Anda di halaman 1dari 21

Tutorial

KOMPLIKASI ANESTESI

Disusun oleh:
M.Fourta lasocto
2007730077
Dokter Pembimbing:
dr. M.F. Susanti, Sp.An
dr. Dadang Mulyawan, Sp.An

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
BAGIAN ANESTESI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIANJUR
2015

DAFTAR ISI

Cover ........................................................................................................................1
Daftar isi.....................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang.. ............................................................................... 3

1.2

Insiden................................................................................................4

1.3

ASA Closed Claims............................................................................5

1.4

Penyebab-Penyebab............................................................................5

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN


2.1

Cedera Jalan Napas................................................ 7

2.2

Cedera Saraf Tepi...............................................................................8

2.3

Peranan Posisi.................................................................................... 9

2.4

Kesadaran...........................................................................................14

2.5

Reaksi Alergi..................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Komplikasi-komplikasi yang berhubungan dengan pemberian anestesi tidak dapat

dihindarkan. Bahkan kebanyakan ahli yang berpengalaman, rajin, dan sangat berhati-hati
akan menangani berbagai komplikasi walaupun telah mengikuti standar pelayanan dengan
baik. Komplikasi-komplikasi ini mulai dari yang minor (infiltrasi IV line) sampai pada
malapetaka (cedera otak hypoxic atau kematian).
Ketika kesulitan-kesulitan terjadi, evaluasi yang sesuai, manajemen, dan
dokumentasi adalah kritikal dalam memperkecil atau menyingkirkan hasil-hasil negatif.
Suatu contoh yang baik adalah airway yang sulit yang tidak diantisipasi. Meski suatu
evaluasi airway preanesthetic yang menyeluruh akan membantu dokter mengantisipasi dan
bersiap-siap menghadapi intubasi-intubasi yang paling sulit, namun itu masih saja gagal
untuk meramalkan permasalahan beberapa pasien yang tidak bisa intubasi kecuali dengan
teknik-teknik khusus. Di dalam kasus-kasus ini, meskipun pemberian preoxygenation dan
penekanan cricoid (jika sesuai), resiko aspirasi, obstruksi jalan napas, dan hipoksia, adalah
tinggi dan tindakan extra untuk mengamankan airway (cricothyrotomy atau tracheostomy)
akan diperlukan. Walaupun tindakan pembedahan airway adalah untuk life-saving namun
tidak dapat disangkal bahwa hal tersebut dipertimbangkan sebagai komplikasi/penyulit.
Pasien juga, akan memerlukan ventilasi mekanik sesudah operasi, tindakan operasi kedua,
dan jaringan parut kecil. Contoh lain adalah laryngeal granuloma setelah suatu intubasi
endotracheal rutin yang gampang.

"kesulitan-kesulitan" ini akan memancing tinjauan

ulang institusi, tinjauan ulang sejawat, dan berpotensi tindakan hukum.


Proses pengadilan dapat terjadi meskipun upaya terbaik untuk berkomunikasi
dengan pasien dan keluarga sekitar kejadian intraoperative, keputusan manajemen, dan
penghindaran dari kesulitan-kesulitan yang membawa malapetaka. Penting untuk
mendokumentasikan hasil pemeriksaan jalan napas preoperative, merekam tindakantindakan seperti preoxygenation dan penekanan cricoid dan rincian laryngoscopy, dan
mencatat lengkap catatan postanesthesia sehingga tindakan-tindakan anesthesiologist itu
dapat dipertahankan jika proses pengadilan terjadi.
3

1.2

Insiden
Ada beberapa pertimbangan kenapa sulit untuk dengan teliti mengukur timbulnya

hasil-hasil anesthesia-related yang tidak diharapkan, dikenal juga sebagai kecelakaankecelakaan anesthetic. Pertama-tama, adalah suatu yang mustahil untuk melimpahkan
tanggung jawab untuk suatu hasil yang jelek kepada penyakit yang menyertai pasien,
tindakan pembedahan, atau manajemen anesthetic. Nyatanya, ketiga hal tersebut berperan
dalam suatu hasil yang buruk. Juga sulit untuk mendefinisikan suatu peristiwa yang
terukur. Kematian adalah suatu titik akhir yang jelas, tetapi karena kematian anesthesiarelated perioperative adalah jarang, suatu rangkaian yang sangat besar dari pasien-pasien
harus dipelajari untuk mendapatkan kesimpulan-kesimpulan yang mempunyai makna
statistik.
Meskipun begitu, banyak studi sudah mencoba untuk menentukan timbulnya
kesulitan-kesulitan karena anesthesia. Sayangnya, studi-studi bervariasi di dalam ukuranukuran untuk melukiskan hasil yang tidak diharapkan dari anesthesia-related dan dibatasi
oleh analisa retrospektif. Akhirnya, ketakutan medicolegal merintangi pelaporan yang
akurat.
Angka kematian Perioperative biasanya didefinisikan sebagai kematian dalam 48 h
dari pembedahan. Itu telah jelas bahwa kebanyakan kematian-kematian perioperative
adalah karena penyakit preoperative pasien atau prosedur pembedahan. Angka kematian
yang disebabkan oleh anesthesia jauh menurun selama 30 tahun terakhir dari satu atau dua
kematian per 3000 ke satu atau dua kematian per 20,000 saat ini. Bagaimanapun, statistik
ini harus dipandang dengan keragu-raguan yang pantas dipertimbangkan, sebagaimana
mereka berasal dari negara-negara berbeda yang menggunakan metodologi yang berbeda.
Studi-studi terbaru menunjukkan bahwa angka kematian anesthetic beberapa institusi bisa
bahkan kurang dari 1:20,000. Penurunan ini karena ketersediaan dan pemanfaatan
peralatan pemantauan yang baru, pengetahuan lebih banyak tentang ilmu faal dan ilmu
farmasi berkaitan dengan anesthetic, dan peningkatan tindakan pembedahan dan perawatan
medik. Sungguh, dalam satu studi yang besar, angka kematian khususnya untuk anesthesia
adalah 1 dalam 185,000.

