A. Interaksi Sosial 1. Pengertian Interaksi Sosial Sejak lahir manusia mempunyai
naluri untuk hidup bergaul dengan sesamanya. Naluri ini merupakan salah satu ke butuhan manusia yang paling mendasar. Manusia tidak bisa memenuhi kebutuhannya s endiri-sendiri tanpa bantuan manusia lainnya. Keterkaitan tersebut menggambarkan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Secara sosiologi proses ini merupakan pros es sosial, yang mana proses sosial membutuhkan hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Proses sosial yang juga dapat dinamakan inter aksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, oleh karena tanpa interaks i sosial, tak akan mungkin ada kehidupan bersama. Soekanto dengan mengutip Gilli n dan Gillin mengatakan bahwa interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosia l yang dinamis, menyangkut hubungan antara orang-perorangan, kelompok-kelompok m anusia, maupun sebaliknya orang-perorangan dengan kelompok.20 Dari sinilah mulai terbentuk berm acam-macam kelompok sosial (sosial group) yang ada dimasyarakat. Mulai dari yang terkecil yaitu keluarga sampai pada organisasi-organisasi massa dan perkumpulan -perkumpulan paguyuban, patembeyan dan lain sebaginya. 20 Soerjono Soekanto, Sosiologi; Suatu Pengantar, (cetakan ke 13), Jakarta, PT R ajawali, 1990, Hal. 69 19 Soekanto menganggap bahwa kehidupan masyarakat sebagai kesatuan psychis yang leb ih tinggi semula terbentuk dari kesatuan biologis, yaitu dorongan untuk makan, d orongan untuk memepertahankan diri dan dorongan untuk melangsungkan jenis. Sekur ang-kurangnya dari tiap proses tersebut mempunyai tiga aspek kejiwaan, yaitu asp ek naluriah atau perasaan, aspek kebisaaan dan aspek pikiran. Yang mana ketiga a spek tersebut sangat mempengaruhi dalam proses individu berinteraksi sosial dala m masyarakat. Oleh karena itu, interaksi sosial antar umat beragama dalam menumb uhkan kerukunan sangat diperlukan, terlebih lagi dua kekuatan agama yaitu Islam dan Kristen. Disatu sisi agama ini mampu menciptakan stabilitas ditengah-tengah masyarakat dan disisi lain menjadi ancaman disintegrasi dan sumber konflik yang tak pernah usai bagi masyarakat. 2. Syarat-syarat Terjadinya Interaksi Berdasark an uraian di atas jelaslah bahwa proses sosial ataupun interaksi sosial merupaka n hubungan-hubungan sosial yang dinamis. Dengan kata lain interakasi sosial menu mbuhkan suatu pengaruh, stimulus dari individu kepada individu lainnya yang menc iptakan keterkaitan satu dengan yang lainnya dalam kehidupan nyata sehari-hari. Dimana interaksi sosial merupakan proses timbal balik, yang menyangkut hubungan orang-perorang, antara kelompok manusia maupun antara perorang dengan 20 kelompok yang saling mempengaruhi tindakan sesorang atau prilaku sesorang. Menur ut max Weber, tindakan seorang individu yang dapat mempengaruhi individuindividu lainnya dalam masyarakat.21 Interaksi sosial dapat berlangsung jika memenuhi du a syarat, yaitu adanya kontak sosial dan adanya komunikasi.22 a. Kontak Sosial K ontak sosial adalah hubungan antara satu pihak dengan pihak lain yang merupakan awal terjadinya interaksi sosial dimana masing-masing pihak saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya. Kontak sosial dapat terjadi secara langsung mau pun tidak langsung, fisik maupun non-fisik. Dalam hal ini kontak sosial tidak ha nya terjadi di dunia nyata tetapi juga di dunia maya melalui teknologi internet. Hal mendasar dari interaksi sosial adalah adanya reaksi dari pihak lain. Dengan kata lain, interaksi sosial atau kontak sosial terjadi karena adanya aksi dan r eaksi dari dua belah pihak atau lebih. Kontak sosial dapat dikatakan positif dan negatif tergantung pada tindakan yang dilakukannya. Kontak sosial yang bersifat positif, apabila kontak sosial itu mengarah pada bentuk kerjasama. Sedangkan ko ntak sosial bersifat negatif apabila mengarah pada pertentangan. Biasanya kontak sosial positif akan mengarah kepada interaksi sosial yang bersifat asosiatif, y ang berbentuk kerjasama, akomodasi, asimilasi dan akulttuasi. Sebalikma kontak s osial yang bersifat negatif akan mengarah 21 Doyle Paul Johnson, teori sosiologi klasik dan modern, jilid I (terj. M.Z Law ang), Jakarta, Gramedia, 1986, Hal. 219 22 Soerjono Soekanto, Op. Cit, Hal. 71 21 kepada interaksi sosial disosiatif, pertentangan atau konflik. b. Komunikasi Kom unikasi berasal dari bahasa latin communicare yang berarti berhubungan, secara h arfiah komunikasi berarti berhubungan atau bergaul dengan orang lain. Orang yang menyampaikan komunikasi disebut komunikator, sedangkan orang yang menerima komu nikasi disebut komunikan. Dalam proses komunikasi faktor terpenting adalah kemam puan memberikan tafsiran dan tanggapan terhadap perilaku orang lain, meliputi pe rasaan-perasaan yang ingin disampaikan orang tersebut, kemudian memberikan reaks i terhadap perasaan orang tersebut. Dalam komunikasi ini dapat terjadi banyak pe nafsiran terhadap perilaku komunikator.23 Apabila hubungan antara kedua belah pi hak tidak dapat saling memahami maka tidak akan terjadi komunikasi yang harmonis . Suatu proses komunikasi