Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Trombosit sangat penting untuk menjaga integritas endotel pembuluh darah dan
mengendalikan perdarahan yang berasal dari cedera pembuluh darah kecil melalui
pembentukan sumbatan trombosit (hemostasis primer). Cedera yang lebih luas dan
keterlibatan pembuluh darah yang lebih besar memerlukan, selain trombosit, partisipasi dari
sistem koagulasi untuk menciptakan sumbatan fibrin yang lebih kuat dan stabil (hemostasis
sekunder). Trombositopenia didefinisikan sebagai jumlah trombosit pada darah yang kurang
dari 150 x 103/L atau 150 x 109/L, dan merupakan penyebab utama dalam gangguan
hemostasis primer yang dapat menyebabkan perdarahan signifikan pada anak-anak.1
Trombositopenia harus dicurigai ketika seorang anak datang dengan riwayat mudah
memar dan berdarah, terutama pada mukosa atau kulit. Namun, yang paling umum terjadi
pada pasien anak dengan trombositopenia adalah penemuan tak terduga trombosit rendah
pada hitung darah lengkap (complete blood count) tanpa alasan yang jelas.1
Trombositopenia dapat disebabkan oleh satu dari dua mekanisme, yaitu penurunan
produksi trombosit atau peningkatan penghancuran trombosit di dalam sirkulasi. Manajemen
pada trombositopenia harus disertai dengan pemahaman terhadap penyebab dan perjalanan
klinisnya. Tujuan utama manajemen pasien dengan trombositopenia adalah untuk
mempertahankan jumlah trombosit berada pada level yang aman untuk mencegah perdarahan
yang signifikan. Hal-hal yang menentukan berapakah level aman trombosit pada pasien
tertentu bervariasi, tergantung dari penyebab trombositopenia itu sendiri dan pertimbangan
dari semua aspek lain dalam hemostasis, dan tentu pula tingkat aktivitas pasien itu sendiri. 1
1.2 Batasan Masalah
Referat ini membahas mengenai trombositopenia pada anak, penyebab tersering, diagnosis
dan tatalaksana.
1.3 Tujuan Penelitian
Referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca pada umumnya dan penulis
pada khususnya mengenai penatalaksanaan trombositopenia pada anak.
1

1.4 Metode Penulisan


Referat ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang merujuk dari berbagai
literatur.
1.5 Manfaat Penulisan
Referat ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan informasi dan pengetahuan
tentang trombositopenia pada anak.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Fisiologi Tombosit
Trombosit adalah fragmen-fragmen sel tak berinti yang diproduksi dari megakariosit oleh
sumsum tulang. Ketika megakariosit tersebut matur, sejumlah besar trombosit dilepaskan ke
dalam sirkulasi. Setelah dilepaskan, usia trombosit itu sendiri berkisar antara 7 sampai
dengan 10 hari, setelah itu mereka dihapus dari peredaran oleh sistem monosit dan
makrofag.1

Gambar.1 Proliferasi dan diferensiasi trombosit

Trombosit yang beredar melakukan banyak fungsi hemostasis penting. Ketika ada
pembuluh darah kecil terbelah, trombosit berakumulasi pada lokasi cedera dan membentuk
sumbatan hemostatik. Adhesi platelet diawali oleh kontak dengan komponen ekstravaskular
seperti kolagen, dan difasilitasi dengan adanya faktor Von Willebrand. Sekresi mediatormediator hemostasis seperti tromboksan, adenosine 5 difosfat, serotonin, dan histamine
menyebabkan terjadinya agregasi yang kuat melalui ikatan fibrinogen dan peningkatan
vasokonstriksi lokal. Trombosit juga berperan dalam penghancuran kembali bekuan darah.
Risiko perdarahan meningkat dengan rendahnya jumlah trombosit. 1
3

Rentang hitung jumlah trombosit normal berkisar antara 150 - 450 x 10 3/L. Risiko
perdarahan tidak akan meningkat sampai penurunan jumlah trombosit yang signifikan hingga
dibawah 100 x 103/L (Gambar 1). Jumlah trombosit lebih besar dari 50 x 10 3/L cukup
untuk kelangsungan hemostasis dalam sebagian besar situasi, dan pasien dengan
trombositopenia ringan kemungkinan besar tidak akan diketahui kecuali jika hitung trombosit
dilakukan atas alasan yang lain. Pasien dengan trombositopenia sedang, dengan jumlah
trombosit antara 30 sampai 50 x 103/L jarang mengalami gejala (seperti mudah lecet atau
berdarah), bahkan dengan trauma yang signifikan. Pasien yang secara persisten hitung
trombositnya antara 10 - 30 x 10 3/L kadangkala juga tanpa gejala dengan aktivitas
keseharian yang normal namun memiliki risiko perdarahan berlebihan pada trauma yang
signifikan. Perdarahan spontan tidak akan terjadi kecuali hitung trombositnya kurang dari 10
x 103/L. Pasien seperti ini biasanya mengalami ptekie dan memar, namun bahkan
kadangkala juga asimptomatik. Pada sebagian besar kasus, terlihat bahwa jumlah trombosit
harus kurang dari 5 x 103/L untuk menyebabkan perdarahan kritis spontan (seperti
perdarahan intrakranial tanpa disebabkan trauma). 1
Trombosit muda memiliki ukuran yang lebih besar dan lebih aktif secara hemostasis.
Maka dari itu, pasien dengan trombositopenia destruktif dengan produksi normal tidak akan
mengalami perdarahan hebat karena banyaknya trombosit muda, jika dibandingkan dengan
pasien yang memiliki gangguan fungsi trombosit yang mengakibatkan trombosit tua lebih
banyak di sirkulasi. 1
2.2 Definisi
Trombositopenia didefinisikan sebagai jumlah trombosit pada darah yang kurang dari 150 x
103/L atau 150 x 109/L, dan merupakan penyebab utama dalam gangguan hemostasis primer
yang dapat menyebabkan perdarahan signifikan pada anak-anak. Jika jumlah trombosit
berkurang manifestasi klinisnya ditandai dengan timbulnya ptekie, purpura, perdarahan pada
mukosa, biasanya sering pada mukosa hidung dan mulut. 2

2.3 Epidemiologi

ITP adalah penyebab paling banyak trombositopenia imun pada anak-anak, dengan tingkat
insidens kasus simptomatik antara 3 sampai 8 per 100.000 anak tiap tahun. Pasien pediatrik
yang mengalami ITP biasanya berumur 2 sampai 10 tahun, dengan insidens tertinggi antara
usia 2 sampai 5 tahun. Tidak terdapat bias gender yang signifikan terhadap insidens ITP pada
anak-anak. Merupakan penyebab tersering trombositopenia tanpa anemia atau neutropenia. 1
ITP diperkirakan merupakan salah satu penyebab kelainan perdarahan didapat yang
banyak ditemukan, insiden penyakit simtomatik berkisar 3 sampai 8 per 100.000 anak
pertahun. 80-90% anak dengan ITP menderita episode perdarahan akut yang akan sembuh
dalam 6 bulan. Pada ITP akut tidak ada perbedaan insiden laki-laki maupun perempuan dan
akan mencapai puncak pada usia 2-5 tahun. ITP kronis terjadi pada anak usia > 7 tahun,
sering terjadi pada anak perempuan. ITP rekuren didefinisikan sebagai adanya episode
trombositopenia > 3 bulan dan terjadi pada 1-4 % dengan ITP. 3
Dari semua kasus yang didiagnosa secara klinis sebagai DBD / DSS, trombositopenia
(<100.000/ml) ditemukan pada 34% kasus saat pertama kali datang dan 49% dalam masa
rawatan. Pada kasus yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan serologi, didapatkan prevalensi
trombositopenia (<100.000/ml) adalah 58% saat pertama kali datang dan 83% selama
rawatan. Trombositopenia ditemukan pada 47% dari kasus DBD dan 74% dari kasus DSS.
Sebagian besar kasus memberikan gambaran trombositopenia antara hari ketiga dan ketujuh
penyakit, baik pada DBD maupun pada kondisi DSS. 6
Pada saat ini DBD sudah endemis di banyak kota-kota besar bahkan sejak tahun 1975
penyakit ini telah berjangkit di daerah pedesaan.5 Berdasarkan jumlah kasus DBD, Indonesia
menempati urutan kedua setelah Thailand. Sejak tahun 1968 angka kesakitan rata-rata DBD
terus meningkat dan mencapai angka tertinggi pada tahun 1998, yaitu 35,19/100.000
penduduk.4
Data di Amerika Serikat menunjukkan kejadian sepsis pada pasien yang dirawat di
unit perawatan intensif anak (pediatrics intensive care unit/PICU) mencapai lebih dari 42 000
kasus dengan angka kematian sebesar 10,3%.12 Menurut perkiraan terakhir, lebih dari 18 juta
kasus sepsis terjadi di seluruh dunia per tahun, dan setidaknya 1/3 dari kasus ini meningkat
untuk sepsis berat atau syok septik. Sepsis mempengaruhi lebih dari 35% dari pasien ICU,
dan sekitar 2/3 dari pasien memiliki sepsis berat atau syok septik. Sepsis adalah salah satu
yang paling lazim penyebab morbiditas dan mortalitas di ICU. Kematian untuk shock septik
dapat melebihi 50%. Insidens DIC pada sepsis berat berkisar antara 14% hingga 32% dan
5

