan pupuk dalam jumlah yang rendah dan aplikasi pestisida
dilakukan hanya pada tanaman yang terserang OPT. Sistem input rendah
mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lokal dengan mengkombinasikan
berbagai komponen sistem usaha tani, yaitu tanaman, hewan, tanah, air, iklim dan
manusia, dengan memaksimalkan daur ulang dan meminimalkan kerusakan
lingkungan. Tujuan sistem input rendah adalah untuk memaksimalkan produksi
jangka pendek serta mencapai tingkat produksi yang stabil dan memadai dalam
jangka panjang (Reijntjes et al. 1992).
Perubahan dari sistem usaha tani konvensional ke sistem usaha tani yang
seimbang secara ekonomis, ekologis dan sosial memerlukan suatu proses transisi,
yaitu penyesuaian terhadap perubahan yang dilakukan secara sadar untuk membuat
sistem usaha tani lebih seimbang dan berkelanjutan. Transisi berhubungan dengan
tenaga kerja, lahan atau uang dan pengambilan resiko, sehingga dibutuhkan strategi
yang sesuai dengan kondisi lahan pertaniannya. Dukungan, kepercayaan diri, dan
imaginasi, serta perbaikan pemasaran dan kebijakan harga yang cocok sangat
diperlukan petani dalam proses transisi (Reijntjes et al. 1992).
Sistem pertanian organik

bertujuan untuk meningkatkan produksi melalui

proses pemupukan dan dalam pelaksanaannya tidak menggunakan bahan penunjang


lain yang anorganik. Sistem ini menitikberatkan pada pertanaman polikultur, rotasi
tanaman, pemanfaatan sisa tanaman, penggunaan pupuk kandang, pupuk hijau,
pengolahan tanah yang tepat serta pengendalian hama dan penyakit secara hayati.
Kondisi pertanian polikultur mempunyai ekosistem yang kompleks dibandingkan
dengan pertanaman monokultur. Produktivitas pertanian organik juga sebanding
12

dengan pertanian yang menggunakan zat-zat kimia sintetis sebagai pupuk ataupun
pestisida (Sitanggang 1993).
Tanaman tomat dan jagung pada sistem organik dan input rendah dengan
mengurangi pestisida sampai 50% memberi respon pada keberadaan arthropoda,
patogen dan nematoda.

Walaupun demikian, penggunaan pestisida ini tidak

mempengaruhi hasil dan dapat mengurangi biaya pengelolaan hama dan


menurunkan dampak lingkungan (Clark et al. 1998).
Pertumbuhan padi pada pertanian alami lebih toleran terhadap kerusakan yang
disebabkan

oleh

Oulema oryzae (Coleoptera: Chrysomelidae), dan dapat

meningkatkan hasil padi dibandingkan dengan padi yang ditanam pada lahan sistem
konvensional. Pada pertanaman padi di lahan konvensional, adanya kerusakan yang
disebabkan o leh hama O. oryzae tersebut dapat menyebabkan tanaman padi lebih
peka terhadap patogen, sehingga intensitas penyakit menjadi tinggi dan kehilangan
hasil lebih besar (Andow dan Hidaka 1998).
Proteks i tanaman pada pertanian organik umumnya dilakukan melalui
pengelolaan terhadap lingkungan sehingga tanaman mampu

bertahan terhadap

serangan hama dan patogen. Pada pertanian organik dilakukan kegiatan yaitu
pemantauan terhadap hama dan penyakit, rotasi tanaman dan

mengurangi

pengolahan tanah. Pengendalian terhadap hama dan penyakit dilakukan dengan


menggunakan agens hayati dan pestisida botani (Bruggen dan Termorshuizen 2005).
Pertanian organik secara ekonomis sangat menguntungkan dan secara ekologis
dapat menjaga kelestarian lingkungan. Dilihat dari segi sosial tidak bertentangan
dengan kepentingan masyarakat serta secara teknik mudah untuk diterapkan oleh
petani (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura 1993).
Keanekaragaman Hayati
Keanakeragaman hayati (biological diversity atau biodiversity) merupakan
istilah yang digunakan untuk menyatakan tingkat keanekaragaman sumberdaya
hayati yang meliputi kelimpahan maupun penyebaran pada ekosistem, spesies dan
genetik (Watson et al. 1995). Menurut Primack et al. (1998) bahwa
keanekaragaman hayati mencakup tiga tingkat pengertian, yaitu tingkat spesies,
komunitas dan ekosistem.

13

Aspek-aspek yang diamati dalam rangka menganalisis keanekaragaman hayati


antara lain adalah jumlah spesies, kelimpahan, peny ebaran, dominasi, variasi spesies
di dalam suatu habitat dan ekosistem (Magurran 1988). Keanekaragaman habitat
merupakan jumlah spesies di dalam suatu habitat atau lahan pertanian (Rice 1992)
dan terjadi interaksi antara spesies tersebut (Primack et al. 1998). Menurut Ludwig
dan Reynold (1988) bahwa keanekaragaman alfa dapat dikelompokkan menjadi dua
komponen yang berbeda, yaitu jumlah total spesies dan kemerataan spesies. Indeks
yang menggabungkan kedua komponen tersebut menjadi satu nilai tunggal yang
disebut indeks keanekaragaman. Peubah-peubah yang disatukan menjadi suatu nilai
tunggal adalah jumlah spesies, kelimpahan relatif spesies dan kemerataan. Dengan
demikian prosedur penghitungan keanekaragaman meliputi indeks kekayaan
(richness indices),

indeks keanekaragaman (diversity indices) dan indeks

kemerataan (evenness indices) (Ludwig dan Reynold 1988; Magurran 1988). Indeks
kekayaan spesies meng- gambarkan ukuran jumlah spesies pada suatu habitat atau
komunitas. Banyaknya indeks yang dapat digunakan untuk menghitung kekayaan
spesies antara lain Indeks Margalef, Menhinick dan Hulbert (Ludwig dan Reynolds
1988;

Magurran

1988).

Indeks

keanekaragaman

merupakan

ukuran

keanekaragaman yang ditetapkan berdasarkan struktur kerapatan atau kelimpahan


individu dari setiap spesies yang diamati (Ludwig dan Reynold 1988), sedangkan
Magurran (1988) menyatakan sebagai kelimpahan spesies (spesies abundance).
Indeks keanekaragaman yang telah dikenal antara lain adalah Indeks Berger-Parker
dan Indeks Shannon-Wienner.

Potensi Mikroorganisme sebagai Agens Pengendali


Apabila ada dua jenis mikroorganisme dalam satu tempat maka yang akan
terjadi adalah interaksi yang berperan dalam suatu proses untuk mencapai
keseimbangan biologi. Beberapa hasil interaksi kedua mikroorganisme tersebut
diantaranya

adalah

mikroorganisme,

merangsang

atau

menghambat

pertumbuhan

kedua

merangsang atau menghambat pertumbuhan spora rehat,

menyebabkan kematian bagi mikroorganisme lain dan kadang-kadang interaksinya


14

dapat

mengakibatkan

kerusakan

pada

tanaman

yang

menjadi

inangnya.

Mikroorganisme yang berpotensi sebagai agens antagonis berasal dari berbagai


divisi antara lain: bakteri, cendawan, virus maupun mikrofauna predator seperti
nematoda, protozoa dan lain-lain. Agens antagonis yang ideal menurut Baker dan
Cook (1974), harus memenuhi syarat yang meliputi: 1) tersedia dan berkembang di
rhizosfer dan filosfer dalam upaya mencegah infeksi, 2) mampu memproduksi
substrat, zat antibiotik beracun yang efektif pada konsentarsi yang rendah apabila
diaplikasikan di lapangan dan tidak mudah terdegradasi dengan cepat, 3) antibiotik
yang dihasilkan oleh satu agens antagonis harus mampu merangsang perkembangan
antagonisme lain, 4) antibiotik yang dihasilkan tidak menyebabkan kerusakan pada
tanaman inang, 5) mampu beradaptasi pada kisaran inang yang luas dan dapat
diproduksi secara masal untuk diperdagangkan, 6) spora perkecambahan harus
muncul cepat atau setidaknya lebih cepat dari pertumbuhan patogen, 7) antagonis
harus mampu beradaptasi dari pada patogen terhadap kondisi lingkungan yang
ekstrim. Secara alami di tajuk tanaman (filosfer) dan di dalam tanah (rhizosfer)
terdapat beberapa mikroorganisme yang berpotensi mengendalikan patogen
cendawan dan bakteri.
Pseudomonas kelompok fluorescens

selain terdapat di dalam tanah juga

relatif tinggi kerapatannya pada permukaan daun. Agens antagonis kelompok ini
telah dikembangkan untuk skala laboratorium dan telah dipasarkan sebagai agens
biokontrol, misalnya P. fluorescen A506 yang dijual dengan nama dagang
BlightBanTM A506 untuk mengendalikan Erwinia amylovora penyebab fire blight
pada apel dan pear (Tjahjono 2000). Bakteri kelompok ini dicirikan oleh adanya
pigmen berwarna hijau kuning yang digunakan untuk iden tifikasi serta klasifikasi.
P. fluorescen diantaranya memiliki sifat mampu mendominasi pemanfaatan eksudat
yang dikeluarkan oleh akar, berkembang biak dengan cepat dan mampu
mengkolonisasi daerah perakaran (Schippers et al. 1987).
Bakteri antagonis yang pertama diproduksi secara massal dan dikembangkan
sebagai agens biokontrol dan telah dipasarkan di Cina, Rusia, USA dan Meksiko
pada tahun 1980 adalah Bacillus sp. (Tjahjono 2000). Keunggulan Bacillus jika
dibandingkan dengan bakteri antagonis lain adalah mampu

menghasilkan

endospora yang tahan terhadap suhu tinggi dan rendah, pH ekstrim, pestisida, pupuk
dan waktu penyimpanan yang lama.
15

Selain bakteri, kelompok mikroorganisme yang juga memiliki potensi sebagai


agens biokontrol adalah cendawan. Salah satunya adalah Trichoderma sp. yang
merupakan cendawan saprofit yang hidup dalam tanah, yang umumnya sudah
digunakan untuk mengendalikan cendawan patogen, tetapi akhir-akhir ini dicoba
untuk mengendalikan bakteri patogen (Cook dan Baker

1983). Cendawan

Trichoderma sp. dapat mengkoloni sklerotia Rhizoctonia solani (Tronsmo 1996).


Paath (1988) melaporkan bahwa hifa Trichoderma sp. bersifat antagonistik terhadap
perkembangan bakteri Pseudomonas solanacearum isolat tembakau dan tomat
secara in-vitro.
Konsep PHT dalam Pertanian Organik
Beberapa kebijakan pemerintah yang menunjang pengendalian hama terpadu
(PHT) telah dikeluarkan sejak beberapa dekade yang lalu sangat mendukung dalam
pelaksanaan pertanian organik. Kebijakan pemerintah dalam usaha pengendalian
hama terpadu (PHT) dituangkan dalam REPELITA III tahun 1979/1980
1983/1984, yaitu Inpres no. 3 tahun 1986 tentang pelarangan penggunaan 57
formulasi pestisida untuk tanaman padi. Selain itu terdapat Peraturan Pemerintah
No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman yang dilaksanakan dengan sistem
pengendalian hama terpadu dan Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem
Budidaya Tanaman (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura
1993). Kebijakan pemerintah lainnya yaitu Undang-Undang No. 7 tahun 1996
tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 2002 tentang ketahanan
pangan mentargetkan kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang
tercemin dengan tersedianya pangan secara cukup, baik jumlah maupun mutunya,
aman, bergizi, merata dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Karena itu
pengembangan pertanian organik merupakan salah satu pilihan dalam menunjang
ketahanan pangan lokal (local food security) (Sumarsono

2005). Kebijakan

pemerintah tersebut selain digunakan untuk mengamankan produksi juga untuk


mengamankan

faktor-faktor

lingkungan

dalam

menciptakan

pertanian

berkelanjutan, aman terhadap pelaksana dan konsumen (Direktorat Perlindungan


Tanaman Pangan dan Hortikultura 1993).
Pelaksanaan program pengembangan pertanian organik telah dimulai tahun
2001 dengan Go Organic 2010 dengan misi meningkatkan kualitas hidup
masyarakat

dan

kelestarian

lingkungan

Indonesia,

dengan

mendorong
16

berkembangnya pertanian organik yang berdaya saing dan berkelanjutan


(Darmadjati 2005).
Usaha-usaha untuk menciptakan pertanian berkelanjutan di atas menghadapi
berbagai kendala, terutama dalam ekosistem pertanian (agro ekosistem) yang
umumnya rentan terhadap kerusakan oleh OPT dan bencana peledakan OPT. Hal ini
disebabkan kurangnya keanekaragaman spesies tanaman, spesies serangga atau
patogen dan perubahan yang tiba-tiba karena cuaca dan perlakuan petani, tidak
seperti halnya dengan ekosistem alami (natural ecosystem) (Direktorat Perlindungan
Tanaman Pangan dan Hortikultura 1993). Pengendalian hama terpadu merupakan
cara pengelolaan pertanian dengan setiap keputusan dan tindakan bertujuan
meminimalisasi serangan OPT, sehingga mengurangi bahaya terhadap manusia,
tanaman dan lingkungan. Sistem PHT memanfaatkan semua teknik dan metode
(biologi, genetis, mekanis, fisik dan kimia) dengan cara seharmoni mungkin, untuk
mempertahankan populasi hama berada di bawah tingkat yang merugikan secara
ekonomis, serta mengurangi biaya perlindungan apabila pengendalian OPT
dilakukan dengan pengendalian hayati (Deptan 2005). Dalam sistem pertanian
organik, musuh alami berperan dalam menekan laju pertumbuhan hama dan
mengatur keseimbangan populasi hama, sehingga konsep PHT yang dipraktekkan
dalam sistem pertanian organik searah dengan pembangunan berkelanjutan. Proses
penyadaran pentingnya pertanian organik tidak dapat berjalan dalam waktu singkat,
harus difasilitasi dengan berbagai kebijakan seperti jaminan pemasaran . Stabilitas
harga diupayakan tidak hanya terbatas pada pengelolaan pasar, tetapi peningkatkan
kualitas gabah melalui pembangunan lumbung modern (ware house system ). Proses
sosialisasi dapat berjalan dengan cepat apabila didukung dengan fasilitas, dana dan
sumber daya manusianya.

