Penulis:
Wawan Setiawan
Kata Pengantar
Sastra merupakan bagian dari kebudayaan. Oleh karena itu, mempelajari sastra
merupakan bentuk penghargaan terhadap kebudayaan itu sendiri. Namun sastra seringkali
menjadi begitu asing bagi kita. Hal itu terutama disebabkan ketidaktahuan kita terhadap apa
sebenarnya sastra.
Buku ini mengajak kita sedikit mengetahui sastra yang paling mendasar. Pertanyaan
sederhana yang berusaha diurai-jawab pada buku ini adalah apakah sastra itu, apa saja
bentuk-bentuk sastra, dan bagaimana sastra pada masa lalu serta masa kini.
Secara garis besar buku ini membahas tiga jenis atau genre sastra yang utama, yaitu
puisi, prosa, dan drama. Selain itu, buku ini juga mencoba menguraikan perbedaan antara
sastra tulis yang biasa kita baca saat ini dan sastra lisan yang sebenarnya masih sering kita
saksikan dan kita dengar.
Penyusun sadar betul akan keterbatasan dan kekurangan penulisan buku ini. Oleh karena
itu kritik dan saran sangat diharapkan. Adapun sedikit materi yang terkandung di dalam buku
ini semoga menjadi manfaat bagi pembelajaran sastra.
Februari 2010,
Penyusun
BAB 1
PENGERTIAN SASTRA
Secara sempit, sastra dapat diartikan sebagai seni yang berbentu karya tulis. Secara
harfiah, kata tersebut berasal dari kata bahasa latin (littera yang kemudian diserap pula
menjadi literature, yang artinya sesuatu yang tertulis). Pengertian ini jelas membatasi bahwa
sastra adalah karya seni yang berbentuk tulisan.
Pengertian tersebut agaknya terlalu sempit, apalagi jika kita mengingat keragaman
bangsa Indonesia yang sangat kuat dan kaya akan ragam tradisi lisan. Di antara tradisi lisan
itu, terutama ada bentuk-bentuk puisi rakyat, mantra, pantun, dongeng, mitos dan legenda
dapat pula dikategorikan sebagai sastra. Sebagai perluasanatas definisi sastra sebagai karya
seni yang tertulis muncullah istilah sastra lisan yang seakan-akan menjadi dunia sastra yang
terpisah dari budaya literer atau tertulis.
Istilah Bahasa Jerman “Wort kunst” dapat pula menjadi alternative dalam
mendefinisikan sastra. Secara harfiah, kata tersebut dapat diartikan sebagai karya seni yang
menggunakan kata-kata atau bahasa. Dengan demikian, pengertian ini dapat mencakup karya-
karya yang selama ini dianggap sastra, baik yang tertulis, maupun yang lisan/dilisankan atau
dituturkan.
Teks 1
Setelah membaca kedua teks tersebut, cobalah membuat jawaban sendiri atas pertanyaan-
pertanyaan di bawah ini.
Menjawab pertanyaan nomor satu tentu saja mudah. Hanya ada dua kemungkinan jawaban,
yaitu ya, atau tidak. Tetapi kita dituntut untuk menjelaskan jawaban untuk pertanyaan yang
kedua.
Untuk menjawab pertanyaan yang kedua itu ada beberapa sudut pandang yang bias
kita amati, di antaranya sebagai berikut.
Ragam bahasanya,
Bentuk penulisannya,
Alur penyajiannya,
Nilai rasanya,
Pesan yang disampaikannya, dan
Tipografi penulisannya.
Nah, sekarang kamu dapat menyimpulkan sendiri perbedaan teks 1 dengan teks 2.
Jadi, cobalah simpulkan sendiri mana teks yang merupakan teks sastra, dan mana yang
bukan. Selanjutnya, simpulkan juga apa saja ciri-ciri atau karakterisitik dari teks sastra.
Sejak kapan sastra itu ada? Mengingat bahan-bahan sastra adalah bahasa, maka pertanyaan
tersebut dapat dijawab dengan sederhana; “sastra itu ada sejak manusia mengenal dan
menggunakan bahasa”. Namun, dalam sejarah, kita sering kali dihadapkan pada pemisahan
antara karya yang biasa-biasa saja dan mudah dilupakan orang dan karya besar yang
fenomenal. Dalam kaitannya dengan sejarah sastra, maka karya yang fenomenal inilah yang
sering menjadi patokan dan menjadi catatan sejarah sastra.
Salah satu karya sastra yang dikenal adalah Epos Gilgames dari bangsa Sumeria,
Homer (dalam Iliad dan Odyssey), dan epos India Ramayana dan Mahabharata, yang
berkaitan dengan tema-tema kepahlawanan, persahabatan, kehilangan, dan pencarian hidup
yang kekal. Periode sejarah yang berbeda telah menekankan berbagai karakteristik sastra.
Karya sastra pada awalnya memiliki muatan ajaran, sejarah, dan pendidikan dan dibuat
dengan tujuan didaktik. Pada perkembangan selanjutnya, sastra dianggap lebih bermuatan
simbolis atau psikologis yang membentuk wawasan dalam penggambaran dan pengembangan
karakter.
BAB II
PUISI
Puisi
Karya Dodong Djiwapradja : 1968
Kun fayakun
saat penciptaan kedua adalah puisi
tertimba dari kehidupan yang kau tangisi
katakanlah: sajak
Dilihat dari sifatnya, puisi merupakan karya rekaan yang bersifat monolog. Artinya,
dalam puisi pada umumnya tidak ada bentuk-bentuk narasi seperti dialog antar tokoh,
pemaparan panjang seperti deskripsi dan narasi. Sementara itu, jika dilihat dari bentuknya,
puisi juga dapat dibedakan dengan karya lain terutama prosa. prosa biasanya dibangun oleh
paragraf-paragraf dan ujaran tokoh sedangkan puisi berbentuk bait-bait atau ayat.
Puisi sangat mengandalkan pencitraan, pilihan kata yang tepat, dan metafora. Puisi
pada umumnya mengungkap suatu ide atau gagasan umum dan luas dengan ungkapan yang
singkat dan simbolik. Di sisi lain, prosa biasanya mengungkapkan sebuah ide yang spesifik
dengan uraian yang panjang.
Ada kalanya puisi diubah bentuknya menjadi prosa. Pengubahan puisi menjadi prosa
sering disebut parafrase. Jadi,mengubah bentuk puisi ke dalam paragraf disebut juga
memparafrasekan puisi. Perhatikan contoh berikut.
teks 1: puisi
Situ Gintung
Ayat Rohaedi (1967)
Di danau ini
anak-anak alam
beterjunan
dan berkejaran
sepuas hati
di danau ini
gerak-gerak alam
berkejaran
dan bersahutan
seindah puisi
di danau ini
gema suara alam
bersahutan
dan bersalaman
dalam hatiku
(Laut Biru Langit Biru: 1977)
Perhatikan perbedaan puisi pada teks 1 dengan bentuk prosanya sebagai sebgau parafrase
pada teks 2 berikut ini.
Tek 2: Parafrase
Situ Gintung
Di danau ini, anak-anak yang tinggal di sekitarnya sering bermain, bekejaran di
pinggir danau. Kadang-kadang mereka terjun ke danau dan berenang bersama-sama.
Mereka merasa puas hati saat bermain di sana.
Di sekitar danau yang indah itu angin bertiup sepoi-sepoi. Pohon-pohon bergerak
dan daunnya bergerisik seindah puisi.
Keindahan alam di sekitar Situ Gintung ini selalu kuingat di dalam hati.
B. Jenis-Jenis Puisi
Menurut zamannya dan karakteristiknya, puisi dibedakan atas puisi lama dan puisi baru.
1. Puisi Lama
a. Mantra
Mantra adalah ucapan-ucapan yang dianggap memiliki kekuatan gaib. Mantra tidak
memiliki pola yang tetap, tetapi jika dilihat dari penggunaan bahasanya, mantra
sangat unik karena sering membawa simbol-simbol, ucapan dalam keagamaan dan
ditujukan untuk tujuan tertentu.
Ccontoh mantra:
Pengasihan
Assalammu’alaikum putri satulung besar
Yang beralun berilir simayang
Mari kecil, kemari
Aku menyanggul rambutmu
Aku membawa sadap gading
Akan membasuh mukamu
b. Pantun
Pantun adalah puisi yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
bersajak a-b-a-b, tiap bait 4 baris,
tiap baris terdiri dari 8-12 suku kata,
2 baris awal sebagai sampiran, 2 baris berikutnya sebagai isi.
