&
STAKE OUT
Disusun Oleh
S. HENDRIATININGSIH S
Edisi II
1981
JURUSAN GEODESI
Fakultas Teknik Sipil & Perencanaan
Institut Teknologi Bandung
KATA PENGANTAR
Geometris Jalan Raya yang dibahas disini hanya lengkungan-lengkungan yang
berbentuk sederhana yaitu Lingkaran, Spiral, Lingkaran Spiral dan Spiral-spiral untuk lengkungan
Horizonmtal dan untuk lengkunagan Vertikal digunakan Lengkungan Parabola yang simetris
berbentuk cekung dan cembung.
Pengetahuan mengenai Geometris Jalan Raya ini untuk dapat membayangkan
bagaimana cara menghitung unsur-unsur Lengkungan yangh diperlukan untuk pematokan (stake
out).
Seloain itu, juga dapat melaksankan pengukuran-pengukuran yang diperlukan untuk pembuatan
pete perencanaan Jalan Raya dan pematokan.
Pada penulisan buku ini kami berpegang pada peraturan-peraturan yang dikeluarkan
oleh Direktorat Jendral Binamarga.
Pengetikan dan pencetkannya dilaksankan oleh staf karyawan PPFK & Jurusan Geodesi
; untuk semua ini kami ucapkan terimakasih.
Diktat edisi ke II ini merupakan revisi dari edisi ke I Juni 1979, mudah-mudahan revisi ini
lebih sempurna.
Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat kiranya dan kritik serta saran-saran kami
nantikan.
Bandung, Maret 81
Penyusun
DAFTAR ISI
JUDUL : GEOMETRIS JALAN RAYA & STAKE OUT
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1
1.2
1.3
1.1.2
Jarak Pandangan
1.1.3
Penampang Melintang
1.1.4
Alinemen Horisontal
1.1.5
Alinemen Vertikal
1.3.2.
1.3.3.
1.3.4.
1.3.5.
Tangen
2.1.2.
Lengkungan Horisontal
2.1.2.1. Lingakaran
2.1.2.2. Spiral-Lingkaran-Spiral
2.1.2.3. Spiral-Spiral
Kelandaian
2.3 Stasioning
BAB III PEMATOKAN/STAKE OUT
3.1
3.1.2
3.2
3.3
3.1.3
3.1.4
Pengukuran Jarak
3.1.5
3.3.2
3.3.3
Problema Rintangan
3.3.4
3.3.5
3.3.6
3.3.7
3.4
3.5
3.6
3.7
3.8
3.3.1
3.3.2
3.3.3
3.3.4
3.3.5
Cara Poligon
3.3.2
3.3.2
3.3.3
DAFTAR RUJUKAN
DAFTAR LAMPIRAN
DAFTAR I
DAFTAR II
DAFTAR III
GRAFIK I
GAFIK II
GRAFIK III
GRAFIK IV
GRAFIK V
GRAFIK VI
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam perencanaan. jalan raya, bentuk geometriknya harus ditetapkan sedemikian
hingga jalan yang bersangkutan mem berikan pelayanan yang optimal kepada lalu lintas sesuai
de:-ngan fungsinya.
1.1. Syarat Teknia Perencanaan Jalan Raya :
1.1.1. Syarat teknis perencanaan jalan raya yang utama adalah memenuhi ketentuanketentuan dasar pera -turan perencanaan geometrik atau standar Perenca naan
Geometrik Jalan Raya (lihat Daftar I) yang dikeluarkan oleh Ditjen Bina Marga,
Dalam peng-gunaannya, ketentuan-ketentuan tersebut adalah lah ketentuan
minum.
1.1.2. Jarak Pandangan
Syaratnya untuk mendapaikan keamanan lalu lintaa. Jarak pandangan ini terdiri
dari 2 yaitu :
lebar perkerasan
lebar bahu
drainage
1.1.4
Alinemen Horisontal
II).
-
1.1.5
Alinemen Vertikal
Panjang minimum lengkung vertikal dembung yang berda sarkan pandangan henti dan
drainage (Grafik III) untuk semua jalan dan Grafik IV berdasarkan jarak pandangan
menyiap yang berlaku untuk jalan raya dua ja lur.
Panjang minimum lengkung vertical cekung yang berdasarkan jarak pandangan waktu
malam dan syarat draina se (Grafik V). Khusus untuk lengkung yang berada pa da
lintasan dibawah, panjangnya ditentukan oleh be -sarnya kebebasan vertikal dan jarak
pandangan (Grafik VI).
Peta-peta yaitu peta topografi, peta kadaster, peta geologi untuk membuat rencana
trase-trase jalan.
Dari peta-peta tersebut diadakan survey penyuluhan pada rencana trase jalan yang telah
dibuair.
dilakukan survey pendahuluan untuk mendapatkan peta dasar dimana akan digambarkan
rencana jalan tersebut.
1.3. Pengukuran-pengukuran Yang Diperlukan Untuk Perencanaan Jalan Raya
Pengukuran yang diperlukan adalah pengukuran topografi, yang dilakukan sepanjang
sumbu rencana jalan dan jembatan serta daerah-daerah di sekitarnya yang diperlukan
dalam pembuatan rencana detail tersebut.
Daerah yang diukur sekurang-kurangnya meliputi :
Daerah selebar 100 m di kiri-kanan rencana sumbu jalan dengan panjang 500 m dari
masing-masing lokasi kepala jembatan.
