Anda di halaman 1dari 20

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan infeksi jamur di Indonesia yang termasuk negara dengan
iklim tropis terutama disebabkan oleh udara yang lembab, sanitasi yang
kurang dengan lingkungan yang padat dengan tingkat sosio-ekonomi yang
rendah. Untuk mengobati penyakit infeksi jamur maka digunakan obat
antijamur. Namun obat antijamur yang sudah ada dan beredar di masyarakat
sering sangat toksik dan hanya sedikit yang tersedia tanpa resep. Selain itu
obat antijamur sangat mahal sehingga kurang terjangkau oleh masyarakat dan
kualitasnya pun kurang maksimal untuk menyembuhkan penyakit infeksi
jamur.

Oleh karena itu, perlu diadakan penelitian eksplorasi antijamur

yang diharapkan dapat ditemukan senyawa atau obat antijamur yang dapat
mengatasi kelemahan antijamur yang ada saat ini
Infeksi jamur sering disebut mikosis, dapat bibagi menjaid mikosis
superfisialis, mikosis subkutan, dan mikosis sistemik. Mikosis superfisialis
biasanya menyerang kulit, rambut, dan kuku. Mikosis subkutan menyerang
otot dan jaringan ikat di bawah kulit, sedangkan mikosis sistemik melibatkan
organ tubuh baik secara primer maupun oportunistik.(Verma,2008; Hay,2008)
Tujuan utama pengobatan infeksi jamur adalah menghilangkan atau
membunuh organisme yang patogen dan memulihkan kembali flora normal
kulit dengan cara memperbaiki ekologi kulit atau membran mukosa yang
merupakan tempat berkembangnya koloni jamur.(Nolting,1986)
Pada saat ini penemuan obat-obat antijamur yang baru telah mengalami
perkembangan yang pesat baik yang berbentuk topikal maupun sistemik dan
diharapkan prevalensi infeksi jamur dapat berkurang.
Klasifikasi obat antijamur berdasarkan cara penggunaannya dibagi atas
obat antijamur topikal dan sistemik.(High,2008;Bellantoni,2008) Penggunaan
obat antijamur topikal diindikasikan pada infeksi jamur dengan area yang
terbatas dan pasien yang memiliki kontraindikasi menggunakan antijamur
sistemik. Antijamur sistemik diberikan pada mikosis superfisialis, mikosis
subkutan dan sistemik.(Dismukes,2000; Ashley,2006)
Sekarang ini ada empat golongan obat-obat antijamur utama yaitu
poliene, azol, alilamin dan echinocandin dan ada juga obat antijamur yang

bukan kelompok di atas seperti flusitosin, griseofulvin dan sebagian obat-obat


antijamur topikal. Pengetahuan tentang mekanisme kerja, aktifitas spektrum,
farmakokinetik, efek samping maupun interaksi obat-obat antijamur sangat
diperlukan dalam memberikan pengobatan.(Kwon-Chung,1992)
Sedangkan bila berdasarkan tempat kerja, obat antijamur saat ini dibagi
menjadi empat golongan utama yaitu polien, azol, alilamin dan ekinokadin.
Terdapat juga obat antijamur yang tidak termasuk kelompok di atas seperti
flusitosin, griseofulvin dan sebagian obat antijamur topikal lainnya.(Gubbins,
2009;Bennet,2006;ZhaoX,2002)
Golongan azol terbagi dua berdasarkan jumlah nitrogen pada cincin azol
yaitu kelompok imidazol dan triazol. Triazol dimetabolisme lebih lambat dan
efek samping yang sedikit dibandingkan imidazol, karena itulah para peneliti
berusaha mengembangkan golongan triazol daripada imidazol.
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan dari tugas mandiri dengan judul Mekanisme Kerja Azol sebagai
Antijamur pada Infeksi Sistemik ini adalah untuk mengetahui lebih dalam
mengenai tugas azol sebagai antijamur pada infeksi sistemik.
1.3 Manfaat Penulisan
Dengan adanya tugas mandiri yang membahas mengenai mekanisme kerja
azol sebagai antijamur pada infeksi sistemik ini diharapkan akan lebih
menambah wawasan yang luas bagi penulis dan pembaca mengenai hubungan
antara azol sebagai antijamur dengan infeksi sistemik. Selain untuk
pemahaman wawasan yang lebih bagi penulis, manfaat tersebut ditujukan
juga untuk masyarakat umum agar mendukung berkembangnya ilmu
pengetahuan dan peningkatan derajat kesehatan.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Antijamur
2.1.1 Deskripsi Antijamur
Obat-obat antijamur disebut juga dengan obat-obat antimikotik,
digunakan untuk mengobati dua jenis infeksi jamur: infeksi jamur

superfisial pada selaput kulit atau selaput lendir dan infeksi jamur
sistemik pada paru-paru atau sistem saraf pusat. Kandidiasis dapat
terjadi sebagai infeksi oportunistik jika mekanisme pertahanan tubuh
terganggu.

Obat-obat

seperti

antibiotik,

kontrasepsi

oral,

dan

imunosupresif, dapat juga mengubah mekanisme pertahanan tubuh.


