Anda di halaman 1dari 2

BAB I.

PENDAHULUAN
Sejak transplantasi ginjal pertama yang sukses pada tahun 1954, telah ada
pertumbuhan eksponensial berkaitan dengan perawatan resipien transplantasi
ginjal/Kidney Tranplant Resipients (KTRs).1 Transplantasi ginjal sebagai salah
satu pilihan terapi pengganti ginjal di Indonesia dipelopori sejak tahun 1977 oleh
Almarhum Prof. Sidabutar di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Risiko
kematian tranplantasi ginjal kurang dari setengah dari pasien dialisis.2 Namun
hingga saat ini hanya beberapa pusat rumah sakit di Jakarta dan luar Jakarta yang
aktif melakukan transplantasi. Termasuk salah satunya di Surakarta yang telah
memulai melakukan transplantasi ginjal. Berdasarkan data dari Indonesian Renal
Registry 2011, hemodialisa masih merupakan terapi pengganti ginjal terbanyak di
Indonesia, sebesar 78%. Transplantasi ginjal diperkirakan baru dilakukan sebesar
16% dari keseluruhan pelayanan terapi pengganti ginjal di Indonesia, jumlah yang
menjalani tranplantasi dari tahun 1977-2012 sekitar 620 pasien. Hal ini tidak lepas
dari berbagai kendala yang dihadapi dalam pelayanan transplantasi ginjal, selain
biaya yang besar, jumlah pusat yang aktif melakukan transplantasi ginjal di
Indonesia sangatlah terbatas, disamping masalah pendonoran ginjal dan payung
hukum yang belum jelas dalam praktik transplantasi ginjal di Indonesia.3
Selain transplantasi antara kembar identik, semua KTRs perlu obat
imunosupresif untuk mencegah rejeksi. Perbedaan survival pasien yang
disebabkan oleh perbedaan rejimen obat imunosupresif secara substansial lebih
kecil dibanding perbedaan survival antara dialisis dan transplantasi. Secara
spesifik, rejimen obat imunosupresif dengan dosis lebih rendah akan
menghasilkan outcome pasien yang lebih baik dibandingkan dialisis. Oleh karena
itu, lebih baik untuk melakukan transplantasi ginjal dengan rejimen imunosupresif
dosis rendah, dibandingkan untuk menghindari transplantasi sama sekali.1
Perbedaan dari beberapa hasil uji klinis dan studi observasional telah
menjadi semakin kontroversial dan kompleks. Merawat KTRs memerlukan
pengetahuan khusus dalam bidang-bidang seperti imunologi, farmakologi,
nefrologi, endokrinologi dan penyakit menular.1

Rekomendasi untuk obat imunosupresif begitu kompleks, karena


kombinasi dari beberapa golongan obat yang digunakan dan karena pilihan di
antara rejimen yang berbeda ditentukan oleh timbal balik antara manfaat dan
kerugian. Biasanya, tingkat yang lebih besar imunosupresi dapat mengurangi
risiko rejeksi, tetapi mungkin juga meningkatkan risiko infeksi dan kanker.
Analisis keputusan dengan utilitas berbasis pasien mungkin diperlukan untuk
menilai dengan benar timbal balik antara manfaat dan bahaya, tetapi hal ini
biasanya tidak dilakukan.1
Inhibitor Calsineurin (CNI ) siklosporin diperkenalkan dalam transplantasi
ginjal manusia di akhir tahun 1970 merevolusi pengobatan transplantasi dan
membuat transplantasi menjadi terapi intervensi yang lebih baik untuk penyakit
ginjal stadium akhir. Pada tahun 1984, imunosupresif ampuh sifat lain CNI yaitu
tacrolimus ditemukan dan kemudian tacrolimus digunakan dengan sukses pada
transplantasi hati manusia, ginjal dan jantung penerima allograft. Saat ini, 94 %
dari penerima transplantasi ginjal membaik setelah transplantasi dengan berbasis
regimen imunosupresif CNI. Tetapi efek samping yang cukup besar menyertai
pengobatan dengan siklosporin dan tacrolimus dalam penggunaan jangka panjang
pada transplantasi ginjal dan menurunkan kelangsungan hidup pasien dan
menyebabkan morbiditas yang tinggi.

Anda mungkin juga menyukai