Contoh pantun:
1) pantun anak,
Lurus jalan ke Payakumbuh,
Kayu jati bertimbal jalan
Di mana hati tak kan rusuh,
Ibu mati bapak berjalan
2) muda-mudi,
Burung merbuk membuat sarang,
Anak enggang meniti di paya;
Tembaga buruk di mata orang,
Intan berkarang di hati saya.
3) agama/nasihat,
Letak bunga di atas dulang,
Sisipkan daun hiasan tepinya;
Banyak berdoa selepas sembahyang,
Mohon diampun dosa di dunia.
4) teka-teki, jenaka.
Orang Rengat menanam betik,
Betik disiram air berlinang;
Hilang semangat penghulu itik,
Melihat ayam lomba berenang
c. Karmina
Karmina disebt juga pantun kilat. Bentuknya seperti pantun tetapi pendek. Karmina
hanya terdiri atas dua baris, baris pertama merupakan sampiran, dan baris kedua
merupakan isi.
Contoh karmina:
Dahulu parang, sekarang besi
Dahulu sayang sekarang benci
d. Gurindam
Guurindam adalah puisi yang terdiri ata 2 baris dalamsatu bait. Gurindam bersajak a-a
dan berisi nasihat.
Contoh gurindam:
Kurang pikir kurang siasat
Tentu dirimu akan tersesat
e. Syair
Syair adalah puisi yang bersumber dari Arab dengan ciri tiap bait 4 baris, bersajak a-
a-a-a, berisi nasihat atau cerita. Syair tidak sama dengan pantun karena semua baris
dalam syair adalah isi karena syair tidak memiliki sampiran.
Contoh syair:
Pada zaman dahulu kala
Tersebutlah sebuah cerita
Sebuah negeri yang aman sentosa
Dipimpin sang raja nan bijaksana
f. Talibun
Talibun adalah pantun genap yang tiap bait terdiri dari 6, 8, ataupun 10 baris.
Ciri-ciri talibun adalah sebagai berikut.
Jumlah barisnya lebih dari empat baris, tetapi harus genap misalnya 6, 8, 10 dan
seterusnya.
Jika satu bait berisi enam baris, susunannya tiga sampiran dan tiga isi.
Jika satu bait berisi delapan baris, susunannya empat sampiran dan empat isi.
Apabila enam baris sajaknya a – b – c – a – b – c.
Jika terdiri dari delapan baris, sajaknya a – b – c – d – a – b – c – d.
Contoh talibun
2. Puisi Baru
Puisi baru bentuknya lebih bebas daripada puisi lama, baik dalam segi jumlah baris, suku
kata, maupun rima. Menurut isinya, puisi baru dibedakan atas:
b. Himne adalah puisi pujaan untuk Tuhan, tanah air, atau pahlawan.
Himne Guru
Sartono
Tiw_
1. Tema ide atau gagasan yang menduduki tempat utama di dalam puisi.
2. Rasa : arti emosional (sedih, atau merasa heran dsb).
3. Nada : Intonasi puisi (suara keras atau lembut) ; penyair dapat menggurui, mencaci,
merayu, merengek, menyindir, mengajak dsb terhadap pembaca atau pendengar.
4. Amanat
5. Diksi
6. Imajinasi
a. Imajeri pandang
b. Imajeri dengar
c. Imajeri rasa
d. Imajeri kecap
7. Kata-kata kongkret
8. Gaya bahasa
9. Ritme
10. Rima
BAB III
PROSA
a. Tema
Gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra disebut tema. Tema
adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita, sesuatu yang menjiwai cerita, atau sesuatu yang
menjadi pokok masalah dalam cerita.
Tema merupakan jiwa dari seluruh bagian cerita. Karena itu, tema menjadi dasar
pengembangan seluruh cerita. Tema dalam banyak hal bersifat ”mengikat” kehadiran atau
ketidakhadiran peristiwa, konflik serta situasi tertentu, termasuk pula berbagai unsur intrinsik
yang lain.
Tema ada yang dinyatakan secara eksplisit (disebutkan) dan ada pula yang dinyatakan secara
implisit (tanpa disebutkan tetapi dipahami).
Dalam menentukan tema, pengarang dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: minat
pribadi, selera pembaca, dan keinginan penerbit atau penguasa.
Dalam sebuah karya sastra, disamping ada tema sentral, seringkali ada pula tema sampingan.
Tema sentral adalah tema yang menjadi pusat seluruh rangkaian peristiwa dalam cerita.
Adapun tema sampingan adalah tema-tema lain yang mengiringi tema sentral.
b. Amanat
Amanat adalah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui
karyanya. Sebagaimana tema, amanat dapat disampaikan secara implisit yaitu dengan cara
memberikan ajaran moral atau pesan dalam tingkah laku atau peristiwa yang terjadi pada
tokoh menjelang cerita berakhir, dan dapat pula disampaikan secara eksplisit yaitu dengan
penyampaian seruan, saran, peringatan, nasehat, anjuran, atau larangan yang berhubungan
dengan gagasan utama cerita.
Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu
mampu menjalin suatu cerita, sedangkan penokohan adalah cara menampilkan tokoh atau
pelaku dalam cerita (Aminuddin, 1995:79). Mengenai penokohan, menurut Wellek dan
Warren (diterjemahkan oleh Melani Budianta, 1990: 288), ada penokohan statis dan ada
penokohan dinamis atau penokohan berkembang.
Tokoh dapat dibedakan menjadi dua yaitu tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh
sentral atau sering disebut juga tokoh utama adalah tokoh yang banyak mengalami peristiwa
dalam cerita. Sedangkan tokoh bawahan atau disebut juga tikoh pembantu atau figuran
memiliki porsi pencreitaan yang lebih sedikit.
Tokoh juga dapat dibedakan berdasarkan karakter atau pennokohannya dalam cerita.
Berdasarkan karakternya, tokoh dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
Penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh. Ada dua metode
penyajian watak tokoh, yaitu:
Adapun menurut Jakob Sumardjo dan Saini KM, ada lima cara menyajikan watak tokoh,
yaitu:
Melalui apa yang diperbuatnya, tindakan-tindakannya, terutama bagaimana ia
bersikap dalam situasi kritis.
Melalui ucapana-ucapannya. Dari ucapan kita dapat mengetahui apakah tokoh
tersebut orang tua, orang berpendidikan, wanita atau pria, kasar atau halus.
Melalui penggambaran fisik tokoh.
Melalui pikiran-pikirannya
Melalui penerangan langsung
d. Alur (Plot)
Alur atau plot merupakan urutan yang temporal dan logis sebagai implikasi atau biasa
disebut kausalitas (Todorov, 1985: 41). Menurut Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2000: 113),
alur adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan
secara sebab-akibat. Peristiwa yang satu menyebabkan atau disebabkan peristiwa yang lain.
Sedangkan pengaluran merupakan kegiatan pengembangan alur supaya indah dan menarik.
e. Latar (setting)
Latar menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial
tempat peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2000: 216).
Oleh karena itu, unsur latar terdiri atas unsur tempat atau lokasi, waktu, dan latar sosial.
Latar tempat, mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam
sebuah karya fiksi.
Latar waktu, berhubungan dengan masalah ‘kapan’ terjadinya peristiwa-peristiwa
yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
Latar sosial, mengacu pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku sosial
masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Latar sosial bisa
mencakup kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara
berpikir dan bersikap, serta status sosial.
Sudut pandang adalah cara memandang dan menghadirkan tokoh-tokoh cerita dengan
menempatkan dirinya pada posisi tertentu. Dalam hal ini, ada dua macam sudut pandang
yang bisa dipakai:
Dalam pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang orang pertama, ‘aku’,
narator adalah seseorang yang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si ‘aku’ tokoh yang
berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, mengisahkan peristiwa atau
tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar, dialami dan dirasakan, serta sikapnya
terhadap orang (tokoh) lain kepada pembaca. Jadi, pembaca hanya dapat melihat dan
merasakan secara terbatas seperti yang dilihat dan dirasakan tokoh si ‘aku’ tersebut.
Dalam cerita yang menpergunakan sudut pandang orang ketiga, ‘dia’, narator adalah
seorang yang berada di luar cerita, yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan
menyebut nama, atau kata gantinya: ia, dia, mereka. Nama-nama tokoh cerita,
khususnya yang utama, kerap atau terus menerus disebut, dan sebagai variasi
dipergunakan kata ganti.
g. Gaya bahasa
Gaya bahasa adalah teknik pengolahan bahasa oleh pengarang dalam upaya
menghasilkan karya sastra yang hidup dan indah. Pengolahan bahasa harus didukung oleh
diksi (pemilihan kata) yang tepat. Namun, diksi bukanlah satu-satunya hal yang membentuk
gaya bahasa.
