Anda di halaman 1dari 40

1.

DESKRIPSI LIMBAH
1.1.

Data Sampel Limbah

Limbah yang digunakan pada praktikum ini adalah limbah yang berbentuk cair. Limbah
cair tersebut didapatkan dari warung makan Gading Jaya yang terletak di Jl. Semeru
Raya.Warung makan tersebut merupakan warung makan chineese food yang
menghasilkan limbah dari pembilasan peralatan memasak. Jumlah limbah yang
dihasilkan setiap harinya adalah 25 37,5 liter. Sampel limbah tersebut diambil pada
hari Minggu, 20 September 2015 pada pukul 18.45 WIB dan pada hari Selasa, 22
September 2015 pada pukul 13.15 WIB. Sampel limbah tersebut memiliki karakteristik
bewarna kuning kecoklatan, sangat berbau, sangat keruh sekali dan temperatur sebesar
46oC.
1.2.

Karakteristik Limbah

Pencemaran yang berasal dari limbah domestik sebenarnya tidak hanya berasal dari
pemukiman saja, namun limbah rumah makan juga turut memberikan dampak
pencemaran yang cukup besar dikarenakan semakin menjamurnya rumah makan di
lingkungan kita (Resti & Alia, 2013). Semakin mengingkatnya rumah makan atau
restoran yang berkembang, maka air buangan limbah domestik juga akan semakin
banyak. Limbah rumah makan ini memiliki bau yang tidak sedap oleh karena tingginya
kadar organik pada limbah tersebut (Zoraya & Fitri, 2015).

Sumber limbah dapat

diperoleh melalui proses pencucian, pemotongan, blanching, pasteurisasi, pengemasan,


pembersihan peralatan pengolahan dan pendinginan produk akhir (Jenie & Rahayu,
1993). Limbah dari rumah makan / restaurant didapatkan melalui proses pencucian
peralatan makanan, air buangan dan sisa makanan, seperti lemak, nasi, sayuran dan lainlain.
Penangan limbah terutama limbah yang masih memiliki banyak senyawa beracun,
bakteri, virus, protozoa dan zat zat renik sangat penting untuk dilakukan sebelum
dilepaskan ke alam

(Mahida, 1992). Limbah domestik perlu mengalami proses

pengolahan terlebih dahulu sehingga memiliki parameter BOD, TSS, pH, minyak dan
lemak yang sesuai dengan standar baku mutu yang berlaku (Filiazati, 2013 dalam

Zoraya & Fitri, 2015). Untuk memilih proses penanganan limbah yang tepat diperlukan
pengamatan karakteristik fisik, kimia dan biologi dari limbah (Gintings, 1992).
1.2.1. Karakteristik Fisikawi
Sifat fisik limbah cair meliputi adanya bau, warna, suhu dan kekeruhan (Utomo, 1998).
1.2.1.1. Bau
Pengukuran bau dapat dilakukan dengan evaluasi sensori dengan indera pembau atau
GC (Gas Chromatography) yang berfungsi untuk menganalisa senyawa penyebab bau
(Suhardi, 1991). Bau-bauan dari limbah disebabkan karena limbah cair dari Chinese
restaurant yang digunakan dalam praktikum ini merupakan sisa-sisa dari proses
produksi dan pencucian (Gintings, 1992). Bau yang tidak sedap itu disebabkan karena
adanya campuran nitrogen, sulfur dan fosfor juga berasal dari pembusukan protein dan
lain-lain bahan organik yang terdapat dalam air limbah, bau yang paling menyengat
berasal dari hydrogen sulfide (Mahida, 1992). Kuat tidaknya bau yang dihasilkan limbah
tergantung pada jenis dan banyaknya gas yang ditimbulkan (Gintings, 1992). Bau klorin
pada air limbah setelah treatment berasal dari penggunakan Ca(OH)2 yang digunakan
untuk menetralkan air limbah dan juga dapat digunakan untuk mengurangi bau
menyenga dari limbah cair Chinese restaurant (Jenie & Rahayu, 1993).
1.2.1.2. Warna
Penentuan limbah cair dapat menggunakan komparator warna dan skala standar
(Sastrawijaya, 1991). Warna limbah cair dapat timbul akibat suatu bahan terlarut atau
tersuspensi dalam air, di samping adanya bahan pewarna tertentu yang kemungkinan
mengandung logam berat (Gintings, 1992). Makin pekat warna maka diandaikan bahwa
limbah yang kita ambil makin kotor (Mahida, 1992). Warna air juga mempunyai
hubungan dengan kualitas air (Sastrawijaya, 1991). Standar warna limbah yang baru
terbentuk selama 6 jam biasanya berwarna coklat muda, berbeda dengan limbah yang
sedang mengalami pembusukan mempunyai warna abu-abu tua dan limbah yang sudah
mengalami pembusukan oleh bakteri anaerob memiliki warna hitam (Ibnu, 1997).
Orang awam seringkali menilai keadaan air limbah atau air selokan berdasarkan
warnanya, hal ini dengan sendirinya tidak dapat menunjukkan secara tegas bahaya yang

dikandungnya (Mahida, 1992). Selain itu, warna dari limbah cair ini tidak dapat
menentukan bahaya atau tidaknya suatu limbah cair (Jenie & Rahayu, 1993).
1.2.1.3. Suhu
Pengamatan suhu berguna untuk melihat kecenderungan aktivitas-aktivitas kimiawi dan
biologis, pengentalan, tekanan uap, tegangan permukaan dan nilai-nilai penjernihan dari
benda padat dan gas (Mahida, 1992). Suhu limbah mempengaruhi kecepatan reaksi
kimia serta tata kehidupan dalam air, misalnya reaksi pembusukan dan tingkatan
oksidasi zat organik yang jauh lebih besar terjadi pada suhu yang tinggi (Gintings,
1992). Suhu pada air limbah biasanya lebih tinggi dari suhu air bersih (Ibnu, 1997).
Suhu yang terlalu tinggi pada limbah yang dihasilkan harus diwaspadai karena dapat
mengancam kelangsungan hidup biota yang ada di badan air, dan dapat memacu
perkembangan mikrobia yang tidak menguntungkan (Sastrawijaya, 1991). Suhu limbah
mempengaruhi kecepatan reaksi kimia serta tata kehidupan dalam air, misalnya reaksi
pembusukan dan tingkatan oksidasi zat organik yang jauh lebih besar terjadi pada suhu
yang tinggi (Gintings, 1992). Selama pengolahan ada beberapa treatment seperti filtrasi,
adsorbsi, dan koagulasi yang membebaskan panas pada air limbah sehingga suhu
limbah dapat turun (Sastrawijaya, 1991).
1.2.1.4. Kekeruhan
Kekeruhan adalah ukuran yang menggunakan efek cahaya sebagai dasar untuk
mengukur keadaan air sungai, kekeruhan ini disebabkan oleh adanya benda tercampur
atau benda koloid di dalam air (Sugiharto, 1987). Dengan melihat tingkat kekeruhan
limbah cair akan dapat mengetahui banyak atau tidaknya padatan organik atau
anorganik yang berada dalam limbah cair tersebut (Jenie & Rahayu, 1993). Standard
dari karakteristik fisik limbah pada warna yaitu kekeruhan (Suhardi, 1991). Kekeruhan
mengindikasikan adanya bahan yang terapung/adanya zat tertentu (jasad renik, bahan
organik, lumpur tanah liat, dan benda halus lain) yang terurai (Gintings, 1992). Semakin
keruh air limbah maka semakin banyak jumlah bahan tersuspensi yang terkandung di
dalamnya (Jenie & Rahayu, 1993). Semakin keruh suatu limbah menunjukkan semakin
kuat limbah tersebut (Mahida, 1981).

Kekeruhan dapat diukur dengan menggunakan turbidimetri dan dinyatakan dalam


satuan NTU (Suhardi, 1991). Uji turbidimetri dapat dilakukan dengan cara melakukan
koagulasi terlebih dahulu. Untuk mempercepat proses koagulasi dalam air limbah maka
dilakukan pengadukan dengan jar testing. Jar testing dilakukan dalam dua tahap yaitu
tahap pertama pengadukan cepat. Pada tahap pengadukan kedua dimaksudkan untuk
proses koagulasi dengan kecepatan rendah untuk menghasilkan kesatuan dari koloidkoloid yang tidak stabil (Kusnaedi, 1998).
1.2.1.5. Analisa Padatan
Analisa padatan dibagi menjadi 3 jenis, yaitu Total Solid (TS), Total Suspended Solid
(TSS), dan Total Dissolved Solid (TDS).
1.2.1.5.1. Analisa Total Solid (TS)
Total Solid merupakan suatu padatan yang tersuspensi secara total (Jenie & Rahayu,
1993). Definisi lain mengatakan bahwa total solid merupakan padatan yang tertinggal
setelah proses evaporasi dan pengeringan sampel di dalam oven (Hammer & Hammer,
1996). Padatan total ini meliputi padatan tersuspensi total (TSS) yaitu padatan yang
tertahan pada filter, dan padatan terlarut total (TDS) yaitu padatan yang dapat melewati
filter ukuran 2,0 m atau lebih kecil dari ukuran pori-pori filter. Ketiga analisa padatan
tersebut dilakukan sebelum dan sesudah dilakukannya proses treatment pada limbah
(Sugiharto, 1987).
1.2.1.5.2. Analisa Total Suspended Solid (TSS)
Total Suspended Solid (TSS) merupakan residu yang terdapat di dalam limbah yang
tidak lolos saringan dan untuk mengetahuinya dilakukan penyaring sejumlah air limbah
melalui filter membran. Berat keringnya diperoleh setelah satu jam pada suhu sekitar
103-1050C (Jenie & Rahayu, 1993). Banyaknya padatan terlarut dan tersuspensi
mempengaruhi kejernihan dan warna air limbah. Tingkat kejernihan berhubungan
dengan produktivitas limbah, dimana tingkat kejernihan yang rendah menunjukkan
produktivitas yang tinggi. Jika konsentrasi bahan tersuspensi tinggi, maka cahaya tidak
dapat menembus air limbah tersebut. Seain itu warna air juga berhubungan dengan
kualitas air. Padatan tersuspensi ini menjadi parameter yang digunakan dalam

