Anda di halaman 1dari 43

BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1. Profil Industri Telekomunikasi Indonesia


4.1.1.

Sejarah Awal
Sejarah industri telekomunikasi di Indonesia bermula ketika pada

tahun 1906 pemerintah kolonial Belanda mendirikan Post, Telegraph, en


Telephone Dienst (PTT). Seiring dengan kemerdekaan Indonesia, PTT
kemudian diambil alih oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) dan mengalami beberapa kali pergantian bentuk
dan nama perusahaan, sampai akhirnya ini dikenal dengan PT Telekomunikasi
Indonesia (Telkom). Sampai dengan tahun 2005, Telkom menguasai 65%
pangsa pasar telekomunikasi di Indonesia. Sementara itu, PT Indosat Tbk.,
BUMN telekomunikasi lainnya yang menjadi rival utama Telkom, menguasai
30% pangsa pasar. Sisanya dikuasai oleh beberapa pemain lain, termasuk
yang bergerak dalam layanan telekomunikasi bergerak (mobile).
Pada awal perkembangannya antara tahun 1970-an sampai awal
tahun 1990-an, industri telekomunikasi Indonesia masih bersifat monopoli.
Kebijakan yang bersifat monopoli ini oleh pemerintah kemudian dirasakan
tidak lagi relevan dengan perkembangan industri dan teknologi yang
berkembang sangat pesat. Monopoli secara langsung maupun tidak langsung

28

29

telah

menghambat

investasi,

inovasi,

dan

wirausaha

dalam

bisnis

telekomunikasi.

4.1.2.

Perubahan Peraturan Perundangan


Industri telekomunikasi di Indonesia pada awalnya diatur dalam

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi, dimana sektor


telekomunikasi Indonesia dikuasai oleh pemerintah. Kebutuhan akan adanya
persaingan yang lebih sehat dalam industri telekomunikasi semakin kuat pada
masa pascakrisis ekonomi Indonesia. Langkah deregulasi terhadap industri ini
kemudian diambil pemerintah melalui UU nomor 36 Tahun 1999. Undangundang tersebut bertujuan untuk mengintroduksi lingkungan usaha yang
kompetitif dalam industri telekomunikasi Indonesia. Pemerintah Indonesia
melakukan transisi dari monopoli menuju kompetisi secara gradual. Langkah
Pemerintah Indonesia untuk dapat menghadirkan persaingan yang lebih sehat
dalam industri telekomunikasi tidak hanya berhenti pada kebijakan duopoli
Telkom dan Indosat. Industri telekomunikasi yang kompetitif diyakini akan
membawa banyak keuntungan, tidak hanya kepada konsumen, namun juga
kepada perusahaan dan para pemangku kepentigannya.
Dalam industri telekomunikasi terdapat lima model kompetisi,
yaitu (1) kompetisi penuh dan terbuka, dimana lisensi akan diberikan kepada
semua pemain yang memenuhi syarat; (2) lisensi berbasis wilayah geografis,
di mana satu pemain untuk satu wilayah geografi; (3) lisensi sesuai
segmentasi layanan, di mana satu pemain untuk segmen layanan tertentu; (4)

30

duopoli, dan (5) kompetisi terbatas (oligopoli). Sedangkan Indonesia terhitung


sejak September tahun 2000 telah mengadopsi model kompetisi duopoli.
Campur tangan pemerintah dalam mengawali transisi menuju kompetisi
penuh dan terbuka masih diperlukan. Peran terbatas pemerintah yang perlu
dipertahankan adalah meregulasi harga dan tarif untuk menghindari
pengambilan keuntungan secara sepihak dan menekan budaya antikompetisi,
diantaranya menjamin akses yang adil bagi seluruh pemain atas fasilitas dan
jaringan (interkoneksi).
Selama tahun 2005, pemerintah telah mengeluarkan 8 regulasi
telekomunikasi baru terkait dengan masalah radio frequency spectrum fee,
regulasi tentang telekomunikasi dengan menggunakan satelit, perubahan tarif
interkoneksi dari revenue based menjadi cost based, registrasi pelanggan
prabayar, dan peraturan mengenai 3G.

4.1.3.

Regulator

4.1.3.1.

Direktorat Jendral Pos dan Telekomunikasi


Regulator di sektor telekomunikasi Indonesia adalah

Direktorat Jendral Pos dan Telekomunikasi yang bertanggung jawab


kepada Menteri Komunikasi dan Informatika. Namun setelah adanya
gerakan untuk melakukan liberalisasi di sektor telekomunikasi pada tahun
1999 yang ditandai dengan dikeluarkannya UU Nomor 36 Tahun 1999,
maka kekuasaan Dirjen Postel tersebut secara perlahan dan bertahap akan

31

ditransfer ke badan regulator baru yang independen yaitu, Badan Regulasi


Telekomunikasi Indonesia.

4.1.3.2.

Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia


Iklim persaingan di industri telekomunikasi yang kian

kompetitif, sejak disahkannya UU Nomor 26 Tahun 1999 pada tanggal 8


September 1999, mendorong berbagai pihak meminta dibentuknya badan
regulasi independen. Sebuah badan regulasi mandiri diharapkan dapat
melindungi kepentingan publik dan mendukung serta melindungi
kompetisi dalam bisnis telekomunikasi menjadi lebih sehat, efisien, dan
menarik bagi investor. Pada tanggal 11 Juli 2003 akhirnya pemerintah
mengeluarkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 31 Tahun 2003
tentang Penetapan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI).
Tujuan dibentuknya badan regulasi independen yang mulaiefektif
beroperasi sejak tanggal 5 Januari 2004 tersebut antara lain adalah untuk
mengurangi peran pemerintah dalam industri telekomunikasi yang selama
ini merupakan pihak yang mendanai (financier), regulator, dan pemberi
lisensi (licenser). Sebagai lembaga yang independen, BRTI bertugas
mengatur dan mengontrol industri telekomunikasi di Indonesia serta
memiliki wewenang untuk mengeluarkan lisensi bagi operator layanan
telekomunikasi seluler baru di masa mendatang. Selain itu, badan ini juga
dapat menyediakan input bagi pemerintah dalam membuat kebijakankebijakan terkait masalah telekomunikasi.

32

4.1.4.

