Anda di halaman 1dari 18

TUGAS PRESENTASI KASUS

BLOK ECCE III


Hipertiroid

Pembimbing:
dr. Shila Suryani, M.Sc, Sp. An

Kelompok H3
Dwijayanti Titie A.
Bagas Ryan Kusuma
M. Savvyany Saputra
Astarie Bella Larasati

G1A011088
G1A011089
G1A011090
G1A011091

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2014
KASUS

Seorang wanita berusia 40 tahun datang ke klinik tempat anda bertugas


dengan keluhan utama dada berdebar-debar. Keluhan dirasakan sejak 2 minggu
yang lalu, semakin lama semakin berat sehingga mengganggu aktivitas seharihari.
Pasien juga mengeluh muah lelah, tangannya sering gemetar, gelisah, sering
merasa kepanasan, sulit berkonsentrasi dan mudah marah. Pasien menjadi mudah
lapar hingga dapat makan 5-6x/hari, namun berat badan tidak meningkat bahkan
cenderung turun. Frekuensi buang air besar pasien meningkat (3-4x/hari) tanpa
disertai perubahan jumlah maupun konsistensi fesesnya. Pasien tidak merasakan
adanya perubahan pada fungsi berkemih.
Keluhan ini baru pertama kali dirasakan. Sebelumnya pasien tidak mempunyai
riwayat penyakit berat yang perlu perawatan rumah sakit seperti penyakit jantung,
tidak sedang dalam pengobatan dan tidak ada riwayat alergi. Tidak ada anggota
keluarga yang menderita keluhan yang sama.
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga yang tinggal di daerah perkotaan
dengan seorang suami dan 3 orang anak. Pasien tidak merokok maupun minum
alkohol.
Dari pemeriksaan fisik ditemukan hasil :
KU

: cemas, tidak tenang

Tinggi badan

: 162 cm

Berat badan

: 51 kg

Tekanan darah

: 130/80 mmHg

Denyut Nadi

: 120x/menit

Frekuensi nafas

: 29x/menit

Temp. Axiller

: 37.8C

Kulit

: Hangat dan lembab

Kepala

: Tidak anemis

Mata

: Eksoftalmus

Leher

: Teraba masa di leher depan, dapat digerakan

Thorax

Cor

: dbn

Pulmo

: dbn

Abdomen

: dbn

Ekstremitas

: Tremor halus (+)

Dari pemeriksaan penunjan diperoleh hasil :


Hb

: 14 g/dl

Leukosit

: dbn

Trombosit

: dbn

TSH

: 0,04 mU/L

T3

: 10,5 ug/dl

T4

: 40,6 ug/dl

Antibody reseptor TSH: (+)


Urinalisis
Protein

: (-)

Glukosa

: (-)

B-HCG

: (-)

EKG

: sinus takikardi

I.

PENDAHULUAN

Hipertiroidisme adalah keadaan tirotoksikosis sebagai akibat dari produksi


tiroid, yang merupakan akibat dari fungsi tiroid yang berlebihan. Hipertiroidisme
(Hyperthyrodism) adalah keadaan disebabkan oleh kelenjar tiroid bekerja secara
berlebihan sehingga menghasilkan hormon tiroid yang berlebihan di dalam darah
(Semiardjie, 2003)
Hipertiroidisme dapat timbul spontan atau akibat asupan hormon tiroid yang
berlebihan. Terdapat dua tipe hipertiroidisme spontan yang paling sering dijumpai
yaitu penyakit Graves dan goiter nodular toksik. Pada penyakit Graves terdapat
dua kelompok gambaran utama yaitu tiroidal dan ekstratiroidal, dan keduanya
mungkin tak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter akibat hiperplasia kelenjar
tiroid, dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan. Pasien
mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin banyak bila panas,
kulit lembab, berat badan menurun, sering disertai dengan nafsu makan yang
meningkat, palpitasi dan takikardi, diare, dan kelemahan serta atropi otot.
Manifestasi ekstratiroidal oftalmopati ditandai dengan mata melotot, fisura
palpebra melebar, kedipan berkurang, lig lag, dan kegagalan konvergensi. Goiter
nodular toksik, lebih sering ditemukan pada pasien lanjut usia sebagai komplikasi
goiter nodular kronik, manifestasinya lebih ringan dari penyakit Graves
(Schteingart, 2006)
Di negara Amerika Serikat, penyakit Graves adalah bentuk yang paling umum
dari hipertiroid. Sekitar 60-80% kasus tirotoksikosis akibat penyakit Graves.
Kejadian tahunan penyakit Graves ditemukan menjadi 0,5 kasus per 1000 orang
selama periode 20-tahun, dengan terjadinya puncak pada orang berusia 20-40
tahun. Gondok multinodular (15-20% dari tirotoksikosis) lebih banyak terjadi di
daerah defisiensi yodium. Kebanyakan orang di Amerika Serikat menerima
yodium cukup, dan kejadian gondok multinodular kurang dari kejadian di wilayah
dunia dengan defisiensi yodium. Adenoma toksik merupakan penyebab 3-5%
kasus tirotoksikosis (Lee, et.al., 2011).
Prevalensi hipertiroid berdasarkan umur dengan angka kejadian lebih kurang
10 per 100.000 wanita dibawah umur 40 tahun dan 19 per 100.000 wanita yang
berusia di atas 60 tahun. Prevalensi kasus hipertiroid di Amerika terdapat pada

