Anda di halaman 1dari 18

TUGAS MAKALAH

PENYAKIT INTERNAL GANGGUAN METABOLIT & GENETIK


AUTOIMUN

KELAS A/2013
Setya Pambudi
Aidia Latifatul Fajeria

135130101111014

135130101111016
Ilham
Akbar

Helmy

Kurniawan

135130101111019
Grace
Jeanette

Ayu

Paramitha

135130107111004
Alex Hariyono Putra

135130107111009

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Pada dasarnya respon imun merupakan mekanisme pertahanan tubuh

terhadap berbagai ancaman dari luar yang dapat menimbulkan kerusakan tubuh.

Bila respon imun berfungsi dengan baik maka tubuh dapat tetap bertahan. Semua
bentuk paparan dari luar yang dapat merusak tubuh maka secara otomatis sisten
imun akan merespon secara kuat (Yuliasih, 2012).
Respon imun terdiri dari respon imun yang spesifik (Adaptive immune
response) dan respon imun yang tidak spesifik (Innate immune response). Kedua
sistem bekerja sama dengan baik dan tidak saling terpisah, melainkan saling
berkaitan. Kedua sistem imun tersebut saling mendukung terselenggaranya respon
imun yang kuat. Respon imun yang tidak spesifik merupakan respon imun yang
mula mula menanggapi bahan injuri dari luar dan kemudian ditransfer ke respon
imun yang spesifik . Dalam proses transisi ini merupakan proses yang
menentukan survival host. Bila terjadi kegagalan dalam proses respon imun maka
akan menimbulkan penyakit (Yuliasih, 2012).
Pada kondisi normal, respon imun tidak beraksi dengan self antigen
tetapi pada suatu kondisi tertentu sistem imun dapat mengenali self antigen. Hal
ini disebabkan hilangnya toleransi sel T. Pada umumnya respon imun mempunyai
sifat yang dinamis dan dapat dikendalikan oleh tubuh. Bila respon imun adaptif
mengenali self antigen maka akan menimbulkan penyakit autoimun (Yuliasih,
2012).
Saat ini penyakit autoimun sudah menjadi masalah besar dibidang
kesehatan. Kasusnya hampir kita jumpai setiap harinya. Angka kejadiannya dari
tahun ke tahun juga semakin meningkat, jumlahnya diperkirkan sekitar 8% dari
populasi di dunia. Faktor genetik dan lingkungan diduga kuat mempunyai
pengaruh terjadinya penyakit autoimun . Salah satu faktor lingkungan yang
diduga kuat mempengaruhi timbulnya penyakit autoimun adalah infeksi (Yuliasih,
2012).
Infeksi dianggap sebagai trigger pada penyakit autoimun dan hal ini telah
banyak dibuktikan dalam berbagai laporan studi baik pada manusia maupun
binatang. Infeksi bakteri, virus maupun parasit, bahkan imunisasi dituding sebagai
pemicu timbulnya penyakit autoimun. Tidak hanya peran lingkungan saja yang
dapat menimbulkan penyakit autoimun, tanpa adanya peran genetik, penyakit
autoimun tidak akan terjadi. Peran genetik sangat penting pada penyakit
autoimun. Dengan adanya peran genetik yang dicetuskan oleh faktor lingkungan
maka didalam tubuh terjadi perubahan system imunitas (Yuliasih, 2012).
1.2 Rumusan Masalah

1.
2.
3.
4.

Apa definisi dari autoimun?


Bagaimana etiologi dari autoimun?
Bagaimana patomekanisme dari autoimun?
Bagaimana peneguhan diagnosa yang dapat digunakan untuk

autoimun?
5. Bagaimana terapi atau pengobatan dari autoimun?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan

pada

pembuatan

makalah

ini

adalah

untuk

mengetahui apa definisi dari autoimun, untuk mengetahui


bagaimana

etiologi

dari

autoimun,

untuk

mengetahui

patomekanisme dari autoimun, untuk mengetahui apa yang


dapat dilakukan untuk peneguhan diagnosa dari autoimun, dan
untuk mengetahui bagaimana terapi atau pengobatan dari
autoimun.
1.4 Manfaat
Manfaat yang dapat diambil dalam pembuatan makalah ini
ialah dapat memberikan informasi yang lebih banyak lagi untuk
kasus autoimun yang disebabkan beberapa agent pembawanya,
dan memberikan pengetahuan yang baik untuk mencegah
terjadinya penyakit autoimun.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Autoimun