dapat dikatakan komunikatif apabila pesan yang disampa ikan berdaya guna (praktis, efisien, rasional, dan mudah dicerna) dan berhasil g una (jelas maksud dan tujuannya). Dengan demikian apabila komunikasi dapat berja lan baik maka interaksi sosial dapat berjalan dengan baik. 3. Faktor-faktor yang mendasari interaksi sosial Menurut Soerjono Soekanto ada e mpat faktor yang mendasari terjadinya interkasi sosial, yaitu; imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati.24 23 Abdulsyani, Sosiologi, Skematika, teori dan terapan, Jakarta, Bumi aksara, 20 02, Hal. 150-155 24 Soerjono Soekanto, Ibid, Hal. 69 22 a) Imitasi adalah proses sosial atau tindakan seseorang untuk meniru orang lain melalui sikap, penampilan, gaya hidupnya, bahkan apa saja yang dimiliki oleh ora ng lain. Misalnya, seorang anak sering meniru kebisaaan-kebisaaan orang tuanya s eperti cara bicara, cara berpakaian, dan lain sebagainya.25 Imitasi ini dapat be rlangsung dalam kehidupan sosial yang sangat luas. Agar proses imitasi ini tidak mengarah pada hal-hal yang bersifat negatif, maka diharapkan adanya kondisi mas yarakat yang mengembangkan sistem nilai dan norma yang mampu menunjang sendi-sen di kehidupan masyarakat. b) Sugesti adalah rangsangan. pengaruh atau stimulus ya ng diberikan seorang individu kepada individu lainnya sedemikian rupa, sehingga orang yang diberi sugesti tersebut menuruti atau melaksanakan apa yang disugesti kan tersebut tanpa berpikir panjang dan kritis. Wujud sugesti bisa berbagai bent uk dan sikap atau tindakan, seperti sikap prilaku, pendapat saran, pertanyaan, d an lain sebagainya.26 c) Identifikasi adalah upaya yang dilakukan oleh seorang i ndividu untuk menjadi sama (identik) dengan individu lain yang ditirunya. oleh s ebab itu, proses identifikasi erat sekali kaitannya dengan imitasi. Pola penirua nnya sudah begitu rupa eratnya, sehingga si peniru sudah mengidentifikasikan dir inva menjadi sama dengan orang yang ditirunya. Proses identifikasi juga dapat me lalui proses kejiwaan yang sangat dalam.27 Sebagai contoh seorang 25H.Booner, Sosial Psichology, American Book Company, 1953, dalam H. Abu Ahmadi, Psikologi sosial, Jakarta, Rineka Cipta, 1991, Hal. 57 26 H. Abu Ahmadi, Ibid, Hal. 58 27 Gerungan, Psikologi Sosial, Bandung, PT Eresco, 1977, Hal. 72 23 pengagum berat bintang film sering mengidentifikasi gaya rambut, gaya hidup, dan lainnya sesuai dengan si bintang, dan menganggap dirinya sama dengan bintang pu jaannya. d) Simpati adalah suatu proses kejiwaan dimana seseorang individu meras a tertarik kepada seseorang atau sekelompok orang karena sikapnya, penampilannya , wibawanya atau perbuatannva yang sedemikian rupa. Dikatakan sedemikan rupa, ka rena bagi sebagian orang, sikap, penampilan, wibawa atau perbuatannya itu biasa- biasa saja. Proses simpati ini mempunyai peranan penting dalam keberlangsungan i nteraksi sosial yang di bangun oleh individu maupun kelompok masyarakat. Selain keempat faktor diatas, ada dua faktor lain yang tak kurang mendasarnya dalam pro ses interaksi, yaitu: motivasi dan empati. Pertama, Motivasi adalah ialah keselu ruhan dorongan, keinginan, kebutuhan dan daya yang sejenis yang mengarahkan kepa da prilaku.28 Selajutnya, Empati mirip perasaan simpati, tetapi tidak semata-mat a perasaan kejiwaan saja. Empati dibarengi perasaan organisme tubuh yang sangat dalam. Contohnya kalau kita melihat orang celaka sampai luka berat. Apabila oran g itu kerabat atau teman dekat kita, perasaan empati menempatkan kita seolah-ola h ikut celaka. Kita tidak hanva merasa kasihan terhadap yang terkena musibah itu . Tetapi menempatkan diri kita seolah-olah yang terkena musibah tersebut. 4. Pro ses dan Pola Interaksi Sosial 28 Harold Koontz O Donnel, Heilz Weihrich, Management, Megraw Hill Kogaguska, 19 80, Hal 115 24 Ada dua pola proses interaksi sosial, yaitu asosiatif dan disasosiatif. Interaks i sosial yang bersifat asosiatif adalah interaksi yang mengarah kepada bentuk ke rjasama, sedangkan interaksi sosial yang bersifat disosiatif adalah interaksi ya ng mengarah kepada bentuk-bentuk pertentangan atau konflik.29 Interaksi sosial y ang bersifat asosiatif berpola kerjasama, akomodasi, asimilasi dan akulturasi. U ntuk lebih jelasnya, bentuk-bentuk interaksi sosial tersebut akan penulis sarika n dari buku sosilogi Soekanto berikut ini.30 a). Kerja sama (co-operation) Kerja sama merupakan bentuk utama dari proses interaksi sosial, karena pada dasarnya orang atau kelompok melaksanakan interaksi sosial dalam rangka memenuhi kepentin gan bersama. Pada masyarakat yang sederhana seperti masyarakat komunal (kesukuan ) dan pada masyarakat pedesaan pada umummya. Pola kerjasama sudah sedemikian mel embaga hampir dalam setiap pekerjaan yang sifatnya massal, seperti ketika akan b erburu, membuka ladang (huma) baru, mengerjakan sawah, memperbaiki bendungan pen gairan, membuat jembatan, menyelenggarakan upacara yang sakral seperti upacara a dat dan keagamaan dan lain sebagainya. Pada umumnya pola kerja sama semacam ini di dorong oleh motivasi untuk: 1) Menghadapi tantangan alam yang masih ganas. 