2006 Afeds
2006 Afeds
ABRIANI FENSIONITA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
ABSTRAK
ABRIANI FENSIONITA. Perkembangan Hama dan Penyakit Tanaman Padi
(Oryza sativa L) pada Beberapa Sistem Budidaya. Dibimbing oleh GEDE
SUASTIKA, DADANG dan NINA MARYANA.
Di Indonesia, budidaya padi saat ini masih sangat bergantung pada
penggunaan pupuk anorganik dan pestisida sintetik. Penggunaan pestisida sintetik
secara terus menerus dapat menimbulkan efek samping yang sangat merugikan
seperti timbulnya hama baru, residu pada hasil pertanian dan pencemaran
lingkungan. Dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap
kesehatan, maka pertanian organik mulai dipilih untuk menghasilkan bahan pangan
aman (safe food) dan bersahabat bagi lingkungan (environmental friendly).
Penelitian ditujukan untuk 1) membandingkan perkembangan hama dan penyakit
tanaman padi pada sistem konvensional (urea 200 kg/ha, TSP 100 kg/ha, KCl 100
kg/ha dan aplikasi pestisida berkala), dengan sistem input rendah (bokashi 1 ton/ha,
urea 100 kg/ha, TSP 50 kg/ha, KCl 50 kg/ha dan aplikasi pestisida tergantung
serangan OPT), dan pertanian organik (bokashi 5 dan 10 ton/ha, tanpa aplikasi
pestisida sintetik dan pupuk anorganik), 2) mengetahui keanekaragaman dan
kelimpahan arthropoda dan 3) mengetahui keanekaragaman dan kelimpahan
mikroorganisme pada sistem konvensional, input rendah dan pertanian organik.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan selama dua musim tanam, tingkat
serangan hama (penggerek batang) dan penyakit (tungro, kresek, bercak coklat dan
hawar pelepah) pada ketiga sistem budidaya hampir sama. Keanekaragaman dan
kelimpahan arthropoda dan mikroorganisme ditemukan lebih tinggi pada pertanian
organik. Walaupun hasil panen gabah pada sistem konvensional lebih tinggi dari
pada sistem lainnya, namun dari segi keamanan dan nilai jual beras, pertanian
organik memberikan harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan sistem pertanian
konvensional maupun input rendah.
ABRIANI FENSIONITA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Entomologi-Fitopatologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ...................................................................................
vii
viii
xi
PENDAHULUAN
Latar Belakang .......
Tujuan .....
Hipotesis .....
Manfaat Penelitian ......
1
3
4
4
TINJAUAN PUSTAKA
Sistem Budidaya Konvensional, Input Rendah dan Organik .........
Keanekaragaman Hayati ....................................................................
Potensi Mikroorganisme sebagai Agens Pengendali .........................
Konsep PHT dalam Pertanian Organik ..........
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................
Persiapan Lahan .................................................................................
Penanaman Padi .................................................................................
Perlakuan ............................................................................................
Pengamatan Hama dan Penyakit ........................................................
Pengamatan Arthropoda .....................................................................
Analisis Mikroorganisme ...................................................................
11
11
11
11
12
14
15
17
17
28
34
37
39
43
43
DAFTAR PUSTAKA ..
44
LAMPIRAN ..
50
5
7
8
9
DAFTAR TABEL
Halaman
1.
13
2.
28
31
32
35
36
37
3.
4.
5.
6.
7.
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.
2.
3.
4.
12
18
19
20
5.
6.
22
7.
23
8.
23
9.
24
10.
25
11.
26
12.
13.
21
27
33
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.
50
2.
51
3.
51
51
51
4.
5.
6.
52
7.
52
8.
52
9.
52
10.
53
11.
53
12.
53
13.
53
14.
54
15.
Jumlah individu dan spesies tiap ordo dan famili serangga yang
diperoleh dengan jaring serangga dan lubang jebakan pada
beberapa sistem budidaya ............................................................
16.
55
57
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kegiatan pertanian tradisional d i Indonesia pada awalnya merupakan pertanian
organik yang hanya bergantung pada sumber daya lahan dengan cara melakukan
daur ulang limbah sisa panen sebagai pupuk. Sistem pertanian tradis ional tersebut
tidak mampu memenuhi permintaan akan hasil pertanian terutama pangan yang
terus meningkat seiring deng an meningkatnya jumlah penduduk. Sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sistem tradisional ini mulai
7
lingkungan
sebagai transisi untuk mencapai sistem pertanian organik murni karena sulit untuk
mengubah sistem pertanian input tinggi dengan hanya mengandalkan daur ulang
sisa panen atau organik lainnya. Efisiensi penggunaan pupuk anorganik dengan
menggunakan mikroorganisme mendukung upaya penghematan biaya pemupukan.
Aplikasi pupuk anorganik yang dikombinasikan dengan sebagian dosis pupuk
organik yaitu 75% pupuk anorganik dan 25% pupuk organik dapat meningkatkan
hasil kentang 6,94%, jagung 10,98% dan padi 25,1%, serta mengurangi biaya
8
produksi sebesar 17 sampai 25% (Goenadi et al. 1998 dalam MAPORINA 2005).
Menurut Ar-Riza et al. (2000), pemberian bahan organik dapat mengefisienkan
penggunaan pupuk anorganik pada lahan padi gogo, yaitu pemberian pupuk
nitrogen 90 kg/ha yang dikombinasikan dengan pupuk kandang dapat meningkatkan
hasil antara 133,8 sampai 183%.
Teknologi pertanian organik merupakan sistem usahatani spesifik lokasi
yang diterapkan berdasarkan interaksi tanah, tanaman, ternak, manusia, ekosistem
dan lingkungan. Pertanian organik menggunakan sebanyak mungkin bahan organik
sebagai sumber hara dan sebagai bahan yang dapat memperbaiki sifat fisik tanah.
Bahan organik yang digunakan bersumber antara lain dari pupuk kandang dan
limbah pertanian (kompos) dan dibuat dengan memanfaatkan mikroba yang dapat
berfungsi melindungi tanaman dari serangan hama dan penyakit (IP2TP 2000).
Berbagai informasi tentang bahan organik yang dapat meningkatkan kesuburan
tanah, memperbaiki struktur tanah dan meningkatkan hasil telah banyak dilaporkan.
Penelitian Saragih et al. (2000) menunjukkan bahwa penggunaan bahan organik
yang berasal dari jerami tanaman yang baru dipanen seperti jerami padi, jerami
kedelai, sekam padi atau abu sekam untuk pertanaman padi di lahan lebak dapat
meningkatkan hasil sebesar 0,69 sampai 1,98 t/ha atau meningkat 19 sampai 54,7%.
Pada musim tanam II pertanaman kacang hijau yang diberi kompos jerami dapat
meningkatkan hasil menjadi 204% dan bila d iberi bahan bokashi maka hasilnya
dapat
meningkatkan
bokashi
tersebut
rebah kecambah
(Pythium spp.) 1,65 % (Stone et al. 2003). Menurut Rangarajan dan Aram (2000)
bahwa tanah kompos dapat menurunkan serangan Pythium ultimum antara 67%
9
sampai 81% dan Rhizoctonia solani antara 86% sampai 91% pada tanaman sayuran.
Petani Bantul menggunakan campuran kotoran sapi basah, jerami dan dedaunan
yang diaduk pada lahan sawah dengan dibajak dan dapat meningkatkan hasil padi
menjadi 5,5 ton/ha. Petani tersebut juga membuat sendiri bahan untuk pengendali
hama dan penyakit dari tumbuhan dan kotoran hewan (Tambunan 2005). Untuk
mengoptimalkan sifat kompos dalam pengendalian perlu diperhatikan karakteristik
kompos, pengelolaan, aplikasi dan sistem pertanian yang diterapkan.
