Anda di halaman 1dari 8

The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)

NASIONALISME RELIGIUS:
IDENTITAS WAWASAN KEBANGSAAN UMAT ISLAM INDONESIA
Oleh: Anhar**
Negara bangsa (Nation State) akhirnya menjadi pilihan mayoritas mutlak umat Islam Indonesia.
Pilihan ini diambil setelah melalui konflik ideologis tentang dasar negara, terutama antara Islam dan
Nasionalis Neutral Agama.
Sesuatu yang mengherankan kemudian khususnya sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tokoh-tokoh
umat Islam di panggung politik Nasional tidak lagi mengusung ideologi Islam sebagai ideologi Negara
kecuali hanya sebagai slogan politik oleh partai politik tertentu yang biasa disampaikan untuk mengundang
simpati rakyat pada musim kampanye Pemilu. Bahkan sejak era reformasi 1998, ideologi Islam sebagai
ideologi bangsa dipandang tidak aktual lagi untuk diusung dan diwacanakan di pentas politik. Mengapa
demikian? Bagaimana sesungguhnya wawasan kebangsaan umat Islam Indonesia? Pertanyaan inilah yang
akan dicari jawabannya dalam makalah ini.
Makalah ini pertama-tama akan membahas panjang lebar perjalanan historis umat Islam merumuskan
wawasan kebangsaan, yang dari sana akan diambil butir-butir untuk menjelaskan pembahasan berikutnya
yakni sintesis nasionalis neutral agama (nasionalis sekuler) dan Islam, baru dilanjutkan dengan
nasionalisme religius, umat Islam dan masa depan bangsa. Makalah ini diakhiri dengan simpulan tulisan
yang ditempatkan pada bagian penutup.
I.

Perumusan Wawasan Kebangsaan: Perspektif Historis


Secara formal, kebangsaan Indonesia di perdengarkan pertama kali pada Sumpah Pemuda 28 Oktober
1928. Namun, jika dirujuk masa yang lebih jauh, benih-benih kebangsaan Indonesia (Nasionalisme
Indonesia) itu telah ada pada masa kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.
Pasca Majapahit, wilayah Nusantara terbagi-bagi kepada wilayah kekuasaan kesultanan atau kerajaan
Islam. Berbarengan dengan itu, misi dagang Belanda masuk ke Indonesia pada 1596, dan kemudian sejak
1602 melakukan penguasaan wilayah (penjajahan). Di satu sisi, penjajahan sangat merugikan Nusantara,
tetapi belakangan memberi dampak kepada bersatunya kerajaan-kerajaan Islam untuk suatu negara
bangsa, yakni Indonesia.
Pada awal abat ke-20, Belanda menjalankan kebijakan politik etis (balas jasa) yakni dengan memberi
ruang kepada bumi putra untuk menikmati pendidikan. Hal ini dilakukan Belanda dengan cara mendirikan
sekolah-sekolah formal seperti HIS, MULO, STOVIA, dll. Kebijakan ini berdampak terhadap kesadaran dan
pengetahuan kaum terpelajar terhadap kondisi masyarakat Indonesia. yang sedang terjajah.
Gerakan kaum terpelajar bermunculan, seperti Budi Utomo, Taman Siswa, Jong Java, Jong
Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong Selebes, dan lain sebagainya. Dalam masyarakat Islam lahir gerakan
sosial keagamaan seperti Sarekat Dagang Islam (SDI), Persyarikatan Ulama di Majalengka,
Muhammadiyah, Persis, NU, Perti, dan partai-partai politik seperti Sarekat Islam (SI) yang merupakan
kelanjutan dari SDI, Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) dan Partai Islam Indonesia (PII). Gerakangerakan keagamaan Islam dan organisasi-organisasi kaum terpelajar inilah selanjutnya yang membangun
karakter nasionalisme bangsa dalam pengertian modern. Namun, nasionalisme yang dikembangkan ketika
itu baru dalam pengertian etik, yakni membangun visi, karakter dan paham kebangsaan.
Dalam perjalanannya kemudian, sebagian tokoh muda melihat bahwa nasionalisme etik perlu dirubah
menjadi nasionalisme dalam pengertian politik. Tokoh muda muslim yang secara langsung mengambil
peran yang demikian adalah HOS Tjokroaminoto. Hal ini dilakukannya ketika ia memimpin SI (semula SDI)
sejak bulan Mei 1912.
Pada dekade pertama, SI di bawah kepemimpinan HOS Tjokroaminoto mengejewantah menjadi
organisasi politik besar yang merekrut anggota dari berbagai kelas dan aliran. Pekerjaan ini dengan mudah
dilakukan, karena ideologi bangsa ketika itu hanya satu yakni persatuan dan anti-kolonialisme.
SI berupaya memperjuangkan lahirnya pemerintahan yang berdaulat bagi penduduk Indonesia.
Namun dibelakang hari, cita-cita yang besar ini tidak dapat digarap oleh SI. Hal ini sebagai akibat

Makalah dipresentasekan pada Annual Conference on Islamic Studies IX Tahun 2009 Surakarta tanggal 2 s.d. 5
November 2009 di Surakarta.
Penulis adalah dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Padangsidimpuan Sumatera Utara. Email:
nasution.anhar@yahoo.co.id

