PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
DIC dapat terjadi hampir pada semua orang tanpa perbedaan ras, jenis kelamin, serta
usia. Gejala-gejala DIC umumnya sangat terkait dengan penyakit yang mendasarinya,
ditambah gejala tambahan akibat trombosis, emboli, disfungsi organ, dan perdarahan.
Koagulasi intravaskular diseminata atau lebih populer dengan istilah aslinya,
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) merupakan diagnosis kompleks yang
melibatkan komponen pembekuan darah akibat penyakit lain yang mendahuluinya. Keadaan
ini menyebabkan perdarahan secara menyeluruh dengan koagulopati konsumtif yang parah.
Banyak penyakit dengan beraneka penyebab dapat menyebabkan DIC, namun bisa dipastikan
penyakit yang berakhir dengan DIC akan memiliki prognosis malam. Meski DIC merupakan
keadaan yang harus dihindari, pengenalan tanda dan gejala berikut penatalaksanaannya
menjadi hal mutlak yang tak hanya harus dikuasai oleh hematolog, namun hampir semua
dokter dari berbagai disiplin.
DIC merupakan kelainan perdarahan yang mengancam nyawa, terutama disebabkan
oleh kelainan obstetrik, keganasan metastasis, luka bakar, trauma masif/multiple, serta sepsis
bakterial. Disseminated Intravascular Coagulation adalah suatu sindrom yang ditandai dengan
adanya perdarahan/kelainan pembekuan darah yang disebabkan oleh karena terbentuknya
plasmin yakni suatu spesifik plasma protein yang aktif sebagai fibrinolitik yang di dapatkan
dalam sirkulasi. Terjadinya DIC dipicu oleh trauma atau jaringan nekrotik yang akan
melepaskan faktor-faktor pembekuan darah. Endotoksin dari bakteri gram negatif akan
mengaktivasi beberapa langkah pembekuan darah. Endotoksin ini pula yang akan memicu
pelepasan faktor pembekuan darah dari sel-sel mononuklear dan endotel. Sel yang teraktivasi
ini akan memicu terjadinya koagulasi yang berpotensi menimbulkan trombi dan emboli pada
mikrovaskular. Fase awal DIC ini akan diikuti fase consumptive coagulopathy dan secondary
fibrinolysis. Pembentukan fibrin yang terus menerus disertai jumlah trombosit yang terus
menurun menyebabkan perdarahan dan terjadi efek antihemostatik dari produk degradasi
fibrin. Pasien akan mudah berdarah di mukosa, tempat masuk jarum suntik/infus, tempat
masuk kateter, atau insisi bedah. Akan terjadi akrosianosis, trombosis, dan perubahan pre
gangren pada jari, genital, dan hidung akibat turunnya pasokan darah karena vasospasme atau
mikrotrombin.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
1.3 Tujuan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
1.4 Manfaat
Diharapkan dengan disusunnya makalah ini, baik penyusun maupun pembaca
dapat memahami dan memberikan asuhan keperawatan pada pasien DIC dengan tepat
dan bermutu. Selain itu diharapakan makalah ini, kita dapat menambah ilmu
pengetahuan khususnya di bidang keperawatan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Disseminated Intravascular Coagulation adalah gangguan dimana terjadi koagulasi
atau fibrinolisis (destruksi bekuan). DIC dapat terjadi pada sembarang malignansi, tetapi
yang paling umum berkaitan dengan malignansi hematologi seperti leukemia dan kanker
prostat, traktus GI dn paru-paru. Proses penyakit tertentu yang umumnya tampak pada pasien
kanker dapat juga mencetuskan DIC termasuk sepsis, gagal hepar dan anfilaksis. ( Brunner &
Suddarth, 2002)
Keadaan ini diawali dengan pembekuan darah yang berlebihan, yang biasanya
dirangsang oleh suatu zat racun di dalam darah. Pada saat yang bersamaan, terjadi pemakaian
trombosit dan protein dari faktor-faktor pembekuan sehingga jumlah faktor pembekuan
berkurang, maka terjadi perdarahan yang berlebihan.
