Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

Pendidikan Agama Islam Lanjutan


Korupsi Dalam Perspektif Islam
Dosen penampuh: Fauzi Emqi., M.Ag

Disusun:

Jockie Suprayogo
Ahmad Hambali
Muhammad Ramdhany
Wasiyatur Rohman
Salamet
Cici

(2014120080)
(2014120009)
(2014120110)
(2014120162)
(
)
(
)

PROGRAM STUDY MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS TRIBHUWANA TUNGGADEWI
MALANG
2016
I.

Latar Belakang

Terdapat banyak ungkapan yang dapat di pakai untuk menggambarkan


pengertian korupsi, meskipun tidak seutuhnya benar. Akan tetapi tidak terlalu
menjauh dari hakikat dan pengertian korupsi itu sendiri. Ada sebagian yang
menggunakan istilah ikhtilas untuk menyebutkan prilaku koruptor, meskipun
dalam kamus di temukan arti aslinya yaitu mencopet atau merampas harta orang
lain. Sementara itu terdapat pengungkapan Ghulul dan mengistilahkan Akhdul
Amwal Bil Bathil, sebagaimana disebutkan oleh al-quran dalam surat al-baqarah
: 188


[1]
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di
antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan)
harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta
benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui
Realitanya praktikal korupsi yang selama ini terjadi ialah berkaitan dengan
pemerintahan sebuah Negara atau public office, sebab esensi korupsi merupakan
prilaku yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku di pemerintahan yang
terletak pada penggunaan kekuasaan dan wewenang yang terkadung dalam suatu
jabatan di sau pihak dan di pihak lain terdapat unsure perolehan atau keuntungan,
baik berupa uang atau lainnya. Sehingga tidak salah apabila ada yang memberikan
definisi korupsi dengan ungkapan Akhdul Amwal Hukumah Bil Bathil apapun
istilahnya, korupsi laksana dunia hantu dalam kehidupan manusia. Mengapa saya
mengungkapkan dunia hantu, sebab dunia hantu merupakan dunia yang tidak
tampak wujut jasadnya, akan tetapi hanya dapat dirasakan dampaknya. Dunia
hantu merupakan sebuah ilusi-fantasi yang mengimplikasikan terhadap dunia
ketidak jujuran, kebohongan, dan hilangnya sebuah kepercayaan.[2]
II.

Istilah Korupsi.
Secara garis besar korupsi merupakan persoalan klasik yang telah lama ada.

Sejarawan Onghokham Menyebutkan bahwa korupsi ada ketiak orang mulai

melakukan pemisahan antara keuangan pribadi dan keuangan umum, dan


pemisahan tersebut tidak ada dalam konsep kekuasaan tradisoanal. Dengan kata
lain korupsi mulai dikenal saat sistem politik modern dikenal. Konsepsi mengenai
korupsi baru timbul setelah adanya pemisahan antara kepentigan keuangan pribadi
dari seorang pejabat Negara dan keuangan jabatannya. Prinsip ini muncul dibarat
setelah adanya revolusi perancis dan dinegara-negara Anglo-sakson, misalnya
Ingris dan amerika serikat yang timbul pada abad ke 19. Semenjak itulah
penyalahgunaan wewenang demi kepentingan pribadi, khususnya dalam soal
keuangan dianggap sebagai tindakan korupsi.[3]
Demokrasi yang muncul di akhir abad ke 18 dibarat melihat pejabat sebagai
orang yang diberi wewenang, sebab dipercaya oleh public. Penyalahgunaan dari
kepercayaan tersebut dilihat sebagai penghianatan terhadap kepercayaan yang
diberikan. Konsep demokrasi sendiri mensyaratkan suatu sistem yang dibentuk
oleh rakyat, dan dikelolo oleh rakyat dan diperuntungkan oleh rakyat.
Konsep politik yang semacam itu sudah barang tentu berbeda dengan apa
yang ada pada konsep kekuasaan tradisional. Dalam konsep kekuasaan tradisional
raja atau pemimpin merupakan Negara itu sendiri. Ia tidak mengenal pemisahan
antara raja dengan Negara yang dipimpinnya. Seorang raja atau pemimpin dapat
saja menerima upeti dari bawahannya atau raja menggunakan kekuasaan atau
kekayaan Negara guna kepentingan pribadi atau keluarganya. Perbuatan tersebtu
tidak dianggap sebagai korupsi, kekuasaan pilitik yang ada ditangan raja bukan
berasal dari rakyat dan rakyat sendiri menganggap wajar apabila seorang raja
memperoleh manfaat pribadi dari kekuasaanya.[4]
Adapun pengertian korupsi dalam arti modern baru terjadi apabila terdapat
konsepsi dan pengaturan pemisahan keuangan pribadi, sebab seorang raja
tradisional tidak dianggap sebagai koruptor apabila menggunakan uang Negara,
karena raja adalah Negara itu sendiri. Akan tetapi secara tidak disadari sebenarnya
konsepsi mengenai anti korupsi sudah ada sejak lama, bahkan sebelum pemisahan
kekuasaan politik secara modern dikenal. Justru dimana tidak adanya pemisahan
antara keuangan dari raja atau pejabat Negara dengan Negara, hal tersebut yang
memunculkan kosepsi anti korupsi. Dengan demikian korupsi dapat didefinisikan
sebagai suatu tindak penyalahgunaan kekayaan Negara (dalam konsep modern)