Struktur Pasar
Hingga

akhir

tahun

2007,

terdapat

perusahaan

yang

mendapatkan izin sebagai operator telepon seluler GSM di Indonesia, yaitu


Telkomsel, Indosat, XL, NTS dan HCPT dan sebagian besar operator seluler
GSM tersebut dimiliki oleh investor asing. Mulai dari Telkomsel yang
merupakan operator seluler terbesar di Asia Tenggara dengan 35% sahamnya
milik Singapore Telecom (SingTel), Indosat yang 42% sahamnya dimiliki
oleh Singapore Technologies Telemedia Pte. Ltd. (STT), Excelcomindo
Pratama yang 27,3% sahamnya dibeli Telekom Malaysia dengan harga US$
314 juta, NTS sebagai pemegang lisensi 3G yang 51% sahamnya dibeli oleh
Maxis Communication Bhd, Malaysia, dan HCPT yang 60% sahamnya
dimiliki oleh Hutchinson Telecommunications International Limited dari
Hongkong. Hal diatas menunjukan bagaimana iklim persaingan yang dihadapi
oleh operator telepon seluler di Indonesia kini sudah mendekati pada situasi
yang bersifat oligopoli. Ada tiga karakteristik kunci yang melekat pada
situasi pasar oligopoli, yaitu: (1) pergerakan industri didominasi oleh kiprah
beberapa operator dengan skala besar; (2) masing-masing operator menjual
atau menawarkan produk yang identik atau memiliki pembedaan yang relatif
terbatas; dan (3) industri memiliki hambatan untuk masuk yang signifikan
besarannya sehingga tidak mudah bagi pendatang baru untuk masuk ke dalam
industri yang dimaksud. Dari perspektif operator telepon seluler, penerapan
strategi pemasaran pada situasi pasar yang bersifat oligopoli tentu

33

memerlukan upaya ekstra terutama dalam memaknai elastisitas harga terhadap


besaran permintaan pulsa oleh pelanggan.

4.2. Kondisi Persaingan Pasar Seluler Tahun 2004-2007


Walaupun industri telekomunikasi seluler GSM ini semakin marak
bertambahnya perusahaan operator seluler di Indonesia, data tahun 2007 masih
menunjukan operator seluler yang sudah lama beroperasi di Indonesia seperti
Telkomsel, Indosat, dan XL, yang masih merupakan tiga besar penguasa pasar seluler
di Indonesia, dimana Telkomsel menguasai 55% pangsa pasar, Indosat 28% pangsa
pasar, XL 15%, dan sisanya operator-operator seluler lain. Persaingan yang terjadi
antara operator seluler di Indonesia ini umumnya dalam bentuk persaingan:
1. Harga layanan
2. Kualitas
3. Jangkauan jaringan
4. Jenis layanan
5. Fitur yang ditawarkan
6. Pelayanan pelanggan
7. Teknologi baru dan berbagai jasa telekomunikasi yang terkonvergensi

Persaingan dalam tahun 2004-2007 tersebut terlihat dari pergerakan dan


perubahan dalam peningkatan jumlah BTS (coverage driven), jumlah pelanggan
dengan meluncurkan paket produk prabayar dan pascabayar untuk menarik pelanggan

34

baru atau merebut pelanggan lama dari operator lainnya. Secara bertahap persaingan
ini bergerak dengan memberikan beberapa cara untuk lebih agresif seperti
pemotongan harga, menyediakan tarif flat untuk panggilan nasional bahkan dengan
membebaskan biaya abonemen pelanggan pascabayar (price driven). Setelah melalui
tahap price driven maka industri seluler akan menghadapi service quality driven,
masyarakat Indonesia saat ini yang sebagai pemakai layanan jasa telekomunikasi
seluler sangat memperhatikan kualitas dari perangkat telekomunikasi telepon seluler
yang diberikan oleh operator. Persaingan harga yang terjadi membuat masyarakat
dapat dengan mudah beralih ke operator lainnya jika pelayanan servis dan kualitas
operator tersebut dianggap buruk oleh masyarakat seperti; sms yang datang terlambat,
sinyal yang tidak stabil, suara yang terputus-putus ketika sedang menelpon membuat
citra yang tidak baik bagi operator seluler tersebut dimata pelanggan.
Pada pertengahan tahun 2007 mulai kembali bergerak menuju persaingan tarif
atau kembali menuju penggunaan business model price driven, dimana penurunan
tarif yang agresif dalam bentuk permainan iklan dipelopori oleh XL dan operator lain
mulai mengikuti termasuk operator-operator baru (attackers). Kembalinya kepada
persaingan tarif membuat operator lupa akan pentingnya coverage sebagai pendukung
kualitas dari layanan seluler.
Setelah melewati persaingan coverage driven, price driven dan service quality
driven industri telekomunikasi seluler mulai memasuki persaingan value-adedd
services driven. Dalam industri telekomunikasi seluler global telah melewati
beberapa fase perubahan teknologi dan upaya untuk adaptasi dengan teknologi
tersebut. Perkembangan industri telekomunikasi seluler Indonesia dalam teknologi

35

seluler itu berawal dari SMS, MMS, EDGE hingga ke teknologi 3G yang pertama
kali diluncurkan oleh Telkomsel dan inovasi-inovasi Value-Added Service (VAS)
yang terus dilakukan pula oleh operator-operator lain di tahun 2007. VAS ini juga
merupakan cara untuk menghindari persaingan dalam harga, karena pelanggan dalam
memilih produk telekomunikasi seluler GSM akan mempertimbangkan harga serta
fitur-fitur baru yang ditawarkan, hal ini juga termasuk strategi diferensiasi untuk
menghindari persaingan harga, karena diferensiasi menciptakan sesuatu yang
baruyang dirasakan oleh keseluruhan industri sebagai hal yang unik dan diferensiasi
memberikan penyekat terhadapt persaingan karena adanya loyalitas merek dari
pelanggan yang mengakibatkan berkurangnya kepekaan terhadap harga.

4.3. Pemain dalam Industri Telekomunikasi GSM


4.3.1.

PT. Telkomsel
Telkomsel didirikan pada tanggal 26 Mei 1995, dimana Telkomsel

merupakan usaha patungan antara PT Telkom dan PT Indosat (yang kala itu
belum menjadi perusahaan publik), dengan komposisi saham 51% milik PT
Telkom dan 49% milik Indosat. Meski sudah memiliki izin sebagai operator
GSM nasional bersama Satelindo, Telkomsel ternyata tidak diizinkan untuk
beroperasi di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Hal ini disebabkan karena
pemerintah telah menunjuk Satelindo sebagai operator GSM pertama di
wilayah Jakarta dan kawasan ibukota lainnya.