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) adalah suatu keadaan dimana bekuanbekuan darah kecil tersebar di seluruh aliran darah, menyebabkan penyumbatan pada
pembuluh darah kecil dan berkurangnya faktor pembekuan yang diperlukan untuk
mengendalikan perdarahan. (medicastore.com).
Disseminated Intravascular Coagulation adalah suatu sindrom yang ditandai dengan
adanya perdarahan/kelainan pembekuan darah yang disebabkan oleh karena terbentuknya
plasmin yakni suatu spesifik plasma protein yang aktif sebagai fibrinolitik yang di dapatkan
dalam sirkulasi (Healthy Caus)
Secara umum Disseminated Intavascular Coagulation (DIG) didefinisikan sebagai
kelainan atau gangguan kompleks pembekuan darah akibat stirnulasi yang berlebihan pada
mekanisme prokoagulan dan anti koagulan sebagai respon terhadap jejas/injury (Yan Efrata
Sembiring, Paul Tahalele)
Kesimpulannya, DIC adalah penyakit dimana faktor pembekuan dalam tubuh
berkurang sehingga terbentuk bekuan-bekuan darah yang tersebar di seluruh pembuluh darah.
2.2 Etiologi
Hal hal yang dapat memyebabkan DIC :
1.
2.
3.
4.
5.
6. Anoksemia
7. Asidosis
8. Perubahan suhu
9. Autoimun
10. Sirkulasi extrakorporeal
11. Keganasan
12. Hemolisis
Orang-orang yang memiliki resiko paling tinggi untuk menderita DIC:
1. Wanita yang telah menjalani pembedahan kandungan atau persalinan disertai
komplikasi, dimana jaringan rahim masuk ke dalam aliran darah
2. Penderita infeksi berat, dimana bakteri melepaskan endotoksin (suatu zat yang
menyebabkan terjadinya aktivasi pembekuan)
3. Penderita leukemia tertentu atau penderita kanker lambung, pankreas maupun
prostat.
Sedangkan orang - orang yang memiliki resiko tidak terlalu tinggi untuk menderita DIC: :
1. Penderita cedera kepala yang hebat
2. Pria yang telah menjalani pembedahan prostate
3. Terkena gigitan ular berbisa
2.3 Insiden kasus
1. Frekuensi
DIC bisa terjadi pada 30%-50% pasien dengan sepsis. Selain itu diperkirakan DIC
terjadi 1% dari semua pasien yang dirawat di rumah sakit. Di Amerika Serikat kirakira terjadi 18.000 kasus DIC pada tahun 1994.
2. Mortalitas dan Morbiditas
Mortalitas dan morbiditas tergantung dari tingkat keparahan penyakit yang diderita
dan juga tingkat keparahan koagulopati. Tanda yang konkrit dan spesifik dari DIC
sulit diamati, dibawah ini bebrerapa contoh tingkat kematian pada penyakit yang
disertai DIC:
a. Idiopathic purpura fulminans yang berhubungan dengan DIC mempunyai angka
kematian 18%
b. Infeksi pada aborsi yang berhubungan dengan DIC mempunyai angka kematian
50%
c. Pada keadaan trauma, pasien dengan DIC mempunyai angka kematian 2 kali lebih
tinggi daripada yang tidak berhubungn dengan DIC.
d. Pada studi terbaru yang dilakukan oleh Japanese Association for Acute Medicine
(JAAM), krietria diagnosis untuk DIC memperlihatkan bahwa pasien sepsis
dengan DIC mempunyai angka kematian lebih tinggi daripada pasien trauma
dengan DIC (34,7% : 10.5%)
4
3. Jenis Kelamin
Insiden kejadian sama antara laki-laki dan perempuan.