1.3

American Society of Anesthesiologists (ASA) Closed Claims


Sasaran ASA Closed Claims Project untuk mengidentifikasi area-area kematian

utama dalam anesthesia, pola-pola cedera, dan strategi pencegahan. Ini merupakan koleksi
lengkap klaim malpraktek yang diselesaikan yang menyediakan a "snapshot" tanggung
jawab anesthesia daripada studi tentang insiden komplikasi-komplikasi anesthetic. Analisa
terbaru meliputi lebih dari empat dekade (1970-2003) dan termasuk 5803 klaim. Klaimklaim ini
dikelompokkan dalam subyek area (misalnya, kesadaran dan cedera mata) dan
secara independen ditinjau untuk menentukan pola-pola yang menjadi penyebab dan
kewajiban. Klaim untuk cedera gigi seperti halnya klaim yang urutan kejadiannya atau
sifat dari cedera yang tidak bisa direkonstruksi dikeluarkan.

1.4

Penyebab-Penyebab
Kecelakaan-kecelakaan Anesthetic dapat digolongkan sebagai yang dapat dicegah

atau tidak bisa dicegah. Contoh-contoh terakhir meliputi sudden death syndrome, reaksireaksi idiosyncratic obat yang fatal, atau setiap hasil buruk yang terjadi meskipun
manajemennya tepat. Bagaimanapun, studi-studi dari kematian-kematian terkait anesthetic
atau yang nyaris fatal menyatakan bahwa kebanyakan kecelakaan-kecelakaan tersebut
dapat dicegah. Dari peristiwa-peristiwa yang dapat dicegah, kebanyakan melibatkan
kesalahan manusia (Tabel 46-1), sebagai lawan kegagalan fungsi peralatan (Tabel 46-2).
Sayangnya, beberapa tingkat kesalahan manusia tidak bisa dihindarkan, dan suatu
kecelakaan yang dapat dicegah tidaklah sama dengan tidak kompeten. Selama 1990s, tiga
penyebab utama klaim-klaim di ASA Closed Claims Project itu adalah kematian (22%),
cedera syaraf (18%), dan kerusakan otak (9%).

Tabel 46-1.

Kesalahan umum manusia yang menyebabkan kecelakaan-kecelakaan

anesthetic yang dapat dicegah.

Terputusnya sirkuit pernapasan yang tak diketahui

Pemberian obat yang salah

Pengaturan airway yang salah

Pemakaian mesin Anesthesia yang salah

Pemberian cairan yang salah

Terputusnya jalur intravena

Tabel 46-2.

Kegagalan umum fungsi peralatan penyebab kecelakaan-kecelakaan

anesthetic yang dapat dicegah.

Sirkuit Pernapasan

Alat Monitoring

Ventilator

Mesin Anesthesia

Laringoskop

BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1

Cedera Jalan Napas


Cedera struktur-struktur airway merupakan perhatian yang tetap bagi yang

mempraktekkan anesthesiologists. Insersi sehari-hari pipa endotracheal, laryngeal mask


airways, oral/nasal airways, gastric tubes, transesophageal echocardiogram (TEE) probes,
esophageal (boogie) dilators, and emergency airways semua melibatkan resiko rusaknya
struktur airway. Keadaan tidak sehat umum seperti sakit tenggorokan dan dysphagia
biasanya self-limiting tetapi dapat juga gejala-gejala tidak spesifik dari kesulitan-kesulitan
yang lebih tidak menyenangkan.
Cedera airway permanen yang paling umum adalah trauma gigi. Di suatu studi
retrospektif dari 600,000 kasus pembedahan, insiden cedera yang memerlukan intervensi
dan perbaikan gigi kira-kira 1 dalam 4500. Dalam banyak kasus, laryngoscopy dan
endotracheal intubasi dilibatkan, dan gigi seri bagian atas adalah yang paling sering
terluka. Trauma gigi tidak umum terjadi dari oral airways. Faktor-faktor resiko utama
untuk trauma gigi mencakup tracheal intubasi, kondisi gigi yang jelek sebelumnya, dan
karakteristik-karakteristik pasien berhubungan dengan manajemen airway yang sulit
(termasuk gerakan leher dibatasi, pembedahan kepala dan leher sebelumnya, kelainankelainan craniofacial, dan riwayat intubasi yang sulit).
Jenis-jenis lain dari trauma airway bersifat jarang. Meski ada tersebar laporan kasus
di dalam literatur, analisa paling menyeluruh adalah proyek ASA Closed Claims. Laporan
ini menguraikan 266 klaim, yang dikelompokkan oleh lokasi dari cedera. Secara umum,
paling kurang serius adalah cedera-cedera temporomandibular joint (T'MJ), semua
dihubungkan dengan intubasi-intubasi tanpa penyulit dan terjadi kebanyakan pada wanitawanita lebih muda dari 60 tahun. Kira-kira 25% pasien-pasien ini mempunyai penyakit
TMJ sebelumnya. Cedera-cedera Laryngeal terutama mencakup kelumpuhan pita suara,
granuloma, dan dislokasi arytenoid. Kebanyakan cedera-cedera tracheal dihubungkan
dengan tracheotomy darurat, tetapi sedikit yang dihubungkan dengan endotracheal
intubasi. Beberapa cedera terjadi selama intubasi-intubasi rutin yang kelihatannya
gampang. Mekanisme-mekanisme yang diusulkan termasuk gerakan tabung berlebihan di
7