Penerapan pertanian organik bertujuan untuk meningkatkan produksi melalui
proses pemupukan, tidak menggunakan bahan penunjang anorganik dengan
penerapan teknologi budidaya yang baik seperti pemilihan bibit berkualitas, pupuk
berimbang, penerapan pengendalian hama terpadu (PHT) dan pengaturan pola
tanam (Deptan 2005). Penelitian yang menggambarkan keberhasilan pertanian
organik dalam memperoleh produk yang berkualitas dan stabil dalam jangka
panjang telah banyak di lakukan, namun informasi mengenai perkembangan hama
dan penyakit tanaman padi serta keanekaragaman arthropoda dan mikroorganisme
pada lahan pertanian organik masih sangat terbatas.
Tujuan
1. Membandingkan perkembangan hama dan penyakit pada tanaman padi pada
lahan konvensional, input rendah dan pertanian organik.
2. Mengetahui keanekaragaman arthropoda pada lahan konvensional, input rendah
dan pertanian organik.
3. Mengetahui keanekaragaman mikroorganisme pada lahan konvensional, input
rendah dan pertanian organik.
Hipotesis
1. Perkembangan hama dan penyakit tanaman padi relatif sama pada pertanian
organik, konvensional dan input rendah.
2. Kelimpahan dan keanekaragaman arthropoda pada pertanian organik relatif
lebih tinggi sehingga dapat mempengaruhi luas serangan hama.
3. Kelimpahan dan keanekaragaman mikroorganisme pada pertanian organik
relatif lebih tinggi sehingga dapat mempengaruhi intensitas perkembangan
penyakit.
10
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah menyediakan informasi
mengenai kelayakan sistem pertanian organik ditinjau dari perkembangan hama dan
penyakit,
keanekaragaman
arthropoda
dan
mikroorganisme
serta
analisis
usahataninya.
TINJAUAN PUSTAKA
Sistem B udidaya Konvensional, Input Rendah dan Organik
Sistem budidaya konvensional sangat tergantung pada input kimia (pupuk
anorganik dan pestisida), benih hibrida, mekanisasi dan irigasi. Penerapan sistem
pertanian konvensional mampu meningkatkan produksi pertanian, contohnya
produksi gandum di India menjadi tiga kali lipat dalam waktu 20 tahun, di
Kolumbia produksi padi meningkat sampai dua kali lipat selama 5 tahun, dan di
Indonesia mampu berswasembada pangan (beras) pada tahun 1984. Namun
demikian, penerapan teknologi ini diiringi pula dengan terjadinya peningkatan
11
dengan pertanian yang menggunakan zat-zat kimia sintetis sebagai pupuk ataupun
pestisida (Sitanggang 1993).
Tanaman tomat dan jagung pada sistem organik dan input rendah dengan
mengurangi pestisida sampai 50% memberi respon pada keberadaan arthropoda,
patogen dan nematoda.
oleh
meningkatkan hasil padi dibandingkan dengan padi yang ditanam pada lahan sistem
konvensional. Pada pertanaman padi di lahan konvensional, adanya kerusakan yang
disebabkan o leh hama O. oryzae tersebut dapat menyebabkan tanaman padi lebih
peka terhadap patogen, sehingga intensitas penyakit menjadi tinggi dan kehilangan
hasil lebih besar (Andow dan Hidaka 1998).
Proteks i tanaman pada pertanian organik umumnya dilakukan melalui
pengelolaan terhadap lingkungan sehingga tanaman mampu
bertahan terhadap
serangan hama dan patogen. Pada pertanian organik dilakukan kegiatan yaitu
pemantauan terhadap hama dan penyakit, rotasi tanaman dan
mengurangi
13
kemerataan (evenness indices) (Ludwig dan Reynold 1988; Magurran 1988). Indeks
kekayaan spesies meng- gambarkan ukuran jumlah spesies pada suatu habitat atau
komunitas. Banyaknya indeks yang dapat digunakan untuk menghitung kekayaan
spesies antara lain Indeks Margalef, Menhinick dan Hulbert (Ludwig dan Reynolds
1988;
Magurran
1988).
Indeks
keanekaragaman
merupakan
ukuran
adalah
mikroorganisme,
merangsang
atau
menghambat
pertumbuhan
kedua
dapat
mengakibatkan
kerusakan
pada
tanaman
yang
menjadi
inangnya.
relatif tinggi kerapatannya pada permukaan daun. Agens antagonis kelompok ini
telah dikembangkan untuk skala laboratorium dan telah dipasarkan sebagai agens
biokontrol, misalnya P. fluorescen A506 yang dijual dengan nama dagang
BlightBanTM A506 untuk mengendalikan Erwinia amylovora penyebab fire blight
pada apel dan pear (Tjahjono 2000). Bakteri kelompok ini dicirikan oleh adanya
pigmen berwarna hijau kuning yang digunakan untuk iden tifikasi serta klasifikasi.
P. fluorescen diantaranya memiliki sifat mampu mendominasi pemanfaatan eksudat
yang dikeluarkan oleh akar, berkembang biak dengan cepat dan mampu
mengkolonisasi daerah perakaran (Schippers et al. 1987).
Bakteri antagonis yang pertama diproduksi secara massal dan dikembangkan
sebagai agens biokontrol dan telah dipasarkan di Cina, Rusia, USA dan Meksiko
pada tahun 1980 adalah Bacillus sp. (Tjahjono 2000). Keunggulan Bacillus jika
dibandingkan dengan bakteri antagonis lain adalah mampu
menghasilkan
endospora yang tahan terhadap suhu tinggi dan rendah, pH ekstrim, pestisida, pupuk
dan waktu penyimpanan yang lama.
15
1983). Cendawan
2005). Kebijakan
faktor-faktor
lingkungan
dalam
menciptakan
pertanian
dan
kelestarian
lingkungan
Indonesia,
dengan
mendorong
16
arthropoda
dan
mikroorgansime
dilakukan
di
Laboratorium
Persiapan Lahan
Lahan yang digunakan untuk penelitian adalah lahan pertama seluas 2.400 m
yang digunakan untuk budidaya tanaman padi secar a konvensional dan input rendah
serta lahan ke-dua seluas 5.857 m yang digunakan untuk budidaya tanaman padi
secara organik. Pengolahan lahan dilakukan dengan pembajakan oleh kerbau.
Selanjutnya dilakukan proses penghalusan tanah dengan menggunakan cangkul dan
garu. Untuk mempercepat proses penghalusan tanah dilakukan pengairan.
Penanaman Padi
Benih padi yang digunakan adalah varietas Cisantana yang berasal dari Balai
Benih Padi di Muara, Bogor. Benih dikecambahkan dengan cara direndam dalam air
selama sehari. Selanjutnya benih yang sudah berkecambah ditebarkan pada lahan
pesemaian yang sudah diolah dalam kondisi berlumpur (tidak tergenang air).
Setelah bibit padi berumur 21-24 hari, bibit siap dipindahkan ke lahan sawah.
Penanaman dilakukan dengan cara cabut pindah (transplanting). Bibit ditanam
sebanyak 2-3 tanaman/lubang dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm.
Perlakuan
Percobaan ini terdiri dari empat perlakuan dan empat ulangan. Perlakuan
terdiri dari sistem pertanian 1) konvensional (d ipupuk dengan urea 200 kg/ha, TSP
100 kg/ha, KCl 100 kg/ha dan aplikasi pestisida Furadan 3 G 20 kg/ha), 2) input
rendah (menggunakan bokashi 1 ton/ha, urea 100 kg/ha, TSP 50 kg/ha, KCl 50
kg/ha dan aplikasi pestisida Furadan 3 G 10 kg/ha), 3) organik 5 (dipupuk dengan
bokashi 5 ton/ha, tanpa pupuk anorganik dan pestisida sintetik), dan 4) organik 10
(menggunakan bokashi 10 ton/ha, tanpa pupuk anorganik dan pestisida sintetik).