Autoimunitas adalah respon imun terhadap antigen jaringan tubuh sendiri


yang disebabkan oleh mekanisme normal yang gagal berperan untuk
mempertahankan self-tolerance sel B, sel T atau keduanya (Fairweather, 2007).
Secara normal sel T yang belum matang dapat ditemukan dimanapun dan
akan mengalami delesi klonal di timus, sedangkan sel T yang matang berada
dalam keadaan inaktif klonal (anergi) hal ini dikarenakan sel di jaringan tidak
memberikan sinyal kostimulasi. Sel T spesifik autoantigen, pada keadaan tertentu
tidak teraktivasi, meskipun dapat mengenali antigen (immunological ignorance)
(Fairweather, 2007).
Penyakit autoimun adalah penyakit yang menyebabkan kerusakan jaringan
atau gangguan fungsi secara fisiologis akibat respon autoimun. Perbedaan tersebut
penting diketahui, karena respon imun dapat terjadi tanpa disertai penyakit atau
berupa penyakit yang dicetuskan oleh mekanisme lain (seperti infeksi). Hasil
penyakit autoimun imun terjadi hanya jika autoimunitas diatur secara buruk oleh
tubuh. Kombinasi predisposisi genetik dan faktor lingkungan berkontribusi pada
perkembaangan penyakit autoimun (Fairweather, 2007).
2.2 Etiologi Autoimun
Penyebab dari autoimun tidak sepenuhnya jelas, tetapi pembentukan
autoantibodi dan aktivasi sel T didasarkan oleh mekanisme yang sama dengan
yang berkerja pada reaksi imun terhadap benda asing. Adapun penyebab penyakit
autoimun diantaranya (Hendra, 2009):
a. Predisposisi genetik
Genetik memegang peranan penting untuk penyakit autoimun. Peranan
gen suseptibilitas. Meskipun penyakit autoimun yang multipel sangat berkaitan
dengan alel HLA yang spesifik , tetapi ekspresi molekul HLA tertentu tidak
dengan sendirinya menjadi penyebab autoimunitas. Defek pada jalur yang secara
normal akan mengatur toleransi sentral atau perifer juga ikut terlibat; jadi, defek
pada jalur faal-faal atau molekul meolekul lain yang terlibat dalam proses
kematian yang ditimbulkan oleh aktivasi dapat mencegah apoptosis sel T
autoreaktif. Perkembangan sel T regulator yang cacat atau ekspresi antigen sendiri

yang cacat oleh epitelium kelenjar timus juga merupakan jalur yang dapat dipintas
toleransi. Sebagian besar penyakit autoimun pada manusia memiliki pola
suseptibilitas/kerentanan yang kompleks,multigenik dan tidak dapat dikaitkan
hanya dengan mutasi gen yang tunggal (Hendra, 2009).
b. Pengaruh hormon
Studi epidemiologi menemukan bahwa hewan betina lebih cenderung
menderita penyakit autoimun dibandingkan jantan. Betina pada umumnya juga
memproduksi lebih banyak antibody dibanding jantan yang biasanya merupakan
respon proinflamasi Th1. Kebuntingan sering disertai dengan memburuknya
penyakit terutama artritis rheumatik dan relaps sering terjadi setelah melahirkan.
Pengangkatan ovarium mencegah autoimunitas spontan pada hewan (terutama
SLE) dan pemberian estrogen mempercepat penyakit. Hormon hipofise, prolaktin
menunjukkan efek stimulator terutama terhdap sel T. Kadar prolaktin yang timbul
tiba-tiba setelah kehamilan berhubungan dengan kecenderungan terjadinya
penyakit autoimun seperti Rheumatoid Arthritis (Hendra, 2009).
c. Infeksi
Infeksi sebagai penyebab autoimun sangat banyak diketahui, namun
proses secara pasti masih belum diketahui. Pembahasan untuk infeksi sebagai
penyebab autoimun ialah dipengaruhi oleh faktor mikroba baik virus maupun
bakteri yang memiliki ikatan peptide yang homolog dengan jaringan tubuh
sehingga dapat mencetus kondisi autoimmune secara mimikri molecular (Hendra,
2009).
d. Obat