2) Menghadapi pekerjaan yang membutuhkan tenaga massal. 29 Soerjono Soekanto, Ibid, Hal. 76 30 Soerjono Soekanto, Ibid, Hal. 77-96 25 3) Melaksanakan upacara yang sifatnya sakral (suci), dan 4) Menghadapi serangan musuh dari luar. Tradisi kerja sama yang umum dikenal pada masyarakat Indonesia adalah gotong royong dengan berbagai variasi yang khas. Oleh sebab itu sebenarny a dalam bentuk kerjasama di Indonesia sendiri sudah berlangsung dari nenek moyan g. Akan tetapi tidak lepas dari itu semua kemajemukan rakyat Indonesia menciptak an bentuk kerjasama yang dikembangkan juga memiliki kekhasan tersendiri. b). Ako modasi Akomodasi mempunyai dua pengertian. Yang pertama, upaya untuk mencapai pe nyelesaian dari suatu konflik atau pertikaian, jadi pengarah kepada prosesnya.31 Dan yang kedua, keadaan atau kondisi selesainya suatu konflik atau pertikaian t esebut. Jadi, mengarah kepada suatu kondisi berakhirnya pertikaian. Akomodasi di dahului oleh adanya dua kelompok atau lebih yang saling bertikai. Masing-masing kelompok dengan kemauannya sendiri berusaha untuk berakomodasi menghilangkan gap yang menjadi pangkal pertentangan, sehingga konfliknya mereda. Sebagai hasil ak hir dan kondisi akomodasi ini, idealnya akan terjadi asimilasi diantara kelompok -kelompok yang bertikai tadi. Dalam garis besarnya akomodasi diupayakan untuk: 1 ). Mengurangi perbedaan paham, pertentangan politik, atau permusuhan antar suku atau antar Negara. 31 Soerjono Soekanto, ibid, Hal. 82 26 2). Mencegah terjadinva ledakan konflik yang mengarah kepada benturan pola pikir atau benturan fisik. 3). Mengupayakan terjadinya akomodasi diantara masyarakat yang dipisahkan atau terjadinya kerja sama antara kelompok sosial yang hidupnya terpisah sebagai akibat faktor sosial psikologis dan kebudayaan, seperti yang di jumpai dalam sistem kelas atau kasta, dan yang terakhir; 4). Mengupayakan terjad inya proses pembaruan antara kelompok sosial yang terpisah, misalnya lewat perka winan campuran atau asimilasi diantara kelompok kesukuan atau ras. c). Asimilasi Asimilasi adalah proses sosial yang timbul bila ada kelompok masyarakat dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda, saling bergaul secara intensif dalam jan gka waktu lama, sehingga lambat laun kebudayaan asli mereka akan berubah sipat d an wujudnya membentuk kebudayaan baru. Asimilasi terjadi dikarenakan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor pendukung dan faktor penghambat proses asimilasi. Faktor pendukung terjadinya asimilasi adalah: 1). Adanya toleransi dan keterbuk aan untuk saling menghargai dan menerima unsur-unsur kebudayaan lain. 2). Adanya sikap menghargai orang asing dan kebudayaannya. 3). Adanya kesamaan harkat dan tingkat unsur kebudayaan. 27 4). Adanya upaya untuk saling menerima dan saling memberi dari unsur kebudayaan atas kerjasama yang saling menguntungkan. 5). Adanya pembauran melalui kawin cam pur diantara kedua kelompok. 6). adanya musuh bersama dari luar 32 Berlawanan dengan faktor pendukung tadi, asmilasi dapat terhambat apabila: 1). A danya kelompok masyarakat yang terisolir dari pergaulan masyarakat umum, misalny a kelompok minoritas. 2). Adanya diskriminasi dan ketidakadilan. 3). Adanya kecu rigaan dan kecemburuan sosial terhadap kelompok lain. 4). Kurangnya pemahaman da n pengetahuan terhadap kebudayaan lain. 5). Primordialisme, yakni perasaan bahwa kebudayaan sendiri lebih tinggi dan mengagpap kebudayaan lain lebih rendah. 6). Adanya perbedaan yang sangat mencolok, seperti perbedaan ciri-ciri ras, suku da n lain sebagainya. d). Akulturasi Akulturasi adalah proses sosial yang timbul, a pabila suatu kelompok masyarakat manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihada pkan dengan unsurunsur dari suatu kebudayaan asing sedemikian rupa, sehingga lam bat laun unsurunsur dari kebudayaan asing itu diterima dan diolah kedalam kebuda yaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian dari kebudayaan itu sendir i. 32 Soerjono Soekanto, Ibid, Hal. 90 28 Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat aktif melakukuan hubunganhubungan sosial seperti perdagangan, politik, kemanusiaan, bahkan diantaranya diperkuat dengan t ali perkawinan satu sama lain. Pada saat seperti itu unsur kebudayaan mereka sal ing berdifusi dan saling menyerap. Adapun unsur-unsur kebudayaan yang dengan mud ah dapat diserap oleh masyarakat antara lain: 1). Unsur kebudayaan material atau kebendaan. 2). Unsur teknologi ekonomi yang manfaatnya cepat dirasakan dan muda h dioperasikan, misalnya alat pertanian. 3). Unsur kebudayaan yang mudah disesua ikan dengan kondisi setempat, misalnya unsur kesenian dan hiburan. 