Daerah sungai mencakup selebar 50 m dari masing-masing tepi sungai dengan panjang
200 m dari sumbu rencana jembatan ke arah hilir dan udik sungai.
Pekerjaan pengukuran ini meliputi :
Pengukuran titik kontrol vertical yaitu melakukan pengukuran waterpas atau sipat datar.
Pengukuran tinggi yang melintasi sungai dilaksanakan dengan metoda double level atau
reciprocal leveling.
Titik kontrol vertical harus diikatkan dengan titik yang telah diketahui ketinggiannya
dengan pengukuran sipat datar teliti.
1.3.2. Pengukuran situasi daerah rencana lokasi jembatan.
Pengukuran ini harus mencakup semua keterangan yang ada di daerah tersebut,
misalnya : rumah rumah, pohon pohon, batas batas sawah, kebun, desa, sungai, saluran
irigasi, arah aliran air dan lain lainnya. Untuk ini, pengukuran dapat dilakukan dengan cara
tachymetri.
1.3.3. Pengukuran penampang memanjang dan melintang.
Pengukuran ini dilakukan sepanjang rencana sumbu jalan dan tegak lurus sumbu jalan
dengan interval 25 m 50 m.
Lebar pengukuran penampang melintang meliputi daerah sejauh 50 meter 100 meter.
Titik titik yang perlu diperhatikan ialah bagian dasar & atas gorong gorong, atau selokan,
saluran irigasi, tebing sungai dan juga dilakukan pengukuran penampang memanjang dan
melintang dari sungai yang dilewati rencana sumbu jalan/jembatan.
1.3.4. Pemasangan patok patok tetap atau pilar Bench Mark.
Patok patok titik control dibuat dari beton, sedangkan patok patok polygon dan profil
dibuat dari kayu. Patok patok tersebut ditempatkan pada tempat tempat yang permanent dan
mudah ditemukan kembali, biasanya patok patok tersebut diberi cat supaya mudah ditemukan
kembali.
1.3.5. Perhitungan dan penggambaran peta.
Hitungan yang dilakukan adalah menghitung koordinat titik titik polygon utama setelah
diratakan, dan dihitung tinggi dari pengukuran waterpass serta hitung hitungan dari pengukuran
situasi.
Setelah data data ukuran selesai dihitung, maka dilakukan penggambaran dengan
sustu skala, biasanya untuk horizontal skala 1 : 1000, sedangkan untuk skala vertikal adakalah
skala 1 : 100.
BAB II
GEOMETRIK JALAN RAYA
2.1.
Alinemen Horisontal
Yang dimaksud dengan alinemen horisontal atau trase suatu jalan adalah proyeksi dari
CC
Titik
TC
Titik
PI
PI
C
TC
Ec
TC
CC
Lc
T1b
TC
CT
II
Rc
Rc
Gambar 1
CT
TItik
TC
= panjang tangent
RC
= Jari-jari lingkaran
= Jarak dari 0 ke TC atau ke CT atau ke setiap titik di
busur lingkaran.
TC RC tan 12 C
1 TC tan 14 C
cis C
E C RC
LC
1
1
2
C
2 RC ; T1b 2 RC sin 12 C
o
360
Untuk dapt menggunakan rumus rumus tersebut di atas, maka sebelumnya haruslah
diketahui jari jari lingkaran RC dan C yang dihitung dari arah tangent tangent tersebut
2.1.2.2.Spiral-lingkaran-spiral
Pada bentuk ini, bagian spiral merupakan perubahan dari bagian lurus kebagian
lingkaran, sehingga dikenal istilah lengkung peralihan.
Istilah peralihan dalam hal ini dimaksudkan untuk menyatakan perubahan jari jari
secara berangsur angsur dari tak terhingga pada awal lengkungan sampai dengan jari jari
busur lingkaran yang bersangkutan.
Bentuk lengkung spiral-lingkaran-spiral digunakan karena pada perencanaan jalan raya
tersebut dipertahankan kecepatan rencananya sedangkan jari jari lingkaran tersebut tidak
dapat memenuhi syarat
standar Geometrik Perencanaan jalan Raya, sehingga jari jari lingkaran yang
digunakan berada di bawah harga harga yang telah ditetapkan (Daftar III) !
(lihat gambar 2 di halaman berikut) !
Keterangan gambar :
Titik TS = titik awal spiral= titik dari tangen ke spiral.
Titik SC = titik dari spiral ke lingkaran.
Titik CC = titik tengah busur lingkaran.
Titik CS = titik dari lingkaran ke spiral.
Titik TS = titik dari spiral ke tangen.
Titik V
= titik pusat.
RC OG =
O SC = O CC = OH
RC = jari-jari lingkaran
LC = panjang busur lingkaran = busur SO - CO OS
EG = jarak luar busur lingkaran = V - CO
C = sudut luar di V
TC = panjang tangen lingkaran
p = pergeseran tangen terhadap lingkaran (shift)
p = jarak dari A ke G
k = absis dari p pada garis tangen spiral
k = jarak dari TS ke A
LT = long tangen = jarak dari TS ke B
ST = s short tangent = jarak dari B ke SO
Garis B-SC-V adalah garis singgung di SO yang tegak lurus jari-jari
garis ST-CS-V dititik OS
RC,
demikian juga
I=
1 1
3 LS
S .C S
Jadi = i C S C S
Biasanya pada perencanaan jalan raya telah diketahui V kecepatan rencana dan
jari-jari lengkungan RC. Dari kedua unsur tersebut maka akan didapat harga Ls (Daftar III) dan
harga-harga lainnya yang dihitung dengan menggunakan rumus rumus sbb :
1) S
LS
LS
.