Gaya bahasa merupakan cara pengungkapan yang khas bagi setiap pengarang. Gaya
seorang pengarang tidak akan sama apabila dibandingkan dengan gaya pengarang lainnya,
karena pengarang tertentu selalu menyajikan hal-hal yang berhubungan erat dengan selera
pribadinya dan kepekaannya terhadap segala sesuatu yang ada di sekitamya.
Gaya bahasa dapat menciptakan suasana yang berbeda-beda: berterus terang, satiris,
simpatik, menjengkelkan, emosional, dan sebagainya. Bahasa dapat menciptakan suasana
yang tepat bagi adegan seram, adegan cinta, adegan peperangan dan lain-lain.
Sebenarnya, menganalisis Unsur intrinsic prosa, baik cerpen maupun novel pada prinsipnya
sama saja. Yang membedakannya adalah tingkat kerumitan ataupin kompleksitasnya.
Menganalisis Novel tentu lebih rumit daripada menganalisis cerpen. Oleh karena itu, dalam
analisis karya sastra berbentuk prosa berikut ini disajikan sebuah cerpen saja. Bacalah contoh
di bawah ini.
Oleh: W.Setiawan
Kakek juga pernah bercerita tentang segala hal peninggalan Belanda yang
dulunya ada di sini. Di tegalan yang kini ditanami singkong dan ubi oleh orang-orang
dulunya lapangan tenis, pilar-pilar yang berserakan itu adalah bekas gedung seorang
Belanda petinggi perkebunan, dan di atas tanah berbatu yang tak jelas milik siapa itu
dulunya berderet gedung-gedung yang isinya nona-nona berambut pirang. Ceritanya,
di halaman gedung itu biasa berlalu-lalang binatang hutan seperti rusa, menjangan
dan kelinci. Tuan-tuan Belanda itu memberi mereka makan setiap hari. Singkatnya,
tanah ini dulu begitu asri, indah, dan damai.
Tapi itu semua dulu, zaman Belanda. Sekarang suasananya telah berganti
menjadi wajah perkampungan yang tak teratur. Tidak ada lagi pohon cemara yang
berderet di pinggir jalan. Perkebunan pun tampak kusam, banyak pokok teh yang
sengaja ditebang untuk kayu bakar, tanahnya ditanami palawija. Demikian juga
gedung-gedung yang megah berdiri, kini tinggal tanah berpasir dan batu dengan
beberapa sisa pilar yang berserakan. Apalagi binatang-binatang yang dulu sering
berlalu-lalang di halaman, kini entah di mana, karena di hutan pun tak mudah
ditemui. Perkebunan telah bangkrut sejak enam tahun lalu. Sejak itu masyarakat
mengambil alih perkebunan yang terlantar. Sementara gedung-gedung yang berdiri
kokoh itu akhirnya rubuh setelah bagian demi bagian dipreteli oleh warga.
Sebenarnya masih ada dua sisa kejayaan perkebunan Belanda yang masih
berdiri. Satu jembatan di pinggir desa, dan satunya lagi sebentuk makam yang
dinaungi pohon kembang kertas merah muda. Bila gedung-gedung dirubuhkan
dengan alasan dianggap menjadi rumah hantu karena terpencil dan tidak berpenghuni,
maka jembatan itu sengaja dibiarkan karena memang masih dibutuhkan untuk
transportasi warga. Sedangkan makam di bawah kembang kertas itu tidak pernah
diganggu karena dianggap terlalu angker sehingga tidak ada warga yang berani
mengganggu.
Tentang makam itu kakek juga pernah bercerita. Katanya yang dikuburkan di
sana sebenarnya adalah dua orang gadis Belanda yang meningal sekitar tahun 20-an.
Di atasnya dipajang dua patung anak perempuan dari marmer kira-kira setinggi 50
cm. Kemudian di sisinya ditanamkan sebatang kembang kertas yang kini sulur-
sulurnya telah menjalar ke segala arah. Jadilah makam itu teduh dan lembab,
sehingga makam jadi berlumut, tidak bertuan, dan tidak terawat.
***
“Begini Kek, saya ingin tahu cerita tentang makam di kembang kertas itu,
Kek. Singkatnya, saya mau membandingkan temuan saya tentang makam itu denga
Kakek yang tahu sejarah zaman dulu.” Katanya.
“Ah, saya tidak tahu apa-apa, lagi pula sudah tua begini mah sudah banyak
lupa. Memangnya, Ujang Bewok teh punya temuan apa?” Kakek merendah.
“Begini, saya sudah tiga kali didatangi penunggu makam itu dalam mimpi.
Terakhir dia menunjukkan pada saya bahwa di sana dikuburkan harta. Harta karun,
Kek. yang saya lihat adalah sebuah peti yang penuh dengan perhiasan dan uang emas.
Nah, saya ke sini untuk meyakinkan, apakah benar dulu di sana ada peti yang
dikuburkan?” Bewok menjelaskan.
“Setahu kakek tidak ada apa-apa. Hanya dua mayat gadis kembar yang
dimakamkan di sana. Kakek yakin, karena kakek ikut menggali tanah dan
memakamkannya.” Kakek meyakinkan.
“Itu juga kakek kurang tahu, kakek tidak bisa membedakan yang mana
marmer, dan mana batu biasa, memangnya kenapa juga dengan patung itu?” Kakek
mulai curiga.
***
Malam itu sepi, benar-benar sepi. Tak ada riuh orang lewat meronda. Ronda
hanya ada setelah ada beberapa kali rumah warga dibobol maling. Tak ada juga suara
orang yang mengaji di surau, pengajian hanya ada malam Jum’at. Tak ada suara
anak-anak muda bermain gitar dalam tongkrongan di warung Bi Yati. Warung itu
sudah tutup sejak dua bulan yang lalu. Tak ada modal. Sedangkan warga yang lain
mungkin sudah terlelap dalam kelelahan setelah seharian kerja di ladang orang. Ya,
mereka bekerja untuk orang lain, pendatang yang punya modal. Sementara orang desa
yang asli sejak dulu hanya menjadi kuli. Bedanya, zaman belanda mereka bekerja
dengan menghasilkan sedikit gaji bulanan dan rumah bedeng. Gaji itu mereka
gunakan untuk makan sehari-hari, dan kalau sedikit menabung dapat beli baju
setahun sekali. Di bedeng mereka sekeluarga lengkap berteduh sepanjang usia.
Sementara sekarang mereka mendapat sedikit upah yang tak pasti. Rumah mereka
pun tak jauh beda dengan bedeng zaman perkebunan. Di rumahnya sekarang mereka
berteduh, namun tidak utuh. Anak-anak mereka pergi ke kota. Anak-anak perempuan
menjadi pembantu rumah tangga, dan anak-anak laki-lakinya menjadi kuli bangunan.
Jadi, apa yang beda?
Dalam lindap sunyi tengah malam aku masih terjaga. Pikiranku gelisah tak
menentu, mata terpejam tapi hati benakku terus meracau tentang sesuatu yang tak
jelas apa isinya. Tapi aku terlalu malas untuk mengenyahkan badan dari tempat tidur,
lagipula malam terlalu sunyi untuk dinikmati. Tiba-tiba kudengar lamat-lamat suara
mobil yang lewat. Rumahku hanya sekira 40 meter dari jalan desa yang tak beraspal
itu, jadi meski ada mobil yang berjalan pelan, aku masih bisa mendengarnya. Siapa
malam-malam begini lewat desaku? Tapi pikirku hanya sampai di situ. Tak ada
prasangka apa-apa. Lagipula terlalu banyak kemungkinan positif tentang mobil yang
lewat di malam hari. Ah sudahlah. Yang pasti perjuanganku untuk memetik bunga
tidur hampir kesampaian. Kantuk sudah datang.
“Wooi, ada apa? Kenapa terburu-buru seperti itu?” aku berteriak pada
Usman, Amran, Agus dan Dade yang kulihat ikut dalam derap mereka.
Segera aku teringat pada makam di bawah kembang kertas. Pikiranku juga
terkait dengan pembicaraan Bewok dengan Kakek waktu itu. Jangan-jangan? Ah, aku
tak menunggu waktu lagi, aku berlari menuju makam kembang kertas, dari tempat itu
sekitar dua ratus meter jauhnya. Dalam nafas yang masih terengah-engah, aku
mendapati rimbun ranting kembang kertas sudah layu menindih makam. Bunga dan
guguran daunnya berserakan di atas rumput dan tanah merah. Aku singkapkan ranting
dan dedaunan itu. Di bawahnya kulihat makam telah hancur. Bekas temboknya
bergelimpangan, kedua patungnya hilang, tanahnya berlobang bekas galian.
Melihat kehancuran itu aku hanya termenung. Hanya inikah yang bisa
dilakukan orang untuk desanya? Memperkaya diri, mencari keuntungan pribadi tanpa
peduli pada kerusakan yang diakibatkan oleh usaha serakahnya itu.