36

Sejak mulai beroperasinya hingga tahun 2008, Telkomsel telah mengalami


perubahan dalam komposisi kepemilikan saham. Hingga tahun 2000,
komposisi kepemilikan saham di Telkomsel adalah: 42,72% Telkom; 35%
Indosat; 17,28 KPN Mobile, dan 5% Sedco. Namun hingga akhir tahun 2007,
SingTel menguasai 35% saham Telkomsel, sementara 65% sisanya dikuasai
oleh Telkom (Gambar 4.1).

Sumber: www.telkomsel.com.
Gambar 4.1 Komposisi Pemegang Saham PT. Telkomsel

Telkomsel memiliki 2 jenis kartu, yaitu prabayar (Simpati dan Kartu As) dan
pascabayar (HALO). Telkomsel merupakan operator seluler pertama yang
memperkenalkan jenis kartu prabayar GSM melalui produknya, Kartu
Simpati.
Jumlah Pelanggan
Pada akhir tahun 2007, Telkomsel tercatat sebagai pemain utama yang
menguasai pangsa pasar penyedia jaringan seluler GSM di Indonesia dengan
jumlah pelanggan 47,8 juta orang (Grafik 4.1), melebihi dua pemain besar
lainnnya, yaitu PT Indosat Tbk. Dan PT Excelcomindo Pratama Tbk.

37

Pertumbuhan jumlah pelanggan Telkomsel dari tahun 2004 2005 sebesar


49% dan dari tahun 2005 2006 sebesar 47%, serta penurunan pertumbuhan
jumlah pelanggan terlihat antara tahun 2006 2007 dimana pada masa itu
pertumbuhannya sebesar 35%, penurunan pertumbuhan ini akibat dari
persaingan yang ketat dalam industri telekomunikasi seluler GSM.
Jumlah Pelanggan Telkomsel, 2007
47890

Jumlah Pelanggan (dalam ribuan)

50000
45000
35597

40000
35000
30000

24269

25000
20000

16291

15000
10000
5000
0
2004

2005

2006

2007

Tahun

Sumber: Laporan Tahunan Telkomsel.


Grafik 4.1 Jumlah Pelanggan Seluler Telkomsel

Pendapatan
Meskipun Telkomsel melakukan penurunan tarif, pendapatan operasional
telkomsel tumbuh dengan kuat tahun 2007. Pendapatan operasional
Telkomsel tumbuh 26% menjadi Rp. 36,67 triliun di tahun 2007. Produk
prabayar Telkomsel yang dicatat dari 96% dari total pelanggan 2007

38

merupakan kontributor utama pendapatan. Hal ini memberikan kontribusi


81% untuk pendapatan usaha pada tahun 2007.

Sumber: www.telkomsel.com.
Grafik 4.2 Kinerja Telkomsel

Jangkauan Area
Pada awalnya Telkomsel dilarang beroperasi di Jakarta akhirnya harus
memulai layanannya di Batam, Bintan, Pekanbaru, dan Medan terlebih dahulu
sebelum masuk ke Pulau Jawa. Hal ini telah menciptakan keunggulan
kompetitif yang sulit ditandingi oleh 2 kompetitor utamanya (Indosat dan
XL), di mana pada tahun 1997 Telkomsel merupakan perusahaan operator
seluler pertama di Indonesia yang berhasil menjangkau seluruh 27 propinsi
Indonesia. Hal ini terlihat pada Gambar 4.3 dengan meningkatnya jumlah
BTS Telkomsel setiap tahunnya dan mencapai 20.858 BTS pada akhir tahun
2007 di seluruh Indonesia.

39

Jumlah BTS Telkomsel, 2007

25000
20858

Jumlah BTS

20000

16057

15000
9895
10000

6205

5000

0
2004

2005

2006

2007

Tahun

Sumber: Laporan Tahunan Telkomsel.


Grafik 4.3 Jumlah BTS Telkomsel

4.3.2.

PT. Indosat, Tbk.


Indosat merupakan operator seluler dengan jumlah pelanggan

terbesar kedua setelah Telkomsel. Sejak didirikan pada tahun 1967, Indosat
merupakan perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) di bidang
penyelenggaraan jasa telekomunikasi internasional di Indonesia. Pada tahun
1980, pemerintah Indonesia mengambil alih seluruh saham Indosat, sehingga
sejak saat itu Indosat beroperasi sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Pada tahun 1993, Indosat mulai mengembangkan bisnis di sektor jasa telepon
seluler GSM melalui kepemilikan di PT Satelit Palapa Indonesia (Satelindo).
Dengan pendirian Satelindo sebagai anak perusahaan Indosat, maka Indosat

40

menjadi operator GSM pertama di Indonesia yang mengeluarkan kartu


prabayar Mentari dan pascabayar Matrix.
Jumlah Pelanggan
Indosat merupakan operator seluler Indonesia yang menduduki posisi kedua
dari segi jumlah pelanggan. Jumlah pelanggan seluler Indosat selalu
mengalami peningkatan setiap tahun. Pada tahun 2004, jumlah pelanggan
Indosat mencapai 9,7 juta pelanggan terus meningkat menjadi 24,5 juta
sampai dengan akhir tahun 2007 (Grafik 4.4). Sedangkan pertumbuhan
jumlah pelanggan antara tahun 2004 2005 sebesar 49%, pertumbuhan
menurun pada masa tahun 2005 2006 dengan pertumbuhan pelanggan hanya
15% dan kembali meningkat sebesar 47% pada masa tahun 2006 2007.
Jumlah Pelanggan Indosat, 2007
24544

Jumlah Pelanggan (dalam ribuan)

25000

20000

16703
14512

15000
9755
10000

5000

0
2004

2005

2006

2007

Tahun

Sumber: Laporan Tahunan Indosat.


Grafik 4.4 Jumlah Pelanggan Seluler Indosat

41

Pendapatan
Bisnis telekomunikasi seluler merupakan sumber pendapatan terbesar bagi PT
Indosat, sumber pendapatan yang memberikan kontribusi terbesar dalam
bisnis telekomunikasi Indosat adalah pendapatan pemakaian (usage charge).
Pada tahun 2005, proporsi pendapatan dari usage charge terhadap total
pendapatan adalah 55%, menurun sedikit dari tahun sebelumnya. Sebaliknya,
proporsi pendapatan dari Value Added Features terhadap total pendapatan
justru naik cukup tinggi. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan penggunaan
fitur nilai tambah, khususnya SMS, dan SMS nilai tambah yang
memungkinkan akses terhadap berbagai informasi, seperti: ramalan bintang
serta berita olahraga dan bisnis. Belum lagi perusahaan juga mengembangkan
fitur nilai tambah lainnya bagi pelanggan, seperti voice mail, GPRS, dan
MMS.