Infeksi jamur oportunistik dapat ringan (infeksi ragi pada vagina) atau
berat (infeksi jamur sistemik).(Joice,1994)
2.1.2 Jenis Antijamur
Obat-obat antijamur dikelompokkan ke dalam empat kelompok
(Joice,1994):
1.
2.
3.
4.

Polien, termasuk amfosterin B dan nisatin


Imidazol, termasuk ketonazol, mikonazol, dan klotrimazol
Antijamur metabolit, flusitosin
Antijamur topikal untuk infeksi superfisial

Menurut indikasi klinis obat-obat antijamur dapat dibagi atas 2


golongan (Staf pengajar dept. Farmakologi FK UNSRI, 2004), yaitu:
1. Antijamur untuk infeski sistemik, termasuk amfoterisin
B,flusitison, imidazol (ketonazol, mikonazol, flukonazol), dan
hidroksistilbamidin.
2. Antijamur untuk infeksi dermatofit dan mukokutan, termasuk
griseofulvin, golongan imidazol (mikonazol, klotrimazol,
ekonazol, isokonazol, tiokonazol, dan bifonazol), dan antijamur
topikal lainnya (kandisidin, asam undesilenat,dan natamisin).
2.1.2.1 Polien
Obat pilihan dari antijamur polien untuk mengobati infeksi
jamur sistemik adalah amfosterin B. Diperkenalkan pada tahun
1959 dan masih terus dipakai pada saat sekarang dengan
pengawasan ketat akibat toksisistasnya., amfosterin B efektif
dalam

melawan

berbagai

penyakit

jamur,

termasuk

histoplasmosis, kriptokokosis, koksidioidomikosis, aspergilosis,


blastomikosis, dan kandidiasis (infeksi sistemik). Amfosterin B

tidak diabsorbsi melalui saluran gastrointestinal; oleh karena itu,


diberikan intravena dalam dosis rendah untuk mengobati infeksi
jamur sistemik. Amfosterin B tinggi berikatan dengan protein,
mempunyai waktu paruh yang panjang, dan hanya 5% dari obat
yang disekresikan ke dalam urin. Penyakit ginjal tidak
memengaruhi ekskresi dari amfosterin B. (Joice,1994)
2.1.2.2 Imidazol
Kelompok imidazol efektif untuk melawan kandidiasis
(superfisial dan sistemik), koksidioidomikosis, kriptokokosis,
histoplasmosis,

dan

parakoksidioidomikosis.

Ketokenazol

adalah obat antijamur pertama yang efektif dan diserap melalui


oral. Ketiga imidazol, klotrimazol (Lotrimin, Mycelex),
butokonazol nitrat (Femstat), dan ekonazol nitrat (Spectazole)
hanya dipakai untuk topikal. Imidazol yang terbaru adalah
mikonazol (monistat). (Joice,1994)
Semua antijamur azol bekerja melalui penghambatan
biosintesis ergosterol jamur. Penghambtan ini dicapai melalui
pengikatan obat dan pengaruhnya terhadap fungsi kelompok
heme pada sitokrom P450 oksidase. P450 oksidase jamur yang
paling sensitif terhadap penghambatan adalah 14-lanosterol
demetilase. Penghambatan ergosterol menimbulkan gangguan
pada struktur dan fungsi selaput jamur.(Muarray&Graner, 2009)
Mekanisme kerja golongan Azol

Gambar 1. Mekanisme biosintesis ergosterol dan mekanisme kerja berberapa obat


antijamur terhadap biosintesis ergosterol (Onyewu,2007)

2.2 Infeksi Sistemik


2.2.1 Deskripsi Infeksi Sistemik
Infeksi karena jamur disebut dsebagai mikosis, umumnya brsifat
kronis, dapat ringan pada permukaan kulit (mikosis kutan), dapat pula
menembus kulit menimbulkan mikosis subkutan. Mikosis yang paling
sulit diobati ialah mikosis sistemik yang sering menimbulkan kematian.
Insidens infeksi jamur meningkat pada sejumlah penderita dengan
penekanan sistem imun dan pada penderita AIDS. Mikosis sistemik;
seperti blastomikosis, koksidiodimikosis, dan histoplasmosis hampir
selalu menjadi masalah di beberapa daerah. Penggunaan antineoplastik
dan imunosupresan memberi kesempatan infeksi jamur sistemik
berkembang dengan cepat. Dinding sel jamur mengandung kitin,
polisakarida, dan ergosterol pada membran selnya; kandungan dinding
sel jamur ini berbeda dengan bakteri.(staf pengajar dept. Farmakologi
FK UnSri, 2004) Oleh karena itu, infeksi jamur resisten terhadap

antibiotika yang digunakan untuk infeksi bakteri, dan sebaliknya,


bakteri juga resisten terhadap obat-obat antijamur.
2.2.2 Proses Infeksi
Secara umum proses infeksi adalah sebagai berikut:
1. Proses inkubasi
Interval antara masuknya pathogen ke dalam tubuh dan munculnya
gejala pertama.
2. Tahap prodromal
Interval dari awal tanda dan gejala non spesifik (malaise, demam
ringan, keletihan) sampai gejala yang spesifik. Selama mas aini
mikroorganisme tunbuh dan berkembang biak dan klien lebih
mampu menyebarkan penyakit ke orang lain.
3. Tahap sakit
Klien memanifestasikan tanda dan gejala yang spesifik terhadap
jenis infeksi.
4. Pemulihan
Interval saat munculnya gejala akut infeksi.

