Anda di halaman 1dari 9

Hukum Perjanjian

Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata Perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikat dirinya terhadap satu orang atau lebih, sedangkan hukum perjanjian
adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di
mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan
hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu
perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dasar hukum perjanjian
terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut:
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian)
2. Perikatan yang timbul dari undang-undang
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum
( onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming )
Sumber perikatan berdasarkan undang-undang :
1. Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena
undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau
untuk tidak berbuat sesuatu.
2. Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana
satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
3. Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-undang
timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.

Hukum Perjanjian memiliki 3 azas, yaitu :


1. ASAS KONSENSUALISME Asas konsnsualisme dapat disimpulkan dari Pasal 1320 ayat 1
KUHPdt. Pasal 1320 KUHPdt : untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat sarat : (1)
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian (3)
suatu hal tertentu (4) suatu sebab yang halal.
2. ASAS PACTA SUNT SERVANDA Asas pacta sun servanda berkaitan dengan akibat suatu
perjanjian. Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt: Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang. Para pihak harus menghormati perjanjian dan melaksanakannya karena
perjanjian itu merupakan kehendak bebas para
3. ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK Pasal 1338 KUHPdt : semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya Ketentuan tersebut
memberikan kebebasan parapihak untuk : Membuat atau tidak membuat perjanjian;
Mengadakan perjanjian dengan siapapun; Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan
persyaratannya; Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
Perjanjian dapat dibedakan menjadi berbagai jenis, yaitu :
1.

Perjanjian Timbal Balik dan Perjanjian sepihak


Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua
belah pihak. Contoh dari perjanjian timbal balik antara lain :

a) Perjanjian jual beli (koop en veerkoop), yaitu suatu persetujuan antara dua pihak, dimana pihak
kesatu berjanji akan menyerahkan suatu barang dan pihak kedua akan membayar harga yang
telah disetujui.

b) Perjanjian tukar menukar (Ruil, KUH Perdata Pasal 1541 dan seterusnya), yaitu suatu perjanjian
antara dua pihak, di mana pihak satu akan menyerahkan suatu barang begitu pun dengan pihak
lainnya.
c) Perjanjian sewa menyewa (Hour en verbuur, KHU Perdata Pasal 1548 dan seterusnya), yaitu
suatu perjanjian dimana pihak I (yang menyewakan) memberi izin dalam waktu tertentu kepada
pihak II ( si penyewa ) untuk menggunakan barangnya dengan kewajiban pihak II membayar
sejumlah uang sejumlah uang sewanya.
Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan yang memberikan kewajiban kepada
satu pihak dan hak kepada pihak lainnya. Pihak yang satu berkewajiban menyerahkan benda
yang menjadi objek perikatan, dan pihak lainnya berhak menerima benda yang diberikan itu.
2. Perjanjian Cuma-Cuma dan Perjanjian atas Beban
Perjanjian percuma adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu
keuntangan kepada pihak yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. Dengan
demikian, pada perjanjian ini hanya memberikan keuntungan pada satu pihak saja, misalnya
perjanjian pinjam pakai, perjanjian hibah.
Perjanjian atas beban adalah perjanjian di mana terdapat prestasi dari pihak yang satu selalu
terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut
hukum. Kontra prestasi dapat berupa kewajiban pihak lain, ataupun pemenuhan suatu suatu
syarat potestatif (imbalan)
3. Perjanjian Bernama (Benoemd) dan tidak bernama (Onbenoemde Overeenkomst.
Perjanjian bernama termasuk dalam perjanjian khusus, yaitu perjanjian yang mempunyai
nama sendiri. Maksudnya, bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh

pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang pling banyak terjadi sehari-hari. Misalnya,
Jual beli, sewa menyewa dan lainnya.
Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan
jumlahnya tidak terbatas dan nama disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang
mengadakannya, seperti perjanjian kerja sama, perjanjian pemasaran, perjanjian pengelolaannya,
dan lainnya.
4.