Pupuk organik bokashi diaplikasikan setengah bagian pada waktu pengolahan tanah
dan sisanya diaplikasikan sehari sebelum tanam. Pupuk NPK (Urea + TSP + KCl)
setengah bagian diaplikasikan sehari sebelum tanam dan sisanya diberikan pada saat
tanaman berumur sekitar 14 hari setelah tanam (HST).
Pengamatan Hama dan Penyakit
Pengamatan hama dan penyakit dilakukan pada 45 rumpun contoh per petak
yang ditentukan secara diagonal. Perkembangan penyakit dan populasi hama pada
18
setiap petak diamati seminggu sekali. Peubah yang diamati meliputi luas serangan
dan intensitas serangan hama dan penyakit.
Pengamatan pada setiap petak percobaan dilakukan dengan menentukan lima sub
petak contoh berukuran 1 m x 1 m yang ditentukan secara diagonal (Gambar 1).
Jumlah rumpun tanaman yang diamati adalah 9 tanaman contoh/sub petak contoh
(45 rumpun /petak).
Gambar 1 Bagan pengambilan subpetak contoh tanaman padi pada satu perlakuan
Perkembangan hama dan penyakit dilakukan secara langsung di pertanaman padi
dengan menghitung luas dan intensitas serangan hama utama, serta intensitas
penyakit utama. Hama dan penyakit utama tanaman padi yang diamati meliputi
penggerek batang padi, tungro, kresek, bercak cercospora dan hawar daun padi.
Pengamatan dilakukan sebanyak 10 kali dengan interval pengamatan seminggu
sekali. Peubah yang diamati meliputi luas serangan dan intensitas serangan hama
dan penyakit.
Luas serangan hama penggerek batang padi dan tungro dihitung dengan rumus
(Direktorat Perlindungan Tanaman 2000):
L = n/N x 100%
Keterangan :
L = Luas serangan (%)
n = Jumlah rumpun padi terserang
N = Jumlah seluruh rumpun padi yang diamati
Intensitas serangan hama, untuk hama pengerek batang padi dihitung dengan rumus :
19
I = b/B x 100%
Keterangan :
I
Intensitas penyakit kresek, bercak cercospora dan hawar pelepah daun d ihitung
dengan rumus Towsend & Heuberger (1943) dalam Unterstenhofer (1976):
n
n.v
i
I =
x 100 %
Z.N
Keterangan :
I
No.
1
2
3
4
5
Kategori serangan
tidak ada serangan
serangan ringan
serangan sedang
serangan berat
serangan sangat berat
Skala (v)
0
1
2
3
4
% kerusakan (x)
x=0
0 < x = 25
25 < x = 50
50 < x = 75
75 < x = 100
Pengamatan Arthropoda
Pada setiap lahan pertanian baik konvensional, input rendah dan organik,
dilakukan pengambilan sampel serangga dengan jaring serangga (sweep net) dan
lubang jebakan (pitfall trap) seperti metode Niemela et al. (1990). Pengambilan
sampel serangga dengan jaring serangga dilakukan pada pagi hari pukul 8 sampai
11. Pada setiap petak percobaan ditetapkan lima lokasi yang ditentukan secara
diagonal. Pada setiap lokasi contoh dipilih satuan contoh dengan 10 ayunan ganda
20
jaring. Lubang jebakan dipasang sebanyak 4 buah per petak perlakuan d i pematang
sawah. Lubang jebakan berupa wadah plastik (240 ml) yang telah diisi dengan
larutan deterjen sebanyak 20-30 ml yang dipasang di dalam lubang tanah. Bagian
tepi wadah diatur sama rata dengan permukaan tanah di sekitarnya dan dibiarkan
selama 24 jam. Jebakan dilindungi dari paparan sinar matahari dan curah hujan
dengan selembar seng berukuran 20 cm x 20 cm yang ditunjang besi setinggi 15 cm
dari permukaan tanah. Pada MT I pengamatan arthropoda dengan jaring serangga
dan lubang jebakan dilakukan sebanyak 6 kali pengambilan sampel, sedangkan
pada MT II pengamatan arthropoda dengan jaring serangga sebanyak 2 kali
pengambilan sampel dan dengan lubang jebakan dilakukan
sebanyak 11 kali
pengambilan sampel.
Arthropoda yang tertangkap dengan jaring serangga d imasukkan ke dalam
botol berisi alkohol, kemudian dibersihkan dari kotoran. Arthropoda hasil tangkapan
dengan lubang jebakan disaring dengan kain saring kemudian dibersihkan dan
dibilas dengan air. Arthropoda yang telah dibersihkan tadi, disimpan dalam tabung
film berisi larutan alkohol 70% untuk selanjutnya diidentifikasi di laboratorium.
Pengumpulan data dilakukan setiap satu minggu sejak umur tanaman 2 minggu
setelah tanam (MST) menjelang panen.
Identifikasi arthropoda dilakukan sampai tingkat famili dengan mengacu pada
buku Pengenalan Pelajaran Serangga (Borror et al. 1996), The Pest of Crops in
Indonesia (Kalshoven 1981) dan The Insect of Australia (Naumann et al. 1996).
Pemisahan dilanjutkan dengan memperhatikan perbedaan morfo-spesies (hanya
kode).
Ukuran keanekaragaman yang menunjukkan proporsi spesies yang paling
melimpah di analisis dengan menggunakan rumus Indeks Berger-Parker (d)
(Southwood 1980; Magurran 1988).
d = Nmax/N
Keterangan :
d : Kelimpahan spesies
Nmax : Jumlah individu yang paling dominan
N : Jumlah total individu semua spesies
Penetapan tingkat keanekaragaman spesies arthropoda dihitung menggunakan
indeks keanekaragaman spesies Shannon-Wienner (Magurran 1988).
21
H = - ? pi ln pi
Keterangan:
H : Indeks keragaman spesies
pi : Proporsi individu yang ditemukan pada spesies ke-i
Keragaman maksimum (H max) dapat terjadi bila semua spesies memiliki
kelimpahan yang sama, dengan kata lain H/Hmax /ln (S); dimana S adalah jumlah
spesies. Perbandingan antara nilai keragaman yang diperoleh dengan nilai
keragaman maksimum adalah nilai evenness (E) yang berkisar antara 0 dan 1. Nilai
1 terjadi apabila semua spesies memiliki kelimpahan yang sama (Magurran 1988):
E = H/ln S
Keterangan:
E : Indeks kemerataan spesies Evenness
H : Indeks keragaman spesies
S : Jumlah spesies
Analisis Mikroorganisme
Mikroorganisme penghuni daun (filosfer) dan tanah di sekitar perakaran
tanaman padi (rhizosfer) diamati dua kali yaitu pada fase pertumbuhan tanaman
vegetatif dan generatif . Contoh
22
sebelah timur berbatasan dan rumah penduduk. Pada lahan input rendah dan
konvensional di sebelah selatan berbatasan dengan jalan umum dan pemukiman
penduduk, sebelah utara dengan rumah penduduk dan tanaman bengkuang, sebelah
barat dengan aliran air, tanaman padi dan rumah penduduk, dan sebelah timur
dengan aliran air dan tanaman padi.
Data perkembangan curah hujan yang terjadi selama pengamatan disajikan
pada lampiran 2.