berhubungan dengan meningkatnya mortalitas pada sepsis .12


2.4 Etiologi
Trombositopenia dapat disebabkan karena 1
1. Produksi trombosit yang berkurang
Pansitopenia
Pansitopenia bisa disebabkan karena keganasan (leukemia), infiltrasi pada
sumsum tulang (neuroblastoma), kegagalan pada sumsum tulang (anemia aplastik),

infeksi virus (HIV), obat-obatan yang toksik, dan radiasi.


Trombopoesis yang tidak efektif
Dapat ditemukan pada kelainan kongenital yang jarang,yaitu thrombocytopenia
absent radius (TAR) syndrom, Wiskott Aldrich syndrom, trombosistopenia

amegakariosit kongenital, penyakit platelet raksasa (Bernand-soulier Syndrom)


Infeksi virus, contonhya EBV, CMV, parvovirus
2. Peningkatan konsumsi trombosit
Imun
Idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP)
Penyakit autoimun dan kolagen-vaskuler (SLE)
Disebabkan virus HIV
Trombositpenia diinduksi obat, contohnya heparin
Nonimun
Disseminated intravascular coagulation (DIC)
Hemolytic Uremic syndrom (HUS)
Sepsis
Thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP)
3. Destruksi trombosit
Keadaan ini dapat ditemukan pada hipersplenisme, yaitu aktivitas lien yang berlebihan
dapat disebabkan karean infeksi, inflamasi, kongesti, kelainan sel darah merah.

2.5 Patogenesis dan Patofisiologi


2.5.1 Immune Thrombocytopenia Purpura (ITP)
ITP (Immune Thrombocytopenic Purpura) primer adalah penyakit autoimun yang ditandai
oleh trombositopenia terisolasi tanpa adanya penyebab yang jelas. Juga merupakan kelainan
penghancuran trombosit yang dimediasi oleh autoantibodi membran antigen dari trombosit.
Kegagalan sum-sum tulang yang mungkin dimediasi oleh antibodi antitrombosit di
megakariosit juga dapat menyebabkan terjadinya trombositopenia. Sebelumnya ITP berarti
Idiopathic Thrombocytopenic Purpura. Terminologi baru mencerminkan pengetahuan baru
6

akan sifat autoimun pada penyakit ini dan tidak adanya tanda-tanda perdarahan pada sebagian
besar kasus. Jumlah trombosit yang menggambarkan ITP pada saat ini adalah kurang dari 100
x 103/L. Terminologi ITP sekunder merujuk pada trombositopenia immune-mediated akibat
penyakit tertentu atau obat-obatan. perbedaan pada ITP primer dan sekunder sangat
mempengaruhi prognosis dan terapi.2
Pada ITP terjadi kerusakan trombosit yang melibatkan autoantibodi terhadap
glikoprotein yang terdapat pada membran trombosit. Penghancuran terjadi terhadap trombosit
yang diselimuti antibodi (antibody coated platelets) tersebut dilakukan oleh makrofag yang
terdapat pada limpa dan organ retikuloendotelial lainnya. 3 Angka dari kerusakan yang
dimediasi sel imun dan kemungkinan tidak hanya kerusakan pada trombosit tapi juga
penghambatan pengeluaran trombosit dari megakariosit. Kemungkinan ITP dinisiasi oleh
karena abnormalitas sel B, kelainan sel T, abnormalitas trombopoiesis, atau peningkatan
aktivasi dari fagosit mononuklear. Kemungkinan trombositopeni bisa diakibatkan oleh :
a.

Faktor Antitrombosit
Faktor trombositopeni terdapat pada imunoglobulin (Ig)G yang banyak serum fraksi

sehingga akan diserap oleh trombosit dan bereaksi dengan trombosit. Spesifik

dari

antitrombosit antibodi terhadap individu glikoprotein trombosit (GP), seperti GP IIb/IIa.


Lapisan trombosit dengan antibodi jarang tampaknya mengganggu fungsi trombosit, pasien
dengan ITP jarang menderita pendarahan besar ketika jumlah mereka adalah >50x 10 9/l.
Sebaliknya, antibodi menargetkan trombosit untuk penghancuran awal oleh sistem fagositosit
mononuklear. Secara primer di limpa tapi juga bisa di hati dan sumsum tulang. Penghancuran
trombosit oleh sistem fagosit mononuklear terlihat hasilnya pada penyajian antigen platelet
tambahan untuk sistem kekebalan tubuh oleh sel antigen presenting dengan penyebaran
epitop. Sel B abnormal pada beberapa pasien dan sel T abnormal pada pasien lainya,
menunjukkan aspek trombositopeni terjadi pada pasien ITP.
Kerusakan trombosit pada ITP melibatkan autoantibodi terhadap glikoprotein yang
terdapat pada membrane trombosit. Penghancuran terjadi terhadap trombosit yang diselimuti
antibody (antibody coated platelets) tersebut dilakukan oleh makrofag yang terdapat pada
limpa dan organ retikuloendotelial lainnya. 3 Saat ini telah diidentifikasi beberapa jenis
glikoprotein (GP) permukaan trombosit pada ITP, diantaranya GP IIb-Iia, GP Ib, dan GP V.
Namun bagaimana antibody antitrombosit meningkat pada ITP, perbedaan secara pasti

patofisiologi ITP akut, serta komponen yang terlibat dalam regulasinya masih belum
diketahui. 3
Antibodi akan reaktif terhadap glikoprotein. Kebanyakan autoantibodi

akan

diarahkan terhadap epitop pada glikoprotein IIb/IIIa, yang paling banyak dan imunogenik
permukaan trombosit glikoproteinnya. Autoantibodi yang lain mengarahkan kepada epitopes
pada glikoprotein Ib/V/IX, glikoprotein Ia/Iia, dan glikoprotein IV, dan banyak reaksi lainnya
lebih dari 1 glikoprotein.
Megakariosit dalam sumsum tulang bisa normal atau meningkat pada ITP. Sedangkan
kadar trombopoietin dalam plasma, yang merupakan progenitor proliferasi dan maturasi dari
trombosit mengalami penurunan yang berarti, terutama pada ITP kronis. 3
ITP pada anak diklasifikasikan berdasarkan waktu,yaitu ITP akut (durasi 3-12 bulan)
dan ITP kronik (lebih dari 12 bulan).1 Pada ITP akut, dipercaya bahwa penghancuran
trombosit meningkat karena adanya antibodi yang dibentuk saat terjadi respon imun terhadap
infeksi bakteri/virus atau pada imunisasi, yang bereaksi silang dengan antigen dari trombosit.
Mediator mediator lain yang meningkat selama terjadinya respon imun terhadap infeksi
dapat berperan dalam terjadinya penekanan terhadap produsi trombosit. Sedangkan pada ITP
kronis mungkin telah terjadi gangguan dalam regulasi sistem imun, yang berakibat
terbentuknya antibodi spesifik terhadap trombosit.3
b.