BAHAN DAN METODE


Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di Desa Situgede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor.
Identifikasi

arthropoda

dan

mikroorgansime

dilakukan

di

Laboratorium

Biosistematika Serangga dan Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen


Proteksi Tanaman, IPB. Penelitian dilaksanakan sejak bulan Januari 2005 sampai
dengan bulan Januari 2006.
17

Persiapan Lahan
Lahan yang digunakan untuk penelitian adalah lahan pertama seluas 2.400 m
yang digunakan untuk budidaya tanaman padi secar a konvensional dan input rendah
serta lahan ke-dua seluas 5.857 m yang digunakan untuk budidaya tanaman padi
secara organik. Pengolahan lahan dilakukan dengan pembajakan oleh kerbau.
Selanjutnya dilakukan proses penghalusan tanah dengan menggunakan cangkul dan
garu. Untuk mempercepat proses penghalusan tanah dilakukan pengairan.
Penanaman Padi
Benih padi yang digunakan adalah varietas Cisantana yang berasal dari Balai
Benih Padi di Muara, Bogor. Benih dikecambahkan dengan cara direndam dalam air
selama sehari. Selanjutnya benih yang sudah berkecambah ditebarkan pada lahan
pesemaian yang sudah diolah dalam kondisi berlumpur (tidak tergenang air).
Setelah bibit padi berumur 21-24 hari, bibit siap dipindahkan ke lahan sawah.
Penanaman dilakukan dengan cara cabut pindah (transplanting). Bibit ditanam
sebanyak 2-3 tanaman/lubang dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm.
Perlakuan
Percobaan ini terdiri dari empat perlakuan dan empat ulangan. Perlakuan
terdiri dari sistem pertanian 1) konvensional (d ipupuk dengan urea 200 kg/ha, TSP
100 kg/ha, KCl 100 kg/ha dan aplikasi pestisida Furadan 3 G 20 kg/ha), 2) input
rendah (menggunakan bokashi 1 ton/ha, urea 100 kg/ha, TSP 50 kg/ha, KCl 50
kg/ha dan aplikasi pestisida Furadan 3 G 10 kg/ha), 3) organik 5 (dipupuk dengan
bokashi 5 ton/ha, tanpa pupuk anorganik dan pestisida sintetik), dan 4) organik 10
(menggunakan bokashi 10 ton/ha, tanpa pupuk anorganik dan pestisida sintetik).
Pupuk organik bokashi diaplikasikan setengah bagian pada waktu pengolahan tanah
dan sisanya diaplikasikan sehari sebelum tanam. Pupuk NPK (Urea + TSP + KCl)
setengah bagian diaplikasikan sehari sebelum tanam dan sisanya diberikan pada saat
tanaman berumur sekitar 14 hari setelah tanam (HST).
Pengamatan Hama dan Penyakit
Pengamatan hama dan penyakit dilakukan pada 45 rumpun contoh per petak
yang ditentukan secara diagonal. Perkembangan penyakit dan populasi hama pada

18

setiap petak diamati seminggu sekali. Peubah yang diamati meliputi luas serangan
dan intensitas serangan hama dan penyakit.
Pengamatan pada setiap petak percobaan dilakukan dengan menentukan lima sub
petak contoh berukuran 1 m x 1 m yang ditentukan secara diagonal (Gambar 1).
Jumlah rumpun tanaman yang diamati adalah 9 tanaman contoh/sub petak contoh
(45 rumpun /petak).

Gambar 1 Bagan pengambilan subpetak contoh tanaman padi pada satu perlakuan
Perkembangan hama dan penyakit dilakukan secara langsung di pertanaman padi
dengan menghitung luas dan intensitas serangan hama utama, serta intensitas
penyakit utama. Hama dan penyakit utama tanaman padi yang diamati meliputi
penggerek batang padi, tungro, kresek, bercak cercospora dan hawar daun padi.
Pengamatan dilakukan sebanyak 10 kali dengan interval pengamatan seminggu
sekali. Peubah yang diamati meliputi luas serangan dan intensitas serangan hama
dan penyakit.
Luas serangan hama penggerek batang padi dan tungro dihitung dengan rumus
(Direktorat Perlindungan Tanaman 2000):

L = n/N x 100%
Keterangan :
L = Luas serangan (%)
n = Jumlah rumpun padi terserang
N = Jumlah seluruh rumpun padi yang diamati
Intensitas serangan hama, untuk hama pengerek batang padi dihitung dengan rumus :
19

I = b/B x 100%
Keterangan :
I

= Intensitas serangan (%)

b = Jumlah anakan atau malai yang terserang


B = Jumlah anakan atau malai yang diamati

Intensitas penyakit kresek, bercak cercospora dan hawar pelepah daun d ihitung
dengan rumus Towsend & Heuberger (1943) dalam Unterstenhofer (1976):
n

n.v
i

I =

x 100 %

Z.N
Keterangan :
I

= Tingkat kerusakan padi

n = Jumlah rumpun dengan kategori serangan ke-i


v = Nilai skala tiap kategori serangan ke-i
Z = Skala kategori serangan tertinggi
N = Jumlah rumpun yang diamati
Kriteria penyakit dihitung berdasarkan katagori sebagai berikut:
Tabel 1 Kategori penyakit
1

No.
1
2
3
4
5

Kategori serangan
tidak ada serangan
serangan ringan
serangan sedang
serangan berat
serangan sangat berat

Skala (v)
0
1
2
3
4

% kerusakan (x)
x=0
0 < x = 25
25 < x = 50
50 < x = 75
75 < x = 100

Pengamatan Arthropoda
Pada setiap lahan pertanian baik konvensional, input rendah dan organik,
dilakukan pengambilan sampel serangga dengan jaring serangga (sweep net) dan
lubang jebakan (pitfall trap) seperti metode Niemela et al. (1990). Pengambilan
sampel serangga dengan jaring serangga dilakukan pada pagi hari pukul 8 sampai
11. Pada setiap petak percobaan ditetapkan lima lokasi yang ditentukan secara
diagonal. Pada setiap lokasi contoh dipilih satuan contoh dengan 10 ayunan ganda
20

jaring. Lubang jebakan dipasang sebanyak 4 buah per petak perlakuan d i pematang
sawah. Lubang jebakan berupa wadah plastik (240 ml) yang telah diisi dengan
larutan deterjen sebanyak 20-30 ml yang dipasang di dalam lubang tanah. Bagian
tepi wadah diatur sama rata dengan permukaan tanah di sekitarnya dan dibiarkan
selama 24 jam. Jebakan dilindungi dari paparan sinar matahari dan curah hujan
dengan selembar seng berukuran 20 cm x 20 cm yang ditunjang besi setinggi 15 cm
dari permukaan tanah. Pada MT I pengamatan arthropoda dengan jaring serangga
dan lubang jebakan dilakukan sebanyak 6 kali pengambilan sampel, sedangkan
pada MT II pengamatan arthropoda dengan jaring serangga sebanyak 2 kali
pengambilan sampel dan dengan lubang jebakan dilakukan

sebanyak 11 kali

pengambilan sampel.
Arthropoda yang tertangkap dengan jaring serangga d imasukkan ke dalam
botol berisi alkohol, kemudian dibersihkan dari kotoran. Arthropoda hasil tangkapan
dengan lubang jebakan disaring dengan kain saring kemudian dibersihkan dan
dibilas dengan air. Arthropoda yang telah dibersihkan tadi, disimpan dalam tabung
film berisi larutan alkohol 70% untuk selanjutnya diidentifikasi di laboratorium.
Pengumpulan data dilakukan setiap satu minggu sejak umur tanaman 2 minggu
setelah tanam (MST) menjelang panen.
Identifikasi arthropoda dilakukan sampai tingkat famili dengan mengacu pada
buku Pengenalan Pelajaran Serangga (Borror et al. 1996), The Pest of Crops in
Indonesia (Kalshoven 1981) dan The Insect of Australia (Naumann et al. 1996).
Pemisahan dilanjutkan dengan memperhatikan perbedaan morfo-spesies (hanya
kode).
Ukuran keanekaragaman yang menunjukkan proporsi spesies yang paling
melimpah di analisis dengan menggunakan rumus Indeks Berger-Parker (d)
(Southwood 1980; Magurran 1988).
d = Nmax/N
Keterangan :
d : Kelimpahan spesies
Nmax : Jumlah individu yang paling dominan
N : Jumlah total individu semua spesies
Penetapan tingkat keanekaragaman spesies arthropoda dihitung menggunakan
indeks keanekaragaman spesies Shannon-Wienner (Magurran 1988).
21

H = - ? pi ln pi
Keterangan:
H : Indeks keragaman spesies
pi : Proporsi individu yang ditemukan pada spesies ke-i
Keragaman maksimum (H max) dapat terjadi bila semua spesies memiliki
kelimpahan yang sama, dengan kata lain H/Hmax /ln (S); dimana S adalah jumlah
spesies. Perbandingan antara nilai keragaman yang diperoleh dengan nilai
keragaman maksimum adalah nilai evenness (E) yang berkisar antara 0 dan 1. Nilai
1 terjadi apabila semua spesies memiliki kelimpahan yang sama (Magurran 1988):
E = H/ln S
Keterangan:
E : Indeks kemerataan spesies Evenness
H : Indeks keragaman spesies
S : Jumlah spesies
Analisis Mikroorganisme
Mikroorganisme penghuni daun (filosfer) dan tanah di sekitar perakaran
tanaman padi (rhizosfer) diamati dua kali yaitu pada fase pertumbuhan tanaman
vegetatif dan generatif . Contoh

daun (1 gr) dan tanah (5 gr) masing-masing

dimasukkan ke dalam 50 ml aquades steril dan diaduk secara konstan selama 15


menit. Suspensi yang diperoleh diencerkan sampai 10-4, kemudian diambil sekitar
0,05 ml dan disebar pada media TSA, Kings B dan MA (martin agar). Untuk
mengisolasi kelompok bakteri tahan panas, suspensi pengenceran selanjutnya
dipanaskan dalam penangas air (clifton boiling bath ) pada suhu 80 C selama 30
menit dan dibiarkan dingin. Suspensi disebar pada media TSA (tryptic soy agar).
Mikroba yang tumbuh pada media diidentifikasi berdasarkan bentuk, elevasi,
warna dan tepian koloninya dengan mengacu pada buku Introductory Mycology
(Alexopoulus dan Mims 1979), dan Methods for The Diagnosis of Bacterial
Diseases of Plant (Lelliot dan Stead 1987). Penetapan tingkat keanekaragaman dan
indeks kemerataan spesies mikroba dihitung men ggunakan indeks keanekaragaman
Shannon-Wienner dan indeks kemerataan spesies Evenness (Magurran 1988).