wanita sebesar (1 ,9%) dan pria (0,9%). Di Eropa ditemukan bahwa prevalensi
hipertiroid adalah berkisar (1-2%). Di negara lnggris kasus hipertiroid terdapat
pada 0.8 per 1000 wanita pertahun (Guyton, 2007 ).
Tujuan dari penulisan untuk mengetahui penyakit hipertiroid yang mencakup
definisi, epidemiologi, etiologi, penegakkan diagnosis, patofisiologi dan
pathogenesis, penatalaksanaan pada kasus hipertiroid sehingga petugas kesehatan
dapat mengenali dan memberi terapi secara tepat.

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Menurut American Thyroid Association dan American Association of
Clinical Endocrinologists, hipertiroidisme didefinisikan sebagai kondisi
Berupa peningkatan kadar hormon tiroid yang disintesis dan disekresikan
oleh kelenjar tiroid melebihi normal. Hipertiroidisme merupakan salah satu
bentuk thyrotoxicosis atau tingginya kadar hormon tiroid, T4, T3 maupun
kombinasi keduanya, di aliran darah.
Hipertiroidisme adalah sindrom yang dihasilkan dari efek metabolic yang
beredar secara berlebihan oleh hormone tiroid T4, T3 atau keduanya.
Subklinis hipertiroidisme mengacu pada kombinasi konsentrasi serum TSH
yang tidak terdeteksi dan konsentrasi serum T3, T4 normal, terlepas dari ada
atau tidak adanya tanda-tanda gejala klinis (Pauline, 2007).
B. Etiologi
Penyebab Hipertiroidisme adalah adanya Imuoglobulin perangsang tiroid
(Penyakit Grave), sekunder akibat kelebihan sekresi hipotalamus atau
hipofisis

anterior,

hipersekresi

tumor

tiroid.

Penyebab

tersering

hipertiroidisme adalah penyakit Grave, suatu penyakit autoimun, yakni tubuh


secara serampangan membentuk thyroid-stymulating immunoglobulin (TSI),
suatu antibodi yang sasarannya adalah reseptor TSH di sel tiroid (Sherwood,
2002).
1. Tiroid :
a. Graves disease 80% karena ini
Terjadi pada usia 20 40 tahun, riwayat gangguan tiroid keluarga, dan
adanya penyakit autoimun lainnya misalnya DM tipe I
b. Adenoma toksik
c. Toksik nodular goiter
d. McCune-Albrigth
e. Tiroiditis sub akut
f. Tiroiditis limfositik kronik
2. Hipofisis :
a. Adenoma hipofisis

b. Hipofisis resisten terhadap T4


3. Lain :
a. Eksogen
b. Iodine induced hyperthyroidism
c. hCG
C. Epidemiologi
Graves Disease menyumbang antara 60% sampai 80% dari pasien dengan
hipertiroidisme. Hal ini menyerang 10 kali lebih banyak pada wanita
dibandingkan pria, dengan risiko tertinggi onset antara usia 40 sampai 60
tahun. Prevalensi adalah orang Asia dan Eropa. Adenoma autonom dan racun
multi-nodular gondok lebih sering terjadi di Eropa dan daerah lain di dunia di
mana penduduk cenderung mengalami defisiensi yodium, prevalensi mereka
juga lebih tinggi pada wanita dan pada pasien yang lebih tua dari 60 tahun
(Pauline, 2007).
D. Patogenesis dan patofisiologi
1. Patogenesis
Proses pengeluaran hormone tiroid yang normal adalah sebagai berikut:
Hipotalamus