BAB 3
PEMBAHASAN

Diperkenalkan untuk pertama kalinya pada tahun 1944, antijamur azol


berperanan penting dalam penatalaksanaan infeksi jamur. Kelompok azol dapat
dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan jumlah nitrogen pada cincin azol.
Kelompok imidazol (ketokonazol, mikonazol, dan klotrimazol) terdiri dari dua
nitrogen dan kelompok triazol (itrakonazol, flukonazol, varikonazol, dan
posakonazol) mengandung tiga nitrogen.(ZhaoX,2002;Onyewu,2007) Kedua
kelompok ini memiliki spektrum dan mekanisme aksi yang sama. Triazol
dimetabolisme lebih lambat dan efek samping yang sedikit dibandingkan
imidazol, karena keuntungan itulah para peneliti berusaha mengembangkan
golongan triazol daripada imidazol.(Gupta,2002)
Pada umumnya golongan azol bekerja menghambat biosintesis ergosterol
yang merupakan sterol utama untuk mempertahankan integritas membran sel
jamur. Bekerja dengan cara menginhibisi enzim sitokrom P 450, C-14-demethylase yang bertanggung jawab merubah lanosterol menjadi ergosterol, hal
ini mengakibatkan dinding sel jamur menjadi permeabel dan terjadi penghancuran
jamur.(Ashley,2006; Lesher,2008)
Contoh obat :
1. Ketokonazol
Ketokonazol

diperkenalkan

tahun

1970

merupakan

antijamur

golongan imidazol pertama yang diberikan secara oral. Ketokonazol tidak


lagi digunakan sebagai lini pertama untuk pengobatan infeksi dermatofitosis
atau kandidiasis.(Bellantoni,2008) Ketokonazol merupakan turunan
imidazol sintetik dengan struktur

mirip mikonazol dan

klotrimazol. Obat ini bersifat liofilik dan larut dalam air pada
pH asam.
Aktivitas spektrum
Ketokonazol mempunyai spektrum yang luas dan efektif terhadap
Blastomyces

dermatitidis,

Candida

species,

Coccidiodes

immitis,

Histoplasma capsulatum, Malasezzia furfur, Paracoccidiodes brasiliensis.


Ketokonazol juga efektif terhadap dermatofit tetapi tidak efektif terhadap
Aspergillus spesies dan Zygomycete.(Bennet,2006)
Farmakokinetik

Absorpsi peroral tiap individu bervariasi. Setelah pemberian peroral


dosis 200,400, dan 800 mg, konsentrasi puncak plasma sekitar 4, 8, 20 g/ml.
Waktu paruh tergantung dari peningkatan dosis sekitar 7-8 jam pada dosis
800 mg. Konsentrasi zat aktif dalam urin sangat rendah. Di dalam darah,
84% ketokonazol terikat dalam plasma protein; 15% terikat pada eritrosit;
dan 1% dalam bentuk bebas. Ketokonazol mencapai keratinosit secara efisien,
dan konsentrasi pada cairan di vagina sama dengan di plasma. Konsentrasi
dalam cairan serebrospinal (CSF) pada pasien meningitis jamur kurang dari
1% dari total konsentrasi obat di plasma. (Bennet,2006)
Pemberian

bersama

dengan

obat

yang

menginduksi

enzim

mikrosomal hepatik seperti rifampisin, dan isoniazid, dapat menurunkan 50%


absorpsi ketokonazol. Konsentrasi ketokonazol dapat meningkat dalam
plasma apabila diberikan bersama dengan siklosporin, midazolam, triazolam,
indinavir,

dan fen itoin karena obat tersebut dimetabolisme oleh enzim

sitokrom p 450 CYP3A4. (Gupta,2002) Makanan dapat menurunkan


konsentrasi ketokonazol dalam serum, maka preparat ini lebih baik diberikan
dalam kondisi perut kosong. (Ashley,2006)
Dosis
Dosis ketokonazol yang diberikan pada dewasa 400 mg/hari
sedangkan dosis untuk anak-anak 3,3-6,6 mg/kgBB dosis tunggal. Lama
pengobatan untuk tinea korporis dan tinea kruris selama 2-4 minggu, 5 hari
untuk kandida vulvovaginitis, 2 minggu untuk kandida esofagitis, tinea
versikolor selama 5-10 hari, 6-12 bulan untuk mikosis dalam. (Bennet,2006)
Efek samping
Anoreksia, mual dan muntah merupakan efek samping yang sering
dijumpai terjadi pada 20% pasien yang mendapat dosis 400 mg/hari.
Pemberian pada saat menjelang tidur atau dalam dosis terbagi dapat
mengatasi keadaan ini. Alergi dapat terjadi pada 4% pasien, dan gatal tanpa
rash terjadi sekitar 2% pada pasien yang diterapi ketokonazol. (Bennet,2006)
Ketokonazol dapat menginhibisi biosintesis steroid, seperti halnya
pada jamur. Peninggian transaminase sementara dapat terjadi pada 5-10%
pasien. Untuk pengobatan jangka waktu yang lama, dianjurkan dilakukan