**

Surakarta, 2-5 November 2009

2
perpecahan yang disebabkan oleh pertentangan ideologis yakni Islam, Komunisme, dan belakangan
Nasionalisme neutral agama.
Dalam konteks hubungan Islam dengan kenegaraan atau nasionalisme, masa-masa ini adalah fase
dialektika pemikiran yang penuh ujian dan tantangan. Tesis tokoh-tokoh Islam (terutama HOS
Tjokroaminoto, H. Agus Salim, A. Hassan, dan M. Natsir) tentang integrasi keislaman dan kebangsaan
(atau nasionalisme Islam) yang dipertahankan selama ini, ditantang dengan keras oleh golongan
Nasionalis neutral agama. Mereka menuduh Islam sebagai biang kerok perpecahan di tubuh SI, dan H.
Agus Salim dituduh menjerumuskan SI menjadi partai pendeta yang menelantarkan kepentingan sosial
dan ekonomi rakyat demi agama.
Tokoh-tokoh umat Islam di panggung politik merespon segala tuduhan itu. Tokoh yang paling intens
memberi respon adalah HOS Tjokroaminoto, H. Agus Salim, A. Hassan, dan M. Natsir.
Meskipun perjuangan dipanggung politik mengalami benturan keras oleh karena perbedaan ideologi,
namun tokoh-tokoh umat Islam tidak kehilangan semangat dalam memperjuangkan suatu Indonesia yang
merdeka.
Tahun 1937, organisasi Islam bersatu dalam sebuah konfederasi, MIAI (Majlis Islam Alaa Indonesia).
Dua tahun kemudian, tepatnya 1939, partai-partai politik membentuk sebuah federasi yang bertujuan
membangun sinergi partai dalam memperjuangkan kemerdekaan. Federasi partai itu bernama GAPI
(Gabungan Politik Indonesia). GAPI mengeluarkan seruan politik agar Indonesia berparlemen dengan
tujuan agar ada wakil bangsa yang secara legal dan formal memperjuangkan kepentingan bangsa dalam
pemerintahan Hindia Belanda. Sementara Belanda sedang dihadapkan kepada masalah global, yakni
Perang Dunia II, tokoh-tokoh GAPI berhasil membangun komitmen bangsa memperkuat daya penekan
politik terhadap kolonial Belanda, yang sudah tentu berdampak terhadap melemahnya otoritas dan moral
politik kaum penjajah. Dalam kaitan dengan konflik ideologis yang terjadi, perlu ditegaskan di sini, bahwa
GAPI tidak berhasil menjadi wahana peredam konflik dimaksud, meskipun dalam wadah GAPI, partai-partai
politik merapatkan barisan.
Pada awal 1940-an, Soekarno berusaha masuk ke dalam wacana perdebatan ideologis tersebut. Ia
melontarkan pemikiran dengan maksud memberi pencerahan kepada tokoh-tokoh Islam tentang hubungan
agama dan negara, sehingga konflik ideologis dapat redam. Dengan cara ini Soekarno menunjukkan
sikapnya membela kaum Nasionalis. Bagi Soekarno, di negeri seperti Indonesia yang plural, ada pilihan
antara persatuan staat-agama, tetapi zonder (tanpa) demokrasi, atau demokrasi, tetapi staat dipisahkan
dari agama. Ia berpendapat bahwa ajaran Islam dapat saja mempengaruhi undang-undang, tetapi harus
melalui suara terbanyak di parlemen. Kalau mayoritas wakil rakyat yang terpilih bukan muslim, itu berarti
Tuan punya rakyat belum rakyat Islam! (Noer, 1980: 307). Namun, dalam banyak kesempatan lain,
Soekarno memuji Kemal Attaturk yang bereksperimentasi membangun politik Turki dengan memisahkan
agama dari Negara. Ia berharap, Turki menjadi model bagi Indonesia merdeka.
Soekarno, tidak saja mendapat kritik dari tokoh-tokoh politik muslim seperti M. Natsir, tetapi juga dari
Nahdlatul Ulama. Tentang pernyataan Soekarno supaya umat Islam memperjuangkan cita-cita
kenegaraannya melalui parlemen, NU memberi respon sebagai berikut:
Djikalaoe Soekarno tidak bitjara diatas awan ideal, dan hendak bitjara diatas bumi kenjataan,
boemi reel, ia reel dan sekali lagi reel hendaklah Soekarno memperhatikan sikap oemat Islam
didalam Kongres Rayat Indonesia tempoh hari. Sekalipoen Indonesia berisi 90% oemat Islam,
namoen tidak ada satoe wakil Islam jang menoentoet soepaja Parlement jang ditjita-tjitakan itoe
parlement Islam. Bahkan dikala membicarakan bendera persatoean, tidak ada jang
mengemoekakan toentoetan soepaja bendera itoe benderaIslam. (Feillard, 1995: 28).
Pada 1942, dinamika politik mengalami perubahan. Jepang (imperialis baru) datang ke Indonesia
setelah berhasil mengusir Belanda. Dalam hal ini satu hal penting perlu dicatat bahwa kedatangan Jepang
memberi energi baru bagi partai-partai Islam yang sebelumnya mengalami kemunduran. Jepang berusaha
mengakomodasi dua kekuatan, Islam dan Nasionalis sekular, dan mengenyampingkan pemimpin
tradisional (raja dan bangsawan lama). Jepang berpendapat bahwa organisasi-organisasi Islamlah yang
sebenarnya mempunyai massa yang patuh, dan dengan pendekatan agama, penduduk Indonesia mudah
dimobilisasi.
Pandangan inilah yang mendasari kebijakan politik Jepang yang memperkenankan organisasiorganisai Islam meneruskan kegiatannya, sementara organisasi-organisasi non-keagamaan tidak mendapat
perhatian Jepang.

