KELAS A/2013
Setya Pambudi
Aidia Latifatul Fajeria
135130101111014
135130101111016
Ilham
Akbar
Helmy
Kurniawan
135130101111019
Grace
Jeanette
Ayu
Paramitha
135130107111004
Alex Hariyono Putra
135130107111009
Latar Belakang
Pada dasarnya respon imun merupakan mekanisme pertahanan tubuh
terhadap berbagai ancaman dari luar yang dapat menimbulkan kerusakan tubuh.
Bila respon imun berfungsi dengan baik maka tubuh dapat tetap bertahan. Semua
bentuk paparan dari luar yang dapat merusak tubuh maka secara otomatis sisten
imun akan merespon secara kuat (Yuliasih, 2012).
Respon imun terdiri dari respon imun yang spesifik (Adaptive immune
response) dan respon imun yang tidak spesifik (Innate immune response). Kedua
sistem bekerja sama dengan baik dan tidak saling terpisah, melainkan saling
berkaitan. Kedua sistem imun tersebut saling mendukung terselenggaranya respon
imun yang kuat. Respon imun yang tidak spesifik merupakan respon imun yang
mula mula menanggapi bahan injuri dari luar dan kemudian ditransfer ke respon
imun yang spesifik . Dalam proses transisi ini merupakan proses yang
menentukan survival host. Bila terjadi kegagalan dalam proses respon imun maka
akan menimbulkan penyakit (Yuliasih, 2012).
Pada kondisi normal, respon imun tidak beraksi dengan self antigen
tetapi pada suatu kondisi tertentu sistem imun dapat mengenali self antigen. Hal
ini disebabkan hilangnya toleransi sel T. Pada umumnya respon imun mempunyai
sifat yang dinamis dan dapat dikendalikan oleh tubuh. Bila respon imun adaptif
mengenali self antigen maka akan menimbulkan penyakit autoimun (Yuliasih,
2012).
Saat ini penyakit autoimun sudah menjadi masalah besar dibidang
kesehatan. Kasusnya hampir kita jumpai setiap harinya. Angka kejadiannya dari
tahun ke tahun juga semakin meningkat, jumlahnya diperkirkan sekitar 8% dari
populasi di dunia. Faktor genetik dan lingkungan diduga kuat mempunyai
pengaruh terjadinya penyakit autoimun . Salah satu faktor lingkungan yang
diduga kuat mempengaruhi timbulnya penyakit autoimun adalah infeksi (Yuliasih,
2012).
Infeksi dianggap sebagai trigger pada penyakit autoimun dan hal ini telah
banyak dibuktikan dalam berbagai laporan studi baik pada manusia maupun
binatang. Infeksi bakteri, virus maupun parasit, bahkan imunisasi dituding sebagai
pemicu timbulnya penyakit autoimun. Tidak hanya peran lingkungan saja yang
dapat menimbulkan penyakit autoimun, tanpa adanya peran genetik, penyakit
autoimun tidak akan terjadi. Peran genetik sangat penting pada penyakit
autoimun. Dengan adanya peran genetik yang dicetuskan oleh faktor lingkungan
maka didalam tubuh terjadi perubahan system imunitas (Yuliasih, 2012).
1.2 Rumusan Masalah
1.
2.
3.
4.
autoimun?
5. Bagaimana terapi atau pengobatan dari autoimun?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan
pada
pembuatan
makalah
ini
adalah
untuk
etiologi
dari
autoimun,
untuk
mengetahui
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Autoimun
yang cacat oleh epitelium kelenjar timus juga merupakan jalur yang dapat dipintas
toleransi. Sebagian besar penyakit autoimun pada manusia memiliki pola
suseptibilitas/kerentanan yang kompleks,multigenik dan tidak dapat dikaitkan
hanya dengan mutasi gen yang tunggal (Hendra, 2009).
b. Pengaruh hormon
Studi epidemiologi menemukan bahwa hewan betina lebih cenderung
menderita penyakit autoimun dibandingkan jantan. Betina pada umumnya juga
memproduksi lebih banyak antibody dibanding jantan yang biasanya merupakan
respon proinflamasi Th1. Kebuntingan sering disertai dengan memburuknya
penyakit terutama artritis rheumatik dan relaps sering terjadi setelah melahirkan.
Pengangkatan ovarium mencegah autoimunitas spontan pada hewan (terutama
SLE) dan pemberian estrogen mempercepat penyakit. Hormon hipofise, prolaktin
menunjukkan efek stimulator terutama terhdap sel T. Kadar prolaktin yang timbul
tiba-tiba setelah kehamilan berhubungan dengan kecenderungan terjadinya
penyakit autoimun seperti Rheumatoid Arthritis (Hendra, 2009).
c. Infeksi
Infeksi sebagai penyebab autoimun sangat banyak diketahui, namun
proses secara pasti masih belum diketahui. Pembahasan untuk infeksi sebagai
penyebab autoimun ialah dipengaruhi oleh faktor mikroba baik virus maupun
bakteri yang memiliki ikatan peptide yang homolog dengan jaringan tubuh
sehingga dapat mencetus kondisi autoimmune secara mimikri molecular (Hendra,
2009).
d. Obat
bisa terjadi karena adanya suatu infeksi, yang merubah kinerja MHC.
