Anda di halaman 1dari 21

DIABETES MELITUS TIPE 1

A. PENDAHULUAN
Diabetes Tipe 1(DT1) adalah suatu penyakit autoimun
yang mana system imun pasien merusak sekresi insulin oleh
sel

beta

pancreas.

multifaktorial

DT1

yang

merupakan

penyakit

dikarakteristikkan

autoimun

dengan

adanya

defisiensi insulin, dikarenakan perusakan sel beta pancreas


yang dimediasi oleh sel T
secara

tepat

ke

1,2

. Hal ini tidak bisa diklasifikasikan

dalam

gen

dominan,

resesif

maupun

intermediet 2. Sebagian besar kasus yang terjadi diduga terjadi


sebagai hasil proses interaksi antara genetic-lingkungan

1,2

Sekitar 18 kelompok genom telah diketahui berhubungan


dengan resiko terjadinya DT1. Beberapa kelompok ini, dimana
setiap kelompoknya dapat terdiri dari beberapa gen, yaitu di
antaranya IDDM1 sampai IDDM18. Salah satu yang paling
dimengerti sepenuhnya adalah IDDM1, yang mengandung gen
HLA (Human Leukocyte Antigen) yang mengkode protein
respon imun
resiko

yang

. Variasi dari gen-gen HLA merupakan faktor


1

penting

Selain

itu,

DT1

biasany

juga

dikarakteristikkan dengan adanya anti-GAD, sel islet maupun


antibody insulin yang mengidentifikasi proses autoimun yang
menyebabkan terjadinya perusakan sel beta pancreas 3. DT1
diklasifikasikan ke dalam 2 kategori, yaitu DT 1A (DT1 yang
dimediasi imun/immune mediated) dan DT 1B (DT1 yang tidak
dimediasi imun/non-immune mediated)
B. DEFINISI 1,2,3
Istilah
gangguan

diabetes

metabolic

dikarakterisasikan

mellitus

oleh

dengan

karena

2,3

(DM)

menggambarkan

multiple

hiperglikemia

etiologi

yang

kronik

yang

mengganggu metabolism karbohidrat, lemak dan protein yang

diakibatkan karena defek sekresi insulin, aktivitas insulin


maupun oleh keduanya. Efek DM meliputi disfungsi, kegagalan
dan kerusakan berbagai macam organ yang berlangsung lama.
DMdapat muncul dengan gejala yang khas yaitu polidipsi,
poliuri, polifagi (Trias Classic) serta pandangan kabur dan
penurunan berat badan. Pada kondisi yang paling berat, dapat
terjadi ketoasidosis maupun hiperosmolar non-ketotik yang
dapat memicu terjadinya stupor, koma, dan kematian apabila
terapi yang diberikan tidak efektif.
C. INSIDENSI
Insidensi DT1 sebesar 10% dari semua kasus DM.
Terdapat

beberapa

perbedaan

insidensi

berdasarkan

geografisnya, dengan insiden rata-rata per tahun sebesar 40


per 100000 anak di Finlandia, <2 per 100000 anak di Jepang,
sedangkan di Indonesia belum ada data insidensi yang akurat
1,2

. Insidensi pada anak laki-laki sebesar 21,1 per 100000 anak,

sedikit lebih tinggi daripada anak perempuan yaitu sebesar 19


per 100000 anak

. Bukti adanya etiologi autoimun DT1

ditemukan pada 95% kasus, sisanya sebanyak 5% tidak


ditemukan

adanya

marker

autoimun,

oleh

sebab

itu

diklasifikasikan sebagai DT 1B 2. Berdasarkan studi terbaru,


insidensi DT1 meningkat sebesar 40% dari tahun 1997-2010 2,
atau meningkat sebesar 3% setiap tahunnya 1. Peningakatan
ini terutama diduga karena adanya peranan lingkungan dalam
epidemiologi DT1 1. DT1 lebih sering terjadi pada kelompok
umur 10-13 tahun dan paling rendah pada kelompok umur 6-9
tahun. Kembar monozigotik memiliki insidensi terkena DT1
rata-rata 30%-50%, sedangkan kembar dizigotik memiliki ratarata terkena DT1 sebesar 6%-10%. Sebanyak 18% kasus DT1
terjadi pada individu yang tidak meiliki riwayat DT1 pada

keluarga. Perbedaan resiko yang terjadi juga dipengaruhi oleh


orang tua yang menderita DM. Anak-anak yang ibunya terkena
DT1 hanya beresiko sebesar 2% untuk terjadinya DT1,
sedangkan anak-anak yang bapaknya menderita DT1 memiliki
resiko sebesar 7% 1.
D. PATOFISIOLOGI
DT1 merupakan tipe diabetes yang paling berat karena
membutuhkan injeksi insulin seumur hidup. Sebagian besar
kasus DT1 terbukti disebabkan karena destruksi sel beta yang
dimediasi autoimun (Tipe 1A), sekitar 10%-20% kasus tidak
ditemukan

adanya

antibody

(antibody

negatif)

sehingga

disebut sebagai DT1 idiopatik (Tipe 1B). Penurunan sekresi


insulin diteliti selama lebih dari 12 tahun sebelum terjadinya
manifestasi klinis DT1. Inflamasi pada sel islet pancreas
(insulitis) yang melibatkan limfosit CD4+ dan CD8+, limfosit B
dan makrofag 1,5.
Terdapat 2 mekanisme onset terjadinya DT1 tang
dikemukakan.

Mekanisme

menjelaskan

bahwa

faktor

lingkungan memicu proses autoimun, yang sering terjadi pada


anak-anak umur <10 tahun. Meskipun diagnosis DT1 biasanya
didahului
minggu,

gejala
tetapi

yang
pada

tidak

diketahui

kenyataannya

selama

manifestasi

beberapa
klinisnya

menjadi jelas hanya setelah periode prodormal yang panjang


karena adanya destruksi sel beta pancreas secara bertahap.
Mekanisme ke-2 menjelaskan bahwa terdapat suatu reaksi
superantigen yang mengakibatkan dektruksi sel beta pancreas
secara cepat dalam waktu beberapa minggu sampai 1 bulan,
yang memulai onset klinis

1,2,4,5

Metabolisme yang mendahului diabetes tipe 1

4,5

Oresic et al membandingkan profil serum metabolit


antara anak-anak yang memiliki diabetes tipe 1 dan mereka
yang sehat dan walafiat bebas autoantibody. Analisa ini
menemukan perubahan metabolic karakteristik hanya pada
anak-anak yang kemudian muncul diabetes tipe 1, termasuk
suksinat serum, foshaditilkolin, dan fosfolipid yang menurun,
dan

juga

penurunan

ketoleusin

dan

penungkatan

asam

glutamat.
Masih belum jelas seberapa tinggi kadar glutamate,
suksinat, ketoleusin, atau asam amino rantai bercabang yang
normalnya dapat menyebabkan inisiasi diabetes tipe 1. Sulit
juga untuk menggambarkan bagaimana perubahan ini dapat
terjadi. Mereka dapat mencerminkan infeksi asimtomatik pada
hepar atau otot, diet, atau gangguan metabolic dalam respon
terhadap lingkungan.
Glutamate,

yang

meningkat

pada

anak

dalam

perjalanan kea rah diabetes, terdapat dalam makanan, namun


secara kunatitas tidak dapat meningkatkan kadar serum
sampai berlebihan (32 kali di atas normal). Peningkatan
glutamate

serum

ketoglutarat
katabolisme

bersamaan

dapat
otot

dehidrogenase

juga

atau

hepar

dengan

diakibatkan

gangguan
dan

pada

penurunan
dari

peningkatan

jalur

ureagenesis.

glutamate-

Glutamine

dan

glutamate plasma hanya terdiri dari fraksi kecil kumpulan


glutamate

intraseluler

total.

Orang

yang

mengkonsumsi

monosodium glutamate 10 g atau lebih memiliki kadar


glutamate plasma normal dua kali lipat dan konsentrasi insulin
yang lebih tinggi. Glutamat juga disintesa secara endogen
sebanyak 48 g/hr pada orang dewasa.

Sel dilengkapi

dengan reseptor dan transporter glutamate dan merespon

glutamate dengan peningkatan sekresi insulin. Peningkatan


glutamate dalam sel meningkatkan aktivitas GAD65, salah
satu antigen sel utama. Maka, dapat disimpulkan bahwa
peningkatan sementara glutamate dan peningkatan aktifitas
GAD dapat memicu atau meingkatkan kerusakan sel melalui
sitolitik atau proses autoimun.
Glutamate penting dalam komposisi mikrobiom, dan
beberapa penelti berspekulasi bahwa E. coli bertahan dalam
usus dikarenakan GAD-ABC dan CadBA glutamate- dan lisin
dependen acid-resistance sistem. Glutamine dan glutamate
juga memiliki efek langsung terhadap sistem imun.
Peningkatan kadar lisofosfatidilkolin (LPC) ditemukan
oleh Oresic et al di masa depan anak-anak diabetes tipe 1 saat
lahir dan selama tahun pertama. Perubahan lipid ini mungkin
diakibatkan

dari

peristiwa

yang

dimulai

di

uterus,

kemungkinan terkait nutrisi dan metabolism ibu. Selain itu,


PLC, yang merupakan produk bioaktif fosfolipase A2 (PLA2)
dan konstituen Ox-LDL, dapat mempengaruhi kemotaktis
subpopulasi leukosit ketika inflamasi. Dan kelompok VIA
fosfolipase A2 (iPLA2) turut andil dalam sekresi insulin.
Diabetes tipe 1 suatu gangguan autoimun
Peran

elemen

turunan

sumsusm

tulang

dalam

pathogenesis penyakit ditunjukan dengan munculnya diabetes


pada pasien yang menerima transplant sumsum tulang dari
HLA kompatibel saudara kandung dengan diabetes tipe 1 dan
sesuai

dengan

produksi

autoimunitas.