radial =
2 RC
2 RC
2
1 L
2) i i S C S
3 LS
Cs diabaikan bila s
15
3)
Xi Ii
Ii 5
2
2
40 R C .LS
LS
L
X S LS
LS S LS cos
2
40 RC
40 RC .LS
3
Li
4) Yi
,bila I = SC=CS maka:
6 RC .LS
Ys
LS
L
S LS sin c
6 RC .LS 6 RC
5). p
= Yq - Rr (l - cos -eq)
6). K
= Xs - Rr (l - sin -eq)
7). Et
RC
=
1 - Rc
cos
2
8). Tt
= (Rc + P) tan
9). Lt
YS
tan s
10) ST =
YS
sin s
1
+K
2
11). c = - 2 s
12). Lc = c . Rc
13). Tc = Rc tan
1
c
2
14). Ec = Tc tan
1
c
4
2.1.2.3. Spiral-spiral
Pada lengkungan yang berbentuk spiral-spiral prin sipnya adalah sama dengan
lengkungan spiral ling-karan-spiral , hanya disini panjang busur lingkar-an
LC
= 0, sehingga c
=0, jadi :
Menghitung besaran-besaran bagian spiral-spiral sama dengan menghitung besaranbesaran pada Bab 2.1.2.1. ; No. 1 s/d 10.
2.2.1. Kelandaian
Kelandaian jalan adalah naik/turunnya jalan yang dinyatakan dalam % (persen).
Kelandaian + % berarti jalan itu naik, sedangkan kelandaian - % berati jalan itu turun.
Antara kelandaian-kelandaian tersebut dihubungkan dengan suatu lengkungan vertikal
yang berbentuk lengkungan parabola sederhana yang simetris.
2.2.2. Lengkungan Vertikal
Lengkungan vertikal pada jalan raya merupakan lengkungan yang dipakai untuk
mengadakan peralihan secara berangsur-angsur dari suatu landai berikutnya.
Lengkung vertikal disebut cembung apabila titik potong antara kedua tangent yang bersangkutan
(PVI) ada di atas permukaan jalan, dan disebut cekung apabila titik perpotongannya (PVI) berada
dibawah permukaan jalan.
Pada lengkungan vertikal digunakan lengkungan parabola sederhana simetris karena
pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :
Stas.
no.
O R D I NAT
diukur
diperbaiki
kesalahan
THROW t
2(d+t)
m
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Jumlah
0
5
7
11
16
17
16
13
7
4
0
96
0
4
8
12
16
16
16
12
8
4
0
96
0
+1
-1
-1
0
+1
0
+1
-1
0
0
0
0
0
+2
+2
0
-2
-2
-2
0
0
0
0
+2
+2
+2
0
-2
-4
-2
-2
0
0
;
kita dapatkan
Titik PLV
Titik PVI
Titik PTV
Garis PLV
Rumus rumus yang digunakan untuk menghitung unsur unsur pada lengkungan
parabola cembung adalah :
EV
A LV
800
EV
A LV
8
dimana :
A g 2 g1 dalam %
LV panjang lengkung vertikal (dalam meter) yang dihitung/didapat dari Grafik III,
Xi
E A X2
Yi
V
i
1 L
200 LV
2 V
Jika X i
1
LV , maka Yi EV
2
g1
g2
Tinggi titik PVI, PLV dan PTV dilihat dari peta perencanaan.
.2.2.2. Lengkungan vertikal parabola cekung
.
Lv
1
2
1
2
Lv
Lv
Xi
Xn
PTV
PLV
n
g1 %
g2 %
Yi
Ev
A
PVI
Yn
T X = T PLV +
g1 X
+Y
100
sebesar X
= kelandaian dalam %
A
. X 2 (dalam meter).
200 LV
LV
Bila tinggi titik-titik tersebut dihitung dari titik PTV, maka menggunakan rumus sbb:
TX
= TPTV g2 X
+Y
100
Dimana : TX = tinggi suatu titik dilengkungan parabola yang berjarak horizontal sebesar X
meter dari titik PTV.
TPTV = tinggi titik PTV (dalam meter)
g2
= kelandaian dalam %
= A . X2
200 LV
LV
TPLV = TPVI g1 . LV
100
TPTV = TPVI g2 . LV
101
dalam meter
Atau sebaliknya bila akan menghitung tinggi titik PVI dari PLV dan PTV adalah sbb :
TPVI = TPLV +
g 1 Lv
.
100 2
TPVI = TPTV -
g 2 Lv
.
100 2
As jalan
Badan jalan
h
e = 2%
e = 2%
ki=kiri(-)
kanan=ka(-)
Lebar jalan
(+) ki
e max
As Jalan
h = Beda Tinggi
Ka (-)
Lebar Jalan
As Jalan
Ka (+)
e max
h = Beda Tinggi
(-) ki
Lebar Jalan
h = b.
Diagram super-elevasi pada tikungan bentuknya ter gantung dari bentuk lengkungan
yang ada, yaitu
1. lingkaran
2. spiral-lingkaran-spiral
3. spiral-spiral
2.2.3.1 Diagram super-elevasi pada lingkaran
Dari peta rencana tercantum data lengkungan diantaranya ada data emax, V dan b.
Dengan data V maka Lm = landai relative dari Daftar II.