Sumber: Laporan Tahunan Indosat.


Grafik 4.5 Operating Revenues Indosat

42

Grafik 4.5 menunjukan pendapatan usaha Indosat meningkat dari tahun 2003
sampai dengan 2007, tetapi pertumbuhan pendapatan terbesar terjadi antara
tahun 2006 ke 2007 dimana meningkat sejumlah Rp. 4,3 triliun.
Jangkauan Area
Selama tahun 2005, Indosat telah berhasil memperluas pelayanan jasa
telekomunikasi seluler sehingga mampu menjangkau seluruh di Indonesia dan
mencakup 410 kabupaten. Selain itu, Indosat juga melakukan langkah
akselerasi dengan membangun jaringan secara berkelanjutan sehingga berhasil
meningkatkan jumlah BTS menjadi 5.702 atau meningkat 25 % dibandingkan
tahun 2004. Dan jumlah BTS Indosat pada akhir tahun 2007 mencapai 10.760
unit atas suksesnya Indosat dalam pembangunan 3.539 BTS dari tahun 2006
(Grafik 4.6). Jangkauan area Indosat terbagi atas 5 wilayah, yaitu Sumatera,
Jakarta dan Banten, Jawa Tengah dan Barat, Jawa Timur dan Kalimantan,
serta Bali Nusra dan Sumalpapua.

43

Jumlah BTS Indosat

10760

12000
10000

Jumlah BTS

7221
8000
5702
6000

4565

4000
2000
0
2004

2005

2006

2007

Tahun

Sumber: Laporan Tahunan Indosat.


Grafik 4.6 Jumlah BTS Indosat

4.3.3.

PT. Excelcomindo Pratama, Tbk.


PT Excelcomindo Pratama (XL) didirikan pada tanggal 6 Oktober

1989 dengan anam PT Grahametropolitan Lestari, bergerak di bidang


perdagangan dan jasa umum. Pada tahun 1995, seiring dengan kerjasama
antara Rajawali Group pemegang saham, PT Grahametropolitan Lestari
dengan

beberapa

investor

asing

(Nynex,

AIF

dan

Mitsui),

PT

Grahametropolitan Lestari mengubah nama menjadi PT Excelcomindo


Pratama dengan kegiatan usaha sebagai penyelenggara jasa teleponi dasar.
Sebagai perusahaan ketiga yang mendapat lisensi untuk mengoperasikan
sistem seluler GSM di Indonesia, XL mulai beroperasi secara komersial pada

44

tanggal 8 Oktober 1996 dengan menyediakan layanan teleponi dasar dengan


menggunakan teknologi GSM 900. Dalam perkembangannya, XL memiliki
Izin Penyelenggaraan Jaringan Bergerak Seluler untuk sistem GSM 900 dan
GSM 1800 serta izin Penyelenggaraan Jaringan Tetap Tertutup. XL juga
memiliki Izin Penyelenggaraan Jasa Internet (ISP) dan Izin Penyelenggaraan
Jasa Internet Teleponi untuk Keperluan Publik (VoIP).
Jumlah Pelanggan
Setiap tahunnya, XL juga mengalami pertumbuhan jumlah pelanggan, tetapi
tahun 2007 merupakan tahun pertumbuhan tertinggi dibandingkan dengan
tahun-tahun sebelumnya, dimana jumlah pelanggan XL meningkat sebesar
62% menjadi 15,5 juta pelanggan di tahun 2007 dari 9,6 juta pelanggan di
tahun 2006 (Grafik 4.7). Tahun 2004 2005 merupakan pertumbuhan
pelanggan tersbesar bagi XL dengan 84%, tetapi menurun pertumbuhannya
menjadi 37% pada tahun 2005 2006 dan kembali mengalami peningkatan
pada masa tahun 2006 2007 dengan jumlah pertumbuhan 61%. Peningkatan
pertumbuhan ini adalah hasil dari pelanggan baru yang menggunakan produk
XL.

45

Jumlah Pelanggan XL, 2007


15469

Jumlah Pelanggan (dalam ribuan)

16000
14000
12000
9582
10000
6978

8000
6000

3791

4000
2000
0
2004

2005

2006

2007

Tahun

Sumber: Laporan Tahunan XL.


Grafik 4.7 Jumlah Pelanggan Seluler XL
Pendapatan
Kontribusi pendapatan dari layanan yang diberikan kepada pelanggannya,
sebagian besar diterima dari layanan voice. Tetapi selama tahun 2004, tingkat
pertumbuhan pendapatan yang paling tinggi berasal dari jenis layanan SMS
dan setiap tahunnya pendapatan usaha XL terus meningkat hingga tahun 2007
yang pada saat itu pendapatan meningkat sebesar 29% dengan nilai 8,3 triliun
Rupiah (Grafik 4.8) dan voice traffic meningkat karena perubahan strategi
tarif untuk mendapat pelanggan baru dan mempertahankan pelanggan lama.

46

Pendapatan Usaha XL
8365
9000
Jumlah (dalam miliar Rupiah)

8000
6466
7000
6000
4302

5000
4000

3323

3000
2000
1000
0
2004

2005

2006

2007

Tahun

Sumber: Laporan Tahunan XL.


Grafik 4.8 Pendapatan Usaha XL

Jangkauan Area
Pada awalnya, XL memfokuskan perhatian pada pembangunan infrastruktur
dan cakupan jaringan di are Pulau Jawa, Bali, dan Lombok. Sejak tahun 2002,
XL mulai memperluas jaringannya ke Pulau Kalimantan, Sumatera, Sulawesi,
dan Batam. Jangkauan area XL semakin luas dapat dilihat dari peningkatan
jumlah BTS di Indonesia dari 2.357 unit pada tahun 2004 sampai dengan
tahun 2007 meningkat menjadi 11.157 unit (Grafik 4.9).

47

Jumlah BTS XL, 2007

11157

12000

Jumlah BTS

10000
7260

8000
6000

4324

4000

2357

2000
0
2004

2005

2006

2007

Tahun

Sumber: Laporan Tahunan XL.


Grafik 4.9 Jumlah BTS XL

4.3.4.