Banyak obat berhubungan dengan efek samping berupa idiosinkrasi dan


patogenesisnya terjadi melalui komponen autoimun (Gambar 1). Konsep
autoimun melibatkan 2 komponen yaitu respon imun tubuh berupa respon
autoagresif dan antigen. Hal yang akhir sulit untuk dibuktikan pada banyak

autoimunitas oleh obat. Contoh-contoh sindrom autoimun yang diduga


ditimbulkan obat terlihat pada tabel 3. Antibodi menghilang bila obat dihentikan
(Hendra, 2009).

2.3 Patomekanisme Autoimun


Pada penyakit autoimun atau autoimun desease terjadi adanya toleransi
imunitas pada pada jaringan diri sendiri. Antigen asing yang masuk ke dalam
tubuh akan dikenali oleh Antigen Presenting Cell (APC). Setelah itu APC akan
mengirimkan sitokin seperti interleukin (IL) untuk merangsang sel T Helper. Sel T
Helper akan menugaskan sel B atau sel T sitotoksin tergantung dari antigen yang
telah dipresentasikan tadi. Pada kondisi normal, sel efektor tersebut akan
berpasangan dengan antigen asing untuk bisa mengeliminsainya. Namun akibat
adanya gangguan toleransi terhadap antigen jaringan diri sendiri membuat
antibodi yang dihasilkan juga ikut diserang. Rusaknya toleransi tersebut salah
satunya dapat diakibatkan oleh kemiripan molekul antara antigen asing dengan
antigen jaringan diri sendiri (Silbernagl, 2007).

Pada dasarnya berkembangnya penyakit autoimun disebabkan adanya


gangguan terhadap satu atau lebih mekanisme toleransi diri yang dapat
menyebabkan serangan imunologis terhadap jaringan sendiri. Gangguan pada
toleransi imun melibatkan faktor imunologi, mikroorganisme dan genetik.
Kegagalan toleransi diri meliputi:

Kegagalan kematian sel yang diinduksi oleh aktivasi limfosit T.


Aktivasi dari sel T yang autoreaktif terhadap self antigen akan
menyebabkan apoptosis sel T tersebut melalui ikatan Ligan Fas-Fas.
Sehingga kelainan pada jalur apoptosis ini akan menyebabkan ploriferasi

dari sel-sel T autoreaktif dalam perifer.


Gangguan pada anergi sel T
Sel T autoreaktif yang lolos dari seleksi di tymus secara normal akan
mengalami anergi saat bertemu dengan self antigen tanpa adanya bantuan
dari constimulasi yang dikeluarkan oleh MHC . Namun hal itu bisa
berubah jika MHC yang seharusnya secara normal tidak mengeluarkan
constimulasi, diinduksi sehingga mengeluarkan constimulator terhadap
self antigen sehingga terjadi proliferasi dari sel T autoreaktif. Keadaan ini

bisa terjadi karena adanya suatu infeksi, yang merubah kinerja MHC.
Pemintasan kebutuhan sel B untuk bantuan sel T
Sel B yang autoreaktif dapat berikatan dengan self antigen, namun sel B
ini akan berpotensi untuk menjadi self-reaktif bila mendapat bantuan dari
sel T, dan secara normal toleransi terhadap antigen tersebut dapat disertai
pembersihan sel T helper dengan adanya sel B yang kompeten. Kegagalan
mekanisme ini bisa terjadi oleh adanya modifikasi dari struktur self
antigen yang mengakibatkan pengenalan sel T terhadap self antigen.
Adanya ikatan antara sel T dan self antigen, akan mengaktifkan sel B yang
autoreaktif sehingga terjadi serangan imunologis. Modifikasi dari suatu
self antigen tadi dapat terjadi akibat pembentukan kompleks dengan obat

atau dengan mikroorganisme.


