PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan infeksi jamur di Indonesia yang termasuk negara dengan
iklim tropis terutama disebabkan oleh udara yang lembab, sanitasi yang
kurang dengan lingkungan yang padat dengan tingkat sosio-ekonomi yang
rendah. Untuk mengobati penyakit infeksi jamur maka digunakan obat
antijamur. Namun obat antijamur yang sudah ada dan beredar di masyarakat
sering sangat toksik dan hanya sedikit yang tersedia tanpa resep. Selain itu
obat antijamur sangat mahal sehingga kurang terjangkau oleh masyarakat dan
kualitasnya pun kurang maksimal untuk menyembuhkan penyakit infeksi
jamur.
yang diharapkan dapat ditemukan senyawa atau obat antijamur yang dapat
mengatasi kelemahan antijamur yang ada saat ini
Infeksi jamur sering disebut mikosis, dapat bibagi menjaid mikosis
superfisialis, mikosis subkutan, dan mikosis sistemik. Mikosis superfisialis
biasanya menyerang kulit, rambut, dan kuku. Mikosis subkutan menyerang
otot dan jaringan ikat di bawah kulit, sedangkan mikosis sistemik melibatkan
organ tubuh baik secara primer maupun oportunistik.(Verma,2008; Hay,2008)
Tujuan utama pengobatan infeksi jamur adalah menghilangkan atau
membunuh organisme yang patogen dan memulihkan kembali flora normal
kulit dengan cara memperbaiki ekologi kulit atau membran mukosa yang
merupakan tempat berkembangnya koloni jamur.(Nolting,1986)
Pada saat ini penemuan obat-obat antijamur yang baru telah mengalami
perkembangan yang pesat baik yang berbentuk topikal maupun sistemik dan
diharapkan prevalensi infeksi jamur dapat berkurang.
Klasifikasi obat antijamur berdasarkan cara penggunaannya dibagi atas
obat antijamur topikal dan sistemik.(High,2008;Bellantoni,2008) Penggunaan
obat antijamur topikal diindikasikan pada infeksi jamur dengan area yang
terbatas dan pasien yang memiliki kontraindikasi menggunakan antijamur
sistemik. Antijamur sistemik diberikan pada mikosis superfisialis, mikosis
subkutan dan sistemik.(Dismukes,2000; Ashley,2006)
Sekarang ini ada empat golongan obat-obat antijamur utama yaitu
poliene, azol, alilamin dan echinocandin dan ada juga obat antijamur yang
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Antijamur
2.1.1 Deskripsi Antijamur
Obat-obat antijamur disebut juga dengan obat-obat antimikotik,
digunakan untuk mengobati dua jenis infeksi jamur: infeksi jamur
superfisial pada selaput kulit atau selaput lendir dan infeksi jamur
sistemik pada paru-paru atau sistem saraf pusat. Kandidiasis dapat
terjadi sebagai infeksi oportunistik jika mekanisme pertahanan tubuh
terganggu.
Obat-obat
seperti
antibiotik,
kontrasepsi
oral,
dan
melawan
berbagai
penyakit
jamur,
termasuk
dan
parakoksidioidomikosis.
Ketokenazol
BAB 3
PEMBAHASAN
diperkenalkan
tahun
1970
merupakan
antijamur
klotrimazol. Obat ini bersifat liofilik dan larut dalam air pada
pH asam.
Aktivitas spektrum
Ketokonazol mempunyai spektrum yang luas dan efektif terhadap
Blastomyces
dermatitidis,
Candida
species,
Coccidiodes
immitis,
bersama
dengan
obat
yang
menginduksi
enzim
pemeriksaan fungsi hati. Hepatitis drug induced dapat terjadi pada beberapa
hari pemberian terapi atau dapat terjadi berbulan-bulan setelah pemberian
terapi ketokonazol. Ketokonazol dosis tinggi (>800 mg/hari) dapat
menghambat human adrenal synthetase dan testicular steroid yang dapat
menimbulkan alopesia, ginekomastia dan impoten. (Bennet,2006)
Interaksi obat
Konsentrasi serum ketokonazol dapat menurun pada pasien yang
mengkonsumsi obat yang menurunkan sekresi asam lambung antasida,
antikolinergik dan H2 antagonis sehingga sebaiknya obat ini diberikan setelah
2 jam pemberian ketokonazol. Ketokonazol dapat memperpanjang waktu
paruh terfenadin, astemizol dan cisaprid sehingga tidak diberikan bersamaan
dan juga dapat menimbulkan efek samping kardiovaskuler seperti
pemanjangan Q-T interval dan torsade de pointes. (Bennet,2006)
Ketokonazol juga dapat memperpanjang waktu paruh dari midazolam dan
triazolam dan dapat meningkatkan kadar siklosporin dan konsentrasi serum
dari warfarin. Pemberian ketokonazol dan rifampisin secara bersamaaam
dapat menurunkan efektifitas kedua obat. (Gubbins, 2009)
2. Itrakonazol
Itrakonazol diperkenalkan pada tahun 1992 merupakan sintesis
derivat triazol. Digunakan sebagai lini pertama untuk infeksi yang
disebabkan Candida dan spesies nondermatofita lainnya. (Bellantoni,2008)
Antijamur sistemik turunan triazol ini erat hubungannya
dengan ketokonazol. Obat ini dapat diberikan per oral dan IV.
Aktivitas antijamumya lebih lebar sedangkan efek samping
yang
ditimbulkan
lebih
kecil
dibandingkan
dengan
dan
sama
dengan
ketokonazol
antara
lain
terhadap
keringat sampai 24
terbanyak
10
stratum korneum masih ada untuk 2-3 minggu setelah terapi dihentikan.
(Gupta,2002)
Dosis
Itrakonazol dosis kontinyu sama efektif dengan dosis pulse. Pada
onikomikosis kuku tangan, pulse terapi diberikan selama 2 bulan, sedangkan
onikomikosis kuku kaki selama 3 bulan. Itrakonazol merupakan obat kategori
C, sehingga tidak direkomendasikan untuk wanita hamil dan menyusui,
karena dieksresikan di air susu. Itrakonazol tersedia juga dalam bentuk kapsul
100 mg. Bentuk kapsul diberikan dalam kondisi lambung penuh untuk
absorpsi maksimal, karena cyclodextrin yang terdapat dalam bentuk
ini
11
Flukonazol
Flukonazol merupakan suatu hidrofilik dari sintetik triazol, terdapat
dalam bentuk oral dan parenteral. Ditemukan pada tahun 1982 dan
diperkenalkan pertama kali di Eropa lalu di Amerika Serikat. Bersifat
fungistatik
(Bellantoni,2008)
Mekanisme kerja
Flukonazol mempunyai mekanisme kerja yang sama dengan triazol
lain yaitu merupakan suatu inhibitor poten terhadap biosintesis ergosterol,
bekerja dengan menghambat sistem enzim sitokrom P-450 14--demethylase
dan bersifat fungistatik. (Bellantoni,2008)
Aktifitas spektrum
Menurut FDA flukonazol efektif untuk mengatasi kandidiasis oral
atau esophageal, criptococcal meningitis dan pada penelitian lain dinyatakan
efektif pada sporotrikosis (limfokutaneus dan visceral). (Gupta,2002)
Farnakokinetik
Absorpsi paling baik (>90%) setelah makan dan keadaan perut terisi
dan tidak tergantung dari keasaman lambung. Flukonazol memiliki waktu
paruh 25-30 jam, dan mencapai kadar tetap setelah pemberian sekali sehari
selama 7 hari. Flukonazol berikatan lemah pada protein plasma dan sekitar
90% obat bersirkulasi bebas di dalam plasma. Sekitar 80% obat dieksresikan
melalui urin, 2 % feses, dan 11 % dalam bentuk metabolit di urin.
(Bellantoni,2008)
Kadar flukonazol di dalam CSF, saliva, jaringan vagina, sputum,
kulit dilaporkan sebanding dengan konsentrasi dalam plasma. Gangguan
farmakokinetik flukonazol berupa penurunan plasma klirens ditemukan pada
pasien dengan sirosis dan gagal ginjal.
flukonazol
klirens
lebih
cepat
dibandingkan
pada
orang
dewasa.
(Bellantoni,2008)
12
Dosis
Flukonazol digunakan sebagai lini pertama terapi kandidiasis
mukotan. Pada pediatrik digunakan untuk terapi tinea kapitis yang disebabkan
Tinea tonsurans dengan dosis 6 mg/kg/hr selama 20 hari, dan 5 mg/kg/hr
selama 30 hari. Tetapi diberikan lebih lama pada infeksi Mycoplasma canis.
(Bellantoni,2008)
Flukonazol tersedia sediaan tablet 50 mg, 100 mg, 150 mg, dan
200mg; sediaan oral solusio 10 mg/ml dan 40 mg/ml dan dalam bentuk
sediaan
intravena.
Direkomendasikan
pada
anak-anak
<6
bulan.
(Bellantoni,2008)
Penggunaan untuk orang dewasa dan kandidiasis vagina adalah 150
mg dosis tunggal. Pada kandidiasis vulvovaginal rekuren 150 mg tiap minggu
selama 6 bulan atau lebih. Tinea pedis dengan 150 mg tiap minggu selama 34 minggu, dengan 75% perbaikan pada minggu ke-4. Pada terapi
onikomikosis, terbinafin 250 mg sehari selama 12 minggu lebih utama
dibandingkan flukonazol 150 mg tiap minggu selama 24 minggu. Pada
pitiriasis versikolor digunakan 400 mg dosis tunggal. Pada suatu penelitian
open label randomized meneliti pitiriasis versikolor yang diterapi dengan 400
mg flukonazol dosis tunggal dibandingkan dengan 400 mg itrakonazol,
ternyata flukonazol lebih efektif dibandingkan itrakonazol dengan dosis sama.
(Bellantoni,2008)
Flukonazol ditoleransi baik oleh geriatrik kecuali dengan gangguan
ginjal. Obat ini termasuk kategori C, sehingga tidak direkomendasikan untuk
wanita hamil dan menyusui. (Bellantoni,2008)
Efek samping
Efek samping yang sering adalah masalah gastrointestinal seperti
mual, muntah, diare, nyeri abdomen dan juga sakit
13
berguna
untuk
mencegah
relaps
Flukonazol
juga
dapat
berinteraksi
dengan
kandida
yang
resisten
terhadap
flukonazol.
merupakan
inhibitor
poten
terhadap
biosintesis
14
disebabkan
Scedosporium
asiospermum
dan
Fussarium
spp,
15
16
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Obat antijamur berdasarkan cara penggunaannya terbagi atas
obat
permeabel
menghambat
sintesis
dan
terjadi
testosteron
penghancuran
dan
kortisol.
jamur.
Ketokenazol
Penghambatan
ini
DAFTAR PUSTAKA
Ashley ES et.al. 2006. Pharmacology of systemic antifungal agents. Clinical
Infectious Disease D ;43 (Suppl 1):28-39
Bellantoni MS, Konnikov N. 2008. Oral antifungal agents. In: Wolff K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BS, Paller AS, Leffel DJ. eds.
18
K.,Granner
Daryl
19
S,
Heffernan
MD.
2008.
Superficial
Fungal
Infection:
20