Autoimunitas
Meskipun mekanisme yang rumit untuk mencapai dan memelihara toleransi, sejumlah

sel B dan sel T reaktif bertahan hidup. Biasanya sel-sel ini tidak diberikan sinyal
konstimulatori set kompleks yang dibutuhkan untuk berproliferasi dan menjadi aktif,
contohnya melalui CD40-CD40 interaksi ligan atau CD28-CD80/86; karena itu mereka tetap
diam. Toleransi dapat diatasi dalam berbagai cara. Cross-reaksi antigen, seperti yang
ditemukan pada bakteri atau virus, dapat merangsang selfreacting sel B melalui mimikri
molekuler. Contohnya Helicobacter pylori dan virus varicella zoster. Sejumlah antigen
mampu menyediakan sinyal T-independen ke sel B. Aktivasi poliklonal sel B oleh dengan
rangsangan yang berbeda seperti Epstein-Barr Virus (EBV), malaria dan graft-versus-host
penyakit (GVHD) dapat mengakibatkan autoantibodi yang terbentuk. Gangguan dari
pemeriksaan di mana sel-sel B matang yang memproduksi antibodi autoreaktif dikeluarkan
dari sirkulasi yang akan mengakibatkan peningkatan jumlah autoantibodi (Wardemann et al,
2003). Akhirnya, kerusakan dari sel penekan dan juga anti-idiotype peraturan jaringan dapat
8

mengakibatkan reaksi autoimun. yang terakhir ini. Penjelasan ini dianggap sebagai salah satu
autoimunitas menghubungkan dan immunodeficiency dan karena itu mungkin yang paling
berhubungan dengan ITP.
Satu faktor potensial tambahan dalam autoimunitas ITP adalah bahwa trombosit dapat
menampilkan diri dengan sistem kekebalan tubuh dengan membran mayor histocompatibility
kompleks (MHC) kelas I molekul, yang memungkinkan penghancuran oleh mekanisme sel
mediasi. Ketika diaktifkan, trombosit meningkatkan ekspresi CD40L nya, dan molekul imun
lainnya yang berpotensial, yang dapat berkontribusi untuk imunologi dan oleh karena itu
untuk pengembangan autoimunitas untuk trombosit. Human leukosit antigen (HLA) hanya
terkait dengan pengembangan atau perjalanan klinis ITP pada populasi genetik homogen.
Meskipun demikian pengakuan kekebalan sebagai akibat dari HLA mungkin juga menjadi
penting dalam pengembangan autoimunitas di populasi heterogen.
2.5.2 Demam Berdarah dengue (DBD)
Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada sebagian besar
kasus DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai terendah pada
masa syok. Jumlah trombosit secara cepat meningkat pada masa konvalesen dan nilai normal
biasanya tercapai 7-10hari sejak permulaan sakit. Trombositopenia dihubungkan dengan
meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum tulang, dan pendeknya masa hidup
trombosit diduga akibat meningkatnya destruksi trombosit. Dugaan mekanisme lain
trombositopenia adalah depresi fungsi megakariosit.5 Penyelidikan dengan radioisotop
membuktikan bahwa penghancuran trombosit dalam sistem retikuloendotelial, limpa dan hati.
Penyebab peningkatan destruksi trombosit sampai saat ini belum diketahui, tapi beberapa
faktor dapat menjadi penyebab, yaitu virus dengue, komponen aktif sistem komplemen,
kerusakan sel endotel, aktivasi sistem pembekuan darah secara bersamaan atau secara
terpisah. Lebih lanjut, fungsi trombosit pada DBD terbukti menurun. Hal ini mungkin
disebabkan ditemukannya komplek imun dalam darah. Trombositopenia dan gangguan fungsi
trombosit dianggap sebagai penyebab utama terjadinya perdarahan pada DBD.5

Gambar. 2 Trombositopenia pada


DBD

2.5.3 Trombositopenia pada Sepsis


Istilah sepsis berasal dari kata Yunani Sepo, yang berarti membusuk atau membuat busuk.
Pengenalan

dini,

diagnosis,

dan

manajemen

sepsis

masih

menjadi

salah satu tantangan terbesar dalam bidang kegawatdaruratan saat ini. Society of Critical Care
Medicine (SCCM) dan American College of Chest Physicians (ACCP) mengusulkan sebuah
10

konsensus yang sekarang dikenal dengan Systemic Inflammatory Respon Syndrome (SIRS),
sepsis, sepsis berat, dan syok septik pada tahun 1992. Definisi ini ditinjau dan ditemukan
diterima lagi oleh panel ahli pada tahun 2001. Definisi ini telah dimodifikasi untuk digunakan
pada anak-anak sakit kritis dengan sepsis oleh Konferensi Konsensus Internasional Sepsis
Pediatric (IPSCC).22
Kelainan pembekuan dan trombositopenia umum terjadi pada sepsis berat, dan dapat
berupa perubahan kecil dalam jumlah trombosit dan perubahan dalam tes koagulasi hingga
full-blown disseminated intravascular koagulasi (DIC) dan trombosis mikrovaskular yang
luas. Tingkat keparahan hemostatik tampaknya berkorelasi dengan tingkat keparahan
penyakit, sehingga, jumlah trombosit yang rendah adalah prediksi akan hasil yang buruk. 8
Pada sepsis, penyebab utama trombositopenia adalah proses destruksi trombosit nonimun. Pada awalnya, respon fase akut pada sepsis menghasilkan peningkatan jumlah
trombosit. Beberapa mekanisme terlibat dalam penyebab terjadinya trombositopenia pada
sepsis. Akan tetapi, yang terpenting adalah sepsis dapat menginduksi ikatan trombosit yang
dapat mengaktivasi endotelium pada organ tertentu seperti paru, hati ,dan retina. Ketika
diaktivasi, trombosit mungkin dihancurkan atau dicegah kembali ke sirkulasi sehingga
menyebabkan kerusakan dan penghancuran mikrovaskular. Trombosit banyak terpakai ketika
sepsis sudah merupakan komplikasi dari DIC (Disseminated Intravascular Coagulation)
(gambar 3).
Mekanisme imun mungkin juga berperan dalam trombositopenia yang diinduksi
sepsis. Pada kejadian ini, non patogenik IgG mungkin berikatan dengan produk bakterial
pada permukaan trombosit sehingga mengubah permukaan trombosit atau sebagai komplek
imun. Di sisi lain, trombosit mengalami agrerasi akibat mediator inflamasi dan
lipopolisakarida bakteri sebagai akibat dari interaksi trombosit dan leukosit.

11

Gambar. 3 Trombositopenia pada sepsis

Deposisi fibrin pada mikrosirkulasi diyakini berkontribusi dalam cedera organ pada
sepsis dan merupakan hasil dari disregulasi sistem inflamasi yang terdiri dari sinyal sistem
imun bawaan, komplemen, sistem kinin/kallikrein, dan kaskade pembekuan. Aktivasi
endothelium dan kaskade pembekuan oleh mediator inflamasi menghasilkan thrombotic
microangiopathy, memberikan gambaran berupa Disseminated Intravascular Coagulation
(DIC) atau Thrombocytopenia-Associated Multiple Organ Failure (TAMOF). DIC telah
diartikan sebagai aktivasi dari pembekuan intravaskuler dan pembentukan fibrin
intravaskuler. Mediator yang penting pada jalur pembekuan adalah tissue factor. Pada sepsis,
sitokin pro-inflamasi menstimulasi tissue factor expression in circulating mononuclear cells,
yang nantinya mengarah ke aktivasi koagulasi sistemik. 22
Tissue Plasminogen Activator (tPA) dan urokinase Plasminogen Activator (uPA)
mengaktifkan plasmin, yang mendegradasi bekuan fibrin yang terbentuk. Pada pasien sepsis,
kadar antikoagulan menurun. Dengan kata lain, selama sepsis, antikoagulan dan fibrinolitik
pada mikrovaskuler dirubah menjadi prokoagulan dan antifibrinolitik.22
12

