Anda di halaman 1dari 22

Pengertian Asma

Asma merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas yang terdapat di seluruh
dunia dengan kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan dengan peningkatan kepekaan
saluran napas sehingga memicu episode mengi berulang (wheezing), sesak napas
(breathlessness), dada rasa tertekan (chest tightness), dispnea, dan batuk (cough) terutama
pada malam atau dini hari. (PDPI, 2006; GINA, 2009).
Menurut National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI, 2007), pada individu
yang rentan, gejala asma berhubungan dengan inflamasi yang akan menyebabkan obstruksi
dan hiperesponsivitas dari saluran pernapasan yang bervariasi derajatnya
Epidemiologi
Asma merupakan penyakit kronik yang paling umum di dunia, dimana terdapat 300
juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat terjadi pada anak-anak maupun
dewasa, dengan prevalensi yang lebih besar terjadi pada anak-anak (GINA, 2003). Menurut
data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia, pada
tahun 1986 asma menduduki urutan kelima dari sepuluh penyebab kesakitan (morbiditas)
bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis
kronik, dan emfisema sebagai penyebab kematian (mortalitas) keempat di Indonesia atau
sebesar 5,6%. Lalu pada SKRT 1995, dilaporkan prevalensi asma di seluruh Indonesia
sebesar 13 per 1.000 penduduk (PDPI, 2006).
Dari hasil penelitian Riskesdas, prevalensi penderita asma di Indonesia adalah sekitar
4%. Menurut Sastrawan, dkk (2008), angka ini konsisten dan prevalensi asma bronkial
sebesar 515%

Gambar 2.2 Prevalensi Asma di Dunia.


Sumber: Beasley R. & Ellwood P., 2003

2.1.3. Faktor Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Asma


Adapun faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian asma adalah:
1. Imunitas dasar
Mekanisme imunitas terhadap kejadian inflamasi pada asma kemungkinan terjadi
ekspresi sel Th2 yang berlebihan (NHLBI, 2007). Menurut Moffatt, dkk (2007), gen
ORMDL3 mempunyai hubungan kuat sebagai faktor predisposisi asma.
2. Umur
Insidensi tertinggi asma biasanya mengenai anak-anak (7-10%), yaitu umur 5 14
tahun. Sedangkan pada orang dewasa, angka kejadian asma lebih kecil yaitu sekitar 35% (Asthma and Allergy Foundation of America, 2010). Menurut studi yang
dilakukan oleh Australian Institute of Health and Welfare (2007), kejadian asma pada
kelompok umur 18 34 tahun adalah 14% sedangkan >65 tahun menurun menjadi
8.8%. Di Jakarta, sebuah studi pada RSUP Persahabatan menyimpulkan rerata angka
kejadian asma adalah umur 46 tahun (Pratama dkk, 2009).
3. Jenis Kelamin
Menurut GINA (2009) dan NHLBI (2007), jenis kelamin laki-laki merupakan sebuah
faktor resiko terjadinya asma pada anak-anak. Akan tetapi, pada masa pubertas, rasio
prevalensi bergeser dan menjadi lebih sering terjadi pada perempuan (NHLBI, 2007).
Pada manusia dewasa tidak didapati perbedaan angka kejadian asma di antara kedua
jenis kelamin (Maryono, 2009).
4. Faktor pencetus
Paparan terhadap alergen merupakan faktor pencetus asma yang paling penting.
Alergen allergen ini dapat berupa kutu debu, kecoak, binatang, dan polen/tepung
sari. Kutu debu umumnya ditemukan pada lantai rumah, karpet dan tempat tidur yang
kotor. Kecoak telah dibuktikan menyebabkan sensitisasi alergi, terutama pada rumah
di perkotaan (NHLBI, 2007). Menurut Ownby dkk (2002) dalam GINA (2009),
paparan terhadap binatang, khususnya bulu anjing dan kucing dapat meningkatkan
sensitisasi alergiasma. Konsentrasi polen di udara bervariasi pada setiap daerah dan
biasanya dibawa oleh angin dalam bentuk partikel partikel besar. Iritan iritan
berupa paparan terhadap rokok dan bahan kimia juga telah dikaitkan dengan kejadian
asma. Dimana rokok diasosiasikan dengan penurunan fungsi paru pada penderita
asma, meningkatkan derajat keparahan asma, dan mengurangi responsivitas terhadap
pengobatan asma dan pengontrolan asma. Menurut Dezateux dkk (1999), balita dari
ibu yang merokok mempunyai resiko 4 kali lebih tinggi menderita kelainan seperti
mengi dalam tahun pertama kehidupannya Kegiatan fisik yang berat tanpa diselingi
istirahat yang adekuat juga dapat memicu terjadinya serangan asma (Nurafiatin dkk,
2007). Riwayat penyakit infeksi saluran pernapasan juga telah dihubungkan dengan
kejadian asma.
Menurut sebuat studi prospektif oleh Sigurs dkk (2000), sekitar 40% anak penderita
asma dengan riwayat infeksi saluran pernapasan (Respiratory syncytial virus) akan
terus menderita mengi atau menderita asma dalam kehidupannya.

5. Status sosioekonomik
Mielck dkk (1996) menemukan hubungan antara status sosioekonomik / pendapatan
dengan prevalensi derajat asma berat. Dimana, prevalensi derajat asma berat paling
banyak terjadi pada penderita dengan status sosioekonomi yang rendah, yaitu sekitar
40%.
Diagnosis
Seperti pada penyakit lain, diagnosis penyakit asma dapat ditegakkan dengan
anamnesis yang baik. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan faal paru akan lebih meningkatkan
nilai diagnostik.
2.1.4.1. Anamnesis
Anamnesis yang baik meliputi riwayat tentang penyakit/gejala, yaitu:
1. Asma bersifat episodik, sering bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan
2. Asma biasanya muncul setelah adanya paparan terhadap alergen, gejala musiman,
riwayat alergi/atopi, dan riwayat keluarga pengidap asma
3. Gejala asma berupa batuk, mengi, sesak napas yang episodik, rasa berat di dada dan
berdahak yang berulang
4. Gejala timbul/memburuk terutama pada malam/dini hari
5. Mengi atau batuk setelah kegiatan fisik
6. Respon positif terhadap pemberian bronkodilator
2.1.4.2. Pemeriksaan Fisik
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan fisik dapat normal
(GINA, 2009). Kelainan pemeriksaan fisik yang paling umum ditemukan pada auskultasi
adalah mengi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada
pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Oleh karena itu,
pemeriksaan fisik akan sangat membantu diagnosis jika pada saat pemeriksaan terdapat
gejala-gejala obstruksi saluran pernapasan (Chung, 2002).
Sewaktu mengalami serangan, jalan napas akan semakin mengecil oleh karena
kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi mukus. Keadaan ini dapat
menyumbat saluran napas; sebagai kompensasi penderita akan bernapas pada volume paru
yang lebih besar untuk mengatasi jalan napas yangmengecil (hiperinflasi). Hal ini akan
menyebabkan timbulnya gejala klinis berupabatuk, sesak napas, dan mengi (GINA, 2009).
2.1.4.3. Faal Paru
Pengukuran faal paru sangat berguna untuk meningkatkan nilai diagnostik. Ini
disebabkan karena penderita asma sering tidak mengenal gejala dan kadar keparahannya,
demikian pula diagnosa oleh dokter tidak selalu akurat. Faal paru menilai derajat keparahan
hambatan aliran udara, reversibilitasnya, dan membantu kita menegakkan diagnosis asma.
Akan tetapi, faal paru tidak mempunyai hubungan kuat dengan gejala, hanya sebagai
informasi tambahan akan kadar kontrol terhadap asma (Pellegrino dkk, 2005). Banyak
metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah dianggap sebagai standard pemeriksaan
adalah: (1) pemeriksaan spirometri dan (2) Arus Puncak Ekspirasi meter (APE). Pemeriksaan
spirometri merupakan pemeriksaan hambatan jalan napas dan reversibilitas yang