mendefinisikan limbah cair pada industri (Hammer & Hammer, 1996). Padatan yang
tersuspensi dalam air limbah umumnya terdiri atas fitoplankton, zooplankton, lumpur,
kotoran hewan, kotoran manusia, sisa tanaman dan hewan, serta limbah industri
(Sastrawijaya, 1991).
1.2.1.5.3. Analisa Total Dissolved Solid (TDS)
Total dissolved solid (TDS) merupakan suatu padatan yang terlarut di dalam benda cair.
Pada umumnya padatan ini sulit dipisahkan jika hanya dilakukan dengan penyaringan
biasa. Dalam praktikum ini, TDS yang ada pada limbah dihitung dengan cara
mengurangi hasil perhitungan TS (Total Solid) dengan TSS (Total Suspended Solid)
(Hammer & Hammer, 1996). Menurut Sugiharto (1987), mengatakan bahwa nilai TDS
sesudah proses treatment lebih rendah dibandingkan dengan nilai TDS sebelum melalui
proses treatment. Proses treatment tersebut akan menggumpalkan padatan melalui
karbon aktif yang ditambahkan serta bahan organik yang terurai semakin banyak karena
adanya proses aerasi.
1.2.2. Karakteristik Kimiawi
1.2.2.1. pH
pH dapat diukur dengan menggunakan pH meter (Sugiharto, 1987). Prinsip pengukuran
keasaman dengan pH meter ialah ketika pH meter dihubungkan dengan sumber tenaga,
maka akan terdapat rantau tertutup sehinggadapat diukur besarnya kadar ion H yang
dapat diketahui yaitu dari goyangan jarum yang terdapat pada alat penera
(potensiometer). pH meter ini selalin terdiri dari ptensiometer juga tersusun atas dua
buah elektroda (Suhardi, 1991).
Nilai asam basa pada limbah cair dipengaruhi oleh sejumlah ion hydrogen dan ion
hidroksil yang larut dalam air (Hammer & Hammer, 1996). suatu larutan terdapat ion
hidrogen yang berada dalam keadaan bebas serta ion hidroksil. Ketika salah satu
diantara ion hidrogen atau ion hidroksil berlebihmaka akan menyebabkan larutan
menjadi asam atau basa (Mahida, 1981). Limbah cair yang bersifat basa diduga
mengandung bahan anorganik seperti senyawa karbonat, bikarbonat, dan hidroksida.
Sedangkan limbah dengan sifat asam mengandung asam klorida, asam sulfat maupun
senyawa lainnya (Rahayu, 2009). penambahan senyawa asam atau basa ke dalam

limbah cair sehingga pH limbah mendekati 7. Tujuan netralisasi ini ialah untuk
membuat limbah yang akan dibuang ke perairan menjadi netral sehingga tidak merusak
lingkungan (Gintings, 1992).
1.2.2.2. Analisa Kandungan Chemical Oxygen Demand (COD)
Chemical Oxygen Demand (COD) merupakan banyaknya oksigen dalam ppm atau
mm/L yang dibutuhkan dalam kondisi khusus untuk menguraikan benda organik secara
kimia (Gintings, 1992). COD digunakan juga sebagai ukuran kekuatan pencemaran air
limbah domestik maupun air limbah industri (Suhardi, 1991).
Analisa COD dilakukan dengan limbah yang telah diencerkan ditambahkan larutan
kalium dikromat standar dan HgSO4 dalam erlenmeyer (Hammer & Hammer, 1996).
Penambahan HgSO4 dan K2Cr2O7 dapat menyebabkan terjadi reaksi oksidasi-reduksi
yang membebaskan oksigen. Reaksi redoks ini terjadi karena kalium bikromat
merupakan senyawa yang bersifat oksidator kuat dan terjadi pada saat kondisi yang
asam (Suhardi, 1991). bahwa proses pemanasan dapat meningkatkan kecepatan suatu
reaksi kimia karena suhu tinggi akan membesarkan energi kinetik masing-masing
molekul tersebut akan membesar maka reaksi akan cepat terbentuk (Suhardi, 1991).
Penambahan KI memiliki tujuan agar jumlah iodida bebeas dapat dititrasi dengan
Na2S2O3. Proses titrasi akan dihentikan dengan ditunjukannya larutan yang berubah
menjadi warna biru bening (Day, 1992).
Nilai COD selalu lebih tinggi daripada nilai BOD yang disebabkan oleh banyak faktor,
meliputi:
Bahan kimia yang tahan terhadap oksidasi biokimia tetapi tidak terhadap oksidasi kimia,
misalnya lignin
Bahan kimia yang dapat dioksidasi secara kimia dan peka terhadap oksidasi biokimia
tetapi tidak dalam uji BOD 5 hari, seperti selulosa, lemak berantai panjang atau sel
sel mikroba
Adanya bahan toksik dalam limbah yang akan mengganggu uji BOD tetapi tidak uji
COD(Jenie & Rahayu, 1993).
1.2.2.3.Analisa Kandungan Biochemical Oxygen Demand (BOD)

Biological Oxygen Demand (BOD) merupakan jumlah oksigen yang digunakan oleh
mikroorganisme dalam oksidasi aerob bahan-bahan organik dalam sampel libah pada
suhu 19-21C (Hammer & Hammer, 1996). Pengukuran BOD berdasarkan pada
kebutuhan oksigen yang terlarut dalam limbah cair yang digunakan untuk menguraikan
senyawa organik dengan bantuan mikroorganisme pada kondisi tertentu (Gintings,
1987).Uji BOD5 dilakukan dengan cara mengencerkan suatu contoh dengan kadar
oksigen yang benyak lalu ditemukan jumlah oksigen terlarutnya. Oleh karena itu
ketersediaan oksigen merupakan hal yang penting dalam menentukan besarnya nilai
BOD suatu jenis limbah (Sastrawijaya, 1991)
Beberapa jenis ganguan yang terjadi pada analisa BOD antara lain nitrifikasi serta
keluarnya oksigen dari botol. Semakin banyak proses nitrifikasi maka analisa BOD
semakin tidak valid. Pada suhu yang tinggi seperti didaerah tropis dapat meningkatkan
proses nitrifikasi sehingga botol tidak boleh terkena sinar matahari (Alaerts & Santika,
1984). Hasil BOD3 yang lebih kecil dari BOD0 dapat disebabkan oleh karena matinya
sebagian bakeri pengurai (Fardiaz, 1992).
1.2.2.4. Usulan Treatment
Berikut ini merupakan usulan treatment yang dapat digunakan untuk mengolah limbah
pangan :
1. Penanganan Limbah Pre-Treatment
Tujuan dari pre-treatment ini adalah untuk mensortir kerikil, lumpur, menghilangkan zat
padat, dan memisahkan lemak (Sugiharto, 1987). Proses penyaringan dilakukan untuk
memisahkan filtrate dengan padatan besar sepert kerikil, sisik, dan kotoran-kotoran
lainnya Kimball (1992).
2. Penanganan Primay Treatments
Terdapat dua metode utama dalam primary treatment yaitu pengolahan cara fisika dan
pengolahan dengan cara kimia. Pengolahan secara fisika dapat dilakukan dengan
melalui pengendapan, sedangkan pengolahan secara kimia dapat dilakukan dengan cara
mengendapkan bahan padatan dengan penambahan zat kimia yang dinamakan koagulan.
Reaksi antara senyawa kimia dengan bahan pengendap akan mengakibatkan bahan

butiran bertambah besar sehingga berat jenisnya lebih besar daripada air (Gintings,
1992).

3. Penanganan Secondary Treatment


Dalam penanganan ini dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi atau menghilangkan
bahan-bahan organik dengan bantuan mikroorganisme yang ada didalamnya atau
melalui biokimia oksidasi. Pada proses ini sangat dipengaruhi oleh banyak faktor antara
lain jumlah air limbah, tingkat kotoran, jenis kotoran yang ada dan sebagainya
(Sugiharto, 1987). Proses aerasi ini adalah suatu usaha penambahan konsentrasi oksigen
yang terkandung dalam air limbah (Endahwati & Suprihatin, 2009). Proses aerasi juga
dapat menghilangkan atau meminimalkan aroma busuk dan tidak enak pada air limbah
(Sugiharto, 1987).
4. Penanganan Tertiary Treatment
Pengolahan ketiga (Tertiary Treatment) merupakan kelanjutan dari pengolahanpengolahan terdahulu yang dilaukan melalui proses penyarapan (adsorption) dengan
karbon aktif. Karena luas permukaan yang besar inilah karbon aktif mempunyai daya
serap yang baik dan dapat mengikat benda-benda organik serta partikel-partikel lain
dengan baik. Proses pengadukan mempunyai tujuan untuk menghomogenkan larutan
(Silveira et al, 2007).
Pengolahan tambahan
1. Desinfeksi
Proses pengolahan dengan klorinasi merupakan salah satu proses yang cukup efektif
bila digunakan dalam mengatasi limbah cair karena banyak digunakan untuk mengatasi
bau yang timbul dari limbah dengan mereduksi konsentrasi bakteri. Dengan klorinasi
maka kadar BOD dapat menurun (Jenie & Rahayu, 1993). pengolahan tambahan dapat
dilakukan melalui proses desinfeksi yaitu proses penting dalam pengendalian penyakit
karena tujuannya adalah perusakan agen-agen atau bakteri patogen. Mekanisme kerja
dari desinfeksi adalah dengan merusak membran sel atau protein sel atau gen yang khas
pada bakteri lalu berakibat kematian atau mutasi (Volk & Wheeler,1993).
2. Netralisasi

Langkah selanjutnya yang dilakukan setelah desinfeksi adalah proses netralisasi dengan
pengaturan pH. Apabila diketahui basa maka dinetralkan dengan HCL 0,1 %, sedangkan
jika dikatehui asam maka dinetralkan dengan NaOH 0,1 %. Setelah itu air limbah
diukur pHnya hingga mendekati netral yaitu sebesar 7.
Limbah cair yang berasal dari rumah ini dapat diatasi dengan penggunaan pasir silika
sebagai bahan utama pembuatan membrane nanofiltrasi menjadi alternatif. Penggunaan
membran nanofiltrasi juga gapat diaplikasikan untuk mengelola limbah cair tumah
makan (Resti & Alia, 2013). Cara lain yang dapat dilakukan untuk mengolah limbah
rumah makan adalah pengolahan proses biofilter aerobik. Keunggulan dari proses ini
adalah mudah dioperasikan, menghasilkan lumpur yang sedikit dan tahan terhadap
fluktuasi debit dan konsentrasi air lumbah. Batu kerikil merupakan media yang
digunakan pada biofilter aerobik ini (Zoraya & Fitri, 2015).

2. MATERI DAN METODE TREATMENT


2.1. Materi
2.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah pH meter, neraca analitik, Jar tester,
oven, desikator, hot plate, tabung reaksi, gelas piala, pipet volume, gelas ukur, cawan
porselen, pipet tetes, kertas saring, turbidimeter, corong, erlenmeyer, penjepit,
stopwatch (alat ukur waktu), labu takar, penngaduk, buret, statif, botol coklat, kain
saring, dan aerator.
2.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah sampel limbah chineese food, Bahan
yang digunakan adalah limbah industri tahu yang berasal dari seluruh proses produksi,
aquades, (CaOH)2 atau FeCl3, HgSO4, K2Cr2O7, KI 10%, indikator amilum, Na2S2O3 0,1
N, Na2S2O3 0,01 N, H2SO4 pekat, MnSO4, MgSO4, CaCl2 dan buffer phosphate

10

2.2. Metode
2.2.1. Karakteristik Fisikawi
2.2.1.1. Bau
Bau dari sampel limbah ditentukan dengan menggunakan indera penciuman praktikan
yang kemudian dikategorikan. Kategori dari bau limbah terdiri dari 5 jenis, yaitu tidak
bau/ netral (+), agak berbau (++), berbau (+++), sangat berbau (++++) dan sangat
berbau sekali (+++++).
2.2.1.2. Warna
Warna dari sampel limbah ditentukan secara visual menggunakan indera penglihatan
praktikan yang kemudian dikategorikan. Kategori dari warna limbah terdiri dari 5 jenis,
yaitu bening (+), kuning (++), kuning kecoklatan (+++), coklat (++++) dan coklat
kehitaman (+++++).