DIC didiagnosa secara klinis dengan adanya trombositopenia, penurunan factor V dan
X, penurunan fibrinogen dan peningkatan D-dimers. Ditemukannya trombositopenia dan
kegagalan organ multipel (organ failure index 3) pada anak dengan sepsis disebut dengan
TAMOF. Diagnose TAMOF kebanyakan ditegakkan berdasarkan gambaran klinis.22
2.6 Manifestasi Klinis
Anak-anak dengan trombositopenia dapat menimbulkan gejala atau tidak. Pada pasien yang
tidak menunjukkan gejala, trombositpeni sering dideteksi secara tidak sengaja pada
pemeriksan hitung jenis. Pada pasien yang menunjukkan gejala biasanya muncul dengan
keluhan perdarahan mukosa atau perdarahan kutaneus.
Perdarahan kutaneus muncul berupa ptekie atau perdarahan kutaneus biasanya
muncul sebagai petechie atau ekimosis superfisial. Pasien dengan trombositopenia juga
mungkin memiliki perdarahan persisten dari luka yang dangkal. Petechiae, lesi diskret
berukuran sebesar ujung jarum, merah, datar, disebabkan oleh ekstravasasi sel darah merah
dari kapiler kulit, dicirikan dengan menurunnya jumlah platelet atau fungsi platelet. Petechiae
tidak nyeri dan tidak hilang dengan penekanan. Petechie tidak memberikan gejala dan tidak
teraba dan harus dibedakan dari telangiektasis kecil dan vaskulitis purpura (teraba). Purpura
menggambarkan perubahan warna keunguan pada kulit akibat adanya petechiae konfluen.
Ekimosis adalah daerah perdarahan dalam kulit yang tidak nyeri yang biasanya kecil,
multipel, dan dangkal, dan dapat berkembang tanpa trauma yang terlihat. Ekimosis memiliki
berbagai warna tergantung kepada darah yang tereksavasasi (merah atau ungu) dan kerusakan
heme yang sedang berlangsung dalam darah yang tereksavasasi oleh makrofag kulit (hijau,
kuning, atau coklat).
Pola perdarahan ini berbeda dari pasien yang memiliki gangguan faktor koagulasi,
seperti hemofilia. Pasien dengan trombositopenia cenderung mengalami sedikit perdarahan
dalam otot atau sendi, banyak perdarahan setelah luka kecil, sedikit perdarahan tertunda, dan
sedikit perdarahan pascaoperasi. Selain itu, pasien yang mengalami gangguan faktor
koagulasi cenderung tidak memiliki petechiae. Meskipun jarang, perdarahan sistem saraf
pusat adalah penyebab kematian paling umum akibat trombositopenia. Ketika perdarahan
tersebut terjadi, sering didahului oleh riwayat trauma kepala. 1
Pasien dengan ITP biasanya merupakan anak sehat yang tiba-tiba mengalami
perdarahan baik pada kulit, purpura atau perdarahan pada mukosa hidung (epistaksis). Pada
pemeriksaan fisik biasanya hanya didapatkan bukti adanya perdarahan trombosit (platet-type
13

bleeding), yaitu ptekie, pupura, perdarahan konjungtiva, atau perdarahn mukokutaneus


lainya. Perlu dipikirkan penyakit lain, jika ditemukan adanya pembesaran hati dan atau limpa,
meskipun ujung limpa sedikit teraba pada lebih kurang 10% anak dengan ITP.

Pada ITP

akut, pada pemeriksaan fisik akan didapatkan manifestasi perdarahan berupa ptekie dan
memar yang terjadi secara tiba-tiba. Limfadenopati ringan atau splenomegali mungkin
disertai infeksi virus. Sedangkan pada ITP kronik biasanya memiliki penyakit yang
mendasari. Beberapa anak dengan ITP kronik memiliki kelainan imunologik seperti Evans
syndrom atau autoimmune lymphoroliferative syndrom (ALPS). 1
Pada Disseminated Intravaskuler Coagulati (DIC) gejala klinis yang bervariasi dapat
timbul, naman pada dasarnya terjadi proses perdarahan dan trombosisnpada waktu yang
bersamaan. Manifetasi perdarahan yang sering muncul adalah ptekie, ekimosis, hematom di
kulit, hematuria, melena, epistaksis dan perdarahan gusi, serta kesadaran menurun akibat
perdarahan otak. Sedangkan gejala trombisis yang terjadi dapat berupa gagal ginjal akut,
gagal nafas dan iskemia serta kesadaran menurun akibat trombosis pada otak. 6
Pada sepsis, gangguan koagulasi terjadi akibat pembentukan trombin oleh tissue
factor, gangguan mekanisme antikoagulan dan penghentian sistem brinolisis. Pengetahuan
tersebut sangat berguna untuk mengembangkan terapi dan intervensi terhadap pasien dengan
sepsis yang disertai gangguan koagulasi berat. Gangguan koagulasi pada sepsis dapat
bervariasi dari aktivasi koagulasi yang hanya terdeteksi oleh marker sensitif hingga
disseminated intravascular coagulation (DIC). 12
2.7 Diagnosis
2.7.1 Diagnosis ITP
Biasanya pasien ITP merupakan anak yang sehat yang tiba-tiba mengalami perdarahan baik
pada kulit, petekie, purpura atau perdarahan pada mukosa hidung (epistaksis). 3 Lama
terjadinya perdarahan ITP dapat membantu membedakan antara ITP akut dan kronis. Tidak
didapatkannya gejala sistemik dapat membantu menyingkirkan kemungkinan suatu bentuk
sekunder dan diagnosis lainnya. Perlu juga dicari riwayat tentang penggunaan obat atau
bahan yang lain yang dapat menyebabkan trombositopenia. Riwayat keluarga umumnya tidak
didapatkan. 3
Pada pemeriksaan fisik biasanya hanya didapatkan bukti adanya perdarahan tipe
trombosit (platelet type bleeding), yaitu petekie, purpura, perdarahan konjungtiva, atau
14

perdarahan mukokutaneus lainnya. Perlu dipikirkan kemungkinan suatu penyakit lain, jika
ditemukan adanya pembesaran hati dan atau limpa, meskipun ujung limpa sedikit teraba pada
lebih kurang 10% anak dengan ITP. 3
Selain, trombositopenia, pemeriksaan darah tepi lainnya pada anak dengan ITP
umumnya normal sesuai dengan umurnya. Pada lebih kurang 15% pasien didapatkan anemia
ringan karena perdarahan yang dialaminya. Pemeriksaan hapusan darah tepi diperlukan untuk
menyingkirkan kemungkinan pseudotrombositopenia, sindroma trombosit raksasa yang
diturunkan (inherited giant platelet syndrome) dan kelainan hematologi lainnya. Trombosit
yang imatur (megatrombosit) ditemukan pada sebagian besar pasien. Pada pemeriksaan
dengan flow cytometry terlihat trombosit pada ITP lebih aktif secara metabolic, yang
menjelaskan mengapa dengan jumlah trombosit yang sama, perdarahan lebih jarang
didapatkan pada ITP disbanding pada kegagalan sumsum tulang. Pemeriksaan laboratorium
sebaiknya dibatasi terutama pada saat terjadinya perdarahan dan jika secara klinis ditemukan
kelainan yang khas. 3
Perlu tidaknya pemeriksaan aspirasi sumsum tulang secara rutin dilakukan pada anak
dengan dugaan ITP masih menimbulkan perbedaan pendapat di antara para ahli. Umumnya
pemeriksaan ini dilakukan pada kasus yang meragukan. Namun, tidak pada kasus-kasus
dengan manifestasi klinis yang khas. Beberapa ahli berpendapat bahwa leukemia tidak pernah
nampak dengan trombositopenia saja, tapi tidak semua rumah sakit berpengalaman dalam
pemeriksaan hapusan darah pada anak. Pemeriksaan sumsum tulang dianjurkan pada kasuskasus yang tidak khas, misalnya pada :
1. Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik yang tidak umum, misalnya panas, penurunan
berat badan, kelemahan, nyeri tulang, pembesaran hati dan atau limpa.
2. Kelainan eritrosit dan leukosit pada pemeriksaan darah tepi.
3. Kasus yang akan diterapi dengan steroid, baik sebagai pengobatan awal atau yang gagal
diterapi dengan immunoglobulin intravena.
Pada audit yang dilakukan di negara maju,disepakati bahwa pemeriksaan aspirasi
sumsum tulang sebaiknya dilakukan sebelum pengobatan steroid diberikan. Terdapat pula
kesepakatan yang didukung oleh hasil beberapa penelitian retrospektif, bahwa pemeriksaan
sumsum tulang tidak diperlukan pada pasien yang hanya diobservasi atau dengan terapi
immunoglobulin intravena. 3
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan pada pasien ITP adalah mengukur antibody
yang berhubungan dengan trombosit (platelet-associated antibody) dengan menggunakan
direct assay. Namun pemeriksaan ini juga belum dapat membedakn ITP primer dengan
15

sekunder. Atau anak yang akan sembuh dengan sendirinya dengan yang akan mengalami
perjalanan menjadi kronis. 3
Diagnosis