autoantibody,

pengelompokan

dengan

Selain

respon
gangguan

mendukung pathogenesis autoimun.

sel

itu,

inflamasi

lokal,

spesifik,

dan

autoimun

lain

semua

Insulitis merupakan penemuan yang penting ketika


jaringan pankreas dari individu yang didiagnosa diabetes
diperiksa. Autoimunitas didukung lebih jauh oleh fakta bahwa
sel T ada dalam islet manusia dengan diabetes tipe 1 yang
terkena dan mendominasi infiltrasi islet bahkan sebelum
hiperglikemia terbukti. Selain itu, peningkatan ekspresi MHC
menunjukan presentasi antigen aktif dapat terjadi dalam
jaringan islet. Sesuai dengan penemuan ini, diabetes juga
pernah dilakporkan pada resipien yang sebelumnya diabetic
yang menerima transplant pankreas dari kembarannya yang
non diabetic atau saudara kandungnnya dengan HLA identik.
Dalam

satu

kasus,

sel

diisolasi

dari

pankreas

yang

ditransplan segera setelah rekurensi penyakit. Meskipun tidak


definitive, akumulasi sel T dan peningkatan regulasi MHC di
dekat tempat penghancuran sel beta yang sangat mendukung
mekanisme imun penting untuk munculnya diabetes.
Autoantibody,

yang

disebut

ICA

(islet

cell

autoantibody), terdeteksi dalam individu diabetes tipe 1 dan


memudahkan perjalanan klinis diabetes dipelajari dengan
subjek manusia. Antibody yang diarahkan terhadap sel islet
pertama kali ditemukan dengan serum inkubasi dari pasien
diabetic tipe 1 dengan frozen section pankreas dari individu
dengan darah normal kelompok O. GAD65 (glutamic acid
decarboxylase), IA-2 atau ICA512 (insulinoma associated
antigen-2) dan insulin (IAA) merupakan antigen sasaran paling
sering.

Glutamic

acid

decarboxylase

mengubah

asam

glutamate menjadi GABA (asam g aminobutirat) neuron


GABAergik dan sel beta islet. IA-2 adalah protein seperti tirosin
fosfat yang ditemukan di sel a islet pankreas. Bertempat sama
dengan granul sekresi islet dan difosforilasi ketika insulin

disekresi. Berhubungan dengan sitoskeleton untuk membantu


eksositosis. Autoantibody isulin ditujukan ke rantai b insulin
atau proinsulin. Saat terapi insulin dimulai, antibody insulin
bisa jadi merupakan marker yang tidak bermanfaat karena
beberapa

pasien

membentuk

antibody

terhadap

insulin

eksogen.
Figure 1: The Immunopathology of Type 1 Diabetes. Resident antigen presenting
cells phagocytose beta cells, become activated, and migrate to draining lymph
nodes where they present antigen to
circulating T cells. Upon activation beta cell specific T cells gain access to islet
tissue through the
vasculature and accumulate in the islet causing insulitis. Additional antigen
presentation may occur
locally leading to destruction of beta cells with subsequent hyperglycemia.

LADA (laten autoimun diabetes in adult), diabetes tipe


1.5, atau SPIDDM (slow progressive insulin dependent diabetes

mellitus) merupakan bentuk variasi dari diabetes pada pasien


dewasa, memiliki antibody terhadap GAD65 atau IA-2.
Produksi

autoantibody

tampak

meningkat

(bulan

sampai tahun) pada perubahan metabolic diabetes tipe 1 dan


dapat dipakai untuk memprediksi penyakit. Adanya 2 atau
lebih spesifitas antibody yang berbeda sangat prediktif untuk
diabetes tipe 1 di masa mendatang (resiko lima tahun = 2866%).
Dua

penelitian

menggunakan

tikus

NOD

yang

mengalami defisiensi sel B perifer menunjukan kemungkinan


peran

autoantibody

dalam

penyakit.