Hipofisis

Tiroid

(menerima
TRH/TIH)

Kurang Lebih

Pengeluaran TIH

Reseptor

TSH/TIH

(tiroid inhibiting

merangsang kelenjar tiroid

hormon)

Kadar

hormon

tiroid di tubuh

Sekresi

hormone

Pengeluaran Pengeluaran

tiroid ke pembuluh

hormon

hormon

darah dan jaringan

tiroid

tiroid

dihentikan

(T3 & T4)

Keterangan:
Panah hitam : umpan balik positif
Panah merah : umpan balik negative
Dari bagan tersebut dapat diketahui bahwa apabila terjadi suatu
peningkatan kadar hormone tiroid didalam tubuh maka akan terjadi
feedback negative menuju hipotalamus. Ketika feedback negative
diterima oleh hipotalamus, maka akan terjadi pengeluaran hormone
inhibiting yang akan menurunkan sekresi/pembuatan hormone tiroid.
Proses ini terjadi ketika tiroid tidak mengalami suatu kelainan, apabila
terjadi suatu kelainan pada tiroid maka proses yang akan terjadi adalah
sebagai berikut (Guyton, 2007).
Hipotalamus

Hipofisis

Tiroid

(menerima
TRH/TIH)
Lebih

Pengeluaran

Reseptor

TIH

ditutupi

oleh

(Tiroid

(Tiroid

Stimulating

Inhibiting

TSH/TIH
TSI

Imunoglobulin)

Hormone)
Kadar

hormon

tiroid di tubuh

Sekresi

hormone

Pengeluaran

Pengeluaran

tiroid ke pembuluh

hormon

hormon

darah dan jaringan

tiroid tidak

tiroid

makin meningkat

dihentikan

(T3 & T4)

Dari bagan diatas dapat dijelaskan bahwa terjadi peningkatan


hormone tiroid. Hal ini disebabkan oleh penutupan reseptor TSH dan
TIH oleh Tiroid Stimulating Inhibitor yang akan merangsang kelenjar
tiroid untuk memproduksi hormone tiroid secara terus menerus. Ketika

produksi hormone tiroid telah dirasa cukup oleh tubuh, maka tubuh akan
memberikan

umpan

balik

negative

kepada

hipotalamus

untuk

mengeluarkan TIH (Tiroid Inhibiting hormone) yang akan menurunkan


produksi hormone tiroid. Dalam kejadian ini, TIH tidak akan
memberikan efek kepada kelenjar tiroid karena reseptornya ditutupi oleh
TSI sehingga kelenjar tiroid akan melanjutkan proses produksi hormone
tiroidnya.
Ketika dilakukan pemeriksaan laboratorium mengenai kadar hormone
tiroid, maka akan didapatkan hasil berupa peningkatan hormone T 3 dan
T4 tanpa adanya peningkatan hormone TSH (Guyton, 2007). Kejadian ini
didapatkan

pada

kasus

penderita

hipertiroidisme,

yang

akan

menyebabkan peningkatan kadar metabolism di dalam tubuh dan


peningkatan tmbuh kembang dari penderita tersebut (Robbins, 2007).
2. Patofisiologi
Hipertiroidisme disebabkan oleh antibody reseptor TSH yang
merangsang aktifitas tiroid, sehingga produksi tiroksin (T4) meningkat.
Akibat peningkatan ini ditandai dengan adanya tremor, ketidakstabilan
emosi, palpitasi, meningkatnya nafsu makan, kehilangan berat badan.
Kulit lebih hangat dan berkeringat, rambut halus, detak jantung cepat,
tekanan nadi yang kecil, pembesaran hati, kadang kadang terjadi gagal
jantung. Peningkatan cardiac output dan kerja jantung selama
ketidakstabilan atrial menyebabkan ketidakteraturan irama jantung,
terutama pada pasien dengan penyakit jantung. Ancaman bagi kehidupan
di kombinasi dengan delirium atau koma, temperatur tubuh naik sampai
41o C, detak jantung meningkat, hipotensi, muntah dan diare.
Penyakit Graves memiliki gejala-gejala patognomonik sebagai ciri
khas atau tanda khusus. Beberapa gejala patognomonik yang menyertai
penyakit Graves, yaitu:
a. Eksoftalmus
Eksoftalmus disebabkan karena limfosit sitotoksik dan antibodi
sitotoksik yang bersintesis dengan antigen serupa seperti TSH reseptor
yang ditemukan di orbital fibroblast, otot orbital, dan jaringan tyroid.
Sitokin yang berasal dari limfosit yang disintesis menyebabkan