3
Tahun 1943 MIAI dibubarkan oleh Jepang dan Masyumi (Madjilis Syuro Muslimin Indonesia) berdiri.
Lembaga baru ini loyal terhadap Jepang. Hanya saja, Jepang membatasi varian muslim yang boleh
menjadi anggotanya, yakni hanya NU dan Muhammadiyah.
Dalam konteks ideologi politik, setelah Jepang menyerah kepada Sekutu tahun 1945, perbedaan
antara pendukung ideologi Islam dengan Nasionalis sekular tetap menganga lebar. Hal ini diakibatkan oleh
dikotomi Islam-nasionalis yang dipelihara oleh Jepang, terutama tindakan Jepang yang membuat frontfront tentara yang berbeda afiliasinya. Hizbullh dan Sbilillh berafiliasi ke ormas Islam, sedangkan
tentara nasional (PETA) dikuasai oleh nasionalis yang neutral agama. Namun perlu dicatat, ada
kesamaan pendapat di kalangan tokoh nasionalis dari Soekarno hingga Mohammad Hatta, dari Supomo
hingga Ki Hadjar Dewantara tentang corak nasionalisme Indonesia yakni lebih mementingkan
kebersamaan, kolektivisme, prinsip kekeluargaan dan gotong-royong dari pada individualisme,
intelektualisme, materialisme dan demokrasi parlementer model Barat, serta keyakinan bahwa
kebijaksanaan (kearifan) tradisional bangsa dapat digunakan sebagai penunjuk jalan untuk memilih halhal yang baik yang bisa diserap dari dunia Barat.
Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, tahun 1945 terjadi perdebatan hangat mengenai: batas-batas
wilayah Negara, kepala negara (presiden, raja atau imam), bentuk negara (kesatuan atau federasi), dan
penduduk minoritas (keturunan Tionghoa atau Arab). Dari sekian topik perdebatan itu, yang paling seru
dan berdampak pada jurang pemisah antara kelompok Islam dan Nasionalis adalah tentang Islam vis--vis
Negara. Menurut Saifuddin Zuhri, Negara nasional bagi pendukung Negara Islam dipandang sebagai
inkarnasi Kerajaan Majapahit, sedangkan bagi pendukung negara sekular, negara Islam adalah sama
dengan Arab Saudi yang melakukan potong tangan bagi pelaku pencurian. Patut dicatat bahwa, meskipun
mengalami perdebatan seru tetapi perdebatan dimaksud senantiasa mengerucut kepada tujuan
terbentuknya sebuah negara merdeka dan berdaulat.
Pada bulan April 1945, di dalam Panitia 62 (Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai atau BPUPKI) yang
ditugaskan menyusun Undang-Undang Dasar bakal Republik, masalah bentuk negara kembali
diperdebatkan. Soekarno, untuk pertama kali memanfaatkan institusi BPUPKI, meletakkan dasar-dasar
bakal negara Indonesia, sebagaimana diperlihatkan nanti.
Menurut kesaksian Kiai Masykur, umat Islam memberi sumbangan yang besar terhadap definisi
Pancasila. Menurutnya, sebuah diskusi yang panjang terjadi akhir Mei 1945 antara Soekarno dengan tiga
pemimpin muslim, yaitu Kiai Wahid Hasyim, Kiai Masykur dan Kiai Kahar Muzakkir. Berikut transkripsi
kisahnya:
di rumahnya Mohammad Yamin, saya, Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dari Yogyakarta. Bertiga,
berempat dengan Yamin. Bung Karno datang. Kita berhenti omong-omong itu.
-Lantas Bung Karno Tanya: Ada apa?
-Kita ini ingin dasar Islam, tetapi kalau dasar Islam, negara ini pecah. Bagaimana kira-kira bisa
umat Islam bela tanah air, tapi tidak pecah?
-Bung Karno katakan: Coba kita Tanya Yamin dulu, bagaimana Yamin dulu, tanah Jawa, tanah
Indonesia ini?
-Yamin mengatakan: Zaman dulu, orang Jawa punya kebiasaan. Apa kebiasaannya? Pergi di
pinggir sungai, di pohon besar, semedi, menyekar, untuk minta sama Tuhan. Minta keselamatan,
minta apa begitu.
-Lantas Bung Karno katakan: Nah! Ini mencari Tuhan namanya. Jadi orang Indonesia dulu sudah
mencari Tuhan, cuma tidak tahu di mana Tuhan dan siapa Tuhan itu. Pergi di pohon besar, pergi di
kayu besar, pergi di batu-batu nyekar, itu mencari Tuhan, Kata Bung Karno, Kalau begitu, negara kita
dari dulu itu sudah ketuhanan! Sudah ketuhanan zaman Jawa itu, zaman Jawa itu zaman ketuhanan.
Mufakat? Bangsa ketuhanan? Tulis! Tulis! Ketuhanan. Lalu bagaimana selanjutnya bangsa Indonesia?
-Bangsa Indonesia itu satu sama lain begitu rupa, kalau datang dikasih wedang, kalau waktu
makan diajak makan. Pokoknya begitu toleransinya, begitu rupa, itulah bangsa Jawa dulu, sampai
kalau sama menemani.
-Kalau begitu, kata Bung Karno, bangsa Indonesia itu dulu bangsa yang perikemanusiaan. Satu
sama lain suka menolong. Kerjasama, perikemanusiaan.
-Lantas kita, sama Wahid Hasyim, kita: Kemanusiaan boleh, tapi mesti yang adil. Jangan sendiri
boleh, tak diapa-apakan, kalau orang lain yang salah dihantam. Tidak adil itu. Kalau Siti Fatimah
mencuri, saya potong tangannya: Siti Fatimah putrid Rasulullah. Jadi harus adil. Biar anaknya, kalau
salah, ya salah. Dihukum bagaimana. Ini Islam. Ya, benar, benar ini memang.
..