Namun,

transfer

autoantibody saja tidak menyebabkan penyakit pada tikus


NOD sedikit B menunjukan bahwa kontribusi sel B terhadap
pathogenesis

penyakit

tidak

terbatas

pada

produksi

autoantibody. Sel B juga berperan sebagai APC dengan


kemampuan mempresentasikan set peptide yang unik. Adalah
mungkin

ketiadaannya

menyebabkan

perubahan

pada

presentasi antigen yang pengaruh sekundernya mengaktifkan


sel T. Diabetes tidak dapat ditransfer menggunakan serum dari
manusia diabetic, plasmaferesis memberikansedikit manfaat
terapeutik, dan eliminasi penyakit yang tidak sempurna
terkadang terjadi pada tikus NOD dengan defisiensi sel B.
Penyakit ini dapat muncul saat tidak adanya sel B dan
autoantibody. Kemampuan antibody dengan afinitas tinggi
terhadap

insulin

untuk

meningkatkan

onset

diabetes

menunjukan bahwa autoantibody dapat jelas mempengaruhi


perjalanan waktu perkembangan penyakit.
Sel T ada dalam islet yang terinflamasi, kemampuan
untuk mempelajari sel ini pada manusia terbatas karena

aksesibilitas. Klon sel T dari tikus NOD terbukti bermanfaat


dalam meningkatkan pemahaman kami mengenai mekanisme
potensial yang berperan pada diabetes manusia. Karena sel T
spesifik islet dengan potensial diabetogenik kuat terdapat
pada tikus NOD, kemungkinan sel T serupa menginfiltrasi
jaringan islet manusia juga.
Penelitian menunjukan bahwa sel T teraktivasi pertama
di nodus limfe yang mengosongkan pankeras. Arsitektur nodus
limfe mendukung akses cepat antigen pada APC professional
ke sel T nave sirkulasi. Sesaat setelah teraktifasi, sel T spesifik
islet bergerak ke pankreas di mana mereka berproliferasi dan
terakumulasi menyebabkan inflamasi spesifik organ. karena
makrofag dan sel dendritik terdapat dalam jaringan islet yang
terinflamasi

kemungkinan

fungsi

mereka

sebagai

APC

professional mampu mempresentasikan antigen dalam konteks


molekul MHC kelas II dan mensekresi IL-12, yang mengaktifkan
sel T CD4 spesifik antigen dan kemudian menstimulasi sekresi
interferon gamma. Interferon gamma merupakan sitokin kunci
yang mampu menghambat produksi sitokin Th2 (IL-4, -5, -10)
oleh sel T lain dan meningkatkan IL-1, TNF-, dan produksi
radikal bebas oleh makrofag. Kesemuanya toksik bagi sel beta
islet, meskipun pre-sel beta tampak kurang

sensitive bagi

sitokin yang memediasi destruksi dibandingkan sel a matur.


Selain dari kerusakan sel beta langsung, interferon gamma
meningkatkan

sitotoksisitas

sel

CD8.

Sel

CD8

dapat

menyebabkan kematian sel beta langsung melalui pelepasan


perforin dan granzime atau oleh apoptosis yang dimediasi Fas.
Diabetes tipe 1 sering dikaitkan dengan penyakit autoimun lain
seperti kronik tiroiditis, non-destructive Addisons disease,
Celiac disease, dan Autoimun Poliendokrinopati Sindrom.

Pengelompokan diabetes tipe 1 dengan penyakit autoimun lain


yang menunjukan kemungkinan defek pada regulasi imun
dapat

berperan

dalam

pembentukan

fenotip

autoimun

multipel.

Figure 2: Autoantigen presentation and lymphocyte activation occur in the lymph


nodes draining the pancreas prior to diabetes development.

Figure 3: Local chemokine production attracts autoreactive lymphocytes that


destroy beta cells. Death can be mediated by various mechanisms including FasFasL, perforin/granzymes, reactive oxygen species, and cytokines.

Gen-gen HLA dalam predisposisi DT1 1,2:


Bukti terbaik mengenai komponen genetic terhadap DT1
didapatkan dari berbagai studi tentang gen HLA pada populasi
keluarga dan binatang percobaan. Diperkirakan bahwa HLA
(IDDM1) terdapat hingga 40%-50% pada kelompok familial
DT1. HLA merupakan kelompok gen-gen yang berlokasi dalam
MHC pada rantai pendek kromosom 6 (6p21 .3).
Kelas-kelas HLA 1,2:
Dalam region HLA, dikelompokkan menjadi 3 kelas.
a. Gen-gen kelas I, yaitu: (HLA-A, HLA-B dan HLA-C) mengkode
antigen-antigen HLA kelas 1, yang terletak pada permukaan
semua sel berinti.
b. Gen-gen kelas II, yaitu: (HLA-DR, HLA-DQ dan HLA-DP) yang
memproduksi antigen-antigen HLA kelas II yang ditemukan
secara khusus pada limfosit B, makrofag, sel-sel epithel

pada sel islet pulau Langerhans dan limfosit T teraktivasi.


Ekspresi-ekspresi gen-gen ini pada sel-sel lain mungkin
diinduksi oleh beberapa sitokin seperti interferon dan IFN-.
c. Gen-gen
kelas
III:
mengkode
komponen-komponen
komplemen (C2, properdin faktor B, C4A dan C4B), 21hydrovylase dan produk-produk yang terlibat pada inflamasi
yang dimediasi oleh sel T, seperti TNF- dan TNF-, dan
protein fase akut.
Region HLA kelas II 1,2:
HLA kelas II merupakan faktor genetic yang paling kuat
yang berhubungan dengan DT1 yang disebabkan oleh alel-ale
gen HLA kelas II secara statistic. Molekul HLA kelas II, terutama
DR dan DQ, sekitar 40% dari seluruh gen yang beresiko
mengalami DT1. Meskipun HLA memainkan peranan penting
dalam hubungan ketidakseimbangan, akan tetapi hal ini
sangat sulit untuk diteliti mengenai efek masing-masing gen
HLA-DQ dan DR secara terpisah.

Spectrum haplotipe HLA yang beresiko DM

1,2

Beberapa loki di dalam maupun di dekat komplek HLA


nampaknya memodulasi resiko terjadinya DM dan menambah
kekomplekan dalam analisis DT1 lebih lanjut. Individu dengan
resiko tertinggi menderita DT1 emngekspresikan beberapa
haplotipe predisposisi,

di antaranya:

DQA1*0501-DQB1*0201

(DQ2), yang hampir selali diwariskan dengan DRB1* 0301 (DR3) dan
DQA1*0301-DQBI*0302 (DQ8), diwariskan dengan DRB1*0401 atau
DRB1*0402 (DR4). Individu ini telah dihubungkan dengan adanya heterozigot
DR3/DR4 atau DQ2/DQ8. Jadi, sebagian besar pasien DT1 membawa gen
HLA-DR3 atau DR4 antigen kelas II, dan sekitar 30% di antaranya memiliki
heterozigot DR3/DR4. Genotip DR3/DR4 berperan memberikan resiko DM

tertinggi dengan cara aksi sinergis, kemudian didikuti oleh homozigot DR4 dan
DR3, secara berurutan. Berdasarkan rantai-rantai DNA, lokus HLA-DQ
ditemukan memiliki hubungan paling kuat terhadap terjadinya DM.
Mekanisme

tepat

tentang

HLA-DQ

yang

mana

yang

menentukan

kecenderungan terjadinya DM masih belum jelas. Lokus ini mengkode


beberapa varian molekul HLA-DQ, suatu heterodimer yang terdiri dari 2 rantai
glikoprotein ( dan ) yang memiliki andil dalam penngenalan imun dan
presentas antigen pada sel T CD4. Pada bangsa Kaukasian, heterodimer HLADQ (rantai dinamakan DQA1 dan rantai sebagai DQB1) yang dikode oleh
alel-alel DQA1*0301, DQB1*0302 dan DQA1*0501, DQB1*0201 memiliki
hubungan terkuat pada terjadinya DM. Alel-alel ini berhubungan dengan
ketidakseimbangan pada alel-alel HLA-DR4 dan DR3.
Menurut beberapa studi DQB1*0302 berbeda dengan DQB1*0301
pada posisi 57, yang mana pada posisi ini kurang akan residu asam aspartat.
Alel DQB1*0201 juga kurang akan asam aspartat pada posisi 57, dan telah
dikemukakan juga bahwa residu ini mengkin terlibat dalam mekanisme
molekuler yang mendasari kode terjadinya DT1. Pada kenyataannya, residu
asam amino pada posisi 57 dari rantai DQ- ini penting untuk pengenalan dan
ikatan peptide. Residu rantai DQ- lainnya mungkin juga mempengaruhi
ikatan peptide dan menyebabkan kerentanan terhadap terjadinya DM,
khususnya kombinasi variasi residu pada posisi 57 dan 70 berhubungan kuat
dengan resiko terjadinya DM. residu arginin rantai DQ- posisi 52 juga
berhubungan dengan kerentanan terhadap terjadinya DM. meskipun demikian,
beberapa DQB1 termasuk DQB1*0302/DQB1*0201 (DR7), DQB1*0201
(DR3)/DQB1*0201 (DR3) dan

DQB1*0201 (DR3)/ DQB1*0201 (DR7)

memiliki resiko yang rendah.


Haplotipe dari gen HLA kelas II tertentu menggunakan aksi proteksi
untuk mnghambat perkembangan DM. Alel-alel HLA juga telah dihubungkan
dengan

proteksi

terhadap

DT1,

haplotipe

DQA1*0102/DQB1*0602/DRB1*1501 telah diketahui memberi proteksi.


Beberapa bukti menjelaskan bahwa proteksi tersebut dikode oleh alel

DQB1*0601 dan bahkan antibody relative sel islet paling utama memiliki
resiko rendah terhadap DM apabila memiliki DQB1*0601. Akan tetapi, efek
proteksi ini tidak mutlak.
Loki lain pada HLA kelas II juga dihubungkan dengan DT1 selain
HLA-DQ dan DR. HLA-DPB1*0101, DPB1*0301 dan DPB1*0202 dialporkan
memiliki hubungan positif, sedangkan DPB1*0402 memiliki hubungan
negative.

Region HLA kelas I

Sejumlah penelitian mengindikasikan bahwa gen-gen


kelas II menerangkan semua HLA berhubungan dengan DT1.
Ada bukti bahwa beberapa alel pada loki HLA B dan C kelas I
mempengaruhi kerentanan terhadap DM sebagaimana onset
umur dan kecepatan destruksi sel beta. Di samping itu, rantai
kelas I related gen-gen MIC-A dan MIC-B yang terletak di
antara HLA-B serta gen TNF juga memiliki efek terhadap DT1.
Region HLA kelas III 1:
Gen TNF (tumor necrosis factor) adalah kandidat utama
dari

kelas

III,

karena

polimorfisme

fari

gen

ini

dapat

mempengaruhi produksi TNF, suatu sitokin poten, sehingga


mempengaruhi potensial respon imun. Telah dilaporkan bahwa
polimorfisme TNF dihubungkan dengan onset umur dan
mempengaruhi proses inflamasi yang mengawali terjadinya
destruksi sel beta pancreas dan perkembangan DT1.
Terlepas dari menentukan resiko DT1, gen-gen HLA juga
mampu mengatur gambaran penyakit, seperti onset umur
maupun hasil dari autoimunitas seluler aktif. Jadi, kombinasi
antara haplotipe DR3 dan DR4 tidak hanya mempredisposisi
kuat terhadap DT1 tetapi juga mempercepat onset penyakit.
Sebaliknya, jarang seorang individu yang menderita DT1
meskipun

memiliki

memperlihatkan
Kesimpulannya,

alel

DQB1*0602

onset
hubungan

penyakit
HLA

yang
yang

dengan

secara

umum

sangat

lama.

DT1

merupakan

sesuatu yang kompleks, dengan banyak haplotipe yang


mempengaruhi resiko terjadinya DM.
IDDM2: Gen Insulin

Insulin tersusun dari 2 rantai polipeptida yang berbada,


yaitu rantai A dan rantai B, yang saling dihubungkan dengan
ikatan disulfide. Beberapa protein yang mengandung subunit,
seperti hemoglobin, merupakan produk dari beberapa gen.
Meskipun demikian, insulin merupakan produk dari 1 gen,
yaitu INS. Penelitian yang dilakukan oleh Nakayama dkk secara
kuat memperlihatkan bahwa insulin merupakan autoantigen
utama dalam permulaan derajat DM. Juga, mendukung bukti
ini adalah adanya antibody insulin dalam darah pada pasien
prediabetik dan diabetic.

Gen insulin merupakan hal kedua yang menetukan


kerentanan lokus DT! Pada kromosom 11p15.5. Hal ini
berperan sekitar 10% kea rah terjadinya DT1.
The variable number of tandem repeats (VNTRs) 1:
Area resiko pada lokus ini terletak pada sisi gen insulin
yang mengandung DNA rantai pendek yang diulang-ulang
beberapa kali. Karena rantai yang diulang-ulang diikuti oleh
satu sama lain di belakang (in tandem/dua-dua) dank arena
jumlah gen yang diulang bervariasi antar individu, maka
fenomena

ini

dinamakan

VNTRs.

Polimorfisme

VNTRs

dikategorikan ke dalam kelas I-III.


1. Kelas I memiliki alel yang berbaris dari unit 26-63 yang
diulang.
2. Kelas II memiliki alel yang rata-rata berada pada unit 80 yang
diulang.
3. Kelas III memiliki alel yang berbaris dari unit 141-209 yang
diulang.
Rata-rata kejadian VNTR pada populasi Kaukasoid kirakira sebesar 70%, sedangkan pada VNTR III sebesar 30%.
VNTR II sangat jarang terjadi.
Kelas VNTR dihubungkan dengan kerentanan terhadap
DT1. Alel pendek pada kelas I dihubungkan dengan resiko yang
lebih tinngi untuk terjadinya DT1, sebaliknya alel-alel yang
lebih panjang pada kelas III bersifat protektif. Adanya apling
tidak satu alel kelas III dihubungkan dengan reduksi resiko
terhadap DT1 sebesar tiga kali lipat mekanisme mengenai
polimorfisme insulin VNTR yang mana yang mempengaruhi
resiko terjadinya DT1 tidak jelas.

Jumlah HLA dan insulin pada agregrasi DT1 familial


hampir sebanyak 60%-70%. Pada beberapa populasi, efek
gabungan antara HLA dan insulin memainkan peran sebesar
<50% pada peningkatan resiko diabetic familial. Oleh karena
itu, beberapa studi tenteang berbagai macam genom telah
dilakukan untuk menmgidentifikasi kandidat region yang dapat
mengandung

gen-gen

sukseptibilitas

yang

belum

teridentifikasi.
Antigen Limfosit T Sitotoksik-4 (cytotoxic T-Lymphocyte
Antigen-4 (CTLA-4))1
CTLA-4 diekspresikan saat sel T telah teraktivasi setelah
presentasi antigen. Karena CTLA-4 ini hanya diekspresikan
oleh sel T yang teraktivasi, hal ini mungkin sekali bahwa CTLA4 memiliki peran dalam melindungi terhadapautoimunitas.
Tidak adanya gen ini dapat mengakibatkan sel T teraktivasi
melawan antigen sensiri. Tentu saja, variasi genetic CTLA-4
telah dihubungkan dengan gangguan autoimun. Gen CTLA-4
terletak pada lengan panjang kromosom 2 (2q 33) dan region
genetic

ini,

IDDM

12,

yang

sebelumnya

ditemukan

dihubungkan dengan predisposisi DT1. Beberapa bukti juga


telah diungkapkan untuk menjelaskan bahwa polimorfisme
CTLA-4 dapat mempengaruhi ekspresi gen. tiga polimorfisme
telah diketahui pada CTLA-4, termasuk A/G SNPin exon 1, C/T
SNP pada intron pertama kali dan mikrosatelit yang diulang
pada

region

yang

tidak

ditranslasikan.

CTLA-4

yang

diekspresikan pada permukaan sel dari sel T teraktivasi


bertanggung jawab dalam pelemahan respon imun dengan
mengikat pada ligan CD80 atau CD86 yang diekspresikan pada
permukaan APC (Antigen Presenting Cell). Interaksi CTLA-4-

CD80/CD86 menurunkan sintesis IL-2 atau dapat menginduksi


apoptosis pada sel yang sebelumnya teraktivasi.
Protein tyrosine phosphate non-receptor type 22 (PTPN
22) 1:
Hal

keempat

yang

mendukung

lokus

sukseptibilitas/kerentanan terhadap DT1 pada manusia adalah


PTPN22. PTPN22 mengkode suatu protein limfoid tirosin kinase
(LYP) yang penting pada kontrol negative dari aktivasi dan
perkembangan sel T. Satu-satunya polimorfisme nukleotid
pada nukleotid 1858 dalam PTPN22 dihubungkan dengan DT1.
Gen LYP, disebut juga sebagai PTPN22, merupakan limfoid
tirosin fosfat yang terletak pada kromosom 1 p13. Menarik
bahwa

PTPN22

polimorfisme

memiliki

gen

insulin.

besar

efek

yang

Sama

halnya

sama

dengan

pada

CTLA-4,

PTPN22 merupakan lokus sukseptibilitas yang dibagi oleh


beberapa organ spesifik dan penyakit autoimun sistemik.
Interleukin (IL)

1,2

Telah diketahui dengan baik bahwa IL-2 memiliki fungsi


paradox pada homeostasis sel T, beraksi sebagai growth faktor
sel T selama inisiasi respon imun dan memiliki fungsi penting
dalam terminasi respon sel T dan menjaga toleransi diri. Fungsi
terakhir telah dikemukakan dikarenakan perlunya sinyal IL-2
untuk perkembangan dan fungsi
sinyal IL-2