inflamasi di orbital fibroblast dan otot ekstraokular, dan hasilnya


adalah pembengkakan pada otot orbital (Gardner, 2007).

Pada hipertiroidisme imunogenik, eksoftalmus dapat ditambahkan


terjadi akibat peningkatan hormone tiroid, penonjolan mata dengan
diplopia, aliran air mata yang berlebihan, dan peningkatan fotofobia
juga terjadi. Penyebabnya terletak pada reaksi imun terhadap antigen
retrobulbar yang tampaknya sama dengan reseptor TSH. Akibatnya
terjadi pembengkakan otot mata, infiltrasi limfosit, akumulasi asam
mukopolisakarida,

dan

peningkatan

jaringan

ikat

retrobulbar

(Silbernagl, et al., 2006).


Pengamatan eksoftalmus dapat dimilai menggunakan suatu
metode yang dinamakan NO SPECS:
0 = No signs or symptom
1 = Only signs (lid retraction or lag)
2 = Soft tissue involvement (periorbital edema)
3 = Proptosis (>22 mm)
4 = Extraocular muscle involvement (diplopia)
5 = Corneal involvement
6 = Sight loss
Namun, metode NO SPECS tidak bisa menilai mata secara
keseluruhan, dan kadang-kadang kronologi gangguan pada mata
pasien tidak berurutan seperti yang tertera di daftar NO SPECS untuk
menilai derajat keparahan yang diderita pasien tersebut. Sehingga
ditakutkan hasilnya jadi kurang valid.
1) Untuk menilai proptosis bisa dilakukan dengan cara visualisasi
antara iris bagian bawah dengan palpebra bagian bawah. Untuk
Graves Disease biasanya iris pasien bisa terlihat di bagian bawah
palpebra, padahal normalnya tidak.

2) Untuk

menilai

proptosis

juga

bisa

menggunakan

alat

exopthalmometer (Harrison, 2005).


b. Tremor
Berbeda dengan tremor yang biasa tejadi pada penyakit Parkinson,
tremor pada penyakit Graves merupakan tremor lembut, bukan tremor
kasar. Tremor halus terjadi dengan frekuensi 10-15 x/detik, dan
dianggap sebagai efek dari bertambahnya kepekaan sinaps saraf
pengatur tonus otot di daerah medulla (Guyton, 2007). Gejala lain
yang mengiringi penyakit Graves, diantaranya:
1) Nafsu makan meningkat, tetapi berat badan turun
Tingginya kadar hormon tiroid menyebabkan

terjadinya

peningkatan metabolisme pada tubuh. Sehingga, tubuh memerlukan


asupan makanan yang lebih banyak untuk megimbanginya.
2) Berat badan turun
Peningkatan metabolisme yang terjadi karena banyaknya hormon
tiroid membuat tbuh menggunakan senyawa-senyawa glukagonik
yang ada di dalam otot untuk membentuk glukosa melalui proses
glukoneogenesis. Karena diambil dari otot, maka pemakaian
senyawa glukogenik secara terus-menerus dapat mengurangi massa
otot sehingga berat badan pun bisa mengalami penurunan (Guyton,
2007).
3) Berdebar-debar
Peningkatan kadar triiodotironin (T3) sebagai salah satu hormon
tiroid dapat merangsang saraf simpatis yang berkaitan dengan
hormon-hormon

yang

dibentuk

medulla

suprarenal,

yaitu

epinephrin dan norepinephrin. Kedua hormon tersebut dapat


meningkatkan frekuensi denyut jantung dengan cara menstimulasi
dan reseptor, terutama reseptor yang berada di membran
plasma otot jantung (Guyton, 2007).
4) Peningkatan frekuensi buang air besar dengan konsistensi normal
Hormon tiroid berperan dalam meningkatkan kecepatan sekresi
getah pencernaan dan pergerakan saluran cerna, sehingga
hipertiroidisme seringkali menyebabkan diare (Guyton, 2007).