pemeriksaan fungsi hati. Hepatitis drug induced dapat terjadi pada beberapa
hari pemberian terapi atau dapat terjadi berbulan-bulan setelah pemberian
terapi ketokonazol. Ketokonazol dosis tinggi (>800 mg/hari) dapat
menghambat human adrenal synthetase dan testicular steroid yang dapat
menimbulkan alopesia, ginekomastia dan impoten. (Bennet,2006)
Interaksi obat
Konsentrasi serum ketokonazol dapat menurun pada pasien yang
mengkonsumsi obat yang menurunkan sekresi asam lambung antasida,
antikolinergik dan H2 antagonis sehingga sebaiknya obat ini diberikan setelah
2 jam pemberian ketokonazol. Ketokonazol dapat memperpanjang waktu
paruh terfenadin, astemizol dan cisaprid sehingga tidak diberikan bersamaan
dan juga dapat menimbulkan efek samping kardiovaskuler seperti
pemanjangan Q-T interval dan torsade de pointes. (Bennet,2006)
Ketokonazol juga dapat memperpanjang waktu paruh dari midazolam dan
triazolam dan dapat meningkatkan kadar siklosporin dan konsentrasi serum
dari warfarin. Pemberian ketokonazol dan rifampisin secara bersamaaam
dapat menurunkan efektifitas kedua obat. (Gubbins, 2009)
2. Itrakonazol
Itrakonazol diperkenalkan pada tahun 1992 merupakan sintesis
derivat triazol. Digunakan sebagai lini pertama untuk infeksi yang
disebabkan Candida dan spesies nondermatofita lainnya. (Bellantoni,2008)
Antijamur sistemik turunan triazol ini erat hubungannya
dengan ketokonazol. Obat ini dapat diberikan per oral dan IV.
Aktivitas antijamumya lebih lebar sedangkan efek samping
yang

ditimbulkan

lebih

kecil

dibandingkan

dengan

ketokonazol. Itrakonazol diserap lebih sempuma melalui


saluran cerna bila diberikan bersama makanan. Itrakonazol,
seperti golongan azol lainnya, juga berinteraksi dengan
enzim mikrosom hati, tetapi tidak sebanyak ketokonazol.
Rifampisin akan mengurarangi kadar plasmaitrakonazol.
Aktivitas spectrum
Itrakonazol mempunyai aktifitas spektrum yang luas terhadap

Aspergillosis sp., Blastomyces dermatidis, Candida sp., Cossidiodes immitis,


Cryptococcus neoformans, Histoplasma capsulatum, Malassezia furfur,
Paracoccidiodes brasiliensis, Scedosporium apiospermum dan Sporothrix
schenckii. Itrakonazol juga efektif terhadap dematiaceous mould
dermatofita

dan

tetapi tidak efektif terhadap Zygomycetes. (Bennet,2006)

Itrakonazol memberikan hasil mernuaskan untuk indikasi


yang

sama

dengan

ketokonazol

antara

lain

terhadap

blastomikosis, histoplasmosis, koksidioidomikosis, sariawan


pada mulut dan tenggorokan serta tinea versikolor. Berbeda
dari ketokonazol, itrakonazol juga memberikan efek terapi
terhadap aspergilosis di luar SSP.
Farmakokinetik
Konsentrasi itrakonazol di dalam serum dipengaruhi oleh makanan
dan asam lambung. Absorpsi itrakonazol tidak begitu sempurna pada saluran
gastrointestinal (55%) tetapi absorpsi tersebut dapat ditingkatkan jika
itrakonazol dikonsumsi bersama makanan. Pemberian oral dengan dosis
tunggal 100 mg, konsentrasi puncak plasma akan mencapai 0,1-0,2 mg/L
dalam waktu 2-4 jam. (Bellantoni,2008;Bennet,2006)
Itrakonazol didistribusikan ke kulit melalui difusi pasif dari plasma menuju
keratinosit dimana obat melekat di keratin. Itrakonazol dapat ditemukan
dalam

keringat sampai 24

terbanyak

jam setelah pemberian dosis awal. Eksresi

itrakonazol melalui sebum. Sejumlah kecil itrakonazol

didistribusikan kembali dari kulit dan ke plasma, selanjutnya itrakonazol


dieliminasi melalui stratum korneum. Kurang dari 0,03% dari dosis
itrakonazol akan dieksresi di urin tanpa mengalami perubahan tetapi lebih
dari 18% akan dibuang melalui feces tanpa mengalami perubahan.
Itrakonazol dimetabolisme di hati oleh sistem enzim hepatik sitokrom P-450.
Kebanyakan metabolit yang tidak aktif akan dieksresi oleh empedu dan urin.
Metabolit utamanya yaitu hidroksitrakonazol yang merupakan suatu bioaktif.
Itrakonazol masih ditemukan pada stratum korneum selama 3-4 minggu
setelah penghentian terapi. Pada model in vivo, efek terapi itrakonazol pada

