Anda di halaman 1dari 21

PKMRS

ASMA PADA ANAK

OLEH :
SIMON JONATAN
C 111 12 165

PEMBIMBING :
dr. Rachmawati, M.Kes, Sp. A

Departemen Ilmu Kesehatan Anak


Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Makassar
2016

DAFTAR ISI

Hal
aman
SAMPUL ....

DAFTAR ISI ......

DAFTAR GAMBAR .........

DAFTAR TABEL

BAB I PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang

BAB II ASMA PADA ANAK


2.1. Definisi ..

2.2. Epidemiologi ....

2.3. Patofisiologi

10

2.4. Faktor Resiko .....

11

2.5. Klasifikasi Asma ... 12

BAB III TATA LAKSANA ASMA


3.1. Tata Lakasana Asma Pada Anak ...

12

BAB IV PROGNOSIS
4.1. Prognosis Asma Pada Anak . 19

BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan .. 21

DAFTAR PUSTAKA ... 22

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR

HALAMAN

Gambar 1 : Faktor Resiko Asma .. 11


Gambar 2 : Algoritma Tatalaksana Asma ... 19

DAFTAR TABEL

TABEL

HALAMAN

Tabel 1 : Klasifikasi Asma Berdasarkan Frekuensi Serangan . 12


Tabel 2 : Klasifikasi Asma berdasarkan Intensitas Serangan .. 12
Tabel 3 : Tabel Obat Pereda Asma ...... 14
Tabel 4 : tabel Obat Pengendali Asma . 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Asma berasal dari kata asthma yang diambil dari bahasa yunani yang
berarti sukar bernapas. Penyakit asma merupakan suatu penyakit inflamasi
yang kronis dan meliputi berbagai macam sel dalam tubuh. Proses inflamasi
kronik inilah yang menyebabkan terjadinya hipersensitifitas saluran napas
dan menyebabkan hipersekresi kelenjar, edema pada saluran napas,
kontriksi dari bronkus dan penurunan motilitas dari silia pada saluran napas.
Kumpulan dari mekanisme tersebut yang menyebabkan penderita merasa
sesak napas, mengi, batuk dan penurunan aktifitas tubuh. Gejela gejala
tersebut diatas berhubungan denga luasnya inflamasi dan bersifat reversible
baik melalui obat atau dengan sendirinya. Prevalensi total asma di seluruh
dunia diperkirakan 7,2% (10% pada anak) dan bervariasi antar Negara.
Prevalensi asma di Indonesia berdasarkan penelitian tahun 2002 pada anak
usia 13-14 tahun adalah 6,7%.

(1)

Eksaserbasi (serangan asma) adalah episode perburukan gejala-gejala


asma secara progresif. Gejala yang dimaksud adalah sesak napas, batuk,
mengi, dada rasa tertekan, atau berbagai kombinasi gejal tersebut. Pada
umumnya, eksaserbasi disertai distress pernapasan. Serangan asma
ditandai oleh penurunan PEF atau FEV1. Derajat serangan asma bervariasi
mlai dari yang ringan, sedang, berat dan srangan yang mengancam jiwa,
perburukan dapat terjadi dalam beberapa menit, jam, atau hari. Serangan
akut biasanya timbul akibat pajanan terhadap factor pencetus (paling sering
infeksi virus atau allergen), sedangkan serangan berupa perburukan yang
bertahap mencerminkan kegagalan pengelolaan jangka panjang penyakit.

(2)

BAB II

ASMA PADA ANAK

2.1. DEFINISI

Asma adalah mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan


karakteristik timbul secara episodic, cenderung pada malam/dini hari
(nocturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta terdapat riwayat asma atopi
lain pada pasien atau keluarganya.