22

HASIL DAN PEMBAHASAN


Keadaan Umum Lokasi
Lokasi penelitian terletak di Desa Situgede, Kecamatan Bogor Barat, Kota
Bogor. Desa Situgede terletak pada ketinggian 250 meter di atas permukaan laut.
Lahan pengamatan terbagai menjadi dua bagian yaitu bagian selatan
merupakan lahan pertanian organik 5 ton/ha dan 10 ton/ha, sedangkan sebelah utara
merupakan lahan pertanian input rendah dan konvensional (Lampiran 1).
Lingkungan sekitar lahan pertanian organik di sebelah selatan berbatasan
dengan hutan kecil dan sungai, sebelah utara aliran air dan jalan umum, sebelah
barat berbatasan dengan tanaman padi, talas, kolam ikan dan rumah penduduk,
23

sebelah timur berbatasan dan rumah penduduk. Pada lahan input rendah dan
konvensional di sebelah selatan berbatasan dengan jalan umum dan pemukiman
penduduk, sebelah utara dengan rumah penduduk dan tanaman bengkuang, sebelah
barat dengan aliran air, tanaman padi dan rumah penduduk, dan sebelah timur
dengan aliran air dan tanaman padi.
Data perkembangan curah hujan yang terjadi selama pengamatan disajikan
pada lampiran 2.
Luas dan Intensitas Serangan Hama dan Penyakit
Selama pengamatan ditemukan berbagai jenis hama dan penyakit yang
menyerang tanaman padi baik di lahan sawah dengan sistem pengelolaan
konvensional, input rendah maupun organik . Di antara hama dan penyakit yang
ditemukan, penggerek batang padi, tungro, kresek, bercak cercospora dan hawar
pelepah daun padi tampaknya mempunyai kontribusi dalam menurunkan produksi
padi, dan oleh karenanya diamati lebih rinci dalam penelitian ini.
Penggerek Batang Padi
Serangan penggerek batang pada tanaman padi fase vegetatif menyebabkan
pucuk tanaman mati akibat aktivitas makan larva dalam batang. Gejala pada fase ini
dikenal dengan istilah sundep.

Bagian pucuk anakan yang terserang berwarna

kuning, kemudian kering dan mati.

Tanaman padi yang terserang pada fase

generatif, malai tegak dan berwarna putih karena hampa disebut beluk. Selama
pengamatan, jenis penggerek batang padi yang paling banyak dijumpai adalah
penggerek batang padi kuning Scirpophaga incertulas Walker (Lepidoptera:
Pyralidae)(Gambar 2).

24

Gambar 2 Gejala tanaman padi yang terserang penggerek batang pad i:


(a) sundep, (b) beluk dan (c) larva penggerek batang padi.
Luas serangan penggerek batang padi di lahan konvensional, input rendah dan
pertanian organik pada dua musim tanam meningkat pada pengamatan 6 sampai 9
MST dan tidak terjadi peningkatan sampai 11 MST (Gambar 3, Lampiran 3 dan 4).
Luas serangan relatif tinggi pada sistem budi daya pertanian organik (5 ton/ha dan
10 ton/ha). Hal ini tampaknya karena pada pertanian organik terhadap hama tidak
dilakukan aplikasi insektisida sintetik, seperti pada sistem budi daya konvensional
dan input rendah yang dilakukan penaburan Furadan 3 G pada tanaman yang
terserang setiap musim tanam.
Pengendalian dengan bahan kimia sintetik selain dapat menurunkan populasi
hama, juga dapat menurunkan populasi parasitoid dan predator dalam jumlah yang
sebanding, keadaan tersebut menguntungkan bagi perkembangan hama. Parasitoid
25

telur Tetrastichus schoenobii (Hymenoptera: Eulophidae), Telenomus rowani


(Hymenoptera:

Scelionidae)

dan

Trichogramma

javanicum (Hymenoptera:

Trichogrammatidae) merupakan faktor biotik utama dalam mengatur populasi


penggerek batang padi pada populasi tinggi. Selain parasitoid, predator
Cyrthorhinus lividipennis (Hemiptera: Miridae) dapat menurunkan populasi
penggerek batang padi (Wigenasantana 1982). Berkurangnya populasi parasit dan
predator karena kelangkaan inang dapat menimbulkan pengaruh yang besar.
Keadaan tersebut menunjukkan ketidakseimbangan antara hama dengan musuh
alami sehingga hama dapat berkembang pesat dan menimbulkan kerugian ekonomi.
Bahan kimia sintetik dalam program pengendalian hama digunakan bila cara
pengendalian yang lain yang telah direncanakan gagal sehingga perlu tindakan
alternatif terakhir (Wigenasantana 1982).
(a)
50

Luas serangan (%)

40
30
20
10
0
6
50

10

11

(b)

Konvensional
Input rendah
Organik 5
Organik 10

40
30
20
10
0
3

10

11

Minggu setelah tanam


Gambar 3 Perkembangan luas serangan penggerek batang padi pada MT I (a)
dan MT II (b) pada beberapa sistem budidaya
Intensitas serangan hama penggerek batang padi tertinggi juga terjadi pada
pertanian organik, sedangkan yang terendah pada konvensional dan input rendah
(Gambar 4, Lampiran 5 dan 6). Intensitas serangan yang relatif tinggi ini dapat
berpengaruh terhadap penurunan produksi padi. Menurut Direktorat Perlindungan
26

Tanaman (2000) bahwa pengendalian sudah harus dilakukan bila serangan


penggerek batang padi telah mencapai 10-15%, pengendalian dilakukan hanya pada
tanaman-tanaman yang terserang.
(a)

Intensitas serangan (%)

15
10
5
0
6
15

10

11

Konvensional
Input rendah
Organik 5
Organik 10

10

(b)

5
0
3

10

11

Minggu setelah tanam


Gambar 4 Perkembangan intensitas serangan penggerek batang padi pada
MT I (a) dan MT II (b) pada beberapa sistem budidaya
Dari kedua musim tanam menunjukkan serangan penggerek batang padi pada
MT I relatif lebih tinggi dibandingkan MT II, hal ini diduga karena perbedaan
musim. Pada MT I (musim hujan), kelembaban relatif lebih tinggi dari MT II.
Menurut Khan dan Murthy (1955 dalam Wigenasantana 1982) bahwa tidak terdapat
korelasi positif antara hujan dengan populasi hama, tetapi terdapat korelasi positif
antara kelembaban dengan populasi.

Tungro
Tungro

ditularkan

oleh

wereng

hijau,

Nephotettix

sp.

(Hemiptera:

Cicadellidae). Rumpun padi yang terinfeksi virus tungro akan tampak kerdil dan
anakannya sedikit, daun-daunnya menjadi

kuning sampai kuning oranye dan


27

kecoklatan mulai dari ujung daun yang muda sampai daun tua (Gambar 5).
Tanaman yang terinfeksi pada masa pembibitan dan vegetatif dapat hidup sampai
fase pemasakan bulir tetapi masa pembungaan terlambat, malai menjadi kecil dan
tidak sempurna. Hal ini menyebabkan panen terlambat dan produksi menjadi
rendah.

Gambar 5 Gejala penyakit tungro pada tanaman padi


Luas serangan tungro pada dua musim tanam meningkat pada setiap
pengamatan dan tidak mengalami pertambahan pada pengamatan menjelang panen.
Serangan tertinggi tungro terdapat pada pertanian organik 5 ton/ha dan terendah
pada sistem budidaya konvensional (Gambar 6, Lampiran 7 dan 8). Perbedaan luas
serangan antara keempat perlakuan berkaitan dengan kelimpahan wereng hijau.
Dari hasil penangkapan dengan jaring serangga ditemukan populasi wereng hijau
tertinggi pada pertanian organik 5 ton/ha, yaitu 144 individu pada MT I dan 98
individu pada MT II pada pengamatan 6 HST, sedangkan pada konvensional dan
input rendah populasi wereng hijau yang ditemukan lebih rendah. Tingginya luas
serangan penyakit tungro mungkin berhubungan dengan meningkatnya populasi

28

(a)

Luas serangan (%)

30
20
10
0
6
30

10

11

(b)

Konvensional
Input rendah
Organik 5
Organik 10

20
10
0
3

10

11

Minggu setelah tanam


Gambar 6 Perkembangan luas serangan tungro pada MT I (a) dan MT II (b)
pada beberapa sistem budidaya
wereng hijau sehingga

keberadaan

inokulum dilapang meningkat yang

memungkinkan bagi vektor untuk mengakuisisi virus tungro dan menjadi infektif.
Menurut Chiykowski (1981) bahwa proporsi vektor infektif di lapangan sangat
menentukan tingkat serangan penyakit yang ditularkan oleh wereng hijau.
Tanaman padi yang terserang penyakit tungro akan menjadi kerdil dan
pengurangan jumlah anakan. Bulir menjadi berukuran kecil-kecil dan hampa,
pembentukan bunga sering terhambat, sehingga mempengaruhi terhadap penurunan
produksi padi. Kerugian yang ditimbulkan penyakit tungro cukup besar, karena
menyebabkan kehilangan hasil sekitar 20-90% pada sembilan varietas padi rentan
yang terinfeksi (Waterworth dan Hadidi 2000).
Kresek
Penyakit kresek (Xanthomonas camprestris pv oryzae) dapat menginfeksi
tanaman padi mulai dari pembibitan sampai tanaman tua. Gejala nampak pada daun
berupa bercak kuning sampai putih berawal dari garis lembam berair pada tepi
helaian daun (Gambar 7). Bercak bisa mulai pada salah satu atau kedua tepi daun,
atau setiap bagian helain daun rusak, dan berkembang hingga seluruh daun.
29

Gambar 7

Gambar 7 Gejala penyakit kresek pada tanaman padi


Intensitas serangan kresek pada dua musim tanam umumnya lebih tinggi pada
sistem budi daya input rendah (Gambar 8, Lampiran 9 dan 10 ). Hal ini diduga
dipengaruhi oleh kelembaban yang tinggi yang mendukung perkembangan penyakit
kresek. Jumlah anakan padi lebih banyak pada sistem budi daya input rendah
dibandingkan dengan pertanian organik dan konvensional.
(a)

Intensitas serangan (%)

40
30
20
10
0
6

10

11

(b)

40

Konvensional
Input rendah
Organik 5
Organik 10

30
20
10
0
4

10

11

Minggu setelah tanam


Gambar 8 Perkembangan intensitas serangan kresek pada MT I (a)
dan MT II (b) pada beberapa sistem budidaya
30

Jumlah anakan tanaman padi pada sistem budi daya input rendah adalah 20
anakan/rumpun dan tinggi tanaman 96 cm. Dengan jumlah anakan yang banyak dan
tanaman yang tidak terlalu tinggi, memungkinkan bakteri dapat menyebar lebih
cepat melalui percikan air, hujan atau penyiangan saat daun basah. Bakteri masuk
ke dalam jaringan tanaman melalui lubang alami seperti stomata dan hidatoda serta
luka, yang kemudian berkembang dalam ruang antar sel (Sinclair dan Backman
1989; Semangun 1990). Iklim mikro di sekitar tanaman sangat berperan dalam
perkembangan penyakit kresek tersebut.
Pada pertanian organik , intensitas serangan kresek lebih rendah. Hal ini diduga
karena adanya aktivitas agens antagonis. Hal ini sesuai dengan laporan Wibowo et
al. (2002) bahwa P. fluorescen yang berada pada bagian tajuk tanaman (filosfer)
padi mampu menekan laju infeksi patogen X. campestris pv. oryza. Hal tersebut
disebabkan oleh kompetisi atau kolonisasi pada habitat yang sama.
Bercak Cercospora
Gejala serangan bercak bergaris (Cercospora oryzae) berupa garis terputusputus berwarna kekuningan kemudian menjadi coklat kemerahan pada helaian daun
(Gambar 9). Bercak pada awalnya sedikit, bila kelembaban tinggi dapat menutupi
seluruh permukaan daun.

Gambar 9 Gejala penyakit cercospora pada tanaman padi

31

Serangan penyakit bercak cercospora pada kedua musim tanam mulai terjadi
pada fase vegetatif (6 MST) dan terus meningkat sampai pengamatan ke-10, dengan
intensitas serangan tertinggi pada pertanian organik 10 t/ha (Gambar 10, Lampiran
11 dan 12).
(a)
Intensitas serangan (%)

40
30
20
10
0
6

10

11

(b)
40
Konvensional
Input rendah
Organik 5
Organik 10

30
20
10
0
5

10

11

Minggu setelah tanam


Gambar 10 Perkembangan intensitas serangan bercak cercospora pada
MT I (a) dan MT II (b) pada beberapa sistem budidaya
Serangan

patogen

penyakit

ini

terlihat

semakin

meningkat

dengan

bertambahnya umur tanaman. Hal ini sesuai dengan pendapat Semangun (1990)
bahwa daun tua tanaman padi lebih rentan terhadap penyakit bercak cercospora
dibandingkan dengan daun yang muda. Pada tanaman yang muda unsur hara akan
lebih difokuskan untuk pembentukan daun, sehingga daun muda lebih kuat terhadap
serangan penyakit cercospora. Meningkatnya serangan pada daun tua kemungkinan
disebabkan pengaruh unsur hara yang mulai berkurang pada daun, karena unsur hara
diutamakan untuk pembentukan malai dan pengisian malai. Penyakit bercak
cercospora dapat menjadi masalah karena ketimpangan hara, seper ti kekurangan dan
kelebihan pupuk nitrogen (Semangun, 1990). Intensitas serangan penyakit ini
dipengaruhi juga oleh kelembaban, dimana keadaan teduh dan gelap meningkatkan
perkembangan bercak.
32

Hawar Pelepah Daun


Rhyzoctonia solani, sebagai penyebab penyakit hawar pelepah daun padi,
dapat menginfeksi pelepah daun dan batang tanaman padi. Gejala hawar terlihat
pada batang padi di atas permukaan air dan pada daun terdapat bercak-bercak
keabu-abuan berbentuk oval memanjang, dapat meluas ke seluruh bagian daun dan
sampai daun bendera (Gambar 11). Serangan pada tanaman stadia pengisian malai,
menyebabkan proses pengisian malai tidak sempurna dan gabah menjadi hampa
sehingga menurunkan produksi padi.

Gambar 11 Gejala penyakit hawar pelepah daun pada tanaman padi


Perkembangan penyakit hawar pelepah daun tampak lebih tinggi pada sistem
budi daya konvensional dibandingkan dengan pertanian organik dan input rendah.
Penyakit mulai berkembang sejak 6 sampai 10 MST (Gambar 12, Lampiran 13 dan
14).

33

(a)

Intensitas serangan (%)

25
20
15
10
5
0
6
25

10

(b)

Konvensional
Input rendah
Organik 5
Organik 10

20
15

11

10
5
0
6

10

11

Minggu setelah tanam


Gambar 12 Perkembangan intensitas serangan hawar pelepah daun pada
MT I (a) dan MT II (b) pada beberapa sistem budidaya
Rendahnya tingkat serangan penyakit hawar daun pada pertanian organik
diduga karena adanya aktivitas mikroorganisme pada kompos yang berpotensi
sebagai agens antagonis. Berdasarkan pengamatan mikroorganisme di daun dan
tanah tanaman padi, ditemukan bakteri Pseudomonas kelompok fluorescen (2 x 1010
coloni forming unit/g) dan bakteri tahan panas (2 x 10 10 cfu/g sampai 38 x 1010
cfu/g dan 849 x 105 cfu/g sampai 154 x 10 5 cfu/g), serta cendawan Trichoderma sp.
(0,8 x 105 cfu/g).

Jhonson dan Curl (1972) serta Bulluck dan Ristaino (2002)

menyatakan bahwa R. solani sebagai patogen tular tanah dapat tertekan


pertumbuhannya dengan adanya penambahan kompos. Hal ini sesuai dengan hasil
pengamatan Huang dan Benson (2002) bahwa Pseudomonas spp. dan Bacillus spp.
telah teridentifikasi sebagai agens pengendali hayati yang efektif untuk beberapa
penyakit yang disebabkan cendawan R. solani. Pada bahan organik yang belum
terdekomposisi Trichoderma spp. bersifat sebagai saprofit, tetapi setelah bahan
organik mengalami pengomposan Trichoderma spp. menjadi bersifat hiperparasit
terhadap R. solani (Hoitink et al. 1996).

34

Keanekaragaman Spesies dan Peranan Arthropoda


Kelimpahan Arthropoda
Hasil pengamatan artropoda dengan menggunakan jaring serangga dan lubang
jebakan pada lahan persawahan organik 5 ton/ha, organik 10 ton/ha, konvensional
dan input rendah pada MT I diperoleh 49.789 individu serangga yang terdiri dari
12 ordo, 93 famili dan 148 spesies. Pada MT II diperoleh 44.600 individu serangga
yang terdiri dari

10 ordo, 89 famili dan 126 spesies. Perbedaan jumlah yang

ditemukan antara MT I dan MT II kemungkinan disebabkan keadaan cuaca saat


pengambilan sampel. Banyaknya famili dan individu tiap ordo dapat dilihat pada
Lampiran 15.
Persentase kelimpahan individu setiap ordo serangga pada kedua musim tanam
yang diperoleh dengan menggunakan jaring serangga menunjukkan kelimpahan
individu terbesar terdapat pada ordo Thysanoptera pada lahan persawahan input
rendah dan konvensional, ordo Diptera pada lahan persawahan organik 5 ton/ha dan
10 ton/ha, sedangkan ordo Hemiptera pada keempat lahan sawah menunjukkan
kelimpahan yang relatif sama tinggi (Tabel 2).
Tabel 2 Persentase kelimpahan individu arthropoda hasil pengumpulan dengan
jaring serangga pada beberapa sistem budidaya

Ordo
Odonata

Konvensional
0,21

MT I
Input
Organik
rendah
5
0,58
0,48

Organik
10
0,07

KonvenSional
0,31

MT II
Input
Organik
rendah
5
0,49
0,99

Organik
10
1,51

Mantodea

0,00

0,00

0,01

0,02

0,00

0,00

0,05

0,16

Orthopter a

7,45

8,94

4,74

5,44

7,25

3,70

3,11

5,72

Hemiptera

16,43

21,18

20,46

20,27

31,22

20,39

31,83

29,46

Thysanoptera

52,21

56,49

32,16

36,02

35,67

47,86

8,10

29,24

1,90

1,42

3,58

3,59

5,14

4,38

7,70

1,73

Coleoptera
Lepidoptera

0,83

1,10

0,47

0,52

0,54

1,23

2,47

1,69

15,34

4,22

26,93

25,34

14,69

15,67

36,16

22,06

Hymenoptera

2,91

3,00

6,47

4,77

3,49

3,24

4,31

4,21

Collembola

0,06

0,00

0,01

0,07

0,00

0,00

0,00

0,00

Arachnida

2,66

3,00

4,63

3,89

1,69

3,02

5,28

4,23

Acarina

0,00

0,06

0,07

0,00

0,00

0,00

0,00

0,00

Diptera

Serangga thrips (Thysanoptera) mulai muncul pada pertanaman padi berumur


5 MST, dengan populasi tertinggi terjadi pada saat tanaman berada pada fase
35

pengisian malai dan kemudian menurun menjelang panen. Kelimpahan ordo ini
pada sistem pertanian input rendah dan konvensional lebih tinggi dibandingkan
dengan

sistem pertanian organik, diduga karena lokasi kedua lahan tersebut

berdekatan dengan lahan persawahan lain dengan umur tanaman yang beragam,
sedangkan lahan organik dibatas i jalan, perumahan, tanaman talas dan hutan.
Metcalf dan Luckmann (1982) menyatakan bahwa kelompok yang mula-mula
mengadakan kolonisasi adalah serangga yang mudah terbawa angin seperti wereng,
thrips dan aphids. Serangan hama thrips ini sangat jarang dilaporkan pada
pertanaman padi. Tetapi serangan hama Trips oryzae (Baliothrips biformis)
(Thysanoptera: Thripidae) pada tanaman muda menyebabkan daun menggulung dan
berwarna kuning sampai kemerahan, pertumbuhan bibit terhambat dan pada
tanaman dewasa dapat mengurangi pengisian malai (Direktorat Perlindungan
Tanaman Pangan 2006). Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Koswanudin dan
Koesbiantoro (2000) yang menyatakan bahwa trips sudah muncul pada pertanaman
padi berumur 2 MST, dengan serangan tertinggi pada tanaman muda dan menurun
pada waktu menjelang panen. Munculnya serangga trips karena adanya pertanaman
padi yang terus menerus selama tiga musim tanam, sehingga terjadi perpindahan
dari tanaman inang lain seperti gulma ke pertanaman padi. Serangan hama Thrips
ini secara tidak langsung menimbulkan kerugian terhadap hasil panen. Serangan
cukup berat dapat menghambat pertumbuhan tanaman dan akan memperpanjang
umur tanaman sehingga menunda waktu panen.
Tingginya kelimpahan serangga ordo Hemiptera diantaranya disebabkan
banyak ditemukannya serangga famili Alydidae. Serangga famili ini merupakan
hama yang menyerang bulir padi pada fase nimfa maupun imago. Pertanaman padi
yang terus menerus dapat meningkatkan populasi hama tersebut. Apabila ditemukan
5 ekor/ 9 rumpun dapat mengurangi hasil sampai 15% (Suharto dan Damardjati
1988). Munculnya serangga hama ini di keempat sistem budidaya padi
kemungkinan karena ekosistem pertanaman padi di daerah tersebut mengikuti pola
padi-padi-padi. Selain itu, hal lain yang mendukung kelimpahan hama ini tinggi
antara lain adalah tersedianya tanaman inang utama, waktu tanam yang tidak
serempak, penggunaan pestisida yang tidak bijaksana di luar areal pengamatan , dan
iklim yang mendukung perkembangan serangan hama. Usaha pengendalian yang
36

dilakukan petani di Desa Situgede terhadap hama walang sangit atau Leptocorisa
oratorius F. (Hemiptera: Alydidae), yaitu dengan tehnik pengendalian secara
spesifik lokasi dengan menyebarkan cairan perasan kulit bawang putih pada
pertanaman padi. Tehnik pengendalian secara tradisonal ini terlihat dapat
menurunkan populasi walang sangit tersebut.
Kelimpahan arthropoda pada MT I dari pengumpulan menggunakan lubang
jebakan menunjukkan bahwa persentase kelimpahan tertinggi terdapat pada ordo
Collembola pada lahan persawahan input rendah (Tabel 3). Pada MT II, ordo
Collembola ini menunjukkan nilai tertinggi pada keempat sistem budi daya padi.
Lebih tingginya kelimpahan Collembola pada lahan input rendah (MT I) dan
konvensional (MT II) diduga karena struktur lahan di pematang sawah tempat
peletakan lubang jebakan pada kedua lahan kemungkinan mengandung bahan
organik dan kelembaban yang lebih tinggi yang sesuai untuk kehidupan arthropoda
ini. Pengamatan menunjukkan bahwa struktur lahan pematang sawah input rendah
dan konvensional banyak ditumbuhi berbagai jenis rumput-rumputan dengan
kelembaban tanah di tempat ini relatif lebih tinggi dan terletak

dekat dengan

saluran air. Dengan banyaknya vegetasi rumput dan dekat saluran air,
memungkinkan pematang sawah tersebut banyak mengandung serasah rumput dan
kelembaban tanahnya lebih tinggi yang

merupakan tempat sesuai untuk

perkembangan Collembola. Menurut Suhardjono (2000) bahwa Collembola dapat


ditemukan di hampir semua macam habitat dan keadaan vegetasi. Ditemukannya
Collembola pada habitat tepian lahan sawah di Situgede menunjukkan kondisi lahan
yang banyak mengandung bahan organik.

Suhardjono (1992) lebih lanjut

menyatakan bahwa faktor lingkungan seperti pH, kandungan bahan organik dan
suhu dapat mempengaruhi keberadaan Collembola.
Ordo yang menempati peringkat ke-dua pada pengumpulan dengan jaring
serangga dan lubang jebakan adalah Diptera (Tabel 2 dan 3). Pada kedua musim
tanam dan kedua perangkap kelimpahan serangga Diptera relatif tinggi pada lahan
pertanian organik 5 dan 10 to n/ha. Kelimpahan serangga Diptera lebih tinggi pada
lahan sistem pertanian organik dibandingkan dengan sistem pertanian input rendah
dan konvensional. Hal ini diduga karena lahan organik diberi perlakuan pupuk
bokashi yang terdiri dari kompos dan pupuk kandang yang mengandung bahan
organik lebih banyak. Kondisi lahan seperti ini sesuai bagi perkembangan serangga
37

Tabel 3 Persentase kelimpahan individu arthropoda hasil pengumpulan dengan


lubang jebakan pada beberapa sistem budidaya
Ordo

Konvensional
0,00

Odonata

MT I
Input
Organik
rendah
5
0,00
0,00

Organik
10
0,00

Konvensional
0,00

MT II
Input
Organik
rendah
5
0,00
0,00

Organik
10
0,01

Mantodea

0,00

0,00

0,00

0,00

0,00

0,00

0,00

0,00

Orthoptera

0,61

0,88

0,60

0,81

0,23

1,17

0,24

0,30

Hemiptera

1,26

1,59

0,57

0,55

0,64

6,03

1,18

2,39

Thysanoptera

0,03

0,21

0,04

0,26

0,03

0,26

0,04

0,07

Coleoptera

0,78

1,09

0,26

0,53

0,41

6,16

0,74

0,92

Diptera

44,13

1,51

53,65

59,59

6,78

16,62

33,46

18,93

Hymenoptera

18,57

12,29

14,71

17,14

1,29

3,95

13,54

2,26

Collembola

33,36

80,67

28,97

16,35

89,85

63,59

50,13

74,23

Arachnida

1,21

1,72

1,21

4,76

0,71

2,17

0,54

0,81

Acarina

0,05

0,04

0,00

0,00

0,06

0,04

0,13

0,07

Diptera yang

termasuk sebagai serangga saprofag. Odum (1971)

menyatakan

bahwa serangga saprofag dapat membantu menguraikan bahan organik dan hasil
uraian tersebut dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Tingginya kelimpahan serangga
saprofag pada lahan pinggiran dan lahan sawah pertanian organik dapat merupakan
mangsa utama dan alternatif bagi serangga fitofag dan musuh alami, terutama
predator. Dengan demikian, terdekomposisinya serasah/bahan organik, dan
pelestarian gulma berguna dapat menyebabkan meningkatnya populasi predator,
parasitoid dan serangga berguna lainnya dan tanaman utama mendapat unsur hara
tambahan. Hal lain yang menyebabkan ordo Diptera kelimpahannya relatif tinggi
kemungkinan karena faktor ekosistem padi sawah yang merupakan ekosistem
berair.