10

stratum korneum masih ada untuk 2-3 minggu setelah terapi dihentikan.
(Gupta,2002)
Dosis
Itrakonazol dosis kontinyu sama efektif dengan dosis pulse. Pada
onikomikosis kuku tangan, pulse terapi diberikan selama 2 bulan, sedangkan
onikomikosis kuku kaki selama 3 bulan. Itrakonazol merupakan obat kategori
C, sehingga tidak direkomendasikan untuk wanita hamil dan menyusui,
karena dieksresikan di air susu. Itrakonazol tersedia juga dalam bentuk kapsul
100 mg. Bentuk kapsul diberikan dalam kondisi lambung penuh untuk
absorpsi maksimal, karena cyclodextrin yang terdapat dalam bentuk

ini

sering menimbulkan keluhan gastrointestinal. (Bellantoni,2008;Gupta,2002)


Efek samping
Efek samping yang sering dijumpai adalah masalah gastrointestinal
seperti mual, nyeri abdomen dan konstipasi. Efek samping lain seperti sakit
kepala, pruritus, dan ruam alergi.
Penelitian efek samping itrakonazol oleh Sharkey dkk., tahun 1991 terhadap
189 pasien yang mendapat dosis 50-400 mg per hari, melaporkan bahwa
mual dan muntah (10%), hipertrigliseridemia (9%) hipokalemia (6%),
peningkatan serum aminotransferase (5%), rash (2%) dan efek samping lain
(39%). Ditemukannya hipokalemia pada pasien yang menerima dosis
itrakonazol 600 mg perhari yang dikombinasi dengan pemberian jangka
panjang Amfoterisin B. Efek samping lain meliputi insufisiensi adrenal,
edema tungkai bawah, hipertensi, dan pada satu pasien mengalami
rhabdomyolisis. Dosis di atas 400 mg perhari tidak direkomendasikan untuk
pemberian jangka panjang. (Bennet,2006)
Interaksi obat
Absorpsi itrakonazol akan berkurang jika diberikan bersama dengan
obat yang dapat menurunkan sekresi asam lambung seperti antasida, H2
antagonis, omeprazol dan lansoprazol.(Gubbins, 2009)
Itrakonazol merupakan suatu inhibitor dari sistem hepatik sitokrom P 4503A4 sehingga pemberian bersama obat lain yang metabolismenya melalui
sistem tersebut dapat meningkatkan konsentrasi azol. Itrakonazol dapat

11

memperpanjang dari waktu paruh paruh obat terfenadin, astemizol,


midazolam, triazolam, lovastatin, simvastatin, cisaprid, pimozid, quinidin.
Itrakonazol juga dapat meningkatkan konsentrasi serum digoksin, siklosporin
takrolimus, dan warfarin. (Gubbins,2009;Bennet,2006)
3.

Flukonazol
Flukonazol merupakan suatu hidrofilik dari sintetik triazol, terdapat
dalam bentuk oral dan parenteral. Ditemukan pada tahun 1982 dan
diperkenalkan pertama kali di Eropa lalu di Amerika Serikat. Bersifat
fungistatik

dan efektif melawan yeast (kecuali Candida krusei).

(Bellantoni,2008)
Mekanisme kerja
Flukonazol mempunyai mekanisme kerja yang sama dengan triazol
lain yaitu merupakan suatu inhibitor poten terhadap biosintesis ergosterol,
bekerja dengan menghambat sistem enzim sitokrom P-450 14--demethylase
dan bersifat fungistatik. (Bellantoni,2008)
Aktifitas spektrum
Menurut FDA flukonazol efektif untuk mengatasi kandidiasis oral
atau esophageal, criptococcal meningitis dan pada penelitian lain dinyatakan
efektif pada sporotrikosis (limfokutaneus dan visceral). (Gupta,2002)
Farnakokinetik
Absorpsi paling baik (>90%) setelah makan dan keadaan perut terisi
dan tidak tergantung dari keasaman lambung. Flukonazol memiliki waktu
paruh 25-30 jam, dan mencapai kadar tetap setelah pemberian sekali sehari
selama 7 hari. Flukonazol berikatan lemah pada protein plasma dan sekitar
90% obat bersirkulasi bebas di dalam plasma. Sekitar 80% obat dieksresikan
melalui urin, 2 % feses, dan 11 % dalam bentuk metabolit di urin.
(Bellantoni,2008)
Kadar flukonazol di dalam CSF, saliva, jaringan vagina, sputum,
kulit dilaporkan sebanding dengan konsentrasi dalam plasma. Gangguan
farmakokinetik flukonazol berupa penurunan plasma klirens ditemukan pada
pasien dengan sirosis dan gagal ginjal.
flukonazol

klirens

lebih

cepat

Pada bayi di bawah 3 bulan ,

dibandingkan

pada

orang

dewasa.

