INDO 3020
Tanggapan 1
sebagaimana adanya. Kita sudah terbiasa hidup bersama benda-benda ini sehingga
tidak menyadari apa saja yang terlibat dalam pemeliharaan. Tetapi barang-barang yang
mendiami kota kita, rumah kita dan kamar kita bukan benda saja. Tidak muncul dari
udara. Malah punya sejarah sendiri dan dipenuhi dengan arti kebudayaan. Dalam buku
yang berjudul Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, Pramoedya Ananta Toer menceritakan
sebuah benda di pulau Jawa yang sudah biasa, yaitu jalan yang sebut di judulnya.
Lewat buku ini Toer membongkar sejarah jalan itu yang pada ingatan warga
negara Indonesia, khususnya penduduk Jawa, sudah hilang. Sejarah Jalan Raya Pos
merupakan satu dari banyak kisah tragedi yang menggoresi sejarah bangsa Indonesia
dari jaman Hindia Belanda, terus selama pendudukan Jepang dan jaman Orde Baru.
Kenapa sejarah pembangunan jalan ini - sebuah jalan yang membentang sepanjang
utara pulau Jawa dan sudah menjadi infrastruktur penting - seharusnya dianggap
Herman William Daendels pembangunannya (atau “pelebaran” karena jalan sudah ada
banyak yang meninggal disebabkan oleh keadaan kerja yang agak buruk. Tetapi kalau
begitu tragis kenapa sudah hilang dalam ingatan umum? Menurut Toer, kemungkinan
besar disebabkan semua yang terjadi sejak jaman itu. Kata Toer, “Dengan jatuhnya
Hindia Belanda pada 1942, disusul masa pendek pendudukan militerisme Jepang
sampai 1945, berlanjut dengan Revolusi 1945-1949, orang sudah tak peduli lagi bahkan
adalah sesuatu yang sangat penting. Sayangnya, pada masa sekarang bagi pemuda
umumnya tidak begitu lagi. Mereka tidak sadar sama sekali semua yang terjadi dalam
sejarah bangsa mereka sendiri. Mungkin adalah sekolah yang bertanggungjawab atas
kekurangan ini. Memang di Amerika Serikat anak-anak dan pemuda tidak diajari semua
adalah yang agak keras, seperti genosida yang dilakukan oleh penjajah Eropa terhadap
pribumi Amerika. Yang diajarkan adalah keakraban di antara orang asli Amerika dan
peziarah dari negeri Inggris. Mungkin di awalnya ada kesalahpahaman, tapi akhirnya
mereka saling bergaul dengan baik. Tidak betul. Tentu saja kisah itu fantasi saja, lebih
keras lagi propagandanya, tetapi sebelum SMA atau S1 sejarah yang benar - yaitu
bahwa tanah air kita diambil dengan kekuatan dari pribumi - belum disinggung sama
termasuk genosida dan darah ditumpahkan, tidak cocok dengan anak yang begitu
muda.
Tetapi sejarah itu terjadi di Amerika Serikat, di mana justru orang yang
benar. Namun di Indonesia adalah orang keturunan korban kerjapaksa pelebaran Jalan
Daendels yang gagal mengajarkan tentang hal itu kepada siswa-siswi. Kenapa?
Mungkin sudah lupa, seperti yang sudah disebutkan tadi. Bahkan pada masa kanak-
kanak Toer ada yang kelihatan tidak menyadarinya. Di buku ini, Toer mengatakan
kenyataan ini mengherankannya. “Anehnya,” dia bilang, “sejak kecil tak pernah Jalan
Raya Pos alias Jalan Daendels jadi pokok percakapan dalam keluarga, di antara teman-
teman, bahkan juga tidak sewaktu kami mengembarai wilayah sekitar ruas Rembang-
Lasem” (9). Dia menambahkan bahkan bibinya yang ikut sekolah gadis “Kartini School”
yang terletak di alun-alun Rembang yang berbatasan sendiri degan sebuah ruas Jalan
Bagi Toer sendiri, dia dibesarkan pada jaman yang penuh dengan perasaan
kekuasaan asing, baik Barat maupun Asia. Karena itu, pada masa kecilnya dia ikut
sekolah dasar yang sudah “banting setir jadi sekolah nasional pada tahun 30-an” (7).
Justru di sana Toer diajari tentang sejarah benar Jalan Raya Pos. Di sana siswa diajar
terhadap pribumi Jawa yang dilakukan oleh mereka. Oleh gurunya Toer kecil
mengetahui orang sederhana banyak yang meninggal sambil bekerja paksa akibat
Jalan Raya Pos yang “beraspalkan darah dan airmata manusia-manusia Pribumi.” Dan
cerita ini menyampaikan pesan lewat buku ini bukan untuk “membenci Barat,” malah
untuk mengingatkan orang Indonesia tentang semua penderitaan yang dialami sebelum