direkomendasi oleh GINA (2009). Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP)
dan kapasiti vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui spirometri.
Untuk mendapatkan hasil yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 3 ekspirasi. Banyak
penyakit paru-paru menyebabkan turunnya angka VEP1. Maka dari itu, obstruksi jalan napas
diketahui dari nilai VEP1 prediksi (%) dan atau rasio VEP/KVP (%).
Pemeriksaan dengan APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai
alternatif dengan memantau variabilitas harian pagi dan sore (tidak lebih dari 20%). Untuk
mendapatkan variabiliti APE yang akurat, diambil nilai terendah pada pagi hari sebelum
mengkonsumsi bronkodilator selama satu minggu (Pada malam hari gunakan nilai APE
tertinggi). Kemudian dicari persentase dari nilai APE terbaik (PDPI, 2006).
2.1.5. Klasifikasi
Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan faal paru dapat ditentukan
klasifikasi (derajat) asma. Lihat tabel 2.3.
Tabel 2. 1 Klasifikasi Derajat Berat Asma Berdasarkan Gambaran Klinis

Derajat Asma

Gejala

I. Intermiten

Bulanan
Gejala < 1x /
minggu
Tanpa gejala di luar
serangan
Serangan singkat

II. Persisten
Ringan

III. Persisten
Sedang

Gejala
Malam

Faal paru

APE 80 %
2 kali
sebulan

Mingguan

APE 80 %

Gejala > 1x / > 2 kali


minggu, tetapi < 1x
sebulan
/ hari
Serangan dapat
mengganggu
aktiviti dan tidur

VEP1
80 %
nilai prediksi

Harian
Gejala setiap hari
Serangan
mengganggu
aktiviti dan tidur

> 1x /
seming
gu

APE 80 % nilai
terbaik
Variabiliti APE <
20 %
APE 60 - 80 %
VEP1
60 - 80 %
nilai prediksi
APE 60 - 80 %

IV. Persisten
Berat

Membutuhkan
bronkodilator setiap
hari

nilai terbaik
Variabiliti APE >
30 %

Kontinyu

APE 60 %

Gejala terus
menerus
Sering kambuh
Aktiviti fisik
terbatas

Sering

VEP1
60 %
nilai prediksi
APE 60 % nilai
terbaik
APE 60 % nilai
terbaik

Sumber: PDPI, 2006.


2.1.6. Penatalaksanaan
Tujuan utama dari penatalaksanaan asma adalah dapat mengontrol manifestasi klinis
dari penyakit untuk waktu yang lama, meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup
agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas seharihari. GINA (2009) dan PDPI (2006) menganjurkan untuk melakukan penatalaksanaan
berdasarakan kontrol. Untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang terkontrol
terdapat dua faktor yang perlu dipertimbangkan, yaitu:
1. Medikasi
2. Pengobatan berdasarkan derajat
2.1.6.1. Medikasi
Menurut PDPI (2006), medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara seperti
inhalasi, oral dan parenteral. Dewasa ini yang lazim digunakan adalah melalui inhalasi agar
langsung sampai ke jalan napas dengan efek sistemik yang minimal ataupun tidak ada.
Macammacam pemberian obat inhalasi dapat melalui inhalasi dosis terukur (IDT), IDT
dengan alat bantu (spacer), Dry powder inhaler (DPI), breathactuated IDT, dan nebulizer.
Medikasi asma terdiri atas pengontrol (controllers) dan pelega (reliever). Pengontrol adalah
medikasi asma jangka panjang, terutama untuk asma persisten, yang digunakan setiap hari
untuk menjaga agar asma tetap terkontrol (PDPI, 2006).
Menurut PDPI (2006), pengontrol, yang sering disebut sebagai pencegah terdiri dari:
1. Glukokortikosteroid inhalasi dan sistemik
2. Leukotriene modifiers
3. Agonis -2 kerja lama (inhalasi dan oral)
4. Metilsantin (teofilin)
5. Kromolin (Sodium Kromoglikat dan Nedokromil Sodium)
Pelega adalah medikasi yang hanya digunakan bila diperlukan untuk cepat mengatasi
bronkokonstriksi dan mengurangi gejala gejala asma. Prinsip kerja obat ini adalah dengan
mendilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau menghambat

bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada, dan
batuk. Akan tetapi golongan obat ini tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau
menurunkan hipersensitivitas jalan napas.
Pelega terdiri dari:
1. Agonis -2 kerja singkat
2. Kortikosteroid sistemik
3. Antikolinergik (Ipratropium bromide)
4. Metilsantin
2.1.6.2. Pengobatan Berdasarkan Derajat
Menurut GINA (2009), pengobatan berdasarkan derajat asma dibagi menjadi:
1. Asma Intermiten
a. Umumnya tidak diperlukan pengontrol
b. Bila diperlukan pelega, agonis -2 kerja singkat inhalasi dapat diberikan. Alternatif
dengan agonis -2 kerja singkat oral, kombinasi teofilin kerja singkat dan agonis -2
kerja singkat oral atau antikolinergik inhalasi
c. Bila dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali seminggu selama tiga bulan, maka
sebaiknya penderita diperlakukan sebagai asma persisten ringan
2. Asma Persisten Ringan
a. Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah progresivitas
asma, dengan pilihan:
Glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah (diberikan sekaligus atau terbagi dua kali
sehari) dan agonis -2 kerja lama inhalasi
Budenoside
: 200400 g/hari
Fluticasone propionate : 100250 g/hari
Teofilin lepas lambat
Kromolin
Leukotriene modifiers
b. Pelega bronkodilator (Agonis -2 kerja singkat inhalasi) dapat diberikan bila perlu
3. Asma Persisten Sedang
a. Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah progresivitas
asma, dengan pilihan:
Glukokortikosteroid inhalasi (terbagi dalam dua dosis) dan agonis -2 kerja lama
inhalasi
Budenoside: 400800 g/hari
Fluticasone propionate : 250500 g/hari
Glukokortikosteroid inhalasi (400800 g/hari) ditambah teofilin lepas lambat
Glukokortikosteroid inhalasi (400800 g/hari) ditambah agonis -2 kerja lama oral
Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800 g/hari)
Glukokortikosteroid inhalasi (400800 g/hari) ditambah leukotriene modifiers
b. Pelega bronkodilator dapat diberikan bila perlu