ITP

ditegakkan

dengan

menyingkirkan

kemungkinan

penyebab

trombositopenia yang lain. Bentuk sekunder kelainan ini didapatkan bersamaan dengan
Eritematosus Lupus Sistemik (ELS), sindroma antifosfolipid, leukemia atau limfoma,
defisiensi IgA, hipogamaglobulinemia, infeksi HIV atau hepatitis C dan pengobatan dengan
heparin atau quinidin. 3
Pada anak yang berumur kurang dari 3 bulan, kemungkinan suatu trombositopenia
congenital perlu disingkirkan. Pada sindrom Bernard-Soulier perdarahan sering lebih hebat
fari jumlah trombosit yang diduga (contohnya, perdarahan yang nyata pada jumlah trombosit
30.000/mm3). Pada sindrom Wiskott-Aldrich didapatkan trombosit yang lebih kecil dari
normal, sedangkan pada ITP biasanya lebih besar dari bentuk trombosit normal. Kelainan
congenital lain yang dapat menyebabkan perdarahan pada bayi dan terdiagnosa sebagai ITP
adalah penyakit von Willebrands tipe IIb, yang disebabkan faktor von Willebrand abnormal
agregasi trombosit dan trombositopenia. 3
Anak yang lebih tua dan mereka yang mengalami perjalanan menjadi kronis, perlu
dipikirkan adanya kelainan autoimun yang lebih luas, serta perlu dicari adanya tanda-tanda
dan atau gejala-gejala dari ELS atau sindrom antifosfolipid. 3 Pada anak yang menderita
varisela yang disertai trombositopenia perlu dilakukan pemeriksaan yang lebih teliti, sebab
meskipun jarang namun dapat mengancam jiwa berhubungan dengan kekurangan protein S
yang didapat dan thrombosis mikrovaskuler. 3
2.7.2 Diagnosis Demam Berdarah dengue (DBD)
Patokan diagnosis DBD (WHO, 1975) berdasarkan gejala klinis dan laboratorium. Dari
klinis, didapatkan demam tinggi mendadak dan terus-menerus selama 2-7 hari yang disertai
salah satu atau beberapa gejala di bawah ini:
1. Manifestasi perdarahan, minimal uji tourniquet positif dan salah satu bentuk perdarahan
lain (petekie, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi), hematemesis dan atau
melena
2. Pembesaran hati
3. Syok yang ditandai oleh nadi lemah dan cepat disertai tekanan nadi menurun ( 20
mmHg), tekanan darah menurun (tekanan sistolik 80 mmHg) sisertai kulit yang teraba
dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari dan kaki, pasien menjadi gelisah dan
timbul sianosis di sekitar mulut
16

Dari laboratorium didapatkan trombositopenia ( 100.000/ul) dan hemokonsentrasi


yang dapat dilihat dari peningkatan nilai hematokrit 20% dibandingkan dengan nilai
hematokrit pada masa sebelum sakit atau masa konvalesen. Ditemukannya dua atau tiga
patokan klinis pertama disertai trombositopenia dan hemokonsentrasi sudah cukup untuk
klinis membuat diagnosis DBD. Dengan patokan ini 87% kasus tersangka DBD dapat
didiagnosis dengan tepat, yang dibuktikan oleh pemeriksaan serologis dan dapat dihindari
diagnosis berlebihan.
2.7.3

Diagnosis Sepsis

Sepsis dilihat berdasarkan vital sign dan hasil laboratorium normal sesuai umur.
Tabel 1. Definisi dari Systemic inflammatory response syndrome (SIRS), infeksi, sepsis, sepsis berat,
dan shock sepsis.

SIRS
Ditegakkan jika terdapat dua dari empat kriteria, satu diantaranya harus ada suhu atau
jumlah leukosit yang abnormal.

Suhu tubuh > 38,5 c atau <36 c


Takikardi, didefinisikan jika heart rate rata-rata > 90 kali permenit
Nilai respirasi rata-rata > 20 kali permenit
Jumlah PaCO2 <32mmHg
Jumlah sel darah leukosit meningkat atau menurun sesuai umur (tidak karena
kemoterapi yang menginduksi leukopenia) atau <10% neutrofil imatur, putih
>12.000 cells/mm3, <4.000 cells/mm3 atau >10% band cells

Infeksi
Infeksi dapat dicurigai atau terbuktikan (kultur positif, jaringan yang nekrotik atau
test rantai polimerase ). Infeksi dikarenakan banyak patogen atau gejala klinik sesuai
dengan kemungkinan yang tinggi infeksi. Infeksi yang termasuk penemuan positif
dari pemeriksaan fisik, penyinaran, atau tes laboratorium (contoh sel darah putih yang
normal pada cairan tubuh yang steril, perforasi viskus, penyinaran dada dengan
pneumonia, pteki atau ruam purpura atau purpura fulminan)
Sepsis
SIRS sebagai akibat dari infeksi yang dicurigai atau terbukti terinfeksi
Severe sepsis
Sepsis ditambah salah satu dari berikut: disfungsi organ kardiovaskular ATAU
17

sindrom gangguan pernapasan akut atau dua atau lebih organ lain disfungsi
Syok septik
Sepsis dan difungsi organ kardiovaskuler

2.8 Pemeriksaan Penunjang


2.8.1 Temuan Laboratorium
2.8.1.1 Darah
Kelainan trombosit dari segi ukuran dan morfologi pada umumnya sering ditemukan.
Biasanya didapatkan platelet abnormal dari segi ukuran ( diameter 3-4 mikron). Trombosit
kecil yang abnormal dan fragmen fragmen trombosit ("mikropartikel") juga ditemukan dan
temuan tersebut

setara dengan microspherocytes dan schistocytes . meskipun fragmen

megakariosit mungkin terlihat pada apusan darah rutin, studi kuantitatif mengungkapkan
jumlah abnormal fragmen ini .1
Perkiraan volume trombosit rata-rata Mean Platelet Volume (MPV) dan tingkat
heterogenitas ukuran trombosit (distribusi trombosit) dengan cara penghitungan partikel
secara otomatis mungkin, jika ada, memberikan informasi yang berguna dalam mengevaluasi
pasien dengan ITP . Adanya sejumlah megathrombocyte menghasilkan nilai MPV yang
tinggi dan menyebabkan distribusi trombosit juga meningkat. Hal ini dapat mengakibatkan
abnormal anisositosis trombosit.

Teori yang tepat yang mendasari megathrombocytosis

sebenarnya masih belum pasti, tapi hal ini mungkin karena produktifitas yang meningkat
sebagai respon terhadap penghancuran trombosit. 1
Kondisi anemia sebanding dengan tingkat kehilangan darah dan biasanya
normositiik. Jika perdarahan

yang terjadi berat dan lama,anemia zat besi bisa terjadi.

Perdarahan hebat yang baru terjadi bisa menyebabkan retikulositosis dan makrositosis
relative. Antibodi antiplatelet pada pasien dengan ITP biasanya tidak bereaksi silang dengan
eritrosit meskipun hanya berupa fragmen eritrosit. Pada pasien juga bisa ditemukan uji
Coomb positif dan anemia hemolitik autoimun. Kombinasi keduanya dikenal sebagai
sindrom Evans. 1
Jumlah total leukosit dan hitung jenis biasanya normal, kecuali untuk perubahanperubahan akibat perdarahan akut seperti neutrofilia ringan sampai sedang dengan
18

peningkatan bentuk imatur. Eusinophilia juga bisa ditemukan terutama pada anak-anak,
tetapi temuan ini tidak terlalu berarti. 1
Uji hemostasis dan pembekuan darah menunjukkan perubahan pada keadaan
trombositopenia, contohnya pemanjangan bleeding time. hasil uji pembekuan darah,
termasuk protrombin time, parsial tromboplastin time, biasanya normal pada pasien dengan
trombositopenia ringan. Sedikit peningkatan dari FDP (fibrinogen degradation product)
dapat ditemukan dalam plasma beberapa pasien dengan ITP . Konsentrasi thrombopoietin
tidak meningkat secara signifikan pada pasien ITP, berbeda dengan pasien dengan
trombositopenia akibat penurunan produksi. 1
2.8.1.2 Sumsum Tulang
Perubahan dalam sumsum tulang biasanya terbatas pada megakariosit meskipun hiperplasia
normoblastic dapat berkembang sebagai akibat dari kehilangan darah. leukosit biasanya
normal namun kadang- kadang dapat ditemukan eosinophilia. Megakariocyte, ukrannya
biasanya meningkat, tapi jumlahnya bisa normal atau meningkat. Abnormalitas morfologi sel
ini muncul pada sebagian pasien ITP. pemeriksaan sumsum tulang kadang- kadang
membantu terutama dalam membedakan

ITP dengan kondisi lainnya yang meragukan.

