Health Advocacy
Editor
Prof. dr. Agus Suwandono, MPH, Dr.PH
Dr. Trihono, M.Sc
Dr. Semiarto Aji Purwanto
Atmarita, MPH., Dr.PH
Desain Cover
Agung Dwi Laksono
ISBN 978-602-6958-03-7
ii
DEWAN EDITOR
Prof. dr. Agus Suwandono, MPH, Dr.PH guru besar pada Universitas
Diponegoro Semarang, sekaligus Profesor Riset dari Badan Penelitian dan
Pengembangan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Dr. Trihono, M.Sc Ketua Komite Pendayagunaan Konsultan Kesehatan (KPKK),
yang juga Ketua Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI), sekaligus
konsultan Health Policy Unit Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Dr. Semiarto Aji Purwanto antropolog, Ketua Dewan Redaksi Jurnal
Antropologi Universitas Indonesia, sekaligus pengajar pada Departemen
Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia di
Jakarta.
Atmarita, MPH., Dr.PH expert di bidang gizi, pengurus Persatuan Ahli Gizi
Indonesia (PERSAGI).
iii
iv
KATA PENGANTAR
akan menerima masukan dan saran yang dapat menjadikan penulisan policy
brief ini menjadi lebih baik di masa mendatang. Kami berharap bahwa policy
brief ini benar-benar bisa menjadi salah satu panduan untuk upaya
peningkatan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat pada masa
mendatang khususnya di sembilan wilayah terpilih.
Billahittaufiqwalhidayah, Wassalamualaikum Wr.Wb.
Tim Penulis
vi
DAFTAR ISI
DEWAN EDITOR
UCAPAN TERIMA KASIH
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
iii
iv
v
vii
1.
2.
3.
17
4.
25
vii
5.
35
6.
43
7.
51
8.
59
9.
69
viii
Meningkatkan
Kerjasama Lintas Sektor
Upaya Meningkatkan Cakupan
Akses dan Sumber Air Bersih di Kabupaten Nagan Raya
Rekomendasi ditujukan kepada
Dinas Kesehatan Kabupaten Nagan Raya
Disusun oleh
Tumaji, Aria Kusuma
Ringkasan Eksekutif
Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) Kabupaten
Nagan Raya tahun 2013 mengalami peningkatan dibanding tahun
2007. Namun dari sisi peringkat justru mengalami penurunan. Hal ini
dikarenakan tidak semua indikator pada IPKM mengalami perbaikan,
salah satunya adalah akses dan sumber air bersih dimana angka
cakupannya masih sangat rendah. Untuk itu diperlukan peningkatan
kerjama lintas sektor untuk dapat meningkatkan cakupan akses dan
sumber air bersih. Mengingat masalah ketersediaan air bersih juga
berhubungan erat dengan ketersediaan infrastruktur pendukung,
yang hal itu menjadi kewenangan diluar sektor kesehatan.
Pengantar
Pada tahun 2007 dan 2013, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Kementerian Kesehatan mengembangkan suatu indeks yang
dapat digunakan untuk menggambarkan masalah kesehatan suatu daerah.
Indeks yang selanjutnya disebut dengan Indeks Pembangunan Kesehatan
Masyarakat (IPKM) ini merupakan merupakan kumpulan indikatorindikator kesehatan yang dapat dengan mudah dan secara langsung
diukur.
Metode
Penelitian dengan model pendekatan kualitatif ini, pengumpulan
datanya dilakukan antara bulan Januari sampai dengan Februari 2015
dengan metode wawancara mendalam dan observasi. Sumber informasi
tidak hanya dari sektor kesehatan, tapi juga dari sektor non kesehatan dan
juga dari masyarakat.
Hasil
Kabupaten Nagan Raya terletak dipesisir barat Provinsi Aceh.
Kabupaten yang berdiri sejak tahun 2002 ini memiliki luas wilayah sebesar
3.544,91 km2 atau sekitar 6,25% dari total wilayah Provinsi Aceh. Secara
topografis sebagian besar wilayahnya adalah dataran, sedangkan sebagian
kecil lainnya merupakan daerah lereng gunung dan juga lembah.
Terdapat beberapa sungai besar yang mengalir di Kabupaten Nagan
Raya diantaranya adalah Krueng Beutong,
Krueng Nagan, Krueng
Lamie, Krueng Seumayam dan Krueng
Isep. Hujanpun turun
merata hampir sepanjang tahun. Sehingga
tidak mengherankan
bila cakupan akses air
Gambar 1. Sumber Air di Kabupaten Nagan Raya
masyarakat di KabuSumber: Dokumentasi Peneliti
paten Nagan Raya
mencapai 99,66%. Di
atas rata-rata Provinsi Aceh (98,42) maupun nasional (95,26).
Kesimpulan
Turunnya peringkat IPKM Kabupaten Nagan Raya, meski nilai
indeksnya meningkat, disebabkan tidak semua indikator mengalami
perbaikan. Salah satunya adalah cakupan akses dan sumber air bersih yang
masih rendah. Hal ini terjadi karena pelaksanaan pembangunan kesehatan
yang masih bersifat sektoral.
Daftar Pustaka
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2014. Indeks Pembangunan
Kesehatan Masyarakat. Jakarta.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Badan Pusat Statistik Kabupaten
Nagan Raya. 2014. Nagan Raya Dalam Angka dan Produk Domestik
Regional Bruto. Suka Makmue, Nagan Raya.
Ringkasan Eksekutif
Studi kualitatif tentang Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat
(IPKM) ini bertujuan untuk menjawab mengapa indikator
pembangunan kesehatan masyarakat terutama kesehatan balita dan
kesehatan lingkungan di Kota Padang Sidempuan berada di bawah
rata-rata provinsi dan nasional. Dengan menemukan penyebab
masalah kesehatan balita dan kesehatan lingkungan tersebut dapat
disusun kebijakan yang lebih efektif.
Pengantar
Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) merupakan
salah satu alat yang digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan
pembangunan kesehatan masyarakat di Indonesia. IPKM disusun
menggunakan tiga data survei nasional yaitu Survei Sosial Ekonomi
Nasional (Susenas), Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), dan Survei Potensi
Desa (PODES).IPKM menggambarkan hasil pembangunan kesehatan
masyarakat dalam angka indeks yang disusun menjadi peringkat untuk
masing-masing provinsi maupun kabupaten/kota. Tujuan penentuan
peringkat tersebut adalah memberikan dasar bagi Pemerintah Pusat untuk
menentukan alokasi anggaran kesehatan dari pusat ke daerah. Selain itu
juga sebagai bahan advokasi kepada provinsi maupun kabupaten kota
Kespro
Yankes
Perilaku
PTM
PM
Kesling
Kota Padang
Sidempuan
0.5630
0.4469
0.3701
0.2973
0.6895
0.7478
0.3706
Sumatera Utara
0.6040
0.3322
0.2525
0.1924
0.3829
0.5496
0.4905
Metode
Usulan kebijakan ini disusun berdasarkan hasil penelitian tim Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Penelitian dilakukan di enam
kecamatan Kota Padang Sidempuan dengan desain penelitian kualitatif.
Pengumpulan data dilakukan pada bulan Januari sampai dengan bulan
Februari 2015 dengan metode wawancara mendalam dan observasi.
Wawancara dilakukan kepada masyarakat, kader posyandu, kepala
lingkungan setempat, pemegang program kesehatan balita dan kesehatan
lingkungan di Puskesmas, dan pemegang program kesehatan balita dan
kesehatan lingkungan di Dinas Kesehatan, Badan Pusat Statistik, Badan
Perencana Pembangunan Daerah, dan SKPD terkait di Kota Padang
Sidempuan.
10
Hasil
Masalah Gizi Balita
Berdasarkan hasil Riskesdas 2013, masalah kesehatan balita di Kota
Padang Sidempuan yang perlu mendapatkan perhatian serius adalah balita
gizi buruk dan gizi kurang serta masalah balita sangat pendek dan pendek
(stunting). Prevalensi balita yang mengalami gizi buruk maupun gizi kurang
sebesar 28,16%, lebih tinggi dari rata-rata nasional sebesar 19,63%.
Sedangkan prevalensi
stunting sebesar
48,77%, lebih tinggi dari
rata-rata nasional
37,21%. Hasil observasi
dan wawancara
menggambarkan bahwa
kurangnya pemantauan
tumbuh kembang pada
program hilir kesehatan
balita dan pola asuh
orang tua menjadi
penyebab utamanya.
Program hilir pemantauan kesehatan balita melalui posyandu yang
dilaksanakan masih kurang efektif. Alat pemantauan tumbuh kembang
balita seperti buku KIA dan KMS tidak maksimal digunakan. Hampir semua
balita yang ditimbang pada saat posyandu tidak membawa buku KIA
maupun KMS sehingga orang tua maupun tenaga kesehatan tidak bisa
memantau perkembangan balitanya. Tidak pernah dilakukan pengukuran
tinggi badan balita pada setiap kegiatan posyandu. Pemberian makanan
tambahan (PMT) telah dilaksanakan setiap kali kegiatan posyandu, dan
PMT berupa susu dan biskuit telah diberikan kepada anak yang mengalami
gizi kurang, tetapi kurang dilakukan pemantauan. PMT yang diberikan
terkadang tidak dikonsumsi oleh balita bersangkutan. Dengan alasan anak
tidak mau makan, PMT justru dikonsumsi oleh anggota keluarga yang lain.
Pola asuh orang tua turut memberi andil dalam perkembangan balita.
Asupan makanan bergizi bagi sebagian orang tua yang memiliki balita tidak
11
12
Kesimpulan
Penurunan IPKM di Kota Padang Sidempuan terutama bidang gizi
balita dan kesehatan lingkungan dipengaruhi oleh dua hal yang saling
berhubungan, yaitu kurang efektifnya program dan kebijakan pemerintah
dan lemahnya peran serta masyarakat.
13
Gambar 1. Tempat pembuangan akhir sampah kota berada di hulu sungai. Kondisi ini berpotensi
mencemari air sungai sebagai sumber air bersih penduduk.
14
Daftar Pustaka
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. (2014). IPKM: Indeks
Pembangunan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Lembaga Penerbitan
Balitbangkes
Badan Standarisasi Nasional Indonesia, Standar Nasional Indonesia (SNI)
03-3241-1994 Tahun 1994 Tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi
Tempat Pembuangan Akhir Sampah
Dinas Kesehatan Daerah Kota Padang Sidempuan. (2013). Profil Kesehatan
2013, Kota Padangsidimpuan
_____. (2013). Renja: Rencana Kinerja Tahun 2013, Kota Padang
Sidempuan
15
16
Ringkasan Eksekutif
Banyak kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah
daerah Kabupaten Gunungkidul dalam rangka menunjang
program-program kesehatan, menunjukkan komitmen
untuk mengatasi masalah kesehatan dan meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat. Begitu pula programprogram yang telah ditujukan dan dilaksanakan untuk
menanggulangi masalah kesehatan balita. Akan tetapi
ternyata hal ini belum cukup untuk bisa memperbaiki
keadaan gizi balita dan mengungkit nilai IPKM Kabupaten
Gunungkidul.
Apakah yang masih kurang??
Pengantar
Sejak pengembangannya pada tahun 2007, IPKM telah dapat
merangking Kabupaten/Kota di Indonesia berdasarkan prevalensi ataupun
cakupan program kesehatannya. IPKM juga telah terbukti dapat menjadi
alat advokasi pada tingkat pemerintah daerah dan nasional. IPKM yang
telah dikembangkan pada tahun 2007 kemudian dikembangkan dan
disempurnakan menjadi IPKM 2013.
Secara umum, seluruh kabupaten/kota di Provinsi DI Yogyakarta
mengalami peningkatan skor IPKM. Akan tetapi sangat disayangkan bahwa
telah terjadi penurunan peringkat bila dibandingkan dengan tahun 2007.
Itu pula yang terjadi di Kabupaten Gunung Kidul. Bahkan Kabupaten
17
Metode
Disain studi ini merupakan studi kasus, dengan menggunakan
pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan cara
wawancara mendalam, diskusi kelompok, observasi (pengamatan
terhadap objek terkait) serta penelusuran dokumen.
Informan unsur masyarakat yang terdiri dari jajaran pemerintah
daerah Kabupaten Gunung Kidul, jajaran Dinas Kesehatan Kabupaten
Gunung Kidul, SKPD terkait masalah kesehatan anak, tokoh masyarakat,
tokoh agama, kader kesehatan dan keluarga/ibu yang mempunyai balita.
18
Hasil
Permasalahan Kesehatan Balita
Secara umum telah ada keselarasan antara kebijakan dari
Kementerian Kesehatan, Provinsi maupun Kabupaten Gunung Kidul sendiri
mengenai kesehatan balita. Dukungan dari Pemerintah Daerah dibuktikan
dengan dianugrahkannya Bupati Gunung Kidul penghargaan Kesatria Bakti
Husada (KSB) dari Menteri Kesehatan pada tahun 2014. Penghargaan ini
diberikan bagi pemimpin daerah atas kebijakan dan inovasi program
pembangunan dalam bidang kesehatan. Program-program dalam
kesehatan balita pun telah ditujukan dan dilaksanakan untuk
meningkatkan derajat kesehatan balita. Namun nampaknya hal ini belum
cukup untuk bisa memperbaiki keadaan kesehatan balita di Kabupaten
Gunung Kidul.
Hasil RISKESDAS 2013 menunjukkan bahwa proporsi balita gizi
kurang/ buruk di Kabupaten Gunung Kidul meningkat. Proporsi ini lebih
tinggi dari Proporsi DI Yogyakarta dan Indonesia. Balita pendek mengalami
penurunan dari tahun 2007 namun proporsinya masih tertinggi diantara
kabupaten lain di Provinsi DI Yogyakarta. Sedangkan balita gemuk yang
menggambarkan kejadian kelebihan gizi pada anak juga mengalami
peningkatan proporsi. Bahkan pada 2013, proporsinya lebih tinggi dari nilai
Provinsi DI Yogyakarta (10,29%) dan Indonesia (11,76%).
19
20
kesehatan anak antara lain gizi kurang karena pola asuh yang kurang
benar.
Kesimpulan
Komitmen dari pemerintah daerah dan program-program
kesehatan balita yang telah dijalankan belum cukup untuk bisa
memperbaiki keadaan kesehatan balita di Kab Gunung Kidul. Untuk itu
diperlukan strategi dan perbaikan dalam pelaksanaan program
pemantauan pertumbuhan balita sehingga dapat kembali pada posisi
peringkat IPKM yang semula atau lebih baik lagi.
21
Daftar Pustaka
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementrian Kesehatan RI,
2007. Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat, Jakarta.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementrian Kesehatan RI.
2007, Survei Kesehatan Nasional, Suvei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas).
Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul. 2008. Gunungkidul Dalam Angka
2007. BPS Kabupaten Gunungkidul: Gunungkidul.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementrian Kesehatan RI,
2008. Indeks Pembangunan KesehatanMasyarakat, Jakarta.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementrian Kesehatan RI,
2014. Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat, Jakarta.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul. 2014. Gunungkidul Dalam Angka
2013. BPS Kabupaten Gunungkidul: Gunungkidul.
Bappeda. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten
Gunungkidul 2010-2015.
Dinas Kesehatan Kabupaten Gunungkidul. 2008. Profil Kabupaten Gunungkidul
Tahun 2007. Dinkes Kabupaten Gunungkidul: Gunungkidul.
Dinas Kesehatan Kabupaten Gunungkidul. 2014. Profil Kabupaten Gunungkidul
Tahun 2013. Dinkes Kabupaten Gunungkidul: Gunungkidul.
22
23
24
Ringkasan Eksekutif
Kabupaten Murung Raya merupakan salah satu kabupaten yang
mengalami perbaikan nilai IPKM pada tahun 2013 dibandingkan
dengan IPKM 2007. Salah satu masalah kesehatan di Kabupaten ini
adalah akses terhadap sanitasi yang masih rendah (38.8%). Faktor
utama rendahnya akses sanitasi sehat di Kabupaten ini adalah
kedekatan hubungan antara masyarakat dan sungai, yang apabila
terus berlanjut akan muncul risiko terjadinya penyakit infeksi dan
penyakit kronik akibat cemaran serta keruasakan alam karena
limbah. Analisis ini memberikan rekomendasi kebijakan bagi
pemerintah daerah setempat untuk memperkuat strategi intervensi
melalui peran swasta, lintas sector, dan peran masyarakat setempat.
Disamping itu kebijakan stop BAB di sungai perlu diperkuat melalui
pendekatan intervensi terpadu termasuk pemanfaan air sungai
secara lebih sehat.
Pengantar
Kabupaten Murung Raya, yang mengalami peningkatan IPKM dari
0,3527 pada tahun 2007 menjadi 0,4921 pada tahun 2013. Di samping itu,
secara ekonomi kabupaten Murung Raya merupakan kabupaten dengan
kategori tidak miskin karena mempunyai proporsi penduduk miskin yang
kurang dari 14,53% berdasarkan hasil pendataan sosial ekonomi (PSE)
25
tahun 2011. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dipelajari dan digali
lebih lanjut secara lebih spesifik faktor-faktor apa yang berperan penting
dalam peningkatan nilai IPKM di Kabupaten Murung Raya.
Grafik 1. Peningkatan Cakupan (%)
Indikator Kesehatan pada tahun 2007
dibandingkan dengan tahun 2013 di
Kabupaten Murung Raya (Data
RISKESDAS)
70
60
50
40
30
20
10
0
53,2
61,3
50,4
38,9
21,5
16,4
2007
26
16,9
8,1
2013
Metode
Informasi yang disampaikan dalam policy brief ini merupakan hasil
studi kualitatif penggalian faktor-faktor yang berkaitan dengan
peningkatan nilai IPKM di Kabupaten Murung Raya serta kendala dan
tantangan dalam pembangunan kesehatan. Informasi didapatkan dari
penyelenggaran program di sektor kesehatan dan non kesehatan serta dari
masyarakat. Didukung juga dari analisis data sekunder dan dokumen
pendukung terkait pembangunan Murung Raya.
Hasil
Beberapa perbaikan yang sudah terjadi di Kabupaten Murung Raya
dalam kurun waktu antara 2007 s/d 2013 diantaranya adalah sebagai
berikut:
1) Peningkatan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) perkapita
pertahun dari sekitar 24,9 juta rupiah pada tahun 2007 menjadi 28,4
juta rupiah pada tahun 2013.
2) Perbaikan infrastruktur transportasi, termasuk jalan provinsi, jalan
kabupaten, dan jalan desa. Termasuk juga peningkatan akses keluar
dan masuk Kabupaten Murung Raya melalui tersedianya transprotasi
udara serta perbaikan
jalan darat lintas kabupaten dan provinsi.
Anggaran kesehatan
3) Tersedianya
anggaran
meningkat dari sekitar 467
desa melalui kegiatan
juta rupiah pada tahun 2008
GERBANG DESAMU pada
periode tahun 2008
menjadi sekitar 77,5 milyar
2013.
rupiah. Sementara secara
4) Peningkatan peran Badan
persentase terjadi
Pemberdayaan
Masyarakat Desa (BPMD)
peningkatan dari 0.08% pada
untuk pembangunan satahun 2008 menjadi 9.52%
rana Mandi Cuci Kakus
(MCK).
pada tahun 2013
27
5) Peningkatan anggaran kesehatan baik dari aspek jumlah maupun persentase terhadap anggaran daerah.
Perbaikan kondisi atau faktor pendukung pemCakupan sanitasi sehat yang
bangunan kesehatan yang
masih cukup rendah (38.9%)
terjadi di Kabupaten Murung
Raya tersebut secara tidak
dibandingkan dengan angka
langsung berkontribusi tercakupan di Provinsi
hadap perbaikan nilai IPKM
pada tahun 2013 dibanKalimantan Tengah (50.4%)
dingkan tahun 2007.
dan nasional (58.2%).
Meskipun terjadi perbaikan nilai indeks pembangunan kesehatan, nilai indeks masih cukup jauh dari sempurna (nilai
indeks 1). Kabupaten Murung Raya masih mengalami beberapa
permasalah kesehatan dan tantangan ke depan yang dapat mempengaruhi
pem-bangunan kesehatan masya-rakatnya. Diantaranya, per-masalahan
kesehatan terkait cakupan sanitasi sehat yang masih cukup rendah (38.9%)
dibandingkan dengan angka cakupan di Provinsi Kalimantan Tengah
(50.4%) dan nasional (58.2%).
Beberapa faktor utama yang menjadi pemicu permasalah akses
terhadap sanitasi sehat adalah sebagai berikut:
1) Perilaku masyarakat yang sangat berkaitan erat dengan sungai.
Sebagian besar masyarakat Kabupaten Murung Raya menjadikan
sungai sebagai bagian kehidupan sehari-hari. Kebersihan diri dan
sumber air minum masih
memanfaatkan air suKeterbatasan juga mencakup
ngai. Lokasi Kabupaten
Murung Raya yang dikapasitas tenaga sanitarian
kelilingi oleh sungai Bayang belum secara optimal
rito menjadikan masyarakatnya belum bisa
mampu mengubah perilaku
terlepas dari sungai.
masyarakat dari pemanfaatan
2) Keterbatasan
tenaga
air sungai menjadi lebih
sanitarian. Masih ada
Puskesmas yang belum
memanfaatkan air bersih
mempunyai tenaga sa-
28
Gambar 1. Pengelolaan air bersih yang terbengkalai dan tidak berfungsi; dan
Pemanfaatan air sungai untuk membersihkan diri.
Sumber: Dokumentasi Peneliti
29
Kesimpulan
Permasalahan sanitasi
lingkungan di Kabupaten
Murung Raya berkaitan erat
dengan miss-conception masyarakat terhadap sungai
yang tidak bisa terlepas dari
kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Sementara hal ini
belum didukung oleh teknologi tepat guna pemanfaatan
air sungai untuk konsumsi
dan transportasi yang merupakan tanggung jawab dan
fungsi lintas sektor terkait.
30
Permasalahan sanitasi
lingkungan di Kabupaten
Murung Raya berkaitan erat
dengan miss-conception
masyarakat terhadap sungai
yang tidak bisa terlepas dari
kehidupan sehari-hari
masyarakatnya
Daftar Pustaka
Albrecht, Gary L., Ray Fitzpatrick., Susan C. Scrimshaw. Handbook of Social
Studies in Health and Medicine. SAGE Publications Ltd. 6 bonhill Street,
London EC2A 4PU. 2003.
Badan Litbangkes. Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat. Penerbit Badan
Litbangkes. 2015.
31
Badan Pusat Statisitk Kabupaten Murung Raya. Murung Dalam Angka 2008.
Badan Pusat Statisitik. 2008
Badan Pusat Statisitk Kabupaten Murung Raya. Murung Dalam Angka 2014.
Badan Pusat Statisitik. 2014
Badan Pusat Statistik. Analisis Pertumbuhan Ekonomi Murung Raya 2013. Badan
Pusat Statistik dan Bappeda Kabupaten Murung Raya. 2013
Bappeda Kabupaten Murung Raya. Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Daerah (RPJPD) 2008 2028. Bappeda Kabupaten Murung Raya. 2008
Bappenas. Investing in Indonesias Health: Challanges and Opportunities for
Future Public Spending. Health Public Expenditure Review 2008. Jakarta,
2008.
Dinas Kesehatan Kabupaten Murung Raya. Profil Kesehatan Kabupaten Murung
Raya 2013. Dinas Kesehatan Kabupaten Murung Raya. 2013.
Dinas Kesehatan Kabupaten Murung Raya. Profil Kesehatan Kabupaten Murung
Raya 2010. Dinas Kesehatan Kabupaten Murung Raya. 2010
Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Tengah. Profil Kesehatan Provinsi
Kalimantan Tengah 2013. Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Tengah.
2013
Durch, J., L. Bailey, and M.Shoto, Eds 1997, Improving Health in Community; A
Role for performance Monitoring. Washington, D.C., National Academy
Press
United Nations Development Programme. Human Development Report 2014.
Sustaining Human Progress: Reducing Vulnerabilities and Building
Resilience. United Nations Development Programe. New York. USA. 2014
World Health Organization. Closing the gap in a generation: health equity
through action on the social determinants of health: Final Report of the
commission on social determinants of healh. World Health Organization,
Geneva. 2008
32
33
34
Ringkasan Eksekutif
Policy Brief yang disusun berdasarkan hasil riset kualitatif IPKM ini
ditujukan untuk merekomendasikan upaya-upaya yang bisa
dilakukan untuk mengakselerasi pembangunan kesehatan
masyarakat di Kabupaten Lombok Barat. Studi ini menunjukkan
bahwa masalah utama yang berkontribusi besar pada IPKM di
Lombok Barat adalah status gizi balita. Faktor-faktor yang berpotensi
menjadi penyebab selain status sosial ekonomi dan tingkat
pendidikan masyarakat, juga karena adanya penyakit infeksi, sanitasi
yang buruk, pola asuh yang salah serta pengetahuan yang rendah
ibu/pengasuh tentang menu gizi seimbang.
Pengantar
Kabupaten Lombok Barat merupakan daerah bermasalah kesehatan
yang masuk dalam kate-gori miskin. Menurut data status sosial ekonomi
(PSE) tahun 2011, Kabupaten Lombok Barat memiliki angka PSE 19,7%.
Nilai ini berada diatas rerata PSE kabupaten/kota nasional, yang berada
pada kisaran 14,53% (Kemenkes RI, 2011). Sedang informasi dari sumber
lain menyebutkan bahwa proporsi penduduk miskin pada tahun 2013
sebesar 17,42% (Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Barat, 2013).
Berdasar hasil penghitungan IPKM tahun 2007 di Provinsi Nusa
Tenggara Barat menempatkan Kabupaten Lombok Barat sebagai Daerah
35
Metode
Studi yang dilakukan merupakan kelanjutan atau konfirmasi
penilaian IPKM. Studi dilaksanakan secara kualitatif dengan metode
pengumpulan data yang terdiri dari tiga jenis metode. Tiga metode
tersebut adalah wawancara mendalam, observasi dan penelusuran
dokumen. Studi dilaksanakan oleh empat orang peneliti selama 20 hari di
Kabupaten Lombok Barat pada Februari 2015.
Studi ini juga termasuk dalam kategori evaluasi kebijakan. Peneliti
melakukan evaluasi program berdasarkan indikator IPKM dan data
sekunder berbasis fasilitas yang dinkonfirmasikan dengan fakta empiris di
lapangan, dengan tetap memperhatikan konteks kebijakan yang sedang
berlaku.
36
Hasil
Secara umum hasil pengamatan dan penelusuran dokumen terlihat
pembangunan kesehatan di Lombok Barat menunjukkan perubahan ke
arah positif yang cukup signifikan. Meski juga masih ditemukan beberapa
hal yang masih harus diperbaiki. Berdasarkan hasil penelu-suran di
lapangan, hal yang dirasakan paling menjadi masalah di Lombok Barat
adalah masalah status gizi balita.
Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan proporsi
kurang gizi pada balita yakni proporsi underweight, stunting dan wasting
dibandingkan tahun 2007. Disisi yang lain, terjadi peningkatan cakupan
balita yang ditimbang menjadi 91,13%. Kenaikan ini, menandakan telah
terjadi peningkatan upaya pemantauan pertumbuhan balita di Kabupaten
Lombok Barat.
Data Pemantauan Status Gizi (PSG) dan Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi)
Provinsi NTB pada tahun 2013 menunjukan hasil yang tidak jauh berbeda,
proporsi keluarga yang sudah menimbang berat badan balitanya secara
teratur sebesar 95,37%.
Gambar 1. Tren Status Gizi Balita di Kabupaten Lombok Barat Tahun 2011, 2012, 2013
Sumber: Dinkesprov NTB, 2013
37
pada balita masih terjadi. Data dari PSG dan Kadarzi Provinsi NTB tahun
2013 menunjukan tren status gizi balita selama tiga tahun terakhir yang
cenderung naik-turun pada
kisaran angka yang tidak
signifikan.
Lombok Barat mempunyai 41 tenaga gizi yang
terdistribusi dengan rincian 4
orang di Rumah Sakit dan 37
orang di 16 Puskesmas.
Artinya setiap Puskesmas
memiliki 2 - 3 tenaga gizi.
Sumber daya tenaga ini masih
ditambah dengan 4 kader
pada setiap dusun, dan 1-2
kader pendamping pada
setiap
desa.
Ada
802
Posyandu yang tersebar di
setiap dusun, dengan Posyandu aktif sebanyak 527
(65,71%).
Rendahnya pendidikan
Gambar 2. Salah Satu Balita Stunting dan
ibu/pengasuh di Lombok
Wasting
Barat (rata-rata sekolah 6,2
Sumber: Dokumentasi Peneliti
tahun atau baru tamatan SD)
dan tingkat ekonomi masyarakat turut menentukan jumlah dan mutu
makanan yang disajikan. Hasil penelusuran secara kualitatif menunjukkan
bahwa juga ada permasalahan gizi buruk yang terjadi seringkali disertai
dengan penyakit penyerta, kelainan bawaan dan infeksi. Terlepas dari
faktor apa yang terlebih dahulu ada, faktanya terdapat suatu sinergi antara
kurang gizi dan infeksi. Keduanya sering terjadi bersamaan dan antara satu
dan yang lain saling mempengaruhi. Selain itu juga ditemukan pola asuh
anak yang diserahkan kepada nenek balita. Sedang nenek tidak memiliki
pengetahuan yang cukup turut berkontribusi terhadap status gizi anak.
Faktor-faktor yang berpotensi menjadi penyebab permasalahan gizi balita
di Kabupaten Lombok Barat dapat dilihat pada matriks.
38
Wilayah Pengunungan
(Dusun Duduk Atas)
Potensi Masalah
Wilayah Pesisir
(Dusun Melase)
Sumber
Informasi
Potensi Masalah
Wilayah Dataran
(Dusun Sandik dan Limbungan Utara)
Sumber
Informasi
Potensi Masalah
Sumber
Informasi
Permasalahan dalam
Keluarga
Orang tua bercerai, tinggal
bersama nenek, nenek
bekerja dititipkan tetangga
Balita Jul
Balita MRR,
Balita AL
Riwayat BBLR
Balita Di
Kebiasaan diberikan
jajanan agar balita diam
Balita MRR,
Susah makan
Balita Di
Sering sakit
Balita Fir
Sulit makan
Balita MRR,
Balita AL
Sosial ekonomi
Sosial ekonomi
Balita La
Tumbuh di lingkungan
Beresiko (misal keluarga
menderita Tb)
Balita Ra
Kelainan bawaan
Balita HK
39
Kesimpulan
Telah terjadi peningkatan upaya yang dilakukan tenaga kesehatan,
terutama upaya pemantauan pertumbuhan balita di Kabupaten Lombok
Barat. Di sisi lain, kasus status gizi balita underweight, stunting dan wasting
masih terjadi. Kondisi ini selain disebabkan oleh rendahnya status sosial
ekonomi dan tingkat pendidikan masyarakat, juga karena adanya penyakit
infeksi dan sanitasi yang buruk. Selain itu pola asuh yang salah serta
pengetahuan yang rendah ibu/pengasuh tentang menu gizi seimbang
merupakan faktor yang berpotensi menjadi penyebab rendahnya status
gizi balita.
40
Daftar Pustaka
ACC/SCN 2000. Fourth Report on the World Nutrition Situation. Geneva: ACC/SCN
in collaboration with INFRI
ACC/SCn, 2000. Nutrition Throughout the Life Cycle. Fourth Report on the World
Nutrition Situation. Geneva. January
Kementerian Kesehatan RI., 2011. Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat.
Badan Pelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI,
2014. Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat. Badan Litbangkes,
Jakarta
Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Barat, 2013. Kabupaten Lombok Barat
dalam Angka Tahun 2013. BPS Kabupaten Lombok Barat, Gerung
Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Barat, 2014. Kabupaten Lombok Barat
dalam Angka Tahun 2014. BPS Kabupaten Lombok Barat, Gerung
41
42
Ringkasan Eksekutif
Rangking IPKM Tojo Una-Una tahun 2013 adalah 480 dari 497
kab/kota se Indonesia. Sedangkan di 11 kab/kota se Provinsi Sulawesi
Tengah, rangking Tojo Una-Una berada paling akhir. Tiga indikator
dominan yang memberi kontribusi pada turunnya skor IPKM di Tojo
Una-Una adalah prevalensi status gizi buruk dan stunting balita,
gangguan mental dan pneumonia yang meningkat tajam.
Pengantar
Kesehatan menjadi salah satu tolok ukur pembangunan manusia
dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Indikator kesehatan diukur
yang melalui angka harapan hidup waktu lahir belum sepenuhnya diterima
karena terdapat aspek lain yang terlewat. Menyadari hal tersebut,
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melalui Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) mengembangkan Indeks
Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) dengan sumber data utama
dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang rutin dilakukan Balitbangkes.
Pemerintah -dalam hal ini Kemenkes- dapat menentukan peringkat
kab/kota melalui IPKM kemudian mengkategorikan daerah tersebut
bermasalah kesehatan atau tidak. IPKM bermanfaat sebagai sarana
advokasi untuk memacu pembangunan kesehatan daerah. Salah satu
provinsi yang dianggap bermasalah kesehatan adalah Prov. Sulawesi
43
Tengah karena banyak kabupaten yang memiliki skor IPKM rendah, dan
skor terendah adalah Kabupaten Tojo Una-Una, bahkan menempati
rangking ke 480 dari 497 kab/kota di Indonesia. Skor dan rangking IPKM
Tojo Una-Una mengalami penurunan signifikan. Penelitian ini bertujuan
untuk melihat dan menjelaskan indikator dominan yang memberi
kontribusi pada rendahnya nilai IPKM di Tojo Una-Una.
Tabel 1. IPKM Kabupaten di Sulawesi Tengah 2007 dan 2013
Rank-IPKM
2007
IPKM 2007
330
0.4433
447
0.4408
Kab Banggai
265
0.4775
318
0.5066
Kab Morowali
239
0.4950
277
0.5216
Kab Poso
142
0.5554
246
0.5317
Kab Donggala
337
0.4410
415
0.4644
Kab Toli-toli
387
0.4015
461
0.4255
Kab Buol
392
0.3924
242
0.5336
320
0.4470
453
0.4359
295
0.4632
480
0.3862
10
Kab Sigi
348
0.4936
11
Kota Palu
193
0.5241
56
0.6091
No
Kabupaten/Kota
Rank-IPKM
2013
IPKM 2013
Provinsi
0.4640
0.4863
Indonesia
0.5086
0.5404
Metode
Policy Brief ini disusun berdasar penelitian yang menggunakan
metode gabungan kuantitatif dan kualitatif, dilakukan pada bulan JanuariFebruari 2015. Terdiri dari empat peneliti dengan pembagian tugas di
wilayah kepulauan yaitu di Kecamatan Walea Kepulaun dan di daratan
yaitu di Ampana Kota. Pengumpulan data melalui wawancara, observasi
lapangan, ditunjang dengan data sekunder.
44
Hasil
Tiga indikator IPKM yang menjadi skala prioitas masalah kesehatan di Tojo
Una-Una yaiitu status gizi balita, gangguan mental dan pneumonia.
Balita Gizi Buruk dan Stunting
Berdasarkan data Riskesdas 2007 dan 2013 menunjukkan terjadi
peningkatan prevalensi balita gizi buruk dan kurang dari 27,83% menjadi
31,26%. Demikian pula pada prevalensi balita pendek (stunting), dari
30,66% menjadi 41,83%. Sehingga cukup jelas bahwa gizi balita merupakan
masalah di kabupaten ini karena lebih dari sepertiga balita mengalami
masalah gizi buruk dan stunting.
45
46
47
Kesimpulan
Problem gizi membutuhkan penanganan oleh tenaga gizi, namun
belum tersedia di semua puskesmas, dan tidak satupun berada di wilayah
kepulauan. Tidak semua Posyandu berfungsi dengan baik. Kualitas kader
tidak terlepas dari latar belakang pendidikan yang rendah sehingga tidak
memiliki inisiatif.
Problem ekonomi menjadi salah satu pemicu gangguan jiwa. Tidak
semua puskesmas aktif melakukan pelacakan dan memiliki Poli Jiwa.
Pemegang program kesehatan jiwa di puskesmas yang telah dilatih justru
diganti dengan yang belum dilatih
Belum ada kebijakan spesifik terkait pneumonia. Masyarakat tidak
paham pneumonia, mereka hanya tahu batuk dan sesak nafas. Akibatnya
dianggap sepele dan terlambat dibawa berobat. Belum ada pelatihan
khusus tentang pneumonia, kerap terjadi perbedaan pemahaman perawat
dan dokter terkait diagnosa pneumonia.
48
Daftar Pustaka
Kementerian Kesehatan RI., 2011. Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat.
Badan Pelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI,
2014. Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat. Badan Litbangkes,
Jakarta
UNICEF/WHO, 2006. Pneumonia: The Forgotten Killer of Children, s.l.: s.n.
49
50
Ringkasan Eksekutif
Rangking IPKM Kab. Wakatobi melonjak dari urutan ke 340 di tahun
2007 menjadi urutan 18 dari 497 kabupaten/kota di Indonesia pada
tahun 2013, meski sebelumnya kabupaten ini tergolong miskin dan
bermasalah kesehatan. Berbagai inovasi yang telah dilakukan oleh
pemerintah Kab. Wakatobi dari tahun 2007 hingga 2013 yang satu
sama lain saling terkait dan menguatkan baik sektor kesehatan
maupun non kesehatan. Di sektor kesehatan upaya yang dilakukan
mulai dari sisi manajemen kesehatan (regulasi, kepemimpinan),
pembiayaan kesehatan, pemanfaatan sumber daya kesehatan,
hingga pemberdayaan masyarakat. Dukungan sektor non kesehatan
tidak kalah penting dalam mendukung keberhasilan peningkatan
prestasi pembangunan kesehatan masyarakat, antara lain
pembangunan infrastruktur, gerakan ercepatan Pembangunan
Sanitasi Pemukiman, peningkatan gizi masyarakat yang juga
dilakukan Badan Ketahanan Pangan dengan mengangkat bahan
makanan lokal, kerjasama dengan dinas pendidikan melalui program
BIAS (Bulan Imunisasi Anak Sekolah). Peran organisasi non
pemerintah juga sangat mendukung pencapaian keberhasilan
peningkatan rangking IPKM Kabupaten Wakatobi. Mungkin
beberapa program yang ada di Kabupaten Wakatobi juga dimiliki
oleh kabupaten lain, tetapi pertanyaannya apakah di kabupaten lain
berjalan baik dan efektif?
51
Pengantar
Wakatobi adalah salah satu kabupaten dari empat belas kabupaten
di Provinsi Sulawesi Tenggara, hasil pemekaran dari Kab. Buton
berdasarkan UU No.29 tahun 2003. Wakatobi merupakan gugusan
kepulauan yang berjumlah 39 pulau, terdiri atas 4 (empat) pulau besar,
yakni Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko (WAKATOBI) yang
dihuni oleh kurang lebih 95 ribu penduduk.
Visinya untuk mewujudkan surga nyata bawah laut di pusat
segitiga karang dunia, dan mendorong peningkatan dan pemerataan
kesejahteraan masyarakat terbukti nyata antara lain melalui penobatan
sebagai Cagar Biosfer Dunia dan peningkatan rangking dalam Indeks
Pembangunan Kesehatan Manusia (IPKM).
Apa saja latar belakang serta program dan kebijakan yang dilakukan
oleh pemerintah Kab. Wakatobi sehingga dapat mendongkrak nilai IPKM
2013 perlu diketahui agar dapat di akselerasi untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat di berbagai daerah lain. Dalam policy brief ini, kami
menguraikan program dan kebijakan yang dilakukan oleh Kab. Wakatobi
tahun 2007-2013 berdasarkan framework sistem kesehatan nasional serta
dukungan sektor non kesehatan.
52
Metode
Policy brief ini disusun berdasar penelitian yang dilakukan selama 20
hari di Kabupaten Wakatobi. Lokasi penelitian meliputi 1) Puskesmas
Wangi-wangi Selatan dan Puskesmas Liya, Pulau Wangi-wangi, 2)
Puskesmas Kaledupa, Pulau Kaledupa, 3)Puskesmas Usuku, Pulau Tomia ,
4) Puskesmas Popalia, Pulau Binongko. Pengumpulan data dilakukan
dengan metode kualitatif (wawancara mendalam, kelompok diskusi
terarah, observasi) dan telaah dokumen.
Hasil
Berbagai inovasi yang telah dilakukan oleh pemerintah Kab.
Wakatobi dari tahun 2007 hingga 2013 yang satu sama lain saling terkait
dan menguatkan (Tabel 1.). Dari sisi manajemen kesehatan, selain
beberapa regulasi yang ditelurkan, Kabupaten Wakatobi juga didukung
oleh suport kepemimpinan baik dari dinas kesehatan maupun kepala
daerah yang memperhatikan upaya perbaikan kesehatan di Kabupaten
Wakatobi. Kepala dinas kesehatan dan beberapa jajarannya memiliki alur
komunikasi yang singkat tanpa birokrasi yang rumit sehingga pengawasan
dapat dilakukan dengan dekat dan melekat. Pengawasan berjalan tidak
hanya dari atas tetapi juga sebaliknya. Misalnya, ketika ada kematian ibu
atau anak, jajaran dinas
kesehatan langsung mendapat berita dari level di ba- Rangking IPKM Kab. Wakatobi
wahnya dan langsung juga melonjak dari urutan ke 340 di
menelusuri dan mengatasi
tahun 2007 menjadi urutan 18
sebab masalah. Selain itu,
teratas dari 497 kabupaten
ketika melakukan monitoring, Kepala Dinas langsung
kota di Indonesia pada tahun
menunjuk spontan petugas
2013, meskipun sebelumnya
kesehatan untuk memberikan penyuluhan tentang
kabupaten ini tergolong
topik tertentu yang beliau
miskin dan bermasalah
minta. Penekanan tentang
kesehatan.
etika bekerja oleh pimpinan
53
54
Pembiayaan kesehatan
Upaya kesehatan
Regulasi:
SK Bupati ttg percepatan pembangunan sanitasi pemukiman
SK Bupati ttg tenaga honorer
Inovasi dalam pelayanan posyandu (mengusung tema ulangtahun, reward utk balita yang lulus
imunisasi)
Kepemimpinan:
Kombinasi pengawasan top down dan bottom up dan pemberian feedback segera tanpa birokrasi rumit
dan berbelit
Pengarahan dan memotivasi ttg norma bekerja sebagai tenaga kesehatan (semboyan 4as)
Penguatan infrastruktur kesehatan sebagai langkah awal
Porsi pembiayaan 75% preventif dan 25% kuratif
Jamkesda
Insentif tenaga kesehatan (bidan, perawat dan dokter)
Reward and punishment pemanfaatan dana BOK
Insentif terhadap kader kesehatan dari BKBP3D (Badan Keluarga Berencana, Pemberdayaan
Perempuan dan Pemerintah Desa)
Insentif kepada dukun bayi Sando yang membawa bumil ke
SDM
- Rekuitmen tenaga penunjang kesehatan / honorer dari tingkat SMA berdasar SK Bupati
- Penerimaan tenaga kesehatan lokal (D3-S1) yang bersifat sukarela berdasar kebijakan masingmasing puskesmas
Pemberdayaan Masyarakat
Perdes ttg pemberlakuan denda kepada ibu balita yang tidak membawa anaknya ke posyandu
Perdes ttg denda kepada bidan desa untuk persalinan yang dilakukan di rumah
Perdes ttg partisipasi masyarakat dalam kesehatan diseluruh wilayah desa wilayah puskesmas
Capaian
Derajat kesehatan
Meningkatnya cakupan D/S posyandu
Meningkatnya nilai indeks IPKM dari
0,44 menjadi 0,78, peringkat ke-340 dari
440 kab/kota menjadi peringkat ke-18
dari 497 kab/kota di Indonesia.
Perlindungan finansial
- Biaya pengobatan gratis bagi
siapapun
Ketanggapan yankes
- Penyediaan pelayanan kesehatan
gratis 24 jam, on call
- Sweeping balita dan ibu hamil
- Penyuluhan kesehatan berjalan aktif,
door to door
Ketaatan masyarakat terhadap
peraturan yang dibentuk bersama.
55
Selain hal di atas, dukungan sektor non kesehatan juga tidak kalah.
Berbagai bentuk kerjasama dengan sektor non kesehatan yaitu Percepatan
Pembangunan Sanitasi Pemukiman (PPSP) terdiri dari 4 SKPD (Dinas
Kesehatan, Dinas Pekerjaan Umum, Badan Lingkungan Hidup, Dinas
Kebersihan Pertamanan Pemakaman Pemadam Kebakaran). Untuk
peningkatan gizi masyarakat, Badan Ketahanan Pangan mengadakan
Lomba Diversifikasi Pangan dengan mengangkat bahan makanan lokal
seperti umbi-umbian. Penyuluhan di sekolah-sekolah oleh petugas
kesehatan berkerjasama dengan dinas pendidikan melalui program BIAS
(Bulan Imunisasi Anak Sekolah). Peran organisasi non pemerintah seperti
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri)
dalam pembangunan gedung Posyandu (Puskesmas Liya Kecamatan
Wangi-Wangi Selatan), pembangunan instalasi penyulingan air (Desa
Popaliya dan Desa Haka Kecamatan Togo Binongko) dan juga SINTESA yang
membantu masyarakat dalam penyediaan air bersih dan sanitasi.
Kesimpulan
Rangking IPKM Kab. Wakatobi melonjak dari urutan ke 340 di tahun
2007 menjadi urutan 18 teratas dari 497 kabupaten kota di Indonesia pada
tahun 2013 dicapai dengan berbagai inovasi oleh sektor kesehatan
maupun non kesehatan dengan dukungan juga organisasi non pemerintah.
Komitmen yang tinggi dari setiap elemen pemerintah dan kontrol sosial
oleh masyarakat di Kabupaten Wakatobi. Efektifitas program yang ada juga
ditentukan oleh sistem reward dan punishment yang berjalan.
56
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)
Daftar Pustaka
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan K. Indeks Pembangunan
Kesehatan Masyarakat. Jakarta; 2014.
Bupati Wakatobi. Keputusan Bupati Wakatobi Tentang Pengangkatan Tenaga
Penunjang Kerja Perangkat Daerah Dinas Kesehatan Kabupaten Wakatobi
Tahun Anggaran 2013. 6
Dinas Kesehatan Kabupaten Wakatobi. Profil Kesehatan Kabupaten Wakatobi
tahun 2013. 2013.
Presiden Republik Indonesia. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72
Tahun 2012 Tentang Sistem Kesehatan Nasional.; 2012.
Keputusan Bupati Wakatobi Nomor 462 Tahun 2008 Tanggal 1 Agustus 2012
Tentang Pembentukan Tim Koordinasi/Pengarah Dan Pelaksana Sanitasi
Kabupaten Wakatobi.; 2008.
57
58
Mengungkap Skor
dan Ranking IPKM
Kabupaten Seram Bagian Barat
Rekomendasi ditujukan kepada
Bupati dan Dinas Kesehatan Kabupaten Seram Bagian Barat
Disusun oleh
Lely Indrawati, Rais Yunarko, Dwi Priyanto
Ringkasan Eksekutif
Konsentrasi penelitian kualitatif di Kabupaten SBB diarahkan pada
indikator IPKM yang berhubungan dengan empat permasalahan
utama penyebab penurunan IPKM di kabupaten ini. Empat
permasalahan tersebut adalah gizi balita dan ibu hamil, kesehatan
reproduksi, pelayanan kesehatan dasar dan perilaku kesehatan
masyarakat. Dari keempat permasalahan utama tersebut, hanya
indikator perilaku kesehatan yang memiliki kecenderungan
meningkat (positif). Indikator perilaku kesehatan positif secara
umum, disebabkan dominasi kontribusi lintas sektor. Sektor
perekonomian, pendidikan, dan sarana prasarana lingkungan (air
bersih) mengalami peningkatan besar. Hal inilah yang mampu
mendongkrak peningkatan perilaku kesehatan masyarakat
Kabupaten SBB secara umum. Ketiga indikator lainnya tidak banyak
mengalami perubahan.
Pengantar
Pada tahun 2007, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) mendapat
ranking 352 diantara kabupaten/kota secara nasional, dengan nilai skor
IPKM sebesar 0,4328. Kemudian di tahun 2013, peringkatnya menjadi 416
dengan skor IPKM sebesar 0,6033. Artinya, jika dilihat kecenderungan skor
59
Skor SBB
Skor Nasional
Kesehatan Balita
0,5079
0,6614
Kesehatan reproduksi
0,2751
0,4756
Pelayanan kesehatan
0,2127
0,3808
Perilaku
0,4226
0,3652
PTM
0,7750
0,6267
PM
0,7351
0,7507
Kesling
0,4706
0,5430
60
Metode
Metode primer mencakup wawancara mendalam, diskusi kelompok
terarah, dan pengamatan. Dilakukan juga pengumpulan data sekunder
berupa profil kesehatan kabupaten dan data pendukung lainnya tahun
2007 dan 2013 untuk melengkapi analisa studi ini.
Pengumpulan data dilakukan selama kurang lebih 20 hari (akhir
Januari -pertengahan Februari 2015. Tim peneliti dilakukan oleh 4 orang
dengan latar belakang ilmu yang variatif yakni kesehatan masyarakat,
antropologi, biologi dan kedokteran hewan. Tema spesifik (tematik) adalah
Kesehatan Balita, Kesehatan Reproduksi, Pelayanan Kesehatan dan
Perilaku Kesehatan. Topik pengumpulan data yang digali mencakup 4
aspek besar yakni (1) Dukungan kebijakan dan strategi intervensi , (2)
Peran lintas sektor, (3) Peran serta masyarakat, dan (4) Peran dan
kebutuhan pendampingan.
Selain masyarakat, informan yang digali lebih banyak dari pemegang
program kesehatan di Kabupaten SBB dan Provinsi Maluku, khususnya
pemegang program di 4 tematik di tingkat kabupaten dan Puskesmas studi
kasus yakni Puskesmas Kairatu Barat (dengan geografis terdekat dari ibu
kota kabupaten/bukan remote area) dan Taniwel (dengan geografis cukup
jauh dari ibu kota kabupaten/wilayah remote area). Informan dari lintas
program terdiri dari Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda),
Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Badan
Ketahanan Pangan (BKD), Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa, dan
Badan Pembangunan Desa.
Hasil
Minimnya anggaran, merupakan keluhan sebagian besar pengelola
program di Dinas Kesehatan Kabupaten SBB. Praktis Dinas Kesehatan
Kabupaten SBB tidak mampu berbuat banyak dalam membangun
kesehatan masyarakat SBB. Pembangunan kesehatan di Kabupaten SBB
lebih banyak dibiayai oleh dana di luar APBD. Selama ini, Puskesmas di
Kabupaten SBB mengandalkan pembiayaan program-programnya dari
dana BOK dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Pengelolaan BOK dan
61
JKN yang berasal dari pusat inilah yang menjadi tulang punggung
pembangunan kesehatan di Kabupaten SBB.
Undang-undang RI Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan
mengamanatkan bahwa pemerintah daerah harus mengalokasikan
anggaran urusan kesehatan minimal 10% dari total belanja APBD diluar gaji
pegawai. Namun menurut data tahun 2012 menunjukkan fakta bahwa
baru ada 11 provinsi yang mampu mengakomodir dan mengalokasikan
APBD diatas 10% untuk kesehatan, 11 provinisi itu yakni Aceh, Bangka
Belitung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I Yogyakarta, Jawa Timur,
Gorontalo, Sulawesi Selatan, Bali dan DKI Jakarta (Anonim, 2013).
UU RI No. 36 Tahun 2009 belum mampu diterapkan oleh Pemerintah
Kabupaten SBB. Alokasi anggaran dalam RPJMD Kabupaten SBB Tahun
2012-2016, dilihat dari persentase alokasi penganggaran untuk dinas
kesehatan dalam memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM) adalah
3,95% dari total APBD. Ada beberapa faktor yang menentukan
perencanaan dan penganggaran kesehatan yang bersumber APBD, yaitu
faktor sumber daya dan peran dari lembaga eksekutif dan legislatif.
Pengalokasian anggaran APBD terhadap kesehatan belum bisa lepas dari
intervensi dan komitmen politik diantara eksekutif dan legislatif yang
dapat mempengaruhi persepsi dan cara untuk masalah kesehatan.
Hal lain yang juga menjadi masalah dalam pelayanan kesehatan di
Kabupaten SBB, tidak meratanya persebaran tenaga kesehatan yang ada.
Untuk jumlah perawat dan bidan misalnya, secara jumlah sudah
mencukupi (data tahun 2013 ada 120 bidan dan 294 perawat), tapi
penempatannya tidak disesuaikan dengan kebutuhan wilayah. Ada satu
dua Puskesmas yang memiliki jumlah tenaga kesehatan melebihi rasio
cakupan wilayah kerja, sedangkan ada Puskesmas yang justru kekurangan
tenaga kesehatan. Kekurangan ini terjadi terutama pada daerah-daerah
sulit, seperti daerah pulau maupun pegunungan. Hingga saat ini akses
transportasi ke daerah tersebut umumnya masih minim.
Salah satu sosok penting yang terlibat langsung dalam pelayanan
kesehatan di masyarakat yakni dukun bayi (mama biyang). Di Kabupaten
SBB, rata-rata setiap desa memilki minimal 1 orang dukun bayi.
Keberadaan dukun bayi tak lepas dari masih percayanya masyarakat
terhadap pelayanan yang mereka berikan, terutama dalam menolong
persalinan. Dinas Kesehatan Kabupaten SBB memberikan pelatihan kepada
para dukun bayi ini. Selain itu, juga dilakukan kemitraan antara bidan
62
63
Kesimpulan
Pembangunan kesehatan di SBB telah berjalan meskipun belum
mencapai hasil yang optimal. Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan
dan pembangunan kesehatan relatif terbantu dengan pembiayaan dari
dana BOK dan JKN. Akan tetapi, pencapaian ini belum didukung secara
maksimal oleh Pemerintah Daerah setempat. Sumber anggaran yang
minim dari APBD membuat Dinas Kesehatan Kabupaten belum bisa
berbuat banyak dalam memberikan kontribusi terhadap pembangunan
kesehatan. Hal ini tentu sangat berpengaruh pada sarana dan prasarana
kesehatan yang dimiliki. Topografi dan kondisi geografis SBB yang berupa
kepulauan dan daerah pegunungan juga menjadi tantangan yang
menyulitkan pembangunan kesehatan disana. Banyak daerah-daerah yang
sulit dijangkau sehingga pemerataan pembangunan kesehatan juga belum
maksimal.
64
65
Daftar Pustaka
Dinas Kesehatan Provinsi Maluku, Rencana Strategis Dinas Kesehatan Provinsi
Maluku Tahun 2008-2013, ambon, 2009.
Dinas Kesehatan Kabupaten seram Bagian Barat, Rencana Strategis Dinas
kesehatan Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2006-2011, Piru, 2007.
Pemerintah Kabupaten Seram Bagian Barat, Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2012-2016, Piru,
2013.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2014. Indeks Pembangunan
Kesehatan Masyarakat 2013. Tim Penyusun, Jakarta, 2014.
Dinas Kesehatan Provinsi Maluku, 2014, Profil Kesehatan Provinsi Maluku Tahun
2013.
Dinas Kesehatan Kabupaten Seram Bagian Barat 2011, Laporan Program KIA
Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2010.
Dinas Kesehatan Kabupaten Seram Bagian Barat 2012, Laporan Program Program
KIA Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2011.
Dinas Kesehatan Kabupaten Seram Bagian Barat 2013, Laporan Program KIA
Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2012.
Dinas Kesehatan Kabupaten Seram Bagian Barat 2014, Laporan Program KIA
Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2013.
Dinas Kesehatan Provinsi Maluku, Laporan Bidang Pemberdayaan dan Promosi
Kesehatan Tahun 2014.
66
67
68
Ringkasan Eksekutif
IPKM adalah salah satu indikator untuk mengetahui kondisi
kesehatan masyarakat di suatu Kabupaten/Kota di Indonesia.
Berdasarkan IPKM 2013, Kabupaten Tolikara mempunyai peringkat
terendah di Indonesia. Tidak bisa dipungkiri bahwa kondisi geografis
sangat berpengaruh terhadap status IPKM Kabupaten Tolikara.
Sementara Pemerintah melakukan pembangunan sarana dan
prasarana daerah yang nantinya bisa memudahkan akses
masyarakat terhadap upaya kesehatan, perlu dilakukan eksplorasi
potensi yang ada.
Melalui penggalian informasi tentang pelaksanaan program
dari perspektif tenaga kesehatan dan lintas sektor, serta tentang
nilai sosial budaya masyarakatnya, diharapkan diperoleh potensi
yang dapat digunakan untuk meningkatkan situasi kondusif di
Tolikara, agar mayarakat dapat lebih aman dan sejahtera.
Pengantar
Kajian Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) 2013
yang dilakukan Badan Litbangkes untuk seluruh kabupaten/kota di
Indonesia menyimpulkan Kabupaten Tolikara adalah kabupaten terendah
dalam hal kesehatan masyarakat. Dengan kondisi ini Tolikara harus
69
Metode
Penelitian kualitatif telah dilakukan pada bulan Februari 2015 yang
bertujuan untuk melakukan konfirmasi dan mengamati kondisi sebenarnya
70
Hasil
Secara administratif, Kabupaten Tolikara mempunyai 46 Distrik,
wilayah setingkat kecamatan, yang terbagi menjadi 553 desa dengan
penduduk berjumlah sekitar 290.000 jiwa. Berdasarkan ketersediaan
sarana pelayanan kesehatan, sementara ini hanya ada Puskesmas di 25
Distrik, dua diantaranya merupakan puskesmas perawatan. Pengamatan di
Puskesmas terdekat dengan ibu kota kabupaten, tampak bahwa pelayanan
puskesmas masih sangat terbatas. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan
pelayanan yang diberikan oleh puskesmas lainnya, khususnya yang non
perawatan. Keterbatasan pelayanan kesehatan oleh Puskesmas ini tidak
lepas dari keterbatasan kemampuan pemerintah daerah untuk
menyediakan tenaga kesehatan yang memadai di setiap Puskesmas.
71
72
Kesimpulan
Secara geografis, Kabupaten Tolikara yang terletak di pegunungan
tengah Papua cukup terisolir. Kondisi ini sangat berpeluang untuk
masyarakat tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai.
Pemerintah Daerah sudah berupaya membangun fasilitas kesehatan
puskesmas di setiap distrik,
namun keterbatasan fasilitas dan
tenaga mengakibatkan puskesmas
Upaya untuk melibatkan
tidak banyak dimanfaatkan oleh
instansi terkait dalam
masyarakat.
Upaya untuk melibatkan program kesehatan sudah
instansi terkait dalam program
dilakukan oleh Dinas
kesehatan sudah dilakukan oleh
Kesehatan. Namun pada
Dinas Kesehatan. Namun pada
pelaksanaannya, belum
pelaksanaannya, belum nampak
peran aktif dari sektor lain untuk
nampak peran aktif
memberikan dukungan terhadap
program kesehatan. Dari aspek
sosial budaya, clan merupakan pengikat sosial sebagai kesatuan norma,
struktur, organisasi dan kepemimpinan yang berada di atas konsep negara.
73
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik. 2014. Papua dalam angka. Jayapura, Badan Pusat Statistik
Badan Pusat Statistik Kabupaten Tolikara, 2014, Tolikara Dalam Angka,
Karubaga, Badan Pusat Statistik.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Tolikara, 2014, IPM dan Analisis Situasi
Pembangunan Manusia Kabupaten Tolikara, Karubaga, Badan Pusat
Statistik.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Tolikara, 2014, Produk Domestik Regional Bruto
Menurut Lapangan Usaha Kabupaten Tolikara, Karubaga, Badan Pusat
Statistik.
Britha, Mikkelsen, 2003, Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-upaya
Pemberdayaan; sebuah buku pegangan bagi para praktisi lapangan,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Bryman, 2004, Social Research Mothods, Oxford University Press, New York.
Dinas Kesehatan Kabupaten Tolikara. 2013. Profil Dinas Kesehatan Kabupaten
Tolikara Tahun 2013. Karubaga, Dinkes Kabupaten Tolikara
74
75
76