2.2.1.3. Kekeruhan
Kekeruhan dari sampel limbah ditentukan secara visual menggunakan indera
penglihatan praktikan yang kemudian dikategorikan. Kategori dari kekeruan limbah
terdiri dari 5 jenis, yaitu tidak keruh (+), agak keruh (++), keruh (+++), sangat keruh (+
+++) dan sangat keruh sekali (+++++).
2.2.1.4. Suhu/ Temperatur
Temperatur dari sampel limbah diukur menggunakan termometer. Pengukuran
dilakukan pada saat pengambilan limbah. Pengulangan pengukuran temperatur dari
limbah dilakukan sebanyak 2 kali. Hasil yang didapatkan dirata-rata sehingga
didapatkan rata-rata temperatur dari sampel limbah.
2.2.1.5. Analisa Padatan
2.2.1.5.1. Uji Turbidimetri
Pertama-tama dilakukan pengukuran nilai pH pada sampel limbah. Sampel limbah yang
memiliki karakteristik asam deiberikan penambahan senyawa Ca(OH) 2, sedangkan
sampel limbah yang memiliki karakteristik basa diberikan penambahan senyawa FeCl 3.

11

Kemudian sampel limbah tersebut ditambahkan senyawa koagulan sesuai dengan


karakteristik dari limbah masng-masing kelompok. Kelompok A3 ditambahakn senyawa
Ca(OH)2 sebanyak 30.000 ppm atau sebanyak 6 gram. Setelah itu dilakukan jar testing
dengan menggunakan kecepatan 100 rpm selama 1 menit yang kemudian dilanjutkan
dengan kecepatan 25 rpm selama 15 menit. Setelah proses jar testing selesai, kemudian
larutan tersebut didiamkan selama 30 menit. Kemudian filtrat yang terdapat pada bagian
atas larutan diambil dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Setelah itu dilakukan
pengujian turbidimetri. Nilai turbidimetri yang didapatkan kemudian dicatat dan
dibentuk grafiknya dengan kurva x sebagai konsentrasi senyawa yang ditambahkan
(ppm) dan kurva y sebagai nilai turbidimetri yang didapatkan.
2.2.1.5.2. Analisa Total Solid (TS)
Sampel limbah sebanyak 2 ml diambil dan dituang ke cawan porselen yang telah
dikeringkan dan diketahui beratnya. Cawan porselen yang berisi sampel tersebut
kemudian dioven selama 24 jam pada suhu 105 oC. Setelah prose pengovenan selesai,
dilakukan pendinginan pada desikator selam 15 menit. Kemudian dilakukan
penimbangan cawan poselen yang berisi sampel. Kandungan Total Solid dihitung
menggunakan rumus :

( B A) x 1000
ml sampel
TS =
Keterangan : A = berat cawan tanpa air limbah (mg)
B = berat cawan setelah pengeringan sampel air limbah (mg)
TS = total padatan (ppm)
2.2.1.5.3. Analisa Total Suspended Solid (TSS)
Pertama-tama kertas saring dan cawan porselen kosong dioven pada suhu 105 oC selama
24 jam. Setelah itu dilakukan pendinginan di dalam desikator sela 15 menit dan
dilakukan penimbangan untuk mengetahui berat awal dari kertas saring dan cawan
porselen. Kemudian sampel limbah cair sebnayk 50 ml disaring menggunakan kertas
saring yang telah di oven dan diketahui beratnya. Setelah itu, kertas saring yang
digunakan diletakkan diatas cawan porselen dan dioven selama 24 jam pada suhu

12

105oC. Setelah prose pengovenan selesai, dilakukan pendinginan pada desikator selama
15 menit. Cawan porselin dan kertas saring yang sudah dingin ditimbang. Kandungan
Total Suspended Solid dihitung menggunakan rumus :

( B A) x 1000
ml sampel
TS =
Keterangan : A = berat cawan tanpa air limbah (mg)
B = berat cawan setelah pengeringan sampel air limbah (mg)
TS = total padatan (ppm)
2.2.1.5.4. Analisa Total Dissolved Solid (TDS)
Total Dissolve Solid merupakan selisih antara Total Solid (TS) dengan Total Suspenden
Solid (TSS) sehingga nilai Total Dissolve Solid (TDS) dapat diperoleh dengan
menggunakan rumus :
TDS = TS TSS
Keterangan: TDS = total padatan terlarut (ppm)
TS

= total padatan (ppm)

TSS = total padatan tersuspensi (ppm)


2.2.2. Karakteristik Kimiawi
2.2.2.1. Pengukuran pH
Pertama-tama pH meter dihidupkan dan dibiarkan beberapa menit sebelum dipakai.
Kemudian elektroda pada pH meter dibilas dengan menggunakan aquades beberpa kali
lalu dikeringkan dengan menggunakan tissue. Setelah itu elektroda tersebut dimasukkan
kedalam sampel limbah cair. Angka yang terbaca merupakan pH dari limbah.
2.2.2.2.Analisa Kandungan COD
Pertama-tama limbah sebanyak 10 ml diambil dan diencerkan menggunakan aquades
hingga mencapai 100 ml. Kemudian 10 ml limbah yang telah diencerkan diambil dan
ditambahkan dengan 1 ml HgSO4 dan 20 ml K2Cr2O7. Larutan tersebut kemudian
dipanaskan selama 10 menit pada suhu 100oC. Larutan yang telah dipanaskan diambil
sebanyak 10 ml dan ditambahkan dengan 1,5 ml KI 10% dan 2 ml amilum. Setelah itu
larutan tersebut dititrasi dengan menggunakan Na 2S2O3 0,1 N hingga warnanya bewarna

13

biru bening. Untuk pembuatan blanko dilakukan prosedur yang sama, akan tetapi tanpa
melewati tahap pemanasan. Larutan Na2S2O3 yang digunakan dicatat. Nilai COD dapat
dihitung dengan menggunakan rumus :

(blanko sampel ) N Na2 S 2 O3 8000 pengenceran


volume sampel (ml )
COD (ppm) =

2.2.2.3.Analisa Kandungan BOD


Pertama-tama dilakukan penyiapan air aerasi. Air aerasi dibuat dengan mencampurkan 1
liter air aquades dengan 1 ml buffer phosphat, 1 ml larutan MgSO4, 1 ml CaCl2, dan 1
ml FeCl3. Larutan tersebut kemudian diaerasi dengan aerator selama semalam.
2.2.2.3.1. Uji BOD hari ke-0
Sampel limbah sebanyak 100 ml diambil dan diencerkan sampai 1000 ml dengan
menggunakan air aerasi. Kemudian dilakukan pemisahan, 600 ml limbah yang telah
diencerkan disimpan dalam botol coklat dan diinkubasi selama 3 hari pada suhu 20 oC,
sedangkan 400 ml diambil untuk pengujian BOD hari ke-0. Setelah itu dilakukan
pengujian BOD hari ke-0 dengan mencampurkan 400 ml limbah dengan 3 ml KI dan 3
ml MnSO4. Larutan tersebut kemudian didiamkan selama 15 menit. Kemudian
dilakukan penyaringan dengan menggunakan kain saring untuk memisahkan endapan
yang terbentuk. Larutan yang telah disaring tersebut ditambah dengan 3 ml H 2SO4 pekat
diruang asam. Setelah itu diambil larutan sebanyak 20 ml dan dititrasi menggunakan
larutan Na2S2O3 0,01 N hingga didapatkan warna kuning pucat. Kemudian larutan
tersebut ditambahkan 0,2 ml atau 8 tetes amilum dan segera dititrasi kembali
menggunakan larutan Na2S2O3 0,01 N hingga bewarna biru bening. Banyaknya larutan
Na2S2O3 0,01 N yang digunakan dalam titrasi I dan II dicatat. Pengulangan dilakukan
sebanyak 2 kali. Nilai BOD dapat dihitung menggunakan rumus :
BOD0 = (Volume titrasi I Volume titrasi II) x faktor pengenceran
2.2.2.3.2. Uji BOD hari ke-3
Sampel limbah yang disimpan dalam botol coklat diambil sebanyak 400 ml untuk
pengujian BOD hari ke -3. Limbah tersebut kemudian ditambahkan dengan 3 ml KI dan

14

3 ml MnSO4. Larutan tersebut kemudian didiamkan selama 15 menit. Kemudian


dilakukan penyaringan dengan menggunakan kain saring untuk memisahkan endapan
yang terbentuk. Larutan yang telah disaring tersebut ditambah dengan 3 ml H 2SO4 pekat
diruang asam. Setelah itu diambil larutan sebanyak 20 ml dan dititrasi menggunakan
larutan Na2S2O3 0,01 N hingga didapatkan warna kuning pucat. Kemudian larutan
tersebut ditambahkan 0,2 ml atau 8 tetes amilum dan segera dititrasi kembali
menggunakan larutan Na2S2O3 0,01 N hingga bewarna biru bening. Banyaknya larutan
Na2S2O3 0,01 N yang digunakan dalam titrasi I dan II dicatat. Pengulangan dilakukan
sebanyak 2 kali. Nilai BOD dapat dihitung menggunakan rumus :
BOD0 = (Volume titrasi I Volume titrasi II) x faktor pengenceran

3. HASIL PENGAMATAN
3.1. Karakteristik Fisikawi
3.1.1. Bau
: ++++
3.1.2. Warna
: +++
3.1.3. Kekeruhan
: +++++
3.1.4. Suhu/ Temperatur
: 46oC
Hasil pengukuran suhu/ temperatur dari limbah dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Suhu/ Temperatur Limbah
Sampel
Ulangan 1
Ulangan 2
Rata-rata

Suhu (C0)
47oC
45oC
46oC

Keterangan :
Bau
+
: tidak bau/ netral
++
: agak berbau
+++
: berbau
++++ : sangat berbau
+++++ : sangat berbau sekali

Warna
+
++
+++
++++
+++++

: bening
: kuning
: kuning kecoklatan
: coklat
: coklat kehitaman

Kekeruhan
+
: tidak keruh
++
: agak keruh
+++
: keruh
++++ : sangat keruh
+++++ : sangat keruh sekali

Tabel 1. menunjukkan bahwa rata-rata suhu/ temperatur limbah pada saat pengambilan
sampel limbah adalah 46oC. Uji fisik lain yang dilakukan adalah pengujian terhadap
warna, bau dan kekeruhan secara visual. Limbah chineese food ini memiliki beberapa

15

karakteristik fisik yaitu bewarna kuning kecoklatan, sangat berbau dan sangat keruh
sekali.
3.1.5. Analisa Padatan
3.1.5.1. Uji Turbidimetri
Hasil pengukuran kekeruhan menggunakan turbidimetri dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kekeruhan Limbah


Konsentrasi (ppm)
10.000
20.000
30.000
40.000
50.000

Turbidimetri (NTU)
479
0
613,333
120
527

Tabel 2. menjelaskan konsentrasi koagulan yang berbeda-beda dan nilai turbidimetri


dari limbah. Hubungan antara konsentrasi koagulan dengan nilai turbidimetri sangat
fluktuatif. Nilai turbidimetri terendah yaitu 0 NTU terdapat pada penambahan
konsentrasi koagulan sebanyak 20.000 ppm. Nilai turbidimetri tertinggi yaitu 613,333
NTU terdapat pada penambahan konsentrasi koagulan sebanyak 30.000 ppm.