(Bellantoni,2008)
12

Dosis
Flukonazol digunakan sebagai lini pertama terapi kandidiasis
mukotan. Pada pediatrik digunakan untuk terapi tinea kapitis yang disebabkan
Tinea tonsurans dengan dosis 6 mg/kg/hr selama 20 hari, dan 5 mg/kg/hr
selama 30 hari. Tetapi diberikan lebih lama pada infeksi Mycoplasma canis.
(Bellantoni,2008)
Flukonazol tersedia sediaan tablet 50 mg, 100 mg, 150 mg, dan
200mg; sediaan oral solusio 10 mg/ml dan 40 mg/ml dan dalam bentuk
sediaan

intravena.

Direkomendasikan

pada

anak-anak

<6

bulan.

(Bellantoni,2008)
Penggunaan untuk orang dewasa dan kandidiasis vagina adalah 150
mg dosis tunggal. Pada kandidiasis vulvovaginal rekuren 150 mg tiap minggu
selama 6 bulan atau lebih. Tinea pedis dengan 150 mg tiap minggu selama 34 minggu, dengan 75% perbaikan pada minggu ke-4. Pada terapi
onikomikosis, terbinafin 250 mg sehari selama 12 minggu lebih utama
dibandingkan flukonazol 150 mg tiap minggu selama 24 minggu. Pada
pitiriasis versikolor digunakan 400 mg dosis tunggal. Pada suatu penelitian
open label randomized meneliti pitiriasis versikolor yang diterapi dengan 400
mg flukonazol dosis tunggal dibandingkan dengan 400 mg itrakonazol,
ternyata flukonazol lebih efektif dibandingkan itrakonazol dengan dosis sama.
(Bellantoni,2008)
Flukonazol ditoleransi baik oleh geriatrik kecuali dengan gangguan
ginjal. Obat ini termasuk kategori C, sehingga tidak direkomendasikan untuk
wanita hamil dan menyusui. (Bellantoni,2008)
Efek samping
Efek samping yang sering adalah masalah gastrointestinal seperti
mual, muntah, diare, nyeri abdomen dan juga sakit

kepala. Selain itu

hipersensitivitas, agranulositosis, sindroma Stevens Johnsons, hepatotoksik,


trombositopenia dan efek pada sistem saraf pusat. (Bellantoni,2008)
Gangguan saluran cema merupakan efek samping
yang paling banyak ditemukan. Pada pasien AIDS ditemukan

13

urtikaria, eosinofilia, sindrome Stevens-Johnson, gangguan


fungsi hati yang terspmbunyi dan trombositopenia.
Flukonazol

berguna

untuk

mencegah

relaps

meningitis yang disebabkan oleh Cryptococcus pada pasien


AIDS setelah pengobatan dengan amfoterisin B. Juga efektif
untuk pengobatan kandidiasis mulut dan tenggorokan pada
pasien AIDS.
Interaksi obat
Flukonazol dapat meningkatkan efek atau kadar dari obat astemizol,
amitriptilin, kafein, siklosporin, fenitoin, sulfonylurea, terfenadin, teofilin,
warfarin, simetidin, hidroklortiazid dan zidofudin. Pemberian bersama
flukonazol dengan cisapride ataupun terfenadin merupakan kontraindikasi
oleh karena dapat menimbulkan disritmia jantung yang serius dan torsade de
pointes.(Gubbins,2009)

Flukonazol

juga

dapat

berinteraksi

dengan

tolbutamid, glipizid yang menimbulkan efek hipoglikemia.


Kadar atau efek flukonazol dapat menurun jika diberikan bersama
karbamazepin, isoniazid, fenobarbital, rifabutin dan rifampisin. (Bennet,2006)
4. Varikonazol
Varikonazol merupakan triazol generasi kedua berupa turunan
flukonazol dan tersedia dalam bentuk oral maupun parenteral. Merupakan
derivat flukonazol.(Rubin,2002) Obat ini adalah antijamur baru
golongan triazol yang diindikasikan, untuk aspergiiosis
sistemik dan nfeksi jamur berat yang disebabkan oleh
Scedosporium apiosperrnun dan Fusarium sp. Obat ini juga
mempunyai efektivitas yang baik terhadap Candida sp,
Cryptococcus sp dan Dermatophyte sp, termasuk untuk
infeksi

kandida

yang

resisten

terhadap

flukonazol.

Farmakokinetik obat ini tidak linier akibat terjadinya saturasi


metabolisme.
Mekanisme kerja
Varikonazol

merupakan

inhibitor

poten

terhadap

biosintesis

ergosterol, bekerja pada enzim sitokrom p-450, lanosterol 14-- demethylase.