***
Setelah membaca sebuah cerpen di atas, Apakah kamu dapat mengapresiasi atau menjelaskan
unsure-unsur intrinsiknya? Jika belum, coba baca sekali lagi dengan sedikit penghayatan.
Setelah itu, Perhatikanlah uraian di bawah ini.
a. Tema
Cerpen Makam di Bawah Kembang Kertas berfokus kepada masalah sosial dan kemanusiaan.
Cerpen ini menitikberatkan pembahasannya kepada sikap sosial seorang tokoh terhadap
situasi kerusakan, baik lingkungan maupun moral beberapa orang di desanya. Dari sisi
kemanusiaan, Cerpen ini menyiratkan pembahasan tentang keserakahan seseorang yang
berakibat celaka pada dirinya sendiri.
b. Amanat
1) Kita harus melestarikan lingkungan kita, menjaganya dari tangan-tangan yang suka
membuat kerusakan
2) Kita tidak boleh bersifat serakah, mengorbankan sesuatu yang menjadi milik
masyarakat untuk kepentingan sendiri.
3) Kita harus menghargai sejarah, termasuk sejarah lokal yang ada di sekitar desa kita.
d. Alur (Plot)
Cerita ini sejatinya bermula sejak kematian dua putri Belanda di sebuah desa pada zaman
penjajahan. Berpuluh-puluh tahun kemudian, ada seorang warga desa yang mengira ada harta
yang dipendam bersama pemakaman putri Belanda tersebut. Kemudian dengan
sepengatahuan tokoh “Aku Bewok, yang mencari harta karun menanyakan harta tersebut
kepada kakek.
Meskipun tidak mendapatkan keterangan yang memuaskan dari kakek, bewok tetap saja
membongkar makam putrid belanda dan mencuri patung marmernya. Namun di perjalanan
melarikan barang tersebut, Bewok dan beberapa kawannya mengalami kecelakaan karena
jembatan tua yang juga peninggalan Belanda yang mereka lewati ambruk.
Atas kejadian tersebut, tokoh aku semakin sadar, bahwa keserakahan hanya mengakibatkan
malapetaka.
e. Latar (setting)
Latar tempat cerpen Makam di Bawah Kembang kertas adalah sebuah desa yang memiliki
sejarah yang cukup panjang. Desa tersebut pernah menjadi pusat perkebunan Belanda,
sampai sekarang perkebunannya pun masih tersisa meskipun kebanyakan bangunan telah
rusak.
Rangkaian peristiwa yang terjadi tidak dijelaskan secara spesifik yang meliputi tanggal, bulan
dan tahun. Akan tetapi, dapat dipastikan bahwa cerita berlangsung di masa kini, jauh setelah
Indonesia merdeka.
Latar sosial yang paling menonjol adalah kemasyarakatan desa di daerah perkebunan
peninggalan Belanda. Latar sosial pada cerpen tersebut dengan jelas diuraikan pada sebuah
paragraph dalam kutipan berikut.
….Ya, mereka bekerja untuk orang lain, pendatang yang punya modal.
Sementara orang desa yang asli sejak dulu hanya menjadi kuli. Bedanya, zaman
belanda mereka bekerja dengan menghasilkan sedikit gaji bulanan dan rumah
bedeng. Gaji itu mereka gunakan untuk makan sehari-hari, dan kalau sedikit
menabung dapat beli baju setahun sekali. Di bedeng mereka sekeluarga lengkap
berteduh sepanjang usia. Sementara sekarang mereka mendapat sedikit upah yang
tak pasti. Rumah mereka pun tak jauh beda dengan bedeng zaman perkebunan. Di
rumahnya sekarang mereka berteduh, namun tidak utuh. Anak-anak mereka pergi ke
kota. Anak-anak perempuan menjadi pembantu rumah tangga, dan anak-anak laki-
lakinya menjadi kuli bangunan. Jadi, apa yang beda?
Pengarang menggunakan sudut pandang orang pertama. Orang pertama dalam cerpen ini
berfungsi sebagai tokoh utama sekaligus narrator cerita.
g. Gaya bahasa
Pengarang menggunakan bahasa yang formal, Bahasanya relatif sesuai dengan kaidah
bahasa Indonesia. Namun demikian unsure lokal Sunda juga tampak pada penggunaan
beberapa istilah, mislanya penggunaan sapaan “Jang” atau Ujang” terhadap lelaki yang
lebih muda dari pembicara, dan kata “Euy” yang juga lekat dengan tuturan orang Sunda.
BAB IV
DRAMA
Sebuah karya sastra yang bercerita terbagi atas dua; tutur dan tulis. Jika cerita-cerita
prosa seperti legenda dan dongeng lahir dari sastra tutur kemudian dituliskan, drama adalah
kebalikannya, yakni dituliskan dahulu, beru kemudian dituturkan/diperankan. Drama
dipertontonkan guna mencapai estetik implementasi. Artinya, ia harus diawali dari tulisan,
kemudian diceritakan melalui penggunaan medium seni yang disebut dengan panggung.
Cerita drama yang sudah dipanggungkan disebut dengan teater. Oleh karena itu, pembicaraan
drama kerap dikaitkan dengan teater. Tak ayal, terkadang orang menyebut drama sebagai
teater dan sebaliknya, teater dikatakan dengan drama. Sejatinya, kedua hal ini tetap berbeda.
Perbedaan tersebut dapat dilihat dari tabel di bawah ini.
Drama Teater
naskah Pertunjukan
penokohan tokoh/ actor
teks Interteks/Pementasan dari teks
Penulis sutradara
Dari tabel di atas jelas bahwa dikatakan dia sebagai drama karena masih berupa
naskah (di atas kertas). Artinya, drama adalah naskah yang akan dilakonkan.
Secara sederhana, drama dapat dibagi menjadi beberapa bentuk. Pembagian secara
umum di bawah ini ditinjau dari cerita dan gaya berceritanya.
Tragedi, yaitu drama yang melukiskan kisah duka atau kejadian pahit, sedih yang
amat dalam. Tujuan naskah ini biasanya agar penonton dapat memandang hidup
dan kehidupan secara optimis.
Komedi, yaitu drama ringan, biasanya bercerita tentang yang lucu-lucu.
Tujuannya lebih kepada menghibur penonton.
Melodrama (tragikomedi), yaitu drama yang berupa gabungan dari tragedi dan
komedi. Dalam naskah ini ada cerita serius, ada juga hanya cerita ringan dan lucu.
Dagelan (farce), yaitu jenis drama murahan atau dikatakan juga dengan komedi
picisan. Biasanya naskah ini diiringi musik riang.
Opera atau operet, yaitu dialog diiringi dengan musik yang di dalamnya juga
dimasukkan nyanyian/lagu.
Unsur intrinsik atau disebut juga unsur dalam adalah unsur yang tidak tampak. Ini yang kita
sebut di atas tadi sebagai kajian interteks. Dalam intrinsik ada:
1. tema; yaitu ide pokok yang ingin disampaikan dari sebuah cerita. Tema sering pula
dikatakan dengan nada dasar drama. Sebuah tema tidak terlepas dari manusia dan
kehidupan, misalkan cinta, maut, dan sebagainya. Jika ada yang menyebutkan
temanya romantis, itu adalah bias pengertian. Romantis bukan tema, tetapi gaya yang
digunakan oleh penulis. Dalam kasus dimaksud sebenarnya temanya adalah cinta/
percintaan. Jalan ceritanya yang dibuat menjadi romantis. Ini hanya perkara gaya/style
(di lain waktu akan kita bicarakan masalah gaya atau style penulis tersebut).
2. alur/ plot; yaitu jalan cerita. Dalam alur sebuah naskah drama bukan permasalahan
maju-mundurnya sebuah cerita seperti yang dimaksudkan dalam karangan prosa,
tetapi alur yang membimbing cerita dari awal hingga tuntas. Dimulai dengan
pemaparan (perkenalan awal tokoh dan penokohan), adanya masalah (konflik),
konflikasi (masalah baru), krisis (pertentangan mencapai titik puncak–klimak s.d.
antiklimaks), resolusi (pemecahan masalah), dan ditutup dengan ending (keputusan).
Ada pula yang menggambarkan alur dalam sebah naskah drama itu pemaparan—
masalah—pemecahan masalah/resolusi—keputusan.
3. penokohan; karakter yang dibentuk oleh setiap dialog tokoh.
4. latar/ setting; yaitu tempat kejadian. Latar atau setting berbicara masalah tempat,
suasana, dan waktu.