Dengan data emax dalam %,b dalam meter.
maka dapat dihitung Ls untuk lengkungan lingkaran untuk menggambar diagram superelevasinya,
LS = m x e total x b
Dimana : e total = e max + e normal (dalam satuan m/m)
Dengan uraian sebagai berikut :
Dimana : e max = e % =
e
m/m
100
e normal = 2 % =
2
m/m
100
e max =
2
2b
b 2bmeter
meter
100
100
eb 2b
2 e b 100 meter
100
normal b
total b
Jadi
2 e meter
: LS m
100
Gambar 9.a :
Gambar 9 . c :
27
2.2.3.3. Diagram Super Elevasi Lengkungan Spiral Spiral
Dari peta perancanaan lengkungan Horizontal terdapat data data L s dan emax .
Dari data data tersebut dapat digambar diagram diagram Super Elevasi dan kemringan
melintang dari badan jalan tersebut.
gamabar
Gambar 11. a
Gambar 11. b
Gambar 11. c
28
3.3
Stasioning
Stasioning dimulai dari titk awal proyek dengan nomor stasion 0 + 000. Angka sebelah
kiri tanda + menunjukan kilometer sedangkan sebekah kianan tanda + menunjukan meter. Angka
stasiona bergerak keatas dan tiap 50 meter dituliskan pada gambar perencanaan. Kemudian
nomor stasion pada titik utama stasion yaitu : TS, SC, CS, ST atau TC serta Pi harus
dicantumkan ; pemberian nomor diakhiri pada titik akhir proyek.
GAMBAR
Cara melkukan stasioning adalah sebagai berikut : dengan diketahuinya koordinat titik
awal proyek pada sta 0 + 000 dan koordinat titik titik PI 1 , PI2 .....dst. maka dapat dihitung jarak
jarak d1, d2, d3,.dst
Jarak jarak d ini untuk menghitung stasion PI sebagai berikut :
PI 1 sta . . + . . = (Sta 0 + 000 ) + d1
PI 2 sta . . + . . = (PI 1 sta . . + . . ) + d2
TS sta . . + . . = (PI 1 sta . . + . . ) - Tt
SC sta . . + . . = (TS sta . . + . . ) + Ls
CS Sta . . + . . = (SC Sta . . + . .) + LC
ST Sta . . + . . = ( CS Sta . . + . .) + LS
Kemudian untuk lengkungan yang kedua juga dihitung dari (PI 2 Sta . . + . .), jadi :
TS Sta . . + . . = (PI2 Sta . . + . .) - TS
SS Sta . . + . . = (TS Sta . . + . .) + LS
ST Sta . . + . . = (SS Sta . . + . .) + LS
Untuk stationing selanjutnya sampai dengan stasion akhir, cara melakukannya sama
dengan cara sebelumnya (dihitung dulu Sta PI).
BAB III.
PEMATOKAN/STAKE OUT
Pematokan/Stake out adalah memindahkan atau mentransfer titik-titik yang ada dipeta
perencanaan kelapangan (permukaan bumi).
3.1 Pematokan Jalur Lurus
Pematokan jalur lurus pada jalan raya adalah pematokan tangent atau garis lurus yang
menghubungkan antara dua titik PI.
Pada pematokan tangent, dilakukan pada jarak setiap 50cm dan pemasangan pilar (Bench
Mark) pada jarak maximal 500 meter.
Sebelum melakukan pematokan pada tangent, maka haruslah ditentukan terlebih dahulu
station awal/titik awal rencana sumbu jalan tersebut.
3.1.1 Pematokan suatu titik dilapangan
Untuk menentukan titik/station awal dari rencana sumbu, diperlukan minimal dua pilar
Bench Mark yang ada dilapangan dengan diketahui koordinatnya. Jadi pada waktu akan
membuat peta perencanaan, harus dipasang minimal dua buah pilar BM pada awal sumbu
rencana jalan dan diukur/dihitung koordinatnya.
Misalkan Sta 0 + 000 mempunyai koordinat (X 0 + Y0) yang didapat dari peta perencanaan
secara grafis, dan Sta 0 + 000 adalah titik yang akan dicari letaknya dilapangan dan dalam hal
ini, sebagai pegangan (referensi) dipakai titik-titik Bench Mark (X a,,Ya) dan Bench Mark B (Xb,,Yb).
Untuk menentukan titik awal Sta 0 + 000 dapat dilakukan dari A atau dari B, tergantung dari
situasi dan kondisi dari medannya tetapi sebaiknya dilakukan dua kali yaitu dari A dan B,
sehingga ada suatu koreksi.
Sta 0+000
(Xo, Yo)
U
ao
dao
ab
BM . A(Xa, Ya)
dbo
ba
dab
BM . B(Xb, Yb)
Gambar 13
bo
a).
Xb Xa
Yb Ya
ab =
2. Hitung sudut jurusan garis AO ((ao) :
tan ao
Xo Xa
Yo Ya
ao =
Xo Xa
Y Ya
atau o
sin ao
cos ao
atau
X o X a 2 Yo Ya 2
Letakan alat ukur sudut diatas titik Bench Mark A dan atur alat tersebut
Arahkan alat ukur tersebut ketitik BM-B, misalkan bacaan lingkaran horisontalnya = I 1
Kemudian putar alat ukur searah jarum jam sehingga bacaan lingkaran horisontalnya = I 1
+ (3600 - ).
Ukurkan jarak sepanjang dao yang searah dengan garis bidik teropong pada.***).
Xa Xb
Ya Yb
ba ...0...'..."
Xa Xb
Ya Yb
ba ...0...'..."