2.4 Patofisiologi
Adanya keadaan perubahan factor pembekuan tertentu mengakibatkan pelepasan
substansi tromboplastik yang kemudian mengaktivasi thrombin dan selanjutnya akan
mengaktifkan fibrinogen dan berakibat penumpukan fibrin pada mikrosirkulasi. Agregasi
patelet/trombosit atau dhesivitas yang meningkat memungkinkan fibrin membeku dan
terbentuk mikrotrombin di otak, ginjal, jantung, dan organ-organ lain sehingga menyebabkan
mikroinfark dan nekrosis jaringan. Pada sisi lain sel-sel darah merah terkepung pada benang
fibrin dan mengalami kerusakan (hemolisis) mengakibatkan penurunan aliran darah,
berkurangnya trombosit, protombin, dan factor pembekuan yang meluas mengaktivasi
mekanisme fibrinolitik. Sehingga menyebabakan produksi zat pemecah fibrin. Zat peecah
fibrin bekerja menghambat fungsi pembekuan trombosit, yang memungkinkan koagulasi
menjadi lambat dan memicu perdarahan lebuh lanjut.
1. Consumptive Coagulopathy
Pada prinsipnya DIC dapat dikenali jika terdapat aktivasi sistem pembekuan darah
secara sistemik. Trombosit yang menurun terus-menerus, komponen fibrin bebas yang terus
berkurang, disertai tanda-tanda perdarahan merupakan tanda dasar yang mengarah kecurigaan
5
ke DIC. Karena dipicu penyakit/trauma berat, akan terjadi aktivasi pembekuan darah,
terbentuk fibrin dan deposisi dalam pembuluh darah, sehingga menyebabkan trombus
mikrovaskular pada berbagai organ yang mengarah pada kegagalan fungsi berbagai organ.
Akibat koagulasi protein dan platelet tersebut, akan terjadi komplikasi perdarahan.
Karena terdapat deposisi fibrin, secara otomatis tubuh akan mengaktivasi sistem
fibrinolitik yang menyebabkan terjadi bekuan intravaskular. Dalam sebagian kasus, terjadinya
fibrinolisis (akibat pemakaian alfa2-antiplasmin) juga justru dapat menyebabkan perdarahan.
Karenanya, pasien dengan DIC dapat terjadi trombosis sekaligus perdarahan dalam waktu
yang bersamaan, keadaan ini cukup menyulitkan untuk dikenali dan ditatalaksana.
Pengendapan fibrin pada DIC terjadi dengan mekanisme yang cukup kompleks. Jalur
utamanya terdiri dari dua macam, pertama, pembentukan trombin dengan perantara faktor
pembekuan darah. Kedua, terdapat disfungsi fisiologis antikoagulan, misalnya pada sistem
antitrombin dan sistem protein C, yang membuat pembentukan trombin secara terus-menerus.
Sebenarnya ada juga jalur ketiga, yakni terdapat depresi sistem fibrinolitik sehingga
menyebabkan gangguan fibrinolisis, akibatnya endapan fibrin menumpuk di pembuluh darah.
Nah, sistem-sistem yang tidak berfungsi secara normal ini disebabkan oleh tingginya kadar
inhibitor fibrinolitik PAI-1. Seperti yang tersebut di atas, pada beberapa kasus DIC dapat
terjadi peningkatan aktivitas fibrinolitik yang menyebabkan perdarahan. Sepintas nampak
membingungkan, namun karena penatalaksanaan DIC relatif suportif dan relatif mirip dengan
model konvensional, maka tulisan ini akan membahas lebih dalam tentang patofisiologi DIC.
2. Depresi Prokoagulan
DIC terjadi karena kelainan produksi faktor pembekuan darah, itulah penyebab
utamanya. Karena banyak sekali kemungkinan gangguan produksi faktor pembekuan darah,
banyak pula penyakit yang akhirnya dapat menyebabkan kelainan ini. Garis start jalur
pembekuan darah ialah tersedianya protrombin (diproduksi di hati) kemudian diaktivasi oleh
faktor-faktor pembekuan darah, sampai garis akhir terbentuknya trombin sebagai tanda telah
terjadi pembekuan darah.
Pembentukan trombin dapat dideteksi saat tiga hingga lima jam setelah terjadinya
bakteremia atau endotoksemia melalui mekanisme antigen-antibodi. Faktor koagulasi yang
relatif mayor untuk dikenal ialah sistem VII(a) yang memulai pembentukan trombin, jalur ini
dikenal dengan nama jalur ekstrinsik. Aktivasi pembekuan darah sangat dikendalikan oleh
faktor-faktor itu sendiri, terutama pada jalur ekstrinsik. Jalur intrinsik tidak terlalu memegang
peranan penting dalam pembentukan trombin. Faktor pembekuan darah itu sendiri berasal
dari sel-sel mononuklear dan sel-sel endotelial. Sebagian penelitian juga mengungkapkan
bahwa faktor ini dihasilkan juga dari sel-sel polimorfonuklear.