Perubahan perubahan diatas bisa ditemukan pada hampir semua kasus trombositopenia
yang disebabkan oleh penghancuran platelet besar-besaran sehingga perubahan tersebut tidak
khas dalam menegakkan diagnosis ITP. Perbedaan antara megakariocyte yang ditemukan
pada ITP akut dan kronis tidak jelas dan pemeriksaan sumsum tulang tidak sangat membantu
dalam menentukan prognosis. 1
2.8.1.3 Antiplatelet Antibodi
Trombositopenia autoimun adalah diagnosis eksklusi dan bergantung pada gambaran klinis.
Beberapa jenis tes antibodi antiplatelet telah dikembangkan dan dilaporkan selama bertahuntahun. Pemeriksaan ini mengukur berbagai jenis Ig termasuk antibodi antiplatelet serum, Ig
permukaan terkait-platelet atau Ig trombosit total dan sekarang tidak bisa dijadikan patokan.
Pada penelitian terbaru pada uji antibodi antiplatelet, antibodi monoklonal untuk glicoprotein
membran spesifik platelet yang terlibat dalam ITP digunakan dalam uji penangkapa antigen
(juga disebut glycoprotein immobilization assays). studi terbaru telah melaporkan bahwa
spesifisitasnya 78 sampai 93%. Namun sensitivitas nya (49 sampai 66%) sehingga tidak
cukup untuk menyingkirkan ITP jika tes ini negative. Pada masa yang akan dating mungkin
19

akan digunakan pemeriksaan flow cytometry dalam diagnosis dan tindak lanjut dari
trombositopenia autoimun. 1
2.9 Tatalaksana
2.9.1 Immune Thrombocytopenia Purpura (ITP)
Terdapat perbedaan signifikan pada manajemen ITP pada anak yang dipublikasi pada
guideline dari negara-negara maju. Berdasarkan American Society of Hematology,
tatalaksana terbaik adalah observasi, kecuali jika jumlah platelet
perdarahan mukosa signifikan atau

20.000/mm3 dengan

10.000/mm3 dengan purpura minor. Tatalaksana yang

digunakan pada ITP akut diantaranya adalah Intravenous Immunoglobulin (IVIg),


kortikosteroid, dan anti-D immunoglobulin (anti-D Ig). Peranan obat-obatan tersebut masih
kontroversi. Obat-obatan diatas hanya meningkatkan jumlah platelet namun tidak
mempengaruhi perjalanan klinis penyakit. 14
Manajemen awal ITP
1. Menentukan status penyakit pasien
Tentukan jenis perdarahan yang dialami pasien
Tentukan waktu perdarahan, lokasi, dan tingkat keparahan dari perdarahan
Tentukan apakah pasien memiliki faktor-faktor resiko perdarahan seperti

2.

penggunaan antithrombotic agents atau pekerjaan dengan risiko tinggi


Apakah pasien akan menjalani prosedur bedah?
Apakah pasien ini akan lebih merespon terapi yang direkomendasikan?
Apakah perdarahan yang dialami pasien mengganggu aktivitas sehari-hari atau

menimbulkan ansietas.
Pertimbangan umum dalam terapi awal
Mayoritas pasien tanpa perdarahan atau perdarahan ringan (ditentukan sebagai
perdarahan dengan manifestasi pada kulit saja, seperti ptekie dan memar) dapat

diobservasi saja berapapun jumlah trombositnya


Terapi lini pertama berupa observasi, kortikosteroid,

immunoglobulin
Anti-D harus digunakan secara hati-hati berdasarkan peringatan dari FDA baru-baru

IVIG,

atau

anti-D

ini akan hemolisis. Maka dari itu tidak dianjurkan diberikan pada pasien dengan
perdarahan yang menyebabkan penurunan hemoglobin, atau pasien dengan hemolysis
3.

autoimun.
Pertimbangan khusus terapi pada anak

20

Single-dose IVIG (0.8-1.0 g/kg) atau kortikosteroid short course digunakan sebagai

terapi lini pertama


IVIG sebaiknya digunakan dibandingkan dengan kortikosteroid jika dibutuhkan

peningkatan jumlah platelet


Tidak ada bukti yang mendukung penggunaan kortikosteroid jangka panjang

dibandingkan dengan jangka pendek.


Anti-D dapat dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama pada anak dengan Rh+

yang belum displenectomy dengan mempertimbangkan risiko-risiko di atas. 15


Terapi Khusus
1. Splenectomy: Direkomendasi pada anak-anak dengan perdarahan signifikan dan
persisten dan respons yang kurang terhadap terapi kortikosteroid, IVIf, dan anti-D
2.

dan/atau membutuhkan peningkatan kualitas hidup.


Rituximab: Dapat dipertimbangkan pada anak-anak dengan ITP yang memiliki
perdarahan signifikan dan/atau membutuhkan peningkatan kualitas hidup. Juga
dipertimbangkan sebagai alternatif splenectomy pada anak-anak dengan ITP kronik

3.

atau yang gagal splenectomy.


Agonis Reseptor Trombopoietin: Masih dipelajari pada berbagai studi namun belum

4.

ada petunjuk penggunaan pada anak yang telah dipublikasi


Deksametason dosis tinggi: Dapat dipertimbangkan pada anak-anak atau remaja
dengan ITP dengan perdarahan massif dan/atau membutuhkan peningkatan kualitas
hidup. Dapat dipertimbangkan sebagai alternative splenectomy pada anak dengan ITP

kronik atau pada pasien yang gagal splenectomy


5. Immunosupresi: Beberapa agen telah dilaporkan, namun data tentang agen yang
spesifik masih kurang untuk rekomendasi. 15
4. Pertimbangan Khusus pada ITP Sekunder
1. ITP Sekunder (HIV-associated)
- Tatalaksana penyakit dasar HIV dengan antiviral therapy sebelum tatalaksana
-

lainnya pada pasien dengan perdarahan signifikan


IVIG, kortikosteroid, atau anti-D dapat digunakan pada pasien yang

membutuhkan terapi lanjutan


Splenectomi dapat dipertimbangkan pada pasien yang gagal diterapi dengan

obat-obatan awal
2. ITP Sekunder (HCV-associated)
- Terapi antiviral dapat dipertimbangkan jika tidak ada kontraindikasi, namun
jumlah platelet harus dimonitor secara ketat pada situasi yang beresiko terjadi
trombositopenia akibat interferon
- Jika dibutuhkan terapi, tatalaksana awal harus dengan IVIg
3. ITP Sekunder (H.pylori-associated)

21

Test rutin terhadap Helicobacter Pylori tidak dianjurkan pada anak dengan ITP

yang tidak teratasi namun asimptomatik


- Terapi dilanjutkan dengan eradikasi H.Pylori jika ditemukan infeksi
4. MMR-Related ITP
- Anak-anak dengan riwayat ITP namun belum diimunisasi dapat menerima
-

vaksinasi MMR pertama


Pada anak dengan ITP yang berhubungan/tidak dengan vaksinasi yang telah
menerima dosis pertama vaksinasi MMR, titer vaksin dapat diterima. Jika anak
menunjukkan imunitas lengkap, tidak perlu diberikan vaksin MMR lanjutan.
Jika anak tidak memiliki imunitas yang adekuat, anak dapat diimunisasi ulang
pada usia yang dianjurkan. 15