dalam batang tenggorok, nekrosis tekanan, dan relaksasi tidak cukup. Perforasi Esophageal
menyebabkan kematian dalam 5 dari 13 pasien, yang paling sering kali didapatkan
serangan tertunda subcutaneous empisema atau pneumotoraks. Akhirnya, perforasi
pharyngoesophageal secara jelas dihubungkan dengan intubasi yang sulit, usia di atas 60
tahun, dan jenis kelamin wanita. Seperti perforasi tracheal, tanda-tanda jelas nyata sering
tertunda di dalam serangan. Sebagai gantinya, sakit tenggorokan yang awal, nyeri cervical,
dan batuk sering kali berkembang kepada demam, dysphagia, dan dispnea sebagai
mediastinitis, bisul, atau pneumonia berkembang. Tingkat kematian 25-50% setelah
perforasi esophageal dilaporkan, dengan persentase yang lebih rendah dapat dihubungkan
dengan pendeteksian dan perawatan yang cepat.
Memperkecil resiko dari cedera airway mulai dengan penilaian preoperative. Suatu
pengujian airway yang saksama akan membantu menentukan resiko untuk kesukaran.
Dokumentasi pertumbuhan gigi yang ada (termasuk perbaikan gigi) harus dimasukkan.
Banyak praktisi percaya persetujuan preoperative perlu memasukan suatu diskusi resiko
dari gigi, mulut, pita suara, dan trauma esophageal pada setiap pasien yang bisa berpotensi
memerlukan manipulasi airway. Jika suatu airway yang sulit dicurigai, suatu diskusi lebih
terperinci mengenai resiko-resiko (misalnya, tracheostomy darurat) adalah sesuai. Dalam
kasus-kasus yang demikian, persediaan airway darurat dan bantuan dari yang
berpengalaman harus dengan segera tersedia, dan algoritma ASA untuk manajemen airway
yang sulit harus digunakan. Tindak lanjut perlu dilakukan untuk menilai tanda-tanda
tersembunyi perforasi jika ada kecurigaan trauma airway. Jika intubasi tidak bisa dilakukan
secara konvensional, pasien atau pendamping harus diberitahukan dalam hal intervensi
airway di masa depan.

2.2

Cedera Saraf Tepi


Cedera syaraf Perioperative adalah suatu kesulitan yang dikenal pada anesthesia

umum dan regional. Cedera syaraf tepi, bagaimanapun, lebih seringnya dan sering juga
melemahkan masalah. Dalam banyak kasus, cedera-cedera ini membaik dalam 6-12
minggu, tetapi sebagian menetap selama berbulan-bulan atau bahkan tahun. Karena
penyakit saraf tepi biasanya dihubungkan (kadang-kadang salah!) dengan posisi pasien,
suatu tinjauan ulang dari mekanisme dan pencegahan adalah perlu.

Cedera syaraf tepi yang paling umum adalah ulnar neuropathy. Di suatu studi yang
retrospektif pada lebih dari 1 juta pasien, persistent ulnar neuropathy (lebih dari 3 bulan
perlangsungan) terjadi di dalam kira-kira 1 dalam 2700 pasien. Yang menarik, gejala-gejala
awal paling sering terlihat lebih dari 24 h setelah suatu prosedur pembedahan dan mungkin
telah terjadi selagi pasien itu tidur di bangsal rumah sakit. Faktor-faktor resiko mencakup
jenis kelamin pria, tinggal di rumah sakit lebih dari 14 hari, dan perawakan tubuh sangat
kurus atau gemuk sekali. Lebih dari 50% pasien-pasien ini mendapatkan kembali sensoris
penuh dan fungsi motor di dalam 1 tahun. teknik Anesthetic tidak mencakup suatu faktor
resiko; 25% dari pasien-pasien ulnar neuropathy mendapatkan penanganan monitoring atau
lower extremity regional technique. Ini menimbulkan keraguan bahwa suatu mekanisme
peregangan atau tekanan menyebabkan cedera, karena pasien-pasien terjaga akan bereaksi
terhadap ketidaknyamanan. Penemuan ASA Closed Claims Project mendukung
kebanyakan hasil-hasil ini, terutama gejala-gejala tertunda dan kurangnya hubungan antara
teknik anesthesia dan cedera. Studi ini juga mencatat bahwa banyak neuropathies terjadi
meskipun lapisan pelindung tambahan di atas area siku, peniadaan tekanan lebih lanjut
mungkin merupakan suatu mekanisme dari cedera.