yang melayani kepentingan umum untuk kepentingan pribadi atau perindividu.


Akan tetapi praktek korupsi sendiri seperti halnya suap menyuap sering ditemui
ditengah masyarakat tanpa harus melibatkan hubungan Negara. Istilah korupsi
data pula mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk tujuan pribadi.
Definisi ini tidak hanya menyangkut korupsi moneter yang konvensional,
akan tetapi menyangkut pula terhadap korupsi politik dan administratif. Seorang
administrator yang memanfaatkan kedudukannya untuk menyras pembayaran
tidak resmi dari para investor (domestik maupun asing) memakai sumber
pemerintah, keduduka, martabat, status, atau kewenangannya yang resmi untuk
keuntungan pribadi dapat pula dikategorikan melakukan tindakan korupsi.[5]
III.

Sangsi tindak pidana Korupsi Dalam Perspektif Islam.


Islam sebagai sistem nilai memegang peranan penting untuk memberikan

pencerahan nila, penyadaran moral, perbaikan mental atau penyempurnaan akhlak


dengan memanfaatkan potensi baik setiap individu, yaitu hati nurani. Lebih jauh
islam tidak hanya berkomitmen dengan upaya pensalehan individu, akan tetapi
jungan pensalehan social. Dalam pensalehan social ini islam mengembangkan
semangat untuk mengubah kemungkaran, semangat saling mengingatkan, dan
saling menasehati. Pada dasarnya islam mengembangkan semongat control social.
Dalam bentuk lain, islam juga mengembangkan bentuk peraturan perundangan
yang tegas, sistim yang mengembangkan bentuk peraturan perundangan yang
tegas, sistem pengawasan administrative dan managerial yang ketat. Oleh sebab
itu dalam memberikan dan menetapkan hukuman bagi pelaku korupsi seharusnya
tidak pandang bulu, apakah ia adalah seorang pejabat ataukah lainnya. Tujuan
hukuman tersebut adalah memberikan rasa jera guna menghentikan kejahatan
yang telah ia lakukan, sehingga dapat diciptakan rasa dama, dan rukun dalam
masyarakat.[6]
Korupsi merupakan perbuatan maksiat yang dilarang oleh syara meskipun
nash tidak menjelaskan had atau kifarahnya. Akan tetapi pelaku korupsi dikenakan
hukuman tazir atas kemaksiatan tersebut. Perbuatan maksiat mempunyai
beberapa kemiripan, diantaranya ialah mengkhianati janji, menipu, sumpah palsu,
dan lain sebagainya. Maka perbuatan tersebtu termsuk dalam jarimah tazir yang