Tabel.2. Pilihan terapi farmakologik ITP. 16

Agent-agent Terapi dan Dosis Terapi ITP


Agent

Dosis

Rituximab

375 mg/m2/minggu dibagi 4 dosis

Anti-D Immunoglobulin 50-75 g/kg, diulang dalam interval 3 minggu sesuai


jumlah trombosit
Siklofosfamid

150 mg/hari hingga 8 minggu

Colchicine

200 mg/hari hingga 4 minggu

Deksametason

40 mg/kg/hari selama 4 hari, diulang dalam interval 4 hari

Danazol

400 mg 2 kali sehari selama 1 bulan/lebih

IVIG

1 g/kg dalam dosis terbagi, diulang dalam interval 2-4


minggu pada dosis 400 mg/kg

Prednison

1 mg/kg/hari selama 14 hari

Vincristine

2 mg pada interval 5-7 hari dalam 2 dosis atau lebih

Vinblastin

7,5 mg pada interval 5-7 hari dalam 3 dosis atau lebih

Beberapa perubahan tatalaksana farmakologik awal pada ITP


1. Kortikosteroid
Terdapat sedikit perubahan dibandingkan guideline ASH 1996. Telah dilakukan suatu
randomized trial sejak guideline sebelumnya dikeluarkan yang membandingkan observasi
saja dengan pemberian prednisone 2 mg/kg/hari selama 2 minggu yang kemudian di taperingoff selama 21 hari pada pasien dengan jumlah platelet antara 10 - 29 x 109/L tanpa tanda
22

perdarahan mukosa. Dengan target jumlah platelet 30 x 109/L. Tidak terdapat perbedaan
statistik signifikan antara pemberian prednisone dengan observasi dalam mencapai target
(secara berurutan 2 hari vs 4 hari). Selain itu tidak terdapat perdarahan baru yang
membutuhkan perawatan tambahan pada kedua grup. 17
Tidak ada bukti yang memadai untuk menentukan apakah penggunaan kortikosteroid
pada populasi dengan risiko perdarahan tinggi berguna atau tidak. Walaupun demikian, anak
dengan jumlah platelet kurang dari 10 x 109/L atau dengan perdarahan mukosa masih
dipertimbangkan untuk diberikan terapi kortikosteroid rutin oleh dokter. Jika kortikosteroid
dipilih sebagai tatalaksana awal, tidak terdapat bukti ataupun support terhadap dosis atau
pemilihan yang mana lebih baik dibandingkan yang lain. Pemberian kortikosteroid jangka
panjang pada anak dengan ITP akut harus dihindari karena efek sampingnya. 17
2. IVIG
Terdapat sedikit perubahan dibandingkan guideline ASH 1996. Sebuah meta-analisis yang
membandingkan tatalaksana dengan IVIG (pada dosis 0.8 sampai 1.0 g/kg) dan
kortikosteroid dilaporkan mengumpulkan data dari 6 trial. Hasil akhir yang diharapkan adalah
jumlah platelet > 20 x 109 dalam 48 jam. Hasilnya menunjukkan bahwa anak yang menerima
kortikosteroid 26% lebih kurang mendapatkan hasil. 17
3. Anti-D Immunoglobulin
Terdapat perubahan signifikan dibandingkan guideline ASH 1996, dengan data-data terbaru
termasuk kemungkinan risiko hemolysis. Sejak 1996 telah dilakukan 3 randomized trial yang
membandingkan terapi antara anti-D dalam berbagai dosis dengan IVIg. Dengan hasil yang
menunjukkan bahwa terapi anti-D lebih baik pada dosis 75 g/kg dibandingkan dengan 50
g/kg, namun hasil perbandingan antara anti-D dengan IVIg pada 3 studi tersebut
kontradiktif, dengan salah satu hasil mengatakan pemberian IVIg lebih baik dan studi lain
mengatakan Anti-D dosis yang lebih tinggi lebih baik.
Data dari Tarantino et al menunjukkan bahwa Anti-D pada dosis 50 g/kg sama
efektifnya dengan pemberian IVIG, dan Anti-D pada dosis 75 g/kg lebih efektif namun
dengan efek samping yang lebih besar. Anti-D hanya disarankan pada pasien dengan Rhesus
positif, yang test antiglobulin direct-nya negative, dan tidak menjalani splenectomy. Dan
risiko intravascular hemolysis harus diperhatikan dan dipertimbangkan dibandingkan dengan
manfaatnya. 17

23

2.9.2 Demam Berdarah Dengue (DBD)

Keberhasilan tatalaksana DBD terletak pada bagaimana mendeteksi secara klinis fase kritis,
yaitu saat suhu turun yang merupakan fase awal terjadinya kegagalan sirkulasi dengan
melakukan observasi klinis disertai pemantauan perembesan plasma dan gangguan
hemostasis. Penurunan jumlah trombosit sampai kecil 100.000/mm 3 atau kecil 1-2 trombosit
perLPB (rata-rata hitung pada 10 LPB) terjadi sebelum peningkatan hematokrit dan sebelum
terjadi penurunan suhu. Peningkatan hematokrit besar sama 20% mencerminkan perembesan
plasma dan merupakan indikasi untuk pemberian cairan. Pemberian cairan awal sebagai
pengganti volume plasma dapat diberikan larutan garam isotonik atau Ringer Laktat yang
kemudian dapat disesuaikan dengan berat ringan penyakit. Perhatian khusus pada kasus
dengan peningkatan hematokrit yang terus menerus dan penurunan jumlah trombosit kecil
dari 50.000/mm3. Salah satunya dengan pemberian tranfusi darah segar pada pasien syok
setelah pemberian cairan resusitasi kristaloid dan koloid tidak berhasil. 5
2.9.3 Sepsis dan Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)

Secara umum, transfusi trombosit tidak diperlukan, kecuali pada anak dengan jumlah
trombosit <50.000/L dengan perdarahan aktif ataupun masif. Terkadang transfusi trombosit
diperlukan hanya ketika jumlah trombosit <10.000/L. Pada sepsis dan syok sepsis pada anak
diperlukan tatalaksana menyeluruh terhadap underlying cause yang mana jika kondisi sepsis
pasien tertangani, jumlah trombosit akan kembali normal dengan sendirinya. 23
2.9.4 Transfusi Trombosit
Tergantung kepada:
o Keadaan pasien
o Status plasma phase coagulation
o Jumlah trombosit
o Penyebab trombositopenia
o Kapasitas fungsional dari trombosit
-

Jika jumlah trombosit < 10.000-20.000/mm 3 risiko perdarahan spontan meningkat :


dipertimbangkan untuk dilakukan transfusi trombosit.

Jika terdapat disfungsi trombosit atau pemberian terapi yang dapat menghambat sistem
prokoagulan, transfusi trombosit pada kasus dengan jumlah trombosit yang lebih tinggi
mungkin saja dibutuhkan.
24

Trombosit yang ditransfusikan akan berada sementara di paru-paru dan limpa sebelum
mencapai puncaknya (45-60menit).

Sejumlah trombosit tersebut tidak pernah beredar dalam sirkulasi, namun akan tetap
berada di dalam limpa mengurangi pemulihan.

Dalam rangka penghentian perdarahan :


o Pemulihan trombosit

Dinilai dengan cara menghitung jumlah maksimal trombosit yang beredar


disirkulasi sebagai respon atas transfusi (satu jam setelah transfusi )

Tidak adanya faktor imun atau non imun yang drastic yang menyebabkan
penurunan pemulihan trombosit, diharapkan terjadi kenaikan trombosit
sebesar 7000/L pada tiap unit donor

Pada anak-anak yang lebih besar atau dewasa 40,000-70,000/ L


peningkatan pada setiap unit donor aferesis

bayi dan anak yang lebih kecil 10ml/kg akan meningkatkan hitungan
trombosit paling sedikit 50,000/ L

o Survival of transfused platelets:

Tranfusi trombosit memiliki waktu paruh hidup 3-5 hari.

Kerusakan imun atau nonimun waktu paruh hidup akan memendek


beberapa hari bahkan beberapa jam jumlah tranfusi trombosit
mempengaruhi hemostasis.