2.3

Peranan Posisi
Cedera-cedera syaraf tepi lain sepertinya berhubungan lebih erat dengan posisi atau

prosedur pembedahan. Hal tersebut dapat melibatkan syaraf peroneum, the brachial plexus,
atau femoral dan sciatic nerves. Tekanan luar pada syaraf bisa mengganggu perfusinya,
mengganggu integritas selularnya, dan pada akhirnya mengakibatkan edema, iskemia, dan
nekrosis. Cedera-cedera tekanan sangat mungkin ketika saraf melewati kompartemen
tertutup yang dibentuk oleh selaput-selaput osseofascial yang padat atau melalui suatu jalur
permukaan (misalnya, syaraf perineal di sekitar tulang betis). Lower extremity
neuropathies, terutama melibatkan syaraf peroneum, telah dihubungkan dengan
mempertahankan posisi lithotomy yang tidak sesuai, ekstrim (tinggi), dan lama (lebih dari
2 h). Faktor-faktor resiko pasien untuk kesulitan ini termasuk tekanan darah rendah;
perawakan tubuh kurus; umur lanjut; dan riwayat penyakit vaskuler, kencing manis, atau
merokok. Cedera-cedera syaraf Ulnar dihubungkan dengan pembedahan jantung karena
retraksi tulang rusuk dapat menimbulkan peregangan pada plexus brachialis. Dengan cara
yang sama, syaraf thorax yang panjang bisa terpotong selama pneumonectomy atau
9

axillary lymph node dissection, menghasilkan kelumpuhan otot serratus anterior dan sayap
tulang scapula. Beberapa cedera-cedera plexus brachialis yang mengikuti posisi decubitus
bisa dihubungkan dengan ketidaksesuaian memposisikan axillary roll. Putaran ini harus
caudad pada axilla untuk mencegah tekanan langsung plexus brachialis, dan cukup besar
membebaskan setiap tekanan dari kasur di bagian bahu yang lebih rendah.
Data menyatakan bahwa beberapa cedera syaraf tepi tidak dapat dicegah. Pasien,
prosedur, dan faktor-faktor posisi menyokong sejumlah besar resiko. Meski resiko dari
penyakit saraf tepi harus dibahas selama pemberitahuan persetujuan, terutama pada pasienpasien yang ditempatkan pada posisi nonsupine, praktek-praktek lain bisa sangat
menolong. Ketika memungkinkan, pasien dapat diposisikan sebelum induksi anesthesia
untuk mengecek kenyamanan. Posisi akhir harus dievaluasi secara hati-hati sebelum
ditutupi. Pada kebanyakan keadaan, kepala dan leher harus dipertahankan pada kedudukan
netral untuk memperkecil gangguan saraf atau vaskuler.
Shoulder braces untuk mendukung posisi Trendelenburg harus dihindarkan jika
mungkin, dan shoulder abduction dan rotasi lateral harus diperkecil untuk mengurangi
kesempatan

cedera

plexus

brachialis.

Ekstrimitas-ekstrimitas

atas

tidak

boleh

direnggangkan lebih dari 90 pada setiap sendi dan harus supinasi untuk melindungi
terowongan ulnar. Memperlama pronation lengan bawah dapat menekan syaraf ulnar di
dalam terowongan cubital. Ekstrimitas lebih rendah mestinya tidak mempunyai poin-poin
tekanan yang nyata. Meski cedera-cedera dapat terjadi meskipun dipakai lapisan lunak,
lapisan lunak tambahan bisa sangat menolong pada area-area yang rentan. Dokumentasi
perlu memasukan informasi tentang posisi, termasuk pemakaian lapisan lunak. Akhirnya,
pasien-pasien yang mengeluh tentang sensory atau motor dysfunction dalam periode
postoperasi harus diyakinkan bahwa ini suatu kondisi yang sering sementara. Fungsi
Motor dan sensori harus didokumentasikan dan pasien harus dirujuk untuk evaluasi
neurology dan test fisiologis, seperti hantaran saraf dan studi-studi electromyographic.

10

Tabel 46-4. Efek-efek fisiologis dari posisi umum pasien.


Posisi

Sistem

Efek

Organ
Supine
Horisontal

Jantung

Menyamakan tekanan-tekanan sepanjang sistem arteri;


pengisian dan keluaran jantung kanan ditingkatkan;
penurunan laju denyut jantung dan tahanan perifer

Pernapasan

vaskuler.
Gaya berat meningkatkan perfusi segmen-segmen paruparu posterior; abdominal viscera displace diaphragm
cephalad. Ventilasi spontan membantu segmen-segmen
paru-paru tergantung, selagi ventilasi yang dikendalikan
membantu segmen-segmen anterior. Kapasitas fungsional
sisa berkurang dan dapat turun di bawah closing volume

Trendelenburg Jantung

pada pasien-pasien yang lebih tua.


Pengaktifan baroreseptor-baroreseptor,

secara

umum

menyebabkan penurunan keluaran jantung, tahanan perifer


Pernapasan

vaskuler, laju denyut jantung, dan tekanan darah.


Ditandai penurunan kapasitas paru-paru dari pergeseran
abdominal viscera; peningkatan ventilation/perfusion tidak
sepadan dan atelektasis; meningkatkan kemungkinan

Lain-lain

regurgitasi.
Peningkatan tekanan intracranial dan penurunan aliran
darah cerebral karena kongesti vena cerebral; peningkatan

Reverse

Jantung

Trendelenburg

Lithotorny

tekanan intraokular pada pasien-pasien dengan glaukoma.