Kelainan fungsi jalur-jalur alami pembekuan darah yang mengatur aktivasi faktorfaktor pembekuan darah dapat melipatgandakan pembentukan trombin dan ikut andil dalam
membentuk fibrin. Kadar inhibitor trombin, antitrombin III, terdeteksi menurun di plasma
pasien DIC. Penurunan kadar ini disebabkan kombinasi dari konsumsi pada pembentukan
trombin, degradasi oleh enzim elastasi, sebuah substansi yang dilepaskan oleh netrofil yang
teraktivasi serta sintesis yang abnormal. Besarnya kadar antitrombin III pada pasien DIC
berhubungan dengan peningkatan mortalitas pasien tersebut. Antitrombin III yang rendah
juga diduga berperan sebagai biang keladi terjadinya DIC hingga mencapai gagal organ.
Berkaitan dengan rendahnya kadar antitrombin III, dapat pula terjadi depresi sistem
protein C sebagai antikoagulasi alamiah. Kelainan jalur protein C ini disebabkan down
regulation trombomodulin akibat sitokin proinflamatori dari sel-sel endotelial, misalnya
tumor necrosis factor-alpha (TNF-) dan interleukin 1b (IL-1b). Keadaan ini dibarengi
rendahnya zimogen pembentuk protein C akan menyebabkan total protein C menjadi sangat
rendah, sehingga bekuan darah akan terus menumpuk. Berbagai penelitian pada hewan
(tikus) telah menunjukkan bahwa protein C berperan penting dalam morbiditas dan mortalitas
DIC.
Selain antitrombin III dan protein C, terdapat pula senyawa alamiah yang memang
berfungsi menghambat pembentukan faktor-faktor pembekuan darah. Senyawa ini dinamakan
tissue factor pathway inhibitor (TFPI). Kerja senyawa ini memblok pembentukan faktor
pembekuan (bukan memblok jalur pembekuan itu sendiri), sehingga kadar senyawa ini dalam
plasma sangatlah kecil, namanya pun jarang sekali kita kenal dalam buku teks. Pada
penelitian dengan menambahkan TFPI rekombinan ke dalam plasma, sehingga kadar TFPI
dalam tubuh jadi meningkat dari angka normal, ternyata akan menurunkan mortalitas akibat
infeksi dan inflamasi sistemik. Tidak banyak pengaruh senyawa ini pada DIC, namun sebagai
senyawa yang mempengaruhi faktor pembekuan darah, TFPI dapat dijadikan bahan
pertimbangan terapi DIC dan kelainan koagulasi di masa depan.
3.
Defek Fibrinolisis
Pada keadaan aktivasi koagulasi maksimal, saat itu sistem fibrinolisis akan berhenti,
karenanya endapan fibrin akan terus menumpuk di pembuluh darah. Namun pada keadaan
bakteremia atau endotoksemia, sel-sel endotel akan menghasilkan Plasminogen Activator
Inhibitor tipe 1 (PAI-1). Pada kasus DIC yang umum, kelainan sistem fibrinolisis alami
(dengan antitrombin III, protein C, dan aktivator plasminogen) tidak berfungsi secara
7
optimal, sehingga fibrin akan terus menumpuk di pembuluh darah. Pada beberapa kasus DIC
yang jarang, misalnya DIC akibat acute myeloid leukemia M-3 (AML) atau beberapa tipe
adenokasrsinoma (mis. Kanker prostat), akan terjadi hiperfibrinolisis, meskipun trombosis
masih ditemukan di mana-mana serta perdarahan tetap berlangsung. Ketiga patofisiologi
tersebut menyebabkan koagulasi berlebih pada pembuluh darah, trombosit akan menurun
drastis dan terbentuk kompleks trombus akibat endapan fibrin yang dapat menyebabkan
iskemi hingga kegagalan organ, bahkan kematian.