PT. Hutchison CP Telecommunicatons


Hutchinson

CP

Telecommunications

(HCPT)

Indonesia

merupakan anak perusahaan yang berbasis di Hongkong yaitu Hutchinson


Telecommunications
Telecommunications

International
Indonesia

dulu

Limited.
bernama

Hutchinson
PT

Cyber

CP
Access

Communication, dimana telah mendapat lisensi 3G sejak Oktober 2003, tetapi


pada saat itu belum menjadi operator seluler. Perusahaan ini adalah pemegang
2G/1800 Nasional dan lisensi 3G/WCDMA Mhz yang pada saat ini sudah
beroperasi secara komersial dengan merek dagang Three (3) yang diluncurkan
pada tanggal 30 Maret 2007.

48

Jumlah Pelanggan
Operasi HCPT di Indonesia diluncurkan pada semester pertama tahun 2007
dibawah merek dagang 3, sehingga jumlah pelanggan pada kuartal I dan
kuartal II tahun 2007 belum dapat dilihat perkembangan jumlahnya, sejak
kuartal III tahun 2007 terdapat 1,6 juta pelanggan yang terus meningkat
menjadi 2 juta pelanggan di akhir kuartal IV tahun 2007 (Grafik 4.10).
Jumlah Pelanggan 3, 2007

Jumlah Pelanggan (dalam ribuan)

2500
2039
2000

1627

1500

1000

500
0

0
Q1 2007

Q2 2007

Q3 2007

Q4 2007

Tahun

Sumber: Laporan Tahunan Hutchison Telecom.


Grafik 4.10 Jumlah Pelanggan Seluler 3

Jangkauan Area
Selama tahun 2007, jangkauan jaringan terus diperluas dengan cakupan Jawa,
Bali, Lombok dan Batam serta pada bula Oktober wilayah Sumatera
diluncurkan, memperluas jangkauan ke seluruh kota-kota besar. Pada

49

Desember 2007, dalam rangka untuk mempercepat perluasan jaringan,


diumumkan bahwa HCPT Indonesia menyewa menara BTS dari PT.
Excelcomindo Pratama Tbk. dengan sistem tower sharing. HCPT Indonesia
juga menandatangani kontrak dengan Nokia Siemens Network untuk 2.800
unit BTS dan kontrak turnkey dengan ZTE untuk membangun jaringan di
kepulauan Kalimantan dan Sulawesi. Melalui langkah ini HCPT Indonesia
menargetkan untuk memiliki 6.000 unit BTS pada akhir 2008.

Sumber: www.three.co.id.
Gambar 4.2 Coverage Jaringan 3 di Indonesia

4.3.5.

PT. Natrindo Telepon Seluler


PT Natrindo Telepon Seluler (NTS) merupakan pemegang merek

kartu AXIS sebagai penyedia layanan seluler GSM di Indonesia yang


menawarkan layanan komunikasi yang inovatif dan ekonomis. NTS dulu

50

bernama Lippo Telecom yang fokus awal operasi pada tahun 2001 di wilayah
Jawa Timur. NTS di dukung oleh dua operator terkemuka di Asia yaitu Saudi
Telecom Company (STC), penyedia layanan telekomunikasi nasional
terdepan di Kerajaan Arab Saudi. Dan Maxis Communication Berhad (Maxis)
penyedia layanan telekomunikasi terbesar di Malaysia. Kedua investor utama
tersebut bertekad memberikan kontribusi penuh bagi pengembangan industri
telekomunikasi di Indonesia.
Jumlah Pelanggan
Jumlah Pelanggan NTS, 2007

12715

14000

12150

Jumlah Pelanggan

12000
10000
8000
6000
4000
2000

0
2004

2005

2006

2007

Tahun

Sumber: Laporan Tahunan NTS.


Grafik 4.11 Jumlah Pelanggan Seluler NTS

Berdasarkan Grafik 4.11 diatas terlihat operasional NTS dimulai tahun 2006
dengan jumlah pelanggan seluler sebesar 12.715 tetapi karena NTS

51

kekurangan dana untuk investasi sehingga minimnya pembangunan dan


perluasan jangkauan membuat NTS mengalami penurunan jumlah pelanggan
menjadi 12.150 di akhir tahun 2007.

4.4. Analisis
4.4.1.

Analisis Lingkungan Makro


1. Faktor Politik (Political Factors)
Pada tahun 2004 dimulainya Orde Reformasi dimana Indonesia
mulai menerapkan pemilihan presiden periode 2004-2009
secara langsung oleh rakyat, yang menghasilkan terpilihnya
Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden RI. Secara
politis, kondisi Indonesia memasuki Orde Reformasi semakin
baik, seluruh rakyat Indonesia mendapatkan haknya untuk
memilih dan dipilih dengan bebas tanpa tekanan dari siapapun
serta dijamin keamanannya di masa reformasi ini. Partai politik
tumbuh subur, tercatat sebanyak 42 partai politik peserta
pemilu tahun 2004, yang kemudian bertambah lagi dari tahun
ke tahun. Setiap warga negara bebas berbicara dan
menyampaikan pendapatnya baik melalui media massa
maupun aksi aksi demonstrasi dengan dibingkai aturan
hukum yang berlaku. Semua itu tidak didapat di rezim Orde
Baru. Proses otonomi daerah (desentralisasi kekuasaan) sejak

52

diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999


tentang Pemerintahan Daerah, sudah dilaksanakan dengan
proses pemilihan kepala daerah melalui PILKADA, praktek
nepotisme sedikit demi sedikit berkurang sehingga aktor
ekonominya berusaha secara kompetitif. Jadi periode Orde
Reformasi lebih kuat transaksi informasi alokasi sumber daya
diserahkan pada pasar, aktor ekonominya kompetitif (berusaha
menghapuskan

nepotisme),

desentralisasi,

internasionalis,

melalui insentif ekonomi. Dalam penerapan demokrasi yang


sesungguhnya ini ternyata memakan biaya yang sangat mahal
sehingga dana pembangunan banyak teralokasikan untuk
pembiayaan pesta demokrasi tersebut sehingga mempengaruhi
ekonomi Indonesia.
2. Faktor Ekonomi (Economic Factors)
Pada tahun 2004 penerapan sistem pemerintahan yang lebih
demokratis membuat perekonomian Indonesia sedikit goyang
dikarenakan dana pembangunan banyak teralokasikan untuk
pembiayaan pesta demokrasi tersebut, mulai dari PILPRES
secara langsung, hingga ke berbagai Pemilihan Kepala Daerah
(PILKADA) di wilayah Indonesia. Tetapi setelah dua tahun
kondisi ekonomi Indonesia mulai membaik, hal ini terlihat dari
pertumbuhan PDB di Indonesia meningkat setiap tahunnya dari
tahun 2003 sampai dengan 2005, sedangkan pada tahun 2006

53

pertumbuhan PDB Indonesia menurun dari 5,7% menjadi 5,5%


dan meningkat lagi menjadi 6,3% di tahun 2007 (Tabel 4.1),
hal ini menunjukan peningkatan kinerja perekonomian
Indonesia

selama

tahun

2007

sehingga

mempengaruhi

peningkatan akan daya beli masyarakat indonesia.