(1)

Penyakit asma merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah


kesehatan bagi seluruh masyarakat dunia. Penyakit asma dapat mengenai
anak anak sampai orang dewasa dan pada kasus yang berat dapat
menyebabkan kematian. Asma biasanya timbul pada masa anak anak
maupun dewasa muda dan dapat mempengaruhi produktifitas kerja
seseorang, menggangu aktivitas sosial dan juga menghambat pertumbuhan
anak anak. (1)

2.2. EPIDEMIOLOGI

Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di


Indonesia, hal itu tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga
(SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survei kesehatan rumah tangga
(SKRT) 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab
kesakitan (morbiditi) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema.
Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab

kematian (mortaliti) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995 ,


prevalensi

asma

di

seluruh

Indonesia

sebesar 13/ 1000 , dibandingkan bronkitis kronik 11 / 1000 dan obstruksi paru
2 / 1000.

(3)

Woolcock dan Konthen pada tahun 1990 di Bali mendapatkan

prevalensi asma pada anak dengan hipereaktivitas bronkus 2,4% dan


hipereaktivitas bronkus serta gangguan faal paru adalah 0,7%.

Studi pada

anak usia SLTP di Semarang dengan menggunakan kuesioner International


Study of Asthma andAllergies in Childhood (ISAAC), didapatkan hasil dari
402 kuesioner yang kembali dengan rata-rata umur 13,8 0,8 tahun
didapatkan prevalensi asma ( gejala asma 12 bulan terakhir/ recent asthma )
6,2% yang 64% di antaranya mempunyai gejala klasik. (3)
Studi prevalensi asma pada anak usia SLTP di Jakarta Pusat pada 199
5 1996 dengan menggunakan kuesioner modifikasi dari ATS 1978, ISAAC
dan Robertson, serta melakukan uji provokasi bronkus secara acak.
Seluruhnya1296

siswa

dengan

usia

11

tahun

bulan

18 tahun 4 bulan, didapatkan14,7% dengan riwayat asma dan 5,8% dengan


recent asthma. Tahun 2001,Yunus dkk melakukan studi prevalensi asma pada
siswa SLTP se Jakarta Timur, sebanyak 2234 anak usia 13-14 tahun melalui
kuesioner ISAAC (International Study of Asthma and Allergies in Childhood),
dan pemeriksaan spirometri dan uji provokasi bronkus pada sebagian subjek
yang dipilih secara acak. Dari studi tersebut didapatkan prevalensi asma
(recent asthma ) 8,9% dan prevalensi kumulatif (riwayat asma) 11,5% (3)
Penyakit asma berasal dari keturunan sebesar 30 % dan 70 % disebabkan
oleh berbagai faktor lainnya. Departemen Kesehatan memperkirakan
penyakit asma termasuk 10 besar penyebab kesakitan dan kematian di RS
dan diperkirakan 10% dari 25 juta penduduk Indonesia menderita asma.
Angka kejadian asma pada anak dan bayi sekitar 10-85% dan lebih tinggi
dibandingkan

oleh

orang

dewasa

(10-

45%)

Pada
9

anak, penyakit asam dapat mempengaruhi masa pertumbuhan, karena anak


yang

menderita

asma

sering

mengalami

kambuh

sehingga

dapat

menurunkan prestasi belajar di sekolah. Prevalensi asma di perkotaan umum


nya lebh tinggi dibandingkan dengan di pedesaan, karena pola hidup di kota
besar meningkatkan risiko terjadinya asma. (3)

2.3. PATOFISIOLOGI

Orang yang menderita asma memiliki ketidakmampuan mendasar


dalam mencapai angka aliran udara normal selama pernapasan (terutama
pada ekspirasi). Ketidakmampuan ini tercermin dengan rendahnya volume
udara yang dihasilkan sewaktu melakukan usaha ekspirasi paksa pada detik
pertama FEV1. Karena banyak saluran udara yang menyempit tidak dapat
dialirir dan dikosongkan secara cepat, tidak terjadi pengisian paru dan
hilangnya ruang penyesuaian normal antara ventilasi dna aliran darah paru. (2)
Turbulensi arus udara dan getaran mucus bronkus mengakibatkan
suara mengi yang terdengar jelas selama serangan asma, namun tanda fisik
ini juga terlihat jelas pada penyakit paru obstruktif. Pada asma simptomatik,
napas lebih cepat dari normal. Selain itu, dada mengambil posisi inspirasi
maksimal yang mula mula dicapai secara paksa dengan mengembangkan
aliran udara. Pada asma tanpa komplikasi, batuk hanya mencolok sewaktu
serangan mereda dan batuk membantu mengeluarkan secret yang
terkumpul. Batuk yang terjadi biasana batuk kering tanpa lender maupun
darah. Di antara serangan asma, pasien bebas dari mengi dna gejala.
Namun pada asma kronik, masa antar serangan dapat menghilang dan
serangan asma terjadi terus menerus. (2)
10