5. amanat; yaitu pesan yang hendak disampaikan penulis dari sebuah cerita. Jika tema
bersifat lugas, objektif, dan khusus, amanat lebih umum, kias, dan subjektif.
Sementara itu, unsur-unsur ekstrinsik atau unsure luar adalah unsur yang tampak, seperti
adanya dialog/ percakapan. Namun, unsur-unsur ini bisa bertambah ketika naskah sudah
dipentaskan. Dalam hal inilah muncul unsur-unsur yang harus diperhatikan seperti:
Sutradara,
Kostum,
Panggung,
Properti,
Tata lampu/pencahayaan
Tata suara/sound sistem,
Tata wajah/make up
Dan organisasi pementasan.
C. Contoh Drama
Bentuk-bentuk penulisan drama sudah mengalami banyak perkembangan. Mulai dari konsep
dialog yang terformat rata kiri, kemudian titik dua dan diikuti obrolan, ada juga bentuk
modern yang lebih bebas. Salah satu bentuk naskah drama yang cukup unik disajikan di
bawah ini. Perhatikanlah penulisan serta bagian-bagian naskah drama di bawah ini.
LAMPU MENYALA.
DALAM SEBUAH RUMAH. SOFA BESAR MENGHADAP TV. MEJA MAKAN.
KULKAS. PINTU KAMAR MANDI. PINTU DAPUR. PINTU KAMAR TIDUR. PINTU
KELUAR MASUK RUMAH. PAK LENA DUDUK MEMANDANG TV. BU LENA
KELUAR DARI KAMAR MANDI.
Bu Lena
Lena sudah pulang, Pak?
Pak Lena
Belum
Bu Lena
(Duduk di kursi meja makan) Bagaimana ini? Sudah tiga hari ia tidak pulang.
Pak Lena
Nanti juga pulang
Bu Lena
Sudah tiga hari
Pak Lena
Nanti juga pulang
Bu Lena
Ya, tapi belum juga pulang, padahal sudah tiga hari. Dia itu kan perempuan.
Pak Lena
(Tetap memandang tv) Anak kita
Bu Lena
Iya, anak kita, tapi ia perempuan dan belum pulang tiga hari.
Pak Lena
Nanti juga pulang sendiri ketika bekalnya lari telah habis.
Bu Lena
Tidak segampang itu, Pak, ia itu perempuan!
Pak Lena
Jika memang ia perempuan, ia akan pulang.
Bu Lena
Tapi belum…(Menghentikan kalimat, memperhatikan pintu keluar rumah)
Ada yang datang, sepertinya itu Lena, anak kita, pulang juga ia setelah tiga hari tidak pulang.
Pak Lena
Bukan, pasti temannya datang mencari.
Bu Lena
Pasti Lena
Pak Lena
Berani taruhan
Bu Lena
Taruhan apa?
Pak Lena
Jika bukan Lena, lebaran tahun ini kita pulang ke rumah orang tuaku.
Bu Lena
Tapi tahun kemarin sudah
Pak Lena
Itu karena kau kalah taruhan
Bu Lena
Ya tidak bisa, bayangkan dalam lima tahun ini kita tidak pernah pulang ke rumah orang
tuaku.
Pak Lena
Berani taruhan tidak?
Bu Lena
(Bingung) Ehm…
Pak Lena
Dengar langkah itu sudah semakin dekat.
Bu Lena
Baik
Tamu I
Permisi Tante, Lenanya ada?
Bu Lena
Oh tidak ada, dia belum pulang.
Tamu I
Belum pulang? Pergi ke mana ya Tante?
Bu Lena
Tante juga tidak tahu tuh, kamu tahu tidak?
Tamu I
Ya, kalau tahu saya tidak datang Tante.
Bu Lena
Iya juga ya. Hm, kamu teman sekolahnya ya?
Tamu I
Bukan Tante, saya teman…
Pak Lena
(Memotong) Suruh duduk dulu, hanya tukang pos yang diterima di depan pintu.
Tamu I
Terima kasih Om, saya harus kembali pulang.
Pak Lena
Kenapa buru-buru?
Tamu I
Ada yang harus buru-buru saya lakukan
Bu Lena
Jika buru-buru, kenapa mencari Lena?
Tamu I
Ya itu dia, Tante. Karena Lenalah saya harus buru-buru?
Pak Lena
Masuk dulu jangan buru-buru
Bu Lena
Iya masuk dulu
Tamu I
Maaf tidak bisa, saya permisi dulu.
Pak Lena
Siapa namanya?
Bu Lena
Siapa?
Pak Lena
Yang tadi?
Bu Lena
Teman Lena
Pak Lena
Iya, teman Lena tadi namanya siapa?
Bu Lena
Berarti tahun ini kita pulang ke rumah orang tuamu lagi?
Pak Lena
Jelas! Siapa nama teman Lena tadi!
Bu Lena
Sudahlah ke rumah orang tuaku saja. Kasihan ibu sudah semakin tua, dia ingin melihat kita
sekeluarga kan?
Pak Lena
Tidak bisa! Kesepakatan telah tercipta, tidak bisa dirubah. Jika terus dirubah, bagaimana
menjalankan kesepakatan itu dan untuk apa membuat kesepakatan jika tidak ada kepastian
untuk dilakukan. Siapa nama teman Lena tadi?
Bu Lena
Nggak tahu.
Pak Lena
Loh
Bu Lena
Kok loh
Pak Lena
Ya, loh, bagaimana mungkin kamu tidak menanyakannya?
Bu Lena
Kenapa bukan kamu?
Pak Lena
Aku kan sedang nonton tv dan aku tidak sedang berhadapan langsung dengannya.
Pak Lena
Ada yang ketuk pintu, bukahlah.
Bu Lena
Bagaimana jika Lena?
Pak Lena
Ya tetap dibuka pintu kan?
Bu Lena
Bukan itu, jika bukan Lena, perjanjian tadi batal.
TERDENGAR KETUKAN PINTU.
Pak Lena
Bukalah pintu itu, kasihan tamunya.
Bu Lena
Buat satu kesepakatan baru dulu.
Bu Lena
(Teriak ke arah pintu) sebentar ya, lagi menunggu kesepakan nih, sabar ya.
Pak Lena
Ya sudah, buka sana.
Bu Lena
Kesepakatan?
Pak Lena
Yah!
Tamu II
Kesepakatan apa Tante?
Bu Lena
Ah, tidak. Kamu siapa dan ada apa?
Tamu II
Saya temannya Lena, Tante, kebetulan saya sedang main di daerah sini.
Bu Lena
Terus
Tamu II
Ya, terus saya mampir. Karena kebetulan saya sedang main di daerah sini, jadi saya mampir
ke sini, Tante.
Bu Lena
Terus
Tamu II
Ya, karena itu Tante, hm, Lenanya ada?
Bu Lena
Jadi karena kebetulan main di daerah sini, kamu mampir dan mencari Lena?
Tamu II
Benar itu Tante.
Bu Lena
Karena kebetulan?
Tamu II
Sebenarnya tidak Tante.
Bu Lena
Yang benar yang mana?
Tamu II
Saya memang mencari Lena, Tante.
Bu Lena
Karena main di daerah sini?
Tamu II
Tidak Tante, saya memang sengaja kemari untuk mencari Lena. Sumpah, Tante.
Pak Lena
(Memotong) Suruh duduk dulu, hanya tukang pos yang diterima di depan pintu.
Tamu II
Nonton berita ya, Om?
Pak Lena
Tidak, cuma sedang melihat tanggapan wakil rakyat tentang bencana yang tidak
berkesudahan.
Tamu II
Itukan berita namanya, Om.
Pak Lena
Itu bukan berita, itu opini. Opini itu pendapat, kebenarannya masih belum bisa diandalkan.
Namanya berita harus mengutamakan kebenaran, kenyataan.
Tamu II
Tapi itukan acara berita, Om.
Pak Lena
Memang, beritanya, wakil rakyat sedang memberikan opini.
Tamu II
Berarti sedang nonton berita, Om.
Pak Lena
Tidak, saya sedang melihat opini. Ingat, opini!
Tamu II
Bedanya apa, Om?
Pak Lena
Opini itu tidak murni kenyataan, namanya juga pendapat, sedang berita itu nyata, kenyataan
tadi. Begini, kucing ditabrak mobil, itu berita.
Tamu II
Kalau opini?
Pak Lena
Mengapa kucing itu mau ditabrak?
Tamu II
Mungkin saja ia tidak melihat mobil yang laju, tiba-tiba saja ia sudah bersimbah darah.
Pak Lena
Itu dia opini.
Tamu II
Opini?
Pak Lena
Ya, opini kamu. Lihat omongan wakil rakyat itu, semuanya serba mungkin kan?
Tamu II
Jadi yang serba mungkin itu bukan berita?