3. Hitung sudut = < OBA
= ao ba
4. Hitung jarak BO = dbo
d bo
Xo Xb
Y Yb
atau o
sin bo
cos bo
atau
X o X b 2 Yo Yb 2
Letakkan alat ukur sudut diatas titik BM-B dan atur alat tersebut
Arahkan alat tersebut ketitik BM-A, dan baca lingkaran horisontalnya, misalkan= I 2
Kemudian putar teropong tersebut searah dengan arah jarum jam , sehingga bacaan
lingkaran horisontalnya = I2 +
Ukurkan jarak sepanjang dbo yang searah dengan garis bidik teropong pada ***).
tangen I
tangen II
12
PI2 (X2,Y2)
ab
Sta 0+000
BM.B(Xb,Yb)
Gambar 14
1). Hitung sudut jurusan OB = ob
tan ob
Xb Xo
Yb Yo
ob ...o...'..."
2). Hitung sudut jurusan 01 = 01
tan 01 =
01
X1 X 0
Y1 Y0
= ...
= ob -
o1
= d o1 =
atau
X1 X 0
Y Y0
atau 1
sin 01
cos 01
( X 1 X 0 ) 2 (Y1 Y0 ) 2
Letakan alat ukur sudut dititik sta 0 + 000 dan atur alat tersebut.
Kemudian putar teropong tersebut searah jarum jam sehingga bacaan lingkaran
horisontalnya = 1 3 + ( 360 - )
Ukurkan jarak setiap 50 m yang searah dengan garis bidik teropong sampai dengan
jarak dari Sta 0 + 000 ketitik P1 1 sehingga titik P1
dapat dipatok.
pita ukur
A
d
A
d
d
D
X
h
Gambar 15a.
Dua titik A dan B diukur jaraknya, langsung diatas tanah didapat sebesar d, dimana d
adalah jarak miring, bila permukaan tanah antara A dan B miring seperti gambar 15b dan 15c.
3.1.3. Cara pengukuran jarak dan pembuatan tangent (garis lurus) dilapangan
3.1.3.1. Pengukuran jarak :
Cara pengukuran jarak dengan pita ukur tergantung pada situasi medannya.
Ada beberapa cara, yaitu sbb :
Gambar 15 d
Jarak yang diukur adalah d = jarak miring, yang diperlukan adalah jarak mendatar D
Diukur sudut dengan alat ukur sudut vertikal (clinometers)
Maka jarak mendatar D = d cos .
Sudut dibaca dari clinometers.
Gambar 15c
Cara mengukur jarak dengan memakai koreksi
Koreksi kemiringan = x.
Jarak yang diukur jarak miring d.
Beda tinggi titik A dan B = h.
Jarak yang diperlukan adalah jarak datar D, maka dari ABC di dapat :
d2
= D2 + h 2
= ( d x ) 2 + h2
d2
= d2 - 2d x + x2 + h2
2dx
= x2 + h2
x2
h2
2 d 2d
2d
2d
jadi : X
0 ( diabaikan )
h2
= koreksi kemiringan
2d
jarak mendatar D = d =
h2
2d
pada cara b), yaitu jarak mendatar diukur langsung dengan menggunakan unting-unting
adalah sebagai berikut :
D
Pita ukur
A
Unting-unting
B
untingunting
gambar 16a
d1
A
d2
d3
d4
d5
D
B
Gambar 16 b.
Pada gambar 16a. cara pengukuran jarak titik A dan B, bila A dan B berdekatan.
Gambar 16b.
Bila jarak antara titik A dan B jauh, maka dilakukan pengukurannya sebagian-sebagian, jadi
jarak datar D = d1 + d2 + d3 + d4
3.1.3.2. Pembuatan Tangen di Lapangan :
Setelah letak titik awal, arah dan panjang tangent di ketahui, maka pada prinsipnya
pembuatan tangen dilapangna dapat dilakukan sebagai berikut :
U
tangen
Sta 0+00
Sta 0+100
Sta 0+150
PI
Sta 0+200
Sta 0+050
Sta 0+300
Sta 0.250
Gambar 17.
Misalkan titik Sta 0 + 000 telah diketahui letaknya dilapangan dan arah tangen tersebut
telah diketahui pula, maka pemasangan patok setiap 50 m pada pada garis tangen adalah
sebagai berikut :
Berdirikan alat ukur pada titik Sta 0 + 000, buat arah 1 (arah tengen tersebut) dan
ukuran pita ukur 50 m kemudian dipasang patok kayu yang merupakan titik Sta 0 + 050,
Gambar 18a.
Gambar 18b.
Prinsip
kerjanya
sama
dengan
prisma
Gambar 18d.
Berdiri dititik P diarahkan Ke Q, bila bayangan titik A dan B terlihat pada prisma tersebut
berarti garis PQ tegak lurus AB.
3.1.4.3. Dengan menggunakan pita ukur :
Banyak cara dalam hal menggunakan pita ukur untuk membuat garis saling tegak lurus
dilapangan, diantaranya sbb :
Q
5
R 3
Gambar 18e.
Gambar 18f.
tangen
90
90
90
90
D
Jarak CF
=
jarak DE
Gambar 19a
bangunan
Jarak CD
b. Dengan cara membuat segitiga samasisi
jarakEF
tangen
60
120
120
60
sungai
C
Gambar 19b
Jarak BD = jarak BC = jarak CD
c)
A
tangen
E
540-2
D
Gambar 19c.