14

Hal ini menyebabkan berkurangnya ergosterol dan penumpukan methilat


sterols yang mengakibatkan rusaknya struktur dan fungsi membran jamur.
(Rubin,2002)
Aktifitas spectrum
Varikonazol mempunyai spektrum yang luas terhadap Aspergillus
sp., Blastomyces dermatitidis, Candida sp, Candida spp flukonazol resistant.,
Cryptococcus neoforams, Fusarium sp., Histoplasma capsulatum, dan
Scedosporium apospermum. Tidak efektif terhadap Zygomycetes.(Gubbins,
2009)
Farmakokinetik
Vorikonazol tersedia dalam bentuk tablet dan sediaan intravena
(dalam bahan pembawa sulfobutyl betadex sodium) dengan pemberian dua
kali sehari. Bioavailabilabilitas oral

vorikonazol sebesar 96% dan 56%

terikat dengan protein. Asam lambung dapat menghambat absorpsi


vorikonazol.(Wu JJ,2004) Konsentrasi maksimal pada plasma terjadi dua jam
setelah pemberian oral. (Rubin,2002) Vorikonazol dapat mencapai cairan
serebrospinal dengan konsentrasi 1-3 g/ml dengan waktu paruh enam jam
dalam darah. (Bennet,2006)
Dosis
Pemberian pada kandidiasis esofageal dimulai dengan dosis oral 200
mg setiap 12 jam untuk berat badan > 40 kg dan 100 mg setiap 12 jam untuk
berat badan < 40 kg. Untuk aspergilosis invasif dan penyakit jamur, lainnya
yang

disebabkan

Scedosporium

asiospermum

dan

Fussarium

spp,

direkomendasikan loading dose 6 mg/kg IV setiap 12 jam untuk 24 jam


pertama, diikuti dengan dosis pemeliharaan 4 mg/kgBB setiap 12 jam dengan
pemberian intravena atau 200 mg setiap 12 jam per oral.(Wu JJ,2004)
Efek samping
Vorikonazol dapat ditoleransi baik oleh manusia. Efek toksik
vorikonazol yang sering ditemukan adalah gangguan penglihatan transien
(30%). Meski dapat ditoleransi dengan baik, pada 10-15% kasus ditemukan
adanya abnormalitas fungsi hepar sehingga dalam pemberian vorikonazol

15

perlu dilakukan monitor fungsi hepar. Vorikonazol bersifat teratogenik pada


hewan dan kontraindikasi pada wanita hamil. (Bennet,2006;Rubin,2002)
Interaksi obat
Absorpsi varikonazol tidak mengalami penurunan jika diberikan
bersama dengan obat lain seperti simetidin, ranitidin yang berfungsi
mengurangi sekresi asam lambung.
Varikonazol kurang poten sebagai inhibitor sistem enzim human hepatik
sitokrom P -450- 3A4 dibandingkan itrakonazol ataupun ketokonazol, namun
varikonazol dapat meningkatkan konsentrasi serum terfenadin, astemizol,
cisaprid, pimozid, warfarin, tolbutamid, glipizid dan quinidin. Varikonazol
dapat menurunkan konsentrasi serum siklosporin dan takrolimus.(Gubbins,
2009;Bennet,2006)
5. Posakonazol
Posakonazol merupakan kelompok triazol generasi dua, memiliki
struktur kimia serupa dengan itrakonazol namun mengganti cincin klorin dan
cincin furan dengan cincin dioksolan. Posakonazol menghambat jamur
dengan inhibisi enzim lanosterol 14-demethylase. Deplesi ergosterol
menyebabkan akumulasi prekursor metilasi sterol menyebabkan inhibisi
pertumbuhan dinding sel jamur, kematian sel jamur. (Marr,2002; Torres,2005)
Aktivitas spektrum
Posakonazol memiliki kemampuan antijamur terluas saat ini. Tidak
ditemukan resistensi silang posakonazol dengan flukonazol. Posakonazol
merupakan satu-satunya golongan azol yang dapat menghambat jamur
golongan Zygomycetes. Posakonazol juga dapat digunakan dalam pengobatan
aspergilosis dan fusariosis. (Marr,2002; Torres,2005)
Dosis
Posakonazol hanya tersedia dalam bentuk suspensi oral, dapat
diberikan dengan rentang dosis 50-800 mg. Pemberian awal posakonazol
dibagi menjadi empat dosis guna mencapai level plasma adekuat. Pemberian
posakonazol dapat juga diberikan dua kali sehari pada keadaan tidak
membahayakan jiwa. Absorbsi posakonazol lebih baik bila diberikan bersama
dengan makanan atau suplemen nutrisi. (Marr,2002)

16

Efek tambahan antijamur antijamur azol secara primer berkaitan dengan


kemampuannya untuk menghambat enzim P450 sitokrom mamalia. Ketokenazol
merupakan yang paling toksik dalam hal ini dan pada dosis terapeutiknya akan
menghambat sintesis testosteron dan kortisol. Penghambatan ini mengakibatkan
ginekomastia, penurunan libido, impotensia, menstruasi yang tidak teratur, dan
kadang-kadang insufisiensi adrenal.(Muarray&Graner, 2009)
Karena anttijamur azol berinteraksi dengan enzim P450 yang juga
mengakibatkan metabolisme obat, maka dapat terjadi interaksi antara beberapa
obat yang penting. Peningkatan konsentrasi jamur azol dapat terlihat bila
digunakan isoniazid, fenitonin, atau reimfapin. (Muarray&Graner, 2009)

BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Obat antijamur berdasarkan cara penggunaannya terbagi atas

obat

antijamur sistemik dan topikal. Berdasarkan tempat kerjanya terbagi menjadi


empat golongan utama yaitu polien, azol, alilamin, dan ekinokandin.
Golongan azol terbagi dua berdasarkan jumlah nitrogen pada cincin azol yaitu
17

kelompok imidazol dan triazol. Golongan azol bekerja menghambat


biosintesis ergosterol yang merupakan sterol utama untuk mempertahankan
integritas membran sel jamur. Bekerja dengan cara menginhibisi enzim
sitokrom P 450, C-14--demethylase yang bertanggung jawab merubah
lanosterol menjadi ergosterol, hal ini mengakibatkan dinding sel jamur
menjadi

permeabel

menghambat

sintesis

dan

terjadi

testosteron

penghancuran
dan

kortisol.

jamur.

Ketokenazol

Penghambatan

ini

mengakibatkan ginekomastia, penurunan libido, impotensia, menstruasi yang


tidak teratur, dan kadang-kadang insufisiensi adrenal.
4.2 Saran
Adanya penelitian yang lebih lanjut akan lebih bermanfaat seperti
pengembangan penelitian tentang triazol karena metabolisme yang lebih
lambat dan efek yang sedikit dibandingkan imidazol. Dengan adanya
penelitian lebih lanjut dapat bermanfaat bagi penderita infeksi jamur.

DAFTAR PUSTAKA
Ashley ES et.al. 2006. Pharmacology of systemic antifungal agents. Clinical
Infectious Disease D ;43 (Suppl 1):28-39
Bellantoni MS, Konnikov N. 2008. Oral antifungal agents. In: Wolff K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BS, Paller AS, Leffel DJ. eds.

18

Fitzpatrickss Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: Mc


Graw-Hill. p 2211-2217
Bennet JE. 2006. Antimicrobial Agents: Antifungal Agents. In: Brunton LL,
Lazo JS, Parker KL. Goodman & Gilman's: The Pharmacological Basis Of
Therapeutics. 11th Ed. New York: Mc Graw-Hill.
Dismukes WE. 2000. Introduction to antifungal drugs. Clinical infectious
disease ; 30:653-7
Gubbins PO, Anaissie EJ. 2009. Antifungal therapy. In: Anaissie EJ, McGinn
MR, Pfaller. Clinical Mycology. 2nd Ed. China: Elsevier. p161-196
Gupta AK. 2002. Systemic antifungal agents. In: Wolverton ES, editor.
Comprehensive dermatology drug therapy. Indianapolis, Indiana: W.B.
Saunders Company. Pp 75-99.
Hay RJ. 2008. Deep Fungal Infections. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BS, Paller AS, Leffel DJ. eds. Fitzpatrickss Dermatology in
General Medicine. 7th ed. New York: Mc Graw-Hill. p 1831-1844
High WA, Fitzpatrick JE. 2008. Topical Antifungal Agents. In: Wolff K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BS, Paller AS, Leffel DJ. eds.
Fitzpatrickss Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: Mc
Graw-Hil. p 2116-2121
Kee Joice L, Hyes Evelyn R. 1994. Farmakologi, Pendekatan Proses
Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Kwon-Chung KJ, Bennet JE. 1992. Principles of Antifungal Therapy. In:
Medical Mycology. Philadelphia London. Pp: 81-100.
Lesher J. Woody CMC. 2008. Antimicrobial drugs. In:Bolognia JL Jorrizo JL,
Rapini RP, et al. Eds. Dermatology 2th Ed, Mosby Elsevier.
Marr KA. 2002. Empirical Antifungal Therapy New Options, New Tradeoffs.
N Engl J Med ; 346(4): 278-280
Murray Robert

K.,Granner

Daryl

K.,Rodwell Victor W.2009.Biokimia

Harper.Edisi 27. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC


Nolting S, Fegeler K.1986.Medical Mycology. Springer-Verlag Berlin
Heidelberg.131-62.

19

Onyewu C, Heitman J. 2007. Unique Aplications of Novel Antifungal Drug


Combinations. Anti-Infective Agents in Medicinal Chemistry ; 6: 3-15
Rubin AI, Bagheri B, Scher RK. 2002. Six Novel Antimycotics. Am J Clin
Dermatol ; 3(2): 71-81
Staff Pengajar Departemen Farmakologi

Fakultas Kedokteran Universitas

Sriwijaya.2004.Kumpulan Kuliah Farmakologi.Edisi 2.Jakarta: Penerbit


Buku kedokteran EGC
Verma

S,

Heffernan

MD.

2008.

Superficial

Fungal

Infection:

Dermatophytosis, onychomycosis, Tinea Nigra, Piedra. In: Wolff K,


Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BS, Paller AS, Leffel DJ. eds.
Fitzpatrickss Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: Mc
Graw-Hill. p 1807-1821.
Wu JJ, Pang KR, Huang DB, Trying SK. 2004. Therapy of Systemic Fungal
Infections. Dermatologic Therapy ; 17: 532538
ZhaoX, Calderone RA. 2002. Antifungals currently used in the treatment of
invasive fungal disease. In: Calderone RA, Cihlar RL. Eds. Fungal
pathogenesis principles and clinical applications. USA; Mycology Vol 14 ;
p 559-574

20

Anda mungkin juga menyukai