Pak Lena
Mungkin kok berita. Mungkin itu kan belum jelas sedang berita adalah yang jelas dan pasti.
Tamu II
Tapi apa yang pasti di jaman sekarang, Om?
Pak Lena
Ya, opini.
Tamu II
Tidak usah yang dingin, Tante, lagi batuk.
Bu Lena
Mau puding?
Tamu II
Boleh, Tante.
Bu Lena
Tapi dingin?
Tamu II
Tidak apa-apa, Tante, kan cuma puding.
Pak Lena
Ya, ya, pulanglah.
Pak Lena
Anakmu membawa lari uang temannya?
Bu Lena
Bagaimana bisa?
Pak Lena
Temannya yang datang tadi, yang terlalu banyak bicara itu, melaporkan apa yang telah
dilakukan anakmu.
Bu Lena
Anak kita
Pak Lena
Ya, anak kita. Pencuri.
Bu Lena
Belum tentu benar, jangan terlalu banyak percaya dengan orang yang terlalu banyak bicara.
Pak Lena
Tapi bagaimana bisa kita percaya dengan orang yang sedikit bicara, dari mana kita tahu isi
kepalanya jika tidak dikeluarkannya.
Bu Lena
Terlalu banyak bicara malah menghilangkan kata-kata kunci, kata yang seharusnya bisa
menjadi andalan.
Pak Lena
Tanpa bicara, kata kunci itu malah tidak keluar, bagaimana bisa ia tampak?
Bu Lena
Tetapi mengapa kau begitu percaya dengan anak ingusan yang terlalu banyak bicara itu?
Pak Lena
Karena tampaknya benar, sudah tiga hari Lena pun tidak muncul di tempat biasa mereka
bertemu.
Bu Lena
Bagaimana jika benar?
Pak Lena
Kita harus menggantinya, tidak bisa tidak, Lena kan anak kita.
Bu Lena
Jika tidak benar?
Pak Lena
Mau taruhan?
LAMPU PADAM
BAB V
SASTRA LISAN
Sebagai akibat dari anggapan kerancuan istilah, sastra lisan sering dipertukarkan
dengan istilah tradisi lisan. Tradisi merupakan budaya yang berguna, cara untuk melakukan
suatu hal, unik, berproses dalam hal pekerjaan, ide, atau nilai, dan kadang-kadang
berkonotasi kuno serta muncul secara alami. Jadi, tradisi lisan adalah tradisi yang bersifat
verbal atau tidak tertulis, milik masyarakat (folk), dan memiliki nilai (Finnegan, 1992: 7).
Sementara itu, Danandjaya justru menyamakan tradisi lisan dengan folklor lisan (Danandjaya
dalam Pudentia, 1998: 54). Memang ada karakteristik yang menyamakan sastra lisan dengan
tradisi lisan atau folklor lisan yaitu bahwa penyebaran dan pewarisannya terjadi secara lisan.
Untuk lebih jelasnya, Hutomo (1991: 11) memberikan cakupan tradisi lisan sebagai berikut:
kesusastraan lisan,
teknologi tradisional,
pengetahuan folk di luar pusat-pusat istana dan kota metropolitan,
unsur-unsur religi dan kepercayaan folk di luar batas formal agama-agama besar,
kesenian folk di luar pusat-pusat istana dan kota metropolitan, dan
hukum adat.
Dari uraian di atas, jelas bahwa sastra lisan merupakan salah satu bagian dari tradisi lisan
ataupun folklor lisan. jadi, sastra lisan adalah sastra yang mencakup ekspresi sastra suatu
kebudayaan yang disebarkan dan diturunkan secara lisan (Hutomo, 1991: 60).
Adapun sastra lisan dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu sastra lisan
murni dan sastra lisan yang setengah lisan. Sastra lisan murni merupakan ragam sastra lisan
yang penyampaiannya benar-benar secara lisan tanpa alat bantu lain. Sastra lisan murni pada
umumnya berbentuk prosa rakyat, prosa liris dan bentuk-bentuk puisi rakyat. Sedangkan
sastra lisan yang setengah lisan merupakan sastra lisan yang disampaikan dengan bantuan
tingkah laku serta bentuk-bentuk seni yang lain. Sastra lisan jenis ini misalnya drama
panggung dan drama arena, serta sastra lisan murni yang disampaikan dengan alat musik.
Seperti kita ketahui, carita pantun (Sunda), kaba (Minangkabau), dan kentrung (Jawa)
biasanya dipertunjukkan dengan alat musik tradisional (Hutomo, 1991: 62-64).
Sastra lisan biasanya bersifat lokal, artinya sastra lisan tersebut hanya tumbuh dan
berkembang di sebagian wilayah budaya saja. Oleh karena itu, sastra lisan di Indonesia sering
juga disebut sebagai sastra Nusantara.
Seperti halnya satra tertulis, sastra lisan juga dapat dikategorikan menjadi beberapa bagian.
Berdasarkan sifatnya, sastra lisan dapat dibagi menjadi sastra lisan yang berbentuk puisi,
prosa, dan seni pertunjukkan.
Salah satu jenis sastra lisan berbentuk puisi yang paling umum adalah pantun. Jenis-jenis
pantun ini banyak ragamnya dan hampir ada hampir di semua kebudayaan, misalnya Sunda,
Minangkabau, Melayu, Batak, dan Betawi. Pantun tidak hanya berbentuk empat bait dengan
berdiri sendiri, tetapi juga pantun yang berbentuk panjang dan menuturkan sebuah kisah yang
sangat panjang. Perhatikan salah satu contoh pantun di bawah ini.
LANTUN MAHAKAM
Orang kaya banyak berharta
Ke Sumatra setiap tahun
Bismillah saya membuka kata
Berseni sastra membuat pantun
Sastra lisan yang berbentuk prosa atau cerita narasi banyak ragamnya. namun dari beberapa
bentuk yang ada tersebut dapat dikategorikan menjadi beberapa kelompok besar menjadi mite
(mitos), legenda, dongeng, dan fabel.
a. Mite
Mite adalah prosa naratif yang dalam masyarakat pemiliknya diyakini sebagai kejadian
yang sungguh-sungguh terjadi di masa lampau, dianggap memiliki kekuatan untuk menjawab
ketidaktahuan, keragu-raguan, atau ketidakpercayaan, sering diasosiasikan dengan
kepercayaan dan ritual, mite biasanya dianggap suci, tokohnya bukan manusia, melainkan
binatang, dewa, atau pahlawan kebudayaan yang terjadi di dunia yang belum seperti yang
kita kenal sekarang (Sutarto,1997: 12-13).
Dewi Mutiara ingin agar kelak putranya itu menjadi raja, dan ia pun berusaha agar
keinginannya itu terwujud. Kemudian Dewi Mutiara datang menghadap raja, dan
meminta agar sang raja menyuruh putrinya pergi dari istana. Sudah tentu raja menolak.
"Sangat menggelikan. Saya tidak akan membiarkan siapapun yang ingin bertindak kasar
pada putriku", kata Raja Munding Wangi. Mendengar jawaban itu, Dewi Mutiara pun
tersenyum dan berkata manis sampai raja tidak marah lagi kepadanya. Tapi walaupun
demikian, dia tetap berniat mewujudkan keinginannya itu.
Pada pagi harinya, sebelum matahari terbit, Dewi Mutiara mengutus pembantunya
untuk memanggil seorang dukun. Dia ingin sang dukun mengutuk Kadita, anak tirinya.
"Aku ingin tubuhnya yang cantik penuh dengan kudis dan gatal-gatal. Bila engkau
berhasil, maka aku akan memberikan suatu imbalan yang tak pernah kau bayangkan
sebelumnya." Sang dukun menuruti perintah sang ratu. Pada malam harinya, tubuh
Kadita telah dipenuhi dengan kudis dan gatal-gatal. Ketika dia terbangun, dia menyadari
tubuhnya berbau busuk dan dipenuhi dengan bisul. Puteri yang cantik itu pun menangis
dan tak tahu harus berbuat apa.
Ketika Raja mendengar kabar itu, beliau menjadi sangat sedih dan mengundang
banyak tabib untuk menyembuhkan penyakit putrinya. Beliau sadar bahwa penyakit
putrinya itu tidak wajar, seseorang pasti telah mengutuk atau mengguna-gunainya.
Masalah pun menjadi semakin rumit ketika Ratu Dewi Mutiara memaksanya untuk
mengusir puterinya. "Puterimu akan mendatangkan kesialan bagi seluruh negeri," kata
Dewi Mutiara. Karena Raja tidak menginginkan puterinya menjadi gunjingan di seluruh
negeri, akhirnya beliau terpaksa menyetujui usul Ratu Mutiara untuk mengirim putrinya
ke luar dari negeri itu.