Sekresi hormon tiroid

hipertiroidisme

hipermetabolisme

Penguraian glikogen - glukosa

Kontraksi usus

masa protein otot rangka

Degradasi KH, protein dan lemak Sering defekasi

Kebutuhan metabolisme

Sering lelah

BB

Nafsu makan

Bagan patofisiologi berat badan menurun, nafsu makan meningkat, sering


defekasi, sering lelah pada hipertiroidisme

Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan


bereaksi dengan antigen diatas dan
bila terangsang oleh pengaruh sitokin
(seperti interferon gamma

Mengekspresikan molekul-molekul
permukaan sel kelas II (MHC kelas II,
seperti DR4) untuk mempresentasikan
antigen pada limfosit T

Sitokin yang terbentuk dari limfosit


akan menyebabkan inflamasi
fibroblast dan miositis orbit

Menyebabkan pembengkakan otototot bola mata, proptosis dan diplopia

Bagan patofisiologi diplopia dan eksoftalmus pada hipertiroidisme

T3&T4 meningkat

Fungsi hormon tiroid


memodulasi system saraf

Kepekaan sinaps saraf pada daerah


medulla (mengatur tonus otot)

Kepekaan saraf

Rangsangan berlebih

tremor

Bagan patofisiologi tremor pada hipertiroidisme


E. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Pada hipertiroid dapat ditemukan dua kelompok gambaran utama,
yaitu tiroidal dan ekstratiroidal yang keduanya dapat juga tidak tampak.
Tiroidal dapat berupa goiter karena hiperplasia kelenjar tiroid dan
hipertiroidisme akhibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan. Gejala
hipertiroidisme dapat berupa hipermetabolisme dan aktivitas simpatis
yang meningkat seperti pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan
panas, keringat berlebih, berat badan menurun sementara nafsu makan

meningkat, palpitasi, takikardi, diare, dan kelemahan atau atrofi otot.


Manifestasi ekstratiroidal dapat ditemukan seperti oftalmopati dan
infiltrasi kulit lokal yang terbatas pada tungkai bawah biasanya (Amory,
2011).
Pada anamnesis riwayat keluarga dan penyakit turunan, pada
hipertiroid perlu juga mengonfirmasi apakah ada riwayat keluarga yang
memiliki penyakit yang sama atau memiliki penyakit yang berhubungan
dengan autoimun (Amory, 2011).
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat terlihat jelas manifestasi ekstratiroidal
yang berupa oftalmopati yang ditemukan pada 50-80% pasien yang
ditandai dengan mata melotot, fissura paplebra melebar, kedipan
berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan
mata) dan kegagalan konvergensi. Pada manifestasi tiroidal dapat
ditemukan goiter difus, eksoftalmus, palpitasi, suhu badan meningkat, dan
tremor (Amory, 2011).
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu penegakkan diagnosis
adalah pemeriksaan kadar T4 dan T3, kadar T4 bebas atau FT41 (free
thyroxine index), pemeriksaan antibodi tiroid yang meliputi anti
tiroglobulin dan antimikrosom, penguruan kadar TSH serum, test
penampungan yodium radiokatif (radioactive iodine uptake) dan
pemeriksaan sidikan tiroid (thyroid scanning) (Amory, 2011).
4. Gold Standard Diagnosis
Gold standard yang digunakan dalam klinis adalah serum TSH dan
FT4 (Amory, 2011).
F. Penatalaksanaan
1. Farmakologis
Hipertiroid dapat diberikan obat antitiroid golongan tionamid.
Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil yang dipasarkan
dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol yang dipasarkan dengan
nama metimazol dan karbimazol. Mekanisme kerja obat antitiroid bekerja
dengan dua efek, yaitu efek intra dan ekstratiroid. Berikut merupakan
mekanisme masing-masing efek (Palacios, 2012).

