Desa Prendengan Kabupaten Banjarnegara termasuk kedalam pegunungan Serayu Utara, yang sebagian daerah ini ditutupi oleh endapan gunungapi Kuarter produk dari gunungapi Rogojembangan (Bemmelen, 1949). Desa Prendengan diklasifikasikan kedalam dua satuan morfologi yaitu daerah yang memiliki perbukitan vulkanik yang curam hingga sangat curam dan perbukitan struktural bergelombang (Akbar, 2015). Perbukitan vulkanik curam terdiri atas morfologi perbukitan terjal berada pada dua perbukitan terpisah yang dibatasi oleh satuan lain dengan relief rendah. Perbukitan ini memiliki elevasi yang berkisar antara 800 mdpl sampai pada puncak tertingginya yaitu 1225 mdpl dengan tebing-tebing yang cukup curam merupakan karakteristik dari satuan tersebut. Persen lereng pada perbukitan ini rata-rata adalah 64,2% dikategorikan sebagai kelerengan curam, sedangkan satuan morfologi perbukitan struktural bergelombang merupakan satuan dengan morfologi berupa perbukitan dengan relif hampir datar dan bergelombang yang kisaran ketinggian yang terdapat pada satuan perbukitan struktural ini antara 475 mdpl hingga 750 mdpl dengan persen lereng rata-rata 27,2 % dikategori sebagai kelerengan curam pada daerah tinggian (Van Zuidam,1985). Struktur perbukitan ini dapat memicu adanya gerakan tanah longsor (landslide), tanah longsor merupakan suatu pergerakan massa batuan, tanah atau material penyusun lereng yang bergerak ke arah bawah (Varnes, 1978). Potensi kejadian longsoran di kawasan perbukitan Desa Prendengan yang merupakan daerah yang rawan longsor dengan intensitas sedang sampai tinggi memungkinkan terjadi longsoran dari tahun ke tahun (Kuswaji, 2006). Di tahun 2012 telah terjadi bencana tanah longsor yang menyebabkan tanaman-tanaman warga tetimbun material longsoran, selain itu longsoran tanah juga mengancam pemukiman warga dan memutus jalan utama yang menghubungkan antar
kecamatan yaitu Kecamatan Banjarmangu dan Kecamatan Karangkobar (BNPB,
2014). Penyebab terjadinya gerakan tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu, bidang gelincir (Sugito, 2010), intensitas curah hujan yang tinggi (Hardiyatmo, 2006) dan pelapukan batuan (Muntohar, 2009). Penyelidikan tanah longsor umumnya dilakukan menggunakan metode antara lain, pengambilan contoh tanah, uji SPT (Standard Penetration Test), uji sondir (Dutch Cone Penetration Test) (Wesley, 2012). Selain itu, metode-metode geofisika juga digunakan dalam menyelidiki bidang gelincir antara lain, GPR (Ground Penetrating Radar) (Blakely, 1996; Deniyatno, 2011), seismik refraksi (Adnyawati, 2012; Refrizon, 2009; Priyantari, 2009; Supryadi, 2004) dan geolistrik tahanan jenis (Sugito, 2010). Akbar (2015) telah melakukan penelitian di Desa Prendengan dengan menggunakan metode geolistrik tahanan jenis konfigurasi Schlumberger 1D untuk melihat struktur bawah permukaan dan zona bidang gelincir tanah longsor. Dari hasil penelitiannya, Akbar (2015) menyatakan bahwa yang menunjukkan bidang gelincir, merupakan material batuan dengan tingkat pelapukan sedang dan perlapisan batuan bawah permukaan didominasi oleh litologi breksi. Metode geolistrik ini digunakan karena bersifat tidak merusak lingkungan, biaya lebih murah dan mampu mendeteksi perlapisan tanah sampai kedalaman beberapa meter di bawah permukaan tanah (Sugito, 2010). Metode geolistrik tahanan jenis merupakan metode geofisika yang memanfaatkan sifat tahanan jenis bumi untuk menyelidiki keadaan di bawah permukaan tanah dan bidang gelincir (Suhendra, 2005). Pentingnya menentukan bidang gelincir karena bidang tersebut merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya tanah longsor. Selain itu, pentingnya melakukan karakteristik tanah di zona pelapukan berdasarkan kadar air pada batas plastis dan batas cair untuk mengetahui sifat keplastisan dan kekuatan tanah (Surono, 2002). Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, maka pada penelitian ini akan dilakukan identifikasi bidang gelincir tanah longsor dengan metode geolistrik 1D,
2D dan menganalisis sifat fisis batuan di Desa Prendengan Kabupaten
Banjarnegara sebagai upaya awal mitigasi bencana alam.