Anda di halaman 1dari 86

Policy Brief

Upaya Peningkatan IPKM di Indonesia


Nunik Kusumawardani
Agung Dwi Laksono
Setia Pranata
Turniani Laksmiarti
Tumaji
Mochamad Setyo Pramono
Lely Indrawati
Kasnodihardjo
Noor Edi Sukoco
Rachmalina Soerachman
Mara Ipa
Ina Kusrini
Tatik Mudjiati
Asep Kusnali
Irfan Ardhani
Aria Kusuma
FX. Sri Sadewo
Rais Yunarko
Dwi Priyanto
Yuana Wiryawan
Nurillah Amaliah
Nur Handayani Utami
Bunga Ch. Rosha
Kencana Sari

Health Advocacy

Policy Brief Upaya Peningkatan IPKM di Indonesia


2016 Health Advocacy

Editor
Prof. dr. Agus Suwandono, MPH, Dr.PH
Dr. Trihono, M.Sc
Dr. Semiarto Aji Purwanto
Atmarita, MPH., Dr.PH

Desain Cover
Agung Dwi Laksono

Cetakan 1, April 2016


Buku ini diterbitkan oleh
HEALTH ADVOCACY
Yayasan Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat
Jl. Bibis Karah I/41 Surabaya 60232
Email: healthadvocacy@information4u.com
Bekerja sama dengan
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN
KEMENTERIAN KESEHATAN RI.
Jl. Percetakan Negara 29 Jakarta 10560
Telp. +6231-3528748, Fax. +6231-3528749

ISBN 978-602-6958-03-7

Hak cipta dilindungi undang-undang.


Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun,
termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis dari penerbit.

ii

DEWAN EDITOR

Prof. dr. Agus Suwandono, MPH, Dr.PH guru besar pada Universitas
Diponegoro Semarang, sekaligus Profesor Riset dari Badan Penelitian dan
Pengembangan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Dr. Trihono, M.Sc Ketua Komite Pendayagunaan Konsultan Kesehatan (KPKK),
yang juga Ketua Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI), sekaligus
konsultan Health Policy Unit Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Dr. Semiarto Aji Purwanto antropolog, Ketua Dewan Redaksi Jurnal
Antropologi Universitas Indonesia, sekaligus pengajar pada Departemen
Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia di
Jakarta.
Atmarita, MPH., Dr.PH expert di bidang gizi, pengurus Persatuan Ahli Gizi
Indonesia (PERSAGI).

iii

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada International


Development Research Centre, Ottawa, Canada, atas dukungan finansial yang
diberikan untuk kegiatan pengembangan Indeks Pembangunan Kesehatan
Masyarakat tahun 2013 dan studi kasus kualitatif gambaran peningkatan dan
penurunan IPKM di Sembilan Kabupaten/Kota di Indonesia.
This work was carried out with the aid of a grant from the International
Development Research Centre, Ottawa, Canada.

iv

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah SWT selalu kami panjatkan,
karena dengan rahmat dan karunia-Nya pada akhirnya policy brief ini telah
dapat kami selesaikan dengan baik. Policy brief ini dirumuskan berdasarkan
hasil studi kualitatif di sembilan Kabupaten/Kota di Indonesia (Nagan Raya,
Padang Sidempuan, Tojo Una-Una, Gunungkidul, Wakatobi, Murung Raya,
Seram Bagian Barat, Lombok Barat, dan Tolikara) pada tahun 2015, sebagai
tindak lanjut dari hasil Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat tahun
2013.
Hasil Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM)
menunjukkan hasil yang bervariasi di antara 497 Kabupaten/Kota di
Indonesia. Beberapa Kabupaten/Kota mengalami peningkatan ataupun
penurunan nilai IPKM pada tahun 2013 dibandingkan dengan IPKM 2007.
Policy brief ini merupakan kumpulan rekomendasi kebijakan yang diperlukan
untuk dapat meningkatkan nilai IPKM yang berkaitan dengan kondisi sosial,
ekonomi, budaya, maupun geografis di wilayah Kabupaten/Kota terpilih.
Policy brief ini diharapkan dapat memberikan semangat ataupun pemikiran
yang inovatif bagi Kabupaten/Kota dalam membangun kesehatan secara
lebih terarah dan terpadu. Diharapkan juga bahwa policy brief ini menjadi
pembelajaran bagi kabupaten/kota lainnya, terutama yang memiliki konteks
sosial budaya ataupun geografis yang mirip.
Penghargaan yang tinggi serta terima kasih yang tulus kami sampaikan
atas semua dukungan dan keterlibatan yang optimal kepada tim penulis,
International Development Researc Center (IDRC) Ottawa, Canada, tim editor,
serta semua pihak yang telah berpartisipasi hingga terselesaikannya policy
brief ini. Kami sampaikan juga penghargaan yang tinggi kepada semua pihak
di Provinsi, Kabupaten/Kota sampai dengan tingkat Desa baik di sektor
kesehatan maupun non-kesehatan serta anggota masyarakat, yang telah
berpartisipasi aktif dalam studi kualitatif di sembilan Kabupaten/Kota sebagai
bahan dasar dari policy brief ini.
Tak ada gading yang tak retak, masih banyak kekurangan dan
kelemahan dari penulisan policy brief ini, untuk itu kami dengan senang hati

akan menerima masukan dan saran yang dapat menjadikan penulisan policy
brief ini menjadi lebih baik di masa mendatang. Kami berharap bahwa policy
brief ini benar-benar bisa menjadi salah satu panduan untuk upaya
peningkatan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat pada masa
mendatang khususnya di sembilan wilayah terpilih.
Billahittaufiqwalhidayah, Wassalamualaikum Wr.Wb.

Jakarta, April 2016

Tim Penulis

vi

DAFTAR ISI

DEWAN EDITOR
UCAPAN TERIMA KASIH
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

iii
iv
v
vii

1.

MENINGKATKAN KERJASAMA LINTAS SEKTOR; UPAYA


MENINGKATKAN CAKUPAN AKSES DAN SUMBER AIR BERSIH DI
KABUPATEN NAGAN RAYA
Rekomendasi ditujukan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten
Nagan Raya
Tumaji, Aria Kusuma

2.

MEMPERBAIKI MASALAH GIZI BALITA DAN KESEHATAN


LINGKUNGAN DI KOTA SALAK
Rekomendasi ditujukan kepada Walikota dan Dinas Kesehatan
Kota Padang Sidempuan
Turniani Laksmiarti, Irfan Ardhani, Asep Kusnali

3.

MENINGKATKAN STATUS GIZI BALITA; UPAYA MENGUNGKIT NILAI


IPKM KABUPATEN GUNUNG KIDUL
Rekomendasi ditujukan kepada Bupati dan Dinas Kesehatan
Kabupaten Gunung Kidul
Kasnodihardjo, Yuana Wiryawan, Nurillah Amaliah, Nur Handayani
Utami

17

4.

UPAYA PENINGKATAN SANITASI MASYARAKAT MELALUI


PEMANFAATAN AIR SUNGAI AIR BERSIH VS AIR SUNGAI
Rekomendasi ditujukan kepada Bupati dan Dinas Kesehatan
Kabupaten Murung Raya
Nunik Kusumawardani, Rachmalina Soerachman, Meda Permana

25

vii

5.

MENINGKATKAN STATUS GIZI BALITA; UPAYA AKSELERASI


PEMBANGUNAN KESEHATAN MASYARAKAT DI KABUPATEN
LOMBOK BARAT
Rekomendasi ditujukan kepada Bupati dan Dinas Kesehatan
Kabupaten Lombok Barat
Agung Dwi Laksono, Mara Ipa, Ina Kusrini

35

6.

IPKM TOJO UNA-UNA, MENGAPA MENURUN? UPAYA DAN


STRATEGI PENINGKATAN SKOR IPKM
Rekomendasi ditujukan kepada Bupati dan Dinas Kesehatan
Kabupaten Tojo Una-Una
Mochamad Setyo Pramono, FX. Sri Sadewo

43

7.

BERKACA DARI WAKATOBI, ASA MENUJU INDONESIA SEHAT


Rekomendasi ditujukan kepada Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi
Utara dan Kementerian Kesehatan RI.
Kencana Sari, Bunga Ch. Rosha, Noor Edi Sukoco

51

8.

MENGUNGKAP SKOR DAN RANKING IPKM KABUPATEN SERAM


BAGIAN BARAT
Rekomendasi ditujukan kepada Bupati dan Dinas Kesehatan
Kabupaten Seram Bagian Barat
Lely Indrawati, Rais Yunarko, Dwi Priyanto

59

9.

PERHATIAN SERIUS TOLIKARA UNTUK MENINGKATKAN


KESEHATAN MASYARAKAT
Rekomendasi ditujukan kepada Bupati, Dinas Kesehatan dan
Seluruh Sektor Terkait di Kabupaten Tolikara
Setia Pranata, Tatik Mudjiati

69

viii

Meningkatkan
Kerjasama Lintas Sektor
Upaya Meningkatkan Cakupan
Akses dan Sumber Air Bersih di Kabupaten Nagan Raya
Rekomendasi ditujukan kepada
Dinas Kesehatan Kabupaten Nagan Raya
Disusun oleh
Tumaji, Aria Kusuma

Ringkasan Eksekutif
Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) Kabupaten
Nagan Raya tahun 2013 mengalami peningkatan dibanding tahun
2007. Namun dari sisi peringkat justru mengalami penurunan. Hal ini
dikarenakan tidak semua indikator pada IPKM mengalami perbaikan,
salah satunya adalah akses dan sumber air bersih dimana angka
cakupannya masih sangat rendah. Untuk itu diperlukan peningkatan
kerjama lintas sektor untuk dapat meningkatkan cakupan akses dan
sumber air bersih. Mengingat masalah ketersediaan air bersih juga
berhubungan erat dengan ketersediaan infrastruktur pendukung,
yang hal itu menjadi kewenangan diluar sektor kesehatan.

Pengantar
Pada tahun 2007 dan 2013, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Kementerian Kesehatan mengembangkan suatu indeks yang
dapat digunakan untuk menggambarkan masalah kesehatan suatu daerah.
Indeks yang selanjutnya disebut dengan Indeks Pembangunan Kesehatan
Masyarakat (IPKM) ini merupakan merupakan kumpulan indikatorindikator kesehatan yang dapat dengan mudah dan secara langsung
diukur.

Dari 2 kali penilaian IPKM tersebut dapat diketahui bahwa banyak


daerah yang mengalami peningkatan baik dari sisi nilai maupun dari sisi
peringkat. Namun ada juga daerah yang meningkat dari sisi nilai namun
justru menurun dari sisi
peringkat. Sebagaimana yang
Nilai IPKM Kabupaten Nagan terjadi pada Kabupaten
Raya meningkat dari 0,3889
Nagan Raya. Nilai IPKM
Kabupaten
Nagan
Raya
pada tahun 2007 menjadi
meningkat dari 0,3889 pada
0,5818 pada tahun 2013.
tahun 2007 menjadi 0,5818
Namun dari sisi peringkat
pada tahun 2013. Namun
justru mengalami penurunan, dari sisi peringkat justru
mengalami penurunan, dari
dari 396 pada tahun 2007
396 pada tahun 2007
menjadi 404 pada tahun 2013. menjadi 404 pada tahun
2013. Hal ini terjadi karena
hanya beberapa indikator
saja yang meningkat. Sementara indikator lainnya masih rendah (kalau
tidak dapat dikatakan buruk). Beberapa indikator IPKM Kabupaten Nagan
Raya yang meningkat (prevalensinya menurun) diantaranya adalah gizi
buruk-kurang dan gangguan mental. Sementara indikator yang masih
rendah adalah cakupan akses dan sumber air bersih.
Gizi buruk-kurang, indikator yang masuk dalam kelompok subindeks kesehatan balita ini menurun prevalensinya dari 36,07% pada tahun
2007 menjadi 27,71% pada tahun 2013. Demikian juga prevalensi
gangguan mental. Indikator yang masuk kelompok sub-indeks penyakit
tidak menular ini menurun dari 19,27% pada tahun 2007 menjadi 2,54%
pada tahun 2013. Kondisi yang berbeda terjadi pada indikator cakupan
akses dan sumber air bersih. Indikator yang masuk pada kelompok subindeks kesehatan lingkungan ini, pada tahun 2013, cakupannya hanya
sebesar 9,15%. Jauh dibawah rata-rata cakupan akses dan sumber air
bersih Provinsi Aceh yang mencapai 32,16% maupun rata-rata nasional
yang mencapai 50,41%. Rendahnya cakupan akses dan sumber air bersih di
Kabupaten Nagan Raya ini tentu menjadi masalah yang harus dicari
penyebab sekaligus solusi untuk mengatasinya.

Metode
Penelitian dengan model pendekatan kualitatif ini, pengumpulan
datanya dilakukan antara bulan Januari sampai dengan Februari 2015
dengan metode wawancara mendalam dan observasi. Sumber informasi
tidak hanya dari sektor kesehatan, tapi juga dari sektor non kesehatan dan
juga dari masyarakat.

Hasil
Kabupaten Nagan Raya terletak dipesisir barat Provinsi Aceh.
Kabupaten yang berdiri sejak tahun 2002 ini memiliki luas wilayah sebesar
3.544,91 km2 atau sekitar 6,25% dari total wilayah Provinsi Aceh. Secara
topografis sebagian besar wilayahnya adalah dataran, sedangkan sebagian
kecil lainnya merupakan daerah lereng gunung dan juga lembah.
Terdapat beberapa sungai besar yang mengalir di Kabupaten Nagan
Raya diantaranya adalah Krueng Beutong,
Krueng Nagan, Krueng
Lamie, Krueng Seumayam dan Krueng
Isep. Hujanpun turun
merata hampir sepanjang tahun. Sehingga
tidak mengherankan
bila cakupan akses air
Gambar 1. Sumber Air di Kabupaten Nagan Raya
masyarakat di KabuSumber: Dokumentasi Peneliti
paten Nagan Raya
mencapai 99,66%. Di
atas rata-rata Provinsi Aceh (98,42) maupun nasional (95,26).

Namun kondisinya jauh berbeda ketika akses air tersebut dikaitkan


dengan asal atau sumber air. Kriteria IPKM menyebutkan bahwa akses dan
sumber air bersih dikatakan baik jika setiap
anggota rumah
tangga menggunakan air minimal 20 liter per
hari, dimana air
tersebut berasal
dari
air
ledeng/ PDAM,
sumur
Gambar 2. Sistem Pengolahan Air Minum yang Telah
Dibangun, Namun Tidak Dapat Difungsikan
bor/pompa, suSumber: Dokumentasi Peneliti
mur gali terlindung, ataupun
dari mata air terlindung. Dengan kriteria tersebut ternyata cakupan akses
dan sumber air bersih di Kabupaten Nagan Raya hanya 9,15%.
Melihat hal terse-but, tampak bahwa mengenai akses air tidak
menjadi masalah di Kabupaten Nagan Raya. Dengan tersedianya air yang
melimpah, sangat kecil kemungkinan ma-syarakat mengalami kekurangan
air. Dengan demikian yang menjadi masalah adalah terkait dengan asal
atau sumber air. Ketersediaan air yang melimpah membuat masyarakat
memanfaatkan air yang bersumber dari mata air tidak terlindung atau
bahkan dari air sungai. Tentu hal ini tidak baik untuk kesehatan. Karena
meski secara fisik tampak jernih, air yang berasal dari sumber mata air
yang tidak terlindung, apalagi air dari sungai, sangat besar kemungkinan
untuk tercemar limbah maupun bibit penyakit.
Untuk memenuhi akan kebutuhan air bersih tersebut, sebenarnya
Dinas Tata Kota dan Perumahan sebagai instansi yang bertanggungjawab
untuk penyediaan infrastruktur dasar, pada tahun 2013 telah membangun
9 sumur bor yang dilengkapi MCK serta tahun 2014 membuat 3 SPAM
meski dengan skala kecil. Namun sumur bor yang dibangun tersebut hanya
berada di ibukota kecamatan dan hanya menjangkau masyarakat disekitar
lokasi sumur bor dibangun saja. Sementara SPAM yang telah dibangun,

belum beroperasional karena belum ditetapkannya penanggung jawab


operasional SPAM tersebut.
Disisi lain, Dinas Kesehatan, utamanya seksi penyehatan lingkungan
sebagai leading sector dibidang kesehatan lingkungan tidak mengetahui
adanya pembangunan infrastruktur penyediaan air bersih yang dilakukan
oleh Dinas Tata Kota dan Perumahan. Seksi penyehatan lingkungan Dinas
Kesehatan masih disibukkan dengan pembenahan intern yang dilakukan.
Kondisi ini diperparah dengan terbatasnya jumlah tenaga sanitarian baik di
dinas maupun Puskesmas
sehingga berdampak pada
ditempatkannya orang-orang
Meski secara struktur samanon sanitarian sebagai pesama dalam satu bidang,
nanggung jawab program
penyehatan lingkungan. Kenamun dengan alasan jumlah
terbatasan lainnya adalah
program yang banyak,
dari sisi anggaran. Meski
anggaran program
secara struktur sama-sama
dalam satu bidang, namun
pengendalian dan
dengan alasan jumlah propemberantasan penyakit jauh
gram yang banyak, anggaran
lebih besar dibanding
program pengendalian dan
pemberantasan penyakit japrogram penyehatan
uh lebih besar dibanding
lingkungan.
program penyehatan lingkungan.

Kesimpulan
Turunnya peringkat IPKM Kabupaten Nagan Raya, meski nilai
indeksnya meningkat, disebabkan tidak semua indikator mengalami
perbaikan. Salah satunya adalah cakupan akses dan sumber air bersih yang
masih rendah. Hal ini terjadi karena pelaksanaan pembangunan kesehatan
yang masih bersifat sektoral.

Implikasi & Rekomendasi


Kondisi yang ada saat ini bila dibiarkan maka cakupan akses dan
sumber air bersih Kabupaten Nagan Raya akan tetap rendah. Untuk itu
perlu di-lakukan pembangunan kesehatan yang melibatkan lintas sektor.
Tidak dapat dipungkiri bahwa program penyediaan air bersih erat
kaitannya dengan ketersediaan infrastruktur dasar.
Pembangunan infrastruktur
Pembangunan infrastruktur
tentu membutuhkan
tentu membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Di
anggaran yang tidak sedikit.
samping bukan kewenaDisamping bukan
ngannya, Dinas Kesehatan
tidak memiliki anggaran
kewenangannya, Dinas
untuk membangun infraKesehatan tidak memiliki
struktur meski itu terkait
anggaran untuk membangun
dengan kesehatan. Sehingga
kerjasama
lintas
sektor
infrastruktur meski itu terkait
menjadi sebuah keniscayaan.
dengan kesehatan.
Dengan data tentang
masalah rendahnya askes
dan sumber air bersih yang dimiliki, Dinas Kesehatan dapat memberikan
masukan kepada Dinas Tata Kota dan Perumahan terkait pembangunan
infrastruktur penyediakan air bersih guna meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat.

Daftar Pustaka
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2014. Indeks Pembangunan
Kesehatan Masyarakat. Jakarta.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Badan Pusat Statistik Kabupaten
Nagan Raya. 2014. Nagan Raya Dalam Angka dan Produk Domestik
Regional Bruto. Suka Makmue, Nagan Raya.

Tumaji, Kusuma A, Amaliani T, Mufidah NL. 2015. Status Kesehatan Kabupaten


Nagan Raya, Perlahan Bangkit dalam Keterbatasan. Buku Seri Studi
Kualitatif Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat. Yogyakarta : PT
Kanisius (Anggota IKAPI).

Hasil riset secara menyeluruh bisa didapatkan


pada buku
Seri Studi Kualitatif IPKM; Status Kesehatan
Kabupaten Nagan Raya Perlahan Bangkit
dalam Keterbatasan
Bisa diunduh pada tautan berikut:
https://www.scribd.com/doc/301284885/Ser
i-Studi-Kualitatif-IPKM-Status-KesehatanKabupaten-Nagan-Raya-Perlahan-Bangkitdalam-Keterbatasan

Info lebih lanjut bisa menghubungi


Tumaji;
HP 081335420751;
Email aji@litbang.go.id

Memperbaiki Masalah Gizi Balita


dan Kesehatan Lingkungan
di Kota Salak
Rekomendasi ditujukan kepada
Walikota dan Dinas Kesehatan Kota Padang Sidempuan
Disusun oleh
Turniani Laksmiarti, Irfan Ardhani, Asep Kusnali

Ringkasan Eksekutif
Studi kualitatif tentang Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat
(IPKM) ini bertujuan untuk menjawab mengapa indikator
pembangunan kesehatan masyarakat terutama kesehatan balita dan
kesehatan lingkungan di Kota Padang Sidempuan berada di bawah
rata-rata provinsi dan nasional. Dengan menemukan penyebab
masalah kesehatan balita dan kesehatan lingkungan tersebut dapat
disusun kebijakan yang lebih efektif.

Pengantar
Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) merupakan
salah satu alat yang digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan
pembangunan kesehatan masyarakat di Indonesia. IPKM disusun
menggunakan tiga data survei nasional yaitu Survei Sosial Ekonomi
Nasional (Susenas), Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), dan Survei Potensi
Desa (PODES).IPKM menggambarkan hasil pembangunan kesehatan
masyarakat dalam angka indeks yang disusun menjadi peringkat untuk
masing-masing provinsi maupun kabupaten/kota. Tujuan penentuan
peringkat tersebut adalah memberikan dasar bagi Pemerintah Pusat untuk
menentukan alokasi anggaran kesehatan dari pusat ke daerah. Selain itu
juga sebagai bahan advokasi kepada provinsi maupun kabupaten kota

untuk menaikkan peringkatnya dengan melakukan prioritas program


kesehatan sesuai indikator dalam IPKM. Bagi Pemerintah Daerah IPKM
diharapkan menjadi dasar dalam perencanaan program pembangunan
kesehatan di wilayahnya.
Berdasar IPKM 2013, Kota Padang Sidempuan berada pada
peringkat 310 dari 497 kabupaten dan kota di Indonesia. Artinya laju
pembangunan kesehatan Kota Padang Sidempuan lebih lambat jika
dibandingkan dengan kabupaten/kota lain.
INDEKS KELOMPOK INDIKATOR
Kes
Balita

Kespro

Yankes

Perilaku

PTM

PM

Kesling

Kota Padang
Sidempuan

0.5630

0.4469

0.3701

0.2973

0.6895

0.7478

0.3706

Sumatera Utara

0.6040

0.3322

0.2525

0.1924

0.3829

0.5496

0.4905

Sumber: Badan Litbang Kemenkes RI., 2013

Gambaran secara umum kondisi pembangunan kesehatan


masyarakat di Kota Padang Sidempuan terlihat dalam tabel di atas.
Pembangunan kesehatan balita dan pembangunan kesehatan lingkungan
Kota Padang Sidempuan berada dibawah rata-rata angka provinsi dan
angka nasional.

Metode
Usulan kebijakan ini disusun berdasarkan hasil penelitian tim Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Penelitian dilakukan di enam
kecamatan Kota Padang Sidempuan dengan desain penelitian kualitatif.
Pengumpulan data dilakukan pada bulan Januari sampai dengan bulan
Februari 2015 dengan metode wawancara mendalam dan observasi.
Wawancara dilakukan kepada masyarakat, kader posyandu, kepala
lingkungan setempat, pemegang program kesehatan balita dan kesehatan
lingkungan di Puskesmas, dan pemegang program kesehatan balita dan
kesehatan lingkungan di Dinas Kesehatan, Badan Pusat Statistik, Badan
Perencana Pembangunan Daerah, dan SKPD terkait di Kota Padang
Sidempuan.

10

Hasil
Masalah Gizi Balita
Berdasarkan hasil Riskesdas 2013, masalah kesehatan balita di Kota
Padang Sidempuan yang perlu mendapatkan perhatian serius adalah balita
gizi buruk dan gizi kurang serta masalah balita sangat pendek dan pendek
(stunting). Prevalensi balita yang mengalami gizi buruk maupun gizi kurang
sebesar 28,16%, lebih tinggi dari rata-rata nasional sebesar 19,63%.
Sedangkan prevalensi
stunting sebesar
48,77%, lebih tinggi dari
rata-rata nasional
37,21%. Hasil observasi
dan wawancara
menggambarkan bahwa
kurangnya pemantauan
tumbuh kembang pada
program hilir kesehatan
balita dan pola asuh
orang tua menjadi
penyebab utamanya.
Program hilir pemantauan kesehatan balita melalui posyandu yang
dilaksanakan masih kurang efektif. Alat pemantauan tumbuh kembang
balita seperti buku KIA dan KMS tidak maksimal digunakan. Hampir semua
balita yang ditimbang pada saat posyandu tidak membawa buku KIA
maupun KMS sehingga orang tua maupun tenaga kesehatan tidak bisa
memantau perkembangan balitanya. Tidak pernah dilakukan pengukuran
tinggi badan balita pada setiap kegiatan posyandu. Pemberian makanan
tambahan (PMT) telah dilaksanakan setiap kali kegiatan posyandu, dan
PMT berupa susu dan biskuit telah diberikan kepada anak yang mengalami
gizi kurang, tetapi kurang dilakukan pemantauan. PMT yang diberikan
terkadang tidak dikonsumsi oleh balita bersangkutan. Dengan alasan anak
tidak mau makan, PMT justru dikonsumsi oleh anggota keluarga yang lain.
Pola asuh orang tua turut memberi andil dalam perkembangan balita.
Asupan makanan bergizi bagi sebagian orang tua yang memiliki balita tidak

11

menjadi prioritas. Pemberian makanan asal anak kenyang dan jajan


makanan tidak sehat masih menjadi kebiasaan.
Kesehatan Lingkungan
Kota Padang
Sidempuan memiliki
potensi sumber daya
air yang kaya. Sebelas
sungai dan anak sungai yang mengalir
sepanjang tahun
menjadi lumbung
persediaan air bersih
yang dapat
dimanfaatkan untuk
memenuhi
kebutuhan air bersih dan sanitasi bagi masyarakat. Data Riskesdas 2013,
cakupan akses air bersih Kota Padang Sidempuan sebesar 96,9% lebih
tinggi dari cakupan nasional sebesar 95,26%. Artinya hampir semua
masyarakat dapat mengakses air bersih. Kondisi berbeda pada cakupan
akses sanitasi. Masyarakat yang dapat mengakses sanitasi sehat di Kota
Padang Sidempuan sebesar 41,99%, berada dibawah angka nasional
58,18%. Dengan demikian lebih dari setengah penduduknya menggunakan
sanitasi yang kurang sehat. Sebagian masyarakat masih menggunakan
aliran sungai untuk kegiatan mandi, cuci dan kakus (MCK). Pemanfaatan air
sungai untuk keperluan sehari hari dilakukan warga secara turun temurun.
Kebiasaan ini melahirkan pemahaman bahwa air yang bersih adalah air
yang banyak dan mengalir. Keyakinan masyarakat ini menyebabkan
beberapa program pemerintah daerah tentang sanitasi tidak berjalan
lancar. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa sebagian warga yang
sudah menggunakan jamban, pembuangan limbah akhirnya tetap masuk
ke aliran sungai. Kondisi ini lambat laun akan merusak kualitas air sungai.
Penempatan tempat pembuangan akhir sampah (TPA) kota yang berada di
hulu sungai mempercepat penurunan kualitas air.

12

Kesimpulan
Penurunan IPKM di Kota Padang Sidempuan terutama bidang gizi
balita dan kesehatan lingkungan dipengaruhi oleh dua hal yang saling
berhubungan, yaitu kurang efektifnya program dan kebijakan pemerintah
dan lemahnya peran serta masyarakat.

Implikasi & Rekomendasi


Gizi Balita
Masa tumbuh kembang balita adalah masa terpenting dalam
pertumbuhan fisik, mental dan kecerdasan manusia. Berbagai penelitian
yang telah dilakukan di beberapa negara mengungkapkan adanya
hubungan erat antara keadaan gizi pada periode pertumbuhan pesat
dengan perkembangan otak (Amelia, Karyadi, Mulyati, & Lamid, 1995).
Pemantauan tumbuh kembang balita menjadi upaya yang mutlak harus
dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah.
Kebijakan yang dapat diupayakan yaitu:
1. Penyediaan alat antropometri yang memenuhi standar untuk
semua posyandu yang ada. Posyandu merupakan potensi yang
dapat dioptimalkan dalam pemantauan tumbuh kembang balita.
Pemerintah melalui dinas kesehatan dapat mengoptimalkan peran
posyandu melalui menjamin kecukupan sarana dan prasarana
seperti ketersediaan alat timbang badan yang valid.
2. Memasukkan pengukuran tinggi badan bayi dan balita dalam setiap
kegiatan posyandu.
3. Mengubah cara pemberian makanan tambahan tinggi protein di
posyandu yang semula boleh dibawa pulang menjadi makan
ditempat untuk memastikan bahwa balita mengkonsumsi makanan
tinggi protein.
4. Melatih kader posyandu menjadi agen perubahan dalam kebiasaan
pemberian makanan dalam masyarakat yang semula asal anak
kenyang dan kebiasaan jajan menjadi pemberian asupan makanan
berkecukupan gizi.

13

5. Membuat program promosi kesehatan untuk mengalihkan belanja


rokok menjadi belanja makanan bergizi terutama pada rumah
tangga yang memiliki bayi dan balita. Proporsi merokok masyarakat
di Kota Padang Sidempuan cukup tinggi yaitu 31,50%. Nilai finansial
yang cukup besar bila masyarakat mau dan mampu mengalokasikan
belanja rokok menjadi belanja makanan bergizi. Pendampingan
masyarakat diperlukan untuk mengalihkan belanja rokok menjadi
belanja makanan bergizi.
Kesehatan Lingkungan
Kesehatan lingkungan sangat berpengaruh terhadap tingkat
kesehatan masyarakat termasuk kesehatan ibu dan anak. Menurut
kerangka kerja United Nations Children's Fund (UNICEF) tentang malnutrisi
pada ibu dan anak, ada tiga hal utama yang mempengaruhi kecukupan gizi
pada ibu dan anak. Salah satu diantaranya adalah kesehatan lingkungan
yang juga mancakup ketersediaan air minum sehat dan sanitasi yang
memadai. Dengan demikian kesehatan lingkungan tidak bisa
dikesampingkan dalam program pembangunan di suatu wilayah untuk
mengurangi permasalahan kesehatan pada ibu dan anak terkait gizi.

Gambar 1. Tempat pembuangan akhir sampah kota berada di hulu sungai. Kondisi ini berpotensi
mencemari air sungai sebagai sumber air bersih penduduk.

Sumber: Dokumentasi Peneliti

14

Kebijakan yang dapat diupayakan untuk meningkatkan kesehatan


lingkungan diantaranya;
1. Modifikasi budaya lubuk larangan menjadi program kesehatan
lingkungan. Kota Padang Sidempuan, sebagaimana halnya dengan
wilayah Tapanuli pada umumnya, memiliki sebuah budaya lokal
yang sangat bagus sebagai upaya konservasi aliran sungai yaitu
lubuk larangan. Lubuk larangan adalah bagian aliran sungai yang
dipantangkan untuk mengambil ikan dan beberapa aktivitas lain.
Modal kearifan lokal ini dapat dimodifikasi dan dikembangkan
menjadi Peraturan Daerah (Perda) dengan memasukkan perilaku
MCK dan buang sampah di sungai sebagai pantangan.
2. Refitalisasi program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat. Melibatkan
masyarakat dalam setiap program pembangunan insfrastruktur
sanitasi.
3. Relokasi tempat pem-buangan akhir sampah kota dari hulu sungai
ke tempat yang jauh dari sumber air bersih. Kondisi saat ini TPA
berada sangat dekat dengan hulu sungai yang berpotensi mencemari air yang digu-nakan sebagai sumber air bersih warga. Dinas
kesehatan dapat membuat analisis cemaran air yang dapat
dijadikan usulan berbasis bukti kepada wali kota untuk membuat
kebijakan relokasi TPA.

Daftar Pustaka
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. (2014). IPKM: Indeks
Pembangunan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Lembaga Penerbitan
Balitbangkes
Badan Standarisasi Nasional Indonesia, Standar Nasional Indonesia (SNI)
03-3241-1994 Tahun 1994 Tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi
Tempat Pembuangan Akhir Sampah
Dinas Kesehatan Daerah Kota Padang Sidempuan. (2013). Profil Kesehatan
2013, Kota Padangsidimpuan
_____. (2013). Renja: Rencana Kinerja Tahun 2013, Kota Padang
Sidempuan

15

_____.(2013). Lakip: Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah


Tahun 2013, Kota Padang Sidempuan
_____. (2007) Profil Kesehatan 2007, Kota Padangsidimpuan
Indonesia, Undang-Undang Pembentukan Kota Padang Sidempuan, UU No.
4 Tahun 2001
_____, Undang-Undang Pengelolaan Sampah, UU No. 18 Tahun 2008
_____, Peraturan Pemerintah Tentang Pembentukan Kota Administratif
Kota Padang Sidempuan PP No. 32 Tahun 1982
_____, Peraturan Pemerintah Tentang Kesehatan Lingkungan, PP No. 66
Tahun 2014

Hasil riset secara menyeluruh bisa didapatkan


pada buku
Seri Studi Kualitatif IPKM; Potret Kota
Padang Sidempuan dalam Permasalahan Gizi
Balita dan Kesehatan Lingkungan
Bisa diunduh pada tautan berikut:
https://www.scribd.com/doc/301280714/Se
ri-Studi-Kualitatif-IPKM-Potret-Kota-PadangSidempuan-dalam-Permasalahan-Gizi-Balitadan-Kesehatan-Lingkungan

Info lebih lanjut bisa menghubungi


Turniani Laksmiarti;
HP 082139066343;
Email dmx_indigo@hotmail.com

16

Meningkatkan Status Gizi Balita


Upaya Mengungkit Nilai IPKM Kabupaten Gunung Kidul
Rekomendasi ditujukan kepada
Bupati dan Dinas Kesehatan Kabupaten Gunung Kidul
Disusun oleh
Kasnodihardjo, Yuana Wiryawan, Nurillah Amaliah, Nur Handayani Utami

Ringkasan Eksekutif
Banyak kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah
daerah Kabupaten Gunungkidul dalam rangka menunjang
program-program kesehatan, menunjukkan komitmen
untuk mengatasi masalah kesehatan dan meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat. Begitu pula programprogram yang telah ditujukan dan dilaksanakan untuk
menanggulangi masalah kesehatan balita. Akan tetapi
ternyata hal ini belum cukup untuk bisa memperbaiki
keadaan gizi balita dan mengungkit nilai IPKM Kabupaten
Gunungkidul.
Apakah yang masih kurang??

Pengantar
Sejak pengembangannya pada tahun 2007, IPKM telah dapat
merangking Kabupaten/Kota di Indonesia berdasarkan prevalensi ataupun
cakupan program kesehatannya. IPKM juga telah terbukti dapat menjadi
alat advokasi pada tingkat pemerintah daerah dan nasional. IPKM yang
telah dikembangkan pada tahun 2007 kemudian dikembangkan dan
disempurnakan menjadi IPKM 2013.
Secara umum, seluruh kabupaten/kota di Provinsi DI Yogyakarta
mengalami peningkatan skor IPKM. Akan tetapi sangat disayangkan bahwa
telah terjadi penurunan peringkat bila dibandingkan dengan tahun 2007.
Itu pula yang terjadi di Kabupaten Gunung Kidul. Bahkan Kabupaten

17

Gunung Kidul memperoleh predikat peringkat IPKM terendah di Provinsi DI


Yogyakarta.
Pada
tahun
2007
kabupaten ini menempati
Bila dibandingkan dengan
rangking 46 dari seluruh
seluruh Kabupaten/Kota di
Kabupaten/Kota di Indonesia,
sedangkan pada IPKM 2013
Indonesia, Kabupaten
rangkingnya merosot menjadi
Gunungkidul mengalami
236. Dari 7 sub indeks IPKM,
penurunan rangking yang
kesehatan balita merupakan
salah satu sub indeks yang cukup tajam dari urutan 46 ke
penting karena kesehatan
236...
pada masa balita merupakan
landasan bagi kehidupan yang
akan datang. Dimana keadaan
kesehatan yang kurang optimal pada masa balita akan berdampak pada
menurunnya kesehatan fisik maupun mental pada masa yang akan datang.
Indikator balita gizi buruk dan kurang serta balita sangat pendek
dan pendek masuk dalam kategori indikator mutlak. Artinya indikator ini
memiliki keterpaparan dan luas masalah yang besar di masyarakat,
memiliki dampak yang besar terhadap kesehatan, memiliki urgensi
kecepatan untuk dilakukan penanganan dan merupakan masalah
kesehatan yang sulit untuk diatasi. Sehingga diyakini bilamana
permasalahan pada program gizi balita diatasi maka akan dapat
mengungkit nilai IPKM Kabupaten Gunung Kidul.

Metode
Disain studi ini merupakan studi kasus, dengan menggunakan
pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan cara
wawancara mendalam, diskusi kelompok, observasi (pengamatan
terhadap objek terkait) serta penelusuran dokumen.
Informan unsur masyarakat yang terdiri dari jajaran pemerintah
daerah Kabupaten Gunung Kidul, jajaran Dinas Kesehatan Kabupaten
Gunung Kidul, SKPD terkait masalah kesehatan anak, tokoh masyarakat,
tokoh agama, kader kesehatan dan keluarga/ibu yang mempunyai balita.

18

Hasil
Permasalahan Kesehatan Balita
Secara umum telah ada keselarasan antara kebijakan dari
Kementerian Kesehatan, Provinsi maupun Kabupaten Gunung Kidul sendiri
mengenai kesehatan balita. Dukungan dari Pemerintah Daerah dibuktikan
dengan dianugrahkannya Bupati Gunung Kidul penghargaan Kesatria Bakti
Husada (KSB) dari Menteri Kesehatan pada tahun 2014. Penghargaan ini
diberikan bagi pemimpin daerah atas kebijakan dan inovasi program
pembangunan dalam bidang kesehatan. Program-program dalam
kesehatan balita pun telah ditujukan dan dilaksanakan untuk
meningkatkan derajat kesehatan balita. Namun nampaknya hal ini belum
cukup untuk bisa memperbaiki keadaan kesehatan balita di Kabupaten
Gunung Kidul.
Hasil RISKESDAS 2013 menunjukkan bahwa proporsi balita gizi
kurang/ buruk di Kabupaten Gunung Kidul meningkat. Proporsi ini lebih
tinggi dari Proporsi DI Yogyakarta dan Indonesia. Balita pendek mengalami
penurunan dari tahun 2007 namun proporsinya masih tertinggi diantara
kabupaten lain di Provinsi DI Yogyakarta. Sedangkan balita gemuk yang
menggambarkan kejadian kelebihan gizi pada anak juga mengalami
peningkatan proporsi. Bahkan pada 2013, proporsinya lebih tinggi dari nilai
Provinsi DI Yogyakarta (10,29%) dan Indonesia (11,76%).

Gambar 1. Tren Masalah Gizi Balita di Kabupaten Gunung Kidul


Sumber: Balitbang Kemenkes RI., 2007 & 2013

19

Analisis pelaksanaan program kesehatan balita menunjukkan bahwa


pada proses perencanaan yang menjadi kendala yaitu keterbatasan dana
APBD yang ada, sehingga harus memanfaatkan anggaran lain yang tersedia
serta masih lemahnya kordinasi lintas sektor.
Kebutuhan akan sumberdaya manusia (SDM) kesehatan masih
menjadi kebutuhan di Kabupaten Gunung Kidul. Kekurangan SDM
terutama terjadi di Puskesmas. Kabupaten Gunung Kidul mengalami
ketertinggalan dalam hal kecukupan SDM kesehatan dibandingkan dengan
Kabupaten/Kota lainnya di Provinsi DI Yogyakarta. Kurangnya SDM
kesehatan ini ditengarai juga akibat mutasi tenaga kesehatan keluar dari
Gunung Kidul yang cukup besar.
Sarana dan prasarana yang diperlukan dalam program kesehatan
balita utamanya di Posyandu juga dirasakan masih kurang optimal, dimana
timbangan dacin yang digunakan tidak semuanya sudah ditera, alat
infantometer (pengukur panjang badan bayi) juga belum dimiliki oleh
seluruh Posyandu. Tentunya ini akan memberikan hasil yang berbeda dan
nantinya tidak bisa dibandingkan karena menggunakan alat ukur yang
berbeda pada saat pengukurannya. Pada proses pelaksanaan didapatkan
bahwa tingkat partisipasi masyarakat masih rendah untuk datang ke
Posyandu.
Hasil observasi dan wawancara mendalam kepada petugas dan kader
juga menunjukkan bahwa kualitas petugas gizi dan kader yang masih
kurang dalam hal pemantauan pertumbuhan balita. Selain itu
permasalahan gizi pada balita tidak hanya terkait kekurangan asupan gizi
seimbang karena faktor ekonomi atau ketersediaan makanan tetapi akibat
minimnya pengetahuan orangtua tentang gizi seimbang. Bahkan sudah
menjadi kebiasaan sehari-hari orang tua umumnya bekerja di luar rumah
meninggalkan bayi atau anaknya yang masih balita baik sebagai petani
maupun buruh tani atau di bidang jasa lainnya. Selama atau saat anak
ditinggal dirumah diasuh oleh kakek-nenek. Hal ini tentunya kebutuhan gizi
anak berisiko kurang terpenuhi sehingga berdampak pada hasil
pengukuran berat maupun tinggi badan pada akhirnya.
Faktor budaya lain yang dapat menimbulkan permasalahan
kesehatan di Kabupaten Gunung Kidul yaitu permasalahan pernikahan dini
yang masih terjadi di beberapa wilayah. Hal ini dapat menimbulkan
permasalahan yang kompleks mulai dari perceraian, terjadinya kasus
kekerasan dalam rumah tangga yang akan berdampak pada kondisi

20

kesehatan anak antara lain gizi kurang karena pola asuh yang kurang
benar.

Kesimpulan
Komitmen dari pemerintah daerah dan program-program
kesehatan balita yang telah dijalankan belum cukup untuk bisa
memperbaiki keadaan kesehatan balita di Kab Gunung Kidul. Untuk itu
diperlukan strategi dan perbaikan dalam pelaksanaan program
pemantauan pertumbuhan balita sehingga dapat kembali pada posisi
peringkat IPKM yang semula atau lebih baik lagi.

Implikasi & Rekomendasi


Jika pelaksanaan program kesehatan balita tetap dijalankan seperti
saat ini, dikhawatirkan akan terjadi stagnasi bahkan penurunan keadaan
kesehatan balita di Kab Gunung Kidul. Untuk itu direkomendasikan hal
berikut :
1) Memberikan pelatihan-pelatihan penyegaran untuk tenaga-tenaga
kesehatan maupun kader tentang pentingnya pemantauan
pertumbuhan balita.
2) Peningkatan cakupan Posyandu dapat dilakukan dengan membuat
inovasi-inovasi dalam pelaksanaannya, misalnya dengan pemberian
hadiah bagi yang rutin datang ke posyandu.
3) Kalibrasi alat pengukur berat badan (dacin) serta pengadaan alat ukur
panjang/tinggi badan sesuai dengan kebutuhan masing-masing
Puskesmas.
4) Perlunya penguatan program promosi kesehatan terkait masalah
pengasuhan anak sebagai upaya pencegahan gizi kurang dan buruk
dengan memperbanyak penyuluhun dan pemenuhan tenaga promosi
kesehatan di puskesmas.
5) Membuat kebijakan tentang jangka waktu minimal mutasi pegawai ke
daerah lain serta memberikan alokasi tempat yang lebih besar untuk
putra daerah untuk menjamin ketersediaan tenaga kesehatan.
Menciptakan usaha-usaha kecil dan menengah di masyarakat agar

21

dapat membuka lapangan pekerjaan terutama untuk ibu balita


sehingga dapat memperbaiki ekonomi keluarga
6) Pencegahan pernikahan dini perlu ditindaklanjuti dengan menerbitkan
regulasi postif, PERBUP atau Peraturan Daerah (PERDA).
7) Menjamin ketersediaan dan pemanfaatan Buku KIA/KMS di
masyarakat.
8) Memperbaiki teknis pelaporan kegiatan pemantauan pertumbuhan
balita misal dengan pemberian reward kepada kader yang aktif
memberikan laporan.

Daftar Pustaka
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementrian Kesehatan RI,
2007. Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat, Jakarta.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementrian Kesehatan RI.
2007, Survei Kesehatan Nasional, Suvei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas).
Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul. 2008. Gunungkidul Dalam Angka
2007. BPS Kabupaten Gunungkidul: Gunungkidul.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementrian Kesehatan RI,
2008. Indeks Pembangunan KesehatanMasyarakat, Jakarta.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementrian Kesehatan RI,
2014. Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat, Jakarta.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul. 2014. Gunungkidul Dalam Angka
2013. BPS Kabupaten Gunungkidul: Gunungkidul.
Bappeda. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten
Gunungkidul 2010-2015.
Dinas Kesehatan Kabupaten Gunungkidul. 2008. Profil Kabupaten Gunungkidul
Tahun 2007. Dinkes Kabupaten Gunungkidul: Gunungkidul.
Dinas Kesehatan Kabupaten Gunungkidul. 2014. Profil Kabupaten Gunungkidul
Tahun 2013. Dinkes Kabupaten Gunungkidul: Gunungkidul.

22

Hasil riset secara menyeluruh bisa didapatkan


pada buku
Seri Studi Kualitatif IPKM; Dhaksinarga
Bhumikara, Tekad Gunung Kidul Mewujudkan
Masyarakat Sehat dan Sejahtera
Bisa diunduh pada tautan berikut:
https://www.scribd.com/doc/301279999/Ser
i-Studi-Kualitatif-IPKM-DhaksinargaBhumikara-Tekad-Gunung-KidulMewujudkan-Masyarakat-Sehat-danSejahtera

Info lebih lanjut bisa menghubungi


Kasnodihardjo;
HP 081311134648
Email kasnodihardjo@yahoo.com

23

24

Upaya Peningkatan Sanitasi Masyarakat


Melalui Pemanfaatan Air Sungai
Air Bersih vs Air Sungai
Rekomendasi ditujukan kepada
Bupati dan Dinas Kesehatan Kabupaten Murung Raya
Disusun oleh
Nunik Kusumawardani, Rachmalina Soerachman, Meda Permana

Ringkasan Eksekutif
Kabupaten Murung Raya merupakan salah satu kabupaten yang
mengalami perbaikan nilai IPKM pada tahun 2013 dibandingkan
dengan IPKM 2007. Salah satu masalah kesehatan di Kabupaten ini
adalah akses terhadap sanitasi yang masih rendah (38.8%). Faktor
utama rendahnya akses sanitasi sehat di Kabupaten ini adalah
kedekatan hubungan antara masyarakat dan sungai, yang apabila
terus berlanjut akan muncul risiko terjadinya penyakit infeksi dan
penyakit kronik akibat cemaran serta keruasakan alam karena
limbah. Analisis ini memberikan rekomendasi kebijakan bagi
pemerintah daerah setempat untuk memperkuat strategi intervensi
melalui peran swasta, lintas sector, dan peran masyarakat setempat.
Disamping itu kebijakan stop BAB di sungai perlu diperkuat melalui
pendekatan intervensi terpadu termasuk pemanfaan air sungai
secara lebih sehat.

Pengantar
Kabupaten Murung Raya, yang mengalami peningkatan IPKM dari
0,3527 pada tahun 2007 menjadi 0,4921 pada tahun 2013. Di samping itu,
secara ekonomi kabupaten Murung Raya merupakan kabupaten dengan
kategori tidak miskin karena mempunyai proporsi penduduk miskin yang
kurang dari 14,53% berdasarkan hasil pendataan sosial ekonomi (PSE)

25

tahun 2011. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dipelajari dan digali
lebih lanjut secara lebih spesifik faktor-faktor apa yang berperan penting
dalam peningkatan nilai IPKM di Kabupaten Murung Raya.
Grafik 1. Peningkatan Cakupan (%)
Indikator Kesehatan pada tahun 2007
dibandingkan dengan tahun 2013 di
Kabupaten Murung Raya (Data
RISKESDAS)
70
60
50
40
30
20
10
0

53,2

61,3
50,4
38,9

21,5

16,4

2007

26

16,9
8,1

2013

Metode
Informasi yang disampaikan dalam policy brief ini merupakan hasil
studi kualitatif penggalian faktor-faktor yang berkaitan dengan
peningkatan nilai IPKM di Kabupaten Murung Raya serta kendala dan
tantangan dalam pembangunan kesehatan. Informasi didapatkan dari
penyelenggaran program di sektor kesehatan dan non kesehatan serta dari
masyarakat. Didukung juga dari analisis data sekunder dan dokumen
pendukung terkait pembangunan Murung Raya.

Hasil
Beberapa perbaikan yang sudah terjadi di Kabupaten Murung Raya
dalam kurun waktu antara 2007 s/d 2013 diantaranya adalah sebagai
berikut:
1) Peningkatan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) perkapita
pertahun dari sekitar 24,9 juta rupiah pada tahun 2007 menjadi 28,4
juta rupiah pada tahun 2013.
2) Perbaikan infrastruktur transportasi, termasuk jalan provinsi, jalan
kabupaten, dan jalan desa. Termasuk juga peningkatan akses keluar
dan masuk Kabupaten Murung Raya melalui tersedianya transprotasi
udara serta perbaikan
jalan darat lintas kabupaten dan provinsi.
Anggaran kesehatan
3) Tersedianya
anggaran
meningkat dari sekitar 467
desa melalui kegiatan
juta rupiah pada tahun 2008
GERBANG DESAMU pada
periode tahun 2008
menjadi sekitar 77,5 milyar
2013.
rupiah. Sementara secara
4) Peningkatan peran Badan
persentase terjadi
Pemberdayaan
Masyarakat Desa (BPMD)
peningkatan dari 0.08% pada
untuk pembangunan satahun 2008 menjadi 9.52%
rana Mandi Cuci Kakus
(MCK).
pada tahun 2013

27

5) Peningkatan anggaran kesehatan baik dari aspek jumlah maupun persentase terhadap anggaran daerah.
Perbaikan kondisi atau faktor pendukung pemCakupan sanitasi sehat yang
bangunan kesehatan yang
masih cukup rendah (38.9%)
terjadi di Kabupaten Murung
Raya tersebut secara tidak
dibandingkan dengan angka
langsung berkontribusi tercakupan di Provinsi
hadap perbaikan nilai IPKM
pada tahun 2013 dibanKalimantan Tengah (50.4%)
dingkan tahun 2007.
dan nasional (58.2%).
Meskipun terjadi perbaikan nilai indeks pembangunan kesehatan, nilai indeks masih cukup jauh dari sempurna (nilai
indeks 1). Kabupaten Murung Raya masih mengalami beberapa
permasalah kesehatan dan tantangan ke depan yang dapat mempengaruhi
pem-bangunan kesehatan masya-rakatnya. Diantaranya, per-masalahan
kesehatan terkait cakupan sanitasi sehat yang masih cukup rendah (38.9%)
dibandingkan dengan angka cakupan di Provinsi Kalimantan Tengah
(50.4%) dan nasional (58.2%).
Beberapa faktor utama yang menjadi pemicu permasalah akses
terhadap sanitasi sehat adalah sebagai berikut:
1) Perilaku masyarakat yang sangat berkaitan erat dengan sungai.
Sebagian besar masyarakat Kabupaten Murung Raya menjadikan
sungai sebagai bagian kehidupan sehari-hari. Kebersihan diri dan
sumber air minum masih
memanfaatkan air suKeterbatasan juga mencakup
ngai. Lokasi Kabupaten
Murung Raya yang dikapasitas tenaga sanitarian
kelilingi oleh sungai Bayang belum secara optimal
rito menjadikan masyarakatnya belum bisa
mampu mengubah perilaku
terlepas dari sungai.
masyarakat dari pemanfaatan
2) Keterbatasan
tenaga
air sungai menjadi lebih
sanitarian. Masih ada
Puskesmas yang belum
memanfaatkan air bersih
mempunyai tenaga sa-

28

nitarian. Keterbatasan ju-ga mencakup kapasitas tenaga sanitarian


yang belum secara optimal mampu mengubah perilaku masyarakat
dari pemanfaatan air sungai menjadi lebih memanfaatkan air bersih
untuk kehidupan sehari-hari baik untuk konsumsi makan dan minum
maupun kebersihan diri.
3) Peran lintas sektor terkait penyediaan sarana sanitasi yang sehat serta
akses terhadap air bersih masih belum optimal di tingkat desa dan
kecamatan.

Gambar 1. Pengelolaan air bersih yang terbengkalai dan tidak berfungsi; dan
Pemanfaatan air sungai untuk membersihkan diri.
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Sementara kendala dan tantangan secara umum baik di sektor


kesehatan maupun non kesehatan mencakup sebagai berikut:
1) Keterbatasan askes sanitasi sehat mengarah pada peningkatan
penyakit menular dan risiko cemaran air yang dapat menyebabkan
penyakit kronik.
2) Jumlah penduduk meningkat dari 71,000 orang pada tahun 2011
menjadi 106,900 orang
pada tahun 2013. Angka
dependency ratio sedikit
Industri pertambangan emas
menurun dari 62 pada
dan batubara perlu
tahun 2011 menjadi 61
pada tahun 2013.
pengelolaan yang
3) Perubahan dominasi sumberwawasan kesehatan untuk
ber ekonomi dari sektor
mencegah cemaran
pertanian menjadi sektor
industri khususnya perlingkungan
tambangan. Industri per-

29

tambangan emas dan batubara perlu pengelolaan yang berwawasan


kesehatan untuk mence-gah cemaran lingkungan. Meskipun masih ada
keterbatasan dalam teknologi pegelolaan sumber daya alam sehingga
menyebabkan Kabupaten Murung Raya belum mampu memanfaatkan
sektor non pertanian sebagai sumber perekonomian utama
masyrakatnya dan pedapatan daerah.
4) Keterbatasan infrastruktur dalam aspek transportasi, komunikasi,
kesehatan, pendidikan dan pariwisata.
5) Tingkat pendidikan rendah. Rata-rata lama sekolah masih rendah,
meskipun terjadi sedikit peningkatan rata-rata lama sekolah dari 7.1
tahun pada tahun 2007 menjadi 7.5 tahun pada tahun 2013.
(http://murakab.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/23).
6) Pengaruh gaya hidup pendatang sebagai akibat berkembangnya sektor
industry dapat merupakan tantangan ke depan dalam perilaku hidup
sehat masyarakatnya.

Kesimpulan
Permasalahan sanitasi
lingkungan di Kabupaten
Murung Raya berkaitan erat
dengan miss-conception masyarakat terhadap sungai
yang tidak bisa terlepas dari
kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Sementara hal ini
belum didukung oleh teknologi tepat guna pemanfaatan
air sungai untuk konsumsi
dan transportasi yang merupakan tanggung jawab dan
fungsi lintas sektor terkait.

30

Permasalahan sanitasi
lingkungan di Kabupaten
Murung Raya berkaitan erat
dengan miss-conception
masyarakat terhadap sungai
yang tidak bisa terlepas dari
kehidupan sehari-hari
masyarakatnya

Implikasi & Rekomendasi


Apa yang akan terjadi apabila Kabupaten Murung Raya tidak
bergerak cepat untuk meningkatkan Akses Sanitasi?
1) Kesenjangan jumlah tenaga sanitarian antara kebutuhan dan
ketersediaan.
2) Keterbatasan ketersediaan sarana sanitasi yang memadai baik di
tempat umum maupun di rumah tangga. Masih banyaknya fasilitas
sanitasi yang memanfaatkan sungai.
3) Perilaku pemanfaatan sungai untuk sanitasi.
4) Kurangnya akses terhadap air bersih bagi masyarakat.
5) Terdapat kecenderungan tejadinya kasus penyakit infeksi serta
penyakit kronik akibat cemaran pada air sungai.
Rekomendasi Kebijakan:
1) Penguatan kerjasama lintas sektor untuk penyediaan sarana sanitasi di
rumah tangga maupun secara bersama. Strategi program dapat
melalui mekanisme kontribusi swasta ataupun industri yang
berpotensi dalam mengembangkan perekonomian daerah.
2) Penerapan kebijakan stop BAB di sungai dapat lebih ditingkatkan
melalui beberapa pendekatan yang komprehensif melibatkan
masyarakat, tokoh adat dan tokoh masyarakat lainnya.
3) Perubahan perilaku dan penyediaan sarana jamban sehat di sungai
4) Investasi nyata dibidang pengembangan teknologi pemanfaatan sungai
untuk konsumsi air bersih dan transportasi cepat antara desa maupun
kecamatan yang aman dan mudah di akses bagi masyarakat.
5) Pemberdayaan masyarakat untuk penerapan strategi kelompok
pemakai air (pokmair).

Daftar Pustaka
Albrecht, Gary L., Ray Fitzpatrick., Susan C. Scrimshaw. Handbook of Social
Studies in Health and Medicine. SAGE Publications Ltd. 6 bonhill Street,
London EC2A 4PU. 2003.
Badan Litbangkes. Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat. Penerbit Badan
Litbangkes. 2015.

31

Badan Pusat Statisitk Kabupaten Murung Raya. Murung Dalam Angka 2008.
Badan Pusat Statisitik. 2008
Badan Pusat Statisitk Kabupaten Murung Raya. Murung Dalam Angka 2014.
Badan Pusat Statisitik. 2014
Badan Pusat Statistik. Analisis Pertumbuhan Ekonomi Murung Raya 2013. Badan
Pusat Statistik dan Bappeda Kabupaten Murung Raya. 2013
Bappeda Kabupaten Murung Raya. Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Daerah (RPJPD) 2008 2028. Bappeda Kabupaten Murung Raya. 2008
Bappenas. Investing in Indonesias Health: Challanges and Opportunities for
Future Public Spending. Health Public Expenditure Review 2008. Jakarta,
2008.
Dinas Kesehatan Kabupaten Murung Raya. Profil Kesehatan Kabupaten Murung
Raya 2013. Dinas Kesehatan Kabupaten Murung Raya. 2013.
Dinas Kesehatan Kabupaten Murung Raya. Profil Kesehatan Kabupaten Murung
Raya 2010. Dinas Kesehatan Kabupaten Murung Raya. 2010
Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Tengah. Profil Kesehatan Provinsi
Kalimantan Tengah 2013. Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Tengah.
2013
Durch, J., L. Bailey, and M.Shoto, Eds 1997, Improving Health in Community; A
Role for performance Monitoring. Washington, D.C., National Academy
Press
United Nations Development Programme. Human Development Report 2014.
Sustaining Human Progress: Reducing Vulnerabilities and Building
Resilience. United Nations Development Programe. New York. USA. 2014
World Health Organization. Closing the gap in a generation: health equity
through action on the social determinants of health: Final Report of the
commission on social determinants of healh. World Health Organization,
Geneva. 2008

32

Hasil riset secara menyeluruh bisa didapatkan


pada buku
Seri Studi Kualitatif IPKM; Tira Tangka
Balang, Pengalaman Kabupaten Murung Raya
Mengejar Ketertinggalan dalam
Pembangunan Kesehatan
Bisa diunduh pada tautan berikut:
https://www.scribd.com/doc/301283615/Se
ri-Studi-Kualitatif-IPKM-Tira-Tangka-BalangPengalaman-Kabupaten-Murung-RayaMengejar-Ketertinggalan-dalamPembangunan-Kesehatan

Info lebih lanjut bisa menghubungi


Nunik Kusumawardani;
HP 0818909648;
Email nunikk@gmail.com

33

34

Meningkatkan Status Gizi Balita


Upaya Akselerasi Pembangunan Kesehatan Masyarakat
di Kabupaten Lombok Barat
Rekomendasi ditujukan kepada
Bupati dan Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Barat
Disusun oleh
Agung Dwi Laksono, Mara Ipa, Ina Kusrini

Ringkasan Eksekutif
Policy Brief yang disusun berdasarkan hasil riset kualitatif IPKM ini
ditujukan untuk merekomendasikan upaya-upaya yang bisa
dilakukan untuk mengakselerasi pembangunan kesehatan
masyarakat di Kabupaten Lombok Barat. Studi ini menunjukkan
bahwa masalah utama yang berkontribusi besar pada IPKM di
Lombok Barat adalah status gizi balita. Faktor-faktor yang berpotensi
menjadi penyebab selain status sosial ekonomi dan tingkat
pendidikan masyarakat, juga karena adanya penyakit infeksi, sanitasi
yang buruk, pola asuh yang salah serta pengetahuan yang rendah
ibu/pengasuh tentang menu gizi seimbang.

Pengantar
Kabupaten Lombok Barat merupakan daerah bermasalah kesehatan
yang masuk dalam kate-gori miskin. Menurut data status sosial ekonomi
(PSE) tahun 2011, Kabupaten Lombok Barat memiliki angka PSE 19,7%.
Nilai ini berada diatas rerata PSE kabupaten/kota nasional, yang berada
pada kisaran 14,53% (Kemenkes RI, 2011). Sedang informasi dari sumber
lain menyebutkan bahwa proporsi penduduk miskin pada tahun 2013
sebesar 17,42% (Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Barat, 2013).
Berdasar hasil penghitungan IPKM tahun 2007 di Provinsi Nusa
Tenggara Barat menempatkan Kabupaten Lombok Barat sebagai Daerah

35

Bermasalah Kesehatan (DBK) dengan nilai 0,46. Namun demikian, meski


Kabupaten Lombok Barat masuk dalam kategori DBK dan miskin, hasil
evaluasi berdasarkan nilai IPKM 2013 terjadi perubahan ke arah positif. Hal
ini menunjukan adanya perba-ikan meskipun apabila dilihat dari besaran
perubahannya bukan merupakan perubahan yang menSecara umum terlihat
colok. Perubahan positif ini
dapat dilihat dari adanya
pembangunan kesehatan di
Lombok Barat menunjukkan peningkatan skor IPKM dari
0,46 (IPKM 2007) menjadi
perubahan ke arah positif
0,66 (IPKM 2013). Perubahan
ini juga dapat dilihat dari
yang cukup signifikan
kenaikan peringkat nasional
dari yang semula 296 pada
tahun 2007 menjadi peringkat 274 pada tahun 2013 dengan menggunakan
model IPKM tahun 2007, dan menjadi peringkat 259 berdasarkan
pengembangan model IPKM tahun 2013.
Latar belakang inilah yang menjadi alasan pemilihan Lombok Barat
sebagai salah satu wilayah studi ini. Upaya apa yang bisa dilakukan untuk
melakukan akselerasi peningkatan status kesehatan masyarakat?

Metode
Studi yang dilakukan merupakan kelanjutan atau konfirmasi
penilaian IPKM. Studi dilaksanakan secara kualitatif dengan metode
pengumpulan data yang terdiri dari tiga jenis metode. Tiga metode
tersebut adalah wawancara mendalam, observasi dan penelusuran
dokumen. Studi dilaksanakan oleh empat orang peneliti selama 20 hari di
Kabupaten Lombok Barat pada Februari 2015.
Studi ini juga termasuk dalam kategori evaluasi kebijakan. Peneliti
melakukan evaluasi program berdasarkan indikator IPKM dan data
sekunder berbasis fasilitas yang dinkonfirmasikan dengan fakta empiris di
lapangan, dengan tetap memperhatikan konteks kebijakan yang sedang
berlaku.

36

Hasil
Secara umum hasil pengamatan dan penelusuran dokumen terlihat
pembangunan kesehatan di Lombok Barat menunjukkan perubahan ke
arah positif yang cukup signifikan. Meski juga masih ditemukan beberapa
hal yang masih harus diperbaiki. Berdasarkan hasil penelu-suran di
lapangan, hal yang dirasakan paling menjadi masalah di Lombok Barat
adalah masalah status gizi balita.
Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan proporsi
kurang gizi pada balita yakni proporsi underweight, stunting dan wasting
dibandingkan tahun 2007. Disisi yang lain, terjadi peningkatan cakupan
balita yang ditimbang menjadi 91,13%. Kenaikan ini, menandakan telah
terjadi peningkatan upaya pemantauan pertumbuhan balita di Kabupaten
Lombok Barat.
Data Pemantauan Status Gizi (PSG) dan Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi)
Provinsi NTB pada tahun 2013 menunjukan hasil yang tidak jauh berbeda,
proporsi keluarga yang sudah menimbang berat badan balitanya secara
teratur sebesar 95,37%.

Gambar 1. Tren Status Gizi Balita di Kabupaten Lombok Barat Tahun 2011, 2012, 2013
Sumber: Dinkesprov NTB, 2013

Upaya sweeping juga dilakukan pada masyarakat yang belum atau


berhalangan hadir ke Posyandu. Meski demikian, permasalahan kurang gizi

37

pada balita masih terjadi. Data dari PSG dan Kadarzi Provinsi NTB tahun
2013 menunjukan tren status gizi balita selama tiga tahun terakhir yang
cenderung naik-turun pada
kisaran angka yang tidak
signifikan.
Lombok Barat mempunyai 41 tenaga gizi yang
terdistribusi dengan rincian 4
orang di Rumah Sakit dan 37
orang di 16 Puskesmas.
Artinya setiap Puskesmas
memiliki 2 - 3 tenaga gizi.
Sumber daya tenaga ini masih
ditambah dengan 4 kader
pada setiap dusun, dan 1-2
kader pendamping pada
setiap
desa.
Ada
802
Posyandu yang tersebar di
setiap dusun, dengan Posyandu aktif sebanyak 527
(65,71%).
Rendahnya pendidikan
Gambar 2. Salah Satu Balita Stunting dan
ibu/pengasuh di Lombok
Wasting
Barat (rata-rata sekolah 6,2
Sumber: Dokumentasi Peneliti
tahun atau baru tamatan SD)
dan tingkat ekonomi masyarakat turut menentukan jumlah dan mutu
makanan yang disajikan. Hasil penelusuran secara kualitatif menunjukkan
bahwa juga ada permasalahan gizi buruk yang terjadi seringkali disertai
dengan penyakit penyerta, kelainan bawaan dan infeksi. Terlepas dari
faktor apa yang terlebih dahulu ada, faktanya terdapat suatu sinergi antara
kurang gizi dan infeksi. Keduanya sering terjadi bersamaan dan antara satu
dan yang lain saling mempengaruhi. Selain itu juga ditemukan pola asuh
anak yang diserahkan kepada nenek balita. Sedang nenek tidak memiliki
pengetahuan yang cukup turut berkontribusi terhadap status gizi anak.
Faktor-faktor yang berpotensi menjadi penyebab permasalahan gizi balita
di Kabupaten Lombok Barat dapat dilihat pada matriks.

38

Wilayah Pengunungan
(Dusun Duduk Atas)
Potensi Masalah

Wilayah Pesisir
(Dusun Melase)
Sumber
Informasi

Potensi Masalah

Wilayah Dataran
(Dusun Sandik dan Limbungan Utara)
Sumber
Informasi

Potensi Masalah

Sumber
Informasi

Permasalahan dalam
Keluarga
Orang tua bercerai, tinggal
bersama nenek, nenek
bekerja dititipkan tetangga

Balita Jul

Infeksi seperti ISPA dan


Diare

Balita MRR,
Balita AL

Riwayat BBLR

Balita Di

MP ASI yang tidak adekuat


Nasi dicampur air hangat
dan garam

Balita Jul, Firm


dan Nov

Kebiasaan diberikan
jajanan agar balita diam

Balita MRR,

Susah makan

Balita Di

Sering sakit

Balita Fir

Sulit makan

Balita MRR,
Balita AL

Sakit seperti sesak


nafas, ISPA, Diare, Tb

Balita Di, Balita


ra, balita Hen

Sosial ekonomi

Balita Jul, Nov,


MH, Fir,
Observasi

Sosial ekonomi

Balita La

Tumbuh di lingkungan
Beresiko (misal keluarga
menderita Tb)

Balita Ra

Kebiasaan makan keluarga


mie instant dan telur,
terbatasnya akses

Balita Jul, Nov,


MH, Fir,
Observasi

Kelainan bawaan

Balita HK

Sumber: Data Primer

39

Kesimpulan
Telah terjadi peningkatan upaya yang dilakukan tenaga kesehatan,
terutama upaya pemantauan pertumbuhan balita di Kabupaten Lombok
Barat. Di sisi lain, kasus status gizi balita underweight, stunting dan wasting
masih terjadi. Kondisi ini selain disebabkan oleh rendahnya status sosial
ekonomi dan tingkat pendidikan masyarakat, juga karena adanya penyakit
infeksi dan sanitasi yang buruk. Selain itu pola asuh yang salah serta
pengetahuan yang rendah ibu/pengasuh tentang menu gizi seimbang
merupakan faktor yang berpotensi menjadi penyebab rendahnya status
gizi balita.

Implikasi & Rekomendasi


Bila kondisi seperti saat ini dibiarkan tanpa ada upaya-upaya khusus
yang didesain berdasarkan faktor penyebab utama, maka kondisi status
balita akan tetap stagnan dan berpotensi menjadi lebih buruk lagi. Ke
depan, potensi untuk penurunan kualitas sumber daya manusia di Lombok
Barat bisa menjadi lebih parah.
Permasalahan gizi balita ini merupakan masalah yang multi faktor,
tentu saja penyelesaian tidak
bias dilakukan dalam waktu
singkat. PR besar pemerintah
Permasalahan gizi balita ini
daerah Lombok Barat adalah
merupakan masalah yang
peningkatan status ekonomi
multi faktor, tentu saja
dan
tingkat
pendidikan
masyarakat,
untuk
itu
penyelesaian tidak bisa
diperlukan kerjasama lintas
dilakukan dalam waktu
sektor dengan Dinas terkait,
singkat.
khususnya Bappekab, Dinas
Pendidikan, Dinas Pertanian,
dan PKK.
Upaya secara operasional yang dapat dilakukan adalah:
1) Peningkatan upaya pemberantasan penyakit menular (ISPA, PD3I
dan diare) dan perbaikan sanitasi, terutama pada kantong-kantong
wilayah dengan prevalensi status gizi balita rendah.

40

2) Meningkatkan status gizi remaja putri dan ibu hamil melalui


Peningkatan Makanan Tambahan (PMT). Upaya mengubah sasaran
menjadi lebih awal ini harus dilakukan untuk memutus mata rantai
mulai dari hulu, sebelum terjadi kasus BBLR pada bayi dan sebelum
kurang gizi terjadi pada balita.
3) Meningkatkan kampanye pentingnya ASI eksklusif. ASI eksklusif ini
sangat penting untuk menjaga dan meningkatkan status gizi balita
pada pada awal pertumbuhan.
4) Pelatihan pembuatan makanan tambahan untuk balita pada orang
tua dengan penekanan pada pemanfaatan sumber bahan pangan
lokal. Upaya ini dilakukan untuk mencegah biaya tambahan yang
harus dikeluarkan untuk makanan tambahan.
5) Pengembangan menu makanan bergizi dengan bahan pangan lokal
dengan memperhatikan menu gizi seimbang. Variasi pilihan menu
dengan bahan lokal sangat strategis untuk referensi ibu-ibu dalam
memenuhi kebutuhan asupan gizi balitanya dengan upaya yang
lebih tidak merepotkan.
6) Peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya gizi melalui
optimalisasi peran kader. Upaya motivasi bisa dilakukan dengan
pemberian reward kepada kader yang aktif.

Daftar Pustaka
ACC/SCN 2000. Fourth Report on the World Nutrition Situation. Geneva: ACC/SCN
in collaboration with INFRI
ACC/SCn, 2000. Nutrition Throughout the Life Cycle. Fourth Report on the World
Nutrition Situation. Geneva. January
Kementerian Kesehatan RI., 2011. Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat.
Badan Pelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI,
2014. Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat. Badan Litbangkes,
Jakarta
Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Barat, 2013. Kabupaten Lombok Barat
dalam Angka Tahun 2013. BPS Kabupaten Lombok Barat, Gerung
Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Barat, 2014. Kabupaten Lombok Barat
dalam Angka Tahun 2014. BPS Kabupaten Lombok Barat, Gerung

41

Hasil riset secara menyeluruh bisa didapatkan


pada buku
Seri Studi Kualitatif IPKM; Geliat Sistemik
Kabupaten Lombok Barat
Bisa diunduh pada tautan berikut:
https://www.scribd.com/doc/277335417/Se
ri-Studi-Kualitatif-IPKM-Geliat-SistemikKabupaten-Lombok-Barat

Info lebih lanjut bisa menghubungi


Agung Dwi Laksono;
HP 081332162622;
Email agung_dwilaksono@yahoo.co.id

42

IPKM Tojo Una-Una,


Mengapa Menurun?
Upaya dan Strategi Peningkatan Skor IPKM
Rekomendasi ditujukan kepada
Bupati dan Dinas Kesehatan Kabupaten Tojo Una-Una
Disusun oleh
Mochamad Setyo Pramono, FX. Sri Sadewo

Ringkasan Eksekutif
Rangking IPKM Tojo Una-Una tahun 2013 adalah 480 dari 497
kab/kota se Indonesia. Sedangkan di 11 kab/kota se Provinsi Sulawesi
Tengah, rangking Tojo Una-Una berada paling akhir. Tiga indikator
dominan yang memberi kontribusi pada turunnya skor IPKM di Tojo
Una-Una adalah prevalensi status gizi buruk dan stunting balita,
gangguan mental dan pneumonia yang meningkat tajam.

Pengantar
Kesehatan menjadi salah satu tolok ukur pembangunan manusia
dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Indikator kesehatan diukur
yang melalui angka harapan hidup waktu lahir belum sepenuhnya diterima
karena terdapat aspek lain yang terlewat. Menyadari hal tersebut,
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melalui Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) mengembangkan Indeks
Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) dengan sumber data utama
dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang rutin dilakukan Balitbangkes.
Pemerintah -dalam hal ini Kemenkes- dapat menentukan peringkat
kab/kota melalui IPKM kemudian mengkategorikan daerah tersebut
bermasalah kesehatan atau tidak. IPKM bermanfaat sebagai sarana
advokasi untuk memacu pembangunan kesehatan daerah. Salah satu
provinsi yang dianggap bermasalah kesehatan adalah Prov. Sulawesi

43

Tengah karena banyak kabupaten yang memiliki skor IPKM rendah, dan
skor terendah adalah Kabupaten Tojo Una-Una, bahkan menempati
rangking ke 480 dari 497 kab/kota di Indonesia. Skor dan rangking IPKM
Tojo Una-Una mengalami penurunan signifikan. Penelitian ini bertujuan
untuk melihat dan menjelaskan indikator dominan yang memberi
kontribusi pada rendahnya nilai IPKM di Tojo Una-Una.
Tabel 1. IPKM Kabupaten di Sulawesi Tengah 2007 dan 2013
Rank-IPKM
2007

IPKM 2007

Kab Banggai Kepulauan

330

0.4433

447

0.4408

Kab Banggai

265

0.4775

318

0.5066

Kab Morowali

239

0.4950

277

0.5216

Kab Poso

142

0.5554

246

0.5317

Kab Donggala

337

0.4410

415

0.4644

Kab Toli-toli

387

0.4015

461

0.4255

Kab Buol

392

0.3924

242

0.5336

Kab Parigi Moutong

320

0.4470

453

0.4359

Kab Tojo Una-Una

295

0.4632

480

0.3862

10

Kab Sigi

348

0.4936

11

Kota Palu

193

0.5241

56

0.6091

No

Kabupaten/Kota

Rank-IPKM
2013

IPKM 2013

Provinsi

0.4640

0.4863

Indonesia

0.5086

0.5404

Sumber: Balitbangkes, 2014

Metode
Policy Brief ini disusun berdasar penelitian yang menggunakan
metode gabungan kuantitatif dan kualitatif, dilakukan pada bulan JanuariFebruari 2015. Terdiri dari empat peneliti dengan pembagian tugas di
wilayah kepulauan yaitu di Kecamatan Walea Kepulaun dan di daratan
yaitu di Ampana Kota. Pengumpulan data melalui wawancara, observasi
lapangan, ditunjang dengan data sekunder.

44

Hasil
Tiga indikator IPKM yang menjadi skala prioitas masalah kesehatan di Tojo
Una-Una yaiitu status gizi balita, gangguan mental dan pneumonia.
Balita Gizi Buruk dan Stunting
Berdasarkan data Riskesdas 2007 dan 2013 menunjukkan terjadi
peningkatan prevalensi balita gizi buruk dan kurang dari 27,83% menjadi
31,26%. Demikian pula pada prevalensi balita pendek (stunting), dari
30,66% menjadi 41,83%. Sehingga cukup jelas bahwa gizi balita merupakan
masalah di kabupaten ini karena lebih dari sepertiga balita mengalami
masalah gizi buruk dan stunting.

Gambar 1. Prevalensi Balita Gizi Buruk; dan Prevalensi Balita Stunting


Sumber: Balitbangkes, 2013

Hasil wawancara diperoleh informasi bahwa makanan tambahan


yang paling sering di Posyandu adalah kacang hijau. Hal ini dikarenakan
kurangnya pengetahuan petugas pemegang program gizi tentang makanan
tambahan karena latar belakang pendidikan bukan ahli gizi. Data dinas
kesehatan tahun 2013 menujukkan bahwa tenaga gizi belum tersedia di
semua puskesmas, dan tidak satupun yang berada di wilayah kepulauan.
Hasil penelusuran di lapangan (wilayah kepaulauan) masih ditemukannya
buku KIA yang belum terisi padahal kondisi balita gizi bermasalah. Hal ini
menunjukkan bahwa sweeping yang dilakukan belum maksimal.

45

Tidak semua Posyandu berfungsi dengan baik. Kualitas kader tidak


terlepas dari latar belakang pendidikan yang rendah sehingga tidak
memiliki inisiatif karena bergantung pada bidan. Mereka hanya sebagai
penimbang bayi/balita dan mengajak ibu-ibu yang hamil atau ibu balita
(yang diajak biasanya hanya tetangga sebelah rumah saja). Kesadaran
masyarakat tentang gizi juga kurang
Gangguan Mental
Gangguan mental mengalami lonjakan kasus hingga 300% (Gambar
3). Masalah gangguan mental belum menjadi prioritas, banyak yang belum
menyadari bahwa gangguan mental merupakan
suatu masalah yang penting dan segera ditangani.
Hasil observasi dan wawancara Pemicunya adalah masalah ekonomi, rumah tangga atau kombinasi keduanya. Ditemukan
pula kasus gangguan menGambar 2. Prevalensi Gangguan Mental
tal dikarenakan pengaruh
Sumber: Balitbangkes, 2013
NAPZA. Namun belum ada
kerjasama antara RSUD Ampana dengan Badan Narkotika Kabupaten
terkait penggunaan NAPZA.
Kasus gangguan mental
sebagian besar merupakan ibu
rumah tangga. Terdapat SK
Bupati tentang Tim Pelaksana
Kesehatan Jiwa Masyarakat
(TPKJM), dipimpin Sekda dengan
anggota:
Polres,
Bappeda,
Kemenag, Dinas Sosial, Dinas
Kesehatan, dan lainnya, walau
kemudian mati suri. Problem
Gambar 3. Penderita Gangguan Mental di
lain adalah tidak semua
Wilayah Kepulauan.
puskesmas aktif melakukan
Sumber: Dokumentasi Peneliti

46

pelacakan dan memiliki poli jiwa sehingga besar kemungkinan banyak


kasus yang belum tertangkap.
Pneumonia
Pneumonia merupakan pembunuh anak paling utama yang
terlupakan (major forgotten killer of children, UNICEF/WHO 2006) karena
begitu banyak anak yang
me-ninggal karena pneumonia namun sangat
sedikit perhatian yang
diberikan kepada masalah pneumonia. Temuan
di wilayah kepulauan terdapat balita yang meninggal karena pneumonia (Gambar 5). PreGambar 4. Prevalensi Gangguan Mental
valensi pneumonia di
Sumber: Balitbangkes, 2013
Tojo Una-Una mengalami peningkatan signifikan yakni dari 3,37% pada tahun 2007 menjadi
13,83% pada tahun 2013, dengan kata lain terdapat peningkatan hingga
400%.
Hasil penelusuran kasus VA, sebetulnya
lahir normal dan sehat. Ibunya berpendidikan
SMA, cukup tinggi untuk ukuran di kepulauan.
Pada perkembangannya, VA mengalami gizi
kurang, kemudian terserang pneumonia,
beratnya turun hingga meninggal. Lingkungan di
rumah VA banyak yang perokok. Observasi di
lapangan cukup banyak perokok di kepulauan,
mulai dari Camat hingga tenaga kesehatan
sendiri adalah perokok aktif. Terdapat
Peraturan Daerah Kabupaten Tojo Una-Una
Nomor 6 Tahun 2013 tentang Kawasan Tanpa
Gambar 5. VA (alm),
Rokok, namun belum berjalan efektif, yang
Penderita Pneumonia
benar-benar konsisten dalam menerapkan
Sumber: Dokumentasi
Puskesmas
Perda ini.

47

Kesimpulan
Problem gizi membutuhkan penanganan oleh tenaga gizi, namun
belum tersedia di semua puskesmas, dan tidak satupun berada di wilayah
kepulauan. Tidak semua Posyandu berfungsi dengan baik. Kualitas kader
tidak terlepas dari latar belakang pendidikan yang rendah sehingga tidak
memiliki inisiatif.
Problem ekonomi menjadi salah satu pemicu gangguan jiwa. Tidak
semua puskesmas aktif melakukan pelacakan dan memiliki Poli Jiwa.
Pemegang program kesehatan jiwa di puskesmas yang telah dilatih justru
diganti dengan yang belum dilatih
Belum ada kebijakan spesifik terkait pneumonia. Masyarakat tidak
paham pneumonia, mereka hanya tahu batuk dan sesak nafas. Akibatnya
dianggap sepele dan terlambat dibawa berobat. Belum ada pelatihan
khusus tentang pneumonia, kerap terjadi perbedaan pemahaman perawat
dan dokter terkait diagnosa pneumonia.

Implikasi & Rekomendasi


Apabila tidak ada perbaikan secara mendasar terhadap
permasalahan di Kabupaten Tojo Una-Una, maka dapat dipastikan indeks
pembangunan kesehatan tidak akan mengalami banyak kemajuan. Untuk
itu perlu dilakukan akselerasi pembangunan kesehatan sebagai berikut:
1. Terkait gizi balita: (1) Pelatihan petugas kesehatan tentang gizi,
variasi makanan PMT, (2) Beasiswa putra daerah untuk menempuh
pendidikan gizi dalam rangka pemenuhan kebutuhan tenaga gizi di
setiap puskesmas, (3) Memantau rutin balita untuk deteksi dini
masalah kesehatan balita (4) Dilakukan pelatihan Kader Posyandu
terutama di wilayah kepualaun
2. Terkait gangguan mental: (1) Menghidupkan kembali TPJM yang mati
suri, (2) Pembentukan poli kesehatan jiwa di puskesmas, (3)
Menjadikan gangguan mental skala prioritas masalah, (4)
Peningkatan perekonomian masyarakat, melalui peningkatan
ketrampilan, eksplorasi potensi alam dan wisata,

48

3. Terkait pneumonia: (1) Pelatihan petugas kesehatan tentang


pneumonia (2) Perbanyak poster tentang pneumonia sebagai sarana
edukasi masyarakat

Daftar Pustaka
Kementerian Kesehatan RI., 2011. Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat.
Badan Pelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI,
2014. Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat. Badan Litbangkes,
Jakarta
UNICEF/WHO, 2006. Pneumonia: The Forgotten Killer of Children, s.l.: s.n.

Hasil riset secara menyeluruh bisa didapatkan


pada buku
Seri Studi Kualitatif IPKM; Status Kesehatan
Kabupaten Tojo Una-una, Antara Harapan
dan Kenyataan tentang Kesehatan
Bisa diunduh pada tautan berikut:
https://www.scribd.com/doc/301281714/Ser
i-Studi-Kualitatif-IPKM-Status-KesehatanKabupaten-Tojo-Una-una-Antara-Harapandan-Kenyataan-tentang-Kesehatan

Info lebih lanjut bisa menghubungi


Mochamad Setyo Pramono
HP 081330695133;
Email yoyokpram@yahoo.com

49

50

Berkaca dari Wakatobi,


Asa Menuju Indonesia Sehat
Rekomendasi ditujukan kepada
Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara
dan Kementerian Kesehatan RI.
Disusun oleh
Kencana Sari, Bunga Ch. Rosha, Noor Edi Sukoco

Ringkasan Eksekutif
Rangking IPKM Kab. Wakatobi melonjak dari urutan ke 340 di tahun
2007 menjadi urutan 18 dari 497 kabupaten/kota di Indonesia pada
tahun 2013, meski sebelumnya kabupaten ini tergolong miskin dan
bermasalah kesehatan. Berbagai inovasi yang telah dilakukan oleh
pemerintah Kab. Wakatobi dari tahun 2007 hingga 2013 yang satu
sama lain saling terkait dan menguatkan baik sektor kesehatan
maupun non kesehatan. Di sektor kesehatan upaya yang dilakukan
mulai dari sisi manajemen kesehatan (regulasi, kepemimpinan),
pembiayaan kesehatan, pemanfaatan sumber daya kesehatan,
hingga pemberdayaan masyarakat. Dukungan sektor non kesehatan
tidak kalah penting dalam mendukung keberhasilan peningkatan
prestasi pembangunan kesehatan masyarakat, antara lain
pembangunan infrastruktur, gerakan ercepatan Pembangunan
Sanitasi Pemukiman, peningkatan gizi masyarakat yang juga
dilakukan Badan Ketahanan Pangan dengan mengangkat bahan
makanan lokal, kerjasama dengan dinas pendidikan melalui program
BIAS (Bulan Imunisasi Anak Sekolah). Peran organisasi non
pemerintah juga sangat mendukung pencapaian keberhasilan
peningkatan rangking IPKM Kabupaten Wakatobi. Mungkin
beberapa program yang ada di Kabupaten Wakatobi juga dimiliki
oleh kabupaten lain, tetapi pertanyaannya apakah di kabupaten lain
berjalan baik dan efektif?

51

Pengantar
Wakatobi adalah salah satu kabupaten dari empat belas kabupaten
di Provinsi Sulawesi Tenggara, hasil pemekaran dari Kab. Buton
berdasarkan UU No.29 tahun 2003. Wakatobi merupakan gugusan
kepulauan yang berjumlah 39 pulau, terdiri atas 4 (empat) pulau besar,
yakni Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko (WAKATOBI) yang
dihuni oleh kurang lebih 95 ribu penduduk.
Visinya untuk mewujudkan surga nyata bawah laut di pusat
segitiga karang dunia, dan mendorong peningkatan dan pemerataan
kesejahteraan masyarakat terbukti nyata antara lain melalui penobatan
sebagai Cagar Biosfer Dunia dan peningkatan rangking dalam Indeks
Pembangunan Kesehatan Manusia (IPKM).
Apa saja latar belakang serta program dan kebijakan yang dilakukan
oleh pemerintah Kab. Wakatobi sehingga dapat mendongkrak nilai IPKM
2013 perlu diketahui agar dapat di akselerasi untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat di berbagai daerah lain. Dalam policy brief ini, kami
menguraikan program dan kebijakan yang dilakukan oleh Kab. Wakatobi
tahun 2007-2013 berdasarkan framework sistem kesehatan nasional serta
dukungan sektor non kesehatan.

Dukungan sektor non kesehatan

52

Metode
Policy brief ini disusun berdasar penelitian yang dilakukan selama 20
hari di Kabupaten Wakatobi. Lokasi penelitian meliputi 1) Puskesmas
Wangi-wangi Selatan dan Puskesmas Liya, Pulau Wangi-wangi, 2)
Puskesmas Kaledupa, Pulau Kaledupa, 3)Puskesmas Usuku, Pulau Tomia ,
4) Puskesmas Popalia, Pulau Binongko. Pengumpulan data dilakukan
dengan metode kualitatif (wawancara mendalam, kelompok diskusi
terarah, observasi) dan telaah dokumen.

Hasil
Berbagai inovasi yang telah dilakukan oleh pemerintah Kab.
Wakatobi dari tahun 2007 hingga 2013 yang satu sama lain saling terkait
dan menguatkan (Tabel 1.). Dari sisi manajemen kesehatan, selain
beberapa regulasi yang ditelurkan, Kabupaten Wakatobi juga didukung
oleh suport kepemimpinan baik dari dinas kesehatan maupun kepala
daerah yang memperhatikan upaya perbaikan kesehatan di Kabupaten
Wakatobi. Kepala dinas kesehatan dan beberapa jajarannya memiliki alur
komunikasi yang singkat tanpa birokrasi yang rumit sehingga pengawasan
dapat dilakukan dengan dekat dan melekat. Pengawasan berjalan tidak
hanya dari atas tetapi juga sebaliknya. Misalnya, ketika ada kematian ibu
atau anak, jajaran dinas
kesehatan langsung mendapat berita dari level di ba- Rangking IPKM Kab. Wakatobi
wahnya dan langsung juga melonjak dari urutan ke 340 di
menelusuri dan mengatasi
tahun 2007 menjadi urutan 18
sebab masalah. Selain itu,
teratas dari 497 kabupaten
ketika melakukan monitoring, Kepala Dinas langsung
kota di Indonesia pada tahun
menunjuk spontan petugas
2013, meskipun sebelumnya
kesehatan untuk memberikan penyuluhan tentang
kabupaten ini tergolong
topik tertentu yang beliau
miskin dan bermasalah
minta. Penekanan tentang
kesehatan.
etika bekerja oleh pimpinan

53

juga kerap dilakukan, etika komunikasi seharusnya men-jadi bagian dari


kurikulum pendidikan kesehatan. Petugas di sektor kesehatan harus
melayani dengan ramah seperti halnya para petugas di sektor pariwisata,
selalu dengan senyum.
Hal lain yang menarik adalah etos kerja yang tinggi pada masyarakat
secara umum. Etos kerja
yang tinggi karena letak
geografis yang sulit, kepukarena letak geografis yang
lauan, berbukit-bukit dan
sulit, kepulauan, berbukitdikelilingi lautan sehingga
mau tidak mau mereka
bukit dan dikelilingi lautan
harus bekerja memaksisehingga mau tidak mau
malkan sumber daya yang
mereka harus bekerja
ada. Dengan latar belakang
tersebut membuat masya- memaksimalkan sumber daya
rakat yang tidak memiliki
yang ada.
aktifitas atau tidak bekerja
memiliki perasaan malu, baik
terhadap keluarga maupun lingkungan. Hal ini sebuah peluang yang
kemudian dimanfaatkan oleh Dinas Kesehatan maupun Puskesmas untuk
melakukan penerimaan tenaga volunteer (suka rela), tidak mendapatkan
honor, yang dapat membantu dalam pelayanan kesehatan baik di
Puskesmas ataupun di masyarakat. Masyarakat yang berminat dapat
langsung menghadap kepala Puskesmas untuk mengajukan diri menjadi
tenaga volunteer. Penerimaan tenaga volunteer terbuka secara umum dan
tidak terbatas waktu, kapanpun bisa medaftarkan diri menjadi tenaga
volunteer.

54

Tabel 1. Inovasi Kabupatenn Wakatobi dari tahun 2007 hingga 2013


Pilar sistem kesehatan
Manajemen kesehatan
(regulasi, kepemimpinan)

Pembiayaan kesehatan

Upaya kesehatan
Regulasi:
SK Bupati ttg percepatan pembangunan sanitasi pemukiman
SK Bupati ttg tenaga honorer
Inovasi dalam pelayanan posyandu (mengusung tema ulangtahun, reward utk balita yang lulus
imunisasi)
Kepemimpinan:
Kombinasi pengawasan top down dan bottom up dan pemberian feedback segera tanpa birokrasi rumit
dan berbelit
Pengarahan dan memotivasi ttg norma bekerja sebagai tenaga kesehatan (semboyan 4as)
Penguatan infrastruktur kesehatan sebagai langkah awal
Porsi pembiayaan 75% preventif dan 25% kuratif
Jamkesda
Insentif tenaga kesehatan (bidan, perawat dan dokter)
Reward and punishment pemanfaatan dana BOK
Insentif terhadap kader kesehatan dari BKBP3D (Badan Keluarga Berencana, Pemberdayaan
Perempuan dan Pemerintah Desa)
Insentif kepada dukun bayi Sando yang membawa bumil ke

SDM
- Rekuitmen tenaga penunjang kesehatan / honorer dari tingkat SMA berdasar SK Bupati
- Penerimaan tenaga kesehatan lokal (D3-S1) yang bersifat sukarela berdasar kebijakan masingmasing puskesmas

Pemberdayaan Masyarakat

Perdes ttg pemberlakuan denda kepada ibu balita yang tidak membawa anaknya ke posyandu
Perdes ttg denda kepada bidan desa untuk persalinan yang dilakukan di rumah
Perdes ttg partisipasi masyarakat dalam kesehatan diseluruh wilayah desa wilayah puskesmas

Capaian
Derajat kesehatan
Meningkatnya cakupan D/S posyandu
Meningkatnya nilai indeks IPKM dari
0,44 menjadi 0,78, peringkat ke-340 dari
440 kab/kota menjadi peringkat ke-18
dari 497 kab/kota di Indonesia.

Perlindungan finansial
- Biaya pengobatan gratis bagi
siapapun

Ketanggapan yankes
- Penyediaan pelayanan kesehatan
gratis 24 jam, on call
- Sweeping balita dan ibu hamil
- Penyuluhan kesehatan berjalan aktif,
door to door
Ketaatan masyarakat terhadap
peraturan yang dibentuk bersama.

Sumber: Data Primer

55

Selain hal di atas, dukungan sektor non kesehatan juga tidak kalah.
Berbagai bentuk kerjasama dengan sektor non kesehatan yaitu Percepatan
Pembangunan Sanitasi Pemukiman (PPSP) terdiri dari 4 SKPD (Dinas
Kesehatan, Dinas Pekerjaan Umum, Badan Lingkungan Hidup, Dinas
Kebersihan Pertamanan Pemakaman Pemadam Kebakaran). Untuk
peningkatan gizi masyarakat, Badan Ketahanan Pangan mengadakan
Lomba Diversifikasi Pangan dengan mengangkat bahan makanan lokal
seperti umbi-umbian. Penyuluhan di sekolah-sekolah oleh petugas
kesehatan berkerjasama dengan dinas pendidikan melalui program BIAS
(Bulan Imunisasi Anak Sekolah). Peran organisasi non pemerintah seperti
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri)
dalam pembangunan gedung Posyandu (Puskesmas Liya Kecamatan
Wangi-Wangi Selatan), pembangunan instalasi penyulingan air (Desa
Popaliya dan Desa Haka Kecamatan Togo Binongko) dan juga SINTESA yang
membantu masyarakat dalam penyediaan air bersih dan sanitasi.

Kesimpulan
Rangking IPKM Kab. Wakatobi melonjak dari urutan ke 340 di tahun
2007 menjadi urutan 18 teratas dari 497 kabupaten kota di Indonesia pada
tahun 2013 dicapai dengan berbagai inovasi oleh sektor kesehatan
maupun non kesehatan dengan dukungan juga organisasi non pemerintah.
Komitmen yang tinggi dari setiap elemen pemerintah dan kontrol sosial
oleh masyarakat di Kabupaten Wakatobi. Efektifitas program yang ada juga
ditentukan oleh sistem reward dan punishment yang berjalan.

Implikasi & Rekomendasi


Berdasar temuan di lapangan dan hasil telaahan peneliti, maka
dapat direkomendasikan beberapa hal berikut:
1) Komitmen yang tinggi dari pemimpin terhadap perencanaan,
pelaksanaan, dan monitoring evaluasi program kesehatan serta
penanaman norma dan etika dalam bekerja di sektor kesehatan
2) Melakukan kombinasi pengawasan antara top down dan bottom up
serta pemberian umpan balik langsung terhadap permasalahan

56

3)

4)
5)

6)

7)

8)
9)

yang ada perlu diterapkan di daerah lain agar monitoring dan


evaluasi program berjalan efektif.
Bagi daerah yang minim infrastruktur kesehatan, hendaknya dapat
mengalokasikan dana dan upaya untuk pembiayaan infrastruktur
kesehatan terlebih dahulu sebagai langkah awal penerapan
pelayanan kesehatan yang baik
Pengalokasian dana untuk kegiatan yang bersifat preventif harus
jauh lebih besar dibandingkan alokasi dana untuk kegiatan kuratif.
Pemanfaatan tenaga lokal melalui penerimaan tenaga volunteer
terutama bagi daerah terpencil tertinggal dan kepulauan untuk
mendukung SDM kesehatan di berbagai daerah di Indonesia.
Perluasaan cakupan jaminan kesehatan baik melalui dukungan
pemerintah daerah maupun mandiri untuk menjamin pelayanan
kesehatan.
Daerah lain dapat mengidentifikasi dan memanfaatkan local
wisdom yang ada untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat.
Penerapan reward dan punishment yang berjalan terhadap
peraturan yang sudah dibuat.
Melibatkan masyarakat secara aktif dalam pembuatan peraturan
(peraturan desa) yang mengikat bagi masyarakat di daerahnya
masing-masing.

Daftar Pustaka
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan K. Indeks Pembangunan
Kesehatan Masyarakat. Jakarta; 2014.
Bupati Wakatobi. Keputusan Bupati Wakatobi Tentang Pengangkatan Tenaga
Penunjang Kerja Perangkat Daerah Dinas Kesehatan Kabupaten Wakatobi
Tahun Anggaran 2013. 6
Dinas Kesehatan Kabupaten Wakatobi. Profil Kesehatan Kabupaten Wakatobi
tahun 2013. 2013.
Presiden Republik Indonesia. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72
Tahun 2012 Tentang Sistem Kesehatan Nasional.; 2012.
Keputusan Bupati Wakatobi Nomor 462 Tahun 2008 Tanggal 1 Agustus 2012
Tentang Pembentukan Tim Koordinasi/Pengarah Dan Pelaksana Sanitasi
Kabupaten Wakatobi.; 2008.

57

Pokja Sanitasi Kabupaten Wakatobi. Buku Putih Sanitasi Kabupaten Wakatobi


Provinsi Sulawesi Tenggara. 2013.
Presiden Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29
Tahun 2003 Tentang Pembentukan Kabupaten Bombana, Kabupaten
Wakatobi, Dan Kabupaten Kolaka Utara Di Provinsi Sulawesi Tenggara.;
2003.
Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Wakatobi Dalam Angka 2014, Wanci: Bappeda
Kabupaten Wakatobi.

Hasil riset secara menyeluruh bisa didapatkan


pada buku
Seri Studi Kualitatif IPKM; Menyelami
Keberhasilan IPKM Kabupaten Kepulauan
Wakatobi
Bisa diunduh pada tautan berikut:
https://www.scribd.com/doc/301285740/Ser
i-Studi-Kualitatif-IPKM-MenyelamiKeberhasilan-IPKM-Kabupaten-KepulauanWakatobi

Info lebih lanjut bisa menghubungi


Kencana Sari;
HP 08569064515;
Email kencana.sw@gmail.com
Noor Edi Widya Sukoco, MPS., MSc.PH
Email nooredisukoco@yahoo.com
HP 08212567963

58

Mengungkap Skor
dan Ranking IPKM
Kabupaten Seram Bagian Barat
Rekomendasi ditujukan kepada
Bupati dan Dinas Kesehatan Kabupaten Seram Bagian Barat
Disusun oleh
Lely Indrawati, Rais Yunarko, Dwi Priyanto

Ringkasan Eksekutif
Konsentrasi penelitian kualitatif di Kabupaten SBB diarahkan pada
indikator IPKM yang berhubungan dengan empat permasalahan
utama penyebab penurunan IPKM di kabupaten ini. Empat
permasalahan tersebut adalah gizi balita dan ibu hamil, kesehatan
reproduksi, pelayanan kesehatan dasar dan perilaku kesehatan
masyarakat. Dari keempat permasalahan utama tersebut, hanya
indikator perilaku kesehatan yang memiliki kecenderungan
meningkat (positif). Indikator perilaku kesehatan positif secara
umum, disebabkan dominasi kontribusi lintas sektor. Sektor
perekonomian, pendidikan, dan sarana prasarana lingkungan (air
bersih) mengalami peningkatan besar. Hal inilah yang mampu
mendongkrak peningkatan perilaku kesehatan masyarakat
Kabupaten SBB secara umum. Ketiga indikator lainnya tidak banyak
mengalami perubahan.

Pengantar
Pada tahun 2007, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) mendapat
ranking 352 diantara kabupaten/kota secara nasional, dengan nilai skor
IPKM sebesar 0,4328. Kemudian di tahun 2013, peringkatnya menjadi 416
dengan skor IPKM sebesar 0,6033. Artinya, jika dilihat kecenderungan skor

59

IPKMnya mengalami peningkatan yang cukup baik, namun peningkatan


skor ini belum cukup mengatrol ranking Kabupaten SBB dalam kurun
waktu 2007 hingga 2013 dalam urutan nasional.
Dari 30 indikator IPKM yang ada, ternyata permasalahannya di
ketemukan pada empat indikator yang berhubungan dengan gizi balita dan
ibu hamil, kesehatan reproduksi, pelayanan kesehatan dasar dan perilaku
kesehatan masyarakat.
Sub Indeks

Skor SBB

Skor Nasional

Kesehatan Balita

0,5079

0,6614

Kesehatan reproduksi

0,2751

0,4756

Pelayanan kesehatan

0,2127

0,3808

Perilaku

0,4226

0,3652

PTM

0,7750

0,6267

PM

0,7351

0,7507

Kesling

0,4706

0,5430

Sumber: Badan Litbang, Kementerian Kesehatan RI.


Sebenarnya permasalahan tersebut diatas juga telah menjadi
prioritas masalah yang diterjemahkan pada prioritas program di bidang
Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Keluarga Berencana (KB), Imunisasi, Gizi,
Pemberantasan Penyakit Menular & Tidak Menular, serta Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat (PHBS).
Pertanyaannya adalah: mengapa rangking IPKM di Kab SBB turun,
sedangkan skornya secara keseluruhan meningkat cukup baik dan
program-program prioritas kesehatan di Kabupaten SBB sudah sesuai
dengan permasalahan utama kesehatan yang ditunjukan oleh hasil IPKM
2013 di Kabupaten SBB?
Studi kualitatif di Kabupaten SBB dilaksanakan untuk menjawab
pertanyaan tersebut diatas. Tujuan umum dari studi ini adalah penggalian
permasalahan di Kabupaten SBB berdasarkan perbedaan skoring IPKM
2007 dan 2013 pada indikator tertentu, dari sudut pandang sektor
kesehatan, lintas sektor dan masyarakatnya.

60

Metode
Metode primer mencakup wawancara mendalam, diskusi kelompok
terarah, dan pengamatan. Dilakukan juga pengumpulan data sekunder
berupa profil kesehatan kabupaten dan data pendukung lainnya tahun
2007 dan 2013 untuk melengkapi analisa studi ini.
Pengumpulan data dilakukan selama kurang lebih 20 hari (akhir
Januari -pertengahan Februari 2015. Tim peneliti dilakukan oleh 4 orang
dengan latar belakang ilmu yang variatif yakni kesehatan masyarakat,
antropologi, biologi dan kedokteran hewan. Tema spesifik (tematik) adalah
Kesehatan Balita, Kesehatan Reproduksi, Pelayanan Kesehatan dan
Perilaku Kesehatan. Topik pengumpulan data yang digali mencakup 4
aspek besar yakni (1) Dukungan kebijakan dan strategi intervensi , (2)
Peran lintas sektor, (3) Peran serta masyarakat, dan (4) Peran dan
kebutuhan pendampingan.
Selain masyarakat, informan yang digali lebih banyak dari pemegang
program kesehatan di Kabupaten SBB dan Provinsi Maluku, khususnya
pemegang program di 4 tematik di tingkat kabupaten dan Puskesmas studi
kasus yakni Puskesmas Kairatu Barat (dengan geografis terdekat dari ibu
kota kabupaten/bukan remote area) dan Taniwel (dengan geografis cukup
jauh dari ibu kota kabupaten/wilayah remote area). Informan dari lintas
program terdiri dari Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda),
Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Badan
Ketahanan Pangan (BKD), Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa, dan
Badan Pembangunan Desa.

Hasil
Minimnya anggaran, merupakan keluhan sebagian besar pengelola
program di Dinas Kesehatan Kabupaten SBB. Praktis Dinas Kesehatan
Kabupaten SBB tidak mampu berbuat banyak dalam membangun
kesehatan masyarakat SBB. Pembangunan kesehatan di Kabupaten SBB
lebih banyak dibiayai oleh dana di luar APBD. Selama ini, Puskesmas di
Kabupaten SBB mengandalkan pembiayaan program-programnya dari
dana BOK dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Pengelolaan BOK dan

61

JKN yang berasal dari pusat inilah yang menjadi tulang punggung
pembangunan kesehatan di Kabupaten SBB.
Undang-undang RI Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan
mengamanatkan bahwa pemerintah daerah harus mengalokasikan
anggaran urusan kesehatan minimal 10% dari total belanja APBD diluar gaji
pegawai. Namun menurut data tahun 2012 menunjukkan fakta bahwa
baru ada 11 provinsi yang mampu mengakomodir dan mengalokasikan
APBD diatas 10% untuk kesehatan, 11 provinisi itu yakni Aceh, Bangka
Belitung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I Yogyakarta, Jawa Timur,
Gorontalo, Sulawesi Selatan, Bali dan DKI Jakarta (Anonim, 2013).
UU RI No. 36 Tahun 2009 belum mampu diterapkan oleh Pemerintah
Kabupaten SBB. Alokasi anggaran dalam RPJMD Kabupaten SBB Tahun
2012-2016, dilihat dari persentase alokasi penganggaran untuk dinas
kesehatan dalam memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM) adalah
3,95% dari total APBD. Ada beberapa faktor yang menentukan
perencanaan dan penganggaran kesehatan yang bersumber APBD, yaitu
faktor sumber daya dan peran dari lembaga eksekutif dan legislatif.
Pengalokasian anggaran APBD terhadap kesehatan belum bisa lepas dari
intervensi dan komitmen politik diantara eksekutif dan legislatif yang
dapat mempengaruhi persepsi dan cara untuk masalah kesehatan.
Hal lain yang juga menjadi masalah dalam pelayanan kesehatan di
Kabupaten SBB, tidak meratanya persebaran tenaga kesehatan yang ada.
Untuk jumlah perawat dan bidan misalnya, secara jumlah sudah
mencukupi (data tahun 2013 ada 120 bidan dan 294 perawat), tapi
penempatannya tidak disesuaikan dengan kebutuhan wilayah. Ada satu
dua Puskesmas yang memiliki jumlah tenaga kesehatan melebihi rasio
cakupan wilayah kerja, sedangkan ada Puskesmas yang justru kekurangan
tenaga kesehatan. Kekurangan ini terjadi terutama pada daerah-daerah
sulit, seperti daerah pulau maupun pegunungan. Hingga saat ini akses
transportasi ke daerah tersebut umumnya masih minim.
Salah satu sosok penting yang terlibat langsung dalam pelayanan
kesehatan di masyarakat yakni dukun bayi (mama biyang). Di Kabupaten
SBB, rata-rata setiap desa memilki minimal 1 orang dukun bayi.
Keberadaan dukun bayi tak lepas dari masih percayanya masyarakat
terhadap pelayanan yang mereka berikan, terutama dalam menolong
persalinan. Dinas Kesehatan Kabupaten SBB memberikan pelatihan kepada
para dukun bayi ini. Selain itu, juga dilakukan kemitraan antara bidan

62

dengan dukun bayi. Kemitraan biasanya dalam bentuk kerjasama ketika


menolong persalinan. Beberapa kemitraan berjalan dengan baik, namun
pada beberapa kasus masih terjadi pertolongan persalinan yang
sepenuhnya dilakukan oleh dukun bayi.
Tidak adanya bidan di desa dianggap sebagai salah satu faktor
utama kenapa masyarakat masih menggunakan jasa mama biyang ketika
melahirkan. Beberapa masyarakat yang menggunakan jasa mama biyang
menyebutkan bahwa seringkali ketika mereka ingin memanggil bidan,
bidan sedang tidak ada di tempat sehingga kemudian pilihan jatuh pada
dukun bayi. Selain itu pertimbangan ia akan melahirkan normal juga
menjadi pertimbangan untuk menggunakan jasa dukun bayi. Ada semacam
asumsi di masyarakat bahwa menggunakan jasa bidan lebih mahal
dibandingkan menggunakan jasa dukun bayi. Di sisi lain, faktor-faktor
kedekatan secara sosial juga mempengaruhi pilihan. Dukun bayi umumnya
penduduk setempat, yang sudah dikenal di lingkungan sekitar dengan baik
sehingga sudah terjalin hubungan sedemikian rupa dengan pasien. Hal ini
berbeda dengan bidan yang mungkin saja pendatang dan karenanya,
hubungan yang dibangun sedikit berjarak.
Masalah yang juga menjadi keluhan beberapa tenaga kesehatan di
Kabupaten SBB adalah minimnya sarana dan prasarana. Kondisi di fasilitas
kesehatan yang kurang memadai, terutama di pustu-pustu. Di Kecamatan
Taniwel misalnya, beberapa pustu sudah berusia puluhan tahun dan tidak
pernah ada pemeliharaan sehingga sudah mulai rusak di sana-sini.
Ditambah lagi dengan perlengkapan yang ada juga sangat minim, seperti
ketiadaan listrik, tempat tidur, alat-alat kesehatan, hingga ketersediaan air
bersih. Hal ini, tentu saja menjadi kendala yang cukup serius dalam
memberikan pelayanan ke masyarakat. Terutama ketika harus membantu
persalinan di fasilitas kesehatan. Demikian juga dengan perlengkapan
posyandu seperti timbangan atau ketiadaan alat ukur tinggi badan yang
layak.
Ada anggapan di masyarakat bahwa fasilitas kesehatan yang ada
masih mengalami keterbatasan obat-obatan, dari dulu sampai sekarang.
Selain itu, ada kecenderungan di masyarakat untuk pergi ke fasilitas
kesehatan ketika sakit sudah parah. Meskipun berobat ke Puskesmas
diakui murah atau bahkan gratis, namun kualitas obatnya seringkali
dianggap tidak cukup manjur sehingga banyak masyarakat yang memilih
membeli obat-obat generik sendiri atau jika memungkinkan, memanggil

63

tenaga kesehatan ke rumah daripada datang ke fasilitas kesehatan. Dari


segi tenaga kesehatan, beberapa masyarakat juga menyebutkan bahwa
selama ini masih kurang. Di Puskesmas Kecamatan Taniwel misalnya, saat
ini tidak ada tenaga dokter, ketiadaan tenaga dokter ini juga
mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat untuk memeriksakan diri
ke Puskesmas.
Kesadaran masyarakat mengenai perilaku hidup bersih dan sehat
juga masih cukup rendah, seperti kebiasaan buang air di tempat terbuka
(di pantai bagi yang tinggal di daerah pesisir) dan pembuangan sampah
sembarangan. Sampah biasa di buang di laut, di pinggir jalan atau di
pekarangan saja. Sementara untuk ketersediaan air bersih, umumnya
masyarakat di SBB tidak kesulitan memperoleh air bersih karena sumbersumber air mudah didapat, baik itu dari mata air maupun sumur galian.
Beberapa sarana penyediaan air bersih mulai dibangun di SBB, seperti
bantuan sumur pompa bertenaga surya di desa Lohiatala dan Sarana air
bersih di Pulau Osi. Ketersediaan air ini berperan besar dalam
meningkatnya perilaku hidup bersih dan sehat di Kabupaten SBB.

Kesimpulan
Pembangunan kesehatan di SBB telah berjalan meskipun belum
mencapai hasil yang optimal. Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan
dan pembangunan kesehatan relatif terbantu dengan pembiayaan dari
dana BOK dan JKN. Akan tetapi, pencapaian ini belum didukung secara
maksimal oleh Pemerintah Daerah setempat. Sumber anggaran yang
minim dari APBD membuat Dinas Kesehatan Kabupaten belum bisa
berbuat banyak dalam memberikan kontribusi terhadap pembangunan
kesehatan. Hal ini tentu sangat berpengaruh pada sarana dan prasarana
kesehatan yang dimiliki. Topografi dan kondisi geografis SBB yang berupa
kepulauan dan daerah pegunungan juga menjadi tantangan yang
menyulitkan pembangunan kesehatan disana. Banyak daerah-daerah yang
sulit dijangkau sehingga pemerataan pembangunan kesehatan juga belum
maksimal.

64

Implikasi & Rekomendasi


Berbagai permasalahan kesehatan di Kabupaten Seram Bagian
Barat masih menjadi hambatan yang membuat pembangunan kesehatan
disana belum berjalan optimal. Meskipun beberapa sektor menunjukkan
peningkatan, namun hal ini dirasa masih kurang optimal. Bila hal ini
berlangsung terus menerus, Kabupaten SBB akan semakin tertinggal dari
kabupaten lain dalam bidang pembangunan kesehatannya. Padahal,
kesehatan masyarakat adalah modal penting untuk bisa bekerja dan
membangun bidang-bidang kehidupan lainnya.
Perbaikan manajemen perencanaan anggaran di Dinas Kesehatan
Kabupaten SBB sangat mendesak untuk dilakukan. Dinas Kesehatan SBB
sudah mempunyai SDM yang cukup mumpuni dibidang kesehatan
masyarakat, yang dibutuhkan saat ini adalah pemimpin yang bisa
menciptakan iklim kerja yang kondusif. Peran kepemimpinan yang kuat
dan visioner sangat dibutuhkan dalam membangun tim kerja pada Dinas
Kesehatan Kabupaten SBB. Perlunya tim advokasi anggaran kesehatan
yang mengawal pembiayaan kesehatan di kabupaten mulai dari
perencanaan, pengusulan, realisasi hingga pelaporan.
Perlu dibentuk tim daerah yang melibatkan kesehatan untuk
mengatur, menyediakan & membina SDM di tingkat kabupaten. Selama ini
Badan Kepegawaian Daerah yang memiliki wewenang penuh dalam
pengaturan SDM di tingkat kabupaten, sehingga kurang terjadi kesesuaian
antara yang disediakan dengan yang dibutuhkan. Dari segi kebijakan, perlu
dibuat peraturan formal yang dikeluarkan bupati untuk mengakomodir
pengaturan tenaga SDM di bidang kesehatan.
Pembangunan kesehatan tidak hanya menjadi tanggung jawab
Dinas Kesehatan Kabupaten, banyak sektor lain yang berkontribusi dalam
pembangunan kesehatan. Hal-hal positif yang selama ini terbentuk perlu
ditindaklanjuti. Bidang pendidikan, pembangunan ekonomi, pembangunan
akses yang menjangkau daerah sulit, sarana air bersih perlu terus
diupayakan karena bidang-bidang ini berdampak langsung terhadap
pembangunan kesehatan.
Kondisi Internal organisasi kesehatan di tingkat kabupaten sebagai
daerah otonom memerlukan kepemimpinan yang kuat sehingga
mempunyai visi dan misi yang jelas sekaligus langkah-langkah yang
sistematis dalam mewujudkan visi misi tersebut.

65

Monitoring dan evaluasi memerlukan proses pengawalan oleh


supervisor kepada pelaksana program dalam mengeksekusi kebijakan di
tingkat masyarakat. Arus informasi bolak balik dari atas ke bawah maupun
sebaliknya sangat penting sehingga program yang dilaksanakan berjalan
dan terdapat feedback yang berguna untuk melakukan perbaikanperbaikan dalam pelaksanaan program selanjutnya. Peran supervisor
sangat krusial karena harus mampu memotivasi para pelaksana program di
lapangan untuk bekerja optimal. Mereka juga dituntut untuk mampu
memberikan arahan-arahan yang solutif untuk memastikan pelaksanaan
program bisa dilakukan dengan baik oleh para pelaksana lapangan. Dalam
hal ini, kuncinya adalah penempatan personil dengan kualifikasi lebih
yang diberi peran sebagai supervisor.

Daftar Pustaka
Dinas Kesehatan Provinsi Maluku, Rencana Strategis Dinas Kesehatan Provinsi
Maluku Tahun 2008-2013, ambon, 2009.
Dinas Kesehatan Kabupaten seram Bagian Barat, Rencana Strategis Dinas
kesehatan Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2006-2011, Piru, 2007.
Pemerintah Kabupaten Seram Bagian Barat, Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2012-2016, Piru,
2013.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2014. Indeks Pembangunan
Kesehatan Masyarakat 2013. Tim Penyusun, Jakarta, 2014.
Dinas Kesehatan Provinsi Maluku, 2014, Profil Kesehatan Provinsi Maluku Tahun
2013.
Dinas Kesehatan Kabupaten Seram Bagian Barat 2011, Laporan Program KIA
Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2010.
Dinas Kesehatan Kabupaten Seram Bagian Barat 2012, Laporan Program Program
KIA Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2011.
Dinas Kesehatan Kabupaten Seram Bagian Barat 2013, Laporan Program KIA
Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2012.
Dinas Kesehatan Kabupaten Seram Bagian Barat 2014, Laporan Program KIA
Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2013.
Dinas Kesehatan Provinsi Maluku, Laporan Bidang Pemberdayaan dan Promosi
Kesehatan Tahun 2014.

66

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI, 2008, Laporan


Nasional Riskesdas 2007.
BPS Kabupaten Seram Bagian Barat, 2014, Kecamatan Kairatu Barat Dalam Angka
2014.
Kementerian Kesehatan RI, 2014, Petunjuk Teknis Bantuan Operasional
Kesehatan 2014.
Kementerian Kesehatan RI, 2011, Promosi Kesehatan di daerah Bermasalah
Kesehatan Panduan bagi Petugas Kesehatan di Puskesmas.
Laporan Program Promosi kesehatan Puskesmas Kairatu Barat tahun 2011 dan
2012.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Seram Bagian Barat, 2014, Kabupaten Seram
Bagian Barat Dalam Angka 2014.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Seram Bagian Barat, 2014, Kecamatan Taniwel
Dalam Angka 2014.

Hasil riset secara menyeluruh bisa didapatkan


pada buku
Seri Studi Kualitatif IPKM; Status Kesehatan
Kabupaten Seram Bagian Barat: Benarkah
Indikator Kesehatan Tidak Berubah karena
Terbatasnya Alokasi APBD Kesehatan
Semata?
Bisa diunduh pada tautan berikut:
https://www.scribd.com/doc/301281044/Ser
i-Studi-Kualitatif-IPKM-Status-KesehatanKabupaten-Seram-Bagian-Barat-BenarkahIndikator-Kesehatan-Tidak-Berubah-karenaTerbatasnya-Alokasi-APBD

Info lebih lanjut bisa menghubungi


Lely Indrawati;
HP 08128176371;
Email lelyindra@gmail.com

67

68

Perhatian Serius Tolikara untuk


Meningkatkan Kesehatan
Masyarakat
Rekomendasi ditujukan kepada
Bupati, Dinas Kesehatan dan Seluruh Sektor Terkait
di Kabupaten Tolikara
Disusun oleh
Setia Pranata, Tatik Mudjiati

Ringkasan Eksekutif
IPKM adalah salah satu indikator untuk mengetahui kondisi
kesehatan masyarakat di suatu Kabupaten/Kota di Indonesia.
Berdasarkan IPKM 2013, Kabupaten Tolikara mempunyai peringkat
terendah di Indonesia. Tidak bisa dipungkiri bahwa kondisi geografis
sangat berpengaruh terhadap status IPKM Kabupaten Tolikara.
Sementara Pemerintah melakukan pembangunan sarana dan
prasarana daerah yang nantinya bisa memudahkan akses
masyarakat terhadap upaya kesehatan, perlu dilakukan eksplorasi
potensi yang ada.
Melalui penggalian informasi tentang pelaksanaan program
dari perspektif tenaga kesehatan dan lintas sektor, serta tentang
nilai sosial budaya masyarakatnya, diharapkan diperoleh potensi
yang dapat digunakan untuk meningkatkan situasi kondusif di
Tolikara, agar mayarakat dapat lebih aman dan sejahtera.

Pengantar
Kajian Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) 2013
yang dilakukan Badan Litbangkes untuk seluruh kabupaten/kota di
Indonesia menyimpulkan Kabupaten Tolikara adalah kabupaten terendah
dalam hal kesehatan masyarakat. Dengan kondisi ini Tolikara harus

69

dibantu oleh banyak pihak untuk mengangkat derajat kesehatan


masyarakatnya.

Gambar 1. Lanskap Kabupaten Tolikara


Sumber: Dokumentasi Peneliti

Tolikara yang berpenduduk tidak sampai 150.000 orang dengan


kondisi geografis yang cukup terisolir ini sangat berpeluang untuk
masyarakat tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai.
Menurut Riskesdas 2013, tidak satupun anak mendapatkan
imunisasi, dan juga tidak ada sama sekali anak yang melakukan
pemantauan pertumbuhan. Hanya 2 persen ibu hamil yang datang
melakukan pemeriksaan kesehatan. Enam dari 10 anak balita diare, dan
juga 6 dari 10 balita kurang gizi, dan penduduk dengan masalah kesehatan
dan gizi lainnya yang cukup memprihatinkan.

Metode
Penelitian kualitatif telah dilakukan pada bulan Februari 2015 yang
bertujuan untuk melakukan konfirmasi dan mengamati kondisi sebenarnya

70

Kabupaten Tolikara berdasarkan hasil IPKM 2013. Analisis dilakukan


berdasarkan hasil IPKM 2013, pengamatan, wawancara dengan
masyarakat setempat.

Hasil
Secara administratif, Kabupaten Tolikara mempunyai 46 Distrik,
wilayah setingkat kecamatan, yang terbagi menjadi 553 desa dengan
penduduk berjumlah sekitar 290.000 jiwa. Berdasarkan ketersediaan
sarana pelayanan kesehatan, sementara ini hanya ada Puskesmas di 25
Distrik, dua diantaranya merupakan puskesmas perawatan. Pengamatan di
Puskesmas terdekat dengan ibu kota kabupaten, tampak bahwa pelayanan
puskesmas masih sangat terbatas. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan
pelayanan yang diberikan oleh puskesmas lainnya, khususnya yang non
perawatan. Keterbatasan pelayanan kesehatan oleh Puskesmas ini tidak
lepas dari keterbatasan kemampuan pemerintah daerah untuk
menyediakan tenaga kesehatan yang memadai di setiap Puskesmas.

Gambar 2. Situasi Transaksi Perekonomian di Kabupaten Tolikara yang sangat


Tradisional
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Pemerintah Daerah sudah berupaya mengatasi kesenjangan


distribusi tenaga yang belum merata di semua Distrik. Upaya yang
dilakukan adalah merelokasi tenaga kesehatan dari Puskesmas Karubaga.

71

Sayangnya upaya ini tidak diimbangi dengan penyediaan fasilitas


perumahan di Puskesmas yang menjadi tujuan relokasi. Upaya yang telah
dilakukan di Kabupaten Tolikara ini seyogyanya diikuti dengan kemudahan
akses dari tenaga kesehatan itu sendiri. Selain itu dipikirkan pula untuk
fasilitas yang memadai dari petugas kesehatan sehingga dapat
memberikan pelayanan kesehatan dengan baik.

Gambar 3. Pencapaian Pembangunan Kesehatan Masyarakat di Kabupaten Tolikara


dibandingkan dengan Pencapaian Provinsi Papua dan Angka Nasional
Sumber: Badan Litbang Kementerian Kesehatan; Visualisasi oleh Peneliti

Berdasarkan indikator IPKM, kondisi kesehatan masyarakat di


Kabupaten Tolikara sangat memprihatinkan. Indeks yang dimunculkan
pada Gambar 3 menunjukkan ada ketidakseimbangan yang terjadi di
masyarakat Tolikara.
Suku
Lani
merupakan
mayoritas penghuni kabupaten
Secara sosial budaya,
Tolikara. Secara sosial budaya,
mereka sangat terikat
mereka sangat terikat dengan
clan komunitasnya dan segenap
dengan clan
aturan yang mengikatnya. Minimkomunitasnya dan
nya pengetahuan masyarakat tensegenap aturan yang
tang konsep negara, membuat
mereka tidak punya kewajiban
mengikatnya.
untuk taat kepada aturan negara.
Mempunyai tingkat pendidikan

72

masyarakat yang sangat rendah, disertai dengan kondisi kesehatan yang


tidak optimal, sering sakit, dan tidak dapat bekerja dengan baik, dalam
waktu yang lama dapat berdampak pada kemiskinan. Besar kemungkinan
insiden-insiden yang terjadi disebabkan karena ketidakseimbangan yang
menyangkut kebutuhan dasar mereka.

Kesimpulan
Secara geografis, Kabupaten Tolikara yang terletak di pegunungan
tengah Papua cukup terisolir. Kondisi ini sangat berpeluang untuk
masyarakat tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai.
Pemerintah Daerah sudah berupaya membangun fasilitas kesehatan
puskesmas di setiap distrik,
namun keterbatasan fasilitas dan
tenaga mengakibatkan puskesmas
Upaya untuk melibatkan
tidak banyak dimanfaatkan oleh
instansi terkait dalam
masyarakat.
Upaya untuk melibatkan program kesehatan sudah
instansi terkait dalam program
dilakukan oleh Dinas
kesehatan sudah dilakukan oleh
Kesehatan. Namun pada
Dinas Kesehatan. Namun pada
pelaksanaannya, belum
pelaksanaannya, belum nampak
peran aktif dari sektor lain untuk
nampak peran aktif
memberikan dukungan terhadap
program kesehatan. Dari aspek
sosial budaya, clan merupakan pengikat sosial sebagai kesatuan norma,
struktur, organisasi dan kepemimpinan yang berada di atas konsep negara.

Implikasi & Rekomendasi


Pembangunan kesehatan masyarakat di Tolikara harus menjadi
perhatian khusus dari Pemeritah Daerah setempat dan perlu mendapat
dukungan dari Pemerintah Pro-vinsi, dan juga Nasional. Selain itu
keterlibatan lintas sektor lainnya, sangat dibutuhkan untuk meningkatkan
pendidikan, perbaikan lingkungan, dan perbaikan serta peningkatan akses
masyarakat dalam berbagai hal. Langkah strategis dengan mendekatkan

73

pela-yanan kesehatan, sekolah dan bentuk pelayanan masyarakat lainnya,


seperti tersedianya air bersih sangat dibutuhkan.
Unit pelayanan kesehatan seperti Puskesmas mungkin tidak cocok
untuk wilayah dengan kondisi seperti Tolikara. Perlu dibentuk unit
pelayanan kesehatan yang diposisikan dekat dengan masyarakat,
Perlu dibentuk unit
seperti keberadaan rumah ibapelayanan kesehatan
dah yang merupakan struktur
yang wajib ada dalam pola pemuyang diposisikan dekat
kiman masyarakat Tolikara.
dengan masyarakat,
Untuk melaksanakan langkah strategis tersebut, maka
seperti keberadaan
diperlukan tenaga kesehatan, dan
rumah ibadah
tenaga lainnya yang berkualtitas
dan diikuti dengan sarana serta
pra-sarana yang memadai. Semua bentuk program pelayanan masyarakat
yang tidak efektif perlu dihindari. Perlu pemberdayaan masyarakat dengan
menciptakan teknologi tepat guna agar masyarakat terangkat dari
kemiskinan.

Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik. 2014. Papua dalam angka. Jayapura, Badan Pusat Statistik
Badan Pusat Statistik Kabupaten Tolikara, 2014, Tolikara Dalam Angka,
Karubaga, Badan Pusat Statistik.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Tolikara, 2014, IPM dan Analisis Situasi
Pembangunan Manusia Kabupaten Tolikara, Karubaga, Badan Pusat
Statistik.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Tolikara, 2014, Produk Domestik Regional Bruto
Menurut Lapangan Usaha Kabupaten Tolikara, Karubaga, Badan Pusat
Statistik.
Britha, Mikkelsen, 2003, Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-upaya
Pemberdayaan; sebuah buku pegangan bagi para praktisi lapangan,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Bryman, 2004, Social Research Mothods, Oxford University Press, New York.
Dinas Kesehatan Kabupaten Tolikara. 2013. Profil Dinas Kesehatan Kabupaten
Tolikara Tahun 2013. Karubaga, Dinkes Kabupaten Tolikara

74

Indonesia, Badan Penelitan dan Pengembangan Kesehatan, Indeks Pembangunan


Kesehatan Masyarakat 2013, Jakarta, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, 2014.
Kementrian Kesehatan RI. 2010. Rencana Strategis Kementrian Kesehatan tahun
2010 2014. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI. Tersedia pada
http://www.depkes.go.id.
Kementerian Kesehatan RI. 2009. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang
Kesehatan 2005 2025. Jakarta: Depkes RI. Tersedia pada
http://www.depkes.go.id.

Hasil riset secara menyeluruh bisa didapatkan


pada buku
Seri Studi Kualitatif IPKM; Nawi Arigi di
Bumi Tolikara Upaya Meningkatkan Derajat
Kesehatan Ibu dan Anak di Kabupaten
Tolikara, Papua
Bisa diunduh pada tautan berikut:
https://www.scribd.com/doc/301282212/Ser
i-Studi-Kualitatif-IPKM-Nawi-Arigi-di-BumiTolikara-Upaya-Meningkatkan-DerajatKesehatan-Ibu-dan-Anak-di-KabupatenTolikara-Papua

Info lebih lanjut bisa menghubungi


Setia Pranata;
HP. 081330410670;
Email pranata11@yahoo.co.id

75

76

Anda mungkin juga menyukai