Jarak CD = jarak DE
Jarak CE = 2 CD cos = 2 DE cos .
d) Dengan cara membuat segitiga siku-siku
270 -
tangen
C
E
90
Jarak
CE = CD tan
CE =
CE =
Gambar 19d.
3.1.5.2. Bila ternyata banyak rintangan di lapangan.
Cara pembuatan tangen adalah sebagai berikut.
a). Dengan membuat garis sejajar jalur/tangent
A
d
GambarA20a.
d
A
Jarak BC = Jarak DE = d
Jarak BE = Jarak CD
b). Dengan cara membuat segitigfa segitiga sebangun
d1
d2
d3
d4
C
D
E
Gambar 20b
BC
d4
BF
BD
d2
d4
BF
D1
d3 =
. d4
Jarak BG =
. d4
sungai
Gambar 21a.
Jarak BD = BC tan
sungai
900
B
Gambar 21b.
Jarak AC = AB cos
240 0
240 0
C
A
Danau
60
Gambar 21d.
Jarak AC = Jarak AB
= Jarak BC
c). Dengan cara segitiga sembarangan
Sungai
Gambar 21e.
AC 2
= AB 2 + BC 2 - 2 AB
Dimana BC = AC
BC
cos
sin cos
sin
Jadi : AC 2 = AB 2 + ( AC
sin 2
) - 2 AB
sin
AC
sin cos
sin
dan AB
DANAU
Gambar 21f.
Yang diukur jarak-jarak : AC, CE, ED,
Maka jarak AB = AC
, & 180 - .
DE
atau = CB
EC
DE
CD
D
180 e). Dengan cara segitiga sama dan sebangun
180 -
danau
Gambar 21g.
3.1.5.4 Bila letak PI terganggu (tidak dapat) ditempati alat ukur sudut
Dalam hal mengukur sudut di PI bila letak PI terganggu dapat dilaksanakan sebagai berikut :
PI
B
tangen I
dBC
C
tangen II
Pada garis tangen terletak titik B pada tangent I dan C pada tangent II.
Maka untuk mendapatkan sudut di PI dapat dihitung dengan mengatur sudut-sudut di titik B
dan C yaitu dan .
Jadi = +
3.2 Pematokan Lengkungan Horisontal
Pematokan pada lengkungan horizontal dibedakan atas bentuk lengkungan tersebut yaitu:
1. Lingkaran
2. Spiral
Pada pematokan lengkungan berbentuk lingkaran ada 5 cara, dari titik TC.
a.
b.
c.
d.
e.
Gambar 23a.
Dari segitiga TC - 1 - 0 (lihat Gambar 22.a diatas). Panjang busur a membentuk sudut
maka :
Koordinat titik 1, 2, 3, 4, n = CT pada salib sumbu garis tangen (TC - PI) dengan garis yang
tegak lurus pada (TC-0) adalah sebagai berikut :
Untuk titik 1 =
Untuk titik 2 =
Untuk titik 3 =
Untuk titik 4 =
Cara ini banyak hitungannya tetapi letak titik-titik patok/patok pada lengkungan teratur.
3.2.1.2. Cara dengan selisih absis yang sama panjang dari titik Tc.
Gambar 23b.
Selisih absis = a
Untuk titik 1 :
Untuk titik 2 :
Untuk titik 3 :
Untuk titik n :
Cara ini banyak juga perhittingannya dan letak titik-titik -nya pada lengkungan tidak
teratur.
3.2.1.3. Dengan cara perpanjangan tali busur dari TC (lihat gambar 23c dihalaman berikut) !
Panjang talibusur = a
Gambar 23 c
Untuk titik 1 :
X1 = a cos
Y1 = a sin
Dengan cara ini untuk titik 1 dapat diukur x 1 dan y1 dengan sudut 900, juga dapat mengukur
sudut
jarak a. Demikian pula untiik titik 2, selain diukurkan ^arafc-jaralr x 2r ian y2 dengan
sudut 90 (perpanjangan tali busur) frisa juga iengan mengukurkan sudut dari jar&k a.
Hetapi dengan cara perpanjangan tali busur ini selain tidak effisien juga terjadi
pertiunpukan kesalahan.
3.2.1.4. Dengan cara menggunakan koordinat polar atau metoda sudut defleksi.
a). Dari Titik Tc
Tc
/2
a
Rc
/2
a
0
3
. Dengan jarak :
a=n
b=
c 2 Rc sin
n 2 RC sin
n
2
3
2
, ,
; dimana
n T 1b 2 Rc sin
c
2
90
180
180
Gambar 23e.
Dengan cara poligon, jarak-jaraknya antara titik adalah konstan = a.m. dan sudutsudutnya ( 90
),
2
(180 -) atau
B. Dari titik 0
Alat terdiri di 0 dengan sudut-sudut defleksi dan jarak nya Rc (Gambar 23 f)
Gambar 23 f
c. Dari titik PI
Gambar 23g
c
n
n = banyaknya titik
T c =R
tg
tg
1
c
2
y1
Tc X 1
X 1 = R c sin
Y 1 = R c - R c cos
Jadi tg 1
d1 =
Rc (1 cos )
=
1
Rc (tg c sin )
2
y1
Rc (1 cos )
sin 1
sin 1
(1 cos 2 )
1
dan tg 2 =
tg c sin 2
2
d2 =
Rc (1 cos 2 )
sin 2
dn =
Rc(1 cos n )
sin n
Gambar 24a.
Data ukuran sudut dihitung sebagai berikut :
'.
01 = 1/3 ( L1/Lb)2 0s - Cs
0^ = Sudut lentur tltik 1, 2, 3, 4, 5, 6 = sudut defleksi.
L1 = Jarak titik dengan titik 1
I = 1,2,3,4,5,6..
Bila i = Sc, maka 11= Ls dan 0 1= 1/3 0s 0s
dimana :
O s = sudut aspiral dalam derajat
Gambar 24 b
Dari data lengkungan yaitu LS , RC dan S dapat dihitung data untuk pematokan
sbb :
a) li = jarak antara titik TS dengan titik titik I pada busur spiral.
i = titik titik pada busur spiral
b) Xi = jarak titik TS ke titik i pada garis tangen
i = titik titik pada garis tangent
X i li
li
5
2
40 RC LS
li cos i
S C S
LS = Panjang spiral
C S = koreksi spiral dalm detik
C S = 0,0031 S 3
l
li
Yi i S
l i sin i
3
6 RC LS
Bila titik I = SC, maka l i LS
X 6 X S LS
LS
40 RC LS
LS cos C
L
L
X 6 YS S S S LS sin C
3
6 RC
1
C S CS
3
dimana :
Setelah data tersebut dihitung untuk setiap titik, maka jalannya pengukuran adalah sbb :
Bila arah garis tangn yaitu dari TS ke PI sudah diketahui,
Maka :
Dari titik-titik i! Dibuat garis-garis yang tegak lurus garis tangen atau dibuat
sudut-sudut sebesar 90 kemudian diukurkan jarak-jarak Y i, sehingga di dapat
titik-titik i pada busur spiral.
Gambar 25a.
Dian buat sudut defleksi yang besarnya sama dengan sudut defleksi dari titik TC ketitik 3
ditambah
, yaitu
4
, maka akan didapat titik 4.
2
Bila titik 5 dan CT masih dapat terlihat dari titik 3, maka untuk mendapatkan titik 5 dan TC
hanya dengan menambahkan sudut
Dimana : sin
2
2 RC
dan .
1
C dari arah tangen
2
1
C .
2
Juga titik CT dapt ditentukan dari titik PI dengan membuat sudut (180 + C ) dari arah TC
dan jarak PI ke CT sebesar TC = RC tan
3.2.3.2.
1
C .
2
yang terletak pad as/sumbu lingkaran, maka pematokannya hanya titik titik yang tidak melintasi
bangunan tersebut.
Pertama-tama dipasang dahulu titik-titik TC, PI, dan CT. Kemudian dengan cara sudut
defleksi dari titik TC dan CT dipatok titik-titik 1, 2, 5 dan 6. Sedangkan titik-titik 3 dan 4 tidak perlu
dipasang.
Jarak antara titik = a meter ( 5 m 12 m ).
Sedangkan sudutnya sin
2 2 Rc
Gambar.25b.
Untuk menggantikan titik 3 dan 4, maka dibuat titik P dan Q disisi bangunan, dari TC dan CT
dengan jarak TC P = p dan jarak CT Q = q dimana sudut yang dibuat di TC dan CT adalah
dan , dimana:
sin1/2 = p/2.RC dan sin = c/2.RC
Jadi dapat dihitung sudut dan
3.2.3.3. Bila bangunannya terletak dititik TC atau CT :
Bila bangunan terletak di TC atau CT, maka pematokan nya dilakukan dari CT atau
TC dengau cara sudut defleksi dan ditambah titik-titik lain di sekitar bangunan dan pada
garis tangen untuk menentukan nomor-nomor stasion.
Gambar 25c
Pada gambar 24c, penentuan titik-titik 1, 2, 3, 4, dan 5 ditentukan dari titik CT dengan cara sudut
defleksi.
1
2
Kemudian alat diletakan di titik 2, arahkan ke CT, buat sudut sebesar 180 ( C ) maka
2.Q
QR = 2P = (R C - R C cos ) dan sudut 90, karena garis PR dibuat sejajar dengan garis
2.Q
Sta R = Sta 2 -
RC
( 2Q RC sin )
dimana : = 57,296.
PI
?C
TC
CT
R
RC
a
?C
Gambar 25.d
Pada gambar 25d titik c tidak dapat dilokasikan, maka seperti pada gambar 25c, dibuat
garis 4Q sejajar PR .Setelah titik titik 1, 2, 3, 4 dan 5 ditentukan (dipatok) dari titik TC dengan
cara sudut defleksi, maka berdirikana alat di titik 4, arahkan ke titik TC kemudian puter teropong
dengan membuat sudut sebesar { 180 0 - ( + alpaha)} sehingga didapat titik Q. ukur jarak
4Q. Setelah titik Q didapat ukurkan sudut 90 0 dan jarak QR =4P = (RC RC COS alpha), maka
didapat titk R pada garis tangent PI CT.
Gambar 26.a
Misalkan patok 1, 2, 3 dst. adalah patok di as sumbu yang berjarak setiap 50 m.
Tinggi titik 1 telah diketahui (Sta 0 + 000) = t1. m.
Dititik 1 menurut peta perencanaan harus digali sedalam x meter.
Jadi tinggi rencana titik 1 = T1 = t1 - x.
Rencana kelandaian adalah g %, dari rencana kelandaian ini dapat dihitung tinggi rencana titik 2
(Sta 0 + 050)f yaitu,
T2=T1+g/100x50
Demikian juga titik 3 (Sta 0 + 100) dan selanjutnya.
Untuk titik 3 :
T3=T1+g/100x50
Untuk titik n :
Tn=T1+g/100xdn
dn=Jarak dari titik 1 ketitik n.
Setelah mengetahui tinggi rencana dari titik-titik stasion, maka dilakukan pengukuran beda tinggi
dengan cara tinggi garis bidik.
Rambu-rambu ukur diletakan pada titik-titik stasion 1, 2, 3, ......... n.
Baca rambu yang dibidik tersebut misalkan bacaannya adalah a, b, c ........ z. "
Jadi tinggi garis bidik adalah tg b = t1 + a
Gambar 26 b.
*'
.-
"
Gambar 26c
TPVI = rencana titik PVI rencana
G1 dan g2 % = kelandaian rencana
LV =Panjang horisontal keluk rertikal atau jarak dari Sta PLV ke Sta PT7.
Dari data-data tersebut diatas dapat dihitung tinggi renca na titik-titik 16, 17, 18, 19 dan 20 (0? n)
dengan cara sbb:
T16 = TPLV = TPVI (g1/100). (LV/2)
T20 = TPTV = TPVI (g2/100). (LV/2)
Sedangkan titik-titik 17, 18 dan 19 dihitung dengan
rumus:
Tx = TPLV + (g1.x/100) + Y
Bila dihitung dari titik PLV
dan
dalam meter
dalam persen (%)
Setelah didapat (dihitung) tinggi rencana titik-titik pada lengkungan, kemudian dilakukan
pengukuran tinggi dengan cara tinggi garis bidik sehingga dapat dihitung tinggi titik-titik pada
permukaan tanah dan dihitung dalamnya galian atau tingginya timbunan untuk setiap titik.
Gambrar 26d.
Demikian juga hitungan-hltungan untuk lengkungan vertikal, cekung (Gbr 26d), dalam
menenttLkan/menghituing tinggi rencana titik-titik pada lengkungan yaltu : 23, 24, 25, 26 dan 27
(T ) dapat digtuiakan rumus-rumus seperti diatas (untult Gbr. 26c).
Supaya pekerjaan penggalian dan penimbunan berjalan lancax hendaknya pada waktu
pematokan vertikal, patok terseBut di beri warna (cat) yang berlainan. Misalkan untuk patok yang
harua digali menggunakan warna kuning dan untuk patok tim-bunan menggunakan warna merah
atau memasang patok bambu di sebelah patok merah teraebut setinggi timbunannya
Pada pematokan sis/pinggir jalan (untuk membuat badan jalan) dapat dilakukan bersama sama
pematokan as jalan dengan melihat rencana diagram super-elevasi (Bab 2.2.3).
Dan diagram super-elevasi dapat dihitung tinggi rencana titik-titik di pinggir jalan tersebut.
Dengan cara yang sama pada pematokan as jalan dapat juga mematok pinggir jalan tersebut.
Pada waktu pekerjaan tanah berlangsung yaitu galian & timbunan, maka dilakukan pula
pengukuran profil memanjang sepanjang as jalan dan sisi/pinggir jalan untuk memeriksa apakah
sudah atau belum bentuk profil jalan tersebut, atau dengan perkataan lain, sesuai rencana atau
tidak bentuk profil jalan tersebut.
DAFTAR I
STANDAR PERENCANAAN GEOMETRIK
KLASIFIKASI JALAN
JALAN RAYA
UTAMA
I
Klasifikasi Medan
G
>20.000
IIA
Rencana
120
(KM/Jam)
Daerah
60
60
60
Min 2x(2x3,75)
10
Lereng
3,00
Melintang
80
40
G
1.500-8.000
80
60
40
III
G
<2.000
60
40
40
30
B
G
-
60
30
30
40
40
30
30
30
20
20
30
30
20
2x3,50 atau
2x3,50
2x3,00
3,50 6,00
2x(2x3,50)
3,00
3,00
IIC
60
100
80
Lebar
IIB
G
6.000 - 20.000
100
JALAN PENGHUBUNG
1,50
3,00
3,00
2,50
2,50
2,50
1,50
1,50
2,50
2,50
1,00
Perkerasan
2%
2,50
2%
3%
4%
4%
2%
6%
6%
6%
Aspal Beton
4%
Penitrasi Berganda
Paling Tinggi
Maks pelaburan
( Hot-Mix)
Aspal Beton
Atau setaraf
Penitrasi
Dengan aspal
10%
Tunggal
10%
Jenis
Lapisan
Permukaan Jalan
10%
Miring Tikungan Maks
560
350
210
3%
Landai Maks.
10%
350
5%
6%
210
115
4%
** = Untuk 4 jalur
115
50
5%
6%
7%
Catatan : *
210
10%
115
7%
8%
115
50
30
6%
30
6%
8%
10%
50
8%
12%
DAFTAR II
Kecepatan
Jarak
Jarak
Jari-jari lengkung
Landai relatif
rencana
Pandangan
pandangan
minum dimana
anatara tepi
(km/jam)
henti (m)
menyiap (m)
menggunakan busur
perkerasan
790
670
520
380
perlu (m)
3000
2300
1600
1000
peralihan (m)
2000
1500
1100
700
maksimum
1/280
1/240
1/200
1/160
120
100
80
60
225
165
115
75
50
40
30
55
40
30
220
660
140
420
80
240
STANDAR PERENCANAAN ALINYEMEN
440
300
180
DAFTAR RUJUKAN
1). BINA MARGA
1/140
1/140
1/100
DAFTAR LAMPIRAN
Daftar I
Daftar II
Daftar III
Grafik I
Grafik II
Grafik III
Grafik IV
Grafik V
Grafik VI