Agonis -2 kerja singkat inhalasi: tidak lebih dari 34 kali sehari,


atau
Agonis -2 kerja singkat oral, atau
Kombinasi teofilin oral kerja singkat dan agonis -2 kerja singkat
Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak digunakan bila penderita telah menggunakan
teofilin lepas lambat sebagai pengontrol
c. Bila penderita hanya mendapatkan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah dan
belum terkontrol; maka harus dit ambahkan agonis -2 kerja lama inhalasi
d. Dianjurkan menggunakan alat bantu / spacer pada inhalasi bentuk IDTatau kombinasi
dalam satu kemasan agar lebih mudah
4. Asma Persisten Berat

Tujuan terapi ini adalah untuk mencapai kondisi sebaik mungkin, gejala
seringan mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal mungkin, faal paru
(APE) mencapai nilai terbaik, variabiliti APE seminimal mungkin dan efek
samping obat seminimal mungkin
Pengontrol kombinasi wajib diberikan setiap hari agar dapat mengontrol asma,
dengan pilihan:
Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (terbagi dalam dua dosis) dan agonis
-2 kerja lama inhalasi
Beclomethasone dipropionate: >800 g/hari
Selain it u t eofilin lepas lambat , agonis -2 kerja lama oral, dan leukotriene
modifiers dapat digunakan sebagai alternative agonis -2 kerja lama inhalai
ataupun sebagai tambahan terapi
Pemberian budenoside sebaiknya menggunakan spacer, karena dapat
mencegar efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia, dan batuk
karena iritasi saluran napas atas

A. DEFINISI
BAB II
TINJAUAN TEORI
Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten, reversibel dimana trakea dan brokhi
berespon dalam secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu (Smeltzer & Bare, 2002). Asma
adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan bronkus terhadap berbagai
rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan napas yang luas dan derajatnya
dapat berubah- ubah, baik secara spontan maupun sebagai hasil pengobatan (Muttaqin,2008).
Asma adalah wheezing berulang dan atau batuk persisten dalam keadaan dimana asma adalah
yang paling mungkin, sedangkan sebab lain yang lebih jarang telah disingkirkan (Mansjoer,
2008). Asma adalah suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensitivitas cabang-cabang
trakeobronkhial terhadap berbagai jenis rangsangan (Pierce, 2007).
Asma Bronkhial adalah penyakit pernafasan objektif yang ditandai oleh spasme akut otot
polos bronkus. Hal ini menyebabkan obstruksi aliran udara dan penurunan ventilasi alveolus
(Elizabeth, 2000). Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Asma
merupakan penyempitan jalan napas yang disebabkan karena hipersensitivitas cabang-cabang
trakeobronkhial terhadap stimuli tertentu.
Sedangkan Asma Bronkhial merupakan suatu penyakit gangguan jalan nafas obstruktif yang
bersifat reversible, ditandai dengan terjadinya penyempitan bronkus, reaksi obstruksi akibat
spasme otot polos bronkus, obstruksi aliran udara, dan penurunan ventilasi alveoulus dengan
suatu keadaan hiperaktivitas bronkus yang khas.

B. ANATOMI FISIOLOGI
1. Anatomi fisiologi sistem pernapasan

Gambar 1 Anatomi sistem pernapasan

Gambar 2 Anatomi keadaan normal dan Asma Bronkhial


Organ pernapasan
a. Hidung
Hidung atau naso atau nasal merupakan saluran udara yang pertama, mempunyai dua lubang
(kavum nasi), dipisahkan oleh sekat hidung (septum nasi). Di dalamnya terdapat bulu-bulu
yang berguna untuk menyaring udara, debu, dan kotoran yang masuk ke dalam lubang
hidung.
b. Faring
Faring atau tekak merupakan tempat persimpangan antara jalan pernapasan dan jalan
makanan, terdapat di bawah dasar tengkorak, di belakang rongga hidung, dan mulut sebelah
depan ruas tulang leher. Hubungan faring dengan organ-organ lain adalah ke atas
berhubungan dengan rongga hidung, dengan perantaraan lubang yang bernama koana, ke
depan berhubungan dengan rongga mulut, tempat hubungan ini bernama istmus fausium, ke
bawah terdapat 2 lubang (ke depan lubang laring dan ke belakang lubang esofagus).
c. Laring
Laring atau pangkal tenggorokan merupakan saluran udara dan bertindak sebagai
pembentukan suara, terletak di depan bagian faring sampai ketinggian vertebra servikal dan
masuk ke dalam trakhea dibawahnya. Pangkal tenggorokan itu dapat ditutup oleh sebuah
empang tenggorokan yang biasanya disebut epiglotis, yang terdiri dari tulang-tulang rawan
yang berfungsi pada waktu kita menelan makanan menutupi laring.

d. Trakea
rakea atau batang tenggorokan merupakan lanjutan dari laring yang dibentuk oleh 16 sampai
20 cincin yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang berbentuk seperti kuku kuda (huruf C)
sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir yang berbulu getar yang disebut sel bersilia, hanya
bergerak ke arah luar. Panjang trakea 9 sampai 11 cm dan di belakang terdiri dari jarigan ikat
yang dilapisi oleh otot polos.
e. Bronkus
Bronkus atau cabang tenggorokan merupakan lanjutan dari trakea, ada 2 buah yang terdapat
pada ketinggian vertebra torakalis IV dan V, mempunyai struktur serupa dengan trakea dan
dilapisi oleh jenis set yang sama. Bronkus itu berjalan ke bawah dan ke samping ke arah
tampuk paru-paru.Bronkus kanan lebih pendek dan lebih besar dari pada bronkus kiri, terdiri
dari 6-8 cincin, mempunyai 3 cabang. Bronkus kiri lebih panjang dan lebih ramping dari yang
kanan, terdiri dari 9-12 cincin mempunyai 2 cabang.Bronkus bercabang-cabang, cabang yang
lebih kecil disebut bronkiolus (bronkioli). Pada bronkioli tidak terdapat cincin lagi, dan pada
ujung bronkioli terdapat gelembung paru atau gelembung hawa atau alveoli.
f. Paru-paru
Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari gelembung
(gelembung hawa atau alveoli). Gelembug alveoli ini terdiri dari sel-sel epitel dan endotel.
Jika dibentangkan luas permukaannya kurang lebih 90 m. Pada lapisan ini terjadi pertukaran
udara, O2 masuk ke dalam darah dan CO2 dikeluarkan dari darah. Banyaknya gelembung
paru-paru ini kurang lebih 700.000.000 buah (paru-paru kiri dan kanan) Paru-paru dibagi dua
yaitu paru-paru kanan, terdiri dari 3 lobus (belahan paru), lobus pulmo dekstra superior, lobus
media, dan lobus inferior. Tiap lobus tersusun oleh lobulus. Paru-paru kiri, terdiri dari pulmo
sinistra lobus superior dan lobus inferior. Tiap-tiap lobus terdiri dari belahan yang kecil
bernama segmen. Paru-paru kiri mempunyai 10 segmen yaitu 5 buah segmen pada lobus
superior, dan 5 buah segmen pada inferior. Paru-paru kanan mempunyai 10 segmen yaitu 5
buah segmen pada lobus superior, 2 buah segmen pada lobus medialis, dan 3 buah segmen
pada lobus inferior. Tiap-tiap segmen ini masih terbagi lagi menjadi belahan-belahan yang
bernama lobulus.
Di antara lobulus satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan ikat yang berisi pembuluh
darah getah bening dan saraf, dan tiap lobulus terdapat sebuah bronkiolus. Di dalam lobulus,
bronkiolus ini bercabang-cabang banyak sekali, cabang ini disebut duktus alveolus. Tiap
duktus alveolus berakhir pada alveolus yang diameternya antara 0,2-0,3 mm. Letak paru-paru
di rongga dada datarannya menghadap ke tengah rongga dada atau kavum mediastinum. Pada
bagian tengah terdapat tampuk paru-paru atau hilus. Pada mediastinum depan terletak
jantung. Paru-paru dibungkus oleh selaput yang bernama pleura. Pleura dibagi menjadi 2
yaitu, yang pertama pleura visceral (selaput dada pembungkus) yaitu selaput paru yang
langsung membungkus paru-paru. Kedua pleura parietal yaitu selaput yang melapisi rongga
dada sebelah luar. Antara keadaan normal, kavum pleura ini vakum (hampa) sehingga paruparu dapat berkembang kempis dan juga terdapat sedikit cairan (eksudat) yang berguna untuk
meminyaki permukaanya (pleura), menghindarkan gesekan antara paru-paru dan dinding
dada sewaktu ada gerakan bernapas.
Proses terjadi pernapasan

Gambar 3 Proses pernapasan


Pernapasan (respirasi) adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung oksigen
serta menghembuskan udara yang banyak mengandung karbondioksida sebagai sisa dari
oksidasi keluar dari tubuh. Penghisapan udara ini disebut inspirasi dan menghembuskan
disebut ekspirasi. Jadi, dalam paru-paru terjadi pertukaran zat antara oksigen yang ditarik dan
udara masuk kedalam darah dan CO2 secara osmosis. Kemudian CO2 dikeluarkan dari darah
dikeluarkan melalui traktus respiratorius (jalan pernapasan) dan masuk kedalam tubuh
melalui kapiler-kapiler vena pulmonalis kemudian massuk ke serambi kiri jantung (atrium
sinistra) menuju ke aorta kemudian ke seluruh tubuh (jaringan-jaringan dan sel-sel), di sini
terjadi oksidasi (pembakaran). Sebagai sisa dari pembakaran adalah CO2 dan dikeluarkan
melalui peredaran darah vena masuk ke jantung (serambi kanan atau atrium dekstra) menuju
ke bilik kanan (ventrikel dekstra) dan dari sini keluar melalui arteri pulmonalis ke jaringan
paru-paru. Akhirnya dikeluarkan menembus lapisan epitel dari alveoli. Proses pengeluaran
CO2 ini adalah sebagian dari sisa metabolisme, sedangkan sisa dari metabolisme lainnya akan
dikeluarkan melalui traktus urogenitalis dan kulit. Setelah udara dari luar diproses, di dalam
hidung masih terjadi perjalanan panjang menuju paru-paru (sampai alveoli). Pada laring
terdapat epiglotis yang berguna untuk menutup laring sewaktu menelan, sehingga makanan
tidak masuk ke trakhea, sedangkan waktu bernapas epiglotis terbuka, begitu seterusnya. Jika
makanan masuk ke dalam laring, maka akan mendapat serangan batuk, hal tersebut untuk
mencoba mengeluarkan makanan tersebt dari laring. Terbagi dalam 2 bagian yaitu inspirasi
(menarik napas) dan ekspirasi (menghembuskan napas). Bernapas berarti melakukan inpirasi
dan eskpirasi secara bergantian, teratur, berirama, dan terus menerus. Bernapas merupakan
gerak refleks yang terjadi pada otot-otot pernapasan. Refleks bernapas ini diatur oleh pusat
pernapasan yang terletak di dalam sumsum penyambung (medulla oblongata). Oleh karena
seseorang dapat menahan, memperlambat, atau mempercepat napasnya, ini berarti bahwa
refleks bernapas juga dibawah pengaruh korteks serebri. Pusat pernapasan sangat peka
terhadap kelebihan kadar CO2 dalam darah dan kekurangan dalam darah. Inspirai terjadi bila
muskulus diafragma telah mendapat rangsangan dari nervus frenikus lalu mengerut datar.
Muskulus interkostalis yang letaknya miring, setelah, mendapat rangsangan kemudian
mengerut dan tulang iga (kosta) menjadi datar. Dengan demikian jarak antara sternum (tulang
dada) dan vertebra semakin luas dan melebar. Rongga dada membesar maka pleura akan
tertarik, yang menarik paru-paru sehingga tekanan udara di dalamnya berkurang dan
masuklah udara dari luar. Ekspirasi, pada suatu saat otot-otot akan kendor lagi (diafragma
akan menjadi cekung, muskulus interkostalis miring lagi) dan dengan demikian rongga dan
dengan demikian rongga dada menjadi kecil kembali, maka udara didorong keluar. Jadi
proses respirasi atau pernapasan ini terjadi karena adanya perbedaan tekanan antara rongga
pleura dan paru-paru.

Pernapasan dada, pada waktu seseorang bernapas, rangka dada terbesar bergerak, pernapasan
ini dinamakan pernapasan dada. Ini terdapat pada rangka dada yang lunak, yaitu pada orangorang muda dan pada perempuan. Pernapasan perut, jika pada waktu bernapas diafragma
turun naik, maka ini dinamakan pernapasan perut. Kebanyakan pada orang tua, Karena tulang
rawannya tidak begitu lembek dan bingkas lagi yang disebabkan oleh banyak zat kapur yang
mengendap di dalamnya dan banyak ditemukan pada laki-laki.
2. Fisiologi sistem pernapasan
Oksigen dalam tubuh dapat diatur menurut keperluan. Manusia sangat membutukan okigen
dalam hidupnya, kalau tidak mendapatkan oksigen selama 4 menit akan mengakibatkan
kerusakan pada otak yang tidak dapat diperbaiki lagidan bisa menimbulkan kematian. Kalau
penyediaan oksigen berkurang akan menimbulkan kacau pikiran dan anoksia serebralis.
a. Pernapaan paru
Pernapasan paru adalah pertukaran oksigen dan karbondioksida yang terjadi pada paru-paru.
Pernapasan melalui paru-paru atau pernapasan eksterna, oksigen diambil melalui mulut dan
hidung pada waktu bernapas yang oksigen masuk melalui trakea sampai ke alveoli
berhubungan dengan darah dalam kapiler pulmonar. Alveoli memisahkan okigen dari darah,
oksigen menembus membran, diambil oleh sel darah merah dibawa ke jantung dan dari
jantung dipompakan ke seluruh tubuh.
Di dalam paru-paru karbondioksida merupakan hasil buangan yang menembus membran
alveoli. Dari kapiler darah dikeluarkan melalui pipa bronkus berakhir sampai pada mulut dan
hidung. Empat proses yang berhubungan dengan pernapasan pulmoner :
1) Ventilasi pulmoner, gerakan pernapasan yang menukar udara dalam alveoli dengan
udara luar.
2) Arus darah melalui paru-paru, darah mengandung oksigen masuk ke seluruh tubuh,
karbondioksida dari seluruh tubuh masuk ke paru-paru.
3) Distribusi arus udara dan arus darah sedemikian rupa dengan jumlah yang tepat, yang
bisa dicapai untuk semua bagian.
4) Difusi gas yang menembus membran alveoli dan kapiler karbondioksida lebih mudah
berdifusi dari pada oksigen.
Proses pertukaran oksigen dan karbondioksida terjadi ketika konsentrasi dalam darah
mempengaruhi dan merangsang pusat pernapasan terdapat dalam otak untuk memperbesar
kecepatan dalam pernapasan, sehingga terjadi pengambilan O2 dan pengeluaran CO2 lebih
banyak. Darah merah (hemoglobin) yang banyak mengandunng oksigen dari seluruh tubuh
masuk ke dalam jaringan, mengambil karbondioksida untuk dibawa ke paru-paru dan di paruparu terjadi pernapasan eksterna.
b. Pernapasan sel
Transpor gas paru-paru dan jaringan
Selisih tekanan parsial antara O2 bahwa kunci dari pergerakangas O2 dalam jaringan melalui
darah, sedangkan CO2 dan CO2 menekankan mengalir dari alveoli masuk ke mengalir dari
jaringan ke alveoli melalui pembuluh darah.Akan tetapi jumlah kedua gas yang ditranspor ke
jaringan dan dari jaringan secara keseluruhan tidak cukup bila O 2 membawa O2 tidak larut
alam darah dan bergabung dengan protein (hemoglobin). Demikian juga CO 2 yang larut
masuk ke dalam serangkaian reaksi kimia reversibel (rangkaian perubahan udara) yang
mengubah menjadi senyawa lain. Adanya hemoglobin menaikkan kapasitas pengangkutan O2
dan reaksi CO2 menaikkan kadar CO2

Pengangkutan oksigen ke jaringan


Sistem pengangkutan O2 dalam darah sampai 70 kali dalam darah mnjadi 17 kali. dalam
tubuh terdiri dari paru-paru dan sistem kardiovaskuler. Oksigen masuk ke jaringan
bergantung pada jumlahnya yang masuk ke dalam paru-paru, pertukaran gas yang cukup pada
paru-paru, aliran darah ke jaringan dan kapasitas pengangkutan O 2 dalam darah.Aliran darah
bergantung pada derajat konsentrasi dalam jaringan dan curah jantung. Jumlah O2 ditentukan
oleh jumlah.dalam darah yang larut, hemoglobin, dan afinitas (daya tarik) hemoglobin.
Transpor oksigen melalui beberapa tahap yaitu :
1) Tahap I : oksigen atmosfer masuk ke dalam paru-paru. Pada waktu kita
menarik napas tekanan parsial oksigen dalam atmosfer 159 mmHg. Dalam
alveoli komposisi udara berbeda dengan komposisi udara atmosfer tekanan
parsial O2 alveoli 105 mmHg.
2) Tahap II : darah mengalir dari jantung, menuju ke paru-paru untuk mengambil
oksigen yang berada dalam alveoli. Dalam darah ini terdapat oksigen dengan
tekanan parsial 40 mmHg. Karena adanya perbedaan tekanan parsial itu
apabila tiba pada pembuluh kapiler yang berhubungan dengan membran
alveoli maka oksigen yang berada dalam alveoli dapat berdifusi masuk ke
dalam pembuluh kapiler. Setelah terjadi proses difusi tekanan parsial oksigen
dalam pembuluh menjadi 100 mmHg.
3) Tahap III : oksigen yang telah berada dalam pembuluh darah diedarkan
keseluruh tubuh. Ada dua mekanisme peredaran oksigen dalam darah yaitu
oksigen yang larut dalam plasma darah yang merupakan bagian terbesar dan
sebagian kecil oksigen yang terikat pada hemoglobin dalam darah. Derajat
kejenuhan hemoglobin dengan O2 parsial CO2 atau pH. Jumlah O2 dalam
bergantung pada tekanan yang diangkut ke jaringan bergantung pada jumlah
hemoglobin dalam darah.
4) Tahap IV : sebelum sampai pada sel yang membutuhkan, oksigen dibawa
melalui cairan interstisial lebih dahulu. Tekanan parsial oksigen dalam cairan
interstisial 20 mmHg. Perbedaan tekanan oksigen dalam pembuluh darah arteri
(100 mmHg) dengan tekanan parsial oksigen dalam cairan interstisial (20
mmHg) menyebabkan terjadinya difusi oksigen yang cepat dari pembuluh
kapiler ke dalam cairan interstisial.
5) Tahap V : tekanan parsial oksigen dalam sel kira-kira antara 0-20 mmHg.
Oksigen dari cairan interstisial berdifusi masuk ke dalam sel. Dalam sel
oksigen ini digunakan untuk reaksi metabolism yaitu reaksi oksidasi senyawa
yang berasal darimakanan (karbohidrat, lemak, dan protein) menghasilkan
H2O, CO2 dan energi.
Reaksi hemoglobin dan oksigen
Dinamika reaksi hemoglobin sangat cocok untuk mengangkut. Hemoglobin adalaah protein
yang terikat pada rantai polipeptida, dibentuk porfirin dan satu atom besi ferro. Masingmasing atom besi dapat mengikat secara reversible (perubahan arah) dengan satu molekul O 2.
Besi berada dalam bentuk ferro sehingga reaksinya adalah oksigenasi bukan oksidasi.
Transpor karbondioksida

Kelarutan CO2 dalam darah kira-kira 20 kali kelarutan O2 sehingga terdapat lebih banyak
CO2 dari pada O2 dalam larutan sederhana. CO2 berdifusi dalam sel darah merah dengan cepat
mengalami hidrasi menjadi H2CO2 karena adanya anhidrase (berkurangnya sekresi kerigat)
karbonat berdifusi ke dalam plasma.
Penurunan kejenuhan hemoglobin terhadap O2 kapiler-kapiler jaringan.Sebagian dari CO2
bila darah melalui dalam sel darah merah beraksi dengan gugus amino dari protein,
hemoglobin membentuk senyawa karbamino (senyawa karbondioksida). Besarnya kenaikan
kapasitas darah mengangkut CO2 oleh selisih antara garis kelarutan CO2 antara 49 ml CO2
ditunjukkan dan garis kadar total CO2 dalam darah arterial 2,6 ml dalah senyawa karbamino
dan 43,8 ml dalam HCO2(Syaifuddin, 2006).
C. ETIOLOGI
Sampai saat ini etiologi dari Asma Bronkhial belum diketahui. Suatu hal yang yang menonjol
pada penderita Asma adalah fenomena hiperaktivitas bronkus. Bronkus penderita asma sangat
peka terhadap rangsangan imunologi maupun non imunologi. Adapun rangsangan atau
faktor pencetus yang sering menimbulkan Asma adalah:
1. Faktor ekstrinsik (alergik) : reaksi alergik yang disebabkan oleh alergen atau alergen
yang dikenal seperti debu, serbuk-serbuk, bulu- bulu binatang.
2. Faktor intrinsik(non-alergik) : tidak berhubungan dengan alergen, seperti common
cold, infeksi traktus respiratorius, latihan, emosi, dan polutan lingkungan dapat
mencetuskan serangan.
3. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk
alergik dan non-alergik (Smeltzer & Bare, 2002).
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan
Asma Bronkhial yaitu :
a. Faktor predisposisi
Genetik
Faktor yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana
cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai
keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini,
penderita sangat mudah terkena penyakit Asma Bronkhial jika terpapar dengan faktor
pencetus. Selain itu hipersensitivitas saluran pernapasannya juga bisa diturunkan.
a. Faktor presipitasi
1. Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
a) Inhalan : yang masuk melalui saluran pernapasan
Contoh : debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi
b) Ingestan : yang masuk melalui mulut
Contoh : makanan dan obat-obatan
c) Kontaktan : yang masuk melalui kontak dengan kulit
Contoh : perhiasan, logam dan jam tangan
2. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi Asma.
Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan Asma.

Kadang- kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti musim hujan, musim
kemarau.
3. Stres
Stres atau gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan Asma, selain itu juga
bisa memperberat serangan Asma yang sudah ada. Disamping gejala Asma yang
timbul harus segera diobati penderita Asma yang mengalami stres atau gangguan
emosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika
stresnya belum diatasi maka gejala belum bisa diobati.
4. Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan Asma. Hal ini
berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium
hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu
libur atau cuti.
5. Olah raga atau aktifitas jasmani
Sebagian besar penderita Asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas
jasmani atau olah raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan
Asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas
tersebut.
D. PATOFISIOLOGI
Suatu serangan Asma merupakan akibat obstruksi jalan napas difus reversible. Obstruksi
disebabkan oleh timbulnya tiga reaksi utama yaitu kontraksi otot-otot polos baik saluran
napas, pembengkakan membran yang melapisi bronki, pengisian bronki dengan mukus yang
kental. Selain itu, otot-otot bronki dan kelenjar mukusa membesar, sputum yang kental,
banyak dihasilkan dan alveoli menjadi hiperinflasi, dengan udara terperangkap didalam
jaringan paru.Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-sel mast dalam paru.
Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen dengan antibody,
menyebabkan pelepasan produk sel-sel mast (disebut mediator) seperti histamine, bradikinin,
dan prostaglandin serta anafilaksis dari substansi yang bereaksi lambat (SRS-A). Pelepasan
mediator ini dalam jaringan paru mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan napas,
menyebabkan bronkospasme, pembengkakan membran mukosa, dan pembentukan mucus
yang sangat banyak. Selain itu, reseptor a- dan - adrenergik dari sistem saraf simpatis
terletak dalam bronki. Ketika reseptor a- adrenergik dirangsang, terjadi bronkokonstriksi,
bronkodilatasi terjadi ketika reseptor - adrenergik yang dirangsang. Keseimbangan antara
reseptor a- dan - adrenergik dikendalikan terutama oleh siklik adenosine monofosfat
(cAMP). Stimulasi reseptor a- mengakibatkan penurunan cAMP, yang mengarah pada
peningkatan mediator kimiawi yang dilepaskan oleh sel-sel mast bronkokonstriksi. Stimulasi
reseptor - mengakibatkan peningkatan tingkat cAMP yang menghambat pelepasan mediator
kimiawi dan menyebabakan bronkodilatasi. Teori yang diajukan adalah bahwa penyekatan adrenergik terjadi pada individu dengan Asma. Akibatnya, asmatik rentan terhadap
peningkatan pelepasan mediator kimiawi dan konstriksi otot polos (Smeltzer & Bare, 2002).
A. MANIFESTASI KLINIK
Gejala-gejala yang lazim muncul pada Asma Bronkhial adalah batuk, dispnea, dan wheezing.
Serangan seringkali terjadi pada malam hari. Asma biasanya bermula mendadak dengan
batuk dan rasa sesak dalam dada, disertai dengan pernapasan lambat,wheezing. Ekspirasi
selalu lebih susah dan panjang dibanding inspirasi, yang mendorong pasien unutk duduk
tegak dan menggunakan setiap otot-otot aksesori pernapasan. Jalan napas yang tersumbat
menyebabkan dispnea. Serangan Asma dapat berlangsung dari 30 menit sampai beberapa
jam dan dapat hilang secara spontan. Meskipun serangan asma jarang ada yang fatal, kadang

terjadi reaksi kontinu yang lebih berat, yang disebut status asmatikus, kondisi ini
mengancam hidup (Smeltzer & Bare, 2002).
B. PENATALAKSANAAN
1. Farmakologi
Menurut Long(1996) pengobatan Asma diarahkan terhadap gejala- gejala yang timbul saat
serangan, mengendalikan penyebab spesifik dan perawatan pemeliharaan keehatan optimal
yang umum. Tujuan utama dari berbagai macam pengobatan adalah pasien segera mengalami
relaksasi bronkus. Terapi awal, yaitu:
a. Memberikan oksigen pernasal
b. Antagonis beta 2 adrenergik (salbutamol mg atau fenetoral 2,5 mg atau
terbutalin 10 mg). Inhalasi nebulisasi dan pemberian yang dapat diulang setiap
20 menit sampai 1 jam. Pemberian antagonis beta 2 adrenergik dapat secara
subcutan atau intravena dengan dosis salbutamol 0,25 mg dalam larutan
dekstrose 5%
c. Aminophilin intravena 5-6 mg per kg, jika sudah menggunakan obat ini dalam
12 jam sebelumnya maka cukup diberikan setengah dosis.
d. Kortikosteroid hidrokortison 100-200 mg intravena jika tidak ada respon
segera atau dalam serangan sangat berat
e. Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan napas, termasuk didalamnya
golongan beta adrenergik dan anti kolinergik.
2. Pengobatan secara sederhana atau non farmakologis
Menurut doenges (2000) penatalaksanaan nonfarmakologis asma yaitu:
a. Fisioterapi dada dan batuk efektif membantu pasien untuk mengeluarkan sputum
dengan baik
b. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik
c. Berikan posisi tidur yang nyaman (semi fowler)
d. Anjurkan untuk minum air hangat 1500-2000 ml per hari
e. Usaha agar pasien mandi air hangat setiap hari
f. Hindarkan pasien dari faktor pencetus
C. KOMPLIKASI
Berbagai komplikasi menurut Mansjoer (2008) yang mungkin timbul adalah :
1. Pneumothoraks
Pneumothoraks adalah keadaan adanya udara di dalam rongga pleura yang
dicurigai bila terdapat benturan atau tusukan dada. Keadaan ini dapat
menyebabkan kolaps paru yang lebih lanjut lagi dapat menyebabkan
kegagalan napas.
2. Pneumomediastinum
Pneumomediastinum dari bahasa Yunani pneuma udara, juga dikenal
sebagai emfisema mediastinum adalah suatu kondisi dimana udara hadir di
mediastinum. Pertama dijelaskan pada 1819 oleh Rene Laennec, kondisi ini
dapat disebabkan oleh trauma fisik atau situasi lain yang mengarah ke udara
keluar dari paru-paru, saluran udara atau usus ke dalam rongga dada
3. Atelektasis

4.

5.

6.

7.

Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat


penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat
pernafasan yang sangat dangkal.
Aspergilosis
Aspergilosis merupakan penyakit pernapasan yang disebabkan oleh jamur dan
tersifat oleh adanya gangguan pernapasan yang berat. Penyakit ini juga dapat
menimbulkan lesi pada berbagai organ lainnya, misalnya pada otak dan mata.
Istilah Aspergilosis dipakai untuk menunjukkan adanya infeksi Aspergillus sp.
Gagal napas
Gagal napas dapat tejadi bila pertukaran oksigen terhadap karbodioksida
dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju konsumsi oksigen dan
pembentukan karbondioksida dalam sel-sel tubuh.
Bronkhitis
Bronkhitis atau radang paru-paru adalah kondisi di mana lapisan bagian dalam
dari saluran pernapasan di paru-paru yang kecil (bronkhiolis) mengalami
bengkak. Selain bengkak juga terjadi peningkatan produksi lendir (dahak).
Akibatnya penderita merasa perlu batuk berulang-ulang dalam upaya
mengeluarkan lendir yang berlebihan, atau merasa sulit bernapas karena
sebagian saluran udara menjadi sempit oleh adanya lendir.
Fraktur iga

D. PENGKAJIAAN FOKUS
1. Pengkajian
a. Pola pemeliharaan kesehatan
Gejala Asma dapat membatasi manusia untuk berperilaku hidup normal sehingga
pasien dengan Asma harus mengubah gaya hidupnya sesuai kondisi yang
memungkinkan tidak terjadi serangan Asma
b. Pola nutrisi dan metabolik
Perlu dikaji tentang status nutrisi pasien meliputi, jumlah, frekuensi, dan kesulitankesulitan dalam memenuhi kebutuhnnya. Serta pada pasien sesak, potensial sekali
terjadinya kekurangan dalam memenuhi kebutuhan nutrisi, hal ini karena dispnea saat
makan, laju metabolism serta ansietas yang dialami pasien.
c. Pola eliminasi
Perlu dikaji tentang kebiasaan BAB dan BAK mencakup warna, bentuk, konsistensi,
frekuensi, jumlah serta kesulitan dalam pola eliminasi.
d. Pola aktifitas dan latihan
Perlu dikaji tentang aktifitas keseharian pasien, seperti olahraga, bekerja, dan aktifitas
lainnya. Aktifitas fisik dapat terjadi faktor pencetus terjadinya Asma.
e. Pola istirahat dan tidur
Perlu dikaji tentang bagaiman tidur dan istirahat pasien meliputi berapa lama pasien
tidur dan istirahat. Serta berapa besar akibat kelelahan yang dialami pasien. Adanya
wheezing dan sesak dapat mempengaruhi pola tidur dan istirahat pasien.
f. Pola persepsi sensori dan kognitif
Kelainan pada pola persepsi dan kognitif akan mempengaruhi konsep diri pasien dan
akhirnya mempengaruhi jumlah stresor yang dialami pasien sehingga kemungkinan
terjadi serangan Asma yang berulang pun akan semakin tinggi.
g. Pola hubungan dengan orang lain
Gejala Asma sangat membatasi pasien untuk menjalankan kehidupannya secara
normal. Pasien perlu menyesuaikan kondisinya berhubungan dengan orang lain.
h. Pola reproduksi dan seksual

Reproduksi seksual merupakan kebutuhan dasar manusia, bila kebutuhan ini tidak
terpenuhi akan terjadi masalah dalam kehidupan pasien. Masalah ini akan menjadi
stresor yang akan meningkatkan kemungkinan terjadinya serangan Asma.
i. Pola persepsi diri dan konsep diri
Perlu dikaji tentang pasien terhadap penyakitnya.Persepsi yang salah dapat
menghambat respon kooperatif pada diri pasien. Cara memandang diri yang salah juga
akan menjadi stresor dalam kehidupan pasien.
j. Pola mekanisme dan koping
Stres dan ketegangan emosional merupakan faktor instrinsik pencetus serangan Asma
maka prlu dikaji penyebab terjadinya stress. Frekuensi dan pengaruh terhadap
kehidupan pasien serta cara penanggulangan terhadap stresor.
k. Pola nilai kepercayaan dan spiritual
Kedekatan pasien pada sesuatu yang diyakini di dunia dipercayai dapat meningkatkan
kekuatan jiwa pasien.Keyakinan pasien terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta
pendekatan diri pada-Nya merupakan metode penanggulangan stres yang konstruktif
(Perry, 2005 & Asmadi 2008).

2. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan spirometri
Pemeriksaan spirometri dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator
aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik.Peningkatan FEV1 atau FVC
sebanyak >20% menunjukkan diagnosis Asma.
b. Pemeriksaan tes kulit
Untuk menunjukkan adanya antibodi IgE yang spesifik dalam tubuh.
c. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi dilakukan bila ada kecurigaan terhadap proses patologik di
paru atau komplikasi Asma, seperti pneumothorak, pneumomediastinum, atelektasis,
dan lain-lain.
d. Pemeriksaan analisa gas darah
Pemeriksaan analisa gas darah hanya dilakukan pada penderita dengan serangan Asma
berat.
e. Pemeriksaan sputum
Untuk melihat adanya eosinofil, kristal Charcot Leyden, spiral Churschmann,
pemeriksaan sputum penting untuk menilai adanyamiselium Aspergilus fumigatus.
f. Pemeriksaan eosinofil
Pada penderita Asma, jumlah eosinofil total dalam darah sering meningkat. Jumlah
eosinofil total dalam darah membantu untuk membedakan Asma dari Bronchitis
kronik (Sundaru, 2006)
E. PATHWAYS
F. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi
sekret
2. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan bronkospasme
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen

4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya


pertahanan utama atau imunitas
5. Cemas berhubungan dengan kurangnya tingkat pengetahuan
6. Gangguan pola tidur berhubungan dengan batuk yang berlebih
7. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik
8.
G. RENCANA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi sekret
Tujuan : jalan napas menjadi efektif
Kriteria hasil :
a) Jalan napas bersih
b) Sesak berkurang
c) Batuk efektif
d) Mengeluarkan sekret
Intervensi :
a) Kaji tanda-tanda vital dan auskultasi bunyi napas
Rasional : beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan
napas
b) Berikan pasien untuk posisi yang nyaman
Rasional : peninggian kepala tempat tidur mempermudah fungsi pernapasan
c) Pertahankan lingkungan yang nyaman
Rasional : Pencetus tipe reaksi alergi pernapasan yang dapat mentriger episode
akut.
d) Tingkatkan masukan cairan, denganmemberi air hangat.
Rasional : Membantu mempermudah pengeluaran sekret
e) Dorong atau bantu latihan napas dalam dan batuk efektif
Rasional : Memberikancara untuk mengatasi dan mengontrol
dispnea,mengeluarkan sekret.
f) Dorong atau berikan perawatan mulut
Rasional : higiene mulut yang baik meningkatkan rasa sehat dan mencegah
bau mulut
g) Kolaborasi : pemberian obat dan humidifikasi, seperti nebulizer
Rasional : menurunkan kekentalan sekret dan mengeluarkan sekret
2. ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan bronkospasme
Tujuan : pola napas kembali efektif
Kriteria hasil :
a) Pola napas efektif
b) Bunyi napas normal kembali
c) Batuk berkurang
Intervensi
a) Kaji frekuensi kedalaman pernapasan dan ekspansi dada
Rasional : kecepatan biasanya mencapai kedalaman pernapasan bervariasi tergantung
derajat gagal napas
b) Auskultasi bunyi napas
Rasional : ronchi dan mengi menyertai obstruksi jalan napas
c) Tinggikan kepala dan bentuk mengubah posisi
Rasional : memudahkan dalam ekspansi paru dan pernapasan
d) Kolaborasi pemberian oksigen
Rasional : memaksimalkan bernapas dan menurunkan kerja napas

3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ganguan suplai oksigen


Tujuan :dapat mempertahankan pertukaran gas
Kriteria hasil :
a) Tidak ada dispnea
b) Pernapasan normal
Intervensi
a) Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan
Rasional : berguna dalam evaluasi derajat distres pernapasan dan atau kronisnya
proses penyakit.
b) Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang nyaman untuk
bernapas
Rasional : pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan posisi duduk tinggi dan
latihan napas untuk menurunkan kolaps jalan napas, dispnea, dan kerja napas.
c) Kaji atau awasi secar rutin kulit dan warna membran mukosa
Rasional : Sianosis mungkin perifer (terlihat pada kuku) atau sentra (terlihat sekitar
bibir atau daun telinga). Keabu-abuan dan dianosis sentral mengindikasikan beratnya
hipoksemia.
d) Dorong pengeluaran sputum: penghisapan bila diindikasikan
Rasional : Kental, tebal, dan banyaknya sekresi adalah sumber utama gangguan
pertukaran gas pada jalan napas kecil. Penghisapan dibutuhkan jika batuk tidak
efektif.
e) Auskultasi bunyi napas
Rasional : bunyi napas mungkin redup karena penurunan aliran udara atau area
konsolidasi.
f) Palpasi Fremirus
Rasional : Penurunan getaran vibrasi diduga ada pengumpulan cairan atau udara
terjebak.
g) Evaluasi tingkat toleransi aktivitas
Rasional : Selama distress pernapasan berat atau akut atau refraktori pasien secara
total tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari karena hipoksemia dan dispnea.
h) Kolaborasi : Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi
Rasional : dapat memperbaiki memburuknya hipoksia.
4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak
adekuatnya pertahanan utama atau imunitas
Tujuan :tidak mengalami infeksi noskomial
Kriteria hasil :
a) Tidak ada tanda-tanda infeksi
b) Mukosa mulut lembab
c) Batuk berkurang
Intervensi
a) Monitor tanda-tanda vital
Rasional: demam dapat terjadi karena infeksi atau dehidrasi
b) Observasi warna, karakter, jumlah sputum
Rasional : kuning atau kehijauan menunjukan adanya infeksi paru
c) Berikan nutrisi yang adekuat
Rasional : nutrisi yang adekuat dapat meningkatkan daya tahan tubuh
d) Berikan antibiotik sesuai indikasi
Rasional : antibiotik dapat mencegah masuknya kuman ke dalam tubuh

5. Cemas berhubungan dengan kurangnya tingkat pengetahuan


Tujuan : kecemasan pasien berkurang
Kriteria hasil :
a) Pasien terlihat tenang
b) Cemas berkurang
c) Ekspresi wajah tenang
Intervensi
a) Kaji tingkat kecemasan
Rasional : mengetahui skala kecemasan pasien
b) Berikan pengetahuan tentang penyakit yang diderita
Rasional : menambah tingkat pengetahuan pasien dan mengurangi cemas
c) Berikan dukungan pada pasien untuk mengungkapkan perasaannya
Rasional : mengungkapkan perasaan dapat mengurangi rasa cemas yang dialaminya.
d) Ajarkan teknik napas dalam pada pasien
Rasional : mengurangi rasa cemas yang dialami pasien

6. Gangguan pola tidur berhubungan dengan batuk yang berlebih


Tujuan : pola tidur terpenuhi
Kriteria hasil ;
a) Pola tidur 6-7 jam per hari
b) Tidur tidak terganggu karena batuk
Intervensi
a) Kaji pola tidur setiap hari
Rasional : mengetahui perubahan pola tidur yang terjadi
b) Beri posisi yang nyaman
Rasional : memudahkan dalam beristirahat
c) Berikan lingkungan yang nyaman
Rasional : menciptakan suasana yang tenang
d) Anjurkan kepada keluarga dan pengunjung untuk tidak ramai
Rasional :menciptakan suasana yang tenang
e) Menjelaskan pada pasien pentingnya keseimbangan istirahat
dan tidur untuk penyembuhan
Rasional : menambah pengetahuan
7. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik
Tujuan : aktivitas normal
Kriteria hasil :
a) Pasien dapat berpartisipasi dalam aktivitas
b) Pasien dapat memenuhi kebutuhan pasien secara mandiri
Intervensi :
a) Kaji tingkat kemampuan aktivitas
Rasional : mengetahui tingkat aktivitas pasien
b) Anjurkan keluarga untuk membantu memenuhi kebutuhaan pasien
Rasional : membantu pasien dalam memenuhi kebutuhan pasien sehari-hari
c) Tingkatkan aktivitas secara bertahap sesuai toleransi
Rasional : membantu pasien untuk memenuhi kebutuhan pasien secara mandiri
d) Jelaskan pentingnya istirahat dan aktivitas dalaam proses penyembuhan

Rasional : menambah pengetahuan pasien dan keluarga (Doenges, 2000)

Anda mungkin juga menyukai