2.4. FAKTOR RESIKO ASMA

*Gambar 1.1. Faktor Resiko Asma


(5)

2.5.KLASIFIKASI ASMA

11

*Tabel 2.1. Klasifikasi Asma berdasarkan frekuensi serangan.

(7)

Klasifikasi asma terbagi menjadi intermiten, persisten ringan, persisten


sedang, serta persisten berat. Untuk asma intermiten memiliki karakteristik
seperti serangan kurang dari 1 kali per minggu, intensitas serangan tidak
mengagu aktivitas dan serangan malam hari kurang dari dua kali per bulan.
Pada asma persisten ringan, terdapat serangan lebih dari satu kali per
minggu tapi tidak lebih dari satu kali sehari. Pada asma persisten sedang,
terdapat serangan setiap hari dan lebih dari satu kali per hari disertai asma
yang menggangu aktivitas. Pada asma persisten berat terkena serangan
setiap hari, menggangu tidur, dan sering terkena serangan malam hari. (7)

*Tabel 2.2. klasifikasi asma berdasarkan derajat serangannya.

(7)

BAB III
12

TATALAKSANA ASMA

3.1. TATALAKSANA ASMA PADA ANAK


Anak dengan episode pertama wheezing tanpa distress pernapasan, bisa
dirawat di rumah hanya dengan terapi penunjang dan tidak perlu diberi
bronkodilator.

(9)

Anak dengan distres pernapasan atau mengalami wheezing

berulang, beri salbutamol dengan nebulisasi atau MDI (metered dose


inhaler). Jika salbutamol tidak tersedia, beri suntikan epinefrin/adrenalin
subkutan. Periksa kembali anak setelah 20 menit untuk menentukan terapi
selanjutnya:
Jika distres pernapasan sudah membaik dan tidak ada napas cepat, nasihati
ibu untuk merawat di rumah dengan salbutamol hirup atau bila tidak tersedia,
beri salbutamol sirup per oral atau tablet.

(9)

Jika distres pernapasan menetap, pasien dirawat di rumah sakit dan beri
terapi oksigen, bronkodilator kerja-cepat dan obat lain seperti yang
diterangkan di bawah. (9)
Jika anak mengalami sianosis sentral atau tidak bisa minum, rawat dan beri
terapi oksigen, bronkodilator kerja-cepat dan obat lain yang diterangkan di
bawah.

(9)

Jika anak dirawat di rumah sakit, beri oksigen, bronkodilator kerja-

cepat dan dosis pertama steroid dengan segera.

(9)

Respons positif (distres pernapasan berkurang, udara masuk terdengar lebih


baik saat auskultasi) harus terlihat dalam waktu 20 menit. Bila tidak terjadi,
beri bronkodilator kerja cepat dengan interval 20 menit.
Jika tidak ada respons setelah 3 dosis bronkodilator kerja-cepat, beri
aminofilin IV. (9)

13

OBAT ASMA
Secara umum, obat asma dapat dibagi dalam dua kelompok besar yaitu:
1. Obat pereda ( Reliever ) yaitu obat yang berfungsi untuk meredakan
serangan atau gejala asma bila sedang timbul.
2. Obat pengendali ( Controller ) yaitu obat pencegah atau profilaksis
untuk mencegah kambuhnya serangan asma.
*Tabel 3.1 Obat Pereda Asma