16

Grafik Jar Testing


700
600
479
500

526.67

613.33

400
Kekeruhan (NTU) 300
200
100

120

0
10000

20000

30000

40000

50000

Konsentrasi (ppm)

Grafik1. Grafik Hubungan antara Konsentrasi Koagulan dengan Tingkat Kekeruhan

Grafik 1. diatas menunjukkan hubungan antara konsentrasi koagulan dengan tingkat


kekeruhan dari limbah. Hubungan antara konsentrasi koagulan dengan kekeruhan tidak
dapat dilihat oleh karena nilai turbidimetri atau nilai kekeruhan yang didapatkan sangat
berfluktuatif. Nilai kekeruhan terendah adalah 0 NTU dengan penambahan konsentrasi
koagulan sebanyak 20.000 ppm, sedangkan nilai kekeruhan tertinggi adalah 613,333
NTU dengan penabahan konsentrasi koagulan sebanyak 30.000 ppm.
3.1.5.2. Analisa Total Solid (TS)
Hasil analisa total solid dari limbah dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Kandungan Total Solid Limbah
Sampel
Ulangan 1
Ulangan 2
Rata-rata

Vol.sampel
(ml)
2
2
2

Berat cawan
24,19
24,85
24,52

Cawan +
padatan
24,21
24,87
24,54

Padatan

TS (mg/L)

0,02
0,02
0,02

10
10
10

Tabel 3. diatas menunjukkan total solid yang didapatkan pada limbah. Nilai padatan
yang terdapat pada limbah adalah 0,02 gram. Nilai padatan tersebut digunakan untuk

17

menghitung total solid pada limbah.Nilai total solid pada pengulangan pertama dan
pengulanagn kedua sama, yaitu sebesar 10 mg/L.
3.1.5.3. Analisa Total Suspended Solid (TSS)
Hasil analisa total suspended solid dari limbah dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kandungan Total Suspended Solid Limbah
Sampel
Ulangan 1
Ulangan 2
Rata-rata

Vol.sampel
(ml)

Kertas saring

50
50
50

0,776
0,767
0,772

Kertas
saring +
padatan
0,86
0,84
0,85

Padatan

TSS (mg/L)

0,084
0,073
0,079

1,68
1,46
1,57

Tabel 4. diatas menjelaskan total padatan tersuspensi. Pada pengulangan pertama


didapatkan nilai pada padatan sebesar 0,084 gram dan total suspended solid sebesar
1,68 mg/L. Pada pengulangan kedua didapatkan nilai padatan sebesar 0,073 gram dan
total suspended solid sebesar 1,46 mg/L. Dari kedua pengulangan tersebut, didapatkan
nilai rata-rata total suspenden solid pada limbah adalah sebesar 1,57 mg/L.
3.1.5.4. Analisa Total Dissolved Solid (TDS)
Hasil analisa total dissolved solid dari limbah dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Kandungan Total Dissolved Solid Limbah


Sampel
Ulangan 1
Ulangan 2
Rata-rata

TS (mg/L)
10
10
10

TSS (mg/L)
1,68
1,46
1,57

TDS (mg/L)
8,32
8,54
8,43

Tabel 5. diatas menunjukkan total dissolved solid pada limbah yang didapatkan dari
selisih total solid dan total suspended solid. Nilai TDS yang didapatkan pada
pengulangan 1 adalah 8,32 mg/L, sedangkan nilai TDS yang didapatkan pada
pengulangan kedua adalah 8,54 mg/L. Dari kedua pengulangan tersebut didapatkan nilai
rata-rata TDS pada limbah adalah sebesar 8,43 mg/L.

18

3.2. Karakteristik Kimiawi


3.2.1. Pengukuran pH
Hasil pengukuran pH dari limbah dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. pH Limbah
Sampel
Ulangan 1
Ulangan 2
Rata-rata

pH
4,02
4,02
4,02

Tabel 6. diatas menunjukkan nilai pH dari limbah yang diukur menggunakan pH meter.
Nilai pH pada pengulangan pertama dan pengulangan kedua adalah sama, yaitu 4,02.
Dari kedua pengulangan tersebut, didapatkan nilai rata-rata pH limbah sebesar 4,02.
3.2.2. Analisa Kandungan Chemical Oxygen Demand (COD)
Hasil analisa kandungan COD dari limbah dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Kandungan COD Limbah
Sampel
Ulangan 1
Ulangan 2
Rata-rata

Vol.sampel (ml)
10
10
10

Na2S2O3 (ml)
27,6
24,25
25,925

COD (mg/L)
- 12,048
- 9,368
- 10,708

Blanko : 12,54 ml

Tabel 7. diatas menunjukkan nilai COD limbah. Blanko yang didapatkan adalah sebesar
12,45 ml yang digunakan untuk menghitung nilai COD pada limbah. Nilai COD yang
didapatkan pada pengulangan pertama adalah -12,048 mg/L dengan menggunakan 27,6
ml Na2S2O3 pada proses titrasinya. Nilai COD yang didapatkan pada pengulangan kedua
adalah -9,368 mg/L dengan menggunakan 24,25 ml pada proses titrasinya. Dari kedua
pengulangan tersebut, dapat diketahu bahwa semakin tinggi nilai Na 2S2O3 yang
digunakan untuk titrasi, maka nilai COD yang dihasilkan juga semakin kecil. Nilai ratarata COD pada limbah adalah -10,708 mg/L.
3.2.3. Analisa Kandungan Biochemical Oxygen Demand (BOD)
3.2.3.1. Analisa Kandungan BOD hari ke-0

19

Hasil analisa kandungan BOD hari ke-0 dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Kandungan BOD hari ke-0
Sampel
Ulangan 1
Ulangan 2
Rata-rata

Vol.sampel (ml)
100
100
100

Na2S2O3 (ml)
Titrasi I
Titrasi II
8,6
26,5
15,6
22,4
12,1
24,45

BOD (mg/L)
- 179
-68
-123,5

Tabel 8. menunjukkan nilai BOD limbah pada hari ke-0. Nilai BOD pada pengulangan
pertama adalah -179 mg/L, sedangkan nilai BOD pada pengulangan kedua adalah -68
mg/L. Rata-rata nilai BOD dari pengulangan tersebut adalah -123,5 mg/L.
3.2.3.2. Analisa Kandungan BOD hari ke-3
Hasil analisa kandungan Biochemical Oxygen Demand hari ke-3 dapat dilihat pada
Tabel 9.
Tabel 9. Kandungan BOD hari ke-3
Sampel
Ulangan 1
Ulangan 2
Rata-rata

Vol.sampel (ml)
100
100
100

Na2S2O3 (ml)
Titrasi I
Titrasi II
6,1
21,2
4,5
21
5,3
21,1

BOD (mg/L)
-151
-165
-158

Tabel 9. menunjukkan nilai BOD limbah pada hari ke-3. Nilai BOD pada pengulangan
pertama adalah -151 mg/L, sedangkan nilai BOD pada pengulangan kedua adalah -165
mg/L. Rata-rata nilai BOD dari pengulangan tersebut adalah -158 mg/L.

4. PEMBAHASAN

20

Limbah yang digunakan oleh kelompok kami adalah limbah cair yang berasal dari
rumah makan chineese food. Menurut Resti & Alia (2013), pencemaran yang berasal
dari limbah domestic sebenarnya tidak hanya berasal dari pemukiman saja, namun
limbah rumah makan juga turut memberikan dampak pencemaran yang cukup besar
dikarenakan semakin menjamurnya rumah makan di lingkungan kita. Zoraya & Fitri
(2015), mengatakan bahwa buangan air limbah domestik akan semakin meningkat
dengan semakin banyaknya rumah makan atau restoran yang berkembang. Limbah
rumah makan ini memiliki bau yang tidak sedap oleh karena tingginya kadar organik
pada limbah tersebut. Oleh karena itu diperlukan proses pengolahan limbah tersebut
sebelum limbah tersebut dibuang ke lingkungan.
Sumber dari sampel limbah berasal dari pembilasan peralatan yang digunakan untuk
memasak makanan chineese food. Sampel limbah ini sudah sesuai dengan teori dari
Jenie & Rahayu (1993), yang menyatakan limbah dapat dihasilkan melalui proses
pencucian, pemotongan, blanching, pasteurisasi, pengemasan, pembersihan peralatan
pengolahan dan pendinginan produk akhir. Selain itu Suhardo dalam Zoraya & Fitri
(2015) menjelaskan lebih rinci bahwa limbah rumah makan / restaurant didapatkan
melalui proses pencucian peralatan makanan, air buangan dan sisa makanan, seperti
lemak, nasi, sayuran dan lain-lain. Berdasarkan teori tersebut, limbah cair kelompok
kami termasuk dalam limbah yang dihasilkan dari pembersihan peralatan pengolahan.
Menurut Mahida (1992), penangan limbah terutama limbah yang masih memiliki
banyak senyawa beracun, bakteri, virus, protozoa dan zat zat renik sangat penting untuk
dilakukan sebelum dilepaskan ke alam. Filiazati (2013) dalam Zoraya & Fitri (2015),
juga menjelaskan bahwa limbah domestik perlu mengalami proses pengolahan terlebih
dahulu sehingga memiliki parameter BOD, TSS, pH, minyak dan lemak yang sesuai
dengan standar baku mutu yang berlaku.
Gintings (1992) menjelaskan bahwa untuk memilih proses penanganan limbah yang
tepat diperlukan pengamatan karakteristik fisik, kimia dan biologi dari limbah. Pada
praktikum ini dilakukan beberapa pengujian yang dapat dikelompokkan menjadi dua
jenis, yaitu pengujian karakteristik fisikawi dan pengujian karakteristik kimiawi.
Sebelum dilakukannya pengujian, pertama-tama dilakukan penyaringan sampel limbah

21

menggunakan kain saring sebanyak 2 kali penyaringan. Menurut Gintings (1992),


proses penyaringan merupakan proses pengolahan pertama dalam pengolahan limbah.
Kimball (1992) menambahkan bahwa tujuan dari proses penyaringan adalah untuk
memisahkan bagian-bagian yang tidak diharapkan seperti kerikil, sisik dan kotorankotoran lainnya.
4.1.

Karakteristik Fisikawi

Pengujian karakteristik fisikawi meliputi pengujian bau, warna, kekeruhan, suhu dan
analisa padatan (uji turbidimetri, total solid, total suspended solid, total dissolved solid).
Pengujian karakteristik fisikawi yang dilakukan pada praktikum kali ini sesuai dengan
teori dari Utomo (1998) yang mengatakan bahwa sifat fisik dari limbah cair meliputi
adanya bau, warna, suhu dan kekeruhan.
4.1.1. Bau
Pengamatan bau dilakukan secara langsung pada sampel limbah dengan indera
penciuman. Hal ini sesuai dengan teori dari Suhardi (1991) bahwa pengukuran bau
dapat dilakukan dengan evaluasi sensori dengan indera pembau atau GC (Gas
Chromatography) yang berfungsi untuk menganalisa senyawa penyebab bau. Di hasil
pengamatan didapatkan hasil sangat berbau (++++). Sangat berbau tersebut disebabkan
karena limbah cair dari Chinese restaurant yang digunakan dalam praktikum ini
merupakan sisa-sisa dari proses produksi dan pencucian (Gintings, 1992). Bau yang
tidak sedap itu disebabkan karena adanya campuran nitrogen, sulfur dan fosfor juga
berasal dari pembusukan protein dan lain-lain bahan organik yang terdapat dalam air
limbah, bau yang paling menyengat berasal dari hydrogen sulfide (Mahida, 1992).
Nitrogen pada air limbah pada umumnya terdapat dalam bentuk organik seperti protein.
Oleh bakteri nitrogen tersebut diubah menjadi ammonia. Perusakan protein ini
menyebabkan timbulnya bau yang menyengat. Kuat tidaknya bau yang dihasilkan
limbah tergantung pada jenis dan banyaknya gas yang ditimbulkan (Gintings, 1992).
Penanganan bau menyengat yang timbul dari limbah cair dapat digunakan klorin untuk
dapat menetralisir bau menyengat yang dihasilkan oleh limbah karena peranan dari
klorin adalah untuk mereduksi bakteri. Bau klorin pada air limbah setelah treatment

22

berasal dari penggunakan Ca(OH)2 yang digunakan untuk menetralkan air limbah dan
juga klorin yang digunakan sebagai desinfektan (Jenie & Rahayu, 1993).
4.1.2. Warna
Penentuan limbah cair dapat menggunakan komparator warna dan skala standar
(Sastrawijaya, 1991). Warna limbah cair dapat timbul akibat suatu bahan terlarut atau
tersuspensi dalam air, di samping adanya bahan pewarna tertentu yang kemungkinan
mengandung logam berat (Gintings, 1992). Makin pekat warna maka diandaikan bahwa
limbah yang kita ambil makin kotor (Mahida, 1992). Pengamatan warna dilakukan
secara langsung pada sampel limbah cair dengan indera penglihatan. Warna air juga ada
hubungan dengan kualitas air (Sastrawijaya, 1991). Pada hasil pengamatan didapatkan
hasil kuning kecoklatan (+++) yang berarti warna limbah ini masih sesuai dengan
standar warna limbah. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Ibnu (1997) bahwa standar
warna limbah yang baru terbentuk selama 6 jam biasanya berwarna coklat muda,
berbeda dengan limbah yang sedang mengalami pembusukan mempunyai warna abuabu tua dan limbah yang sudah mengalami pembusukan oleh bakteri anaerob memiliki
warna hitam. Orang awam seringkali menilai keadaan air limbah atau air selokan
berdasarkan warnanya, hal ini dengan sendirinya tidak dapat menunjukkan secara tegas
bahaya yang dikandungnya (Mahida, 1992). Tetapi, warna dari limbah cair ini tidak
dapat menentukan bahaya atau tidaknya suatu limbah cair (Jenie & Rahayu, 1993).
4.1.3. Kekeruhan dan Uji Turbdimetri
Kekeruhan adalah ukuran yang menggunakan efek cahaya sebagai dasar untuk
mengukur keadaan air sungai, kekeruhan ini disebabkan oleh adanya benda tercampur
atau benda koloid di dalam air (Sugiharto, 1987). Dengan melihat tingkat kekeruhan
limbah cair akan dapat mengetahui banyak atau tidaknya padatan organik atau
anorganik yang berada dalam limbah cair tersebut (Jenie & Rahayu, 1993). Standard
dari karakteristik fisik limbah pada warna yaitu kekeruhan (Suhardi, 1991). Kekeruhan
mengindikasikan adanya bahan yang terapung/adanya zat tertentu (jasad renik, bahan
organik, lumpur tanah liat, dan benda halus lain) yang terurai (Gintings, 1992).
Kekeruhan limbah diamati secara langsung dengan menggunakan indra penglihatan dan
kemudian dibandingkan dengan menggunakan alat turbidimetri. Pada hasil pengamatan

23

dengan menggunakan indra penglihatan didapatkan hasil sangat keruh sekali (+++++).
Hal ini sesuai dengan pendapat dari Jenie & Rahayu (1993), semakin keruh air limbah
maka semakin banyak jumlah bahan tersuspensi yang terkandung di dalamnya.
Selain dengan mengamati limbah cair secara langsung dengan menggunakan indra
penglihatan, kekeruhan juga diuji dengan turbidimetri untuk mengetahui kuantitas
kekeruhannya. Kekeruhan juga dapat diukur dengan menggunakan turbidimetri dan
dinyatakan dalam satuan NTU (Suhardi, 1991). Limbah cair yang akan digunakan
diukur pH-nya dengan pH meter sebelum perlakuan koagulasi. Pengukuran pH ini
dilakukan untuk mengetahui koagulan jenis apa yang akan digunakan. Setelah mencapai
pH optimal koagulan (asam), dilakukan penambahan koagulan Ca(OH) 2 sebanyak
30000 ppm. Setelah ditambah dengan koagulan, dilakukan jar testing pada limbah
dengan kecepatan 100 rpm selama 1 menit. Untuk mempercepat proses koagulasi dalam
air limbah maka dilakukan pengadukan dengan jar testing (Kusnaedi, 1998). Setelah 1
menit, kecepatan batang pengaduk diturunkan menjadi 25 rpm. Kondisi ini
dipertahankan selama 15 menit hingga terbentuk flokulasi-flokulasi yang lebih besar.
Pengadukan yang cepat dibutuhkan pada penambahan koagulan agar distribusi koagulan
lebih merata. Pada pengadukan kedua dimaksudkan untuk proses koagulasi dengan
kecepatan rendah untuk menghasilkan kesatuan dari koloid-koloid yang tidak stabil
(Kusnaedi, 1998). Kemudian limbah didiamkan selama 30 menit dan disaring hingga
didapatkan filtrat yang jernih. Pada hasil pengamatan dengan menggunakan uji
turbidimetri didapatkan hasil rata-rata 613,333 NTU. Dari hasil yang didapatkan ini
tidak dapat ditarik kesimpulan apapun karena konsentrasi koagulan yang ditambahkan
dan sampel yang digunakan setiap kelompok berbeda tetapi apabila dilihat secara umum
dan dibandingkan dengan sampel kelompok lain kelompok kami (A3) memiliki NTU
paling tinggi. Hal ini menyatakan kelompok A3 dengan sampel limbah cair dari
Chinese restaurant memiliki nilai kekeruhan yang paling tinggi dibandingkan dengan
sampel limbah cair dari kelompok lain. Hal ini sesuai dengan teori dari Mahida (1992)
bahwa semakin keruh suatu limbah menunjukkan semakin kuat limbah tersebut. Ini
mengindikasi bahwa limbah cair dari kelompok A3 yang paling kuat dibandingkan
kelompok lain. Apabila dibandingkan dengan pengamatan langsung menggunakan
indera penglihatan didapatkan hasil yang sebanding dan dapat disimpulkan bahwa

24

limbah cair dari Chinese restaurant adalah sangat keruh sekali. Selain itu dengan
konsentrasi Ca(OH)2 30000 ppm untuk mengkoagulasi limbah cair dari Chinese
restaurant berarti belum optimal.
4.1.4. Suhu/ Temperatur
Pengamatan suhu berguna untuk melihat kecenderungan aktivitas-aktivitas kimiawi dan
biologis, pengentalan, tekanan uap, tegangan permukaan dan nilai-nilai penjernihan dari
benda padat dan gas (Mahida, 1992). Suhu limbah mempengaruhi kecepatan reaksi
kimia serta tata kehidupan dalam air, misalnya reaksi pembusukan dan tingkatan
oksidasi zat organik yang jauh lebih besar terjadi pada suhu yang tinggi (Gintings,
1992). Pengukuran suhu pada limbah dari Chinese restaurant dilakukan dengan
menggunakan termometer. Pada hasil pengamatan suhu didapatkan hasil 46 oC. Hal ini
sesuai dengan teori dari Ibnu (1997) bahwa suhu pada air limbah biasanya lebih tinggi
dari suhu air bersih. Selain itu limbah cair yang kami dapatkan juga gabungan antara
limbah cair dari produksi dan limbah cair dari pencucian. Pada limbah sisa pencucian
pada umumnya memiliki suhu yang tinggi. Suhu yang terlalu tinggi pada limbah yang
dihasilkan harus diwaspadai karena dapat mengancam kelangsungan hidup biota yang
ada di badan air, dan dapat memacu perkembangan mikrobia yang tidak
menguntungkan (Sastrawijaya, 1991). Suhu limbah mempengaruhi kecepatan reaksi
kimia serta tata kehidupan dalam air, misalnya reaksi pembusukan dan tingkatan
oksidasi zat organik yang jauh lebih besar terjadi pada suhu yang tinggi (Gintings,
1992). Selama pengolahan ada beberapa treatment seperti filtrasi, adsorbsi, dan
koagulasi yang membebaskan panas pada air limbah sehingga suhu limbah dapat turun
(Sastrawijaya, 1991).
4.1.5. Analisa Padatan
4.1.5.1.Analisa Total Solid (TS)
Karakteristik fiskawi yang diukur pada sampel adalah melakukan analisa padatan.
Analisa padatan dibagi menjadi 3 jenis, yaitu Total Solid (TS), Total Suspended Solid
(TSS), dan Total Dissolved Solid (TDS). Total Solid merupakan suatu padatan yang
tersuspensi secara total (Jenie & Rahayu, 1993). Definisi lain mengatakan bahwa total
solid merupakan padatan yang tertinggal setelah proses evaporasi dan pengeringan
sampel di dalam oven (Hammer & Hammer, 1996). Padatan total ini meliputi padatan

25

tersuspensi total (TSS) yaitu padatan yang tertahan pada filter, dan padatan terlarut total
(TDS) yaitu padatan yang dapat melewati filter ukuran 2,0 m atau lebih kecil dari
ukuran pori-pori filter. Ketiga analisa padatan tersebut dilakukan sebelum dan sesudah
dilakukannya proses treatment pada limbah (Sugiharto, 1987).
Berdasarkan hasil yang didapatkan, diperoleh hasil total padatan ulangan 1 dan 2
masing-masing sebesar 10 mg/L, sehingga rata-rata total padatan keseluruhan yaitu 10
mg/L. Hasil yang didapatkan ini tidak melebihi standar baku mutu yang ada. Ini
dikarenakan pada tahap awal melakukan percobaan total padatan telah dilakukan
penyaringan yang dapat mengurangi padatan yang terdapat pada limbah. Hal tersebut
sesuai dengan pernyataan Mahida (1992), mengatakan bahwa treatment seperti
penyaringan dapat menurunkan total padatan karena padatan tidak larut dan bahan kasar
lain yang berukuran besar dapat tertahan dan filtratnya tetap turun.
4.1.5.2. Analisa Total Suspended Solid (TSS)
Total Suspended Solid (TSS) merupakan residu yang terdapat d dalam limbah yang
tidak lolos saringan dan untuk mengetahuinya dilakukan penyaring sejumlah air limbah
melalui filter membran. Berat keringnya diperoleh setelah satu jam pada suhu sekitar
103-1050C (Jenie & Rahayu, 1993). Banyaknya padatan terlarut dan tersuspensi
mempengaruhi kejernihan dan warna air limbah. Tingkat kejernihan berhubungan
dengan produktivitas limbah, dimana tingkat kejernihan yang rendah menunjukkan
produktivitas yang tinggi. Jika konsentrasi bahan tersuspensi tinggi, maka cahaya tidak
dapat menembus air limbah tersebut. Seain itu warna air juga berhubungan dengan
kualitas air. Padatan tersuspensi ini menjadi parameter yang digunakan dalam
mendefinisikan limbah cair pada industri (Hammer & Hammer, 1996). Padatan yang
tersuspensi dalam air limbah umumnya terdiri atas fitoplankton, zooplankton, lumpur,
kotoran hewan, kotoran manusia, sisa tanaman dan hewan, serta limbah industri
(Sastrawijaya, 1991).
Berdasarkan hasil yang didapatkan, diperoleh nilai TSS ulangan 1 sebesar 1,68 mg/L
dan ulangan 2 sebesar 1,46 mg/L sehingga diperoleh rata-rata sebesar 1,57 mg/L. Hasil
tersebut tidak melebihi batas standar baku mutu limbah yaitu sebesar 100 mg/L. Dengan

26

demikian, dapat disimpulkan bahwa proses treatment yang telah dilakukan mampu
memenuhi baku mutu limbah yang ada dan air limbah tersebut masih dalam batas aman.
4.1.5.3. Analisa Total Dissolved Solid (TDS)
Total dissolved solid (TDS) merupakan suatu padatan yang terlarut di dalam benda cair.
Pada umumnya padatan ini sulit dipisahkan jika hanya dilakukan dengan penyaringan
biasa. Dalam praktikum ini, TDS yang ada pada limbah dihitung dengan cara
mengurangi hasil perhitungan TS (Total Solid) dengan TSS (Total Suspended Solid)
(Hammer & Hammer, 1996). Menurut Sugiharto (1987), mengatakan bahwa nilai TDS
sesudah proses treatment lebih rendah dibandingkan dengan nilai TDS sebelum melalui
proses treatment. Proses treatment tersebut akan menggumpalkan padatan melalui
karbon aktif yang ditambahkan serta bahan organik yang terurai semakin banyak karena
adanya proses aerasi.
Berdasarkan hasil percobaan, diperoleh nilai TDS ulangan 1 dan 2 berturut-turut yaitu
8,32 mg/L dan 8,54 mg/L sehingga didapatkan rata-rata nilai TDS sebesar 8,43 mg/L.
Nilai TDS tersebut tergolong rendah dari standar yang adanya, dimana tidak diberikan
treatment sebelumnya. Hal ini dapat disimpulkan bahwa padatan terlarut yang ada pada
limbah masih dalam batas aman. Menurut Hammer & Hammer (1996), mengatakan
bahwa apabila total padatan yang terdapat di dalam limbah terlalu banyak dapat
mempengaruhi meningkatnya nilai TDS yang ada di dalamnya.
4.2. Karakteristik Kimiawi
4.2.1. Pengukuran pH
Dalam praktikum kali ini limbah yang menjadi bahan praktikum ini adalah limbah yang
berasal dari Chinnese food restaurant, dimana limbah ini diukur pHnya terlebih dahulu
sebelum dilakukan treatment. Nilai pH dapat menyatakan tingkat keasaman atau
alkalinitas dari suatu cairan yang encer. Alat yang digunakan untuk mengukur pH
adalah pH meter. Sesuai dengan pernyataan Sugiharto (1987) bahwa pH dapat diukur
dengan menggunakan pH meter. Prinsip pengukuran keasaman dengan pH meter ialah
ketika pH meter dihubungkan dengan sumber tenaga, maka akan terdapat rantau
tertutup sehinggadapat diukur besarnya kadar ion H yang dapat diketahui yaitu dari

27

goyangan jarum yang terdapat pada alat penera (potensiometer). pH meter ini selalin
terdiri dari ptensiometer juga tersusun atas dua buah elektroda (Suhardi, 1991).
Nilai asam basa pada limbah cair dipengaruhi oleh sejumlah ion hydrogen dan ion
hidroksil yang larut dalam air (Hammer & Hammer, 1996). Menurut Mahida (1981),
didalam suatu larutan terdapat ion hidrogen yang berada dalam keadaan bebas serta ion
hidroksil. Ketika salah satu diantara ion hidrogen atau ion hidroksil berlebihmaka akan
menyebabkan larutan menjadi asam atau basa. Limbah cair yang bersifat basa diduga
mengandung bahan anorganik seperti senyawa karbonat, bikarbonat, dan hidroksida.
Sedangkan limbah dengan sifat asam mengandung asam klorida, asam sulfat maupun
senyawa lainnya (Rahayu, 2009). Pada umumnya air limbah domestik yang normal
hanya mengandung alkali dalam jumlah yang sedikit, karena ketika pH cenderung asam
(mendekati pH 5) akan dapat menyebabkan terganggunya pencernaan. Bahkan, nilai pH
yang kurang dari 5 atau melebihi 10 akan mengacaukan proses aerobik biologis
(Mahida, 1992).
Pada praktikum kali ini sebelum dilakukan treatment limbah yang diperoleh diukur dulu
pH nya, dan hasil dari pengukuran tersebut diketahui bahwa limbah yang berasal dari
Chinnese food restaurant memiliki pH yang asam yaitu 4,02. Diketahui bahwa limbah
ini bersifat asam dan apabila limbah asam akan membuat proses biologis terhambat
sehingga dapat menganggu proses penjernihan limbah. Ketika nilai pH suatu cairan
tergolong netral, maka kehidupan biologis akan terjamin dalam keadaan baik. Sehingga
dapat disimpulkan limbah ini berbahaya bagi proses bilogis seperti teori yang
dinyatakan oleh Sugiharto (1987). Maka, dilakukan treatment limbah ini agar menjadi
benar-benar netral.
Treatment yang dilakuakan pada praktikum ini adalah dengan menambahkan larutan
Ca(OH)2 hingga limbah ini menjadi netral yaitu pHnya menjadi sekitar 7,00. Hal ini
menunjukan bahwa dengan dilakukannya treatment pada limbah cair sebelum dibuang
ke lingkungan dapat membuat pH limbah menjadi benar-benar netral dan aman bagi
lingkungan dibandingkan limbah yang langsung dibuang ke lingkungan tanpa treatment
apapun. Treatment yang dilakukan adalah netralisasi yitu dengan cara menambahkan

28

HCl 0,1% apabila limbah cair terlalu basa dan NaOH 0,1 % apabila limbah cair terlalu
asam. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gintings (1992) yang menyatakan bahwa
penambahan senyawa asam atau basa ke dalam limbah cair sehingga pH limbah
mendekati 7. Tujuan netralisasi ini ialah untuk membuat limbah yang akan dibuang ke
perairan menjadi netral sehingga tidak merusak lingkungan. Nilai pH yang sesuai
dengan Baku Mutu Limbah dengan kadar yang paling tinggi sekitar 6-9, sedangkan
limbah sebelum treatment menunjukan pH dibawah itu yang artinya limbah berbahaya
bagi lingkungan, sehingga pH limbah harus di treatment terlebih dahulu agar setelah
dibuang tidak merusak lingkungan.
4.2.2. Analisa Kandungan Chemical Oxygen Demand (COD)
Chemical Oxygen Demand (COD) merupakan banyaknya oksigen dalam ppm atau
mm/L yang dibutuhkan dalam kondisi khusus untuk menguraikan benda organik secara
kimia (Gintings, 1992). COD digunakan juga sebagai ukuran kekuatan pencemaran air
limbah domestik maupun air limbah industri (Suhardi, 1991).
Analisa COD dilakukan dengan limbah yang telah diencerkan ditambahkan larutan
kalium dikromat standar dan HgSO4 dalam erlenmeyer (Hammer & Hammer, 1996).
Tujuan penambahan larutan dikromat ini untuk mengoksidasi bahan organik pada suhu
yang tinggi (Suhardi, 1991). Menurut Jenie & Rahayu (1993) penambahan HgSO 4
sebagai katalis untuk mengatasi gangguan klorida dan menhamin proses oksidasi
senyawa-senyawa benzene dan amonia tidak diukur dalam uji ini. Penambahan HgSO 4
dan K2Cr2O7dapat menyebabkan terjadi reaksi oksidasi-reduksi yang membebaskan
oksigen. Reaksi redoks ini terjadi karena kalium bikromat merupakan senyawa yang
bersifat oksidator kuat dan terjadi pada saat kondisi yang asam (Suhardi, 1991).
Lalu tahap selanjutnya dipanaskan selama 10 menit pada suhu 100C yang tujuannya
agar reaksi kimianya lebih cepat. Suhardi (1991) menyatakan bahwa proses pemanasan
dapat meningkatkan kecepatan suatu reaksi kimia karena suhu tinggi akan membesarkan
energi kinetik masing-masing molekul tersebut akan membesar maka reaksi akan cepat
terbentuk. Setelah dipanaskan larutan ditambahkan 1,5 ml KI 10% dengan tujuan
jumlah iodida yang bebas dapat ditentukan jumlahnya melalui titrasi dengan Na 2S2O3
0,1N yang indikatornya amilum. Larutan akan dihentikan dengan ditunjukannya larutan
yang berubah menjadi warna biru bening (Day, 1992). Penambahan KI dan amilum

29

harus dalam keadaan sudah dingin agar amilum tidak rusak oleh panas (Graham, 1956).
Larutan blanko dibuat dengan aquades saja namun cara kerja sama dengan COD yang
menggunakan sampel limbah. Tujuan adanya blanko agar dapat mengoreksi kesalahan
yang timbul karena adanya bahan-bahan organik dalam reagen. COD dihitung
berdasarkan perbedaan antara jumlah titran yang dipakai untuk blanko dan sampel
dibagi dengan volume sampel dan dikalikan dengan normalitas titran.
COD

blanko sampel molaritas

titran 8000 pengencera n


ml sampel

(Sugiharto, 1987).
Dengan rumus diatas dapat dihitung besarnya nilai COD dari limbah Chineese food.
Memiliki nilai sebesar -12,048 mg/L dan -9,368 mg/L sehingga reratanya sebesar
-10,708 mg/L. Nilai COD yang tinggi menunjukan adanya pencemaran pada air oleh
zat-zat organik. Zat organik dalam air ada 2 tipe yaitu zat organik yang mudah dicerna
oleh mikroba dan zat organik yang sulit dicerna oleh mikorba.
Nilai COD selalu lebih tinggi daripada nilai BOD yang disebabkan oleh banyak faktor,
meliputi:
Bahan kimia yang tahan terhadap oksidasi biokimia tetapi tidak terhadap oksidasi kimia,
misalnya lignin
Bahan kimia yang dapat dioksidasi secara kimia dan peka terhadap oksidasi biokimia
tetapi tidak dalam uji BOD 5 hari, seperti selulosa, lemak berantai panjang atau sel
sel mikroba
Adanya bahan toksik dalam limbah yang akan mengganggu uji BOD tetapi tidak uji
COD
(Jenie & Rahayu, 1993).

4.2.3. Analisa Kandungan Biochemical Oxygen Demand (BOD)


Biological Oxygen Demand (BOD) merupakan jumlah oksigen yang digunakan oleh
mikroorganisme dalam oksidasi aerob bahan-bahan organik dalam sampel libah pada
suhu 19-21C (Hammer & Hammer, 1996). Pengukuran BOD berdasarkan pada

30

kebutuhan oksigen yang terlarut dalam limbah cair yang digunakan untuk menguraikan
senyawa organik dengan bantuan mikroorganisme pada kondisi tertentu (Gintings,
1987).
Sampel limbah diencerkan dengan air aerasi (10x pengenceran). Hingga 1000 ml, lalu
600 ml sampel di simpan dibotol gelap dan disimpan pada ruangan yang gelap selama 5
hari. 400 ml sisanya dimasukkan kedalam erlenmeyer dengan ditambah 3 ml KI dan 3
ml MnSO4 kemudian dikocok dan didiamkan 15 menit. Setelah itu 3 ml H 2SO4 pekat
ditambahkan dan dikocok hingga homogen. Kemudian larutan dibagi menjadi 2
kedalam 2 erlenmeyer yang masing-masing berisi 20 ml. Masing masing erlenmeyer
dititrasi dengan Na2S2O3hingga berwarna pucat lalu ditambah indikator amilum dan
segera dititrasi lagi dengan Na2S2O3hingga menjadi bening. Lakukan 2x pengulangan.
Metode ini disebut BOD0. Dan metode ini dilakukan lagi pada saat BOD 5 dimana
sampel yang telah disimpan dalam botol gelap. Berikut rumus perhitungan BOD :
BOD5 = ( volume titrasi DO0 volume titrasi DO5) x fp
fp = faktor pengenceran, 1 ml Na2S2O3 = 1 mg / lt BOD
Penggunaan air aerasi ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Sastrawijaya
(1991) yang meyatakan bahwa uji BOD 5 dilakukan dengan cara mengencerkan suatu
contoh dengan kadar oksigen yang benyak lalu ditemukan jumlah oksigen terlarutnya.
Oleh karena itu ketersediaan oksigen merupakan hal yang penting dalam menentukan
besarnya nilai BOD suatu jenis limbah. Penyimpanan BOD 5 pada botol yang gelap dan
tempat yang gelap ini sesuai dengan teori Alaerts & Santika (1984) bahwa ada beberapa
jenis ganguan yang terjadi pada analisa BOD antara lain nitrifikasi serta keluarnya
oksigen dari botol. Semakin banyak proses nitrifikasi maka analisa BOD semakin tidak
valid. Pada suhu yang tinggi seperti didaerah tropis dapat meningkatkan proses
nitrifikasi sehingga botol tidak boleh terkena sinar matahari.
Berdasarkan dari hasil yang didapat pada BOD 0 adalah -179 mg/L dan -68 mg/L dengan
rerata -123,5 mg/L. Dan BOD3 -151 mg/L ; -165 mg/L dan rata-ratanya -158 mg/L. Dari
hasil yang diperoleh nilainya negatif hal ini disebabkan karena sampel limbah yang
telah diberi tambahan larutan tidak tercampur secara homogen sehingga saat dibagi 2
ulangan tidak sama, selain itu dapat juga disebabkan oleh kurangnya ketelitian pada

31

titrasi. Dengan matinya sebagian bakteri pengura kandungan nutrien dalam air limbah
tidak lagi bisa digunakan oleh bakteru untuk rekasi yang membutuhkan okigen maka
BOD3 hasilnya lebih kecil dibandingkan BOD0 (Fardiaz, 1992). Dapat dilihat juga
perbandingan COD dengan BOD3 nilainya lebih tinggi COD hal ini sesuai dengan teori
Jennie & Rahayu (1993) yang menyatakan nilai COD lebih tinggi dibandingkan nilai
BOD.
4.3.

Usulan Treatment

Berikut ini merupakan usulan treatment yang dapat digunakan untuk mengolah limbah
pangan :
1

Penanganan Limbah Pre-Treatment

Pada penanganan ini dilakukan pengolahan pertama kali yang didasarkan bahwa limbah
ini banyak terdapat padatan-padatan yang terapung dan melayang yang bercampur
dengan air. Padatan ini dapat berupa lemak, daun, kerikil dan pasir yang terdapat diatas
permukaan air. Tujuan dari pre-treatment ini adalah untuk mensortir kerikil, lumpur,
menghilangkan zat padat, dan memisahkan lemak (Sugiharto, 1987). Langkah yang
dilakukan adalah penyaringan dengan menggunakan kain saring sebanyak 2 kali. Hal ini
sesuai dengan teori Gintings (1992) yaitu untuk proses pengolahan yang dilakukan
pertama kali adalah penyaringan. Dilakukan penyaringan ini tujuannya untuk
memisahkan bagian-bagian yang tidak diharapkan. Proses penyaringan dilakukan untuk
memisahkan filtrat dengan padatan besar sepert kerikil, sisik, dan kotoran-kotoran
lainnya Kimball (1992).
2 Penanganan Primay Treatments
Treatment yang dilakukan selanjutnya adalah primary treatment dimana proses ini
berupa koagulasi. Terdapat dua metode utama dalam primary treatment

yaitu

pengolahan cara fisika dan pengolahan dengan cara kimia. Pengolahan secara fisika
dapat dilakukan dengan melalui pengendapan, sedangkan pengolahan secara kimia
dapat dilakukan dengan cara mengendapkan bahan padatan dengan penambahan zat
kimia yang dinamakan koagulan. Reaksi antara senyawa kimia dengan bahan
pengendap akan mengakibatkan bahan butiran bertambah besar sehingga berat jenisnya
lebih besar daripada air (Gintings, 1992).

32

Pertama yang dilakukan adalah limbah diukur pHnya. Jika diketahui limbah bersifat
asam maka ditambahkan koagulan Ca(OH)2, sedangkan jika limbah dikatehui bersifat
basa maka ditambahkan koagulan FeCl3. Hal ini sesuai dengan teori Kusnaedi (1998)
yang menyatakan bahwa hasil dari reaksi koagulan akan dipisahkan melalui proses
koagulasi. Untuk mempercepat proses koagulasi maka dilakukan pengadukan.
Pengadukan dilakukan dengan kecepatan sedang untuk menghasilkan kesatuan dari
koloid-koloid yang tidak stabil.

3 Penanganan Secondary Treatment


Dalam penanganan ini dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi atau menghilangkan
bahan-bahan organic dengan bantuan mikroorganisme yang ada didalamnya atau
melalui biokimia oksidasi. Pada proses ini sangat dipengaruhi oleh banyak faktor antara
lain jumlah air limbah, tingkat kotoran, jenis kotoran yang ada dan sebagainya
(Sugiharto, 1987). Langkah yang dilakukan adalah diaerasi dengan menggunakan
aerator selama 30 menit. Menurut Kusnaedi (1998) aerasi merupakan suatu sistem
oksigenasi melalui penangkapan O2 dari udara pada air olahan yang akan diproses.
Pemasukan ini bertujuan agar O2 di udara dapat bereaksi dengan kation yang ada di
dalam air olahan. Teori tersebut didukung oleh Endahwati & Suprihatin (2009) yang
menyatakan bahwa proses aerasi ini adalah suatu usaha penambahan konsentrasi
oksigen yang terkandung dalam air limbah. Selain itu, proses aerasi juga dapat
menghilangkan atau meminimalkan aroma busuk dan tidak enak pada air limbah
(Sugiharto, 1987).
4 Penanganan Tertiary Treatment
Pada proses ini yang dilakukan adalah dengan penambahan karbon aktif pada limbah
cair yang kemudian diikuti dengan proses pengadukan. Kemudian dilakukan
penyaringan dengan kertas saring. Menurut Sugiharto (1987), pengolahan ketiga
(Tertiary Treatment) merupakan kelanjutan dari pengolahan-pengolahan terdahulu yang
dilaukan melalui proses penyarapan (adsorption) dengan karbon aktif. Penyerapan
secara umum yaitu proses mengumpulkan benda-benda terlarut yang terdapat dalam
larutan antara dua permukaan.

33

Karbon aktif yang disediakan ada 2 jenis yaitu karbon aktif dalam bentuk bubuk dan
dalam bentuk granula. Menurut Sugiharto (1987), karbon aktif alamiah adalah butiran
karbon dan bubuk karbon untuk pengolahan air limbah yang diketahui dapat didaur
ulang setelah dipergunakan. Karbon tersebut dipersiapkan melalui pembuatan arang dari
bahan kayu atau batubara yang dibakar sampai berwarna merah. Partikel batubara
kemudian diaktifkan dengan menambah gas oksigen pada tekanan tinggi kemudian akan
mengembangkan struktur rongga yang ada pada batubara atau arang sehingga
memperluas permukaan. Karena luas permukaan yang besar inilah karbon aktif
mempunyai daya serap yang baik dan dapat mengikat benda-benda organik serta
partikel-partikel lain dengan baik. Proses pengadukan mempunyai tujuan untuk
menghomogenkan larutan (Silveira et al, 2007).
Pengolahan tambahan
3. Desinfeksi
Tahapan selanjutnya adalah pengolahan tambahan desinfeksi. Tambahan desinfeksi
berupa klorin. Klorin yang ditambahkan sejumlah 10% dari volume limbah. Menurut
Jenie & Rahayu (1993), klorin adalah oksidator dan akan bereaksi dengan beberapa
komponen organik pada limbah cair. Proses pengolahan dengan klorinasi merupakan
salah satu proses yang cukup efektif bila digunakan dalam mengatasi limbah cair karena
banyak digunakan untuk mengatasi bau yang timbul dari limbah dengan mereduksi
konsentrasi bakteri. Dengan klorinasi maka kadar BOD dapat menurun. Menurut Volk
& Wheeler (1993) pengolahan tambahan dapat dilakukan melalui proses desinfeksi
yaitu proses penting dalam pengendalian penyakit karena tujuannya adalah perusakan
agen-agen atau bakteri patogen. Mekanisme kerja dari desinfeksi adalah dengan
merusak membran sel atau protein sel atau gen yang khas pada bakteri lalu berakibat
kematian atau mutasi.
4. Netralisasi
Langkah selanjutnya yang dilakukan setelah desinfeksi adalah proses netralisasi dengan
pengaturan pH. Apabila diketahui basa maka dinetralkan dengan HCL 0,1 %, sedangkan
jika dikatehui asam maka dinetralkan dengan NaOH 0,1 %. Setelah itu air limbah
diukur pHnya hingga mendekati netral yaitu sebesar 7.

34

Menurut Resti & Alia (2013), dalam mengatasi limbah cair yang berasal dari rumah ini
penggunaan pasir silika sebagai bahan utama pembuatan membrane nanofiltrasi menjadi
alternatif. Dalam penggunaan sintesis silika untuk memperoleh kemurnian silika yang
optimum diharapkan limbah cair rumah makan yang dihasilkan industry rumah makan
dapat terolah dengan baik dengan aliran pada reactor secara cross flow untuk mencegah
terjadinya fouling lebih cepat. Diperlukan suatu teknologi yang lebih mudah untuk
diaplikasikan untuk mengelola limbah cair rumah makan yaitu seperti penggunaan
membrane nanofiltrasi karena membrane nanofiltrasi memiliki batasan permeabilitas
1,4-12 L/m2.bar dan beroperasi pada tekanan 5-20 bar. Sedangkan ukuran pori yang
ditawarkan ialah ukuran nanofiltrasi yang mempunyai ukuran pori sebesar 0,001 mikron
sehigga dapat menyaring limbah organic dengan kadar organik sangat tinggi. Pada
penggunaan membran ini reaktor dijalankan dengan aliran cross flow, karena reaktor
tipe cross flow ini mampu mencegah fouling dini, dan parameter yang digunakan adalah
ammonium dan fosfat. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa massa silika yang
optimum digunakan untuk mengolah limbah cair adalah untuk pembuatan membran
sebesar 5 gram (28,7 wt%) dengan variasi volume limbah 100% dengan konsentrasi
3,52 mg/l fosfat atau 140,084 mg/l ammonium.
Zoraya & Fitri (2015), salah satu metode pengolahan yang dapat dilakukan untuk
mengolah limbah rumah makan adalah pengolahan dengan proses biofilter aerobik.
Keunggulan dari proses ini adalah mudah dioperasikan, menghasilkan lumpur yang
sedikit dan tahan terhadap fluktuasi debit dan konsentrasi air lumbah. Batu kerikil
merupakan media yang digunakan pada biofilter aerobik ini. Aerator yang digunakan
berfungsi untuk menjaga mikroorganisme tetap dapat hidup dalam kondisi aerob. Hasil
penelitian pengolahan limbah rumah makan menggunakan proses biofilter aerobik yang
dilakukan oleh Zoraya dan Fitri menunjukkan bahwa pada permukaan media ditumbuhi
dengan lapisan biofilm, penyisihan nilai COD hingga 92,95%, nilai TSS yang tereduksi
sebesar 86-95%, dan pengurangan nilai BOD mencapai 94,83%. Dari hasil penelitian
tersebut, pengolahan limbah dengan proses biofilter aerobik bekerja aktid dalam proses
penurunan kadar BOD dan COD.

35

5. KESIMPULAN

Bau limbah cair dari Chinese restaurant sangat berbau hal ini terjadi karena

limbah yang didapat berasal dari bagian produksi dan pencucian.


Semakin pekat warna limbah cair maka semakin kotor limbah cair tersebut.
Suhu limbah cair lebih tinggi dibandingkan suhu air biasa.
Limbah cair hasil pencucian mempunyai suhu yang lebih tinggi.
Proses koagulasi dapat melepaskan panas sehingga suhu limbah menjadi lebih

rendah.
Suhu yang terlalu tinggi pada limbah yang dihasilkan harus diwaspadai karena
dapat mengancam kelangsungan hidup biota yang ada di badan air, dan dapat

memacu perkembangan mikrobia yang tidak menguntungkan.


Semakin keruh air limbah maka semakin banyak bahan tersuspensi di dalam

limbah tersebut.
Sampel limbah cair dari Chinese restaurant memiliki nilai kekeruhan yang

paling tinggi dibandingkan dengan sampel limbah cair lainnya.


Konsentrasi Ca(OH)2 30000 ppm untuk mengkoagulasi limbah cair dari Chinese

restaurant berarti belum optimal.


Treatment seperti penyaringan dapat menurunkan total padatan karena padatan
tidak larut dan bahan kasar lain yang berukuran besar dapat tertahan dan

filtratnya tetap turun.


Banyaknya padatan terlarut dan tersuspensi mempengaruhi kejernihan dan

warna air limbah.


Total padatan dapat mempengaruhi meningkatnya nilai TDS yang ada di

dalamnya.
pH chinnese food restaurant pada praktikum ini adalah 4,02.
Tujuan netralisasi ini ialah untuk membuat limbah yang akan dibuang ke

perairan menjadi netral sehingga tidak merusak lingkungan.


Nilai COD selalu lebih tinggi daripada nilai BOD.

36

Nilai COD yang tinggi menunjukan adanya pencemaran pada air oleh zat-zat

organik.
Nilai BOD yang negatif disebabkan karena sampel limbah yang telah diberi

tambahan larutan tidak tercampur secara homogen


Nilai BOD3 yang lebih kecil dari BOD0 dapat disebabkan oleh matinya sebagian

bakteri pengurai kandungan nutrien dalam air limbah.


Treatment pengolahan limbah meliputi : pre-treatment, primay treatments,
secondary treatment, tertiary treatment, dan pengolahan tambahan (desinfeksi,

netralisasi).
Penanganan limbah cair rumah makan dapat dilakukan dengan menggunakan
nanofiltasi atau penggunaan proses biofilter aerobik.

Semarang, 05 Oktober 2015


Praktikan,
Kelompok A3
Rita Theresia M

13.70.0156

Josephine Indriana K

13.70.0152

DeamWidyaningtyas

13.70.0160

Maria Margareta S

13.70.0161

Kiki Christian

13.70.0164

6. DAFTAR PUSTAKA
Alaerts, G. & S.S.Santika. (1984). Metoda Penelitian Air. Usaha Nasional. Surabaya.
Day, R. A & A. L. Underwood. (1992). Analisa Kimia Kuantitatif Erlangga. Jakarta
Endahwati & Suprihatin (2009). Kombinasi proses Aerasi, Adsorpasi, dan Filtrasi pada
Pengolahan Air Limbah INdustri Perikanan. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan. 1,
(2), 79-83.
Fardiaz, S. (1992). Mikrobiologi Pangan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Gintings, P. (1992). Mencegah dan Mengendalikan Pencemaran Industri. Pustaka Sinar
Harapan. Jakarta.

37

Hammer, M. J & M. J Hammer. (1996). Water and Wastewater Technology 3 rd ed.


Prentice- Hall, Inc. New Jersey.
Ibnu, H. (1997). Rekayasa Lingkungan. Gunadarma Yogyakarta.
Jenie, B. S. L. & W. P. Rahayu. (1993). Penanganan Limbah Industri Pangan. Kanisius
Yogyakarta.
Kimball, J.W. (1992). Biologi jilid 1 edisi 5. Erlangga. Jakarta
Kusnaedi. (1998). Mengolah Air Gambut dan Air Kotor Untuk Air Minum. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Resty, M. M & Alia, D. 2013. Pengolahan Limbah Cair Rumah Makan Menggunakan
Membran Nanofiltrasi Silika Aliran Cross Flow untuk menurunkan Fosfat dan
Amonium. Jurnal Teknik POMITS Vol. 2. No. 2. Institut Teknologi Sepuluh
Nopember(ITS).Surabaya.
Mahida, U. N. (1992). Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri. CV.
Rajawali. Jakarta.
Rahayu, Suparni S. (2009). Karakteristiklimbah Kimia Cair.http://www.chem-istry.org/materi_kimia/kimia-industri/limbah-industri/karakteristik-kimia-limbah-cair/
Sastrawijaya, A. T. (1991). Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta. Jakarta.
Silveira, S. T.; Burkert, J. F. M.; Costa, J. A. V.; Burkert, C. A.V.; Kalil, S. J.(2007).
Bioresour.Technol., 98, 1629
Sugiharto. (1987). Dasar Dasar Pengelolaan Air Limbah. Univ Indonesia. Jakarta.
Suhardi. (1991). Petunjuk Laboratorium Analisa Air dan Penanganan Limbah.
Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Utomo, A.R. (1998). Kemungkinan Pemanfaatan Limbah cair Industri Pengolahan
Pangan untuk Irigasi. Jurnal Ilmiah Widya Mandala.
Volk, W.A. & M.F. Wheeler. (1993). Mikrobiologi Dasar. Erlangga. Jakarta.

38

Zoraya, L.Z. & Fitri, I.P. (2015). Pengolahan Limbah Rumah Makan dengan Proses
Biofilter Aerobik. Jurnal Teknik Institut Teknologi Sepuluh Nopember Vol 4, No.
1, ISSN : 2337-3539. Surabaya.
7. LAMPIRAN

TDS = TS TSS
Ulangan 1

7.1.
Perhitungan
7.1.1. Total Solid

( AB ) x 1000
TS =
ml sampel

TDS = 10 1,68 = 8,32


Ulangan 2
TDS = 10 1,46 = 8,54

Ulangan 1
TS

( 24,2124,19 ) x 1000
2

= 10
Ulangan 2
TS

( 24,8724,85 ) x 1000
=
2
= 10

7.1.2. Total Suspended Solid

( BA ) x 1000
ml sampel

TSS =

Ulangan 1
TSS

COD =
(blanko sampel )x Na2 S 2 O 3 x 8000 x pengenceran
ml sampel
Ulangan 1
COD =
(12,5427,6) x 0,1 x 8000 x 10
10
= - 12,048
Ulangan 2

( 0,860,776 ) x 1000
50

= 1,68
Ulangan 2
TSS

7.1.4. Chemical Oxygen Demand

( 0,840,766 ) x 1000
=
50
= 1,46

7.1.3. Total Dissolved Solid

COD =
(12,5424,25) x 0,1 x 8000 x 10
10
= - 9,368
7.1.5. Biochemical Oxygen Demand
BOD3 = ( Volume titrasi BOD0 - Volume
titrasi BOD3) x faktor pengenceran

39

7.1.5.1. BOD hari ke-0

7.1.5.2. BOD hari ke-3

Ulangan 1

Ulangan 1

BOD0 = (8,6 26,5) x 10

BOD0 = (6,1 21,2) x 10

= - 179

= -151

Ulangan 2

Ulangan 2

BOD0 = (15,6 22,4) x 10

BOD0 = (4,5 21) x 10

= - 68

= -165

7.2.

Foto

7.3.

Baku Mutu Limbah

7.4.
7.5.

Jurnal
Laporan Sementara

Anda mungkin juga menyukai