Preload, keluaran jantung, dan tekanan arteri berkurang.
Baroreflexes meningkatkan simpatik tone, laju denyut

Pernapasan

jantung, dan tahanan perifer vascular.


Pernapasan secara spontan memerlukan lebih sedikit

Lain-lain

pekerjaan; kapasitas fungsional sisa meningkat.


Tekanan perfusion cerebral dan aliran darah dapat

Jantung

berkurang.
Auto Transfusi dari pembuluh kaki meningkatkan volume
darah sirkulasi dan preload; merendahkan kaki berefek
sebaliknya. Efek pada tekanan darah dan keluaran jantung

Pernapasan

bergantung pada status volume.


Penurunan Kapasitas vital; peningkatan kemungkinan
11

Prone

aspirasi.
Pengumpulan darah di ekstrimitas dan kompresi otot-otot

Jantung

abdominal dapat mengurangi preload, keluaran jantung,

Lateral

Pernapasan

dan tekanan darah2


Kompresi abdomen dan thorax mengurangi pemenuhan

Lain-lain

paru-paru total dan meningkatkan usaha bernafas.


Rotasi kepala yang ekstrim dapat mengurangi drainase

Jantung

vena cerebral dan aliran darah cerebral.


Keluaran jantung tetap kecuali jika obstruksi vena return

decubitus

(misalnya, kidney rest). Tekanan arteri dapat jatuh sebagai


Pernapasan

akibat penurunan tahanan vascular (sisi kanan >sisi kiri).


Penurunan volume paru yang tergantung; peningkatan
perfusi paru yang tergantung. Peningkatan ventilasi paru
yang tergantung pada pasien sadar (no V/Q mismatch);
penurunan ventilasi paru yang tergantung pada pasien yang
dianestesi (V/Q mismatch).

Penurunan lebih lanjut

ventilasi paru yang tergantung dengan kelumpuhan dan


Duduk

pembukaan dada (lihat bab 24).


Pengumpulan darah di bagian tubuh yang lebih rendah

Jantung

mengurangi volume darah pusat. Keluaran jantung dan


tekanan darah arteri jatuh meskipun kenaikan dalam
Pernapasan

denyut jantung dan tahanan sistemik vaskular.


Volume paru dan kapasitas residu fungsional meningkat;

Lain-lain

usaha bernapas meningkat.


Aliran darah cerebral berkurang.

Tabel 46-5. Kesulitan berhubungan dengan ancangan pasien.


Komplikasi
Emboli udara

Posisi
Duduk,

Pencegahan
prone, Pelihara tekanan pembuluh darah di atas

reverse,

0 di luka.

Alopecia

Trendelenburg
Supine,lithotomy,

Normotension, lapisan lunak, dan kepala

Nyeri Belakang

Trendelenburg
Semua posisi

sesekali diputar.
Dukungan pinggang, lapisan, dan fleksi
12

Syndrome

Terutama lithotomy

ringan pinggul.
Pelihara perfusion tekanan dan hindari

Compartemen
Abrasi Kornea

Terutama prone

tekanan eksternal.
Penutupan dan/atau meminyaki dengan

Amputasi digit

Semua posisi

pelumas mata.
Periksa digit-digit menonjol sebelum
mengubah bentuk meja.

Paralisis Syaraf
Plexus Brachial

Semua posisi

Hindari

Common Peroneal

Lithotomy,lateral

langsung pada leher atau axilla.


Lapisan lunak disamping tulang betis

Radial
Ulnar

decubitus
Semua posisi
Semua posisi

bagian atas.
Hindari tekanan disamping humerus
Lapisan lunak disiku, lengan bawah

Ischemia Retina
Nekrosis Kulit

Prone, duduk
Semua posisi

supination.
Hindari tekanan pada bola mata.
Lapisan lunak di atas tonjolan-tonjolan

meregangkan

atau

tekanan

bertulang.

2.4

Kesadaran
Satu rangkaian media melaporkan telah tertanam ketakutan pada mental

masyarakat umum akan tersadar sewaktu anesthesia. Daya ingat yang kuat dan
ketidakberdayaan selagi paralise telah membuat ketidaksadaran menjadi perhatian utama
pasien-pasien

yang

mengalami

anesthesia

umum.

Beberapa

laporan

seperti

mendramatiskan; bagaimanapun, ketika kesadaran terjadi, pasien-pasien dapat mengalami


gejala-gejala yang berkisar dari kecemasan ringan sampai pada gangguan stress
posttraumatic (misalnya, gangguan tidur, mimpi buruk, dan berbagai kesulitan sosial).
Meski insiden sulit untuk didokumentasikan, pola-pola tertentu jelas. Bukti
kesadaran di bawah anesthesia umum ditemukan pada 0.2-0.4% dari kebanyakan studistudi yang dikutip. Jenis-jenis tertentu setting pembedahan paling sering dihubungkan
dengan kesadaran, termasuk trauma utama, obstetri, dan bedah jantung. Di dalam banyak
13