Kegagalan supresi yang diperantaraisel T suppressor
Secara normal sel T suppressor akan menghasilkan IL-10 dan TGF yang
berfungsi sebagai penekan dari proliiferasi dari sel T. Jadi hilangnya sel T

suppressor, menurunkan IL10 dan TGF menjadi salah satu penyebab

dari gagalnya toleransi imun.


Mimikri molecular
Beberapa mikroorganisme seperti infeksi oleh streptococcus akan
memberikan epitop kepada self antigen sehingga membuat respon imun
yang melawan mikroorganisme tersebut akan menghasilkan respon imun

yang sama terhadap self antigen yang bereaksi silang.


Aktivasi limfosit poliklonal
Aktivasi dari limfosit autoimunitas yang self reaktif namun anergik dapat
terjadi bila dirangsang oleh mekanisme yang tidak tergantung antigen.
Sebagai contoh adalah beberapa mikroorganisme dapat mengaktivasi

poliklonal sel B autoreaktif.


Pelepasan antigen terasing
Antigen terasing adalah bagian antigen sendiri yang seumur hidup tidak
pernah dikenali oleh sel T . Termasuk dalam kategori ini adalah antigen
spermatozoa dan antigen ocular. Pelepasan dari antigen-antigen ini akan
menimbulkan suatu respon imun.

2.4 Peneguhan Diagnosa Autoimun


Pemeriksaan darah yang menunjukkan adanya radang dapat diduga
sebagai gangguan autoimun. Misalnya, pengendapan laju eritrosit (ESR)
seringkali meningkat, karena protein yang dihasilkan dalam merespon radang
mengganggu kemampuan sel darah merah (eritrosit) untuk tetap ada di darah.
Sering, jumlah sel darah merah berkurang (anemia) karena radang mengurangi
produksi mereka. Tetapi radang mempunyai banyak sebab, banyak di antaranya
yang bukan autoimun. Dengan begitu, dokter sering mendapatkan pemeriksaan
darah untuk mengetahui antibodi yang berbeda yang bisa terjadi pada orang yang
mempunyai gangguan autoimun khusus. Contoh antibodi ini ialah antibodi
antinuclear, yang biasanya ada di lupus erythematosus sistemik, dan faktor
rheumatoid atau anti-cyclic citrullinated peptide (anti-CCP) antibodi, yang
biasanya ada di radang sendi rheumatoid. Antibodi ini pun kadang-kadang
mungkin terjadi pada orang yang tidak mempunyai gangguan autoimun, oleh
sebab itu dokter biasanya menggunakan kombinasi hasil tes dan tanda dan gejala

orang untuk mengambil keputusan apakah ada gangguan autoimun (Conrad,


2007).

2.5 Rheumatoid Arthritis Pada Anjing


Rheumatoid Arthritis atau RA merupakan kondisi kronis dari arthritis.
Sering terjadi pada anjing dan dapat menyerang anjing berumur lebih dari dua
tahun. Boden (2005) menyatakan bahwa penyakit ini kemungkinan besar bersifat
herediter. Walaupun demikian, kondisi ini merupakan kejadian langka dan sering
ditemukan pada anjing ras kecil muda sampai dewasa. Pada kasus RA, sendi yang
paling distal yang pertama terkena dan paling parah. Reumatoid Artritis dalam
waktu yang lama mempunyai prognosis yang buruk, dimana akan menimbulkan
kecacatan (80 %) setelah 5 tahun dan dapat mengurangi angka harapan hidup 318 tahun (Choy, 2001).
A. Etiologi
Etiologi dari penyakit ini masih belum diketahui secara pasti (Heuser,-).
B. Gejala
Gejala klinis yang sering muncul pada anjing atau kucing yang menderita
artritis reumatoid yaitu kekakuan pada sendi, inflamasi pada sendi, lameness,
perubahan ketika berjalan, anorexia, depresi, demam, proliferasi synovial,
perluasan inflamasi pada pannus ke dalam rongga sendi menyebabkan terjadi
perubahan yang erosif, apabila terjadi secara terus-menerus akan berakibat pada
kerusakan artikular kartilago dan tulang (Waldburger et al., 2008).

Gambar 2.1. Hasil Radiographic dari Dorsopalmar (A) dan Medial Lateral (B)
pada Canine Rheumatoid arthritis. Gambar 2.1 merupakan gambaran dari
dorsopalmar yang terkena trauma dan menyebabkan terjadinya subluxation, dan
karena infeksi yang berkelanjutan (bakteri) trauma tersebut menyebabkan
terjadinya rheumatoid arthritis (ditunjukkan dengan panah warna merah)
(Waldburger et al., 2008).
C. Patomekanisme
Patogenesis Reumatoid Arthritis berawal dari suatu antigen yang berada
pada membran sinovial. Pada membran sinovial tersebut antigen akan diproses
oleh antigen presenting cells (APC). Antigen yang telah diproses oleh APC
selanjutnya akan dilekatkan pada CD4 (+) dan selanjutnya akan mengaktivasi sel
limfosit T. Selain sebagai penyaji antigen sel APC juga mengeluarkan sitokonsitokin proinflamasi seperti interleukin 1 (IL-1), interleukin 6 (IL-6), interleukin
8 (IL-8), dan tumor necrosis factor- (TNF- ) yang akan menyebabkan inflamasi
dan kerusakan dari sendi. Rheumatoid arthritis menyerang jaringan fibroblast
seperti membrane synoviocytes dan akan menghasilkan IL-6 dan IL-8 yang
berkontribusi terhadap peradangan serta kerusakan sendi, dimana kedua sitokin ini
berhubungan dengan regulasi gen oleh NF-kB dalam proses imunitas dan
peradangan (Georganas et al., 2000).

Regulasi dari sitokin proinflamasi IL-8, dan IL-6, IL-1 dan TNF- sebagai
reseptor dalam peradangan sendi dapat diliihat pada Gambar 2.3, dimana RA
ditandai oleh peradangan terus-menerus dari lapisan sinovial pada sendi yang
dapat menyebabkan deformitas sendi.

Gambar 2.3. Pathogenesis Reumatoid Artrithis


Inflamasi sinovial dapat terjadi pada pembuluh darah, yang menyebabkan
hiperplasia sel endotel pembuluh darah kecil, fibrin, platelet dan inflamasi sel
yang dapat menurunkan aktivitas vaskuler pada jaringan sinovial. Hal ini
menyebabkan gangguan sirkulasi darah dan berakibat pada peningkatan
metabolisme yang memacu terjadinya hipertropi (bengkak) dan hiperplasia
(membesar) dan sel dalam keadaan hipoksia. Sel yang hipoksia dalam sinovium
berkembang menjadi edema dan menyebabkan multiplikasi sel sinovial. Sel pada
sinovium tumbuh dan membelah secara abnormal, membuat lapisan sinovium
menebal, sehingga sendi membesar dan bengkak (Ackerman and Rosai, 2004).
D. Diagnosa

Diagnosis RA dapat dilakukan dengan cara mengamati sejarah pasien dan


gejala klinis, hasil analisis sel darah putih dalam cairan sinovial (>5x109/L), yang
didominasi oleh neutrofil, sedikit mucin, kultur negatif, dan penemuan radiografik
yang khas dapat membantu untuk meneguhkan diagnosa RA. Tes faktor
rheumatoid yang positif ditemukan pada 25%-75% pada anjing yang menderita
RA. Akan tetapi, hasil positif juga dapat ditemukan pada anjing yang tidak
menderita RA, sehingga hasil positif saja tidak dapat meneguhkan diagnosis
penyakit ini. Perubahan radiografik yang dapat terlihat pada penyakit ini adalah
pembengkakan sendi periartikular, pengaliran cairan (efusi) sendi; kolaps ruang
sendi; kerusakan tulang subchondralis; dan pada kasus lebih lanjut, terjadi
eksostosis (pembentukan tulang baru pada permukaan tulang) hipertropik,
ankilosis (kekakuan sendi) fibrosa, dan deformitas sendi. Pada spesimen biopsi
membran sinovial dapat ditemukan hipertropi vili, hiperplasia sinovial, dan
infiltrasi sel mononuclear (Nielssen, 2007).