sel T regulator., meskipun

tidak diperlukan bagi perkembangan mereka

sendiri pada jaringan thymus. Pada tingkat ini mungkin


mempengaruhi

sukseptibilitas

terhadap

penyakit

melalui

mekanisme yang menjaga homeostasis imun. Telah dibuktikan


bahwa meskipun tingkat sel T regulator CD4+ dan CD25+

normal pada pasien dengan DT1, kemampuan mereka untuk


mensupresi proliferasi sel T ditandai menurun dibandingkan
dengan subjek kontrol. Dari hasil ini, bahwa region yang
mengandung gen IL-2RA yang mengkode rantai dari reseptor
IL-2 (CD25) pada kromosom 10p15-p14 dapat menjadi lokus
sukseptabilitas kelima terhadap terjadinya DT1.
IL-6 merupakan suatu sitokin yang telah dilibatkan pada
sejumlah penyakit yang dimediasi imun. Terdapat polimorfisme
pada posisi 174 dari region promoter dari gen IL-6 yang dapat
mengubah ekspresi gen. Gen IL-6 dapat memiliki andil dalam
sukseptibilitas genetic terhadap DT1.
IDDM 3-IDDM 18 1:
Awalnya IDDM3 dilaporkan terletak di dekat petanda
D15 S107 pada kromosom 15q 26 dan sejauh ini tidak ada gen
sukseptibilitas DM yang telah diidentifikasi pada lokus IDDM3.
IDDM4 merupakan suatu region pada kromosom 11q13
dan satu dari gen-gen ini mungkin berhubungan dengan
predisposisi genetic terhadap terjadinya DT1 yang dapat
dikoding pada FADD, suatu molekul yang terlibat dalam proses
apoptosis.
Region dari kromosom 6q25 yang mengandung lokus
IDDM5 termasuk gen-gen Mn-superoksida dismutase (MnSOD).
MnSOD memetabolisme oksigen radikal bebas berbahaya dan
mengubahnya menjadi molekul yang kurang reaktif dan
kurang berbahaya. Polimorfisme yang mempengaruhi fungsi
MnSOD dapat membuat sel beta lebih rentan terhadap
kerusakan akibat oksigen radikal bebas.
Beberapa kandidat gen-gen sukseptibilitas terhadap
DT1 telah diidentifikasi pada lokus IDDM6. Termasuk gen yang

berhubungan

dengan

cancer

kolorektal

yang

dapat

dihubungkan dengan penyakit autoimun, suatu gen yang


mengkode ikatan tangan domain DNA (ZNF 236) yang
dihubungkan dengan penyakit ginjal diabetic, dan sebuah
molekul yang melawan apoptosis (bCl-2).
Dalam lokus IDDM7 pada kromosom 2q 32 terdapat
beberapa gen kandidat resiko DM. salah satunya adalah
NEUROD 1, suatu faktor transkripsi yang mengatur ekspresi
gen

insulin

dan

memainkan

peran

penting

kromosom

6q

dalam

perkembangan sel beta pancreas.


IDDM8

ditemukan

pada

25-q

27.

Sekarang ini tidak terdapat gen kandidat yang diketahui pada


region 6q 25-q 27. IDDM9 belum sepenuhnya disetujui.
Lokus sukseptibilitas lainnya mungkin terdapat pada
kromosom 10p11-q11, dan telah dinamai sebagai IDDM10.
Gen GAD2 sangat berhubungan dengan region dari kromosom
10.

Glutamic

Acid

Decarboxylase

(GAD)

mengkataliasasi

oembentukan neurotransmitter GABA. Sasaran enzim ini oleh


autoantibodi telah dilibatkan dalam pathogenesis DT1.
IDDM11 nampaknya berada pada kromosom 14q 24.3q31. Dua gen kandidat telah dipetakan pada region kromosom
ini.

Gen

ENSA

mengkode

-endosulfin,

suatu

regulator

endogen dari saluran K (ATP) sel beta. Rekombinan endosulfin telah diperlihatkan menginhibisi ikatan sulfonylurea
pada membrane sel beta, untuk menurunkan arus aliran K
(ATP) dan untuk menstimuli sekresi insulin. Gen SEL-1L
mengkode regulator negative yang mana hal ini dibutuhkan
untuk diferensiasi dan maturasi sel sebagaimana interaksi selsel

selama

perkembangan.

SEL-1L

secara

berlebihan

mengekspresi hanya pada pancreas, dan saat ini telah

diperlihatkan

bahwa

SEL-1L

berperan

penting

dalam

perkembangan pancreas dan sel beta.


Beberapa gen-gen kandidat IDDM13 telah dihubungkan
dengan DT1. IDDM14 belum sepenuhnya disetujui. Lokus
IDDM15 telah dihubungkan dengan DT1 dan mutasi di dekat
region ini dihubungkan dengan suatu bentuk DM yang langka
yang disebut transient neonatal diabetes.
Satu dari gen kandidat pada lukos IDDM16 adalah
immunoglobulin

rantai

berat.

Immunoglobulin

(antibodi)

memiliki peran sentral dalam respon imun melawan antigen


asing dan apabila ada kesalahan dapat melawan antigen
sendiri, mengakibatkan terjadinya penyakit autoimun.
Peta IDDM17 terletak pada lengan panjang kromosom
10 (10q 25). Hal ini berhubungan dengan DT1, akan tetapi gen
kandidatnya belum diketahui.
IDDM18 diidentifikasi dan dipetakan pada kromosom 5q
31.1-q33.1, akhiran gen pada subunit P40 dari gen IL-12, Il12B. Produksi IL-12 P40 mempengaruhi respon sel T, dan oleh
karena itu penting ddalam sukseptibilitas DT1.

Anda mungkin juga menyukai