Perjanjian Kebendaan dan Perjanjian Obligator


Perjanjian kebendaan (zakelijk overeenkomst), adalah perjanjian untuk memindahkan hak
milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan perjanjian
obligator.
Perjanjian obligator adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan. Artiya, sejak terjadi
perjanjian timbullah hak dan kewajiban pihak-pihak. Pembeli berhak menuntut penyerahan
barang, penjual berhak atas pembayaran harga. Pembeli berkewajiban membayar harga, penjual
berkewajiban menyerahkan barang.

5.

Perjanjian Konsensual dan Perjanjian Rill


Perjanjian konsensual adalah perjanjian di mana di antara kedua belah pihak telah mencapai
persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan. Menurut KUH Perdata perjanjian ini sudah
mempunyai kekuatan mengikat (Pasal 1338 KUH Perdata)
Perjanjian Riil adalah perjanjian di samping ada persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada
penyerahan nyata atas barangnya.

6.

Perjanjian Publik
Perjanjian publik adalah perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum
publik, karena salah satu pihak yang bertindak adalah pemerintah, dan pihak lainnya swasta. Di

antara keduanya terdapat hubungan atasan dan bawahan (subordinated), jadi tidak berada dalam
kedudukan yang sama (co-ordinated), misalnya, perjanjian ikatan dinas.
7.

Perjanjian Campuran
Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian, misalnya
pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa menyewa) tapi juga menyajikan makanan (jual
beli) dan juga memberikan pelayanan.
Mengapus Perjanjian
Pasal 1381 menyatakan ada sepuluh cara hapusnya perikatan. Cara-cara tersebut adalah:
Pembayaran.
Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan (konsignasi).
Pembaharuan utang (novasi).
Perjumpaan utang atau kompensasi.
Percampuran utang (konfusio).
Pembebasan utang.
Musnahnya barang terutang.
Batal/ pembatalan.
Berlakunya suatu syarat batal.
Dan lewatnya waktu (daluarsa).

Prestasi dan Wanprestasi

1.

Pretasi
Wujud prestasi adalah berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Berbuat sesuatu adalah
melakukan suatu perbuatan yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Sedangkan tidak berbuat
sesuatu adalah tidak melakukan sesuatu perbuatan sebagaimana juga yang telah ditetapkan dalam
perjanjian, manakala para pihak telah menunaikan prestasinya maka perjanjian tersebut akan
berjalan sebagaimana mestinya tanpa menimbulkan persoalan. Namun kadangkala ditemui
bahwa debitur tidak bersedia melakukan atau menolak memenuhi prestasi sebagaimana yang
telah ditentukan dalam perjanjian.
Salah satu unsur dari suatu perikatan adalah adanya suatu isi atau tujuan perikatan, yakni suatu
prestasi yang terdiri dari 3 (tiga) macam:

1)

Memberikan sesuatu, misalnya membayar harga, menyerahkan barang.

2)

Berbuat sesuatu, misalnya memperbaiki barang yang rusak, membangun rumah, melukis suatu
lukisan untuk pemesan.

3)

Tidak berbuat sesuatu, misalnya perjanjian tindak akan mendirikan suatu bangunan, perjanjian
tidak akan menggunakan merk dagang tertentu.
Prestasi dalam suatu perikatan tersebut harus memenuhi syarat-syarat:

1)

Suatu prestasi harus merupakan suatu prestasi yang tertentu, atau sedikitnya dapat ditentukan
jenisnya, tanpa adaya ketentuan sulit untuk menentukan apakah debetur telah memenuhi prestasi
atau belum.

2)

Prestasi harus dihubungkan dengan suatu kepentingan. Tanpa suatu kepentingan orang tidak
dapat mengadakan tuntutan.

3)

Prestasi harus diperbolehkan oleh Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

4)

Prestasi harus mungkin dilaksanakan.

2.

Wanprestasi
Wanprestasi adalah keadaan dimana seorang telah lalai untuk memenuhi kewajiban yang
diharuskan oleh Undang-Undang. Jadi wanprestasi merupakan akibat dari pada tidak
dipenuhinya perikatan hukum.
Pada umumnya debitur dikatakan wanprestasi manakala ia karena kesalahannya sendiri tidak
melaksanakan prestasi, atau melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak diperbolehkan
untuk dilakukan. Menurut R.Subekti, melakukanprestasi tetapi tidak sebagaimana mestinya juga
dinamakan wanprestasi. Yang menjadi persoalan adalah sejak kapandebitur dapat
dikatakan wanprestasi. Mengenai hal tersebut perlu dibedakan wujud atau bentuk prestasinya.
Sebab bentuk prestasi ini sangat menentukan sejak kapan seorang debitur dapat dikatakan
telah wanprestasi.
Dalam hal wujud prestasinya memberikan sesuatu, maka perlu pula dipertanyakan apakah di
dalam perjanjian telah ditentukan atau belum mengenai tenggang waktu pemenuhan prestasinya.
Apabila tenggang waktu pemenuhan prestasisudah ditentukan dalam perjanjian, maka menurut
Pasal 1238 KUHPerdata, debitur sudah dianggap wanprestasi dengan lewatnya waktu
pemenuhan prestasi tersebut. Sedangkan bila tenggang waktunya tidak dicantumkan dalam
perjanjian, maka dipandang perlu untuk terlebih dahulu memperingatkan debitur guna memenuhi
kewajibannya, dan jika tidak dipenuhi, maka ia telah dinyatakan wanprestasi.
Surat peringatan kepada debitur tersebut dinamakan somasi, dan somasi inilah yang digunakan
sebagai alat bukti bahwa debitur telah wanprestasi. Untuk perikatan yang wujud prestasinya
tidak berbuat sesuatu kiranya tidak menjadi persoalan untuk menentukan sejak kapan
seorang debitur dinyatakan wanprestasi, sebab bila debitur melakukan sesuatu perbuatan yang
dilarang dalam perjanjian maka ia dinyatakan telah wanprestasi.

Wanprestasi berarti debitur tidak melakukan apa yang dijanjikannya atau ingkar janji, melanggar
perjanjian serta melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukannya.
Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang
berartiprestasi buruk. Debitur dianggap wanprestasi bila ia memenuhi syarat-syarat di atas dalam
keadaan lalai maupun dalam keadaan sengaja. Wanprestasi yang dilakukan debitur dapat berupa
4 (empat) macam:
1)

Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;

2)

Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;

3)

Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;

4)

Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.


Ada pendapat lain mengenai syarat-syarat terjadinya wanprestasi, yaitu:

1)

Debitur sama sekali tidak berprestasi, dalam hal ini kreditur tidak perlu menyatakan peringatan
atau teguran karena hal ini percuma sebab debitur memang tidak mampu berprestasi;

2)

Debitur berprestasi tidak sebagaimana mestinya, dalam hal ini debitur sudah beritikad baik
untuk melakukanprestasi, tetapi ia salah dalam melakukan pemenuhannya;

3)

Debitur terlambat berprestasi, dalam hal ini debitur masih mampu memenuhi prestasi namun
terlambat dalam memenuhi prestasi tersebut.
Akibat hukum dari debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman atau sanksi
sebagai berikut:

1)

Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti-rugi;

2)

Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian;

3)

Peralihan risiko. Benda yang dijanjikan obyek perjanjian sejak saat tidak dipenuhinya
kewajiban menjadi tanggung jawab dari debitur;

4)

Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.


Disamping debitur harus menanggung hal tesebut diatas, maka yang dapat dilakukan
oleh kreditur dalam menghadapidebitur yang wanprestasi ada lima kemungkinan sebagai berikut:

1)

Dapat menuntut pemenuhan perjanjian, walaupun pelaksanaannya terlambat;

2)

Dapat menuntut penggantian kerugian, berdasarkan Pasal 1243 KUHPerdata, ganti rugi
tersebut dapat berupa biaya, rugi atau bunga;

3)

Dapat menuntut pemenuhan dan penggantian kerugian;

4)

Dapat menuntut pembatalan atau pemutusan perjanjian; dan

5)

Dapat menuntut pembatalan dan penggantian kerugian.

Anda mungkin juga menyukai