2.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari sindrom ini beragam dan bergantung pada system organ yang
terlibat dalam thrombus/infark atau episode perdarahan. DIC kronis bisa menimbulkan
sedikit gejala, seperti mudah memar, perdarahan lama dari tempat tusukan pungsi vena,
perdarahan gusi, dan perdarahan gastrointestinal lambat, atau tidak ada gejala yang tidak
dapat diamati. Gejala akibat thrombosis mikrovaskular dapat berupa kesadaran menurun
sampai koma, gagal ginjal akut, gagal napas akut dan iskemia fokal, dan gangrene pada kulit.
Mengatasi perdarahan pada KID sering lebih mudah daripada mengobati akibat thrombosis
pada mikrovaskular yang menyababkan gangguan aliran darah,iskemia dan berakhir dengan
kerusakan organ yang menyebabkan kematian.
2.6 Pemeriksaan diagnostik spesifik
DIC adalah suatu kondisi yang sangat kompleks dan sangat sulit untuk didiagnosa.
Tidak ada single test yang digunakan untuk mendiagnosa DIC. Dalam beberapa kasus,
beberapa tes yang berbeda digunakan untuk diagnose yang akurat.
Tes yang dapat digunakan untul mendiagnosa DIC termasuk:
1. D-dimer
Tes darah ini membantu menentukan proses pembekuan darah dengan mengukur fibrin
yang dilepaskan. D-dimer pada orang yang mempunyai kelainan biasanya lebih tinggi
dibanding dengan keadaan normal.
2. Prothrimbin Time (PTT)
Tes darah ini digunakan untuk mengukur berapa lama waktu yang diperlukan dalam
proses pembekuan darah. Sedikitnya ada belasan protein darah, atau factor pembekuan
yang diperlukan untuk membekukan darah dan menghentikan pendarahan. Prothrombin
atau factor II adalah salah satu dari factor pembekuan yang dihasilkan oleh hati. PTT
yang memanjang dapat digunakan sebagai tanda dari DIC.
3. Fibrinogen
Tes darah ini digunakan untuk mengukur berapa banyak fibrinogen dalam darah.
Fibrinogen adalah protein yang mempunyai peran dalam proses pemnekuan darah.
Tingkant fibrinogen yang rendah dapat menjadi tanda DIC. Hal ini terjadi ketika tubuh
menggunakan fibrinogen lebih cepat dari yang diproduksi.
4. Complete Blood Count (CBC)
CBC merupakan pengambilan sampel darah dan menghitung jumlah sel darah merah dan
sel darah putih. Hasil pemeriksaan CBC tidak dapat digunakan untuk mendiagnosa DIC,
namun dapat memberikan informasi seorang tenaga medis untuk menegakkan diagnose.
5. Hapusan Darah
Pada tes ini, tetes darah adalah di oleskan pada slide dan diwarnai dengan pewarna
khusus. Slide ini kemudian diperiksa dibawah mikroskop jumlah, ukuran dan bentuk sel
darah merah, sel darah putih, dan platelet dapat di identifikasi. Sel darah sering terlihat
rusak dan tidak normal pada pasien dengan DIC.
Skor Tes Pembekuan
Scoring system untuk DIC diajukan oleh ISTH
(International Society on thrombosis and Hemostasis)
Skor atau Skala 0
1
2
3
Jumlah Platelet >100
<100
<50
(x109/L)
PT (detik)
<3
>3 but <6
6
Fibrinogen(g/L) >1
<1
Fibrin-related
Tidak
Meningkat
Peningkatan
markers*
meningkat
sedang
yang tajam
(meningkat)
TOTAL
Jika 5, overt DIC- tes diulang setiap hari. Jika <5, non-overt DIC
b.
c.
Dosis:
100iu/kgBB bolus dilanjutkan 15-25 iu/kgBB/jam (750-1250 iu/jam) kontinu, dosis
selanjutnya disesuaikan untuk mencapai aPTT 1,5-2 kali kontrol
Low molecular weight heparin dapat menggantikan unfractionated heparin.
