Anda di halaman 1dari 6

PEMBENAHAN MODEL PEMBERDAYAAN

MASYARAKAT
(Analisis Kritis Terhadap Model dan Strategi
Pemberdayaan Masyarakat)
Tua Hasiholan Hutabarat

Kerja-kerja Pemberdayaan Masyarakat


Kerja-kerja pemberdayaan masyarakat merupakan salah lapangan aktivitas yang
banyak ditekuni oleh komponen struktur sosial, tidak terkecuali pemerintah dan
institusi intermediary, seperti organisasi non pemerintah, organisasi masyarakat
maupun lembaga penyandang dana. Alam liberal yang dikombinasikan dengan
demokrasi sebagai dinamisasi proses, struktur dan dinamika sosial membuka peluang
kepada setiap masyarakat dan stakeholder untuk berperan dalam kerja-kerja praxis
peningkatan kualitas hidup manusia.
Indonesia sendiri menjadi salah satu negara dengan tingkat penyerapan dana atau
logistik pembangunan paling besar (selain uang sendiri) dari masyarakat
internasional. Triliunan dana terserap setiap tahunnya untuk mendorong, mendukung
dan memfasilitasi niat, rencana, motivasi dan kepentingan komponen bangsa. Entah
itu karena masih dianggapnya Indonesia sebagai kantong kemiskinan, vitalnya posisi
bangsa ini secara geopolitik bagi stabilitas regional dan internasional, atau sekedar
motif filantropi modernitas yang prihatin dengan ketimpangan ekonomi dunia. Yang
pasti, seluruh kerja-kerja pemberdayaan memang tak bisa dijalankan secara sendiri-
sendiri, dikarenakan luarbiasa kompleks dan mendalamnya persoalan kemiskinan di
negara-negara seperti Indonesia.
Selama puluhan tahun pula kerja-kerja pemberdayaan di Indonesia telah merasuk ke
dalam sistem pembangunan nasional, dimana peran-peran dan posisi institusi
pemberdayaan menjadi tak terrelakkan. Puluhan tahun pula terjadi proses
pembelajaran yang melibatkan proses pemikiran paling mutakhir, sehingga diperoleh
strategi, taktik dan metode-metode kerja-kerja pemberdayaan yang efektif,

1
sustainable, demokratik, berkesetaraan gender, dan berbagai icon demokrasi lainnya.
Seakan-akan kita memproduksi sebuah konsep dan panduan-panduan yang kemudian
kita merasa semakin jauh dari tujuan jika tidak memakainya. Memang sebahagian
dari institusi pemberdayaan sendiri (terutama pemerintah) masih gamang dengan
konsep-konsep tersebut. Selain tidak ditanamkan dan dikembangkan dalam sistem
pendidikan kita, konsep dan strategi-strategi tersebut juga banyak mengadopsi
keberhasilan dan model-model pemberdayaan yang pernah dijalankan di negara-
negara lain.
Berbagai strategi, model, dan pendekatan yang terakomodasi dalam model
pemberdayaan di Indonesia tentu saja sangat berkontribusi terhadap kerja-kerja
penguatan dan peningkatan kualitas masyarakat. Upaya-upaya yang dilakukan telah
memperbaharui model konservatif cenderung sentralistik dan kurang memberi warna
heterogenitas persoalan komunitas-komunitas marginal di seluruh negeri. Model dan
strategi tersebut juga menjadi pelajaran kepada pekerja-pekerja sosial, baik di
pemerintahan maupun lembaga intermediary, bahwasannya ada banyak alternatif
pendekatan yang bisa diterapkan, tanpa menghilangkan karakteristik nilai, kapasitas
dan visi negara terhadap rakyatnya.

Stagnasi Kerja Pemberdayaan


Disebalik inovasi strategi, taktik, metode dan teknik aktivitas pemberdayaan, ternyata
ada sebuah paradox yang secara kasat mata sudah terlihat, namun kita enggan
merubahnya. Ada banyak praksis pemberdayaan yang bisa kita tiru, adopsi, dan
direproduksi untuk kerja-kerja pemberdayaan, namun sayangnya kurang diolah
menjadi sebuah formasi kerja pemberdayaan pilihan. Heterogenitas, kompleksitas,
dan relativitas karakter telah membutakan banyak strategi, pendekatan dan metode
pemberdayaan, sehingga menutup kemungkinan untuk mencari akar, substansi dan
latarbelakang dari persoalan yang sedang diretas dalam kerja-kerja pemberdayaan.
Dalam percakapan Esther Duflo (seorang eksperimentalis aksi-aksi kemiskinan)
terungkap adanya sebuah persoalan besar dalam upaya pemberantasan kemiskinan di

2
banyak negara, salah satunya terkait dengan watak pemerintah yang cenderung
melihat simptom atau gejala sebagai fokus pelaksanaan program, bukan terhadap akar
atau penyebab dari rendahnya kualitas hidup manusia. Watak seperti ini cenderung
lebih mudah, sederhana, cepat terlihat hasilnya, lebih murah, dan cenderung lemah
komitmen. Apa yang diungkap oleh Esther Duflo tersebut sebenarnya bukan hanya
milik institusi pemerintah semata, namun inheren dalam watak institusi intermediary
yang inheren dalam culture dan struktur sosial sebuah bangsa. Walau Duflo
mengemukakan ada kelebihan dari lembaga intermediary, namun sejauh ini interaksi
dan keharusan relasi terhadap lembaga formal sedikit banyaknya membentuk watak
yang sama terhadap lembaga intermediary yang seharusnya membangun strategi
alternatif.
Akhirnya dapat kita lihat, bahwasannya seluruh kerja pemberdayaan, baik yang
dilakukan oleh pemerintah, lembaga intermediary maupun komponen masyarakat
lainnya tetap dalam posisi sama. Strategi dan model yang dikembangkan tetap pada
penyelesaian symptom atau gejalanya saja. Malah yang cenderung terlihat jelas saat
ini adalah kebingungan pekerja sosial dan organisasi penjahit (lembaga intermediary
seperti NGO) untuk melihat persoalan masyarakat marginal secara jernih.
Pendekatan-pendekatan dan model-model yang diimplementasikan berputar pada
aspek holistisme yang bisa mengarahkan kerja-kerja pemberdayaan pada tembok
tebal yang sulit untuk dipecahkan. Stagnasi tersebut hampir saja tidak kelihatan
karena ada proses penggalian strategi, pendekatan, teknik dan metode yang sering
dilaksanakan dalam pra kondisi sebuah kerja-kerja pemberdayaan. Ketika aktivitas
prakondisi ini dijalankan, maka sebahagian besar organisasi merasa bahwasannya
pendekatan dan strategi yang dijalankan telah memenuhi aspek kohesivitas dengan
persoalan yang dialami oleh masyarakat marginal. Tapi jika diobservasi secara
berulang-ulang, maka yang terlihat adalah terjadinya perputaran penerapan strategi,
tapi tidak menyentuh pada penyebab, akar, atau substansi dari persoalan.

3
Harus Memilih
Kerja-kerja pemberdayaan masyarakat memang bukan ladang yang mudah untuk
digarap, karena kompleksitas persoalan yang sering sekali kelihatannya tak berujung
pangkal. Hal itu pula yang mendidik dan membentuk cara berfikir holistik,
komprehensif dan integratif. Tak ada salahnya dengan beberapa pendekatan tersebut,
karena sampai saat ini pun kita masih enggan menyentuh akar persoalan yang sering
kali hanya terjadi dalam tataran diskusi mendalam. Keseluruhan pendekatan yang
holistik, komprehensif, integratif atau apapun namanya menjadi sebuah cara berfikir
dan bertindak yang rumit karena kita terjebak dengan kerumitan persoalan yang
dihadapi oleh masyarakat. Akhirnya, kita cenderung berfikir general. Walaupun
persoalan yang kita gali telah menggunakan metode yang dapat membangun detail
sebuah persoalan, tapi kita sering meng-abstraksi persoalan tersebut dengan
mereduksi hal-hal substansi.
Cara berfikir yang suka meng-abstraksi persoalan, sehingga melahirkan pendekatan-
pendekatan yang general seperti; integratif, komprehensif dan holistik tersebut
merupakan pola fikir berbasis sistem. Kita melihat pendekatan sistem masih
menjawab kerumitan relasi sosial, ekonomi, budaya dan politik, sehingga abstraksi
terhadap relasi tersebut kita generalisasikan ke dalam sistem yang lebih sederhana.
Tentu saja kemampuan mengabstraksi dan menggeneralisasi ini bukan pekerjaan
gampang. Dibutuhkan cara berfikir empirik yang memenuhi standar untuk bisa
digunakan dan dimanfaatkan oleh orang lain. Namun sekali lagi kita bisa dikaburkan
dengan inti dari persoalan. Kerumitan persoalan yang dihadapi masyarakat, terutama
persoalan kemiskinan, ketidaksetaraan, eksploitasi, dan penindasan memang saling
kait-mengait dengan sistem kepranataan kita. Pada titik itu memang ada
kebenarannya. Namun kita tidak boleh lupa, bahwasannya tali-temali persoalan
tersebut pada satu titik akan mengendap dan membusuk di satu mata rantai kerumitan
yang ada. Pada satu titik tersebutlah substansi persoalan bisa di angkat untuk
dianalisis bersama dan diimplementaskan dalam kerja-kerja pemberdayaan. Ketika
telah diimplementaskan, kemudian ada langkah dialektis yang harus dilakukan

4
sehingga perubahan pada titik persoalan tersebut bisa di adaptasi dengan
pendekatan/strategi yang dijalankan.
Pada titik analisis tersebut, mau tidak mau sebenarnya kita harus memilih.
Mengungkap seluruh mata rantai persoalan kemiskinan dan masalah-masalah yang
dialami oleh masyarakat marginal tidak harus direkomendasikan dengan strategi
integratif dan komprehensif, karena itu akan mengaburkan substansi dari persoalan
yang dihadapi oleh masyarakat. Tuntutannya adalah jelas, kerja-kerja pemberdayaan
masyarakat sebenarnya harus memilih, di titik mana substansi tersebut berada pada
satu masa tertentu. Pada titik itulah kerja-kerja pemberdayaan harus dilakukan. Tentu
ini pilihan sulit, namun eksperimentasi pekerja sosial di dalam lembaga intermediary
maupun pemerintah bisa dihentikan dengan mendoba memutuskan untuk
mengimplementaskan strategi tertentu kepada persoalan inti tersebut.

Membenahi Model
Pendekatan dan strategi yang dijalankan oleh pemerintah dan lembaga intermediary,
termasuk oleh masyarakat sejauh ini mengalami kemajuan cukup berarti. Berbagai
persoalan kemiskinan dan halangan struktural yang dialami oleh masyarakat dapat
dipecahkan dengan penerapan model-model pemberdayaan yang ada. Namun jika
kita mau kritis, upaya, logistik, program dan seluruh kapasitas yang dimiliki tidak
sepadan dengan capaian yang dinikmati oleh masyarakat. Bayangkan saja jika kita
terus menerapkan sebuah program yang bersifat general, karena berupa hasil abstraksi
kita terhadap jejaring permasalahan masyarakat. Kemampuan organisasi pemberdaya
akan terpecah pada seluruh mata rantai yang ada, sehingga kurang menimbulkan efek
besar terhadap mata rantai inti. Watak program yang mengintegrasikan dan meng-
holistikkan persoalan akan memecah kapabilitas personal dan organisasi, sehingga
perubahan yang kita harapkan bersifat kualitatif ternyata hanya mencapai level
permukaan. Perubahan di level permukaan tersebut cenderung kurang sustainable,
sehingga jargon sustainabilitas yang selama ini menjadi bendera utama program-

5
program pemberdayaan lebih sering berada di rencana dan laporan kerja
pemberdayaan.
Upaya memilih mata rantai inti dari persoalan yang dialami oleh masyarakat tentu
saja tidak bisa dilaksanakan oleh satu organisasi atau satu institusi saja. Harus ada
dukungan dari berbagai pihak, terutama yang bergerak dalam bidang pengadaan
logistik, kebijakan, analisis dan aktor pelaksana kerja-kerja pemberdayaan. Harus ada
keberanian untuk membenahi model yang ada, sehingga meminimalisir generalisasi
persoalan masyarakat, untuk kemudian berani memilih mata rantai persoalan yang
dianggap sumber, akar dan substansi kendala yang dihadapi oleh masyarakat. Tentu
saja selain kapasitas, harus juga dibarengi dengan keberanian mengambil sikap. Sikap
untuk mereformasi kelembagaan dan organisasi yang bergerak di bidang
pemberdayaan, keberanian merubah determinas/kecenderungan model
pemberdayaan, dan me-renegosiasi model pemberdayaan yang ada tanpa harus
bereksperimentasi dengan kemiskinan masyarakat.

Mataram, 4 Mei 2010


Phone: 081805271342
Email: thasiholan@yahoo.com

Anda mungkin juga menyukai