Pemintasan kebutuhan sel B untuk bantuan sel T
Sel B yang autoreaktif dapat berikatan dengan self antigen, namun sel B
ini akan berpotensi untuk menjadi self-reaktif bila mendapat bantuan dari
sel T, dan secara normal toleransi terhadap antigen tersebut dapat disertai
pembersihan sel T helper dengan adanya sel B yang kompeten. Kegagalan
mekanisme ini bisa terjadi oleh adanya modifikasi dari struktur self
antigen yang mengakibatkan pengenalan sel T terhadap self antigen.
Adanya ikatan antara sel T dan self antigen, akan mengaktifkan sel B yang
autoreaktif sehingga terjadi serangan imunologis. Modifikasi dari suatu
self antigen tadi dapat terjadi akibat pembentukan kompleks dengan obat
Gambar 2.1. Hasil Radiographic dari Dorsopalmar (A) dan Medial Lateral (B)
pada Canine Rheumatoid arthritis. Gambar 2.1 merupakan gambaran dari
dorsopalmar yang terkena trauma dan menyebabkan terjadinya subluxation, dan
karena infeksi yang berkelanjutan (bakteri) trauma tersebut menyebabkan
terjadinya rheumatoid arthritis (ditunjukkan dengan panah warna merah)
(Waldburger et al., 2008).
C. Patomekanisme
Patogenesis Reumatoid Arthritis berawal dari suatu antigen yang berada
pada membran sinovial. Pada membran sinovial tersebut antigen akan diproses
oleh antigen presenting cells (APC). Antigen yang telah diproses oleh APC
selanjutnya akan dilekatkan pada CD4 (+) dan selanjutnya akan mengaktivasi sel
limfosit T. Selain sebagai penyaji antigen sel APC juga mengeluarkan sitokonsitokin proinflamasi seperti interleukin 1 (IL-1), interleukin 6 (IL-6), interleukin
8 (IL-8), dan tumor necrosis factor- (TNF- ) yang akan menyebabkan inflamasi
dan kerusakan dari sendi. Rheumatoid arthritis menyerang jaringan fibroblast
seperti membrane synoviocytes dan akan menghasilkan IL-6 dan IL-8 yang
berkontribusi terhadap peradangan serta kerusakan sendi, dimana kedua sitokin ini
berhubungan dengan regulasi gen oleh NF-kB dalam proses imunitas dan
peradangan (Georganas et al., 2000).
Regulasi dari sitokin proinflamasi IL-8, dan IL-6, IL-1 dan TNF- sebagai
reseptor dalam peradangan sendi dapat diliihat pada Gambar 2.3, dimana RA
ditandai oleh peradangan terus-menerus dari lapisan sinovial pada sendi yang
dapat menyebabkan deformitas sendi.
E. Terapi
Terapi dari penyakit RA yakni dengan pemberian Prednisone 2 mg/kgBB
dan diberikan setiap 12 jam sekali (Heuser,-). Prednisone merupakan obat
kortikosteroid dari golongan antiinflamasi yang bekerja untuk mengurangi
peradangan serta sebagai imunosupression yakni menekan system kekebalan
tubuh (Conrad, 2007).
B. Gejala Klinis
Gejala yang tampak pada SLE yakni penurunan berat badan, lethargi,
nafsu makan menurun, anemia, dan kelemahan. Gejala dermatologi muncul di
sekitar 33% dari anjing yang terkena. SLE juga menyebabkan anjing mengalami
polyarthritis dimana mengakibatkan inflamasi pada beberapa persendian.
C. Diagnosa
Diagnose dari penyakit ini yaitu dengan melakukan pemeriksaan darah
untuk melihat berbagai abnormalitas seperti anemia, low plateled count, tingkat
protein dalam darah. X-ray pada persendian juga dilakukan berdasarkan gejala
yang muncul. Uji Lupus Erythematosus (LE) Clot Test, Antinuclear antibody
Assay (ANA), dan Coombs Test.
D. Terapi
Pemberian kortikosteroid seperti Prednisone merupakan obat yang umum
diberikan untuk penyakit ini. Dosis prednisone 2-4 mg/kgBB diberikan secara oral
dan diberikan dua kali sehari. Obat kortikosteroid bekerja dengan menghambat
fungsi dari monosit dan makrofag (Kimm,-). Jika anjing tersebut kurang merespon
terhadap prednisone maka dapat diberikan obat imunosupresan kuat seperti
azathioprine,
cyclosporine,
dan
cyclophosphamide.
Pengobatan
secara
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Ackerman and Rosai. 2004. Surgical Bone And Joint: Rheumatoid arthritis. 9th.
New York. Mosby . p. 2202
Choy E.H. and G.S. Panayi. 2001. Cytokine pathways and joint inflammation in
rheumatoid arthritis. N England J med;344:907-16
Conrad, Karsten., Schobler,.Werner, and etall.2007. autoantibodies in sistemic,
autoimmune diseases a diagnostic reference volume 2, second
edition.PABST. Germany.