2.
hanya kepada pasien DIC dengan perdarahan atau pada prosedur invasive dengan
kecenderungan perdarahan. Pemberian plasma juga patut dipertimbangkan, karena di dalam
palasma hanya berisi faktor-faktor pembekuan tertentu saja, sementara pada pasien DIC
terjadi gangguan seluruh faktor pembekuan.
3.
fibrinolisis sehingga fibrin yang terbentuk akan semakin bertambah, akibatnya DIC yang
terjadi akan semakin berat.
Tidak ada penatalaksanaan khusus untuk DIC selain mengobati penyakit yang
mendasarinya, misalnya jika karena infeksi, maka bom antibiotik diperlukan untuk fase akut,
sedangkan jika karena komplikasi obstetrik, maka janin harus dilahirkan secepatnya.
Transfusi trombosit dan komponen plasma hanya diberikan jika keadaan pasien sudah
sangat buruk dengan trombositopenia berat dengan perdarahan masif, memerlukan tindakan
invasif, atau memiliki risiko komplikasi perdarahan. Terbatasnya syarat transfusi ini
berdasarkan pemikiran bahwa menambahkan komponen darah relatif mirip menyiram bensin
dalam api kebakaran, namun pendapat ini tidak terlalu kuat, mengingat akan terjadinya
hiperfibrinolisis jika koagulasi sudah maksimal. Sesudah keadaan ini merupakan masa yang
tepat untuk memberi trombosit dan komponen plasma, untuk memperbaiki kondisi
perdarahan.
Satu-satunya terapi medikamentosa yang dipakai ialah pemberian antitrombosis,
yakni heparin. Obat kuno ini tetap diberikan untuk meningkatkan aktivitas antitrombin III
dan mencegah konversi fibrinogen menjadi fibrin. Obat ini tidak bisa melisis endapan
koagulasi, namun hanya bisa mencegah terjadinya trombogenesis lebih lanjut. Heparin juga
mampu mencegah reakumulasi clot setelah terjadi fibrinolisis spontan. Dengan dosis dewasa
normal heparin drip 4-5 U/kg/jam IV infus kontinu, pemberian heparin harus dipantau
minimal setiap empat jam dengan dosis yang disesuaikan. Bolus heparin 80 unit tidak terlalu
sering dipakai dan tidak menjadi saran khusus pada jurnal-jurnal hematologi. Namun pada
keadaan akut pemberian bolus dapat menjadi pilihan yang bijak dan rasional. Apalagi
ancaman DIC cukup serius, yakni menyebabkan kematian hingga dua kali lipat dari risiko
penyakit tersebut tanpa DIC. Semakin parah kondisi DIC, semakin besar pula risiko kematian
yang harus dihadapi.
11
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
1. Adanya faktor-faktor predisposisi:
a. Septicemia (penyebab paling umum)
Septikemia adalah suatu keadaan dimana terdapatnya multiplikasi bakteri dalam darah
(bakteremia). Istilah lain untuk septikemia adalah Blood poisoning atau Bakteremia
dengan sepsis. Sepsis adalah istilah klinis yang dipakai untuk suatu bakterimia yang
bergejala.
Septikemia merupakan suatu kondisi infeksi serius yang mengancam jiwa, dan cepat
memburuk. Sumber infeksinya berasal dari paru-paru, saluran kencing, tulang radang
otak dll. Gejalanya dimulai dengan demam tinggi, menggigil, nafas cepat dan denyut
jantung cepat. Penderita kelihatan sangat sakit. Gejala berkembang menjadi syok,
dengan penurunan suhu (hypothermia), penurunan tekanan darah, perubahan mental
(bengong), dan gangguan bekuan darah sehingga timbul bercak perdarahan di kulit
(petechiae dan ecchymosis). Bisa ditemukan penurunan jumlah urin. Penderita biasanya
diinfus guna menjaga cairan tubuh/tekanan darah, oksigen dan antibitika diberikan.
Perlu diberikan produk darah untuk mengoreksi gangguan bekuan darah.
b. Komplikasi obstetric
12
Rasional
Untuk mengidentifikasi
indikasi-indikasi
kemajuan atau
2.
penyimpangan.
Untuk meminimalkan
potensial perdarahan
lebih lanjut.
Intervensi
Rasional
.
1.
2.
3.
4.
5.
berlebih.