kejadian, kesadaran bisa dihubungkan dengan kedalaman anesthesia yang dapat ditolerir.
Pada studi-studi awal, angka daya ingat intraoperative selama pembedahan trauma utama
telah dilaporkan mencapai 43%; timbulnya kesadaran selama bedah jantung dan secsio
cesaria adalah 15% dan 04%. Mulai dari 1999, ASA Closed Claims Project melaporkan 79
klaim kesadaran; kira-kira 20% terjaga sewaktu paralisis dan sisanya untuk daya ingat di
bawah anesthesia umum. Kebanyakan klaim-klaim untuk terjaga sewaktu paralisis
dipikirkan sebagai akibat dari kesalahan dalam label dan pemberian obat. Daya ingat di
bawah anesthesia umum ditemukan lebih mungkin pada wanita-wanita dan ketika
anesthesia hanya bergantung pada opioid-opioid dan pelemas otot tanpa penggunaan gas
anesthetic. Toleransi yang buruk terhadap anesthesia, kesalahan pengobatan, usia lebih
muda, merokok, dan penggunaan jangka panjang obat-obat tertentu (alkohol, opioid, atau
amfetamina) dapat meningkatkan persyaratan-persyaratan anesthetic untuk keadaan
pingsan.
Mengacu pada studi-studi di atas menyediakan petunjuk-petunjuk bagaimana
memperkecil kemungkinan kesadaran dan bagaimana mengatasinya ketika harus terjadi.
Beberapa clinicians secara rutin mendiskusikan daya ingat dan langkah-langkah yang akan
diambil untuk memperkecilnya sebagai bagian dari persetujuan yang diberitahukan untuk
anesthesia. Sebaiknya mengingatkan pasien-pasien yang akan mendapatkan anesthesia
yang dimonitor dengan pemberian sedative bahwa kesadaran adalah suatu kemungkinan
besar. Anesthetics mudah menguap harus digunakan pada suatu tingkatan konsisten dengan
amnesia (sedikitnya 0.6 minimum alveolar concentration [MAC] ketika dikombinasikan
dengan opioid dan nitro oxida atau 0.8-1.0 MAC ketika digunakan sendirian). Jika ini tidak
memungkinkan, benzodiazepina (dan/atau skopolamina) dapat digunakan. Bergeraknya
pasien bisa menandakan kedalaman anesthetic yang tidak cukup. Dokumentasi harus
meliputi konsentrasi end-tidal dari gas-gas anesthetic (ketika tersedia) dan dosis-dosis
akurat obat-obat amnesia. Penggunaan Bispectral Index Scale (BIS) monitor atau monitormonitor yang serupa bisa

sangat menolong. Akhirnya, jika ada bukti

kesadaran

intraoperative selama follow-up, praktisi itu perlu memperoleh catatan terperinci dari
pengalaman tersebut, jadilah sangat simpatik, jawab pertanyaan-pertanyaan pasien, dan
rujuk pasien untuk konseling psikologis jika sesuai.

2.5

Reaksi Alergi

14

Reaksi-reaksi hipersensitivitas (atau alergi) adalah respon-respon imunologi yang


berlebihan terhadap rangsangan antigenic pada orang yang sebelumnya telah disensitisasi.
Antigen, atau alergen bisa suatu protein, polipeptida, atau molekul yang lebih kecil yang
covalently bound pada suatu protein pengangkut. Lebih dari itu, alergen bisa berupa
substansi itu sendiri, suatu metabolit, atau suatu produk uraian. Pasien-pasien bisa terpapar
ke antigen melalui hidung, paru-paru, mata, kulit, dan bidang alergi gastrointestinal, seperti
juga secara parenteral (IV atau IM) dan transperitoneally. Kelas-kelas khusus dari
monocytes/macrophages memproses antigen dan menyajikan mereka di permukaan selaput
sel protein mereka kepada CD4+ helper T lymphocytes. Kemudian menginduksi suatu TH1
reaksi-reaksi hipersensitivitas tertunda yang secara sederhana dibagi menjadi empat jenis
(Tabel 46-7). Dalam banyak kasus suatu alergen, misalnya, latex, dapat menyebabkan lebih
dari satu jenis reaksi hipersensitivitas.
Tabel 46-7.Reaksi Hypersensitivity
Type I (immediate)

Type Ill (complex immun)

Atopy

Reaksi Arthus

Urticaria-angioedema

Serum sickness

Anaphylaxis

Pneumonitis Hipersensitivitas Akut

Type II (cytotoxic)

Type IV (delayed, cell-mediated)

Reaksi tranfusi hemolitik

Dermatitis Kontak

Autoimmune

Tuberculin-type hypersensitif

Heparin-induced thrombocytopenia

Pneumonitis Hipersensitivitas Kronik

Reaksi-reaksi Tipe I melibatkan antigen yang bertaut-silang dengan imunoglobulin


(Ig) E antibody mencetuskan pelepasan mediator-mediator inflamasi dari sel mast. Dalam
tipe II reaksi-reaksi komplemen-fixing (C1-binding) IgG antibody terikat pada antigen di
permukaan-permukaan sel mengaktipkan classic complement pathway dan melisiskan selsel. Contoh-contoh dari reaksi-reaksi tipe II termasuk reaksi-reaksi transfusi hemolytic dan
heparin-induced thrombocytopenia. Reaksi-reaksi Tipe III terjadi ketika antigen-antibodi
(IgG atau IgM) imun-kompleks disimpan di dalam jaringan, mengaktipkan komplemen
dan membangkitkan faktor kemostatik yang menarik neutrofili-neutrofili ke area tersebut.
Neutrofili-neutrofili yang diaktipkan menyebabkan cedera jaringan dengan melepaskan
enzim-enzim lysosomal dan produk-produk beracun. Reaksi-reaksi Tipe III termasuk
reaksi-reaksi penyakit serum dan hipersensitivitas akut pneumonitis. Reaksi-reaksi Tipe IV,
sering kali dikenal sebagai hipersensitivitas tertunda, ditengahi oleh CD4+ T limfosit yang
15

telah dibuat peka terhadap suatu antigen yang spesifik oleh paparan terdahulu. Sebelumnya
respon TH1 menyebabkan ekspresi suatu Protein sel yang peka rangsangan sel T yang
spesifik untuk antigen. Reexposure kepada antigen menyebabkan limfosit-limfosit ini
menghasilkan limfokin-interleukin (IL), interferon (IFN), dan tumor necrosis factor-y
(TNF-y) -yang menarik dan mengaktifkan sel-sel mononuklir inflamasi di atas 48-72
h.Produksi IL-1 dan IL-6 oleh sel-sel antigen-processing memperkuat ekspresi clonal dari
sel-sel T spesifik yang peka dan menarik jenis-jenis lain dari sel-sel T. Sekresi IL-2
mengubah bentuk CD8+ sitotoksik T cells menjadi sel-sel pembunuh; IL-4 dan IFN-y
menyebabkan makrofag-makrofag mengalami perubahan kebentuk epithelioid, sering kali
menghasilkan granuloma. Contoh-contoh dari reaksi-reaksi tipe IV adalah yang
berhubungan dengan tuberkulosis, histoplasmosis, schistosomiasis, dan hipersensitivitas
pneumonitis seperti juga beberapa gangguan autoimmune seperti radang sendi rheumatoid
dan granulomatosis Wegener.
1. Reaksi Hipersensitifitas Cepat
Paparan awal pada orang yang peka kepada suatu antigen mempengaruhi CD4+
T cells untuk menghasilkan IL-4, IL-5, IL-6, IL-10, dan granulocyte-macrophage
colony-stimulating factor (GM-CSF). Limfokin-limfokin ini mengaktifkan dan
mengubah bentuk limfosit-limfosit B spesifik menjadi sel plasma, yang memproduksi
allergen-specific IgE antibodies (Gambar 46-2). Bagian Fc antibodi ini lalu terkait
dengan high affinity receptors di permukaan sel mastosit jaringan dan basofili-basofili
sirkulasi. Selama tahap paparan kembali pada antigen, antigen mengikat bagian Fab
dari adjacent IgE antibodies di permukaan mastosit, termasuk degranulation dan
pelepasan mediator-mediator inflamasi lipid dan sitokin-sitokin tambahan dari
mastosit. Hasil akhir adalah suatu peningkatan kalsium intracellular yang menyebabkan
degranulation mastosit, pelepasan histamin, tryptase, proteoglycans (heparin dan
kondroitin sulfat), dan karboksipeptidase-karboksipeptidase. Peningkatan kalsium
intracellular juga mengaktifkan prostaglandin (sebagian besar prostaglandin D2) dan
leukotriena (B4, C4, D4, E4, dan platelet-activating factor) sintese. Leukotrienaleukotriena sebelumnya dikenal sebagai substansi anafilaksis yang bereaksi lambat.
Mediator-mediator tambahan termasuk neutrophils chemotactic factors (NCF),
osinophil chemotactic factor of anaphylaxis (ECF-A),

dan basophil kallikrein of

anaphylaxis (BK-A). Mastosit juga melepaskan IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IFN-Y, TNF-a,
dan GM-CSF. Efek kombinasi mediator-mediator ini dapat menghasilkan arteriolar
16

vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas vaskuler, meningkatkan sekresi mukus,


kontraksi otot polos, dan manifestasi-manifestasi klinis lain dari reaksi-reaksi Tipe I.
Reaksi-reaksi hipersensitivitas Tipe I digolongkan sebagai atopic atau yang
nonatopic. Gangguan-gangguan Atopic pada umumnya mempengaruhi kulit atau
saluran pernapasan dan termasuk allergic rhinitis, atopic dermatitis, dan allergic
asthma.
Gangguan-gangguan

hipersensitivitas

Nonatopic

termasuk

urtikaria,

angioedema, dan anafilaksis; ketika reaksi-reaksi ini bersifat ringan mereka muncul di
kulit (urtikaria) atau jaringan subcutaneous (angioedema), tetapi jika berat, akan
bersifat umum dan merupakan emergenci medis yang mengancam hidup (anafilaksis).
Lesi-lesi urticaria ditandai dengan well-circumscribed skin wheals dengan perbatasanperbatasan erythematous yang bagian tengahnya pucat; mereka sungguh pruritic dan
bisa dilokalisir atau generalized. Angioedema muncul sebagai edema cutaneous
nonpitting sebagai hasil vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah
subcutaneous. Ketika angioedema menjadi luas, dapat dihubungkan dengan pergeseran
cairan yang besar; ketika itu dilokalisir pada mukosa pharyngeal atau laryngeal, maka
dapat dengan cepat mengganggu jalan napas.

17

Obat Bebas
Fiksasi pada antibodi
IgE pada sel mast
dan basofil darah

Carier
Contoh: Albumin
Obat Carier
Kompleks

Prednison Blok

Mitosis

Reaginic antibodi IgE

Makrofag

Antibodi IgE
memproduksi sel

Reaginic Antibodi IgE


membentuk prekursor sel

Ikatan alergen untuk menspesifikasi antibodi IgE pada


permukaan sel mast menyebabkan pelepasan mediator

Blok parsial
antihistamin
Histamin, kinin, leukotrien
(SRS), prostaglandin,
serotonin, platelet, faktor
aktivasi

Degranulasi dan
pelepasan mediator

Otot halus dan organ


lain

Isoproterenol, teophylin,
epineprin, dan kromolin blok
parsial

gambar 46-2. A: Induksi dari IgE-mediated allergy sensitivity terhadap obat dan
allergen lain..
B: Respon dari sel IgE-sensitized terhadap paparan subsequent
terhadap allergens. lg, Immunoglobulin.
2. Reaksi Anafilaksis
Anafilaksis adalah satu respon berlebihan pada suatu penyebab alergi
(misalnya, antibiotic) yang ditengahi oleh suatu reaksi hipersensitivitas tipe I. Sindrom
muncul dalam beberapa menit mengikuti paparan suatu antigen yang spesifik pada
orang yang peka dan secara khas ditandai oleh acute respiratory distress, circulatory
shock, atau keduanya. Kematian biasanya terjadi karena asfiksia atau syok sistemik
ireversibel. Timbulnya reaksi anafilaktik selama anesthesia diperkirakan 1:5000 sampai

18

1:25,000 anesthetics. Antibiotics adalah penyebab yang paling umum reaksi


anafilaktik, tetapi latex juga telah menjadi suatu penyebab penting.
Mediator-mediator yang paling penting dari anafilaksis adalah histamin,
leukotriena-leukotriena, BK-A, dan platelet-activating factor. Mereka meningkatkan
permeabilitas

vaskuler

mengkontraksikan

otot

dan

kontraksi

otot

polos.

polos

bronchial,

sedangkan

Aktivasi

H1-receptor

pengaktifan

H2-receptor

menyebabkan vasodilasi, peningkatan sekresi mukus, tahikardi, dan peningkatan


kontraksi

miokard.

BK-A membelah

bradikinin

dari

kininogen;

bradikinin

meningkatkan permeabilitas vaskuler dan kontraksi otot polos. Pengaktifan faktor


Hageman dapat memulai koagulasi intravaskuler pada beberapa pasien-pasien. ECF-A,
NCF, dan Ieukotriene B4 menarik sel-sel radang yang menengahi cedera jaringan
tambahan.
Angioedema dari pharynx, Iarynx, dan trachea menimbulkan obstruksi jalan
napas atas, sedangkan bronkospasme dan mucosal edema mengakibatkan obstruksi
jalan napas bawah. Histamin dapat menyebabkan konstriksi khususnya pada jalan
napas besar, sedangkan leukotriena-leukotriena terutama mempengaruhi jalan napas
perifer yang lebih kecil. Transudation cairan ke dalam kulit (angioedema) dan viscera
menghasilkan hypovolemia dan syok, sedangkan vasodilatasi arteriolar menurunkan
tahanan vascular sistemik. Hypoperfusion coronaria dan hypoxemia menimbulkan
arrhythmias dan myocardial iskemia. Mediator-mediator Leukotriena dan prostaglandin
dapat juga menyebabkan vasospasme coronaria. Syok sirkulasi yang memanjang
mengakibatkan asidosis laktat yang progresif dan kerusakan ischemic pada organ-organ
vital lainnya. Tabel 46-8 meringkas hal penting dimana manifestasi-manifestasi kulit
dan cardiovasculer merupakan hal yang lebih umum pada anafilaksis daripada
bronkospasme selama anesthesia.
Tabel 46-8. Manifestasi Klinis dari Anafilaksis
Sistem Organ Gejala and Symptom
Cardiovaskuler
Pulmonal
Dermatologi

Hipotensi,1 takhikardi, aritmia


Bronchospasme, batuk, dyspnea, edema pulmonal, edema laryngeal,
hypoxia
Urticaria, 1 edema facial, pruritus

19

Penatalaksanaan anafilaksis :
Hentikan pemberian obat
Pemberian 100% oxygen
Epinephrine (0.01 - 0.5 mg IV atau IM)
Pertimbangkan Intubasi atau tracheostomy
Cairan intra vena (injeksi ringer laktat 1-2 L)
Diphenhydramin (50-75 mg IV)
Ranitidin (150 mg IV)
Hydrocortison (di atas 200 mg IV) atau methylprednisolon (1-2 mg/kg)
Dosis dan perjalanan epinefrin tergantung pada beratnya reaksi.
Infuse 0,001 mg/menit bila diperlukan

20

DAFTAR PUSTAKA

1. Cousins MJ, bridenbaugh PO. Neural Blockade in Clinical Anesthesia and


Management of Pain. JBLippincott Company, Philadelphia, 1980:437-42.
2. Vincent JC. Principle of Anesthesiology general and regional Anesthesiology. 3th
ed. Lea & Febriger. Philadelphia. 1993:1357-9.
3. Kaufman L, Sowray JH, Rood JP. General Anesthesia, Local Analgesia and
Sedation. Blackwell Scientific Publication, London. 1992: 87.
4. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2, Jakarta, EGC, 1996:
82-3.
5. Haas DA. Localized Complication from Local Anesthesia. Journal of the California
Association.2000: 1-3

21

Anda mungkin juga menyukai