E. Terapi
Terapi dari penyakit RA yakni dengan pemberian Prednisone 2 mg/kgBB
dan diberikan setiap 12 jam sekali (Heuser,-). Prednisone merupakan obat
kortikosteroid dari golongan antiinflamasi yang bekerja untuk mengurangi
peradangan serta sebagai imunosupression yakni menekan system kekebalan
tubuh (Conrad, 2007).

2.5 Systemic Lupus Erythematosus Pada Anjing dan Kucing


Systemic Lupus Eythematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun yang
menyerang multisystem dan telah dilaporkan terjadi pada manusia, anjing, dan
kucing. SLE diketahui menyerang manusia sejak abad ke 19 sedangkan pada
anjing diketahui pertama kali pada tahun 1965, sejak itu telah dilaporkan beberapa
kasus. Sedangkan pada kucing pertama kali diketahui pada tahun 1971 dan hanya
muncul 5 kasus di literature. SLE paling sering menyerang anjing pada kelompok
umur 2 hingga 8 tahun dan meyerang pada semua breed.
A. Etiologi
Penyebab terjadinya SLE belum diketahui namun factor genetic, virus,
kelainan system imun, agen farmakologi, dan factor lingkungan diyakini sebagai
penyebab terjadinya SLE.

B. Gejala Klinis
Gejala yang tampak pada SLE yakni penurunan berat badan, lethargi,
nafsu makan menurun, anemia, dan kelemahan. Gejala dermatologi muncul di
sekitar 33% dari anjing yang terkena. SLE juga menyebabkan anjing mengalami
polyarthritis dimana mengakibatkan inflamasi pada beberapa persendian.

C. Diagnosa
Diagnose dari penyakit ini yaitu dengan melakukan pemeriksaan darah
untuk melihat berbagai abnormalitas seperti anemia, low plateled count, tingkat
protein dalam darah. X-ray pada persendian juga dilakukan berdasarkan gejala
yang muncul. Uji Lupus Erythematosus (LE) Clot Test, Antinuclear antibody
Assay (ANA), dan Coombs Test.

D. Terapi
Pemberian kortikosteroid seperti Prednisone merupakan obat yang umum
diberikan untuk penyakit ini. Dosis prednisone 2-4 mg/kgBB diberikan secara oral
dan diberikan dua kali sehari. Obat kortikosteroid bekerja dengan menghambat
fungsi dari monosit dan makrofag (Kimm,-). Jika anjing tersebut kurang merespon
terhadap prednisone maka dapat diberikan obat imunosupresan kuat seperti
azathioprine,

cyclosporine,

dan

cyclophosphamide.

Pengobatan

secara

simptomatis juga perlu untuk diberikan (Morgan, 2011).

2.6 Terapi Autoimun


Pengobatan memerlukan kontrol reaksi autoimun dengan menekan sistem
kekebalan tubuh. Tetapi, beberapa obat digunakan reaksi autoimun juga
mengganggu kemampuan badan untuk berjuang melawan penyakit, terutama
infeksi (Conrad, 2007).
Obat yang menekan sistem kekebalan tubuh (imunosupresan), seperti
azathioprine, chlorambucil, cyclophosphamide, cyclosporine, mycophenolate, dan
methotrexate, sering digunakan, biasanya secara oral dan seringkali dalam jangka
panjang. Obat ini menekan bukan hanya reaksi autoimun tetapi juga kemampuan
badan untuk membela diri terhadap senyawa asing, termasuk mikro-jasad
penyebab infeksi dan sel kanker. Konsekwensinya, risiko infeksi tertentu dan
kanker meningkat (Conrad, 2007).
Sering kortikosteroid seperti prednison diberikan secara oral. Obat ini
mengurangi radang sebaik menekan sistem kekebalan tubuh. Kortikosteroid yang
digunakan dalam jangka panjang memiliki banyak efek samping. Kalau mungkin
kortikosteroid dipakai untuk waktu yang pendek sewaktu gangguan mulai atau
sewaktu gejala memburuk. Tetapi kadang-kadang harus dipakai untuk jangka
waktu tidak terbatas (Conrad, 2007).
Gangguan autoimun tertentu (seperti multipel sklerosis dan gangguan
tiroid) juga diobati dengan obat lain daripada imunosupresan dan kortikosteroid.
Pengobatan untuk mengurangi gejala juga mungkin diperlukan (Conrad, 2007).