a. Mekanisme aksi intratiroid adalah menghambat oksidasi dan


organifikasi iodium, menghambat coupling iodotirosis, mengubah
struktur molekul tiroglobulin dan menghambat sintesis tiroglobulin
sehingga mencegah atau mengurangi biosintesis hormon tiroid T3 dan
T4.
b. Mekanisme aksi ekstratiroid adalah menghambat konversi T4 menjadi
T3 di jaringan perifer. Obat yang bekerja dengan mekanisme aksi
ekstratiroid adalah propiltiourasil (PTU).
Dosis PTU dimulai degan 3x100-200 mg/hari dan
metimazol/tiamazol 20-40 mg/hari dengan dosis terbagi untuk 3-6
minggu pertama. Setelah itu dosis dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai
respon klinis dan biokimia. Jika ditemukan dosis awal belum
memberikan perbaikan klinis, dosis dapat dinaikan bertahap hingga dosis
maksimal, sementara jika dosis awal sudah memberi perbaikan klinis
maupun biokimia, dosis diturunkan hingga dosis terkecil PTU 50 mg/hari
dan

metimazol/

tiamazol

5-10

mg/hari

yang

masih

dapat

mempertahankan keadaan eutiroid dan kadar T4 bebas dalam batas


normal. Pemilihan PTU dan metimazol dapat disesuaikan dengan kondisi
klinis karena berdasarkan kemampuan menghambat penurunan segera
hormon tiroid di perifer, PTU lebih direkomendasikan (Palacios, 2012).
2. Nonfarmakologis
Pada terapi nonfarmakologi, penderita hipertiroid dapat diedukasi
untuk diet tinggi kalori dengan memberikan kalori 2600-3000 kalori per
hari baik dari makanan main dari suplemen, konsumsi protein tinggi 100125 gr (2,5 gr/kg BB) per hari untuk mengatasi proses pemecahan protein
jaringan seperti susu dan telur, olah raga teratur, serta mengurangi rokok,
alkohol, dan kafein yang dapat meningkatkan kadar metabolisme
(Palacios, 2012).
III.
1.

KESIMPULAN

Hipertiroidisme adalah keadaan tirotoksikosis sebagai akibat dari produksi


tiroid, yang merupakan akibat dari fungsi tiroid yang berlebihan.
Hipertiroidisme (Hyperthyrodism) adalah keadaan disebabkan oleh kelenjar

tiroid bekerja secara berlebihan sehingga menghasilkan hormon tiroid yang


2.
3.

berlebihan di dalam darah


Penyebab paling sering adalah graves disease
Manifestasi klinis dari hipertiroid adalah jantung berdebar, rasa lelah,

4.

tremor, gelisah, nafsu makan meningkat namun BB menurun, eksoftalmus.


Penegakan diagnosis hipertiroid dapat menggunakan pemeriksaan

laboratorium kadar FT4 dan TSH


5.
Tata laksana farmakologis yang digunakan adalah PTU dan tiamazol. Tata
laksana nonfarmakologis yang dilakukan adalah diet tinggi kalori dan protein.

DAFTAR PUSTAKA
Amory, JK., Irl BH. 2011. Hyperthyroidism from Autoimmune Thyroiditis in a
Man with Type 1 Diabetes Mellitus: a Case Report. Journal of Medical
Case Reports 2011, 5:277
Gardner, David G, Dolores Shoback. 2007. Basic and Clinical Endocrinology.
Jakarta: Sagung Seto.
Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11.
Jakarta: EGC
Harrison, Tinsley R. 2005. Harrisons Principles of Internal Medicine 16th
Edition. United States of America: McGraw-Hill Companies.
Lee, S.L., Ananthankrisnan, S., Ziel, S.H., Talavera, S., Griffing, G.T., 2011.
Hyperthyroidism. http://emedicine.medscape.com (Diakses tanggal 3
November 2014)

Palacios, SS. Eider, PC. Juan, CG. 2012. Management of Subclinical


Hyperthyroidism. International Journal of Endocrinology and
Metabolism April 2012; 10(2): 490-496
Pauline, M. Chamacho., Hossein, Gharib., Glen, W. Sizemore. 2007. EvidenceBased Endocrinology.
Schteingart, D.E. 2006. Gangguan Kelenjar Tiroid. Dalam Huriawati H., Natalia
S., Pita W., Dewi A.M (Editors). Patofisiologi Konsep Klinis ProsesProses Penyakit Dalam. Penerbit Buku Kedokteran: EGC. Hal: 1225-36
Sherwood, L. 2002. Human Physiology: From Cells to Systems. Penerbit buku
kedokteran: EGC
Silbernagl, Stefan, Florian Lang. 2006. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi.
Jakarta:EGC

Anda mungkin juga menyukai