Masalah pada trombosit akan membuat waktu tranfusi trombosit menjadilebih lama
pemulihan yang buruk atau tidak ada respon terhadap tranfusi trombosit ( 1 hour)
o Kebanyakan (70-90%) mengahsilkan perkembangan dari aloloantibodi langsung
directed against HLA ag pada trombosit
Pencegahan : deplesi komponen leukosit (<5.000 leukosit per unit tiap kantuong
sel darah merah per apheesis atau 6-10 unit konsentrasi)
o

Pada alloimmuni trombosit : mencegah HLA A- & HLA B- bertemu dengan


trombosit yang di tranfusi. 18

2.10 Komplikasi

25

Komplikasi trombositopenia berupa perdarahan yang berlebihan setelah trauma atau cedera
yang mengakibatkan perdarahan dan kehilangan darah dalam jumlah banyak. Namun,
perdarahan spontan (tanpa cedera atau trauma) karena trombositopenia jarang, kecuali jika
jumlah trombosit kurang dari 20.000.23
Komplikasi lain mungkin berhubungan dengan faktor-faktor lain yang mendasarinya
atau kondisi. Misalnya, trombositopenia autoimun yang berkaitan dengan lupus mungkin
terkait dengan komplikasi lain dari lupus. TTP atau HUS dapat memiliki banyak komplikasi
termasuk anemia berat, confusion atau perubahan neurologis lainnya, atau gagal ginjal. HIT
atau trombositopenia akibat heparin dapat memiliki komplikasi menghancurkan terkait
dengan pembentukan bekuan darah (trombosis).23
Pendarahan internal berbahaya dapat terjadi ketika jumlah platelet turun di bawah
10.000 trombosit per mikroliter. Meskipun jarang terjadi, trombositopenia berat dapat
menyebabkan perdarahan di dalam otak atau intraabdominal, yang bisa berakibat fatal. 2

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Trombositopeni merupakan penyakit yang cukup banyak dijumpai pada anak-anak.
Trombositopeni didefenisikan sebagai jumlah trombosit pada darah yang kurang dari 150
26

x 103/L atau 150 x 109/L, dan merupakan penyebab utama dalam gangguan hemostasis
primer yang dapat menyebabkan perdarahan signifikan pada anak-anak. Jika jumlah
trombosit berkurang manifestasi klinisnya ditandai dengan timbulnya ptekie, purpura,
perdarahan pada mukosa, biasanya sering pada mukosa hidung dan mulut. 2
Trombositopeni dapat disebabkan karena produksi trombosit yang berkurang,
peningkatan konsumsi trombosit dan destruksi trombosit. Anak-anak dengan
trombositopeni dapat menimbulkan gejala atau tidak. Pada pasien yang menunjukkan
gejala biasanya muncul dengan keluhan perdarahan mukosa atau perdarahan kutaneus.
Perdarahan kutaneus muncul berupa ptekie atau perdarahan kutaneus biasanya muncul
sebagai petechie atau ekimosis superfisial. Petechiae tidak nyeri dan tidak hilang dengan
penekanan. Purpura menggambarkan perubahan warna keunguan pada kulit akibat
adanya petechiae konfluen. Ekimosis memiliki berbagai warna tergantung kepada darah
yang tereksavasasi (merah atau ungu) dan kerusakan heme yang sedang berlangsung
dalam darah yang tereksavasasi oleh makrofag kulit (hijau, kuning, atau coklat).
Tatalaksana berbeda-beda sesuai dengan penyakit yang mendasari. Berdasarkan
American Society of Hematology, tatalaksana terbaik adalah observasi, kecuali jika
jumlah platelet

20.000/mm3 dengan perdarahan mukosa signifikan atau

10.000/mm3

dengan purpura minor. Tranfusi trombosit tergantung kepada keadaan pasien, status
plasma phase coagulation ,jumlah trombosit, penyebab trombositopenia dan kapasitas
fungsional dari trombosit. Jika jumlah trombosit < 10.000-20.000/mm 3 maka risiko
perdarahan spontan meningkat sehingga dipertimbangkan untuk dilakukan transfusi
trombosit.
3.2 Saran

Perlunya pemahaman mengenai gejala klinis dan kriteria diagnosis agar tidak
terjadi kesalahan dalam penegakan diagnosis sehingga penangannya menjadi lebih

tepat dan adekuat.


Perlunya pemahaman mengenai penatalaksanaan sehingga dapat menurunkan

angka mortalitas dan morbiditaas.


Perlunya informasi mengenai trombositopeni kepada masyarakat

27

Daftar Pustaka

1. Consolini. Deborah M .Thrombocytopenia in Infants and Children. Pediatric in Review.


American Academy of Pediatrics; 2011, p. 135-151.
2. Buchanan. George R. Thrombocytopenia During Childhood: What the Pediatrician Need
to Know. Pediatric in Review. American Academy of Pediatrics; 2005, p. 401-409.
3. Permono. H. Bambang dkk. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Cetakan Kedua.
Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2006.
4. Setiaty. Tatty E, Wagenaar. Jiri. F. P, et al. Changing Epidemiology of Dengue
Hemorrhagic Fever in Indonesia. Dengue Bulletin; 2006.
5. Sumarmo S. Poorwo, Soedarmo dkk. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi Kedua.
Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008.
6. Chaerulfatah. Alex, Setiabudi. Djatnika et al. Thrombocytopenia and Platelet
Transfusions in Dengue Haemorrhagic Fever and Dengue Shock Syndrome. Dengue
Bulletin; 2003.
7. Napitupulu. Herald A. Laporan Kasus: Sepsis. Anastesia and Critical Care; 2010, h. 5058.
8. Yaguchi A, Lobo FLM, Vincent J-L, Pradier O. Platelet function in sepsis. J Thromb
Haemost; 2004, p. 2,20962102.
9. Knoebl P. Blood Coagulation Disorders in Septic Patients. Wien Med Wochenschr ;
2010, p. 160,129-138.
28

10. Saba HI, Morelli GA.The Pathogenesis and Management of Disseminated Intravascular
Coagulation. Clin Adv Hematol Oncol; 2006, p. 4,919-926.
11. Levi M, De Jonge E, Poll T.Rationale for restoration of physiological anticoagulant
pathways in patients with sepsis an disseminated intravascular coagulation. Crit Care
Med; 2001, p. 29 ,90-94.
12. Watson RS, Carcillo JA, Linde-Zwirble WT, Clermont G, Lidicker J, Angus DC. The
Epidemiology of Severe Sepsis in Children in the United States. Am J Respir Crit Care
Med; 2003, p. 1,167(5),695-701.
13. Antonacci Carvalho, Paulo R, Trotta, Eliana de A. Advances in Sepsis Diagnosis and
Treatment. Journal de Pediatria. Sociedade Brasileira de Pediatria. 2003
14. Rehman. A. Immune Thrombocytopenia in Children with Reference to Low-Income
Countries. Eastern Meditterranean Health Journal; 2009, p.15, (3),729-737.
15. Clinical Practice Guideline on the Evaluation and Management of Immune
Thrombocytopenia.American Society of Hematology; 2011, p. 1-8
16. Greer. John P et al.Wintrobes Clinical Hematology .Chicago : Lippincott Williams &
Wilkins; 2009, p. 2.
17. Neunert. Cindy, Lim. Wendy et al. The American Society of Hematology 2011 Evidence
Based-Practice Guideline for Immune Thrombocytopenia. Bloodjournal.hematology.org,
2011, p. 4190-4207.
18. Hay, Jr. William W, Hayward. Anthony R et al. Lange Current Pediatric Diagnosis and
Treatment. Sixteenth edition; 2008, p. 888.
19. Levi M. Disseminated intravascular coagulation in cancer patients. Best Pract Res Clin
Haematol; 2009, p. 22,129-136.
20. Robert. Satran, Yaniv. Almog. The Coagulopathy of Sepsis: Pathophysiology and
Management Medical Intensive Care Unit, Soroka University Hospital and Faculty of
Health Sciences, Ben-Gurion University of the Negev,Beer Sheva, Israel
21. Setiabudy. Rahajuningsih D. Hemostasis dan Trombosis. Edisi Keempat. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia: IDAI; 2009
22. Stephen M. Robert, E. Scott halstead, et al. Definition, Epidemiology and
Pathophisiology. The Open Inflammation Journal. Pediatric; 2011, p. 16-23
23. Siamak T. Nabili, William C. Shiel Jr. Thrombocytopenia (Low Platelet Count).
Medicinenet; 2011
24. Thrombocytopenia. Mayo Clinic Family Health Book, 4th Edition. Time inc; 2012
25. Aird, William. The Hematologic System as a Marker of Organ Dysfunction in Sepsis.
Mayo Clinic Proc; 2003, p. 78, 875-876.

29

30

Anda mungkin juga menyukai