*Tabel 3.2. Obat Pengendali Asma

14

INDIKASI
PENGUNAAN OBAT
OBAT ASMA
Oksigen

Berikan oksigen pada


semua

anak

dengan asma yang terlihat sianosis atau mengalami kesulitan bernapas yang
mengganggu berbicara, makan atau menyusu (serangan sedang-berat). (6)

Bronkodilator kerja-cepat
Beri anak bronkodilator kerja-cepat dengan salah satu dari tiga cara berikut:
nebulisasi salbutamol, salbutamol dengan MDI dengan alat spacer, atau
suntikan epinefrin/adrenalin subkutan, seperti yang diterangkan di bawah. (6)
(1) Salbutamol Nebulisasi

15

Alat nebulisasi harus dapat menghasilkan aliran udara minimal 6-10 L/


menit. Alat yang direkomendasikan adalah jet-nebulizer (kompresor
udara) atau silinder oksigen. Dosis salbutamol adalah 2.5 mg/kali
nebulisasi; bisa diberikan setiap 4 jam, kemudian dikurangi sampai
setiap 6-8 jam bila kondisi anak membaik. Bila diperlukan, yaitu pada
kasus yang berat, bisa diberikan setiap jam untuk waktu singkat.
(2) Salbutamol MDI dengan alat spacer
Alat spacer dengan

berbagai

volume

tersedia

secara

komersial.

Penggunaannya mohon lihat buku Pedoman Nasional Asma Anak.


Pada anak dan bayi biasanya lebih baik jika memakai masker wajah
yang

menempel

pada spacer dibandingkan

memakai mouthpiece.

Jika spacer tidak tersedia, spacer bisa dibuat menggunakan gelas


plastik atau botol plastik 1 liter. Dengan alat ini diperlukan 3-4 puff
salbutamol dan anak harus bernapas dari alat selama 30 detik
(3) Epinefrin (adrenalin) subkutan
Jika kedua cara untuk pemberian salbutamol tidak tersedia, beri
suntikan epinefrin (adrenalin) subkutan dosis 0.01 ml/kg dalam larutan
1:1 000 (dosis maksimum: 0.3 ml), menggunakan semprit 1 ml (untuk
teknik injeksi lihat halaman 331). Jika tidak ada perbaikan setelah 20
menit, ulangi dosis dua kali lagi dengan interval dan dosis yang sama.
Bila gagal, dirawat sebagai serangan berat dan diberikan steroid dan
aminofilin.
Bronkodilator Oral

16

Ketika anak jelas membaik untuk bisa dipulangkan, bila tidak tersedia atau
tidak mampu membeli salbutamol hirup, berikan salbutamol oral (dalam sirup
atau tablet). Dosis salbutamol: 0.05-0.1 mg/kgBB/kali setiap 6-8 jam. (6)
Steroid
Jika anak mengalami serangan wheezing akut berat berikan kortikosteroid
sistemik metilprednisolon 0.3 mg/kgBB/kali tiga kali sehari pemberian oral
atau deksametason 0.3 mg/kgBB/kali IV/oral tiga kali sehari pemberian
selama 3-5 hari.(6)
Aminofilin
Jika anak tidak membaik setelah 3 dosis bronkodilator kerja cepat, beri
aminofilin IV dengan dosis awal (bolus) 6-8 mg/kgBB dalam 20 menit. Bila 8
jam sebelumnya telah mendapatkan aminofilin, beri dosis setengahnya.
Diikuti dosis rumatan 0.5-1 mg/kgBB/jam. Pemberian aminofilin harus hatihati, sebab margin of safety aminofilin amat sempit.
Hentikan pemberian aminofilin IV segera bila anak mulai muntah, denyut nadi
>180 x/menit, sakit kepala, hipotensi, atau kejang.
Jika aminofilin IV tidak tersedia, aminofilin supositoria bisa menjadi alternatif.
(6)

Antibiotik
Antibiotik tidak diberikan secara rutin untuk asma atau anak asma yang
bernapas cepat tanpa disertai demam. Antibiotik diindikasikan bila terdapat
tanda infeksi bakteri. (6)

3.2. ALGORITMA TATA LAKSANA ASMA

*Gambar 3.1. Algoritma Tatalaksana Asma (5)

17

BAB IV

18

PROGNOSIS

4.1. PROGNOSIS ASMA PADA ANAK

Asma merupakan penyakit kronik dan menahun. Terjadinya asma


pada

anak

dapat

menimbulkan

terhambatnya

pertumbuhan

dan

perkembangan anak tersebut. Perjalanan penyakit kedepannya sangat


ditentukan oleh derajat keparahan asma tersebut. Pada asma yang ringan
maupun sedang, bisa terjadi perbaikan dari fungsi tubuh dan banyak yang
bebas dari serangan asmanya saat sudah mencapai usia dewasa. Dalam
kasus yang berat sekalipun banyak individu dewasa yang menjadi lebih baik
dalam menangani asmanya dan lebih sedikit menggangu aktivitasnya.
Terdapat sekitar 10 persen individu yang bertambah buruk meskipun sudah
mendapat pengobatan. Fungsi paru pada penderita asma menurun lebih
cepat dibandingkan individu normal terutama pada perokok dan individu yang
terkena infeksi berulang.(11) Meskipun begitu, sangat banyak individu yang
terbebas dari asmanya pada usia dewasa dan tidak menggangu kehidupan
sehari harinya. Karena itu pengobatan yang tepat sangat berguna dalam
membantu pasien menangulaangi penyakit asma yang dideritanya.

(5)

19

BAB V
PENUTUP

5.1. KESIMPULAN

Asma pada anak merupakan salah satu penyakit yang sering ada
pada masyarakat di sekitar kita. Kondisi tersebut dapat menimbulkan
berbagai masalah dalam pertumbuhan dan perkembangan anak tersebut.
Oleh karena itu deteksi dini dan pengobatan yang tepat sangat diperlukan
dalam penangaan asma pada anak. Hal ini akan sangat mambantu
pertumbuhan

dan

perkembangan

anak

tersebiut

nantinya.

Dengan

pengobatan yang tepat biasanya asma pada anak dapat terkendali dan tidak
membatasi aktivitas sehari hari anak tersebut. Peran kita sebagai dokter
dalam menangani masalah tersebut sangat diperlukan. Tidak kalah
pentingnya juga dukungan orang tua dan kooperasi dan kepatuhan anak
tersebut dalam mengontrol asma dan penyakitnya. Dengan bantuan dan
pengobatan yang adekuat maka diharapkan penderita tetap dapat berfungsi
secara maksimal dan dapat bersosialisasi dengan masyarakat. (12)

20

DAFTAR PUSTAKA

1. Pudjiadi, AH. Pedoman Pelayanan Medis. 2009. IDAI: Indonesia


2. Price, Sylvia A. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses Proses Penyakit.
2012. IKAPI : Indonesia
3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Asma. 2003. PDPI :
Indonesia
4. Fireman, P. Understanding Asthma Pathophysiologic. NCBI. 2003.
Pubmed. Gov
5. Depkes Go.id, Infodatin Asma Pusat data dan informasi Kementrian
Kesehatan RI. 2007. Jakarta
6. ICHRC. International Child Health Review Collaboration : Pocket
Book. 2012. Australia
7. GINA. Global Strategy for Asthma Management and Prevention. 2006.
NCBI : pubmed. gov
8. Harvey Simon, MD. New York Times Asthma Guidelines. 2013. New
York : United States
9. National Heart, Lung, and Blood Institute, National Asthma Education
and Prevention Program,Expert Panel Report 3: Guidelines for the
Diagnosis and Management of Asthma, Full Report 2007
10. Katzung,G Bertram. Basic and Clinical Pharmacology. 2012. McGraw
Hill : Lange
11. Harrison, TR. Principle of Internal medicine. 2005. McGraw Hill. New
York : United States
12. Joseph, TD. Pharmacotherapy a Pathophysiologic Approach. 2005.

McGraw Hill. New York : United States

21

Anda mungkin juga menyukai