Kendalikan stimulus dari lingkungan.
16
adekuat antara
kebutuhan dan
suplai.
3. Diagnosa keperawatan
Nyeri berhubungan dengan trauma jaringan
Hasil yang diharapkan :
Rasa nyeri yang dialami klien berkurang
No
Intervensi
Rasional
.
1.
Kaji lokasi, kualitas dan intensitas nyeri, gunakan skala Mengetahui tingkat
3.
tingkat nyeri.
nyeri klien untuk
Baringkan klien pada posisi yang nyaman, berikan
mengetahui tindakan
penyangga bantal untuk mencegah tekanan pada bagianselanjutan.
bagian tubuh tertentu.
Bantu memberikan perawatan ketika klien mengalami
4.
5.
2.
dan
pemeriksaan
diagnostik,
bila
memungkinkan,
6.
7.
dan
kaji
keefktifannya.
4. Diagnosa keperawatan
Defisit volume cairan yang berhubungan dengan hemoragi perebesan darah dan tepat
fungsi kongesti jaringan dan perlambatan volume darah bersirkulasi.
Kriteria Hasil
Mempertahankan
status nemodinamik
yang adekuat.
Interfensi Keperawatan
1. Kaji tanda-tanda vital setiap 1 jam.
2. Kaji dan pantau jantung terhadap frekuensi dan irama
jantung.
3. Evaluasi pengeluaran urin setiap jam (jumlah dan berat
4.
5.
6.
7.
8.
9.
jenis).
Kaji bunyi napas setiap 1 jam.
Kaji kualitas dan keberadaan nadi perifer setiap 4 jam.
Pertahankan masukan dan pengeluaran yang akurat.
Berikan cairan IV, sesuai intruksi.
Berikan produk-produk darah sesuai intruksi.
Evaluasi nilai-nilai hasil laboraturium Hb, Ht, Na, K, Cl, PT,
PTT, jumlah platelet produk solit fibri, fibrinogen dan masa
17
pembekuan.
10. Pertahankan tirah baring.
5. Diagnosa keperawtan
Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan keadaan syok,
hemoragi, kongesti jaringan dan penurunan perfusi jaringan.
Kriteria Hasil
Kulit akan tetap utuh,
tanpa ada bagian yang
mengalami
memar
atau lecet.
Interfensi Keperawatan
1. Kaji semua permuakaan kulit setiap 4 jam.
2. Angkat, periksa, dan gantikan semua balutan yang menekan,
3.
4.
5.
6.
7.
6. Diagnosa keperawatan
Ansietas berhubungan dengan rasa takut mati karena perdarahan, kehilangan beberapa
aspek kemandirian karena penyakit kronis yang diderita
Hasil yang diharapkan :
a. Klien menunjukan rileks dan melaporkan penurunan ansietas sampai tingkat dapat
ditangani.
b. Klien menyatakan kesadaran ansietas dan cara sehat menerimanya.
No
Intervensi Keperawatan
Rasional
.
1.
Mandiri
Catat petunjuk perilaku, misalnya gelisah, peka misalnya pasien merasa tidak
rangsang, kurang kontak mata, perilaku menarik dapat terkontrol di rmah, kerja
2.
perhatian.
atau
18
masalah.
Stress
dapat
penyebab stress.
Akui bahwa masalah ansietas dan masalah mirip Validasi bahwa perasaan normal
dengan diekspresikan orang lain, tingkatkan dapat
4.
membantu
menurunkan
klien
dalam
keperawatan
baring, pembatasan masukan per oral dan memberikan rasa control dan
5.
6.
Dorong
klien
atau
orang
terdekat
menyakan perhatian.
7.
membantu
klien
untuk
meringankan
energi
untuk
dikuatkan
pada
penerimaan
klien.
Bantu klien belajar mekanisme koping paru, Belajar cara untuk mengatasi
misalnya
teknik
mengatasi
stress
keterampilan berorganisasi.
9.
Kolaborasi
Berikan obat sesuai indikasi sedatif, misalnya Dapat
barbiturat, agen antiansientas dan diazepam.
10.
digunakan
menurunkan
ansietas
memudahkan istirahat.
Rujuk pada perawat spesialis, pelayanan sosial Dibutuhkan
bantuan
atau penaasehat agama.
meningkatkan
eksaserbasi.
7. Diagnosa keperawatan
Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan minimnya informasi
Hasil yang diharapkan :
19
kontrol
untuk
dan
untuk
dan
a. Ekspresi wajah klien menunjukan rileks, perasaan gugup dan cemas berkurang.
b. Menunjukan pemahaman tentang tentang rencana terapeutik.
No
Intervensi Keperawatan
.
1.
Gunakan pendekatan yang tenang dan dapat Penjelasan yang jelas dan sederhana
menenangkan
klien
Rasional
sewktu
2.
persepsi klien.
Jelaskan mengenai gambaran singkat tes, Penjelasan
tentang
apa
mengurangi
setelah tes.
membantu
yang
ansietas.
8. Diagnosa keperawatan
Gangguan konsep diri berhubungan dengan kehilangan yang nyata akan yang dirasakan
Hasil yang diharapkan :
a. Peningkatan partisipasi klien dalam perawtan dirinya.
b. Perubahan gaya hidup.
No
Intervensi Keperwatan
.
1.
Biarkan
klien
Rasional
dan
oreng
terdekat Mempermudah
mengungkapkan perasaannya.
masalah
dan
perawat
2.
penyelesaian
memungkinkan
mengidentifikasi
fase
kesedihan klien.
Hindari pemberian informasi yang bertubi-tubi Interaksi terapi dapat membantu
selama fase awal proses berduka. Jawab perubahan
individu
untuk
menunjukan
kesiapan
mempelajari
perawatan diri.
Beri nomor telepon orang yang bias dimintai Sistem
pendukung
kuat
dapat
dukungan oleh klien dan kleuarga saat pulang. seperti keluarga penting untuk
Ingatkan klien untuk melihat dirinya dengan kemajuan
pandangan yang berbeda. Katakana pada klien berduka.
20
klien
dalam
proses
bahwa
4.
ia
menerima
keadaannya
sekarang.
Berikan penghargaan untuk mengekspresikan Dukungan
perasaan.
5.
harus
Arahkan
klien
pada
komunitas
penting
menyatukan
tentang kemajuan klien. Libatkan keluarga kembali citra tubuh yang baru.
6.
7.
daripada situasi
Gunakan
yang
istilah
tidak perasaan.
tantangan
profesional
mungkin
diri
misalnya
jangka
dari
panjang,
sosial
dan
regresi.
Diagnosa banding yang harus diperhatikan :
1. Kekurangan vitamin K
2. Fibrinolisis sekunder
3. Hemofili
3.4 EVALUASI
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan, dimana evaluasi
adalah kegiatan yang dilakukan dengan terus menerus dengan melibatkan pasien, perawat dan
anggotat im kesehatan lainnya
Tujuan evaluasi ini adalah untuk menilai apakah tujuan dalam rencana keperawatan
tercapi dengan baik atau tidak dan untuk melakukan pengkajian ulang.
21
ditangani.
10. Klien menyatakan kesadaran ansietas dan cara sehat menerimanya.
11. Ekspresi wajah klien menunjukan rileks, perasaan gugup dan cemas berkurang.
12. Menunjukan pemahaman tentang tentang rencana terapeutik.
13. Klien ikut berpartisipasi dalam perawatan dirinya.
14. Gaya hidup klien berubah.
22
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
DIC adalah suatu sindrom ditandai dengan adanya perdarahan atau kelainan
pembekuan darah sehingga terjadi gangguan aliran darah yang menyebabkan kerusakan pada
berbagai organ. Diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan salah satunya adalah resiko
tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan hemoragi sekunder. Dari
diagnosa tersebut, intervensi keperawatan yang dapat dilakukan adalah memantau hasil
pemeriksaan koagulasi, tanda-tanda vital, dan perubahan sisi baru dan potensial.
4.2 Saran
Setelah membaca makalah ini, diharapkan mahasiswa dapat mengaplikasikan asuhan
keperawatan pada pasien dengan DIC secara tepat sehingga dapat mencegah terjadinya
kegawatdaruratan dan komplikasi yang tidak diinginkan.
23