Menurut Daly et al. (1978), mengemukakan bahwa yang mendominasi

serangga akuatik adalah larva Diptera.


Keanekaragaman Spesies
Keanekaragaman arthropoda pada lahan sistem konvensional, input rendah
dan pertanian organik ditunjukkan pada Tabel 4. Kelimpahan arthropoda tertinggi
terdapat pada lahan konvensional pada MT I dan MT II yaitu 13.090 dan 16.438
individu. Kekayaan spesies tertinggi terdapat pada MT I dan MT II adalah pada
lahan pertanian organik 5 ton/ha. Keanekaragaman dan sebaran spesies arthropoda
tertinggi pada kedua MT terdapat pada lahan pertanian organik 5 ton/ha. Lahan
38

pertanian organik 5 ton/ha dan 10 ton/ha memiliki jumlah ordo terbanyak pada
kedua MT dibandingkan pada lahan konvensional dan input rendah.
Tabel 4 Jumlah ordo, famili, spesies dan individu arthropoda, indeks keanekaragaman shannon-wienner (H) dan evenness (E) pada MT I dan MT II
pada beberapa sistem budidaya
Jumlah/
Indeks
Ordo
Famili
Spesies
Individu
H
E

Konvensional
11
79
156
13.090
2,986
0,618

MT I
Input Organik
rendah
5
11
12
80
90
157
173
12.258 12.551
3,088
3,490
0,641
0,705

Organik
10
12
90
171
11.890
3,309
0,672

Konvensional
11
74
145
16.438
1,441
0,310

MT II
Input Organik
rendah
5
11
12
78
80
149
159
5.513
11.295
2,194
2,586
0,397
0,545

Organik
10
12
75
162
11.354
2,334
0,495

Jenis dan Peranan


Komposisi dan peranan arthropoda dari spesies yang ditemukan dapat dilihat
pada Gambar 13. Pada MT I lahan pertanian organik 5 ton/ha memperlihatkan
keseimbangan komposisi arthropoda yaitu dari 173 spesies yang teridentifikasi,
45,98% fitofag, 7,07% parasitoid, 17,67% predator dan 29,28% hewan lain. Untuk
MT II keseimbangan komposisi arthropoda juga pada lahan pertanian organik 5
ton/ha yaitu dari 159 spesies yang teridentifikasi, 18,89% fitofag, 3,03% parasitoid,
9,79% predator, dan 69% serangga lain.
Pada MT II lahan konvensional pengurai dan serangga lain memperlihatkan
nilai yang tinggi (76,88%). Komposisi arthropoda pada lahan konvensional tersebut
mempunyai komposisi yang tidak merata antara fitofag, musuh alami dan pengurai
dan serangga lain. Hal ini menunjukkan ekologi yang relatif kurang sehat, karena
komposisi didominasi oleh fitofag serta pengurai dan serangga lain.
Menurut Triwidodo (2003) bahwa kondisi ekologi lahan relatif sehat bila
komposisi peran arthropoda dengan perimbangan yang relatif baik, yaitu jika hama
relatif lebih sedikit dibandingkan musuh alami dan serangga lain.

Dengan

demikian, pada pertanian organik tanpa penggunaan insektisida menunjukkan


keseimbangan komposisi peran arthropoda, sehingga kondisi ekologi lahan dapat
dikatakan sudah relatif stabil, tetapi tetap harus dilakukan pemantauan secara terus
menerus.

39

Fitofag
Parasitoid
Predator
Pengurai & serangga lain

80

Persentase peranan arthropoda

70

(a)

60
50
40
30
20
10
0
Konvensional Input rendah

Organik 5

Organik 10

(b)

80
70
60
50
40
30
20
10
0
Konvensional Input rendah

Organik 5

Organik 10

Gambar 13 Komposisi arthropoda berdasarkan peranannya pada


MT I (a) dan MT II (b) pada beberapa sistem budidaya
Kondisi ekosistem tanaman padi bersifat tidak stabil, sehingga sewaktu -waktu
dapat terjadi peningkatan populasi hama dan populasi musuh alami tidak mampu
mengimbangi perkembangan hama yang sangat cepat (Laba et al. 2000).
Serangga fitofag terdiri atas ordo Hemiptera, Orthoptera, Lepidoptera,
Coleoptera, Diptera dan Thysanoptera (Lampiran 16). Serangga musuh alami
(parasitoid dan predator) sebagian besar termasuk ordo Hymenoptera, Coleoptera,
dan Diptera. Parasitoid yang potensial pada pertanaman padi adalah dari famili
Braconidae, Trichogrammatidae, Eulophidae, Scelionidae, Mymaridae, Eupelmidae,
Ichneumonidae dan Encyrtidae (Hymenoptera), Ceratopogonidae dan Tachinidae
(Diptera). Predator yang mendominasi lahan adalah famili Coccinellidae, Carabidae
dan Staphylinidae (Coleoptera), Coenagrionidae (Odonata), Mantidae (Mantodea),
Reduviidae

(Hemiptera),

Formicidae

(Hymenoptera)

serta

Tetragnathidae,

Oxyopidae dan Lycosidae (Arachnida). Pengurai dan serangga lain didominasi oleh
ordo Diptera dan Collembola.
40

Keanekaragaman, jenis dan peranan serangga yang ditemukan di lahan


pertanian organik relatif menunjukkan serangga musuh alami (parasitoid dan
predator), serta pengurai dan serangga lain lebih banyak ditemukan. Hal ini diduga
karena lahan pertanian organik berdekatan dengan hutan, sungai, aliran air,
pertanaman talas dan perumahan dibandingkan dengan lahan konvensional dan
input rendah yang berdekatan dengan tanaman padi, aliran air, tanaman bengkuang
dan perumahan (Lampiran 15). Vegetasi liar yang tumbuh di lahan pinggir dapat
mempengaruhi keefektifan musuh alami di pertanaman yang dibudidayakan karena
menyediakan inang dan mangsa, tempat berlindung dan sumber makanan (Emden
1991). Lahan pinggiran yang banyak ditumbuhi berbagai vegetasi dapat berperan
sebagai habitat alternatif bagi arthropoda kelompok musuh alami (Emden 1991,
Kartosuwondo 1993, Herlinda 2000), kelompok fitofag, pengurai dan pemakan
plankton (Herlinda 2000). Keanekaragaman arthropoda pada vegetasi liar di lahan
pinggiran mempunyai kontribusi dalam mendukung keseimbangan dan kestabilan
ekosistem lahan sawah. Peranan lahan pinggiran juga sebagai habitat alternatif bagi
arthropoda yang hidup pada suatu tanaman budidaya apabila tanaman budidaya
tersebut tidak ada atau di luar musim tanam tanaman budidaya, sehingga lahan
pinggiran berfungsi sebagai sumber arthropoda pada pertanaman musim berikutnya
(Herlinda 2000).
Kerapatan dan Keanekaragaman Mikroorganisme
Kerapatan Mikroorganisme
Pada MT I, kerapatan populasi bakteri tahan panas di bagian filosfer tertinggi
ditemukan pada pertanian organik 10 ton/ha, dan Trichoderma sp. hanya pada lahan
pertanian organik 5 ton/ha (Tabel 5). Dari bagian rhizosfer kerapatan populasi
tertinggi adalah bakteri tahan panas di pertanian organik 5 ton/ha. Pada MT II dari
filosfer dan rizosfer diperoleh kerapatan populasi bakteri tahan panas tertinggi di
pertanian organik 5 ton/ha. Trichoderma sp. pada filosfer yang tertinggi pada lahan
pertanian organik 10 ton/ha dan pada rhizosfer yang tertinggi pada lahan pertanian
organik 5 ton/ha. Rendahnya kerapatan populas i bakteri tahan panas dan
Trichoderma sp. pad a lahan konvensional dan input rendah kemungkinan lebih
dipengaruhi akibat aplikasi insektisida. Menurut Agrios (1997) bahwa jika
insektisida berpengaruh menghambat atau membunuh bakteri dan cendawan
41

antagonis maka kemungkinan besar patogen akan mendominasi. Perubahan


terhadap populasi dan sifat antagonis cendawan saprofit

(bertambahnya

inokulumnya dan berpotensi menjadi patogen) menyebabkan interaksi pada patogen


tanaman berubah (Vyas 1988).
Dalam penelitian ini pada kandidat agens antagonis tersebut tidak dilakukan
uji potensi antagonisme lebih lanjut. Tetapi berdasarkan laporan Tjahjono (2000)
bahwa beberapa galur dari Pseudomonas kelompok fluorescen dan isolat dari genus
Bacillus sp.

telah banyak dikembangkan sebagai antagonis yang penting dan

potensial sebagai agens biokontrol.


Tabel 5 Kerapatan koloni bakteri dan cendawan di filosfer dan rhizosfer pada MT I
dan MT II pada beberapa sistem budidaya
Filosfer
Sistem
budidaya

Rhizosfer

Bakteri
P.kelompok
flourescens1 )

Bakteri
Tahan
Panas2)

Trichoderma sp.

Tahan
panas 2)

MT I
Konvensional
6,0x1010
24,0x10 10
6,0x1010
10
10
Input rendah
2,0x10
34,0x10
4,0x1010
10
10
10
Organik 5
2,0x10
10,0x10
6,0x10
12,0x10 10
10
10
Organik 10
2,0x10
38,0x10
2,0x1010
MT II
Konvensional
32,30x105
70,00x105
5
Input rendah
62,10x10
72,20x105
5
5
Organik 5
286,60x10
0,30x10
258,20x105
5
5
Organik 10
84,90x10
0,80x10
154,00x105
Keterangan : 1) P : Pseudomonas, 2) Bakteri tahan panas (Bacillus sp.)

Trichoderma sp.

0,02x105
0,60x105
2,00x105
0,02x105

Eksplorasi agens antagonis pada pertanaman padi di Jalur Pantura


mendapatkan dua jenis bakteri yang berpotensi sebagai agens antagonis yaitu P.
fluorescen dan Corynebacterium yang dalam uji awal dapat menekan penyakit X.
comprestris pv. oryzae, Cercospora oryzae, dan Pseudomonas sp. (Wibowo et al.
1997). Trichoderma sp. merupakan salah satu cendawan yang paling banyak diteliti
dan digunakan dalam pengendalian hayati pada berbagai cendawan patogen (Lorito
et al. 1993). Bakteri tahan panas dan Trichoderma sp. mendominasi hampir seluruh
sampel dari daun dan tanah, sedangkan P. fluorescen hanya pada bagian filosfer di
MT I. Hal ini sesuai dengan laporan Warner (1992) bahwa spesies bakteri yang
paling sering dijumpai pada filosfer adalah Pseudomonas dan Bacillus. Laporan lain
menyatakan bahwa Trichoderma sp. ditemukan melimpah pada filosfer (Hornby
1990) dan rhizosfer (Domsch et al. 1993).
42

Keanekaragaman Mikroorganisme
Secara umum

pada bagian filosfer dan rhizosfer pada MT II,

nilai

keanekaragaman dan Evenness mikroba lebih tinggi pada pertanian organik 10


ton/ha dan 5 ton/ha dibandingkan pada lahan konvensional dan input rendah (Tabel
6). Hal ini menunjukkan bahwa kekayaan spesies pada lahan pertanian organik lebih
besar, demikian juga sebaran individu antara spesies lebih seragam di lahan
pertanian organik dibandingkan dengan di lahan konvensional.
Tabel 6 Jumlah koloni, spesies, indeks shannon-wienner (H) dan
evenness (E) pada MT II
J umlah/Indeks
Filosfer
Koloni*
Spesies
H
E
Rhizosfer
Koloni*
Spesies
H
E

Konvensional

Input rendah

Organik 5

Organik 10

6,478
11
1,603
0,668

7,034
9
1,022
0,465

43,124
13
1,557
0,607

11,373
11
1,986
0,828

7,404
9
1,285
0,585

7,886
12
1,665
0,551

26,024
18
1,872
0,759

17,824
14
2,015
0,764

Keterangan: * )Jumlah koloni (10 6 cfu/g)

Tampaknya penggunaan insektisida pada lahan konvensional berpengaruh


nyata terhadap perubahan keragaman bakteri dan cendawan. Agrios (1997)
mengatakan bahwa aplikasi pestisida dapat menyebabkan fitoktoksik pada tanaman
yang peka, mempengaruhi kerapatan dan keragaman mikroorganisme tanah
(Schippers dan Gams 1979), meningkatkan atau mengurangi virulensi patogen,
perkecambahan spora, kompetisi saprofilik dan kemampuan bertahan hidup.
Aplikasi insektisida

monokrotofos dapat menyebabkan menurunnya kerapatan

koloni bakteri dalam tanah, dari sebelum aplikasi insektisida kerapatan koloni
bakteri yaitu 102x105 cfu/g tanah menurun menjadi 143x104 cfu/g tanah. Sedangkan
pada cendawan dari kerapatan 50x103 cfu/g tanah menurun menjadi 49x10 3 cfu/g
tanah (Zayed et al. 1998). Selain dipengaruhi juga oleh residu insektisida di dalam
tanah, kerapatan dan keragaman bakteri dan cendawan di filosfer dan rhizosfer
tampaknya dipengaruhi oleh faktor umur tanaman inang, kondisi cuaca pada waktu
pengambilan contoh daun dan tanah, macam pupuk yang diaplikasikan, gulma di
sekitar tanaman dan tanaman terdahulu.
43

Analisis Usahatani
Hasil panen pada kedua musim tanam pada sistem budidaya konvensional dan
input rendah lebih tinggi dibandingkan dengan pertanian organik (Tabel 7). Masih
rendahnya hasil panen pada pertanian organik kemungkinan disebabkan lokasi
masih mengalami masa transisi dari kondisi sebelumnya dengan asupan pupuk
anorganik ke sistem budidaya organik. Walaupun produksi lahan organik masih
lebih rendah, namun kualitas beras organik dinilai sangat baik sehingga harga
jualnya lebih tinggi dari hasil pertanian konvensional dan input rendah. Dengan
demikian keuntungan petani dapat lebih tinggi dari pada pertanian organik. Pada
pertanian organik 5 ton/ha sudah menunjukkan keuntungan yang lebih tinggi dari
konvensional, tetapi biaya produksi yang dikeluarkan untuk membeli pupuk organik
(bokashi) masih tinggi. Biaya produksi tersebut dapat dikurangi bila petani dapat
membuat sendiri pupuk organik (bokashi) dari jerami padi lahannya dan pupuk
kandang dari ternaknya sendiri. Dengan berkurangnya biaya produksi, keuntungan
pada pertanian organik akan menjadi meningkat dan mungkin akan lebih tinggi dari
pertanian konvensional dan input rendah.
Tabel 7 Analisis usahatani pada dua musim tanam pada beberapa sistem budidaya
Uraian
MT I
Produksi (ton/ha)
Biaya produksi (Rp jt/ha)
Pendapatan total (Rp jt/ha)
Keuntungan (Rp Jt/ha)
R/C ratio
B/C ratio
MT II
Produksi (ton/ha)
Biaya produksi (Rp jt/ha)
Pendapatan total (Rp jt/ha)
Keuntungan (Rp jt/ha)
R/C ratio
B/C ratio

Konvensional

Input
rendah

Organik
5

Organik
10

1,43
3,62
4,30
0,68
1,19
0,19

1,34
3,68
4,03
0,35
1,09
0,09

1,25
5,24
6,26
1,02
1,20
0,19

1,32
7,74
6,58
-1,15
0,85
-0,15

2,75
3,62
8,25
4,64
2,28
1,28

2,57
3,68
7,71
4,03
2,09
1,09

2,06
5,24
10,29
5,06
1,97
0,97

2,12
7,74
10,53
2,79
1,36
0,36

Ket. 1) Harga beras organik Rp 5.0 00,-/kg


2) Harga beras konvensional dan input rendah Rp 3.000,- kg

44

Pada pertanian organik 5 ton/ha dan pertanian organik 10 ton/ha menunjukkan


peningkatkan produksi tidak jauh berbeda, karena biaya produksi pada organik 10
ton/ha sangat tinggi m aka keuntungannya rendah. Walaupun nanti dikurangi dengan
biaya produksi dengan membuat bokashi sendiri, sehingga dengan pertanian organik
5 ton/ha

sudah memberi peluang kepada petani untuk meningkatkan produksi,

dengan jaminan harga jual beras organik yang tinggi akan dapat meningkatkan
pendapat petani.

45

PEMBAHASAN UMUM
Dari pengamatan yang telah dilakukan di lahan sawah dengan sistem
pengelolaan konvensional, input rendah maupun organik, ditemukan berbagai jenis
hama dan penyakit yang menyerang tanaman padi. Di antara hama dan penyakit
yang ditemukan, penggerek batang padi, tungro, kresek, bercak cercospora dan
hawar pelepah tampaknya relatif sama pada MT I dan MT II. Luas dan intensitas
serangan hama dan penyakit pada MT I (musim hujan) relatif lebih tinggi dari pada
MT II (musim kemarau), kemungkinan hal ini dipengaruhi oleh keadaan cuaca yang
sesuai untuk perkembangan hama dan penyakit.
Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa pada lahan konvensional
dan input rendah yang menggunakan insektisida Furadan 3 G menunjukkan luas dan
intensitas serangan hama penggerek batang lebih rendah tetapi tidak begitu jauh
berbeda dengan pertanian organik. Hal ini menunjukkan pada pertanian organik
kegiatan musuh alami (parasitoid dan predator) sudah dapat mengontrol populasi
hama penggerek batang padi. Sehingga tanpa penggunaan insektisida, musuh alami
sudah dapat mengurangi serangan hama penggerek batang padi.
Serangan penyakit tungro yang ditularkan oleh seran gga vektor Nephotettix sp.
menunjukkan intensitas lebih tinggi pada pertanian organik. Hal ini didukung
dengan ditemukannya serangga wereng hijau tersebut lebih banyak pada pertanian
organik. Populasi dan aktivitas terbang serangga vektor infektif sangat berpengaruh
terhadap potensi tertular maupun menularkan virus tungro di lapang. Kehilangan
hasil karena terinfeksi tungro sangat dipengaruhi oleh stadia rumpun saat terjadi
infeksi. Rumpun yang terinfeksi pada umur tanaman dua minggu setelah tanam
dapat mengalami kehilangan hasil hingga 80%. Semakin lanjut umur tanaman saat
terjadi infeksi, semakin rendah kehilangan hasil yang dialami (Direktorat
Perlindungan Tanaman Pangan dan Horikultura 1992).
Intensitas serangan penyakit kresek dan hawar pelepah daun padi pada
pertanian organik pada MT I dan MT II relatif lebih rendah dibandingkan lahan
konvensional dan input rendah. Hal ini dapat terjadi diduga karena adanya
pemberian bokashi (kompos) yang dapat meningkatkan fauna mikroorganisme pada
tanah yang diantaranya meningkatkan aktivitas potensi agens yang berpotensi
sebagai antagonis. Sifat hubungan antagonisme antar organisme yang berada pada
46

relung (niche) yang sama dapat berupa kompetisi dalam menggunakan nutrisi dan
ruang, antibiosis dengan menghasilkan antibiotika atau metabolit yang bersifat
racun, dan parasitisme dengan cara menyerap nutrisi yang terdapat dalam patogen
(Tronsmo 1996). Bakteri antagonis mampu memacu Induced Systemic Resistance
(ISR) melawan patogen tumbuhan yang berskala luas, yang ditunjukkan dengan
tingkat keparahan penyakit tanaman padi lebih rendah. P. fluorescens yang
dieksplorasi dari tanaman padi pada awalnya diduga mempengaruhi pengaruh buruk
bahkan berperan sebagai patogen beberapa jenis tanaman sayuran (tomat, cabe, cabe
rawit, sawi, terong dan mentimun), akan tetapi setelah diuji dengan inokulasi buatan
suntik, siram dan semprot ternyata tidak menyebabkan tanaman sakit (Wibowo et
al. 2002).
Mekanisme penghambatan P. fluorescens dalam menekan patogen tanaman
yaitu dengan memproduksi siderophore. Siderophore tersebut dapat mengikat besi
dan turunannya di daerah sekitar perakaran, apabila unsur besi tidak tersedia maka
patogen tidak dapat berkembang dengan baik (Cano dan Jaime

1988).

Penghambatan pertumbuhan patogen oleh Bacillus sp. memungkinkan karena


berdifusinya senyawa antibiotik yang dihasilkannya seperti bulbiformin yang
dapat mengakibatkan sel hifa R. solani mengalami lisis (Baker dan Cook 1974).
Sementara itu Mew dan Rosales (1991) bahwa Pseudomonas spp. dan Trichoderma
spp. dapat mengkoloni sklerosia cendawan R. solani dalam tanah terutama pada
lahan pertanian beririgasi. Trichoderma spp. memarasit R. solani dengan hifa yang
tumbuh melilit sekitar hifa cendawan inang, kemudian mendegradasi dinding sel
inang

dengan mengeluarkan enzim glukanase dan kitinase yang menyebabkan

rusaknya lapisan kitin (selulose) dinding sel hifa cendawan patogen yang menjadi
inangnya (Alexopaulus dan Mims 1979).
Pada pengamatan mikroorganisme yang ada di filosfer dan rhizosfer
ditemukannya golongan bakteri adalah Pseudomonas kelompok fluorescens dan
bakteri tahan panas (Bacillus sp.), sedangkan kelompok cendawan Trichoderma sp.
yang berpotensi sebagai agens antagonis relatif lebih tinggi pada pertanian organik.
Hal ini diduga dengan penambahan kompos dapat memperbaiki status nutrisi tanah
sehingga

terjadi

perubahan

populasi

mikroorganisme.

Perubahan

tersebut

menyebabkan sebagian komponen mikroflora dalam tanah dapat terpacu sedangkan


mikroorganisme yang lain tertekan pertumbuhannya. Dalam bahan organik yang
47

sudah terdekomposisi yang mengandung mikroorganisme tanah dengan populasi


yang berlimpah, merupakan lingkungan yang tidak sesuai untuk perkembangan
patogen tular tanah (Jhonson dan Curl 1972).
Sebagian besar agens antagonis pad a tanaman bersifat saprofitik. Agens
anatagonis tersebut relatif mudah beradaptasi terhadap lingkungan yang kurang
baik (temperatur yang ekstrim, pengaruh antibiotik dan pestisida) bila dibandingkan
dengan parasit tumbuhan. Mekanisme antaginisme antara agens antagonis dengan
patogen dapat terjadi secara kompetisi, parasitisasi, antibiotisis dan lisis (Baker dan
Cook 1974).

Perubahan kelembaban tanah, pH, suhu, tekstur dan status hara

(dengan penambahan bahan organik) akan mengurangi bertanya tingkat serangan


patogen terutama patogen akar melalui stimulasi pertumbuhan agens antagonis.
Penggunaan agens antagonis dalam pengendalian hayati patogen supaya lebih
efektif terlebih dahulu harus perlu diuji kemampuan bertahannya setelah
diintroduksi ke dalam tanah dengan mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan.
Pengamatan keanekaragaman, kelimpahan dan komposisi peranan (musuh
alami) arthropoda dan mik roorgansime (cendawan dan bakteri potensi antagonis)
pada lahan pertanian organik relatif lebih tinggi dari pada lahan konvensional dan
input rendah. Hal ini menunjukkan lahan pertanian organik bersifat relatif lebih
stabil. Kestabilan ekosistem tersebut dapat terjadi apabila interaksi antara komponen
ekosistem yaitu serangga fitofag, musuh musuh alami (parasitoid dan predator) dan
serangga pengurai lainnya dikelola secara tepat. Ekosistem tanaman semusim
bersifat kurang stabil bila dibandingkan dengan ekosistem hutan yang dicirikan
dengan rendahnya keragaman hayati. Susunan jaringan pakan pada ekosistem
tanaman semusim yang bersifat sederhana mengakibatkan populasi hama berada
dalam keadaan tidak seimbang, sehingga mudah terjadi ledakan populasi hama
(Southwood dan Way

1980). Kestabilan ekosistem padi sawah dapat dicapai

dengan

dan

meningkatkan

memantapkan

keanek aragaman

hayati

melalui

pengelolaan ekosistem, antara lain dengan mengoptimalkan budidaya dan


meningkatkan peranan musuh alami.
Ekosistem padi sawah di Indonesia yang subur bahan organik dan tidak
tercemar pestisida, akan kaya keanekaragaman hayati. Ekosistem lahan sawah
irigasi berpola tanam padi-padi-padi, tanpa perlakuan pestisida menunjukkan jenis
musuh alami yang lebih banyak dibandingkan hama. Tanaman padi tanpa pestisida
48

dapat memberikan hasil yang lebih tinggi (Untung 1992).

Tanpa pestisida,

keanekaragaman hayati ekosistem dapat ditingkatkan sehingga musuh alami yang


ada di pertanaman dapat berperan maksimal dalam mengatur populasi hama.
Dengan menerapkan PHT dalam pertanian organik diharapkan dapat tercapai
stabilitas ekosistem, sehingga pertanian berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
dapat terwujud.
Pertanian

organik

merupakan

sistem

pertanian

yang

berkelanjutan

(sustainable), menggunakan bahan-bahan alami (natural system), dan tidak


menggunakan bahan kimia sintetis, sehingga produk yang dihasilkan tidak
mencemari dan bersifat akrab dengan lingkungan. Menurut Sumodiningrat (2005),
hasil pertanian organik terutama sayur dan buah segar mempunyai rasa, warna,
aroma dan tekstur yang lebih baik dari pada hasil pertanian anorganik. Teknologi
pertanian organik masih terus berkembang, sehingga penerapannya di lapangan
masih beragam, seperti sebagian besar menerapkan pengurangan input luar (low
input) dengan mengurangi pupuk kimia dan pestisida sintetik serta penambahan
pupuk organik. Hal ini dianggap cukup rasional karena tidak mudah mengurangi
pemakaian bahan kimia yang tinggi dalam waktu singkat.

49

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
1. Tingkat serangan hama dan penyakit pada pertanaman padi dengan sistem
budidaya organik relatif sama dengan yang terjadi pada sistem konvensional
maupun input rendah.
2. Sistem budidaya padi organik memaksimalkan peran musuh alami dan
mikroorganisme berguna lainnya yang sesuai dengan prinsip PHT.
3. Ekosistem

pertanian

organik

lebih

kompleks

yang

tercermin

dari

keanekaragaman arthropoda dan mikroorganisme relatif lebih tinggi dari pada


sistem pertanian konvensional dan input rendah.
Saran
Mikroorganisme bakteri dan cendawan yang ditemukan perlu diuji potensi
antagonismenya.

50

DAFTAR PUSTAKA
Abbasi PA, Al-Dahmani J, Sahin F, Hoitink HAJ, Miller SA. 2002. Effect of
compost amendments on disease severity and yield of tomato in conventional
and organic production systems. Plant Disease. 86:156 -161.
Agrios GN. 1987. Plant Phatology. 4th edition. New York: Academic Press.
Andow DA, Hidaka K. 1998. Yield loss in conventional dan natural rice farming
systems. Agriculture, Ecosystems & Environment. 70(2/3):151-158.
Alexopoulus CJ, Mims CW. 1979. Introductory Mycology. 3
York: Jhon Wiley and Sons. 632 p.

rd

edition. New

Ar-Riza I, Sardjijo, Chaerudin. 2000. Prospek dan kendala pertanian o rganik dalam
upaya peningkatan produksi padi di lahan kering. Di dalam: Mustajab HK,
Rizal AAZ, Nurcholis M, Soeharto, Wuryani S, editor. Prosiding Seminar
Nasional Pertanian Organik, Yogyakarta 4 November 2000. Yogyakarta: CV.
Cipta Tani Makmur Cirebon. hlm 157-164.
Baker KF, Cook RJ. 1974. Biological Control of Plant Pathogens. San Francisco:
WH. Freeman and Company. 433 p.
Borror DJ, Triplehom, Johnson NF. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga.
Edisi ke-6. Partosoedjono S, penterjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. 1083 hlm.
Bulluck LR III, Ristaino JB. 2002. Effect of synthetic and organic soil fertility
amendment on southern blight, soil microbial communities, and yield of
processing tomato. Phytopathology 92:181-189.
Bruggen AHC van, Termorshuizen. 2005. Integrated approaches to root disease
management in organic farming systems. Australasian Plant Pathology
32(2):141-158 [abstrak ]
http://www.publish.csiro.au/nid/176/act/searchadvanced.htm [18 November 2005].
Clark MS, Ferris H, Klonsky K, Lanini WT, Bruggen AHC van, Zalon FG. 1998.
Agronomic, economic, and environmental comparison of pest management in
conventional and alternative tomato and corn systems in California.
Agriculture, Ecosystems & Environment. 68(1/2):51-71.
Chiykowski LN. 1981. Epidemiology of disease caused by leafhopper borne
pathogens. In Masamorosch K, Harris KF, ed. Plant Disease and Vector:
Ecology and Epid emiology. New York: Academic Press.
Cano RJ, Jaime SC. 1988. Essentials of microbiology. California Polytechnic State
University. San Fransisco. 649 p.
Cook RJ, Baker KF. 1983. The nature and practic e of biological control of plant
pathogens. St. Paul, Minnesota: American Phytopathol. Soc. 139 p.
Dadang. 2005. Kenali pestisida, biar aman. Di dalam: Seminar Nasional
Perlindungan Tanaman: Peran Pestisida dalam Produksi Pangan Nasional.
Bogor 2 Oktober 2005. Bogor: Departemen Proteksi Tanaman. IPB.
Daly HV, Doyen JT, Ehrlich PR. 1978. Introduction to insect biology and
diversity. International Student edition. Tokyo: Mc. Graw-Hill.
51

Darmadjati DS. 2005. Kebijakan operasional pemerintah dalam pengembangan


pertanian organik di Indonesia. Di dalam: Workshop dan Kongres Nasional II
MAPORINA, Jakarta 21-22 Desember 2005. Jakarta: MAPORINA.
[Deptan] Departemen Pertanian.
2005.
Buku pedoman non kimia.
http://www.deptan.go.id [ 12 Februari 2005].
Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura. 1992. Tungro dan
wereng hijau. Didalam: Laporan akhir kerjasama teknik Indonesia-Jepang
bidang Perlindungan Tanaman Pangan (ATA-162). Jakarta: Direktorat
Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan.
Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura. 1993. Konsep
pengendalian hama terpadu. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Produksi
Tanaman Pangan dan Hortikultura.
Direktorat Perlindungan Tanaman. 2000. Pedoman pengamatan dan pelaporan
perlindungan tanaman pangan. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Produksi
Tanaman Pangan.
Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. 2006. Hama dan penyakit tanaman
padi. http://www.deptan.go.id/ ditlin-tp/ [12 Juni 2006].
Domsch KH, Gams W, Anderson TH. 1993. Compendium of soil fungi. Vol. I.
HW Verlang.
Emden HF van. 1991. Plant diversity and natural enemy efficiency in
agroecosystems, In Mackauer M, Ehler LE, Roland J, eds. Critical Issues in
Biological Control. Great Britain: Athenaeum Press Ltd. p. 63-80.
Herlinda S. 2000. Analisis komunitas arthropoda predator penghuni lansekap
persawahan di daerah Cianjur, Jawa Barat. [disertasi]. Bogor: Program
Pascasarjana. IPB.
Hoitink HAJ, Madden LV, Boehm MJ. 1996. Relationship among organic
matter decomposition level, microbial species diversity, and soilborne disease
severity. Di dalam Robert Hall, editor. Principles and practices of managing
soilborne plant pathogens. St. Paul. Minnesota: APS Press.
Hornby D. 1990. Root diseases. In: Lynch JM, editors. The rhizosphere. New
York: J Wiley & Sons.
Huang J, Benson DM. 2002. Biocontrol of Rhizoctonia stem and root rot of
poisetia with Burkholderia cepacia and binucleate Rhizoctonia. P lant. Dis. 86:
47-53.
[IP2TP] Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian.
2000.
Pemanfaatan limbah pertanian sebagai pupuk organik. Jakarta: Deptan.
Jhonson LF, Curl EA. 1972. Methods for research on the ecology of soil-borne
plant pathogens. Minnesota: Burgess Publishing Company.
Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Laan PA van der,
penerjemah. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve. Terjemahan dari: De Palgen van
de Cultuurgewassen in Indonesia.

52

Kartosuwondo U. 1993. Dasar-dasar pemanfaatan Brassicaceae liar untuk


konservasi parasitoid Diadegma semiclausum Hellen (Hymenoptera:
Ichneumonidae) dalam mendukung pengendalian hama terpadu Plutella
xylostella Linn. (Lepidoptera: Yponomeutidae). [disertasi]. Bogor: Program
Pascasarjana. IPB.
Koswanudin D, Koesbiantoro B. 2000. Keanekaragaman serangga hama dan
arthropoda musuh alami pada pertanaman padi IP 300 di Kabupaten
Sumedang. Di dalam: Soenarjo E, Sosromarsono S, Wardojo S, Prasadja I,
editor. Prosiding Simposium Keanekaragaman Hayati Arthropoda pada
Sistem Produksi Pertanian, Cipayung 16-18 Oktober 2000.
Bogor:
Perhimpunan Entomologi Indonesia dan Yayasan Keanekaragaman Hayati
Indonesia. hlm 229-235.
Laba IW, Djatmika K, Arifin M. 2000. Analisis keanekaragaman hayati musuh
alami pada ekosistem padi sawah. Di dalam: Soenarjo E, Sosromarsono S,
Wardojo S, Prasadja I, editor. Prosiding Simposium Keanekaragaman Hayati
Arthropoda pada Sistem Produksi Pertanian, Cipayung 16-18 Oktober 2000.
Bogor: Perhimpunan Entomologi Indonesia dan Yayasan Keanekaragaman
Hayati Indonesia. hlm 207-215.
Lelliot RA, Stead DE. 1987. Method for The Diagnosis of Bacterial Disease of
Plants. 2 nd edition. London: Blackwell Scientific Publication.
Lorito M, Harman GE, Hayes CK, Broadway RM, Tronsmo A, Woo SL, Di Pietro
A. 1993. Chitinolytic enzymes produces by Trichoderma harzianun:
abtifungal activity of purified endochitinase and chitibiosidase.
Phytopathology. 83:302-307.
Ludwig JA, Reynold JF. 1988. Statistical ecology: a primer on methods and
computing. New York: Jhon Wiley and Sons. 337 p.
[MAPORINA] Masyarakat Pertanian Organik Indonesia. 2005. Teknologi
budidaya organik. Di dalam: Panduan Work shop dan Kongres Nasional II
MAPORINA, Jakarta 21-22 Desember 2005. Jakarta: MAPORINA. hlm 14-15.
Magurran AE. 1988. Ecological diversity and measurement. New Jersey:
Princeton University Press. 179 p.
Metcalf RL, Luckmann WH. 1982. Introduction to Pest Management. Second
Edition. John Wiley & Sons. New York, Brisbane, Singapore.
Mew TW, Rosales AM. 1991. Relationship of soil microorganisms to rice sheath
blight development in irrigated and dryland rice cultures. In Soil Borne Crop
Diseases in Asia. FFTC Book Series. No. 26:147-158.
Naumann ID, Carne PB, Lawrence JF, Nielsen ES, Spradbery JP, Taylor RW,
Whitten MJ, Littlejhon MJ. 1996. The insect of Australia. Division of
entomology commonwealth scientific and industrial research organization.
Melbourne University Press.
Niemela JN, Halme E, Haila Y. 1990. Balancing sampling effort in pitfall
trapping of carabid beetles. Entomol. Fennica. 1:233-238.
Odum EP. 1971.
Company.

Fundamentals of Ecology.

Philadelphia: W.B. Saunders


53

Paath JM.
1988.
Pengaruh antagonistik Trichoderma spp. terhadap
perkembangan layu bakteri Pseudomonas solanacearum pada tanaman
tembakau dan tomat. [tesis]. Bogor: Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan,
Fakultas Pertanian, IPB.
Primack RB, Supriatna J, Indrawan M, Kramadibrata. 1998. Biologi Konservasi.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 345 hlm.
Rangarajan A, Aram K. 2000. Impact of composts on soil borne disease
incidence in organic cropping systems. Final report for toward sustainability
foundation grant for organic research. http://www.cfe.cornell.edu/wmi/.html
[29 November 2005].
Reijntjes C, Haverkort B, Water -Bayer A. 1992. Pertanian Masa Depan.
Pengantar untuk pertanian berkelanjutan dengan input luar rendah. Sukoco
YSS, penterjemah. Jakarta: Kanisius. 270 hlm. Terjemahan dari: Farming for
the nature. An introduction to low external input and sustainable agriculture.
Rice K.
1992.
Theory and conceptual issues.
Environmental. 42:9 -26.

Agriculture Ecosystem

Santosa E, Widati S. 2000. Pengaruh pengelolaan sisa panen terhadap sifat tanah,
pertumbuhan tanaman dan serapan hara padi serta hasil tanam an pangan. Di
dalam: Mustajab HK, Rizal AAZ, Nurcholis M, Soeharto, Wuryani S, editor.
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Organik, Yogyakarta 4 November
2000. Yogyakarta: CV. Cipta Tani Makmur Cirebon. hlm 107-113.
Saragih S, Ar-Riza I, Nazemi D. 2000. Pertanian organik dan peranannya dalam
meningkatkan produktifitas lahan rawa lebak. Di dalam: Mustajab HK, Rizal
AAZ, Nurcholis M, Soeharto, Wuryani S, editor. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Organik, Yogyakarta 4 November 2000. Fakultas Pertanian UPN
Veteran Yogyakarta. CV. Cipta Tani Makmur Cirebon Jawa Barat. hlm 61-69.
Schippers B, Gams W. 1979. Soil-borne Plant Pathogens. New York: Academic
Press.
Schippers B, Lugtenberg B, Weisbeek PJ. 1987. Plant growth control by
fluorescent pseudomonas. In Ilanchet (ed). Innovative Approaches to Plant
Diseases Control. New York: John Wiley and Sons. Pp. 19-23.
Semangun H.
1990.
Penyakit-penyakit Tanaman Pangan di Indonesia .
Yogyakarta: Gajah University Press.
Sinclair JB. and Backman PA. 1989. Compendium of soybean diseases, 3 eds. The
American Phytopatological Society. St. Paul: APS Press. p. 4-6.
Sitanggang A. 1993. Analisis keragaan usahatani pertanian organik. Jurusan IlmuIlmu Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor: Fakultas Pertanian, IPB.
Southwood TRE. 1980. Ecological methods with particular reference to the
study of insect populations. London: Chapman and Hall. 524 p.
Southwood TRE and Way MJ. 1980. Ecological background to pest management.
In Rabb RL and Guthrie (eds). Concept of pest management. North Caroline:
North Caroline State University.
54

Stone AG, Vallad GE, Coopemrband LR, Rotenberg D, Darby HM, James RV,
Stevenson WR, Goodman RM. 2003. Effect of organic amendments on
soilborne and foliar diseases in field-grown snap bean and cucumber. Plant
disease. 87(9):1037-1042.
Suhardjono YR. 1992. Fauna collembola tanah di pulau Bali dan pulau Lombok.
[abstrak ]. Disertasi Program Parca Sarjana Universitas Indonesia. 16 hlm.
Suhardjono YR. 2000. Serangg a serasah: keanekaragaman takson dan perannya di
Kebun Raya Bogor. Biota 3 (1):16-24.
Suharto H, Damardjati DS. 1988. Pengaruh waktu serangan walang sangit
terhadap hasil dan mutu hasil IR 36. Reflektor 2 (1) Sukamandi: Balittan. hlm.
25-28.
Sumarsono . 2005. Pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan pertanian
organik. Di dalam : Workshop dan Kongres Nasional II MAPORINA, Jakarta
21-22 Desember 2005. Jakarta: MAPORINA. 7 hlm.
Sumodiningrat G. 2005. Penanggulangan kemiskinan melalui pengembangan
pertanian. Di dalam: Workshop dan Kongres Nasional II MAPORINA, Jakarta
21-22 Desember 2005. Jakarta: MAPORINA. 10 hlm.
Tambunan I. 2005. Murjiyo, petani organik. Kompas 10 Desember 2005 [kolom
1- 5].
Tjahjono B. 2000. Bakteri untuk pengendalian hayati. Di dalam: Seminar PFI. 18
November 2000. Malang.
Triwidodo H. 2003. Analisis agroekosistem. Di dalam: Pelatihan Perencanaan
Perancangan dan Penganalisaan untuk Penelitian Keanekaragaman Hayati
dan Ekologi Komunitas. Bogor 14 19 Desember 2003. Bogor: Pusat Kajian
Pengendalian Hama Terpadu, Departemen Proteksi Tumbuhan IPB. h lm.1-13.
Tronsmo A. 1996. Trichoderma harzianum in biological control of fungal
diseases. Di dalam Robert Hall, editor. Principles and practice of managing
soil borne plant pathogen. Minnesota: APS press. pp. 213-236.
Untung K. 1992. Konsep dan strategi pengendalian hama terpadu. Dalam:
Makalah Simposium Penerapan PHT. 3-4 September 1992. Sukamandi: PEI
Cabang Bandung. 17 hlm.
Unterstenhopfer G. 1976. The basic principles of crop protection field trial. Bayer
Pflanzensschutz.
Vyas SC. 1988. Nontarget Effects of Agricultural Fungicides. Florida: CRC Press.
Warner D. 1992. Symbiosis of plant and microbes. Chapman Hall. London.
Watson RT, Heywood VH, Baste I, Dias B, Gamez R, Janetos T, Reid W, Ruark G.
1995. Global biodiversity assessment. Great Britain: Cambridge University
Press. 46 p.
Waterworth HE, Hadidi A. 2000. Ekonomic losses due to plant viruses. Di dalam:
Hadidi A, Khetarpal RK, Koganezawa H, ed itor. Plant Virus Disease
Control.
55

Wibowo BS, Irwan C, Sutaryat A. 1997. Inventarisasi agens antagonis pada


beberapa penyakit padi. Laporan kajian perbaikan perakitan teknologi
pengendalian OPT tanaman pangan dan hortikultura. Jatisari: Balai Peramalan
Hama Penyakit Tanaman Pangan dan Hortikultura.
Wibowo BS, Renowati L, Sutaryat A, Irwan C, Kurniadi Y, Nurpiah. 2002.
Peranan jumlah aplikasi bakteri antagonis terhadap penyebaran dan infeksi
penyakit padi. Jatisari: Balai Peramalan Hama Penyakit Tanaman Pangan dan
Hortikultura. 15 hlm.
Wigenasantana MS. 1982. Perubahan populasi penggerek batang padi kuning
(Tryporiza incertulas Walker) dan hubungannya dengan kehilangan hasil.
[disertasi]. Bogor: Fakultas Pertanian. IPB.
Zayed SMAD, Farghaly M, Solim an SM, Taha H. 1998. Effect repeated
applications of pesticides used on cotton on soil properties. Cairo: Middle
Eastern Regional Radioisotope. 12 hlm. http://books.goegle.co.id [22 Juli
2006].

56

Lampiran 2 Data curah hujan dari bulan Januari Agustus 2005


Bulan
Januari
Pebruari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus

Curah hujan (mm)


536,5
580,4
568,0
307,7
428,9
6282,0
215,4
153

Sumber: Stasiun Klimatologi Klas I Darmaga, Bogor.

Lampiran 3 Luas serangan penggerek batang padi pada


MT I pada beberapa sistem budidaya
Sistem
budidaya
Konvensional
Input rendah
Organik 5
Organik 10

6
23,33
14,44
25,56
24,44

Luas serangan (%) pada n MST


7
8
9
10
21,56 31,67 42,22 42,22
26,11 36,67 42,78 42,78
28,89 32,78 44,78 44,78
27,78 39,44 45,56 45,56

11
42,22
42,78
44,78
45,56

Keterangan: MST = Minggu setelah tanam

Lampiran 4 Luas serangan penggerek batang padi pada MT II pada beberapa


sistem budidaya
Sistem
budidaya
Konvensional
Input rendah
Organik 5
Organik 10

3
0,56
1,67
7,22
1,11

4
1,11
3,33
8,33
5,00

Luas serangan (%) pada n MST


5
6
7
8
9
4,44 12,22 25,00 32,22 39,44
16,67 27,22 33,33 40,56 41,67
19,44 26,11 36,67 37,22 44,44
13,33 20,00 26,67 39,44 43,89

10
39,44
41,67
44,44
43,89

11
39,44
41,67
44,44
43,89

Lampiran 5 Intensitas serangan penggerek batang padi


pada MT I pada beberapa sistem budidaya
Sistem
budidaya
Konvensional
Input rendah
Organik 5
Organik 10

Intensitas serangan (%) pada n MST


6
7
8
9
10
11
7,99 8,11
8,17 9,77
9,80 9,80
7,42 7,84
7,89 9,26
9,77 9,77
10,82 11,06 12,24 12,27 12,27 12,27
9,64 10,45 12,27 12,38 12,38 12,38

57

Lampiran 6 Intensitas serangan penggerek batan g padi pada MT II pada


beberapa sistem budidaya
Sistem
budidaya
Konvensional
Input rendah
Organik 5
Organik 10

3
2,92
5,47
7,89
3,64

4
3,13
6,53
7,95
6,95

Intensitas serangan (%) pada n MST


5
6
7
8
9
6,47 7,37
7,78 8,20
8,27
7,23 7,24
7,32 7,61
8,78
8,05 8,07
9,47 9,75 10,82
7,03 7,48
8,74 8,82
9,94

10
8,27
8,78
10,82
9,94

11
8,27
8,78
10,82
9,94

Lampiran 7 Luas serangan tungro pada MT I pada


beberapa sistem budi daya
Sistem
budidaya
Konvensional
Input rendah
Organik 5
Organik 10

6
8,89
8,89
11,11
7,78

Luas serangan (%) pada n MST


7
8
9
10
10,56 12,22 22,22 22,22
17,78 22,22 23,33 23,33
14,44 17,22 25,56 25,56
10,56 17,22 23,89 23,89

11
22,22
23,33
25,56
23,89

Lampiran 8 Luas serangan tungro pada MT II pada beberapa sistem budidaya


Sistem
budidaya
Konvensional
Input rendah
Organik 5
Organik 10

3
0,56
1,67
3,33
0,56

4
3,33
3,33
9,44
2,78

Luas serangan (%) pada n MST


5
6
7
8
9
5,56 7,22 17,22 20,56 21,67
7,78 14,44 15,56 22,22 22,78
10,00 19,44 22,22 23,89 24,44
9,44 19,44 21,11 22,22 23,33

10
21,67
22,78
24,44
23,33

11
21,67
22,78
24,44
23,33

Lampiran 9 Intensitas serangan penyakit kresek pada MT I


pada beberapa budidaya
Sistem
budidaya

Konvensional
Input rendah

5,44
3,44

Organik 5
Organik 10

Intensitas serangan (%) pada n MST


7
8
9
10
11
20,56
20,22

23,22 27,22
25,00 25,44

32,56 32,56
33,67 33,67

6,33 18,56
13,22 20,89

21,33 25,22
21,56 24,33

25,22 26,56
29,22 29,22

58

Lampiran 10 Intensitas serangan penyakit kresek pada MT II pada


beberapa sistem budidaya
Sistem
budidaya

Konvensional
Input rendah

0,44
1,00

6,56
4,67

14,11 20,56
14,44 20,89

24,89 27,44
24,22 28,89

33,89 33,89
35,44 35,44

Organik 5
Organik 10

0,00
0,22

2,89
7,33

4,33 12,33
11,89 23,89

24,11 26,22
24,33 27,00

27,78 27,78
29,11 29,11

Intensitas serangan (%) pada n MST


6

10

11

Lampiran 11 Intensitas serangan penyakit bercak cercospora


pada MT I pada beberapa sistem budidaya
Sistem
budidaya

Konvensional
Input rendah

8,11
4,11

10,33
6,56

14,33 29,11
10,78 22,78

32,78 32,78
31,22 31,22

Organik 5
Organik 10

4,33
5,44

8,56
11,22

10,56 29,33
17,56 28,67

33,22 33,22
37,78 37,78

Intensitas serangan (%) pada n MST


8

10

11

Lampiran 12 Intensitas serangan bercak cercospora pada MT II


pada beberapa sistem budidaya
Sistem
budidaya

Intensitas serangan (%) pada n MST


5

Konvensional

0,00

1,22

4,56

17,44

23,67 32,56

32,56

Input rendah

7,00

10,11

17,22 23,67

25,00 32,78

32,78

Organik 5
Organik 10

0,00
0,11

7,22
6,33

17,22 20,11
11,78 19,44

25,33 29,56
25,56 35,78

29,56
35,78

10

11

Lampiran 13 Intensitas serangan hawar pelepah daun pada MT I


pada beberapa sistem budidaya
Sistem
budidaya

Intensitas serangan (%) pada n MST


6

10

11

Konvensional

3,44

7,78

9,78

13,11

21,11

21,11

Input rendah
Organik 5

0,44
4,56

5,11
9,56

10,78
12,56

11,89
13,11

18,22
14,33

18,22
14,33

Organik 10

6,33

8,44

12,44

13,56

15,22

15,22

59

Lampiran 14 Intensitas serangan hawar pelepah daun pada MT II


pada beberapa sistem budidaya
Sistem
budidaya
Konvensional

6
0,00

7
2,44

8
3,78

9
7,00

10
12,11

11
12,11

Input rendah
Organik 5
Organik 10

0,00
0,56
0,11

1,67
1,11
0,33

7,33
1,22
2,11

8,44
5,11
5,78

9,00
8,78
7,78

9,00
8,78
7,78

60

Anda mungkin juga menyukai