penting. Sebagaimana yang terdapat dalam hadis nabi yang diriwayatkan oelh
ahmad dan tirmizy, yang artinya :
Diriwayatkan oleh Jabir RA dari nabi SAW, Nabi bersabda : Tidak ada
(hukuman) potong tangan bagi pengkhianat, perampok dan perampas/pencopet.
(HR.Ahmad dan Tirmizy).
Sebagai aturan pokok islam membolehkan menjatuhkan hukuan tazir atas
perbuatan maksiat apabila dikehendaki oleh kepentingan umum, artinya
perbuatan-perbuatan dan keadaan yang dapat dijatuhi hukuman tazir tidak
mungkin ditentukan hukumannya sebelumnya, sebab hal tersebut tergantung pada
sifat-sifat tertentu, dan apabila sifat tersebut tidak ada maka perbuatan tersebut
tidak lagi dilarang dan tidak dikenakan hukuman. Sifat tersebut merugikan
kepentingan dan ketertiban umum, dan apabila perbuatan tersebtu telah dibuktikan
didepan pengadilan maka hakim tidak boleh membebaskannya, melainkan harus
menjatuhkan hukuman tazir yang sesuai untuknya. Perjatuhan hukuman tazir
untuk kepentingan dan ketertiban umum ini merujuk terhadap perbuatan
rasulullah saw, dimana ia pernah menahan seorang laki-laki yang dituduh mencuri
unta setelah diketahui buktinya ia tidak mencurinya, maka nabi membebaskannya.
[7] Syariat islam sendiri tidak menentukan macam-macam hukuman untuk tazir,
akan tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dimulai dari hukuman
yang seringan-ringannya, seperti nasehat, ancaman, sampai hukuman yang
seberat-beratnya.
Penerapan sepenuhnya diserahkan terhadap hakim (penguasa), dengan
kewenagan yang dimilikinya, ia dapat menetapkan hukuman yang sesuai dengan
kadar kejahatan dan keadaan pelakunya, dengan memperhatikan ketentuanketentuan umum islam dalam menjatuhkan hukuman yaitu:
1.

Tujuan penjatuhan hukuman, yaitu menjaga dan memelihara kepentingan umum.

2.

Efektifita hukuman dalam menghadapi korupsi tanpa harus merendahkan


martabat pelakunya.

3.

Sepadan dengan kejahatannya sehingga terasa adil.

4.

Tanpa ada pilih kasih, yaitu semua sama kedudukannya didepan hokum.[8]
Seorang hakim dapat mempertimbangkan dan menganalisa bedat dan
ringannya perbuatan yang dilakukan oleh pelaku korupsi. Kejahatan yang telah

ditetapkan sanksi hukuman oleh nash, seorang hakim tidak punya pilihan lain
kecuali menerapkannya. Meskpun sangsi hukuman bagi pelaku korupsi tidak
dijelaskan dalam nash secara tegas, akan tetapi perampasan dan penghianatan
dapat diqiyaskan sebagai penggelapan dan korupsi.
1.

pengertian dan jenis-jenis tazir


Tazir ialah hukuman terhadap terpidana yang tidak ditentukan secara tegas
bentuk sangsinya didalam nash. Hukuman ini dijatuhkan unutk memberikan
pelajaran terhadap terpidana agar ia tidak mengulangi kejahatan yang pernah ia
lakukan, jadi jenis hukumannya disebut dengan Uqubah Mukhayyarah (hukuman
pilihan). Jarimah sendiri yang dikenal dengan hukuman tazir ada dua jenis yaitu :

a.

jarimah yang dikenakan hukuman had dan qishash, apabila tidak terpenuhi
salah satu rukunnya seperti pada jarimah pencurian dihukum tazir bagi orang
yang mencuri barang yang tidak disimpan dengan baik, atau bagi orang yang
mencuri barang yang tidak mencapai nishab pecurian. Pada jarimah zina dihuk
tazir bagi yang menyetubuhi pada selain pada oral sex. Pada jarimah qadzaf
dihukum tazir bagi yang mengqadzaf dengan tuduhan berciuman bukan berzina.

b.

Jarimah yang tidak dikenakan hukuman had dan qishash, seperti jarimah
penghianatan terhadap sesuatu amanah yang telah diberikan jarimah pembakaran,
suap dan lain sebagainya.[9]

2.

Penerapan Tazir bagi pelaku korupsi.


Hukuman tazir dapat diterapkan kepada pelaku korupsi. Dapat diketahui bahwa
korupsi termasuk dalam salah satu jarimah yang tidak disebutkan oleh nash secara
tegas, oleh sebab itu ia tidak termasuk dalam jenis jarimah yang hukumannya
adalah had dan qishash. Korupsi sama halnya seperti hokum Ghasab, meskipun
harta yang dihasikan sipelaku korupsi melebihi dari nashab harta curian yang
hukumannya potong tangan. Tidak bisa disamakan dengan hukuman terhadap
pecuri yaitu potong tangan, hal ini disebabkan oleh masuknya syubhat. Akan
tetapi disamakan atau diqiyaskan pada hukuman pencurian yang berupa pencurian
pengambilan uang hasil curian.
Dalam jarimah sendiri korupsi ada tiga unsure yang dapat dijadikan pertimbangan
bagi hakim dalam menentukan besar hukuman, yaitu :

1)

Perampasan harta orang lain.

2)

Penghianatan atau penyalahgunaan wewenang.

3)

Kerjasama atau kongkalikong dalam kejahatan.


Ketiga unsur tersebut telah jelas dilarang dalam syariat islam. Selanjutnya
tergantung kepada kebijaksanaan akal sehat keyakinan dan rasa keadilan hakim
yang didasarkan pada rasa keadilan masyarakat untuk menentukan hukuman bagi
pelaku korupsi. Meskipun seorang hakim diberi kebebasan untuk mengenakan
tazir, akan tetapi dalam menentukan hukuman seorang hakim hendaknya
memperhatikan ketentuan umum perberian sangsi dalam hokum pidana islam
yaitu :[10]

a.

Hukuman hanya dilimpahkan kepada orang yang berbuat jarimah, tidak boleh
orang yang tidak berbuat jahat dikenai hukuman.

b.

Adaya kesengajaan seseorang dihukum karena kejahatan apabila ada unsur


kesengajaan untuk berbuat jahat, tidak ada kesengajaan berarti karena kelalaian,
salah, atau lupa. Meskipun demian karena kelalaian salah atau lupa tetap diberikan
hukuman, meskipun bukan hukuman kejahatan, melainkan untuk kemaslahatan
yang bersifat mendidik.

c.

Hukuman hanya akan dijatuhkan apabila kejahatan tersebut secara meyakinkan


telah diperbuatnya.

d.

Berhati-hati dalam menentukan hukuman, membiarkan tidak dihukum dan


menyerahkannya kepada allah apabila tidak cukum bukti. [11]
Batas minimal hukuman tazil tidak dapat ditentukan, akan tetapi adalah
semua hukuman menyakitkan bagi manusia, bisa berupa perkataan, tindakan atau
diasingkan. Terkadang seseorang dihukum tazir dengan memberinya nasehat atau
teguran, terkadang juga seorang dihukum tazir dengan mengusirnya dengan
meninggalkannya sehingga ia bertaubat.
Uraian tersebut menegaskan bahwa hukuman jarimah tazir sangatlah
bervariasi mulai dari pemberian teguran sampai pada pemenjaraan dan
pengasingan. Mengenai Uqubah sendiri dibagi menjadi dua yaitu :

1)

Pidana atas jiwa (Al-Uqubah Al-Nafsiyah), yaitu hukuman yang berkaitan


dengan kejiwaan seseorang, seperti peringatan dan ancaman.

2)

Pidana atas badan (Al-Uqubah Al-Badaniyyah), yaitu hukuman yang dikenakan


pada bagan manusia seperti hukuman mati atau hukuman dera, dan lain
sebagainya.

3)

Pidana atas harta (Al-Uqubah Al-Maliyah), yaitu hukuman yang dijatuhkan atas
harta kekayaan seseorang, seperti diyat, denda, dan perampasan.

4)

Pidana atas kemerdekaan, yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada kemerdekaan


manusia seperti hukuman pengasingan (Al-Hasb) atau penjara (Al-Sijn).

Anda mungkin juga menyukai