Tabel 4.1 Beberapa Indikator Makroekonomi

Sumber: BPS dan Bank Indonesia.

54

Stabilitas makroekonomi yang terjaga menopang


tingginya pertumbuhan ekonomi pada tahun 2007. Akselerasi
pertumbuhan ekonomi tersebut terutama didukung oleh
tingginya pertumbuhan permintaan domestik, baik konsumsi
masyarakat maupun investasi. Pertumbuhan ekonomi yang
pesat telah mendorong permintaan yang tinggi akan layanan
telekomunikasi. Industri telekomunikasi akan terus tumbuh
sejalan

dengan

diharapkan

pertumbuhan

akan

ekonomi

meningkatkan

Indonesia

permintaan

yang

layanan

telekomunikasi.
3. Faktor Sosial (Sociocultural Factors)
Masyarakat semakin menuntut mobilitas dan fleksibilitas dari
alat komunikasinya, telepon rumah tidak lagi dapat memenuhi
kebutuhan tersebut dan telepon seluler yang sebelumnya
merupakan barang mewah, sehingga hanya kelompok tertentu
yang bisa memilikinya, sekarang dengan mudah dan relatif
lebih

murah

untuk

mendapatkannya.

Dengan

adanya

perubahan terhadap gaya hidup migrasi ke arah seluler dan


pilihan produk mobile lainnya. Permintaan akan layanan
seluler terus meningkat seiring dengan jumlah populasi
Indonesia yang terus meningkat dari tahun 2003 sampai
dengan tahun 2007 (Tabel 4.2). Semua lapisan masyarakat

55

Indonesia mulai dari lapisan menengah keatas hingga sebagian


lapisan menengah ke bawah memiliki akses untuk dapat
menggunakan

sarana

telekomunikasi

khususnya

seluler

sehingga peluang bisnis industri telekomunikasi seluler masih


besar sejalan dengan perkembangannya.

Tabel 4.2 Jumlah Populasi Indonesia


Tahun

Populasi

2003

220,355,000

2004

223,225,000

2005

226,063,000

2006

228,864,000

2007

231,627,000

Sumber: Euromonitor International from UN. (diolah)

4. Faktor Teknologi (Technological Factors)


Teknologi merupakan faktor penting dan key success factor
dalam industri telekomunikasi seluler GSM. Peramalan
teknologi yang terencana memnungkinkan perusahaan untuk
memimpin persaingan dan mendapatkan pangsa pasar yang
besar. Pada periode tahun 2004-2007 Indonesia termasuk
lambat dalam mengembangkan teknologi yang ada, khususnya
di bidang telekomunikasi dan infrastruktur. Hal ini dapat
dilihat dari peringkat Indonesia dalam Global Competitiveness

56

Index (GCI) di dunia masih menduduki peringkat diatas 49


(Tabel 4.3).

Tabel 4.3 Peringkat Indonesia dalam GCI

Sumber: WEF (2005, 2006, 2007)

Teknologi

dan

Infrastruktur

adalah

faktor

sangat

mempengaruhi pertumbuhan bisnis (Grafik 4.12), apabila


perkembangan dari teknologi dan infrastruktur di Indonesia
lamban maka daya saing global (Global Competitiveness)
Indonesia rendah.

57

Sumber: WEF (2005, 2006, 2007)


Grafik 4.12 Faktor-Faktor yang menghambat Pertumbuhan
Bisnis di Indonesia dalam Laporan Global Competitiveness
Tahun 2006-2007

Hal

diatas

diperkuat

lagi

dengan

tidak

memadainya

ketersediaan atau terbatasnya energi dan pasokan listrik di


seluruh Indonesia sampai pada saat ini untuk mendukung
teknologi

telekomunikasi

dikembangkan.

seluler

yang

akan

terus

58

5. Faktor Lingkungan (Ecological Factors)


Dunia bisnis semakin dituntut tanggung-jawabnya terhadap
lingkungan. Industri telekomunikasi telah mencoba membuat
produk yang ramah lingkungan, dan bagi jasa telekomunikasi
relatif tidak menghasilkan limbah. Tetapi pembangunan
infrastruktur

telekomunikasi

seluler

seperti

menara

telekomunikasi akan menimbulkan kontroversi dari masyarakat


dan

pemerintah

telekomunikasi

sendiri.
akan

Masyarakat

sekitar

mempermasalahkan

menara

radiasi

yang

dihasilkan dari sinyal frekuensi menara tersebut, sedangkan


pemerintah akan melihat dari sisi tata letak pembangunan
menara yang harus sesuai rencana tiap-tiap daerah agar tidak
merusak keindahan kota. Selain dari hal diatas, letak geografis
dari Indonesia juga menjadi faktor penghambat perkembangan
industri telekomunikasi karena wilayah Indonesia rentan akan
terjadinya bencana alam yang tidak terduga sehingga dapat
menimbulkan ganguguan serius terhadap sinyal atau jaringan
dan

memberi

dampak

kerugian

kepada

operator

telekomunikasi.
6. Faktor Hukum dan Regulasi (Law and Regulation Factors)
Pemerintah merupakan regulator yang membuat, menerapkan
dan

menegakkan

perkembangan

peraturan

telekomunikasi.

yang
Sejak

relevan

terhadap

diberlakukannya

59

Undang-undang No. 36/1999 mengenai telekomunikasi dan


regulasi pemerintah tahun 2002 yang mengijinkan operator
seluler luar negeri memasuki pasar Indonesia, sejak saat itulah
industri

telekomunikasi

liberalisasi

Indonesia

telekomunikasi,

masuk

dimana

pada

dulu

babak
industri

telekomunikasi seluler GSM hanya di monopoli oleh Indosat


berubah menjadi duopoli anatar Indosat dan Telkomsel yang
pada akhirnya sampai dengan tahun 2007 sudah terdapat 5
pemain dalam industri ini karena adanya investor dari luar
negeri. Dengan semakin berkembangnya telekomunikasi
seluler di sepanjang tahun 2004-2007 maka semakin
meningkat pula permohonan dari operator lama maupun
operator baru untuk menambah menara telekomunikasi, tetapi
di sisi lain, pemerintah sendiri menginginkan pembangunan
sesuai dengan estetika tata kota. Peraturan dibuat pemerintah
agar tidak terjadi hutan tower, khususnya di DKI Jakarta
dikeluarkan

Peraturan

Gubernur

No.

89/2006

dimana

menetapkan peraturan menara telekomunikasi bersama, yaitu


menara telekomunikasi yang dapat digunakan oleh lebih dari
satu operator dan dalam penempatan lokasi pembangunan
menara telekomunikasi harus sesuai dengan zona-zona
persebaran dari rencana tata ruang kota yang tersedia. Regulasi

60

dan peraturan ini menghambat perkembangan infrastruktur dari


industri telekomunikasi seluler di Indonesia.

4.4.2.

Analisis Strategi Generik


1. Diferensiasi
Strategi diferensiasi ini telah dilakukan Telkomsel sejak awal
berdiri hingga sekarang, sehingga pada masa persaingan
industri telekomunikasi tahun 2004 2007 Telkomsel dapat
bersaing dengan kompetitor lain karena mereka memiliki
diferensiasi melalui luasnya coverage yang mereka tawarkan
kepada pelanggan yang diikuti oleh kualitas yang lebih baik
dari kompetitor sehingga mengurangi kepekaan akan harga
karena Telkomsel berada di kelas premium. Diferensiasi
kapasitas atau coverage Telkomsel ini dapat terus dilakukan
karena memiliki dana investasi yang kuat dan terlihat dari
operating expenses mereka dari tahun 2003 sampai dengan
2007 mengeluarkan dana tambahan sebesar 2 triliun Rupiah
per tahunnya bahkan lebih pada tahun 2006 dan 2007 (Grafik
4.13). Hal ini menunjukan bagaimana Telkomsel berani untuk
mengalokasikan dana untuk investasi guna meningkatkan
jangkauan coverage yang dapat menjangkau pelosok-pelosok

61

daerah di seluruh Indonesia sehingga banyak pelanggan


menggunakan produk Telkomsel.
Operating Expenses Telkomsel
16971

Jumlah (dalam miliar Rupiah)

18000
16000
12836

14000
12000
8772

10000
6744

8000
6000

4800

4000
2000
0
2003

2004

2005

2006

2007

Tahun

Sumber: Laporan Tahunan Telkomsel.


Grafik 4.13 Operating Expenses Telkomsel

Selain dari keunggulan coverage, Telkomsel juga merupakan


operator yang inovatif dengan banyak melakukan inovasi
dalam fitur VAS (Value Added Service) seperti Telkomsel
Football, Telkomsel Pelindung Dataku, Telkomsel Youve
Got Mail di tahun 2007, VAS

ini juga yang membuat

pelanggan lain beralih ke produk Telkomsel dan menjaga


loyalitas dari pelanggan Telkomsel sebelumnya akan fitur-fitur
baru yang ditawarkan.

62

2. Keunggulan Biaya Menyeluruh


Strategi Keunggulan biaya menyeluruh (Cost Leadership)
dalam industri telekomunikasi seluler di Indonesia dilakukan
oleh Bakrie Telecom dengan produknya Esia dengan teknologi
CDMA yang sangat gencar dengan iklan menelpon hanya
membayar Rp. 1000/jam sesama Esia. Hal ini yang
menyebabkan operator dari industri telekomunikasi seluler
GSM harus mengganti strategi mereka agar dapat bersaing dan
tidak kehilangan pelanggan. Sehingga pada tahun 2007, XL
merupakan pelopor operator seluler GSM yang berani untuk
melakukan price innovation dengan penurunan harga dan
penerapan iklan tarif Rp. 1/detik kepada pelanggan, tetapi XL
tetap mendapatkan pendapatan usaha sebesar Rp. 10/detik
selama 2 menit pertama (Grafik 4.14).

Sumber: Data Internal XL.


Grafik 4.14 Price Innovation XL

63

Dengan diberlakukannya price innovation tersebut diatas untuk


produk

XL

menyebabkan

adanya

peningkatan

jumlah

pelanggan dari tahun 2006 ke 2007 yang menyebabkan


EBITDA XL meningkat dari 2,5 triliun Rupiah menjadi 3,5
triliun Rupiah (Grafik 4.15) dengan Marjin EBITDA 39%
menjadi 42%.
EBITDA XL

3509

Ju m lah (d alam m iliar R u p iah )

4000
3500
2554

3000
2500
2000

1626

1735

1500
1000
500
0
2004

2005

2006

2007

Tahun

Sumber: Laporan Tahunan XL.


Grafik 4.15 EBITDA XL

3. Fokus
Dalam strategi fokus ini dibangun untuk memenuhi target
tertentu secara baik, dimana dilakukan oleh PT. Indosat Tbk
menerapkan untuk produk IM3 mereka dengan memusatkan
dan mentargetkan kepada segmen anak muda (usia 14 25

64

tahun) dengan harga murah sejak dari awal IM3 diluncurkan


pada tahun 2001 dengan trend, fitur GPRS, dan VAS. Tetapi
dengan

strategi

fokus

dari

Indosat

ini

yang

hanya

mengandalkan segmen anak muda mengalami keterbatasan


dalam pencapaian bagian pasar secara keseluruhan. Karena hal
tersebut tahun 2005 Indosat terus melakukan pembangunan
infrastruktur telekomunikasi untuk meningkatkan coverage
agar strategi fokus kepada anak muda mereka didukung dengan
jangkauan kualitas layanan seluler sehingga dapat bertahan
dalam persaingan industri telekomunikasi seluler GSM tetapi
berada dalam posisi terjepit di tengah-tengah, sehingga
seakan-akan perkembangan Indosat seperti jalan di tempat.
Berdasarkan analisa dan pembahasan diatas dapat tarik
kesimpulan

strategi

generik

besar

operator

dalam

menghadapi persaingan di industri telekomunikasi seluler


GSM terlihat dalam Gambar 4.3 berikut:

65

(KEUNGGULAN STRATEGIS)
Kekhasan yang

Posisi Biaya Rendah

Dirasakan pelanggan

DIFERENSIASI

KEUNGGULAN
BIAYA
MENYELURUH

Seluruh industri

(TINGKAT
STRATEGIS)
Hanya
Segmen tertentu

FOKUS
Gambar 4.3 Strategi Generik Operator

4.4.3.

Analisis Business Model


Sejak awal perkembangan industri telekomunikasi seluler GSM di

Indonesia setiap operator memiliki business model masing-masing untuk


dapat menghadapi persaingan yang ketat dan mendapatkan pangsa pasar yang
besar. Di Indonesia untuk industri telekomunikasi seluler memiliki 4 jenis
business model, yaitu :
1. Coverage Driven
2. Price Driven
3. Service Quality Driven
4. Value Added Services Driven

66

Sumber: Data Internal XL.


Gambar 4.4 Stages of Cellular Market Development

Berdasarkan hasil wawancara dengan Direktur Utama XL, Bapak


Hasnul Suhaimi, dapat dianalisa Telkomsel yang sejak didirikan tahun 1995
hingga sekarang, mereka selalu menerapkan business model coverage driven,
dimana strategi awal yang terpenting dalam industri ini adalah luasnya
jangkauan akan layanan seluler mereka sehingga kualitas mereka terjaga.
Telkomsel tidak seperti mencari pelanggan karena mereka terus membangun
infrastruktur BTS pada daerah yang memiliki penduduk bahkan daerah yang
belum memiliki penduduk Telkomsel tetap melakukan pembangunan untuk
meningkatkan jangkauan. Pertumbuhan infrastruktur BTS Telkomsel setiap
tahunnya sangat signifikan, setiap tahunnya penambahan BTS rata-rata antara
2.000 4.000 unit di seluruh Indonesia (Grafik 4.16). Hal ini menunjukan

67

bagaimana Telkomsel berdiferensiasi dalam hal coverage untuk menambah


kapasitas yang lebih besar hingga ke daerah daerah sehingga pelanggan baru
akan menggunakan produk Telkomsel dan mempertahankan pelanggan lama.
Jumlah BTS Telkomsel
25000
20858
20000

Jumlah

16057
15000
9895
10000
5000
1411

1995

2000

2001

3483

4820

6205

0
2002

2003

2004

2005

2006

2007

Tahun

Sumber: Laporan Tahunan Telkomsel.


Grafik 4.16 Jumlah BTS Telkomsel Tahun 2000-2007

Indosat yang sejak tahun 1994 dengan Satelindo menawarkan


harga murah dibawah harga Telkomsel dengan penerapan business model
price driven, dimana harga adalah yang paling penting untuk mendapatkan
pelanggan. Dan IM3 yang hadir pada tahun 2001 juga menawarkan produknya
dengan harga murah, dimana pada tahun 2004 Satelindo dan IM3 bergabung
menjadi Indosat hadir dengan 2 produk, yaitu Mentari untuk target pasar
keluarga dan IM3 untuk target pasar anak muda yang keduanya menawarkan
dengan harga murah, tetapi tahun 2004-2005, sesuai dengan pernyataan Bapak

68

Hasnul Suhaimi yang pada itu menjadi Direktur Utama Indosat menyatakan
Indosat

lambat

dalam

pembangunan

jangkauan/coverage

sehingga

pertumbuhan pendapatan mereka menurun dari tahun 2004 s/d 2006, dimana
sesuai dengan Grafik 4.17 terlihat pertumbuhan pendapatan terbesar terjadi
hanya antara tahun 2006 dan 2007, karena Indosat sudah sadar akan
pentingnya coverage dalam industri ini.
Pendapatan Usaha Indosat

18000

16488

16000
14000

12239
11589
10430

Jumlah

12000
10000

8299

8000
6000
4000
2000
0
2003

2004

2005

2006

2007

Tahun

Sumber: Laporan Tahunan Indosat.


Grafik 4.17 Pendapatan Usaha Indosat

Sedangkan XL yang sejak muncul sebagai operator ke-3 pada


tahun 1996 menerapkan business model service quality driven, dimana
kualitas dari layanan seluler harus baik, baik dari segi sinyal, suara, fitur,
maupun pelayanan dalam hal ini customer service XL. Tetapi XL sendiri

69

kurang tanggap dalam hal penerapan service quality driven karena dari tahun
1996 2004 XL hanya memiliki jumlah BTS sebanyak 240 unit, dengan
jumlah BTS yang sedikit itu sulit untuk mendapatkan kualitas yang baik.
Kemudian tahun 2005 setelah mendapatkan suntikan dana dari Telekom
Malaysia, XL mulai menyadari bahwa coverage itu meupakan strategi penting
untuk mendapatkan kualitas yang baik sehingga sejak tahun 2005 XL selalu
menambah jumlah BTS mereka lebih dari 2500 unit BTS per tahunnya hingga
tahun 2007. Keterlambatan Indosat dan XL dalam mengembangkan coverage
di Indonesia dibandingkan dengan Telkomsel yang telah melaksanakan
pembangunan coverage dan kapasitas secara total sejak mulai beroperasi
membuat Telkomsel menguasai pangsa pasar operator seluler GSM di
Indonesia hingga tahun 2007 (Gambar 4.4).
Pangsa Pasar Operator Seluler GSM Indonesia, 2007

15%

2%
Telkomsel
Indosat
XL

28%

55%

Lainnya

Sumber: Laporan Tahunan Operator.


Gambar 4.5 Pangsa Pasar Operator Seluler GSM Indonesia Tahun 2007

70

Bedasarkan analisa penulis dan teori business model yang


menggabungkan enam elemen (Fleisher dan Bensoussan, 2007), Telkomsel
memiliki value preposition dalam penyesuaian kebutuhan pelanggan yaitu
dengan memberikan layanan jangkauan yang luas kepada pelanggan dengan
coverage hampir mencakup seluruh Indonesia (value network) sehingga
menghasilakn kualitas servis yang bagus serta Telkomsel memberikan inovasi
value added services atau fitur-fitur baru kepada pelanggan pada tahun 2007.
Telkomsel sendiri memiliki market segment khusus yaitu bagi masyarakat
kelas premium untuk mendapatkan keuntungan yang sangat besar dan
potensial (revenue models) dengan produk Simpati karena jangkauan mereka
yang luas untuk memperkuat kualitas servis mereka kepada pelanggan. Serta
produk Kartu As Telkomsel ingin menjangkau market segment masyarakat
menengah kebawah dengan harga murah dan bonus-bonus yang diberikan.
Sedangkan Indosat yang sejak awal selalu muncul dengan harga murah
dengan market segment untuk anak muda dan keluarga dengan value
preposition dalam fitur-fitur baru dan nilai tambah servis yang sesuai untuk
segmen anak muda. Dan XL yang melakukan price innovation pada tahun
2007 dengan penerapan value chain and cost models sehingga mampu
menghasilkan keuntungan bagi perusahaan yang potensial (revenue models)
dan sejak tahun 2005 XL terus melakukan pengembangan jaringan dan
kapasitas dengan penambahan jumlah BTS (value network).

Anda mungkin juga menyukai