4
Ramai dari jam 7 malam sampai jam 4 pagi, sampai subuh. Ini dijadikan oleh Bung Karno
Pancasila, menjadikan penggantinya dasar Islam Negara. Kita umat Islam mengatakan kalau
dasar Islam itu isimnya diambil, kalau Pancasila itu musamahnya yang diambil Sila itu
musamahnya Islam. Lima ini kita umat Islam, ini sebagai musamahnya, isi Islam, isim Islam,
musamahnya, Pancasila. Saya, Wahid Hasyim
-Lantas Bung Karno katakan: Mau saya usulkan, Pancasila. Awas kalau ada yang mengacau!
(Kiai Masykur ketawa imitasi Bung Karno), Awas!
Kita tak boleh bantah. Lantas diusulkan Bung Karno itu. Lima sila itu. Saya piker waktu itu
dengan kawan, Pak Yusuf Hasyim apa, kalau dasar Islam belum tentu menjalankan Islam.
Kadang negara ada tokoh Islam, atau prakteknya tidak Islam. Ini kita ambil musamahnya,
isimnya kita tinggalkan. (Feillard, 1995: 32-35).
Dalam perbincangan tersebut, nampak bahwa ketiga pemimpin muslim lebih mementingkan pemikiran
tentang persatuan Indonesia dari pada memaksakan syariat, yakni lebih berpikir substansialis dari pada
skripturalis atau literalis. Artinya lebih mementingkan nilai-nilai keislaman, dari pada simbolisme
keislaman. Jika benar diskusi dimaksud berlangsung seperti yang dikisahkan Kiai Masykur, berarti Pancasila
benar-benar tampak sebagai perpaduan konsep nasionalisme dan Islam.
Namun dalam sidang BPUPKI selanjutnya, yakni pada tanggal 1 Juni 1945, Dr. Radjiman
Wedyodiningrat, menurut Hatta sesumbar melemparkan pertanyaan tentang dasar negara. Akibatnya
muncul perdebatan sengit antara golongan nasionalis dengan Islam. Pada sidang hari pertama, Soekarno
dengan panjang lebar berpidato tanpa teks merespon pertanyaan Dr. Radjiman dimaksud, yang kemudian
dikenal dengan nama Lahirnya Pancasila. Dalam pidato 1 Juni 1945 yang sangat terkenal, ia mengusulkan
agar Indonesia didasarkan pada Pancasila atau lima dasar, yaitu: 1) Kebangsaan, 2) Internasionalisme,
peri-kemanusiaan, 3) Permusyawaratan, perwakilan, mufakat, 4) Kesejahteraan, 5) Ke-Tuhanan.
Pidato Soekarno itu mendapat sambutan yang luar biasa dari para anggota, dan ini dipercayai sebagai
tanda persetujuan. Sementara golongan Islam mengusulkan agar Islam yang dijadikan dasar negara. Pada
sidang selanjutnya, yakni pada hari keempat, Pancasila secara formal dimunculkan. Dengan demikian ada
dua alternatif dasar negara yang dimunculkan. Kejadian ini adalah pertama kali dalam sejarah konstitusi
bangsa ini, dimana Islam berhadapan dengan Pancasila. Pergumulan antara Islam dan Pancasila selama
beberapa hari berlangsung dengan tendensi yang sangat tinggi. Masing-masing mencoba bertahan pada
pendiriannya. Dalam perdebatan itu, harus jujur diakui bahwa tidak ada yang menandingi konsepsi
Seokarno yang dirumuskan dalam bentuk Pancasila itu.
Sebenarnya, wakil umat Islam dalam BPUPKI itu hanya berkisar 20%. Hanya saja suatu kenyataan
sosiologis yang tidak dapat dibantah bahwa umat Islam di negeri ini mayoritas. Dikhawatirkan bahwa bila
data sosiologis ini diabaikan, maka konflik politik yang parah akan terjadi. Oleh karena itu forum sidang
BPUPKI tidak serampangan memutuskan dasar negara Indonesia, dan dicarikan suatu modus vivendi
untuk mendekatkan pendirian masing-masing pihak.
Modus vivendi itu dikerjakan oleh Panitia Sembilan yang dipimpin oleh Soekarno dan Hatta. Panitia
Sembilan dibentuk pada mulanya adalah untuk merumuskan kembali isi pidato Soekarno pada 1 Juni itu.
Setelah Panitia Sembilan bekerja keras, akhirnya sebuah solusi politik, sekalipun hanya berumur 57 hari,
dalam bentuk Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dapat disepakati. Dalam piagam ini, Pancasila sebagai dasar
negara telah diterima, tapi sila Ketuhanan yang dalam pidato Soekarno diletakkan paling akhir
ditempatkan sebagai sila pertama, dan diikuti oleh anak kalimat: dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Anak kalimat strategis konstitusional ini tidak saja ditempatkan pada
Pembukaan UUD 1945, tapi juga dalam pasal 29 ayat 1.
Dalam perjalanan berikutnya, pihak Kristen ternyata tetap keberatan dalam menerima Piagam Jakarta,
sekalipun anak kalimat setelah Ketuhanan, tidak mengikat mereka. Iklim merasa tertekan ini telah
memaksa diadakan rapat mendadak antara Bung Hatta, Ki Bagus Hadikusuma, Teuku Muhammad Hasan,
dan Kasman Singodimedjo di Jakarta pada 18 Agustus 1945, sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan. Hasil
rapat yang hanya sekitar 15 menit, menghasilkan kesepakatan untuk menghilangkan tujuh kata setelah
Ketuhanan, tetapi atribut strategis Yang Maha Esa dikukuhkan sebagai penggantinya. Bung Hatta
menulis, Pada waktu itu kami menginsafi, bahwa semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan
menghilangkan perkataan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemelukpemeluknya dan menggantinya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Lebih eksplisit Bung Hatta berkata:
tiap-tiap peraturan dalam kerangka Syariah Islam, yang hanya mengenai orang Islam, dapat
dimajukan sebagai rencana Undang-Undang ke DPR, yang setelah diterima oleh DPR mengikat umat

5
Islam Indonesia. Dengan cara begitu, lambat laun terdapat bagi umat Islam Indonesia suatu sistem
Syariah Islam yang teratur dalam Undang-Undang, berdasarkan Al-Quran dan Hadis, yang sesuai pula
dengan keperluan masyarakat Islam sekarang. (Hatta, 1978: 457).
Apa yang dikemukakan oleh Bung Hatta itu kelihatannya adalah solusi cerdas terbaik bagi bangsa
Indonesia. Sebab, kalau pun anak kalimat Ketuhanan yang tujuh kata itu dipaksakan, maka dapat
berakibat fatal bagi Indonesia yang baru satu hari menyatakan kemerdekaannya. Lagi pula, kemerdekaan
Indonesia yang diproklamirkan 17 Agustus 1945 berada di bawah naungan UUD 1945 sebagaimana yang
dirumuskan dan disepakati pada 22 Juni 1945. Dengan demikian, perubahan yang terjadi pada 18 Agustus
1945, sebagaimana Bung Hatta telah menyatakannya, tidak akan dapat menghapus benang merah sejarah
itu.
Sepuluh tahun kemudian, tepatnya pada 1955, Islam dan Pancasila kembali mengalami pergumulan.
Dasar negara kembali diperdebatkan. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi Pemilu 1955 yang diamanahi
tugas membentuk parlemen dan konstituante.
Materi yang diperdebatkan tidak banyak berbeda dengan apa yang diperdebatkan dalam BPUPKI pada
1945. Bedanya terletak pada kenyataan bahwa anggota Majelis adalah anggota yang dipilih lewat Pemilu
yang demokratis, tidak hanya diangkat atau dicomot seperti keanggotaan BPUPKI. Di samping itu
jumlahnya lebih besar, yaitu sekitar 520. Selain perdebatan mengenai dasar negara yang ternyata masih
tetap alot, pembicaraan mengenai materi-materi yang lain berjalan lancar. (Maarif, 1993: 197).
Dalam sidang Majelis Konstituante ada tiga draft yang diusulkan untuk menjadi dasar Negara, yaitu
Pancasila, Islam dan Sosial Ekonomi. Draft yang terakhir hanya didukung oleh Partai Buruh dan Partai
Murba yang memiliki anggota sangat kecil di Majelis. Oleh karena itu, yang akhirnya berhadapan alot
adalah Pancasila dan Islam. Wakil-wakil Islam saat itu lebih siap dalam konsep dan argumentasi ketimbang
wakil-wakil Islam pada BPUPKI, karena wakil-wakil kali ini adalah kombinasi kekuatan dunia pesantren dan
dunia intelektual berpendidikan umum. Di antara tokoh-tokoh yang menonjol dari pihak Islam adalah
Mohammad Natsir, K.H. Saifuddin Zuhri, Z.A. Ahmad, Osman Raliby, K.H. Syukri Ghazali, Muhammad
Hasbi Ash-Shiddieqy, K.H. Masykur, Kasman Singodimedjo, Hamka, Muhammad Taher Abubakar, dan
Syamsiyah Abbas. Sementara dari pendukung Pancasila di antaranya yang terkemuka adalah Ruslan
Abdulgani, St. Takdir Ali Sjahbana, Soedjatmoko, Prof. Suripto, Arnold Mononutu, Njoto, Karkono
Partokusuwo, dan Suwiryo.
Gambaran perdebatan dalam sidang konstituante misalnya sebagai berikut: Mohammad Natsir
mengatakan bahwa Pancasila itu adalah sekular dan netral. Bila kenetralannya hilang, maka raison detrenya tidak ada lagi. Pendapat ini direspon oleh Ruslan Abdulgani dengan mengutip pendapat Kahin, bahwa
Pancasila adalah sebuah sintesis dari gagasan-gagasan Islam modern, ide demokrasi, Marxisme, dan
gagasan demokrasi asli seperti yang dijumpai dalam komunalisme penduduk asli. Bantahan lain terhadap
Mohammad Natsir juga datang dari Arnold Mononutu yang mengatakan bahwa Pancasila tidak benar
bercorak sekular.
Penjelasan mengenai perdebatan anggota konstituante tentang kelebihan Islam dari Pancasila, A.
Syafii Maarif menuliskan:
Kasman Singodimedjo misalnya mengatakan, bahwa Pancasila itu tidak dapat dibandingkan
dengan Islam, sebab Islam itu adalah serba sila. Dalam pada itu, Natsir memperingatkan umat Islam
bahwa bilamana berpindah dari Islam ke Pancasila samalah artinya melompat dari bumi tempat
berpijak, ke ruang hampa, vacuum, tak berhawa. Pernyataan puitis dari Natsir ini disambut Mononutu
dengan berucap: Dari ideologi Pancasila ke negara Indonesia berdasar agama Islam, bagi umat
Kristen adalah ibarat: melompat dari bumi, yang tenang dan sentosa untuk menjalankan agamanya
sebagai manusia Indonesia yang volwaardig, ke ruang kosong, vacuum, tak berhawa. (Maarif, 1993:
198).
Perdebatan alot tentang dasar negara, akhirnya hanya berlangsung sampai sidang yang berakhir 2
Juni 1959, tanpa tercapainya suatu keputusan. Hal ini berarti bahwa amanah yang diberikan kepada
Majelis Konstituante untuk membuat UUD yang permanen gagal total. Pada hal sebetulnya sudah 90%
pekerjaan tersebut rampung. Di tengah-tengah berlarutnya perdebatan itu, Soekarno mengeluarkan Dekrit
Presiden yang isinya membubarkan Konstituante serta menetapkan berlakunya kembali UUD 1945.
Dengan demikian, Pancasila hasil kesepakatan Panitia Sembilan dinobatkan menjadi dasar negara, tapi
dengan tetap mempertimbangkan Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945, dan juga merupakan suatu
rangkaian-kesatuan dengan UUD tersebut.

6
Dalam perjalanan sejarah bangsa berikutnya, suara-suara ideologi Islam, pelan-pelan hilang dari
panggung politik. Bahkan pada era reformasi ini, tidak ada satu pun partai politik Islam yang
memperjuangkan negara Islam. Nampaknya, apa yang pernah terucap oleh Hatta benar-benar mengaktual
dalam generasi bangsa hari ini.
II. Sintesis Nasionalis Neutral Agama dan Islam
Perjalanan sejarah pembentukan ideologi dan wawasan kebangsaan Indonesia (Keindonesiaan) yang
mengalami dinamika cukup pelik dan rumit, menurut hemat penulis, telah berhasil melahirkan suatu
sintesis ideologi negara yang khas Indonesia, yaitu nasionalisme yang berketuhanan. Istilah yang populer
untuk ini adalah Nasionalisme Religius.
Nasionalisme Religius adalah sintesis Nasionalis neutral agama dengan Islam. Disamping itu, terdapat
faktor lain yang mempengaruhi seseuai dengan konteks kesejarahan pembentukan Nasionalisme
Indonesia. Faktor dimaksud adalah kearifan tradisonal bangsa dan sosialisme-komunisme. Berdasarkan
ramuan berbagai faktor dimaksud, maka terbentuklah suatu Nasionalisme Indonesia yang berbeda
dengan di tempat lahir nasionalisme yaitu Eropa Barat dan Amerika, dan bahkan ditempat lainnya.
Hal lain yang membenarkan konsep nasionalisme yang ber-Ketuhanan (nasionalisme religius) tersebut
adalah realitas empirik kepribadian para perumus Pancasila khususnya Panitia Sembilan. Selain
golongan Islam, tokoh-tokoh golongan nasionalis kecuali A.A. Maramis juga muslim. Dengan
demikian tentu tidak adil jika golongan nasionalis dituduh sebagai sekularis yang benar-benar netral
agama; yang mengenyampingkan nilai-nilai agama dan keberagamaan bangsa ini. Alasannya, mereka
adalah beragama Islam (muslim) yang telah menjalankan agama dan dibesarkan dalam pelataran nilai-nilai
tradisional bangsa yang religius. Mereka itu adalah Soekarno, Hatta, Ahmad Subardjo dan Muhammad
Yamin. Di samping itu, keempat tokoh bangsa yang disebut terakhir juga telah menunaikan ibadah Haji.
Terlebih lagi, jika dilihat sosok Hatta (Wakil Panitia Sembilan), yang dikenal sebagai sosok muslim yang
taat beragama. Oleh karena itu secara ekstrinsik, keislaman mereka tidak diragukan. Para perumus yang
lain, yaitu tokoh-tokoh Muslim, tentu tidak diragukan lagi kemuslimannya. Mereka itu adalah Abikusno
Tjokrosudjoso, Abdul Kahar Muzakkir, Agus Salim dan Wahid Hasyim.
Panitia Sembilan itu telah merumuskan konsep-konsep dasar yang dapat dianalogikan dengan
semacam kalimatun sawa` (doktrin ideologi negara yang bersumber dari titik temu atau persamaan dari
beberapa ideologi atau budaya yang berbeda) yang berfungsi menjamin kohesivitas sosial warga bangsa
Indonesia yang plural. Oleh karena itu, Pancasila dapat dipandang sebagai kalimatun saw yang
merupakan simpul-simpul nilai yang strategis yang sama-sama ada pada Islam, Nasionalis, Nilai-nilai
Kearifan Bangsa, dan Sosialisme.
Keberatan pihak Islam pada masa-masa awal terhadap Pancasila, kelihatannya karena terjebak pada
formalisme atau simbolisme agama, ditambah dengan ketakutan tokoh-tokoh muslim dengan gebrakan
Soekarno yang tertarik untuk mencontoh gerakan sekularisme politik Mustafa Kemal Attaturk di Turki
pasca keruntuhan Daulah Usmaniyah.
Setelah masa berlalu, barulah di era reformasi ini sejarah memperlihatkan dengan gamblang bahwa
kekhawatiran tokoh-tokoh muslim itu sebenarnya tidak substantif. Sebab, Pancasila dan UUD 1945 telah
menjamin kebebasan setiap warga Indonesia menjalankan agama dan kepercayaannya. Artinya Negara
memberikan perlindungan terhadap hak dasar memeluk suatu agama dan beribadah menurut agama yang
dianut.
Di samping itu, dapat pula dikatakan bahwa ketakutan yang berlebihan terhadap usulan ideologi Islam
tentu berlebihan dan cenderung bersifat Islamofobia. Dikatakan demikian, karena mereka yang dengan
keras menolak usulan negara Islam tidak pernah membaca secara komprehensif tentang isi syariat Islam
yang berkaitan dengan kenegaraan. Realitas yang berkembang ketika itu, syariat Islam dipandang akan
memasung hak-hak keagamaan non-muslim, dan implementasi hukum Islam dipandang tidak manusiawi,
terutama soal potong tangan bagi pelaku pencurian.
III. Nasionalisme Religius, Umat Islam dan Masa Depan Bangsa
Dewasa ini, nasionalisme religius adalah konsep dan karakter kebangsaan paling cocok dan relevan
bagi negara Indonesia yang plural (plural society). Sedangkan Pancasila adalah kalimah sawa` (titik temu)
pluralitas agama, etnis dan budaya yang mengejewantah menjadi ideologi dan dasar negara. Sedangkan
UUD 1945 adalah konstitusi dasar yang merupakan turunan senyawa Pancasila. Di atas falsafah
nasionalisme seperti ini, setiap umat beragama dan aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
serta setiap etnis dan budaya dapat memainkan perannya dalam membangun bangsa.

7
Umat Islam sebagai warga bangsa terbesar di negeri ini memiliki kesempatan dan peluang yang
terbuka lebar untuk bersungguh-sungguh mengisi Pancasila dengan nilai agama (atau nilai syariat Islam),
dan begitu juga mengimplisitkan nilai agama dalam penafsiran dan penerapan UUD 1945. Sumbangan
dominan umat Islam dalam mengisi Pancasila akan dapat menjadikan Indonesia menjadi Muslim dalam arti
etika atau substansial, bukan dalam pengertian formal atau simbolik sebagaimana keinginan masa lalu
menjadi Negara Islam. Untuk menyebut contoh pengisian Pancasila dengan nilai Islam adalah perintah AlQur`an tentang musyawarah (QS Ali Imrn/3: 159; Asy-Syur/42: 38). Perintah ini telah inhern dalam
Pancasila dan UUD 1945 tanpa harus menyebut bahwa nilai musyawarah adalah nilai Islam. Namun, upaya
substansialisasi ini membutuhkan proses panjang.
Nurcholish Madjid menjelaskan:
Proses ini saya kira masih terus akan berlanjut, mudah-mudahan kadar reaktifnya semakin tidak
berarti. Yang kita tunggu sekarang adalah proses pematangan (umat Islam, pen.). Insya Allah, kalau
sudah diterima sebagai keyakinan yang merata untuk seluruh lapisan masyarakat, Islam akan
menyatakan diri dalam perwujudan etis dan moral yang kuat. Sehingga nanti Indonesia tumbuh
sebagai bangsa yang basis etika dan moralnya adalah Islam. Ini bukan hanya masalah keyakinan, tapi
juga keyakinan sosiologis, karena masyarakat Indonesia itu kan mayoritas Islam. (Madjid, 1998: 109).
Menurut Madjid, bahwa agama mayoritas di suatu bangsa, lalu menjadi basis etika bangsa itu, bukan
suatu yang ganjil dan apa lagi dipandang tidak masuk akal. Di negara lain hal ini telah terjadi. Contohnya
di Amerika. Madjid menjelaskan:
Civil Religion di Amerika itu sebetulnya dasarnya Kristen Protestan, yakni dari White Anglo Saxon
Protestant (WASP). Di antara ide-idenya berasal dari Thomas Jefferson. Padahal ia sendiri bukan
Kristen ortodoks. Dia seorang unitarianis-deis-universalis. Tuhan yang ditulis dalam deklarasi
kemerdekaannya pun (kemerdekaan Amerika, pen.) adalah The God of Nature dan Natures God.
Jadi tidak khas Kristen, karena Thomas Jefferson yang merenungkannya. Tapi begitu sampai ke
masyarakat, ide itu mengalami Kristenisasi. (Madjid, 1998: 109).
Di bagian lain, Madjid menjelaskan:
AS adalah negera yang dipandang dari segi etisnya adalah negara Kristen yang Protestan.
Malahan bisa disebut Protestan Putih dari kalangan Anglo Saxon. Tapi meskipun AS itu secara etis itu
sebuah negara Kristen, namun pada tingkat nasional, nilai-nilai dari Kristen itu diungkapkan dalam
rumusan-rumusan universal, sehingga tidak lagi khusus dimengerti oleh orang Kristen, tetapi menjadi
rumusan yang bisa disertai (dipahami, pen.) oleh orang lain. Artinya, walaupun itu diambil dari etika
Kristen, tetapi ketika dijadikan nilai yang umum, maka orang Yahudi atau orang Katolik, atau orang
Islam dapat turut menikmati. Misalnya kebebasan, hak pribadi, hak asasi, tertib hukum. Itu semua
adalah pemunculan ke atas dari nilai-nilai khusus yang lahir dari agama. (Madjid, 1998: 172).
Oleh karena itu, Indonesia harus terus tumbuh sebagai bangsa yang basis etika dan moralnya adalah
Islam. Sebuah bangsa yang tumbuh dalam basis etika yang kuat akan terantar menjadi bangsa yang maju
dan kuat. Masalahnya bangsa Indonesia adalah tergolong soft state; konsep baik dan buruk rada-rada
kabur. Etos furqn (pembeda antara yang benar dan yang salah) bangsa ini lemah. Menurut Madjid, hal ini
terjadi karena cara penganutan agama sebagian besar umat Islam bersifat formal dan simbolik, yang
terkungkung oleh kategori historis-sosiologis. Akibatnya simbolisme lebih dipentingkan dari pada substansi,
misalnya Negara Islam atau Syariat Islam, atau embel-embel Islam lainnya. Sehingga hal tersebut tidak
jarang bersifat kontraproduktif dengan nilai-nilai Islam yang benar.
Substansialisasi nilai-nilai Islam yang telah diuniversalkan meskipun dalam ungkapan ke dalam
Pancasila dan UUD 1945, adalah tantangan umat Islam masa kini dan masa datang. Di sinilah dituntut
kreativitas umat Islam warga bangsa ini terus-menerus, terutama kreativitas para intelektualnya. Dan ini
pulalah yang menentukan corak nasionalisme bangsa di kemudian hari, yang akan menjamin
kelanggengan, keutuhan dan kemajuan bangsa.
IV. Penutup
Dialektika Islam dan Nasionalisme dalam konteks sejarah konstitusionalisme Indonesia telah
melahirkan suatu nasionalisme yang berkarakter keindonesiaan, yakni nasionalisme berketuhanan
(nasionalisme religius). Nasionalisme religius dimaksud adalah pengejewantahan nilai yang bersumber
terutama dari Islam, nasionalisme modern, dan kearifan tradisional bangsa.
Bentuk nyata nasionalisme religius itu telah dirumuskan dalam bentuk dasar, falsafah atau ideologi
negara yaitu Pancasila dan konstitusi negara yaitu UUD 1945. Sedangkan Pancasila dan UUD 1945 secara