4). Unsur keb udayaan berdasarkan proses sosialisasi yang sangat meluas dalam kehidupan masyar akat, misalnya sistem kekerabatan, mata pencaharian pokok, makanan pokok, dan ke bisaaan makan. Secara tahap demi tahap proses akulturasi akan terus berjalan dal am perkembangan kebudayaan secara umum. Dalam perkembangannya tidak lepas dari p eran sebagai aktor yaitu manusia. Pabila manusianya mampu merespon kebudayaan ya ng dating dari luar secara positif, maka proses akulturasi ini akan berjalan sec ara asosiatif. Adapun interaksi sosial yang bersifat disasosiatif adalah proses- proses interaksi yang mengarah kepada pertentangan dan konflik, dengan demikian prosesproses disosiatif dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu: 29 a). Persaingan Persaingan atau competition dapat diartikan sebagai suatu perjuan gan yang dilakukan perorangan atau kelompok sosial tertentu, agar memperoleh kem enangan atau hasil secara kompetitif, tanpa menimbulkan ancaman atau benturan fi sik dipihak lawannya. Konsepsi ini merupakan definisi persaingan dalam arti pers aingan yang “sehat”, dengan pola aturan main yang wajar. Pada dasarnya persainga n atau kompetisi memiliki fungsi dinamis dalam rangka menyalurkan daya kreativit as yang dinamis, menyalurkan daya juang yang sifatnya kompetitif, memberikan sti mulus atau rangsangan berprestasi secara optimal, dan untuk menyeleksi penempata n atau kedudukan seseorang dalam hirarki organisasi secara tepat sesuai dengan k emampuannya. Akibat dari adanya persaingan ini dapat menyebabkan perubahan keperibadian, meningkatnya daya juang dan progresifitas, tumbuhnya percaya diri, dan memperkokoh solidaritas sosial. Dengan kata lain bahwa setiap elemen-elemen yang mepengaruhi persaingan harus selalu sehat dan berada dalam keseimbangan. k etika persaingan menjadi tidak sehat dan aturan persaingan yang menghalalkan seg ala macam cara persaingan akan menciptakan ketegangan-ketegangan yang tidak komp etitif. b). Kontroversi Kontroversi adalah bentuk proses sosial yang berada dian tara persaingan dan pertentangan. Wujudnya antara lain sikap tidak senang yang m uncul melalui penolakan, makian, penghasutan, intimidasi, provokasi, dan penyeba ran rahasia. 30 Kontroversi ini dapat terjadi ditubuh internal sebuah kelompok, atau antara satu kelompok dengan kelompok lain yang berbeda. c). Konflik atau Pertentangan Perte ntangan atau konflik sosial adalah proses sosial antara perorangan atau kelompok masyarakat tertentu, akibat adanya perbedaan paham dan kepentingan yang sangat mendasar, sehingga menimbulkan adanya gap atau jurang pemisah yang mengganjal in teraksi sosial diantara mereka yang bertikai tersebut. Pertentangan dapat diseba bkan oleh beberapa faktor, di antaranya perbedaan prinsif, menyinggung harga dir i, benturan kepentingan, perbedaan sistem nilai dan agama, serta perbedaan orien tasi kepentingan politik Negara. Pertentangan ini akan mengakibatkan tambahnya r asa solidaritas kelompok, perubahan sosial, dan juga perubahan sikap--baik keara h yang lebih positif atau negative. Selain akibat diatas, konflik juga akan mela hirkan kelas pemenang dan pecundang dan menimbulkan kerusakan. Untuk meminimalis ir dan menghilangkan dampak buruk dari pertentangan dilakukan melalui proses neg osiasi atau perundingan. Negosiasi ini ada beberapa bentuk: a) Kompromi, yakni k edua belah pihak yang bertikai saling mengalah. Mereka saling memberi dan meneri ma kebijakan tertentu atas dasar suka sama suka. b) Toleransi, yakni sikap salin g menghargai dan menghormati pendirian masingmasing pihak. c) Konversi, yakni sa lah satu pihak bersedia mengalah dan mau menerima 31 pendirian pihak lain. d) Coersion, yakni penyelesaian suatu konflik melalui suat u proses secara dipaksakan. e) Mediasi, yakni penyelesaian suatu konflik dengan mengundang pihak ketiga yang netral, dan berfungsi sebagai penasehat. f) Arbitra se yakni penyelesaian konflik melalui pihak ketiga yang dipilih oleh kedua belah pihak yang bertikai. g) Konsiliasi, yakni usaha mempertemukan pihak-pihak yang bertikai dalam suatu perundingan agar diperoleh persetujuan bersama. Dalam pemap aran diatas, setidaknya mewakili dalam hal penyelesaian konflik ataupun pertenta ngan yang sedang terjadi dalam situasi konflik. Dengan demikian proses interaksi dalam bentuk yang sederhana bisa menciptakan ketegangan, bisa pula menciptakan rasa persaudaraan, saling menghormat-menghormati satu dengan yang lainnya dan me nciptakan equilibrum sosial yang di setiap anggota masyarakat. B. Kerukunan Umat Beragama 1. Pengertian kerukunan Kerukunan berasal dari kata “rukun”, dalam kam us bahasa Indonesia kata rukun diartikan: 1). Baik dan damai atau tidak bertengk ar, 2). Bersatu hati atau bersepakat.33 Kerukunan, ketertiban dan keamanan merup akan syarat mutlak untuk mewujudkan kehidupan beragama yang diliputi oleh suasan a kekeluargaan. 33 Lukman Ali et all, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 199 4) Hal. 850 32 Kehidupan beragama yang diharapkan adalah kehidupan yang diliputi oleh keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan sebaik-baiknya. Dengan demikia n bisa kita lihat arti dari kerukunan yang menurut Mulder, kata "rukun" adalah b erada dalam keadaan selaras, tenang, tentram, tanpa perselisihan dan pertentanga n, bersatu untuk saling membantu satu sama lainnya. Kerukunan dalam konteks Muld er, bisa diartikan sebagai sikap toleransi dimana sikap dasar yang memungkinkan sebuah agama berdampingan dengan agama lain ataupun memberikan keleluasaan terha dap keberadaan kelompok lain.34 Sedangkan pengertian umat disini ialah masyaraka t. Dalam bahasa Inggris ‘society’ dan ‘community’ diterjemahkan sebagai masyarak at. masyarakat berhubungan dengan ‘community’ yaitu masyarakat yang menempati daerah yang merup akan persekutuan hidup dan saling mempengaruhi prilakunya. Kata agama sendiri da lam konteks penelitian ini tidak dipandang sebagai sesuatu yang transenden, teta pi agama sebagai hasil kebudayaan, yaitu sistem pengetahuan yang menciptakan per asaan (moods) secara kuat pada diri manusia dengan cara memformulasi konsepsi-ko nsepsi hukum yang berlaku umum berkenan dengan eksistensi manusia untuk berkomun ikasi dan menghadapi lingkungannya.35 Sahibi Naim dalam hal ini mengutarakan dal am buku Kerukunan Umat beragama: 34 Miels Murder, Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional, Yogyakarta, Gajahmad a University Press, 1986, Hal. 39 35 Parsudi Suparlan, Pengetahuan budaya; Ilmu- ilmu sosial dan pengkajian masalah-masalah agama, Jakarta (Proyek penelitian kea gamaan, Badan Penelitaian dan Pengembangan Agama), Depag RI 1981/1982, Hal. 87 33 "Kerukunan umat beragama, bukan berarti merelatifkan agama-agama yang melebur ke pada suatu totalitas (sinkretisme agama) dengan menjadikan agama-agama itu sebag ai mazhab dari agama totalitas itu, melainkan sebagai sarana untuk mempertemukan dan mengatur hubungan luar antara umat beragama dalam proses sosial kemasyaraka tan. Dengan kerukunan, dimaksudkan agar terbina dan terpelihara hubungan baik da lam pergaulan antar warga yang berlainan agama.36 Dengan demikian kerukunan hidu p beragama pada dasarnya merupakan pengakuan sadar terhadap adanya kebebasan mas yarakat dalam memeluk dan menyakini agama tertentu sepanjang tidak mengganggu ak tivitas agama lain. Kerukunan hidup umat beragama akan tercipta ketika kehidupan sosial antar umat beragama harus memiliki sikap toleransi terhadap kelompok lai n maupun agama lain. Untuk mengembangkan kehidupan beragama, diperlukan suasana kehidupan masyarakat yang tertib, aman, dan rukun. Kekhusuan tidak mungkin terci pta dalam suasana tidak aman. Disinilah pentingnya kerukunan, ketertiban dan kea manan dalam nenunjang kehidupan beragama. Perlu kita sadari, tata cara pengamala n ajaran oleh masing-masing pemeluk agama dengan penuh kesadaran bahwa tidak sal ing membenarkan agama yang dianutnya. Karena setiap agama memiliki ajaran-ajaran yang khas, yang mencirikannya dan sekaligus membedakannya dengan yang lain. Tid ak mengaktifkan simbol-simbol agama atau tidak menonjolkan identitas agama dalam interaksi secara penuh merupakan pengakuan-pengakuan akan adanya perbedaan-perb edaan diantara agama-agama tersebut dan sekaligus menghargai perbedaan-perbedaan itu. Dengan begitu interaksi antar umat beragama menjadi bagian yang saling men guntungkan, 36 Sahibi Naim, Kerukunan umat beragama, Jakarta, Gunung Agung, 1983, Hal. 53 34 timbal-balik antar umat beragama pun terjadi dengan wujud kerukunan atau toleran si antar umat beragama.37 Dalam mewujudkan kebaikan hampir setiap agama menggari skan dua pola hubungan yang harus dilaksanakan oleh pemeluknya, yaitu hubungan y ang bersifat vertikal dan hubungan yang bersifat horizontal. Hubungan yang bersi fat vertikal, menciptakan satu hubungan manusia dengan penciptanya direalisasika n dengan ibadah setiap harinya sebagaimana yang telah digariskan oleh setiap aga ma. Pada hubungan ini, berupa toleransi antar umat beragama yang merupakan unsur inti dari kerukunan umat beragama yang terbatas dalam lingkungan intern agama. 2. Faktor Yang Mendasari Kerukunan Umat Beragama Realitas sosial selalu memperli hatkan keragaman, baik pada level individu dalam sebuah komunitas maupun pada le vel makro antar komunitas dalam sebuah masyarakat bangsa. Perbedaan atau keragam an semacam itu merupakan sebuah kewajaran atau bahkan keniscayaan yang dalam ter minologi Islam disebut Sunnatullah atau hukum alam. Sebab setiap individu apalag i setiap komunitas masing-masing memiliki spesifikasi sejarah kehidupan, mempuny ai karakter kejiwaan, serta menyakini nilai-nilai sosio-kultural dan keagamaan t ertentu pula. Semua faktor kolektif tadi pada akhirnya pemikiran dan prilaku ind ividu dan prilaku dan atau komunitas bersangkutan. Status, agama, kekayaan, usia , peran sosial menurut gender, keanggotaan individu dalam kelompok tertentu ikut juga menggali 37 Sudjangi, Kajian agama dan masyarakat III, kerukunan hidup antar umat beragam a, Jakarta, Depag RI, 1992/1993, Hal. 248 35 jurang perbedaan antara individu atau antar komunitas. Berbagai perbedaan tadi a capkali menjadi faktor potensial bagi munculnya konflik antar individu atau anta r komunitas, terutama bila mereka memiliki kepentingan berbeda, bersaing, apalag i bertentangan. Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan beragama d apat di kelompokkan menjadi beberapa faktor pendukung. Misalkan di masyarakat Su matra Barat kerukunan umat beragama terwujud, antara lain karena: 1. Di Sumatra Barat, potensi kerukunan di daerah ini telah terbentuk lembaga yang menangani pe mbinaan kerukunan seperti Forum Komunikasi Kerukunan umat beragama (FKKUB). Pusa t Studi Antar Komunitas agama (PUSAKA), dan lembaga-lembaga lain yang yang berfu ngsi sebagai wadah komunikasi dan konsultasi antar pemeluk agama dalam rangka me ningkatkan terwujudnya kerukunan umat beragama. 2. Selain itu hubungan kekeluarg aan atau kekerabatan dikalangan masyarakat Minang yang egaliter. Hubungan darah, perkawinan, daerah asal dan hubungan kerja antar umat yang berbeda agama mencer minkan sikap saling monghormati dan menghargai sesama pemeluk agama. 3. Adanya u saha pemerintah secara sungguh-sungguh dalam menyeleseikan setiap problem yang a da dalam masyarakat. Terutama problematika yang menyangkut masalah-masalah keaga maan.. 4. Saling menghadiri dan membantu dalam upacara-upacara keagamaan maupun adat, baik yang diselenggarakan oleh masyarakat adat maupun secara 36 institusional.38 Selain faktor-faktor pendukung diatas, masih ada faktor-faktor yang tidak mendukung atau potensi konflik. Berbagai penyebab konflik dipenghujun g abad 20 dan awal abad 21 sempat menguat di Indonesia, bahkan sampai meletus ke kerasan antar komunitas (etnik maupun keagamaan) dengan puncak kekerasan menjelm a dalam tragedi Poso, Ambon dan Maluku, serta Sambas yang memakan ratusan korban nyawa. Pada kasus maluku dan Poso, misalnya, nyata sekali bahwa komposisi etnis itas dikedua daerah itu sangat plural, bukan saja dari sisi penduduk asli versus pendatang melainkan kaum pendatang pun sangat plural dengan segala kulturnya, y ang tentunya menyimpan sejumlah potensi konfik. Begitu juga realitas perbedaan a gama yang terpilih dengan etnisitas ikut menandai kian pluralnya masyarakat Poso dan Ambon kala itu.39 Realitas segregasi pemukiman (berdasarkan agama dan etnis ) disamping kenyataan disparitas akses ekonomi akhirnya kian menyuburkan benih k onflik, yang ujungnya membawa dampak yang mengerikan. Kekerasan berdimensi keaga maan ini umumnya terjadi karena faktor lain (sosial ekonomi dan politik) namun d ibungkus isu agama. Tragedi di Poso dan Maluku persis memperlihatkan kasus seper ti itu. Namun, konflik murni keagamaan bisa saja terjadi, terutama akibat dibawa nya apa yang disebut klaim kebenaran oleh pemeluk agama yang pada gilirannya men jadi akar konflik baik intra maupun antar 38 Ahmad Sahid dan Zaenudin Daulay, ed, Riuh Di Beranda Satu: Peta kerukunan uma t beragama di Indonesia, Jakarta (Proyek Peningkatan dan Pengkajian Kehidupan Ke rukunan Umat Beragama), Depag RI 2002, Hal. 313-351 39Hamdan Basyar dkk, Konflik Poso, Pemetaan Dan Pencarian Pola-Pola Alternatif Penyeleseiannya, Jakarta, P2P , LIPI, 2004, Khusus pada bab IV 37 umat beragama. Klaim kebenaran yang ditanam dan dijaga dalam hati sebagai perwuj udan kemurnian keimanan memang merupakan keharusan, tetapi hal itu menjadi masal ah ketika klaim kebenaran itu dipakai sebagai landasan ekspansi kepada pemeluk l ain, atau kultur yang berbeda. Dari paparan diatas kita bisa melihat pelajaran b ahwa, agama seharusnya tidak dijadikan sangkar-sangkar abstrak yang sulit ditemb us oleh para pemeluknya, yang akan mengakibatkan mereka masuk dalam sangkar keag amaan yang sangat ekslusif terhadap sangkar keagammaan lain. 40 Namun patut ditiru upaya-upaya yang dilakukan untuk mengurangi konflik umat beragama, seperti kesedian dialog terbuk a dengan umat Kristen. Islam dan Kristen saling menghormati ajaran-ajarannya sat u sama lain dan tidak menyinggung hal-hal yang berbau sara. Dengan demikian keha rmonisan yang tercipta antara umat beragama semakin stabil dan ketentraman tetap terpelihara.41 3. Proses dan Pola Terjadi Kerukunan Umat Beragama Kerukunan uma t beragama tidak lepas dari proses dan pola kerukunan umat beragama itu sendiri. Dengan kata lain pembentukan kerukunan umat beragama di tengah-tengah masyaraka t membutuhkan proses yang berkesinambungan, membutuhkan pola-pola yang mampu menyatukan berbagai agama dalam kehidupan sosia l masyarakat. 40 Mun’im A Sirry, Membendung militansi agama; Iman dan politik dalam masyarakat modern, Jakarta, Erlangga, 2003, Hal. 53-54 41 Abdul aziz dan Tamami, Kerukunan sebagai jalan hidup (Studi hubungan antar pemeluk agama di kampung sawah Bekasi ), dalam Nuhrison M. Nuh, Profil Kerukunan umat Beragama seri 3, Jakarta (Badan Penelitian dan Pengembangan Agama), Depag RI, 1997-1998, Hal. 139-140 38 Salah satu titik picu munculnya konflik antar umat beragama terletak dalam inter aksi kemasyarakatan yang kurang paham atau sengaja tidak berusaha untuk memahami orang lain. Konflik antar pemeluk beragama akan mengakibatkan terjadinya instab ilitas kehidupan sosial politik ditanah air. Dalam kaitannya dengan hal ini, Ala msyah Ratu Prawiranegara (menteri agama tahun 1980-an), telah menetapkan pembina an dan pengembangan “Tiga kerukunan hidup beragama”.42 Dalam konteks inilah tole ransi antar umat beragama dikembangkan. Toleransi bukan diartikan dalam wujudkan penisbian keyakinan agama, pengrelatifan kebenaran agama yang dinyakini, tetapi kemampuan dan kemauan menghargai perasaan pemeluk agama lain, serta mengaktuali sasikan dalam kehidupan sehari-hari dengan bersikap saling menghormati setiap pe meluk agama lain.43 Dalam terminologi yang digunakan oleh pemerintah, pola keruk unan hidup umat beragama mencakup tiga kerukunan, yaitu: 1). Kerukunan intern um at beragama, 2). Kerukunan antar umat yang berbeda-beda agama, 3). Kerukunan ant ar umat beragama dengan pemerintah.44 Trilogi kerukunan umat beragama akan membe rikan kontribusi yang besar dan signifikan terhadap suksesnya pelaksanaan pemban gunan. a). Kerukunan Intern Umat beragama 42 Mursyid Ali, Problema Komunikasi Antar Umat Beragama, Jakarta (Badan Penelita n dan Pngembangan Agama, Proyek Peningkatan Dan Pengkajian Kehidupan Kerukunan U mat Beragama), Depag RI 2000, Hal. 96-97 43 Maarif Jamuin, Manual Advokasi Resol usi Konflik Antar Etnik Dan Agama, Jakarta: Juli, 1999, Hal. 70-80 44 Pedoman Da sar Kerukunan Hidup Beragama, Jakarta (Proyek Peningkatan Dan Pengkajian Kehidup an Kerukunan Umat Beragama), Depag RI, 1983-1984, Hal. 21 39 Maksud kerukunan intern umat beragama adalah terciptanya saling pengertian, kehi dupan intern umat beragama seringkali menunjukkan gejala-gejala yang kurang mant ap, bahkan acapkali menimbulkan pertentangan dan perpecahan intern umat beragama . Lebih jauh Menteri Agama menghimbau kepada seluruh pemuka agama, agar pertenta ngan yang mungkin timbul diantara pemuka/pimpinan agama yang bersifat pribadi ja ngan sampai mengakibatkan perpecahan doktriner diantara para pengikutnya dan hen daknya di selesaikan secara kekeluargaan sesuai dengan ajaran agama dan Pancasil a serta semangat kerukunan dan tenggang rasa.45 b). Kerukunan antar umat beragama Kerukunan sendiri belum merupakan nilai terakh ir, tetapi baru merupakan suatu sarana yang harus ada sebagai “condition sine qu a non” untuk mencapai tujuan yang lebih jauh yaitu situasi aman dan damai.46 Sit uasi ini dibutuhkan oleh semua pihak dalam masyarakat tanpa terkecuali. Dengan d emikan kondisi yang kondusif antara pemeluk agama terjalin dengan bentuk kerja s ama yang baik. Kerukunan antar pemeluk agama yang dimaksud disini adalah terbina nya satu khidupan beragama yang selaras dan seimbang. Masalah kehidupan beragama dalam masyarakat merupakan masalah yang paling sensitif diantara masalah-maslah yang lainnya. Dengan banyaknya masalah yang timbul antara pemeluk agama, Pemeri ntah khususnya Departemen Agama mengadakan musyawarah/dialog antar pemuka- 45 Ibid, Hal. 34-35 46 Hendropuspito, O.C. Sosilogi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1998, Hal. 170 40 pemuka agama baik dalam tingkatan lokal, nasional maupun internasional.47 c). Ke rukunan antara umat beragama dengan Pemerintah Agar terciptanya satu keserasian yang berkesinambungan antar umat beragama dengan pemerintah. Pemerintah harus be rperan aktif dalam mewujudkan kerukunan, ketertiban serta keamanan dalam menjala nkan ibadah sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya serta sesuai dengan UUD 45 dan Pancasila. Pemerintahan dalam hal ini, mempunyai tugas dalam menciptakan ke beragamaaan, baik dari segi nilai dan keorganisasian agama-agama. Dengan adanya kepedulian pemerintah terhadap intitusi agama-agama dan menjadi pasilitator untu k membuat wadah musyawarah antar umat beragama, guna pelaksanaan GBHN dan P4 dit ubuh para penganut agama dengan pemerintah.48 Begitu juga sebaliknya umat beraga ma bertugas dan bertanggung jawab untuk menunjang program pemerintah. agar bahu membahu dalam memajukan kesejahteraan bangsa baik material maupun spritual.49 4. Kerukunan Umat beragama Perspektif Ajaran Islam dan Kristen Konsep kerukunan umat beragama, tentu sangat terkait dengan pemahaman para pemeluk agama itu send iri. Kaitannya dengan kerukunan penulis coba menelaah konsep kerukunan menurut p erspektif Islam dan Kristen yang mana dalam penelitian 47 Op. Cit Hal. 35-40 48 Op. Cit Hal. 43-45 49 R.H. Djumali Karta Raharjo dan H. Fakhruddin Ilyas, Kerjasama Sosial Kemasyaraktan Thun 1983-1984 di Cirebon dan Samarinda, Jakarta: Depag RI, 1984, Hal. 3-5 41 ini kedua agama memiliki peranan penting dalam menciptakan kerukunan. Selain itu , kedua agama ini memiliki kekuatan basis yang kuat dalam masyarakat. Dalam agam a Islam, Allah menyerukan kepada umat Islam untuk berbuat baik dan menghormati k eberadaan umat lain selama mereka tidak mengganggu Islam. Sebenarnya agama Islam pun secara spesifik memhahas pergaulan sesama umatnya (muslim). Dalam surat AI- Hujurat ayat 10-13, Allah SWT menegaskan tentang etika akhlak yang baik yang ber hubungan dengan sikap orang mukmin terhadap Allah, Nabi Muhammad SAW, sikap mere ka terhadap sesama mukmin, sopan santun dalam pergaulan, dan pergaulan antar ban gsa. Allah SWT menciptakan manusia secara beraneka ragam bangsa, suku bangsa, ba hasa, adat-istiadat, budaya, dan warna kulit. Keanekaragaman dan kemajemukan man usia seperti itu adalah bukan untuk berpecah belah, saling membanggakan keduduka n, yang satu merasa lebih terhormat dari pada lainnya, tetapi supaya saling meng enal, bersilaturahmi, berkomunkiasi atau berkonsultasi, saling memberi dan mener ima. Lebih jauh dalam melakukan pergaulan didalam masyarakat umat muslim diperbo lehkan bergaul dengan yang berbeda agama. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT , yang disebutkan dalam al-Qur an surat Al-Muntahanah ayat 8-9 yang berbunyi: 42 Artinya: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesung guhnya Allah Hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang mem erangimu Karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.”50 Dalam ayat 8 dan 9 Surat A1-Mumtahanah tersebu t Allah SWT mengatur tata hubungan sosial masyarakat antara orang-orang mukmin d engan non mukmin. Dalam ketentuan Allah SWT dalam kedua ayat tersebut perlu menj adi pedoman Islam dalam hubungan sosial kemasyarakatan dengan mereka. Sehingga k aum muslim dapat menunjukkan sikap positif, mengembangkan potensi, tidak sulit a tau kaku dalam berbagaul dalam kehidupan sosial. Dengan menunjukkan sikap yang p ositif, sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran Allah dan Rasul-nya Muhammad SA W, kaum muslim dapat mengembangkan potensinya. Potensi diri pribadi sebagai oran g Islam, masyarakat muslim dan potensi ajaran Islam kepada mereka yang bukan mus lim. Dengan demikian orang-orang Islam dapat melaksanakan da’wah bil hal, dengan hikmah kebijaksanaan dan contoh tauladan yang baik. Dalam ayat 8 Allah SWT mene gaskan bahwa Allah tidak melarang orangorang Islam untuk berbuat baik dan berlak u adil terhadap orang-orang tidak memusuhi orang-orang Islam karena agama, dan t erhadap orang-orang yang tidak 50 Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta, Depag RI, 1992, Hal. 924 43 mengusir dari negrinya sendiri. Sikap positif dan proporsional itu merupakan das ar pembinaan kerukunan hidup antar umat beragama. Perbedaan agama ataupun keperc ayan adalah bukan menjadi penghalang untuk mewujudkan hidup rukun dikalangan war ga rnasyarakat yang berbeda agama. Berbuat baik dan berlaku adil adalah perbuata n terpuji. Dapat dilakukan kepada siapa saja, termasuk kepada orang-orang non mu slim. Orang Islam diperintahkan Allah untuk berbuat baik dan berlaku adil. Sesun gguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Kemudian dalam ayat 9 Alla h SWT menegaskan, bahwa yang dilarang Allah dalam kaitan dengan hubungan kemasya rakatan antara orang-orang Islam dengan non Islam ialah menjadikan mereka, orang -orang yang memerangi orang-orang Islam. karena agama dan mengusir orang-orang I slam dari negrinya sendiri sebagai teman. Dalam hal ini Allah SWT memperingatkan bahwa barang siapa yang menjadikan mereka kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Begitu juga dengan ajaran-ajaran Kristen, yang memuat tentang keruk unan umat beragama. Konsili vatikan II menyerukan ajakan damai kepada orang Isla m dengan melupakan sejarah perang masa lalu, dengan saling jujur, saling pengert ian dan melindungi serta memajukan keadilan sosial, nilai-nilai moral serta keda maian dan kebebasan semua orang.51 Kalangan Protestan beranggapan bahwa aspek ke rukunan hidup beragama 51 J. Riberu, Tonggak sejarah pedoman arah; Dokumen konsili vatikan II, Dokpen M AWI, Jakarta Hal. 289-292 44 dapat diwujudkan melalui hukum kasih yang merupakan norma dan pedoman hidup yang terdapat dalam Al-Kitab. Hukum kasih tersebut ialah mengasihi Allah dan mengasi hi sesama manusia .52 Kerukunan hidup beragama menurut ajaran Kristen Katolik se bagaima tercantum dalam Deklarasi Konsili Vatikan II tentang sikap Gereja bukan Kristen didasarkan asal kisah rasul-rasul 17:26, yang bunyinya” “Adapun segala b angsa itu merupakan satu masyarakat, dan asalnya pun satu juga, karena Allah men jadikan seluruh bangsa manusia untuk menghuni seluruh bumi”.53 Dalam bagian lain dari mukodimah Deklarasi tersebut disebutkan: “Dalam zaman kita ini, dimana ban gsa manusia makin hari makin erat bersatu, hubungan antar bangsa menjadi kokoh, gereja lebih seksama mempertimbangkan bagaimana hubungannya dengan agama-agama K risten lain. Karena tugasnya memelihara persatuan dan perdamaian diantara manusi a dan juga diantara para bangsa, maka dalam deklarasi ini gereja mempertimbangka n secara istimewa apakah kesamaan manusia dan apa yang menarik mereka untuk hidu p berkawan”.54 Deklarasi itu berpegang teguh pada hukum yang paling utama “Kasih inilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap hal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan kasihanilah sesama manusia seperti dirimu sendiri.55 Dengan tumbuhnya pengetahuan tentang agama-agama lain , menimbulkan 52 Lihat dalam Alkitab Perjanjian Baru terbitan IKAPI 2005; Mat 22:37; Tentang p erintah mengasihi Allah dan Manusia; Dalam Roma 13:10 juga dijelaskan bahwa “Kas ih adalah kegenapan hukum Taurat”; dalam Kor 13:4-7 dijelaskan “Pengertian dari kasih yang meliputi murah hati, sabar, tidak sombong, sopan, tidak bersuka cita pada ketidakadilan”. 53 Alkitab, Ibid, Hal. 166 54 J. Riberu, Op.cit Hal. 289 55 Alkitab, Mat 22:37, Hal. 29 45 sikap saling pengertian dan toleran kepada orang lain dalam hidup sehari-hari, s ehingga tumbuh kerukunan beragama. Kerukuna hidup beragama itu dimungkinkan kare na agama-agama memiliki dasar ajaran hidup rukun. Dengan demikian semua akan men ganjurkan untuk senantiasa hidup damai dan rukun dalam hidup bermasyarakat. 46