Etanercept, infliximab, dan adalimumab menghalangi aksi faktor tumor


necrosis (TNF), bahan yang bisa menyebabkan radang di badan. Obat ini sangat
efektif dalam mengobati radang sendi rheumatoid, tetapi mereka mungkin
berbahaya jika digunakan untuk mengobati gangguan autoimun tertentu lainnya,
seperti multipel sklerosis. Obat ini juga bisa menambah risiko infeksi dan kanker
tertentu (Conrad, 2007).
Obat baru tertentu secara khusus membidik sel darah putih. Sel darah putih
menolong pertahanan tubuh melawan infeksi tetapi juga berpartisipasi pada reaksi
autoimun. Abatacept menghalangi pengaktifan salah satu sel darah putih (sel T)
dan dipakai pada radang sendi rheumatoid. Rituximab, terlebih dulu dipakai
melawan kanker sel darah putih tertentu, bekerja dengan menghabiskan sel darah
putih tertentu (B lymphocytes) dari tubuh. Efektif pada radang sendi rheumatoid
dan dalam penelitain untuk berbagai gangguan autoimun lainnya. Obat lain yang
ditujukan melawan sel darah putih sedang dikembangkan (Conrad, 2007).
Plasmapheresis digunakan untuk mengobati sedikit gangguan autoimun.
Darah dialirkan dan disaring untuk menyingkirkan antibodi abnormal. Lalu darah
yang disaring dikembalikan kepada pasien. Beberapa gangguan autoimun terjadi
tak dapat dipahami sewaktu mereka mulai. Tetapi kebanyakan gangguan autoimun
kronis. Obat sering diperlukan sepanjang hidup untuk mengontrol gejala.
Prognosis bervariasi bergantung pada gangguan (Conrad, 2007).

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Penyakit autoimun merupakan penyakit yang timbul karena respon imun


terhadap antigen jaringan sendiri yang disebabkan oleh mekanisme normal yang
gagal berperan untuk mempertahankan self-telorance sel B, sel T atau keduanya.
Banyak penyebab terjadinya autoimunitas salah satunya adalah infeksi.
Berbagai macam infeksi diantaranya bakterial dan virus. Infeksi memegang
peranan besar hampir sebagian besar untuk patogenisis terjadinya penyakit
autoimun.
Infeksi selain sebagai pencetus terjadinya penyakit autoimun juga berperan
sebagai faktor pemberat penyakit autoimun itu sendiri dan bahkan sebagai
penyebab kematian.

DAFTAR PUSTAKA
Ackerman and Rosai. 2004. Surgical Bone And Joint: Rheumatoid arthritis. 9th.
New York. Mosby . p. 2202
Choy E.H. and G.S. Panayi. 2001. Cytokine pathways and joint inflammation in
rheumatoid arthritis. N England J med;344:907-16
Conrad, Karsten., Schobler,.Werner, and etall.2007. autoantibodies in sistemic,
autoimmune diseases a diagnostic reference volume 2, second
edition.PABST. Germany.

Fairweather, DeLisa. 2007. Autoimmune Disease:Mechanisms. Encyclopedia of


life sciences. Johns Hopkins University, Bloomberg School of Public
Health, Baltimore, Maryland, USA
Hendra, Utama.2009. Autoimunitas dalam Imunologi Dasar. Balai Penerbit FK
UI. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta . Edisi ke-8,
2009; 120-126.
Kimm, Toby J. Systemic Lupus Erythematosus in Dogs and Cats. Iowa State
University.
Morgan, Rhea V. 2011. Systemic Lupus Erythematosus in Dogs : Systemic
Aspects. Saunders.
Silbernagl S.2007. Patofisiologi penyakit autoimun dalam patofisiologi penyakit.
Penerbit ECG Jakarta. 2007; 53-54
Waldburger et al, 2008. Primary Immunodeiciency Disease: A molecular and
Genetic Approach. Oxford University Press.England
Yuliasih. 2012. Infeksi dan Imunitas. Balai Penerbit FK Unair.
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai