Anda di halaman 1dari 5

PENGGUNAAN OBAT SECARA RASIONAL

A. PENDAHULUAN
Pemberian obat yang aman dan akurat merupakan salah satu obat terpenting
perawatan. Penggunaan obat rasional (POR) adalah menggunakan obat secara aman
dan efektif, dimana obat harus tersedia dengan harga yang wajar dan dengan
penyimpanan yang baik. Menurut WHO, definisi POR adalah apabila pasien menerima
pengobatan sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang sesuai dengan
kebutuhan, dalam periode waktu yang sesuai dan dengan biaya yang terjangkau oleh
dirinya dan kebanyakan masyarakat. Dengan empat kata kunci yaitu kebutuhan klinis,
dosis, waktu, dan biaya yang sesuai, POR merupakan upaya intervensi untuk mencapai
pengobatan yang efektif (Sastramihardja, 2002).
Pemilihan obat sangat tergantung pada berbagai faktor antara lain pola penyakit,
fasilitas pengobatan, pelatihan petugas dan pengalaman dari petugas kesehatan, sumber
dana yang tersedia, demografi dan lingkungan. Obat yang diseleksi harus selalu
berdasarkan pada data tentang efikasi dan keamanan obat yang adekuat berdasarkan
pada uji klinis. Kualitas obat yang diseleksi harus dapat terjamin (Aristianto, 2005).
B. PENGGUNAAN OBAT RASIONAL
1. Indikator
Kampanye POR oleh WHO dilatarbelakangi oleh dua kondisi yang bertolak
belakang. Kondisi pertama menunjukkan bahwa terdapat lebih dari 50% obatobatan di dunia diresepkan dan diberikan secara tidak tepat, tidak efektif, dan tidak
efisien. Bertolak belakang dengan kondisi kedua yaitu kenyataan bahwa sepertiga
dari jumlah penduduk dunia ternyata kesulitan mendapatkan akses memperoleh
obat esensial.
Penggunaan obat dapat diidentifikasi rasionalitasnya dengan menggunakan
Indikator 8 Tepat dan 1 Waspada. Indikator 8 Tepat dan 1 Waspada tersebut adalah
Tepat diagnosis, Tepat Pemilihan Obat, Tepat Indikasi, Tepat Pasien, Tepat Dosis,
Tepat cara dan lama pemberian, Tepat harga, Tepat Informasi dan Waspada
terhadap Efek Samping Obat. Beberapa pustaka lain merumuskannya dalam bentuk

7 tepat tetapi penjabarannya tetap sama. Melalui prinsip tersebut, tenaga kesehatan
dapat menganalisis secara sistematis proses penggunaan obat yang sedang
berlangsung. Penggunaan obat yang dapat dianalisis adalah penggunaan obat
melalui bantuan tenaga kesehatan maupun swamedikasi oleh pasien. Berikut ini
adalah penjabaran dari Indikator Rasionalisasi Obat menurut Mashuda (2011):
a. Tepat Diagnosis
Penggunaan obat harus berdasarkan penegakan diagnosis yang tepat.
Ketepatan diagnosis menjadi langkah awal dalam sebuah proses pengobatan
karena ketepatan pemilihan obat dan indikasi akan tergantung pada diagnosis
penyakit pasien.
Pada pengobatan oleh tenaga kesehatan, diagnosis merupakan wilayah
kerja dokter. Sedangkan pada swamedikasi oleh pasien, Apoteker mempunyai
peran sebagai second opinion untuk pasien yang telah memiliki self-diagnosis.
b. Tepat Pemilihan Obat
Berdasarkan diagnosis yang tepat maka harus dilakukan pemilihan obat
yang tepat. Pemilihan obat yang tepat dapat ditimbang dari ketepatan kelas
terapi dan jenis obat yang sesuai dengan diagnosis. Selain itu, Obat juga harus
terbukti manfaat dan keamanannya. Obat juga harus merupakan jenis yang
paling mudah didapatkan. Jenis obat yang akan digunakan pasien juga
seharusnya jumlahnya seminimal mungkin.
c. Tepat Indikasi
Pasien diberikan obat dengan indikasi yang benar sesuai diagnosa.
Misalnya Antibiotik hanya diberikan kepada pasien yang terbukti terkena
penyakit akibat bakteri.
d. Tepat Pasien
Obat yang akan digunakan oleh pasien mempertimbangkan kondisi
individu yang bersangkutan. Riwayat alergi, adanya penyakit penyerta seperti
kelainan ginjal atau kerusakan hati, serta kondisi khusus misalnya hamil,
laktasi, balita, dan lansia harus dipertimbangkan dalam pemilihan obat.
Misalnya Pemberian obat golongan Aminoglikosida pada pasien dengan gagal
ginjal akan meningkatkan resiko nefrotoksik sehingga harus dihindari.
e. Tepat Dosis

Dosis obat yang digunakan harus sesuai range terapi obat tersebut. Obat
mempunyai karakteristik farmakodinamik maupun farmakokinetik yang akan
mempengaruhi kadar obat di dalam darah dan efek terapi obat. Dosis juga harus
disesuaikan dengan kondisi pasien dari segi usia, berat badan, maupun kelainan
tertentu.
f. Tepat Cara dan Lama Pemberian
Cara pemberian yang tepat harus mempertimbangkan mempertimbangkan
keamanan dan kondisi pasien. Hal ini juga akan berpengaruh pada bentuk
sediaan dan saat pemberian obat. Misalnya pasien anak yang tidak mampu
menelan tablet parasetamol dapat diganti dengan sirup. Lama pemberian
meliputi frekuensi dan lama pemberian yang harus sesuai karakteristik obat dan
penyakit. Frekuensi pemberian akan berkaitan dengan kadar obat dalam darah
yang menghasilkan efek terapi.
g. Tepat Harga
Penggunaan obat tanpa indikasi yang jelas atau untuk keadaan yang sama
sekali tidak memerlukan terapi obat merupakan pemborosan dan sangat
membebani pasien, termasuk peresepan obat yang mahal. Contoh Pemberian
antibiotik pada pasien ISPA non pneumonia dan diare non spesifik yang
sebenarnya tidak diperlukan hanya merupakan pemborosan serta dapat
menyebabkan efek samping yang tidak dikehendaki.
h. Tepat Informasi
Kejelasan informasi tentang obat yang harus diminum atau digunakan
pasien akan sangat mempengaruhi ketaatan pasien dan keberhasilan
pengobatan. Misalnya pada peresepan Rifampisin harus diberi informasi bahwa
urin dapat berubah menjadi berwarna merah sehingga pasien tidak akan
berhenti minum obat walaupun urinnya berwarna merah.
i. Waspada Efek samping
Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak
diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi. Contohnya
Penggunaan Teofilin menyebabkan jantung berdebar.
2. Permasalahan Penggunaan Obat Rasional (POR)

Penggunaan obat rasional dalam pelayanan kesehatan di Indonesia masih


merupakan masalah. Penggunaan polifarmasi dimana seorang pasien rata-rata
mendapatkan 3,5 obat, lebih dari 50% menerima 4 atau lebih obat untuk setiap
lembar resepnya, penggunaan antibiotika yang berlebihan (43%), waktu konsultasi
yang singkat yang rata-rata berkisar hanya 3 menit saja serta miskinnya compliance
pasien merupakan pola umum yang terjadi pada penggunaan obat tidak rasional di
Indonesia. Selain itu dari penelitian lain didapatkan bahwa rata-rata jumlah obat
untuk setiap kasus pada anak-anak di bawah 5 tahun yang terdiagnosa adalah 3,68
obat, pada anak-anak lebih dari 5 tahun 3,58 obat, dimana satu dari 4 obat yang
dituliskan dalam resep adalah obat injeksi. Secara umum obat diberikan untuk
jangka waktu 3 hari termasuk juga antibiotika. Keadaan ini menunjukkan bahwa
antibiotika diberikan dengan dosis subterapeutika (Aristianto, 2005).
3. Strategi dalam Memperbaiki Penggunaan Obat Rasional (POR)
a. Strategi Pendidikan dan Pelatihan pada Petugas Kesehatan dan Konsumen
Strategi pendidikan ini dilakukan untuk memberikan informasi ataupun
mengajak dokter, perusahaan farmasi ataupun pasien untuk menggunakan obat
dengan tepat, rasional dan efisien. Strategi ini dapat dilakukan melalui berbagai
pendekatan antara lain pelatihan, penyuluhan, diskusi, seminar ataupun melalui
materi-materi edukasi (Holloway, 2004).
b. Strategi Menejerial (Aristianto, 2005)
1) Strategi ini bertujuan untuk menyusun sistem dan panduan untuk
pengambilan keputusan.
2) Strategi ini meliputi perubahan dalam seleksi, pengadaan, distribusi obat
dan penyaluran obat untuk menjamin ketersediaan obat.
3) Menyusun panduan praktis untuk di klinis yang meliputi sistem informasi
dan suplai obat yang sesuai dengan kebutuhan pasien.
4) menyusun formularium obat atau daftar obat esensial akan membantu
dokter untuk lebih efektif dan ekonomis dalam mengatasi permasalahan
kesehatan.
C. DAFTAR PUSTAKA
Arustiyono, 2005, Promoting Rasional Use of Drugs at The Community Health Centers
in Indonesia.

Holloway K., 2004, Rational use of drugs: an overview. In: Technical Briefing
Seminar: Essential Drugs and Medicines Policy; 2004; WHO Geneva
Mashuda A., 2011, Pedoman Cara Pelayanan Kefarmasian Yang Baik (CPFB)/Good
Pharmacy Practice (GPP), Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia dan
Kementerian Kesehatan RI, Jakarta
Sastramihardja H.,S., 2002, Penggunaan Obat yang Rasional. In: Farmakologi Klinik.
Farmakologi III. Jilid I. 2 ed. Bagian Farmakologi Universitas Padjadjaran,
Bandung.

Anda mungkin juga menyukai