Puteri yang malang itu pun pergi sendirian, tanpa tahu kemana harus pergi. Dia
hampir tidak dapat menangis lagi. Dia memang memiliki hati yang mulia. Dia tidak
menyimpan dendam kepada ibu tirinya, malahan ia selalu meminta agar Tuhan
mendampinginya dalam menanggung penderitaan..
Hampir tujuh hari dan tujuh malam dia berjalan sampai akhirnya tiba di Samudera
Selatan. Dia memandang samudera itu. Airnya bersih dan jernih, tidak seperti samudera
lainnya yang airnya biru atau hijau. Dia melompat ke dalam air dan berenang. Tiba-tiba,
ketika air Samudera Selatan itu menyentuh kulitnya, mukjizat terjadi. Bisulnya lenyap
dan tak ada tanda-tanda bahwa dia pernah kudisan atau gatal-gatal. Malahan, dia menjadi
lebih cantik daripada sebelumnya. Bukan hanya itu, kini dia memiliki kuasa untuk
memerintah seisi Samudera Selatan. Kini ia menjadi seorang peri yang disebut Nyi Roro
Kidul atau Ratu Pantai Samudera Selatan yang hidup selamanya.
b. Legenda
Legenda adalah cerita prosa rakyat yang dianggap oleh yang empunya cerita sebagai
suatu kejadian yang sungguh-sungguh pernah terjadi. Berbeda dengan mite, legenda bersifat
sekuler (keduniawian), terjadinya pada masa yang belum begitu lampau, dan bertempat di
dunia yang seperti kita kenal sekarang (Danandjaya, 2002: 66).
Legenda merupakan jenis prosa rakyat yang paling mempunyai nilai sejarah, terutama
sebagai sumber penyusunan sejarah lokal desa-desa di Indonesia dari masa yang belum
begitu lampau. Namun demikian, untuk menggunakannya sebagai sumber sejarah, legenda
harus dibersihkan dari unsur-unsur folklor yang pralogis dan memiliki formula sastra lisan,
serta perlu juga mempelajari sejarah penyatuan desa-desa tersebut dan bentuk-bentuk folklor
lain yang ada di masyarakat (Danandjaya dalam Sutrisno, 1991: 472-474).
Contoh legenda:
Pada zaman dahulu di kawasan ujung timur Propinsi Jawa Timur terdapat sebuah
kerajaan besar yang diperintah oleh seorang Raja yang adil dan bijaksana. Raja tersebut
mempunyai seorang putra yang gagah bernama Raden Banterang. Kegemaran Raden
Banterang adalah berburu. “Pagi hari ini aku akan berburu ke hutan. Siapkan alat
berburu,” kata Raden Banterang kepada para abdinya. Setelah peralatan berburu siap,
Raden Banterang disertai beberapa pengiringnya berangkat ke hutan. Ketika Raden
Banterang berjalan sendirian, ia melihat seekor kijang melintas di depannya. Ia segera
mengejar kijang itu hingga masuk jauh ke hutan. Ia terpisah dengan para pengiringnya.
“Kemana seekor kijang tadi?”, kata Raden Banterang, ketika kehilangan jejak
buruannya. “Akan ku cari terus sampai dapat,” tekadnya. Raden Banterang menerobos
semak belukar dan pepohonan hutan. Namun, binatang buruan itu tidak ditemukan. Ia
tiba di sebuah sungai yang sangat bening airnya. “Hem, segar nian air sungai ini,”
Raden Banterang minum air sungai itu, sampai merasa hilang dahaganya. Setelah itu, ia
meninggalkan sungai. Namun baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba dikejutkan
kedatangan seorang gadis cantik jelita.
Pada suatu hari, puteri Raja Klungkung berjalan-jalan sendirian ke luar istana.
“Surati! Surati!”, panggil seorang laki-laki yang berpakaian compang-camping. Setelah
mengamati wajah lelaki itu, ia baru sadar bahwa yang berada di depannya adalah kakak
kandungnya bernama Rupaksa. Maksud kedatangan Rupaksa adalah untuk mengajak
adiknya untuk membalas dendam, karena Raden Banterang telah membunuh
ayahandanya. Surati menceritakan bahwa ia mau diperistri Raden Banterang karena
telah berhutang budi. Dengan begitu, Surati tidak mau membantu ajakan kakak
kandungnya. Rupaksa marah mendengar jawaban adiknya. Namun, ia sempat
memberikan sebuah kenangan berupa ikat kepala kepada Surati. “Ikat kepala ini harus
kau simpan di bawah tempat tidurmu,” pesan Rupaksa.
Pertemuan Surati dengan kakak kandungnya tidak diketahui oleh Raden Banterang,
dikarenakan Raden Banterang sedang berburu di hutan. Tatkala Raden Banterang
berada di tengah hutan, tiba-tiba pandangan matanya dikejutkan oleh kedatangan
seorang lelaki berpakaian compang-camping. “Tuangku, Raden Banterang.
Keselamatan Tuan terancam bahaya yang direncanakan oleh istri tuan sendiri,” kata
lelaki itu. “Tuan bisa melihat buktinya, dengan melihat sebuah ikat kepala yang
diletakkan di bawah tempat peraduannya. Ikat kepala itu milik lelaki yang dimintai
tolong untuk membunuh Tuan,” jelasnya. Setelah mengucapkan kata-kata itu, lelaki
berpakaian compang-camping itu hilang secara misterius. Terkejutlah Raden Banterang
mendengar laporan lelaki misterius itu. Ia pun segera pulang ke istana. Setelah tiba di
istana, Raden Banterang langsung menuju ke peraaduan istrinya. Dicarinya ikat kepala
yang telah diceritakan oleh lelaki berpakaian compang-camping yang telah menemui di
hutan. “Ha! Benar kata lelaki itu! Ikat kepala ini sebagai bukti! Kau merencanakan mau
membunuhku dengan minta tolong kepada pemilik ikat kepala ini!” tuduh Raden
Banterang kepada istrinya. ” Begitukah balasanmu padaku?” tandas Raden
Banterang.”Jangan asal tuduh. Adinda sama sekali tidak bermaksud membunuh
Kakanda, apalagi minta tolong kepada seorang lelaki!” jawab Surati. Namun Raden
Banterang tetap pada pendiriannya, bahwa istrinya yang pernah ditolong itu akan
membahayakan hidupnya. Nah, sebelum nyawanya terancam, Raden Banterang lebih
dahulu ingin mencelakakan istrinya.
“Kakak Adindalah yang akan membunuh kakanda! Adinda diminati bantuan, tetapi
Adinda tolah!”. Mendengar hal tersebut , hati Raden Banterang tidak cair bahkan
menganggap istrinya berbohong.. “Kakanda ! Jika air sungai ini menjadi bening dan
harum baunya, berarti Adinda tidak bersalah! Tetapi, jika tetap keruh dan bau busuk,
berarti Adinda bersalah!” seru Surati. Raden Banterang menganggap ucapan istrinya itu
mengada-ada. Maka, Raden Banterang segera menghunus keris yang terselip di
pinggangnya. Bersamaan itu pula, Surati melompat ke tengah sungai lalu menghilang.
Tidak berapa lama, terjadi sebuah keajaiban. Bau nan harum merebak di sekitar
sungai. Melihat kejadian itu, Raden Banterang berseru dengan suara gemetar. “Istriku
tidak berdosa! Air kali ini harum baunya!” Betapa menyesalnya Raden Banterang. Ia
meratapi kematian istrinya, dan menyesali kebodohannya. Namun sudah terlambat.
Sejak itu, sungai menjadi harum baunya. Dalam bahasa Jawa disebut Banyuwangi.
Banyu artinya air dan wangi artinya harum. Nama Banyuwangi kemudian menjadi
nama kota Banyuwangi.
(dari: http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara)
c. Dongeng
Dongeng adalah prosa naratif yang bersifat fiksi, tidak dipercayai sebagai dogma atau
sejarah, mungkin terjadi ataupun tidak, tidak dianggap serius, dapat terjadi di mana saja dan
kapan saja, dan biasanya merupakan pengalaman perjalanan binatang, kadang-kadang peri,
atau tokoh manusia (Bascom dalam Finnegan, 1992: 148-149). Dongeng juga merupakan
cerita pendek kolektif kesusastraan lisan. Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan,
walaupun ada juga yang melukiskan kebenaran, pelajaran (moral) atau bahkan sindiran
(Danandjaya, 2002: 83).
Contoh dongeng:
TIMUN MAS
Pada zaman dahulu, hiduplah sepasang suami istri petani. Mereka tinggal di sebuah
desa di dekat hutan. Mereka hidup bahagia. Sayangnya mereka belum saja dikaruniai
seorang anak pun.