Luas dan Intensitas Serangan Hama dan Penyakit
Selama pengamatan ditemukan berbagai jenis hama dan penyakit yang
menyerang tanaman padi baik di lahan sawah dengan sistem pengelolaan
konvensional, input rendah maupun organik . Di antara hama dan penyakit yang
ditemukan, penggerek batang padi, tungro, kresek, bercak cercospora dan hawar
pelepah daun padi tampaknya mempunyai kontribusi dalam menurunkan produksi
padi, dan oleh karenanya diamati lebih rinci dalam penelitian ini.
Penggerek Batang Padi
Serangan penggerek batang pada tanaman padi fase vegetatif menyebabkan
pucuk tanaman mati akibat aktivitas makan larva dalam batang. Gejala pada fase ini
dikenal dengan istilah sundep.
generatif, malai tegak dan berwarna putih karena hampa disebut beluk. Selama
pengamatan, jenis penggerek batang padi yang paling banyak dijumpai adalah
penggerek batang padi kuning Scirpophaga incertulas Walker (Lepidoptera:
Pyralidae)(Gambar 2).
24
Scelionidae)
dan
Trichogramma
javanicum (Hymenoptera:
40
30
20
10
0
6
50
10
11
(b)
Konvensional
Input rendah
Organik 5
Organik 10
40
30
20
10
0
3
10
11
15
10
5
0
6
15
10
11
Konvensional
Input rendah
Organik 5
Organik 10
10
(b)
5
0
3
10
11
Tungro
Tungro
ditularkan
oleh
wereng
hijau,
Nephotettix
sp.
(Hemiptera:
Cicadellidae). Rumpun padi yang terinfeksi virus tungro akan tampak kerdil dan
anakannya sedikit, daun-daunnya menjadi
kecoklatan mulai dari ujung daun yang muda sampai daun tua (Gambar 5).
Tanaman yang terinfeksi pada masa pembibitan dan vegetatif dapat hidup sampai
fase pemasakan bulir tetapi masa pembungaan terlambat, malai menjadi kecil dan
tidak sempurna. Hal ini menyebabkan panen terlambat dan produksi menjadi
rendah.
28
(a)
30
20
10
0
6
30
10
11
(b)
Konvensional
Input rendah
Organik 5
Organik 10
20
10
0
3
10
11
keberadaan
memungkinkan bagi vektor untuk mengakuisisi virus tungro dan menjadi infektif.
Menurut Chiykowski (1981) bahwa proporsi vektor infektif di lapangan sangat
menentukan tingkat serangan penyakit yang ditularkan oleh wereng hijau.
Tanaman padi yang terserang penyakit tungro akan menjadi kerdil dan
pengurangan jumlah anakan. Bulir menjadi berukuran kecil-kecil dan hampa,
pembentukan bunga sering terhambat, sehingga mempengaruhi terhadap penurunan
produksi padi. Kerugian yang ditimbulkan penyakit tungro cukup besar, karena
menyebabkan kehilangan hasil sekitar 20-90% pada sembilan varietas padi rentan
yang terinfeksi (Waterworth dan Hadidi 2000).
Kresek
Penyakit kresek (Xanthomonas camprestris pv oryzae) dapat menginfeksi
tanaman padi mulai dari pembibitan sampai tanaman tua. Gejala nampak pada daun
berupa bercak kuning sampai putih berawal dari garis lembam berair pada tepi
helaian daun (Gambar 7). Bercak bisa mulai pada salah satu atau kedua tepi daun,
atau setiap bagian helain daun rusak, dan berkembang hingga seluruh daun.
29
Gambar 7
40
30
20
10
0
6
10
11
(b)
40
Konvensional
Input rendah
Organik 5
Organik 10
30
20
10
0
4
10
11
Jumlah anakan tanaman padi pada sistem budi daya input rendah adalah 20
anakan/rumpun dan tinggi tanaman 96 cm. Dengan jumlah anakan yang banyak dan
tanaman yang tidak terlalu tinggi, memungkinkan bakteri dapat menyebar lebih
cepat melalui percikan air, hujan atau penyiangan saat daun basah. Bakteri masuk
ke dalam jaringan tanaman melalui lubang alami seperti stomata dan hidatoda serta
luka, yang kemudian berkembang dalam ruang antar sel (Sinclair dan Backman
1989; Semangun 1990). Iklim mikro di sekitar tanaman sangat berperan dalam
perkembangan penyakit kresek tersebut.
Pada pertanian organik , intensitas serangan kresek lebih rendah. Hal ini diduga
karena adanya aktivitas agens antagonis. Hal ini sesuai dengan laporan Wibowo et
al. (2002) bahwa P. fluorescen yang berada pada bagian tajuk tanaman (filosfer)
padi mampu menekan laju infeksi patogen X. campestris pv. oryza. Hal tersebut
disebabkan oleh kompetisi atau kolonisasi pada habitat yang sama.
Bercak Cercospora
Gejala serangan bercak bergaris (Cercospora oryzae) berupa garis terputusputus berwarna kekuningan kemudian menjadi coklat kemerahan pada helaian daun
(Gambar 9). Bercak pada awalnya sedikit, bila kelembaban tinggi dapat menutupi
seluruh permukaan daun.
31
Serangan penyakit bercak cercospora pada kedua musim tanam mulai terjadi
pada fase vegetatif (6 MST) dan terus meningkat sampai pengamatan ke-10, dengan
intensitas serangan tertinggi pada pertanian organik 10 t/ha (Gambar 10, Lampiran
11 dan 12).
(a)
Intensitas serangan (%)
40
30
20
10
0
6
10
11
(b)
40
Konvensional
Input rendah
Organik 5
Organik 10
30
20
10
0
5
10
11
patogen
penyakit
ini
terlihat
semakin
meningkat
dengan
bertambahnya umur tanaman. Hal ini sesuai dengan pendapat Semangun (1990)
bahwa daun tua tanaman padi lebih rentan terhadap penyakit bercak cercospora
dibandingkan dengan daun yang muda. Pada tanaman yang muda unsur hara akan
lebih difokuskan untuk pembentukan daun, sehingga daun muda lebih kuat terhadap
serangan penyakit cercospora. Meningkatnya serangan pada daun tua kemungkinan
disebabkan pengaruh unsur hara yang mulai berkurang pada daun, karena unsur hara
diutamakan untuk pembentukan malai dan pengisian malai. Penyakit bercak
cercospora dapat menjadi masalah karena ketimpangan hara, seper ti kekurangan dan
kelebihan pupuk nitrogen (Semangun, 1990). Intensitas serangan penyakit ini
dipengaruhi juga oleh kelembaban, dimana keadaan teduh dan gelap meningkatkan
perkembangan bercak.
32
33
(a)
25
20
15
10
5
0
6
25
10
(b)
Konvensional
Input rendah
Organik 5
Organik 10
20
15
11
10
5
0
6
10
11
34
Ordo
Odonata
Konvensional
0,21
MT I
Input
Organik
rendah
5
0,58
0,48
Organik
10
0,07
KonvenSional
0,31
MT II
Input
Organik
rendah
5
0,49
0,99
Organik
10
1,51
Mantodea
0,00
0,00
0,01
0,02
0,00
0,00
0,05
0,16
Orthopter a
7,45
8,94
4,74
5,44
7,25
3,70
3,11
5,72
Hemiptera
16,43
21,18
20,46
20,27
31,22
20,39
31,83
29,46
Thysanoptera
52,21
56,49
32,16
36,02
35,67
47,86
8,10
29,24
1,90
1,42
3,58
3,59
5,14
4,38
7,70
1,73
Coleoptera
Lepidoptera
0,83
1,10
0,47
0,52
0,54
1,23
2,47
1,69
15,34
4,22
26,93
25,34
14,69
15,67
36,16
22,06
Hymenoptera
2,91
3,00
6,47
4,77
3,49
3,24
4,31
4,21
Collembola
0,06
0,00
0,01
0,07
0,00
0,00
0,00
0,00
Arachnida
2,66
3,00
4,63
3,89
1,69
3,02
5,28
4,23
Acarina
0,00
0,06
0,07
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
Diptera
pengisian malai dan kemudian menurun menjelang panen. Kelimpahan ordo ini
pada sistem pertanian input rendah dan konvensional lebih tinggi dibandingkan
dengan
berdekatan dengan lahan persawahan lain dengan umur tanaman yang beragam,
sedangkan lahan organik dibatas i jalan, perumahan, tanaman talas dan hutan.
Metcalf dan Luckmann (1982) menyatakan bahwa kelompok yang mula-mula
mengadakan kolonisasi adalah serangga yang mudah terbawa angin seperti wereng,
thrips dan aphids. Serangan hama thrips ini sangat jarang dilaporkan pada
pertanaman padi. Tetapi serangan hama Trips oryzae (Baliothrips biformis)
(Thysanoptera: Thripidae) pada tanaman muda menyebabkan daun menggulung dan
berwarna kuning sampai kemerahan, pertumbuhan bibit terhambat dan pada
tanaman dewasa dapat mengurangi pengisian malai (Direktorat Perlindungan
Tanaman Pangan 2006). Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Koswanudin dan
Koesbiantoro (2000) yang menyatakan bahwa trips sudah muncul pada pertanaman
padi berumur 2 MST, dengan serangan tertinggi pada tanaman muda dan menurun
pada waktu menjelang panen. Munculnya serangga trips karena adanya pertanaman
padi yang terus menerus selama tiga musim tanam, sehingga terjadi perpindahan
dari tanaman inang lain seperti gulma ke pertanaman padi. Serangan hama Thrips
ini secara tidak langsung menimbulkan kerugian terhadap hasil panen. Serangan
cukup berat dapat menghambat pertumbuhan tanaman dan akan memperpanjang
umur tanaman sehingga menunda waktu panen.
Tingginya kelimpahan serangga ordo Hemiptera diantaranya disebabkan
banyak ditemukannya serangga famili Alydidae. Serangga famili ini merupakan
hama yang menyerang bulir padi pada fase nimfa maupun imago. Pertanaman padi
yang terus menerus dapat meningkatkan populasi hama tersebut. Apabila ditemukan
5 ekor/ 9 rumpun dapat mengurangi hasil sampai 15% (Suharto dan Damardjati
1988). Munculnya serangga hama ini di keempat sistem budidaya padi
kemungkinan karena ekosistem pertanaman padi di daerah tersebut mengikuti pola
padi-padi-padi. Selain itu, hal lain yang mendukung kelimpahan hama ini tinggi
antara lain adalah tersedianya tanaman inang utama, waktu tanam yang tidak
serempak, penggunaan pestisida yang tidak bijaksana di luar areal pengamatan , dan
iklim yang mendukung perkembangan serangan hama. Usaha pengendalian yang
36
dilakukan petani di Desa Situgede terhadap hama walang sangit atau Leptocorisa
oratorius F. (Hemiptera: Alydidae), yaitu dengan tehnik pengendalian secara
spesifik lokasi dengan menyebarkan cairan perasan kulit bawang putih pada
pertanaman padi. Tehnik pengendalian secara tradisonal ini terlihat dapat
menurunkan populasi walang sangit tersebut.
Kelimpahan arthropoda pada MT I dari pengumpulan menggunakan lubang
jebakan menunjukkan bahwa persentase kelimpahan tertinggi terdapat pada ordo
Collembola pada lahan persawahan input rendah (Tabel 3). Pada MT II, ordo
Collembola ini menunjukkan nilai tertinggi pada keempat sistem budi daya padi.
Lebih tingginya kelimpahan Collembola pada lahan input rendah (MT I) dan
konvensional (MT II) diduga karena struktur lahan di pematang sawah tempat
peletakan lubang jebakan pada kedua lahan kemungkinan mengandung bahan
organik dan kelembaban yang lebih tinggi yang sesuai untuk kehidupan arthropoda
ini. Pengamatan menunjukkan bahwa struktur lahan pematang sawah input rendah
dan konvensional banyak ditumbuhi berbagai jenis rumput-rumputan dengan
kelembaban tanah di tempat ini relatif lebih tinggi dan terletak
dekat dengan
saluran air. Dengan banyaknya vegetasi rumput dan dekat saluran air,
memungkinkan pematang sawah tersebut banyak mengandung serasah rumput dan
kelembaban tanahnya lebih tinggi yang
menyatakan bahwa faktor lingkungan seperti pH, kandungan bahan organik dan
suhu dapat mempengaruhi keberadaan Collembola.
Ordo yang menempati peringkat ke-dua pada pengumpulan dengan jaring
serangga dan lubang jebakan adalah Diptera (Tabel 2 dan 3). Pada kedua musim
tanam dan kedua perangkap kelimpahan serangga Diptera relatif tinggi pada lahan
pertanian organik 5 dan 10 to n/ha. Kelimpahan serangga Diptera lebih tinggi pada
lahan sistem pertanian organik dibandingkan dengan sistem pertanian input rendah
dan konvensional. Hal ini diduga karena lahan organik diberi perlakuan pupuk
bokashi yang terdiri dari kompos dan pupuk kandang yang mengandung bahan
organik lebih banyak. Kondisi lahan seperti ini sesuai bagi perkembangan serangga
37
Konvensional
0,00
Odonata
MT I
Input
Organik
rendah
5
0,00
0,00
Organik
10
0,00
Konvensional
0,00
MT II
Input
Organik
rendah
5
0,00
0,00
Organik
10
0,01
Mantodea
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
Orthoptera
0,61
0,88
0,60
0,81
0,23
1,17
0,24
0,30
Hemiptera
1,26
1,59
0,57
0,55
0,64
6,03
1,18
2,39
Thysanoptera
0,03
0,21
0,04
0,26
0,03
0,26
0,04
0,07
Coleoptera
0,78
1,09
0,26
0,53
0,41
6,16
0,74
0,92
Diptera
44,13
1,51
53,65
59,59
6,78
16,62
33,46
18,93
Hymenoptera
18,57
12,29
14,71
17,14
1,29
3,95
13,54
2,26
Collembola
33,36
80,67
28,97
16,35
89,85
63,59
50,13
74,23
Arachnida
1,21
1,72
1,21
4,76
0,71
2,17
0,54
0,81
Acarina
0,05
0,04
0,00
0,00
0,06
0,04
0,13
0,07
Diptera yang
menyatakan
bahwa serangga saprofag dapat membantu menguraikan bahan organik dan hasil
uraian tersebut dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Tingginya kelimpahan serangga
saprofag pada lahan pinggiran dan lahan sawah pertanian organik dapat merupakan
mangsa utama dan alternatif bagi serangga fitofag dan musuh alami, terutama
predator. Dengan demikian, terdekomposisinya serasah/bahan organik, dan
pelestarian gulma berguna dapat menyebabkan meningkatnya populasi predator,
parasitoid dan serangga berguna lainnya dan tanaman utama mendapat unsur hara
tambahan. Hal lain yang menyebabkan ordo Diptera kelimpahannya relatif tinggi
kemungkinan karena faktor ekosistem padi sawah yang merupakan ekosistem
berair.
pertanian organik 5 ton/ha dan 10 ton/ha memiliki jumlah ordo terbanyak pada
kedua MT dibandingkan pada lahan konvensional dan input rendah.
Tabel 4 Jumlah ordo, famili, spesies dan individu arthropoda, indeks keanekaragaman shannon-wienner (H) dan evenness (E) pada MT I dan MT II
pada beberapa sistem budidaya
Jumlah/
Indeks
Ordo
Famili
Spesies
Individu
H
E
Konvensional
11
79
156
13.090
2,986
0,618
MT I
Input Organik
rendah
5
11
12
80
90
157
173
12.258 12.551
3,088
3,490
0,641
0,705
Organik
10
12
90
171
11.890
3,309
0,672
Konvensional
11
74
145
16.438
1,441
0,310
MT II
Input Organik
rendah
5
11
12
78
80
149
159
5.513
11.295
2,194
2,586
0,397
0,545
Organik
10
12
75
162
11.354
2,334
0,495
Dengan
39
Fitofag
Parasitoid
Predator
Pengurai & serangga lain
80
70
(a)
60
50
40
30
20
10
0
Konvensional Input rendah
Organik 5
Organik 10
(b)
80
70
60
50
40
30
20
10
0
Konvensional Input rendah
Organik 5
Organik 10
(Hemiptera),
Formicidae
(Hymenoptera)
serta
Tetragnathidae,
Oxyopidae dan Lycosidae (Arachnida). Pengurai dan serangga lain didominasi oleh
ordo Diptera dan Collembola.
40
(bertambahnya
Rhizosfer
Bakteri
P.kelompok
flourescens1 )
Bakteri
Tahan
Panas2)
Trichoderma sp.
Tahan
panas 2)
MT I
Konvensional
6,0x1010
24,0x10 10
6,0x1010
10
10
Input rendah
2,0x10
34,0x10
4,0x1010
10
10
10
Organik 5
2,0x10
10,0x10
6,0x10
12,0x10 10
10
10
Organik 10
2,0x10
38,0x10
2,0x1010
MT II
Konvensional
32,30x105
70,00x105
5
Input rendah
62,10x10
72,20x105
5
5
Organik 5
286,60x10
0,30x10
258,20x105
5
5
Organik 10
84,90x10
0,80x10
154,00x105
Keterangan : 1) P : Pseudomonas, 2) Bakteri tahan panas (Bacillus sp.)
Trichoderma sp.
0,02x105
0,60x105
2,00x105
0,02x105
Keanekaragaman Mikroorganisme
Secara umum
nilai
Konvensional
Input rendah
Organik 5
Organik 10
6,478
11
1,603
0,668
7,034
9
1,022
0,465
43,124
13
1,557
0,607
11,373
11
1,986
0,828
7,404
9
1,285
0,585
7,886
12
1,665
0,551
26,024
18
1,872
0,759
17,824
14
2,015
0,764
koloni bakteri dalam tanah, dari sebelum aplikasi insektisida kerapatan koloni
bakteri yaitu 102x105 cfu/g tanah menurun menjadi 143x104 cfu/g tanah. Sedangkan
pada cendawan dari kerapatan 50x103 cfu/g tanah menurun menjadi 49x10 3 cfu/g
tanah (Zayed et al. 1998). Selain dipengaruhi juga oleh residu insektisida di dalam
tanah, kerapatan dan keragaman bakteri dan cendawan di filosfer dan rhizosfer
tampaknya dipengaruhi oleh faktor umur tanaman inang, kondisi cuaca pada waktu
pengambilan contoh daun dan tanah, macam pupuk yang diaplikasikan, gulma di
sekitar tanaman dan tanaman terdahulu.
43
Analisis Usahatani
Hasil panen pada kedua musim tanam pada sistem budidaya konvensional dan
input rendah lebih tinggi dibandingkan dengan pertanian organik (Tabel 7). Masih
rendahnya hasil panen pada pertanian organik kemungkinan disebabkan lokasi
masih mengalami masa transisi dari kondisi sebelumnya dengan asupan pupuk
anorganik ke sistem budidaya organik. Walaupun produksi lahan organik masih
lebih rendah, namun kualitas beras organik dinilai sangat baik sehingga harga
jualnya lebih tinggi dari hasil pertanian konvensional dan input rendah. Dengan
demikian keuntungan petani dapat lebih tinggi dari pada pertanian organik. Pada
pertanian organik 5 ton/ha sudah menunjukkan keuntungan yang lebih tinggi dari
konvensional, tetapi biaya produksi yang dikeluarkan untuk membeli pupuk organik
(bokashi) masih tinggi. Biaya produksi tersebut dapat dikurangi bila petani dapat
membuat sendiri pupuk organik (bokashi) dari jerami padi lahannya dan pupuk
kandang dari ternaknya sendiri. Dengan berkurangnya biaya produksi, keuntungan
pada pertanian organik akan menjadi meningkat dan mungkin akan lebih tinggi dari
pertanian konvensional dan input rendah.
Tabel 7 Analisis usahatani pada dua musim tanam pada beberapa sistem budidaya
Uraian
MT I
Produksi (ton/ha)
Biaya produksi (Rp jt/ha)
Pendapatan total (Rp jt/ha)
Keuntungan (Rp Jt/ha)
R/C ratio
B/C ratio
MT II
Produksi (ton/ha)
Biaya produksi (Rp jt/ha)
Pendapatan total (Rp jt/ha)
Keuntungan (Rp jt/ha)
R/C ratio
B/C ratio
Konvensional
Input
rendah
Organik
5
Organik
10
1,43
3,62
4,30
0,68
1,19
0,19
1,34
3,68
4,03
0,35
1,09
0,09
1,25
5,24
6,26
1,02
1,20
0,19
1,32
7,74
6,58
-1,15
0,85
-0,15
2,75
3,62
8,25
4,64
2,28
1,28
2,57
3,68
7,71
4,03
2,09
1,09
2,06
5,24
10,29
5,06
1,97
0,97
2,12
7,74
10,53
2,79
1,36
0,36
44
dengan jaminan harga jual beras organik yang tinggi akan dapat meningkatkan
pendapat petani.
45
PEMBAHASAN UMUM
Dari pengamatan yang telah dilakukan di lahan sawah dengan sistem
pengelolaan konvensional, input rendah maupun organik, ditemukan berbagai jenis
hama dan penyakit yang menyerang tanaman padi. Di antara hama dan penyakit
yang ditemukan, penggerek batang padi, tungro, kresek, bercak cercospora dan
hawar pelepah tampaknya relatif sama pada MT I dan MT II. Luas dan intensitas
serangan hama dan penyakit pada MT I (musim hujan) relatif lebih tinggi dari pada
MT II (musim kemarau), kemungkinan hal ini dipengaruhi oleh keadaan cuaca yang
sesuai untuk perkembangan hama dan penyakit.
Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa pada lahan konvensional
dan input rendah yang menggunakan insektisida Furadan 3 G menunjukkan luas dan
intensitas serangan hama penggerek batang lebih rendah tetapi tidak begitu jauh
berbeda dengan pertanian organik. Hal ini menunjukkan pada pertanian organik
kegiatan musuh alami (parasitoid dan predator) sudah dapat mengontrol populasi
hama penggerek batang padi. Sehingga tanpa penggunaan insektisida, musuh alami
sudah dapat mengurangi serangan hama penggerek batang padi.
Serangan penyakit tungro yang ditularkan oleh seran gga vektor Nephotettix sp.
menunjukkan intensitas lebih tinggi pada pertanian organik. Hal ini didukung
dengan ditemukannya serangga wereng hijau tersebut lebih banyak pada pertanian
organik. Populasi dan aktivitas terbang serangga vektor infektif sangat berpengaruh
terhadap potensi tertular maupun menularkan virus tungro di lapang. Kehilangan
hasil karena terinfeksi tungro sangat dipengaruhi oleh stadia rumpun saat terjadi
infeksi. Rumpun yang terinfeksi pada umur tanaman dua minggu setelah tanam
dapat mengalami kehilangan hasil hingga 80%. Semakin lanjut umur tanaman saat
terjadi infeksi, semakin rendah kehilangan hasil yang dialami (Direktorat
Perlindungan Tanaman Pangan dan Horikultura 1992).
Intensitas serangan penyakit kresek dan hawar pelepah daun padi pada
pertanian organik pada MT I dan MT II relatif lebih rendah dibandingkan lahan
konvensional dan input rendah. Hal ini dapat terjadi diduga karena adanya
pemberian bokashi (kompos) yang dapat meningkatkan fauna mikroorganisme pada
tanah yang diantaranya meningkatkan aktivitas potensi agens yang berpotensi
sebagai antagonis. Sifat hubungan antagonisme antar organisme yang berada pada
46
relung (niche) yang sama dapat berupa kompetisi dalam menggunakan nutrisi dan
ruang, antibiosis dengan menghasilkan antibiotika atau metabolit yang bersifat
racun, dan parasitisme dengan cara menyerap nutrisi yang terdapat dalam patogen
(Tronsmo 1996). Bakteri antagonis mampu memacu Induced Systemic Resistance
(ISR) melawan patogen tumbuhan yang berskala luas, yang ditunjukkan dengan
tingkat keparahan penyakit tanaman padi lebih rendah. P. fluorescens yang
dieksplorasi dari tanaman padi pada awalnya diduga mempengaruhi pengaruh buruk
bahkan berperan sebagai patogen beberapa jenis tanaman sayuran (tomat, cabe, cabe
rawit, sawi, terong dan mentimun), akan tetapi setelah diuji dengan inokulasi buatan
suntik, siram dan semprot ternyata tidak menyebabkan tanaman sakit (Wibowo et
al. 2002).
Mekanisme penghambatan P. fluorescens dalam menekan patogen tanaman
yaitu dengan memproduksi siderophore. Siderophore tersebut dapat mengikat besi
dan turunannya di daerah sekitar perakaran, apabila unsur besi tidak tersedia maka
patogen tidak dapat berkembang dengan baik (Cano dan Jaime
1988).
rusaknya lapisan kitin (selulose) dinding sel hifa cendawan patogen yang menjadi
inangnya (Alexopaulus dan Mims 1979).
Pada pengamatan mikroorganisme yang ada di filosfer dan rhizosfer
ditemukannya golongan bakteri adalah Pseudomonas kelompok fluorescens dan
bakteri tahan panas (Bacillus sp.), sedangkan kelompok cendawan Trichoderma sp.
yang berpotensi sebagai agens antagonis relatif lebih tinggi pada pertanian organik.
Hal ini diduga dengan penambahan kompos dapat memperbaiki status nutrisi tanah
sehingga
terjadi
perubahan
populasi
mikroorganisme.
Perubahan
tersebut
dengan
dan
meningkatkan
memantapkan
keanek aragaman
hayati
melalui
Tanpa pestisida,
organik
merupakan
sistem
pertanian
yang
berkelanjutan
49
pertanian
organik
lebih
kompleks
yang
tercermin
dari
50
DAFTAR PUSTAKA
Abbasi PA, Al-Dahmani J, Sahin F, Hoitink HAJ, Miller SA. 2002. Effect of
compost amendments on disease severity and yield of tomato in conventional
and organic production systems. Plant Disease. 86:156 -161.
Agrios GN. 1987. Plant Phatology. 4th edition. New York: Academic Press.
Andow DA, Hidaka K. 1998. Yield loss in conventional dan natural rice farming
systems. Agriculture, Ecosystems & Environment. 70(2/3):151-158.
Alexopoulus CJ, Mims CW. 1979. Introductory Mycology. 3
York: Jhon Wiley and Sons. 632 p.
rd
edition. New
Ar-Riza I, Sardjijo, Chaerudin. 2000. Prospek dan kendala pertanian o rganik dalam
upaya peningkatan produksi padi di lahan kering. Di dalam: Mustajab HK,
Rizal AAZ, Nurcholis M, Soeharto, Wuryani S, editor. Prosiding Seminar
Nasional Pertanian Organik, Yogyakarta 4 November 2000. Yogyakarta: CV.
Cipta Tani Makmur Cirebon. hlm 157-164.
Baker KF, Cook RJ. 1974. Biological Control of Plant Pathogens. San Francisco:
WH. Freeman and Company. 433 p.
Borror DJ, Triplehom, Johnson NF. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga.
Edisi ke-6. Partosoedjono S, penterjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. 1083 hlm.
Bulluck LR III, Ristaino JB. 2002. Effect of synthetic and organic soil fertility
amendment on southern blight, soil microbial communities, and yield of
processing tomato. Phytopathology 92:181-189.
Bruggen AHC van, Termorshuizen. 2005. Integrated approaches to root disease
management in organic farming systems. Australasian Plant Pathology
32(2):141-158 [abstrak ]
http://www.publish.csiro.au/nid/176/act/searchadvanced.htm [18 November 2005].
Clark MS, Ferris H, Klonsky K, Lanini WT, Bruggen AHC van, Zalon FG. 1998.
Agronomic, economic, and environmental comparison of pest management in
conventional and alternative tomato and corn systems in California.
Agriculture, Ecosystems & Environment. 68(1/2):51-71.
Chiykowski LN. 1981. Epidemiology of disease caused by leafhopper borne
pathogens. In Masamorosch K, Harris KF, ed. Plant Disease and Vector:
Ecology and Epid emiology. New York: Academic Press.
Cano RJ, Jaime SC. 1988. Essentials of microbiology. California Polytechnic State
University. San Fransisco. 649 p.
Cook RJ, Baker KF. 1983. The nature and practic e of biological control of plant
pathogens. St. Paul, Minnesota: American Phytopathol. Soc. 139 p.
Dadang. 2005. Kenali pestisida, biar aman. Di dalam: Seminar Nasional
Perlindungan Tanaman: Peran Pestisida dalam Produksi Pangan Nasional.
Bogor 2 Oktober 2005. Bogor: Departemen Proteksi Tanaman. IPB.
Daly HV, Doyen JT, Ehrlich PR. 1978. Introduction to insect biology and
diversity. International Student edition. Tokyo: Mc. Graw-Hill.
51
52
Fundamentals of Ecology.
Paath JM.
1988.
Pengaruh antagonistik Trichoderma spp. terhadap
perkembangan layu bakteri Pseudomonas solanacearum pada tanaman
tembakau dan tomat. [tesis]. Bogor: Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan,
Fakultas Pertanian, IPB.
Primack RB, Supriatna J, Indrawan M, Kramadibrata. 1998. Biologi Konservasi.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 345 hlm.
Rangarajan A, Aram K. 2000. Impact of composts on soil borne disease
incidence in organic cropping systems. Final report for toward sustainability
foundation grant for organic research. http://www.cfe.cornell.edu/wmi/.html
[29 November 2005].
Reijntjes C, Haverkort B, Water -Bayer A. 1992. Pertanian Masa Depan.
Pengantar untuk pertanian berkelanjutan dengan input luar rendah. Sukoco
YSS, penterjemah. Jakarta: Kanisius. 270 hlm. Terjemahan dari: Farming for
the nature. An introduction to low external input and sustainable agriculture.
Rice K.
1992.
Theory and conceptual issues.
Environmental. 42:9 -26.
Agriculture Ecosystem
Santosa E, Widati S. 2000. Pengaruh pengelolaan sisa panen terhadap sifat tanah,
pertumbuhan tanaman dan serapan hara padi serta hasil tanam an pangan. Di
dalam: Mustajab HK, Rizal AAZ, Nurcholis M, Soeharto, Wuryani S, editor.
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Organik, Yogyakarta 4 November
2000. Yogyakarta: CV. Cipta Tani Makmur Cirebon. hlm 107-113.
Saragih S, Ar-Riza I, Nazemi D. 2000. Pertanian organik dan peranannya dalam
meningkatkan produktifitas lahan rawa lebak. Di dalam: Mustajab HK, Rizal
AAZ, Nurcholis M, Soeharto, Wuryani S, editor. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Organik, Yogyakarta 4 November 2000. Fakultas Pertanian UPN
Veteran Yogyakarta. CV. Cipta Tani Makmur Cirebon Jawa Barat. hlm 61-69.
Schippers B, Gams W. 1979. Soil-borne Plant Pathogens. New York: Academic
Press.
Schippers B, Lugtenberg B, Weisbeek PJ. 1987. Plant growth control by
fluorescent pseudomonas. In Ilanchet (ed). Innovative Approaches to Plant
Diseases Control. New York: John Wiley and Sons. Pp. 19-23.
Semangun H.
1990.
Penyakit-penyakit Tanaman Pangan di Indonesia .
Yogyakarta: Gajah University Press.
Sinclair JB. and Backman PA. 1989. Compendium of soybean diseases, 3 eds. The
American Phytopatological Society. St. Paul: APS Press. p. 4-6.
Sitanggang A. 1993. Analisis keragaan usahatani pertanian organik. Jurusan IlmuIlmu Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor: Fakultas Pertanian, IPB.
Southwood TRE. 1980. Ecological methods with particular reference to the
study of insect populations. London: Chapman and Hall. 524 p.
Southwood TRE and Way MJ. 1980. Ecological background to pest management.
In Rabb RL and Guthrie (eds). Concept of pest management. North Caroline:
North Caroline State University.
54
Stone AG, Vallad GE, Coopemrband LR, Rotenberg D, Darby HM, James RV,
Stevenson WR, Goodman RM. 2003. Effect of organic amendments on
soilborne and foliar diseases in field-grown snap bean and cucumber. Plant
disease. 87(9):1037-1042.
Suhardjono YR. 1992. Fauna collembola tanah di pulau Bali dan pulau Lombok.
[abstrak ]. Disertasi Program Parca Sarjana Universitas Indonesia. 16 hlm.
Suhardjono YR. 2000. Serangg a serasah: keanekaragaman takson dan perannya di
Kebun Raya Bogor. Biota 3 (1):16-24.
Suharto H, Damardjati DS. 1988. Pengaruh waktu serangan walang sangit
terhadap hasil dan mutu hasil IR 36. Reflektor 2 (1) Sukamandi: Balittan. hlm.
25-28.
Sumarsono . 2005. Pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan pertanian
organik. Di dalam : Workshop dan Kongres Nasional II MAPORINA, Jakarta
21-22 Desember 2005. Jakarta: MAPORINA. 7 hlm.
Sumodiningrat G. 2005. Penanggulangan kemiskinan melalui pengembangan
pertanian. Di dalam: Workshop dan Kongres Nasional II MAPORINA, Jakarta
21-22 Desember 2005. Jakarta: MAPORINA. 10 hlm.
Tambunan I. 2005. Murjiyo, petani organik. Kompas 10 Desember 2005 [kolom
1- 5].
Tjahjono B. 2000. Bakteri untuk pengendalian hayati. Di dalam: Seminar PFI. 18
November 2000. Malang.
Triwidodo H. 2003. Analisis agroekosistem. Di dalam: Pelatihan Perencanaan
Perancangan dan Penganalisaan untuk Penelitian Keanekaragaman Hayati
dan Ekologi Komunitas. Bogor 14 19 Desember 2003. Bogor: Pusat Kajian
Pengendalian Hama Terpadu, Departemen Proteksi Tumbuhan IPB. h lm.1-13.
Tronsmo A. 1996. Trichoderma harzianum in biological control of fungal
diseases. Di dalam Robert Hall, editor. Principles and practice of managing
soil borne plant pathogen. Minnesota: APS press. pp. 213-236.
Untung K. 1992. Konsep dan strategi pengendalian hama terpadu. Dalam:
Makalah Simposium Penerapan PHT. 3-4 September 1992. Sukamandi: PEI
Cabang Bandung. 17 hlm.
Unterstenhopfer G. 1976. The basic principles of crop protection field trial. Bayer
Pflanzensschutz.
Vyas SC. 1988. Nontarget Effects of Agricultural Fungicides. Florida: CRC Press.
Warner D. 1992. Symbiosis of plant and microbes. Chapman Hall. London.
Watson RT, Heywood VH, Baste I, Dias B, Gamez R, Janetos T, Reid W, Ruark G.
1995. Global biodiversity assessment. Great Britain: Cambridge University
Press. 46 p.
Waterworth HE, Hadidi A. 2000. Ekonomic losses due to plant viruses. Di dalam:
Hadidi A, Khetarpal RK, Koganezawa H, ed itor. Plant Virus Disease
Control.
55
56
6
23,33
14,44
25,56
24,44
11
42,22
42,78
44,78
45,56
3
0,56
1,67
7,22
1,11
4
1,11
3,33
8,33
5,00
10
39,44
41,67
44,44
43,89
11
39,44
41,67
44,44
43,89
57
3
2,92
5,47
7,89
3,64
4
3,13
6,53
7,95
6,95
10
8,27
8,78
10,82
9,94
11
8,27
8,78
10,82
9,94
6
8,89
8,89
11,11
7,78
11
22,22
23,33
25,56
23,89
3
0,56
1,67
3,33
0,56
4
3,33
3,33
9,44
2,78
10
21,67
22,78
24,44
23,33
11
21,67
22,78
24,44
23,33
Konvensional
Input rendah
5,44
3,44
Organik 5
Organik 10
23,22 27,22
25,00 25,44
32,56 32,56
33,67 33,67
6,33 18,56
13,22 20,89
21,33 25,22
21,56 24,33
25,22 26,56
29,22 29,22
58
Konvensional
Input rendah
0,44
1,00
6,56
4,67
14,11 20,56
14,44 20,89
24,89 27,44
24,22 28,89
33,89 33,89
35,44 35,44
Organik 5
Organik 10
0,00
0,22
2,89
7,33
4,33 12,33
11,89 23,89
24,11 26,22
24,33 27,00
27,78 27,78
29,11 29,11
10
11
Konvensional
Input rendah
8,11
4,11
10,33
6,56
14,33 29,11
10,78 22,78
32,78 32,78
31,22 31,22
Organik 5
Organik 10
4,33
5,44
8,56
11,22
10,56 29,33
17,56 28,67
33,22 33,22
37,78 37,78
10
11
Konvensional
0,00
1,22
4,56
17,44
23,67 32,56
32,56
Input rendah
7,00
10,11
17,22 23,67
25,00 32,78
32,78
Organik 5
Organik 10
0,00
0,11
7,22
6,33
17,22 20,11
11,78 19,44
25,33 29,56
25,56 35,78
29,56
35,78
10
11
10
11
Konvensional
3,44
7,78
9,78
13,11
21,11
21,11
Input rendah
Organik 5
0,44
4,56
5,11
9,56
10,78
12,56
11,89
13,11
18,22
14,33
18,22
14,33
Organik 10
6,33
8,44
12,44
13,56
15,22
15,22
59
6
0,00
7
2,44
8
3,78
9
7,00
10
12,11
11
12,11
Input rendah
Organik 5
Organik 10
0,00
0,56
0,11
1,67
1,11
0,33
7,33
1,22
2,11
8,44
5,11
5,78
9,00
8,78
7,78
9,00
8,78
7,78
60