8
nyata adalah kalimatun saw` (titik temu) warga bangsa yang plural yang berfungsi mengikat dan
menjamin kohesivitas berbangsa dan bernegara.
Sebagai kalimatun saw`, maka umat Islam dapat mengisi Pancasila dengan nilai-nilai Islam.
Substansialisasi nilai-nilai keislaman ke dalam Pancasila dan UUD 1945 menjadi tantangan bagi kreatifitas
umat Islam, khususnya para intelektual. Upaya kreatif inilah yang akan memposisikan umat Islam dalam
konteks nasionalisme Indonesia pada posisi yang proporsional dan bertanggung jawab. Wallhu alam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik (Ed.,), Sejarah Umat Islam Indonesia. Jakarta: MUI, 1991.
Almez (Ed.). HOS Tjokroaminoto, Hidup dan Perjuangan. Jakarta: Bulan Bintang, 1952.
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Cet. 16. Jakarta: P.T. RajaGRafindo Persada, 2004.
Boland, B.J. The Struggle of Islam in Modern Indonesia. The Hague: Martinus Nijhoff, 1982.
Feillard, Andre. NU vis-a-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, terj. Lesmana. LKiS dan The Asia
Foundation, 1995.
Hatta, Mohammad. Memoir. Jakarta: Tintamas, 1978.
Kartodirjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, Jilid 1. Jakarta: PT Gramedia, 1987.
Leirissa, R.Z., (Ed.,). Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka, 1984.
Maarif, Ahmad Syafii. Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1993.
Madjid, Nurcholish. Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik
Kontemporer.Cet. I. Jakarta: Paramadina, 1998.
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Cet. 9. Jakarta: Bulan
Bintang, 1992.
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES, 1980.
Soeharto, P. dan S. Zainul Ihsan (Ed.). Aku Pemuda Kemarin di Hari Esok. Jakarta: Gunung Agung, 1982.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Perbandingan, Edisi 5. Jakarta: UI Press,
1993.
Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hidrakarya Agung, 1981.
Padangsidimpuan, 14 September 2009

Anda mungkin juga menyukai