Setiap hari mereka berdoa pada Yang Maha Kuasa. Mereka berdoa agar segera
diberi seorang anak. Suatu hari seorang raksasa melewati tempat tinggal mereka.
Raksasa itu mendengar doa suami istri itu. Raksasa itu kemudian memberi mereka biji
mentimun.
“Tanamlah biji ini. Nanti kau akan mendapatkan seorang anak perempuan,” kata
Raksasa. “Terima kasih, Raksasa,” kata suami istri itu. “Tapi ada syaratnya. Pada usia 17
tahun anak itu harus kalian serahkan padaku,” sahut Raksasa. Suami istri itu sangat
merindukan seorang anak. Karena itu tanpa berpikir panjang mereka setuju.
Suami istri petani itu kemudian menanam biji-biji mentimun itu. Setiap hari mereka
merawat tanaman yang mulai tumbuh itu dengan sebaik mungkin. Berbulan-bulan
kemudian tumbuhlah sebuah mentimun berwarna keemasan.
Buah mentimun itu semakin lama semakin besar dan berat. Ketika buah itu masak,
mereka memetiknya. Dengan hati-hati mereka memotong buah itu. Betapa terkejutnya
mereka, di dalam buah itu mereka menemukan bayi perempuan yang sangat cantik.
Suami istri itu sangat bahagia. Mereka memberi nama bayi itu Timun Mas.
Tahun demi tahun berlalu. Timun Mas tumbuh menjadi gadis yang cantik. Kedua
orang tuanya sangat bangga padanya. Tapi mereka menjadi sangat takut. Karena pada
ulang tahun Timun Mas yang ke-17, sang raksasa datang kembali. Raksasa itu menangih
janji untuk mengambil Timun Mas.
Petani itu mencoba tenang. “Tunggulah sebentar. Timun Mas sedang bermain.
Istriku akan memanggilnya,” katanya. Petani itu segera menemui anaknya. “Anakkku,
ambillah ini,” katanya sambil menyerahkan sebuah kantung kain. “Ini akan menolongmu
melawan Raksasa. Sekarang larilah secepat mungkin,” katanya. Maka Timun Mas pun
segera melarikan diri.
Suami istri itu sedih atas kepergian Timun Mas. Tapi mereka tidak rela kalau
anaknya menjadi santapan Raksasa. Raksasa menunggu cukup lama. Ia menjadi tak
sabar. Ia tahu, telah dibohongi suami istri itu. Lalu ia pun menghancurkan pondok petani
itu. Lalu ia mengejar Timun Mas ke hutan.
Raksasa segera berlari mengejar Timun Mas. Raksasa semakin dekat. Timun Mas
segera mengambil segenggam garam dari kantung kainnya. Lalu garam itu ditaburkan ke
arah Raksasa. Tiba-tiba sebuah laut yang luas pun terhampar. Raksasa terpaksa berenang
dengan susah payah.
Timun Mas berlari lagi. Tapi kemudian Raksasa hampir berhasil menyusulnya.
Timun Mas kembali mengambil benda ajaib dari kantungnya. Ia mengambil segenggam
cabai. Cabai itu dilemparnya ke arah raksasa. Seketika pohon dengan ranting dan duri
yang tajam memerangkap Raksasa. Raksasa berteriak kesakitan. Sementara Timun Mas
berlari menyelamatkan diri.
Tapi Raksasa sungguh kuat. Ia lagi-lagi hampir menangkap Timun Mas. Maka
Timun Mas pun mengeluarkan benda ajaib ketiga. Ia menebarkan biji-biji mentimun
ajaib. Seketika tumbuhlah kebun mentimun yang sangat luas. Raksasa sangat letih dan
kelaparan. Ia pun makan mentimun-mentimun yang segar itu dengan lahap. Karena
terlalu banyak makan, Raksasa tertidur.
Timun Mas kembali melarikan diri. Ia berlari sekuat tenaga. Tapi lama kelamaan
tenaganya habis. Lebih celaka lagi karena Raksasa terbangun dari tidurnya. Raksasa lagi-
lagi hampir menangkapnya. Timun Mas sangat ketakutan. Ia pun melemparkan
senjatanya yang terakhir, segenggam terasi udang. Lagi-lagi terjadi keajaiban. Sebuah
danau lumpur yang luas terhampar. Raksasa terjerembab ke dalamnya. Tangannya
hampir menggapai Timun Mas. Tapi danau lumpur itu menariknya ke dasar. Raksasa
panik. Ia tak bisa bernapas, lalu tenggelam.
Timun Mas lega. Ia telah selamat. Timun Mas pun kembali ke rumah orang tuanya.
Ayah dan Ibu Timun Mas senang sekali melihat Timun Mas selamat. Mereka
menyambutnya. “Terima Kasih, Tuhan. Kau telah menyelamatkan anakku,” kata mereka
gembira.
Sejak saat itu Timun Mas dapat hidup tenang bersama orang tuanya. Mereka dapat
hidup bahagia tanpa ketakutan lagi.
fabel adalah dongeng atau cerita fiki yang tokoh-tokohnya adalah binatang yang dapat
berbicaradan bertingkah laku seperti manusia. Fabel biasanya ditujukan bagi anak-anak
supaya dapat memperoleh pesanmoral dari cerita tersebut.
Contoh fabel:
Pada jaman dahulu di sebuah hutan di kepulauan Aru, hiduplah sekelompok rusa.
Mereka sangat bangga akan kemampuan larinya. Pekerjaan mereka selain merumput,
adalah menantang binatang lainnya untuk adu lari. Apabila mereka itu dapat
mengalahkannya, rusa itu akan mengambil tempat tinggal mereka.
Ditepian hutan tersebut terdapatlah sebuah pantai yang sangat indah. Disana
hiduplah siput laut yang bernama Kulomang. Siput laut terkenal sebagai binatang yang
cerdik dan sangat setia kawan. Pada suatu hari, si Rusa mendatangi si Kulomang.
Ditantangnya siput laut itu untuk adu lari hingga sampai di tanjung ke sebelas.
Taruhannya adalah pantai tempat tinggal sang siput laut.
Dalam hatinya si Rusa itu merasa yakin akan dapat mengalahkan si Kulomang.
Bukan saja jalannya sangat lambat, si Kulomang juga memanggul cangkang. Cangkang
itu biasanya lebih besar dari badannya. Ukuran yang demikian itu disebabkan oleh
karena cangkang itu adalah rumah dari siput laut. Rumah itu berguna untuk menahan
agar tidak hanyut di waktu air pasang. Dan ia berguna untuk melindungi siput laut dari
terik matahari.
Hal yang sama terjadi berulang kali hingga ke tanjung ke sepuluh. Memasuki
tanjung ke sebelas, si Rusa sudah kehabisan napas. Ia jatuh tersungkur dan mati.
Dengan demikian si Kulomang dapat bukan saja mengalahkan tetapi juga memperdayai
si Rusa yang congkak itu.
(Aneke Sumarauw, “Si Rusa dan Si Kulomang,” Cerita Rakyat dari Maluku)
Sastra lisan yang berbentuk pertunjukkan sangat beragam. Setiap daerah sepertinya
mempunyai bentuk sastra pertunjukkan ini. Berikut adalah jenis-jenis sastra lisan yang
berbentuk pertunjukkan.
Berbagai jenis wayang (wayang golek, wayang orang, wayang kulit, dsb)
kentrung, ludruk, lenong, dan sejenisnya
calung, dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 1995. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: PT Sinar Baru Algensindo
Danandjaya, James. 2002. Folklor Indonesia ilmu gosip dongeng dan lain-lain. Jakarta:
Pustaka Utama Garafiti
Danandjaya, James. “Pendekatan Folklor dalam Penelitian Bahan-bahan Tradisi Lisan”
dalam Pudentia. Ed. 1998. Metodologi Kajian Sastra Lisan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia
Finnegan, Ruth. 1992. Oral Tradition and The Verbal Art. A Guide ro Research and
Practices. London: Routledge.
Nurgiyantoro, Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yagyakarta: Gadjah Mada University
Press
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Rusyana, Yus. 1981. Cerita Rakyat Nusantara Kumpulan Makalah tentang Cerita Rakyat.
Bandung: Fakultas keguruan sastra dan seni IKIP Bandung
________ dkk. 2000. Prosa Tradisional: Pengertian, Klasifikasi dan Teks. Jakarta: Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
Teeuw, A. 1988. Sastra Dan Ilmu Sastra. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya
Todorov, Tzvetan. 1985. Tata Sastra (diterjemahkan oleh Okke K.S Zaimar, dkk). Jakarta:
Djambatan
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan (diterjemahkan oleh Melani
Budianta). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama