Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN
Infeksi virus dengue memiliki manifestasi klinis yang luas. Infeksi virus dengue
secara garis besar terbagi menjadi 2 yaitu asimtomatik dan simtomatik. Infeksi virus
dengue yang simtomatik kemudian dapat dikelompokkan lagi menjadi 3 spektrum klinis
yaitu undifferentiated fever, dengue fever/demam dengue (DD) dan dengue
haemorrhagic fever/demam berdarah dengue (DBD). Berdasarkan klasifikasi WHO,
DBD dibedakan lagi menjadi 4 grade, dengan grade 3 dan 4 merupakan manifestasi
klinis dari sindrom syok dengue (SSD)/dengue shock syndrome (DSS).1
Infeksi virus dengue disebabkan oleh virus Dengue (DEN) yangterbagi kedalam
empat serotipe, DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4, tergolong dalam genus Flavivirus,
famili Flaviviridae.2 Virus dengue ini ditransmisikan melalui gigitan nyamuk Aedes,
terutama Ae. aegypti dan Ae. alpoticus.2
Kasus infeksi virus dengue di dunia diperkirakan terjadi hampir 50 juta pertahunnya dan hampir 2,5 milyar orang tinggal di negara endemis dengue. Area endemis
untuk infeksi virus dengue meluas hingga mencapai 60 negara.1Infeksi virus dengue juga
menjadi salah satu penyebab masalah kesehatan di Indonesia. Kasus pertama infeksi virus
dengue di Indonesia terjadi pada tahun 1968 dimana ditemukan kasusnya di Surabaya dan
Jakarta.3 Berdasarkan data dari Profil Kesehatan Indonesia tahun 2011, DBD termasuk
dalam 10 besar penyakit rawat inap di rumah sakit. 4 Pada saat ini DBD dapat ditemukan
di seluruh propinsi di Indonesia dan 200 kota telah melaporkan Kejadian Luar Biasa
(KLB) DBD.5Menurut data dari Profil Kesehatan Indonesia tahun 2011, provinsi Bali
merupakan provinsi dengan kasus DBD tertinggi.4 Dari data Profil Kesehatan Indonesia
tahun 2011, di Provinsi Bali terdapat kasus DBD sebanyak 2996 dengan jumlah kasus
meninggal sebanyak 7 orang dan CFR 0,23.4 Pada tahun 2013, menurut data dari Profil
Kesehatan Indonesia tahun 2013, total kasus DBD di Bali sebanyak 6813.6
Kegawatan pada infeksi virus dengue ini terjadi jika pada pasien muncul tanda-tanda
syok yaitu akral dingin, nadi melemah, tekanan nadi 20 mmHg dan hipotensi. Hal ini
dikarenakan jika pasien dengan kondisi syok tidak ditangan dengan penanganan yang
tepat, cepat dan adekuat dapat mengakibatkan prognosis pasien memburuk bahkan bisa

mengakibatkan kematian. Oleh karena itulah penanganan dari pasien dengan syok harus
dilakukan dengan baik termasuk monitoring dari kondisi pasien sendiri.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik dan simtomatik. Infeksi virus dengue
yang simtomatik memiliki beberapa spektrum klinis diantaranya undifferentiated febrile
illness, demam dengue (DD), demam berdarah dengue (DBD) serta dengue shock
syndrome (DSS)/sindrom syok dengue (SSD).
Demam Dengue adalah infeksi virus Dengue tanpa disertai dengan kebocoran
plasma. Secara klinis ditemukan demam, suhu pada umumnya antara 39-40C, bersifat
bifasik, menetap antara 5-7 hari. Gambaran perdarahan kulit pada Demam Dengue
terbanyak adalah uji tourniquet positif dengan atau tanpa petekie.2 DBD adalah infeksi
virus Dengue yang disertai dengan kebocoran plasma. Secara klinis, fase awal DBD
menyerupai demam dengue, yang ditandai dengan demam (39-40C) yang bersifat
bifasik. Perubahan patofisiologi pada infeksi dengue menentukan perbedaan perjalanan
penyakit antara DBD dengan demam dengue dimana pada DBD terjadi kebocoran
plasma.2 Dengue Shock Syndrome (DSS) merupakan suatu keadaan infeksi dari Demam
Berdarah Dengue yang ditandai dengan adanya kegagalan dari sirkulasi (nadi yang lemah
atau bahkan tidak teraba, tekanan nadi yang menyempit yaitu 20 mmHg, pasien gelisah
dan lemah serta tekanan darah rendah (hipotensi)).
2.2 Epidemiologi
Menurut WHO terdapat kira-kira 50 100 juta kasus infeksi virus dengue setiap
tahunnya, dengan 250.000500.000 demam berdarah dengue (DBD) dan 24.000 di
antaranya meninggal dunia.Area endemis untuk infeksi virus dengue meluas hingga
mencapai 60 negara. Berdasarkan data dari Profil Kesehatan Indonesia tahun 2011, DBD
termasuk dalam 10 besar penyakit rawat inap di rumah sakit. Dua belas di antara 30
provinsi di Indonesia merupakan daerah endemis DBD, dengan case fatality rate 1,2%.
Dari data tersebut diketahui total kasus DBD sebanyak 59.115, dengan kasus pasies
meninggal 325 dan case fatality rate (CFR) 0,55 dan Bali merupakan provinsi dengan
incidence rate per 100.000 penduduk yang paling tinggi yaitu sebesar 75,42.4
Berdasarkan data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2013, diketahui total kasus DBD

sebanyak 112.511, dengan kasus pasies meninggal 871 dan case fatality rate (CFR) 0,77
dan Bali tetap merupakan provinsi dengan incidence rate untuk kasus DBD paling tinggi
yaitu 168,48.6 Pada tahun 2014, Denpasar merupakan kota dengan kasus DBD terbanyak
di Bali menurut Dinas Kesehatan Provinsi Bali.
2.3 Etiologi
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh
infeksi virus famili Flaviviridae, genus Flavivirus yang mempunyai 4 serotipe yaitu
DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan
imunitas terhadap serotipe tersebut, namun tidak akan memberikan perlindungan yang
memadai terhadap serotipe yang lain. Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan di
berbagai daerah di Indonesia. Pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak tahun 1975
dibeberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat serotipe ditemukan dan bersirkulasi
sepanjang tahun. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan
cenderung menunjukkan manifestasi klinis yang berat.
Virus Dengue (DEN) mempunyai karakteristik yang mirip dengan flavivirus lain,
genomnya terdiri RNA rantai tunggal (single stranded), dikelilingi oleh nukleokapsid
ikosahedral dan ditutupi oleh amplop lipid. Diameter virion sekitar 50nm. Genom
flavivirus panjangnya 11 (kilobase), disusun oleh 3 gen protein struktural yaitu yang
mengkode nukleokapsid atau protein inti (core: C), protein membran (membrane: M),
dan protein amplop (envelope: E), dan 7 gen protein non struktural (NS).
2.4 Patogenesis
Proses infeksi dimulai ketika vektor virus menghisap darah dan virus masuk ke
dalam host. Virus diikat dan masuk ke dalam sel melalui endositosis. Selanjutnya terjadi
pemaparan virus melalui jalur endositik. Setelah virion mengalami fusi pada membran sel
host, nukleokapsid akan dilepaskan ke dalam sitoplasma sel. Selama proses translasi,
protein non-struktural (NS) membentuk viral replicase dan yang menginisiasi replikasi
genom virus. Cyoplasmic membranes pada sel menjalani proliferasi di retikulum
endoplasma dan subsekuensinya tampak pada vesikel membran selama infeksi virus
dengue. Vesikel ini merupakan sites dari replikasi RNA virus. Sekali protein virus

ditranslasikan dan genom direplikasi, virion virus dengue akan mengalami proses
assembly pada permukaan lumen retikulum endoplasma. Partikel virus yang immature
akan dipindahkan melalui Trans Golgi Network (TGN). Virion mature dan partikel
subvirus dilepaskan dari sel melalui eksositosis.10 Virus kemudian ditangkap oleh
makrofag, dan kemudian makrofag menjadi APC (Antigen Presenting Cell). Antigen
yang menempel di makrofag akan mengaktifasi sel T-sitotoksik yang akan melisis
makrofag yang sudah memfagosit virus. Antigen tersebut juga mengaktivasi sel B yang
akan melepas antibody yaitu antibody netralisasi, antibody hemaglutinasi dan antibody
fiksasi komplemen.2,11 Proses tersebut menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang
menyebabkan timbulnya gejala pada demam dengue. Pada demam dengue ini dapat
terjadi perdarahan karena adanya agregasi trombosit yang menyebabkan trombositopenia,
tetapi masih bersifat ringan.11,12
Perdarahan massif pada DBD/DSS diakibatkan oleh terganggunya sistem sirkulasi
(permeabilitas vaskuler), trombositopenia dan agregasi trombosit. Adapun yang terjadi
pada pasien dengan DBD/DSS adalah sebagai berikut :
A. RESPON IMUN (Peningkatan Permeabilitas Vaskuler)
1. Teori infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection)
Teori infeksi sekunder menyebutkan bahwa apabila seseorang mendapatkan
infeksi primer terhadap salah satu jenis virus dengue, akan terjadi proses kekebalan
terhadap infeksi virus dengue tersebut untuk jangka waktu yang lama, karena pada tubuh
orang tersebut sudah terdapat antibodi yang dapat menetralisasi untuk jenis virus tersebut
(antibody homologous).11

Gambar 1. Teori infeksi sekunder untuk jenis virus yang sama


(kompleks non infeksius)
Jika orang sudah mengalami infeksi primer dan saat ini terinfeksi virus dengue
(infeksi sekunder) dengan tipe virus berbeda, hal ini dapat mengakibatkan manifestasi
klinis yang lebih berat. Hal ini diakibatkan pada infeksi sekunder, antibody homologous
dari infeksi primer akan membentuk kompleks dengan infeksi virus dengue baru dari
serotipe berbeda dari infeksi sekunder. Namun antibodi tersebut tidak dapat dinetralisasi,
bahkan membentuk kompleks yang infeksius.7

Gambar 2. Teori infeksi sekunder untuk jenis virus yang berbeda


(kompleks infeksius)
Kompleks antigen antibodi tersebut kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari

membran sel leukosit terutama makrofag. Virus di tubuh tidak dinetralisasi diakibatkan
antibodi yang terbentuk yaitu antibody heterologous sehingga virus bisa bereplikasi
dengan bebas.7,13
2. Teori antibody dependent enhancement (ADE).

Gambar 3 Teori antibodi dependent enhancement (ADE)


Sebagai reaksi terhadap infeksi virus dengue, terjadi sekresi mediator vasoaktif
yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga
mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.11
Konsentrasi kompleks imun yang tinggi akibat infeksi sekunder mengakibatkan
reaksi amnestik antibodi. Infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang
memagositosis kompleks virus-antibodi sehingga virus berkembang di makrofag. Infeksi
makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T-helper dan T-sitotoksis sehingga
limfokin dan interferon gamma diproduksi. Interferon gamma mengaktivasi monosit
sehingga disekresikanlah berbagai mediator inflamasi, seperti TNF-, IL-1, PAF (platelet
activating factor), IL-6, dan histamin yang mengakibatkan terjadinya disfungsi sel
endotel dan terjadilah kebocoran plasma.11 Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan
C5 juga menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan
merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular.
B. TROMBOSITOPENIA

Gambar 5 Patogenesis Perdarahan pada DBD4


Trombositopenia pada infeksi virus dengue terjadi melalui supresi sumsum tulang
dan destruksi serta pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran sumsum tulang pada
fase awal infeksi (<5 hari) menunjukkan keadaan hiposeluler dan supresi megakariosit.
Selanjutnya terjadi peningkatan hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar
trombopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan
kenaikan,

menunjukkan

terjadinya

stimulasi

trombopoesis

sebagai

mekanisme

kompensasi terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui


pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibodi VD, konsumsi trombosit selama proses
koagulopati dan sekuestrasi di perifer.11
C. AGREGASI TROMBOSIT
Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi
pada membran trombosit yang mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin diphosphat),
sehingga trombosit melekat satu sama lain. Hal ini akan menyebabkan trombosit
dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia.
Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III. Pengeluaran
platelet faktor III tersebut mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID =
koagulasi intravaskular deseminata) yang ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen

degradation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.11


Agregasi trombosit juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit. Aktivasi
koagulasi menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem kinin
sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler.11

2.5 Manifestasi Klinis


2.5.1 Demam Berdarah Dengue
Terdapat tiga fase dalam perjalanan penyakit, meliputi fase demam, kritis, dan
masa penyembuhan (convalescence, recovery).10
Fase demam
Anamnesis : demam tinggi, 2-7 hari, dapat mencapai 40C, serta terjadi kejang
demam. Dijumpai facial flush, muntah, nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri
tenggorok dengan faring hiperemis, nyeri di bawah lengkung iga kanan, dan nyeri
perut.
Pemeriksaan fisik
1. Manifestasi perdarahan yaitu :
Uji bendung positif (10 petekie/inch2) merupakan manifestasi perdarahan
yang paling banyak pada fase demam awal.
Petekie pada ekstremitas, ketiak, muka, palatum lunak.
Epistaksis, perdarahan gusi
Perdarahan saluran cerna
Hematuria (jarang)
Menorrhagia
2. Hepatomegali teraba 2-4 cm di bawah arcus costae kanan dan kelainan fungsi
hati (transaminase) lebih sering ditemukan pada DBD.
Fase kritis
Fase kritis terjadi pada saat perembesan plasma yang berawal pada masa transisi dari saat
demam ke bebas demam (disebut fase time of fever defervescence). Pada fase ini, bisa
ditemukan adanya warning sign yang terdiri dari:13

Klinis
- Demam turun tetapi keadaan anak memburuk.
- Nyeri perut dan nyeri tekan abdomen.
- Muntah yang menetap.
- Letargi, gelisah.

- Perdarahan mukosa.
- Pembesaran hati (hepatomegaly).
- Akumulasi cairan.
- Oligouria.
Laboratorium
- Peningkatan kadar hematokrit bersamaan dengan penurunan cepat jumlah
-

trombosit.
Hematokrit awal tinggi.

Fase penyembuhan (convalescence, recovery)


Fase penyembuhan ditandai dengan diuresis membaik dan nafsu makan kembali
merupakan indikasi untuk menghentikan cairan pengganti. Pada fase ini seringkali timbul
convalescent rash
2.5.2

Dengue Shock Syndrome

Syok ditandai dengan pasien mula-mula terlihat letargi atau gelisah kemudian jatuh ke
dalam syok yang ditandai dengan kulit dingin-lembab, sianosis sekitar mulut, nadi cepatlemah atau bahkan tidak teraba, tekanan nadi (perbedaan antara tekanan sistolik dan
tekanan diastolik) < 20 mmHg dan hipotensi. Pada fase syok, pasien dapat dengan cepat
masuk ke dalam fase kritis yaitu syok berat (profound shock) pada saat itu tekanan darah
dan nadi tidak dapat terukur lagi. Dengan diagnosis dini dan penggantian cairan adekuat,
syok biasanya teratasi dengan segera, namun bila terlambat diketahui atau pengobatan
tidak adekuat, syok dapat menjadi syok berat dengan berbagai penyulitnya seperti
asidosis metabolik, perdarahan hebat saluran cerna, sehingga memperburuk prognosis.
Sama seperti pada DBD, pada DSS fase penyembuhan ditandai dengan adanya
convalescent rash. Tanda prognostik baik apabila pengeluaran urin cukup dan
kembalinya nafsu makan.2,14
2.6 Pemeriksaan Penunjang
2.6.1 Pemeriksaan laboratorium
1. Pemeriksaan Darah Lengkap
Dari pemeriksaan darah lengkap, ditemukan adanya peningkatan nilai hematokrit
yang merupakan indikator terjadinya perembesan plasma. Selain hemokonsentrasi
juga didapatkan trombositopenia, dan leukopenia.9
2. Pemeriksaan Antigen NS1

Antigen NS1 dapat dideteksi pada hari ke-1 dan akan menurun sehingga tidak
terdeteksi setelah hari ke-5-6. Deteksi antigen virus ini dapat digunakan untuk
diagnosis awal menentukan adanya infeksi dengue, namun tidak dapat
membedakan penyakit DD/DBD.
3. Uji Serologi IgM dan IgG Anti Dengue11

Antibodi IgM anti dengue dapat dideteksi pada hari sakit ke-5 sakit, mencapai puncaknya
pada hari sakit ke 10-14 dan akan menurun/ menghilang pada akhir minggu keempat sakit.

Antibodi IgG anti dengue pada infeksi primer dapat terdeteksi pada hari sakit ke-14 dan
menghilang setelah 6 bulan sampai 4 tahun. Sedangkan pada infeksi sekunder IgG anti dengue
akan terdeteksi pada hari sakit ke-2.

Tabel 2. Interpretasi uji serologi IgM dan IgG pada Diagnosis infeksi dengue

Infeksi Primer
Infeksi Sekunder
Infeksi Lampau
Bukan dengue

Antibodi anti dengue


IgM
IgG
positif
negatif
positif
positif
negatif
positif
negatif
negatif

Keterangan

Apabila

klinis

infeksi

dengue,

penyembuhan:

mengarah
IgM

pada
dan

ke
fase
IgG

diulang

4. Pemeriksaan Haemaglutination Inhibition (Uji HI)


Uji HI merupakan gold standard untuk pemeriksaan infeksi virus dengue dimana
diperlukan 2 sampel serum yaitu pada fase akut (saat masuk rumah sakit) dan fase
konvalesen. Karena memerlukan sampel pada fase konvalesen, pemeriksaan ini
tidak dapat digunakan untuk diagnosis dini. Adapun interpretasinya adalah
sebagai berikut :

Pada infeksi primer, titer antibodi HI pada fase akut kurang dari 1:20 dan titer
akan naik 4 kali namun tidak lebih dari 1:1280 pada fase konvalesen.

Pada infeksi sekunder, titer antibodi HI pada fase akut kurang dari 1;20 dan
titer antibodi HI pada fase konvalesen sama atau lebih besar dari 1:2560.15

2.6.2 Pemeriksaan Radiologis

Kelainan yang bisa didapatkan antara lain16:


1. Dilatasi pembuluh darah paru
2. Efusi pleura
3. Kardiomegali atau efusi perikard
4. Hepatomegali
5. Cairan dalam rongga peritoneum
6. Penebalan dinding vesika felea
2.7 Diagnosis
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun
2011.10-12
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik
2. Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan ditandai dengan:
- Uji torniquet positif,
Petekie, ekimosis atau purpura,
Perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi, atau
hematemesis dan/atau melena.
3. Thrombositopenia (100.000/mm3)
4. Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai berikut:
Hemokonsentrasi dapat dilihat dari peningkatan hematokrit 20% atau lebih, menurut
standar umur dan jenis kelamin
Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan
nilai hematokrit sebelumnya
Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, ascites atau hipoproteinemia

2.8 Diagnosis Banding


Adapun diagnosis banding dari infeksi virus dengue yaitu :
a. Pada awal perjalanan penyakit, diagnosis banding mencakup infeksi bakteri,
virus, atau penyakit protozoa seperti demam tifoid, campak, influenza, hepatitis
chikungunya,

malaria.

Adanya

trombositopenia

yang

jelas

disertai

hemokonsentrasi dapat membedakan antara DBD dengan penyakit lain.


b. DBD harus dibedakan pada deman chikungunya (DC). DC memperlihatkan
serangan demam mendadak dengan masa demam lebih pendek dan lebih sering
dijumpai nyeri sendi.12
c. Idiopatic Thrombocytopenic Purpura (ITP) jarang disertai demam (pasien tampak
sehat) dengan adanya perdarahan di bawah kulit. Pada DBD, jumlah trombosit

cepat kembali normal dibandingkan pada ITP.12


2.9 Penatalaksanaan
Pada dasarnya pentalaksaan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat
peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan.Pada kasus DBD dengan komplikasi
diperlukan perawatan intensif.Fase kritis pada umunya terjadi pada hari sakit ketiga. 16
Pada kasusu DBD derajat I dan II
1.

Tirah baring

2.

Asupan cairan,elektrolit dan nutrisi

Asupan makanan berupa diet makanan lunak.Pasien dianjurkan untuk banyak minum 2-2.5 liter dalam 24
jam.Pemberian cairan oral bertujuan untuk mencegah dihidrasi.Jenis minuman yang dianjurkan adalah jus
buah,teh manis, sirup,susu, serta larutan oralit.Apabila cairan oralit tidak dapat diberikan karena penderita
muntah, tidak mau minum atau nyeri perut berlebiahna sebaiknya diberikan secara intravena
Cairan awal RL/RA/NS

BB < 15kg

BB 15-40 kg 5ml

6-7ml/kgBB/jam

BB. 40 kg 3-4

3. Medikamentosa yang bersifat simtomatis


Hiperpireksia diatasi dengan pemberian antipiretik dan bila perlu surface coolinh dengan kompres es
dan alkohol 70%.Paracetamol direkomendasikan untuk mempertahankan suhu dibawah 39C dengan dosisi
10-15mg/kgbb/kali.Hindari pemberian salisilat 9aspirin,asetol) kerana dapat menimbulkan pendarahan
saluran cerna dan asisdosis.16-17
4. Monitor tanda-tanda vital setiap 3 jam dan trombosit setiap 6b jam.Jika kondisi pasien membaik berupa
tidak gelisah, nadi kuat,tekanan darah stabil, diuresis cukup (.1ml/kgbb/jam) dan hematokrit turun (2kali
pemeriksaan) maka jumlah tetesan dikurangi dan rumatan disesuaikan dengan kebutuhan dimana perbaikan
disesuaikan dengan kebutuhan. IVFD stop pada 24-48 jam bila tanda vital/Ht stabil dan diuresis cukup.Jika
pada pasien ditemukan Ht tetap tinggi namun tanpa ada tanda-tanda syok maka tetesan tetap dipertahankan
dan pantau lebih ketat tanda vital setaiap 3 jam. Bila pada pasien terjadi perburukan berupa gelisah, distress
pernafasan, frequensi nadi naik,hipotensi/tekanan nadi<20 mmHg, diuresis kurang/tidaka ada, pengisisan
kapiler>2 detik Ht tetap tinggi atau naik maka penatalaksaan berubah sesuai dengan DHF derajat III atau
IV.15-16

Pada pasien dengan DBD grade III atau IV, yang pasien harus dirawat inap,
dikarenakan pasien memenuhi kriteria indikasi pasien masuk rumah sakit yaitu adanya
tanda-tanda syok (warning sign), perdarahan spontan, trombosit <100.000/mm3 dan atau
peningkatan hematokrit 10-20% dan hiperpirexia.15

Gambar 5. Tatalaksana DBD grade III dan IV


Pada pasien dengan DBD derajat III dan IV perlu dilakukan penilaian mengenai
airway (memastikan jalan napas tetap lapang), breathing (memberikan oksigen jika
pasien sesak) dan circulation (dengan memberikan cairan melalui akses intravena).
Pemberian dari cairan ini tergolong tindakan suportif untuk mengganti cairan tubuh yang
hilang karena kebocoran plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler.
Perembesan plasma yang berlangsung selama 24-48 jam akan menyebabkan terjadinya
syok, anoksia, asidosis, dan kematian sehingga harus diusahakan deteksi dini akan
adanya perembesan plasma untuk mencegah syok yang akan terjadi.15,17
Pada pasien dengan DBD derajat III dan IV, untuk kasus syok teratasi diberikan
cairan kristaloid 10mL/kgBB/jam dan untuk kasus syok tidak teratasi diberikan cairan
kristaloid 20mL/kgBB/jam dan atau koloid 10-20mL/kgBB/jam. Tanda keberhasilan dari
pemberian cairan ini adalah tanda vital pasien yang membaik (nadi teraba, tekanan darah
mulai naik, tekanan nadi >20mmHg) dan hematokrit pasien mulai normal. Pada pasien
dilakukan monitoring tanda vital tiap 10 menit dan pemeriksaan darah lengkap untuk
melihat hematokrit pasien tiap 1 jam. Selain itu, dlakukan juga monitoring terhadap
produksi urin pasien untuk melihat keseimbangan cairannya. Jika kondisi pasien stabil
dalam 6-12 jam, pemberian cairan bisa diturunkan untuk mencegah terjadinya overload
(kelebihan) cairan. Namun jika kondisi pasien tidak teratasi dan ditandai dengan
penurunan hematokrit, pasien bisa diberikan transfusi PRC 10 mL/kgBB. Jika syok tidak
teratasi dan ditandai dengan peningkatan hematokrit, pasien diberikan koloid 10-20
mL/kgBB/jam. Pada kedua kondisi tersebut mulai dipertimbangkan pemberian
inotropik.15,17
Terapi simtomatis pada pasien DBD derajat II dan IV berupa pemberian paracetamol
jika pasien mengalai demam, ditandai dengan suhu tubuh pasien 380C. Pemberian
paracetamol dengan dosis 10-20 mL/kgBB, dimana pemberiannya bisa diulang tiap 4 jam
jika pasien mengalami demam.15,17
2.10 Komplikasi
Komplikasi akibat DBD
Kebanyakan orang yang menderita DBD pulih dalam waktu dua minggu. Namun, untuk

orang-orang tertentu dapat berlanjut untuk selama beberapa minggu hinga berbulanbulan. Gejala klinis yang semakin berat pada penderita DBD dan dengue shock
syndromes dapat berkembang menjadi gangguan pembuluh darah dan gangguan hati. Hal
ini tentu dapat mengancam jiwa.16

1.

Sindrom Syok Dengue (SSD)

Seluruh kriteria Demam Berdarah Dengue (DBD) disertai kegagalan sirkulasi dengan
manifestasi:
-

Nadi yang cepat dan lemah

Tekanan darah turun ( 20 mmHg)

Hipotensi (dibandingkan standar sesuai umur)

Kulit dingin dan lembab

Gelisah

Sindrom syok dengue, menurut sumber lain3: pada penderita DBD yang disertai syok,
setelah demam berlangsung selama beberapa hari, keadaan umum penderita tiba-tiba
memburuk. Pada sebagian besar penderita ditemukan tanda kegagalan peredaran darah
yaitu kulit teraba lembab dan dingin, sianosis sekitar mulut, nadi menjadi cepat dan
lemah, kecil sampai tidak dapat diraba. Tekanan darah menurun menjadi 20 mmHg atau
kurang, dan tekanan sistolik menurun sampai 80 mmHg atau lebih rendah. Penderita
kelihatan lesu, gelisah, dan secara cepat masuk dalam fase kritis syok. Penderita
seringkali mengeluh nyeri di daerah perut sesaat sebelum syok timbul. Nyeri perut hebat
seringkali mendahului perdarahan gastrointestinal, dan nyeri di daerah retrosternal tanpa
sebab yang dapat dibuktikan memberikan petunjuk terjadinya perdarahan gastrointestinal
yang hebat. Syok yang terjadi selama periode demam biasanya mempunyai prognosis
buruk. 15-17
Tatalaksana sindrom syok dengue sama dengan terapi DBD, yaitu pemberian cairan ganti
secara adekuat. Pada sebagian besar penderita, penggantian dini plasma secara efektif
dengan memberikan cairan yang mengandung elektrolit, ekspander plasma, atau plasma,
memberikan hasil yang baik. Nilai hematokrit dan trombosit harus diperiksa setiap hari

mulai hari ke-3 sakit sampai 1-2 hari setelah demam menjadi normal. Pemeriksaan inilah
yang menentukan perlu tidaknya penderita dirawat dan atau mendapatkan pemberian
cairan intravena15-17

.
2.

Ensefalopati Dengue

Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan


dengan pendarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang tidak disertai syok.
Gangguan metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahan, dapat menjadi
penyebab terjadinya ensefalopati. Melihat ensefalopati DBD bersifat sementara, maka
kemungkinan dapat juga disebabkan oleh trombosis pembuluh darah otak, sementara
sebagai akibat dari koagulasi intravaskular yang menyeluruh. Dilaporkan bahwa virus
dengue dapat menembus sawar darah-otak. Dikatakan pula bahwa keadaan ensefalopati
berhubungan dengan kegagalan hati akut.16
Pada ensefalopati cenderung terjadi udem otak danalkalosis, maka bila syok telah teratasi
cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung HC03- danjumlah cairan harus
segera dikurangi. Larutan laktat ringer dektrosa segera ditukar dengan larutan NaCl
(0,9%) : glukosa (5%) = 1:3. Untuk mengurangi udem otak diberikan dexametason 0,5
mg/kg BB/kali tiap 8 jam, tetapi bila terdapat perdarahan saluran cerna sebaiknya
kortikosteroid tidak diberikan. Bila terdapat disfungsi hati, maka diberikan vitamin K
intravena 3-10 mg selama 3 hari, kadar gula darah diusahakan > 80 mg. Mencegah
terjadinya peningkatan tekanan intrakranial dengan mengurangi jumlah cairan (bila perlu
diberikan diuretik), koreksi asidosis dan elektrolit. Perawatan jalan nafas dengan
pemberian oksigen yang adekuat. Untuk mengurangi produksi amoniak dapat diberikan
neomisin dan laktulosa. Usahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan
(misalnya antasid, anti muntah) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati.
Transfusi darah segar atau komponen dapat diberikan atas indikasi yang tepat. Bila perlu
dilakukan tranfusi tukar. Pada masa penyembuhan dapat diberikan asam amino rantai
pendek.13-14

3 Kelainan ginjal
Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari syok yang
tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik hemolitik walaupun jarang.
Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah syok diobati dengan menggantikan volume
intravaskular, penting diperhatikan apakah benar syok telah teratasi dengan baik. Diuresis
merupakan parameter yang penting dan mudah dikerjakan untuk mengetahui apakah syok
telah teratasi. Diuresis diusahakan > 1 ml / kg berat badan/jam. Oleh karena bila syok
belum teratasi dengan baik, sedangkan volume cairan telah dikurangi dapat terjadi syok
berulang. Pada keadaan syok berat sering kali dijumpai acute tubular necrosis, ditandai
penurunan jumlah urin dan peningkatan kadar ureum dan kreatinin.14-15
4. Udem paru
Udem paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat pemberian cairan
yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai kelima sesuai panduan
yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan udem paru oleh karena perembesan
plasma masih terjadi. Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskuler,
apabila cairan diberikan berlebih (kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan
hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit), pasien akan mengalami
distress pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan ditunjang dengan gambaran
udem paru pada foto rontgen dada.
Komplikasi demam berdarah biasanya berasosiasi dengan semakin beratnya bentuk
demam berdarah yang dialami, pendarahan, dan shock syndrome. Komplikasi paling
serius walaupun jarang terjadi adalah sebagai berikut:
-

Dehidrasi

Pendarahan

Jumlah platelet yang rendah

Hipotensi

Bradikardi

Kerusakan hati

Pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit, bervariasi

dari hanya sekedar dapat diraba (just palpable) sampai 2-4 cm di bawah lengkung iga
kanan, derajat pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit. Untuk
menemukan pembesaran hati ,harus dilakukan perabaan setiap hari. Nyeri tekan di daerah
hati sering kali ditemukan dan pada sebagian kecil kasus dapat disertai ikterus. Nyeri
tekan di daerah hati tampak jelas pada anak besar dan ini berhubungan dengan adanya
perdarahan.13-14
4.

Gangguan neurogik (kejang, ensephalopati

2.11 Pencegahan DBD


Hal yang terbaik adalah mencegah agar tidak ada anggota keluarga yang terkena DBD.
Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegahnya yaitu:

Mencegah perkembangbiakan nyamuk ada di sekitar kita. Anda dapat melakukan gerakan
3M yaitu Menutup tempat penyimpanan air, Menguras bak mandi dan Mengubur barangbarang yang tidak terpakai. Larva nyamuk akan berkembang di genangan air dalam
waktu sekitar seminggu. Untuk itu, perlu dicegah kemungkinan benda-benda yang
merupakan tempat berkembangnya larva ini seperti pot bunga, kaleng bekas, ban bekas
atau barang lainnya yang menampung genangan air, khususnya pada musim penghujan
dimana tempat-tempat tersebut dapat menjadi genangan dari air hujan yang turun.14

Cegah agar jangan digigit nyamuk, misalnya dengan cara menggunakan lotion
atau obatpengusir nyamuk.14

Mennggunakan bubuk Abate pada selokan dan penampungan air agar tidak menjadi
tempat bersarangnya nyamuk.15

Jaga kondisi tetap sehat. Kondisi badan yang kuat, membantu tubuh untuk menangkal
virus yang masuk sehingga walau terkena gigitan nyamuk, virus tidak akan berkembang.
2.12 PROGNOSIS
Prognosis DBD berdasarkan kesuksesan dalam tetapi dan penetalaksanaan yang
dilakukan. Terapi yang tepat dan cepat akan memberikan hasil yang optimal.
Penatalaksanaan yang terlambat akan menyebabkan komplikasi dan penatalaksanaan

yang tidak tapat dan adekuat akan memperburuk keadaan.


Kematian karena demam dengue hampir tidak ada. Pada DBD/SSD mortalitasnya cukup
tinggi. Penelitian pada orang dewasa di Surabaya, Semarang, dan Jakarta menunjukkan
bahwa prognosis dan perjalanan penyakit umumnya lebih ringan pada orang dewasa
dibandingkan pada anak-anak.
DBD Derajat I dan II akan memberikan prognosis yang baik, penatalaksanaan yang
cepat, tepat akan menentukan prognosis. Umumnya DBD Derajat I dan II tidak
menyebabkan komplikasi sehingga dapat sembuh sempurna.
DBD derajat III dan IV merupakan derajat sindrom syok dengue dimana pasien jatuh
kedalam keadaan syok dengan atau tanpa penurunan kesadaran. Prognosis sesuai
penetalaksanaan yang diberikan Dubia at bonam.16

CHAPTER 3
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama

: KAS

Umur

: 9 Tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Agama

: Hindu

Suku

: Bali

Warganegara

: Indonesia

Alamat

: Sambangan

3.2 Anamnesis
Heteroanamnesis (Ibu kandung pasien)
Keluhan Utama

Demam, mual, muntah, mimisan, nyeri kepala


Riwayat penyakit sekarang :
Pasien dikeluhkan demam sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit ( 20/06/2015
kira-kira pukul 15.00) demam dikatakan tinggi yaitu 38.7C dan turun sementara
dengan pemberian obat penurun panas,namun naik kembali. Pasien juga dikeluhkan
mual dan muntah sebanyak 9 kali dalam masa 4 hari itu. Pasien juga mempunyai
nyeri kepala. Terdapat perdarahan spontan dari hidung pasien.
Buang air kecil pasien dikatakan berkurang, berwarna kuning dan bersih.
Terakhir buang air kecil kira-kira satu jam sebelum pemeriksaan dengan volume air
kencing kira-kira 1/2 gelas aqua. Buang air besar pasien dikatakan biasa dengan
frekuensi dua kali sehari dengan konsistensi normal tanpa disertai lender dan darah.

Riwayat penyakit keluarga :


Tidak ada anggota keluarga lain yang pernah mengalami keluhan yang sama seperti
pasien
Riwayat personal sosial

Pasien merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Adik perempuan berumur 7
tahun. Pasien juga memiliki teman baik tetangga disekitar rumahnya dan banyak teman di
sekolah. Teman sekolah pasien tidak ada yang menderita DHF maupun dirawat di rumah

sakit dengan keluhan yang sama. Belum pernah dilakukan fogging di lingkungan rumah
pasien sejak 6 bulan yang lalu. Terdapat genangan air di sekitar rumah pasien.
Riwayat pengobatan

Untuk keluhan panas badan yang dirasakan, pasien berobat ke dokter swasta dan
mendapat obat penurun panas. Pasien telah minum obat selama 3 hari sebelum masuk
rumah sakit sebanyak 3 kali sehari.
Riwayat prenatal

Pasien merupakan kehamilan pertama dari ibunya. Selama kehamilan, ibu pasien
telah melakukan antenatal care di bidan setiap bulan. Dalam masa kehamilan juga pernah
dilakukan USG dan dikatakan jenis kelamin laki-laki. Ibu mengaku mendapat imunisasi
lengkap selama kehamilan. Ibu pasien mengkonsumsi makanan bergizi selama kehamilan
dan tidak pernah mengkonsumsi obat-obatan. Ibu pasien tidap pernah mengalami sakit
maupun kecelakaan (trauma) selama masa kehamilan.
Riwayat persalinan

Pasien dilahirkan secara SC dibantu oleh dokter dengan berat badan lahir 4200gram.
Saat lahir bayi segera menangis.
Riwayat imunisasi

Pasien telah mendapat imunisasi lengkap sesuai umur. BCG 1 kali, Polio 4 kali,
Hepatitis B 4 kali, DPT 3 kali, dan imunisasi Campak 2 kali.
Riwayat nutrisi

ASI eksklusif

: Dari lahir hingga berumur 1 tahun

Susu formular

:-

Bubur susu
Nasi tim

:: 10 bulan sebanyak 3 kali sehari

Makanan dewasa : > 1 tahun sebanyak 3 kali sehari

Riwayat Alergi

Pasien tidak mempunyai riwayat alergi


Riwayat Operasi

Pasien tidak memiliki riwayat operasi

Riwayat Transfusi

Pasien tidak memiliki riwayat transfusi


3.3 Pemeriksaan Fisik
Status Present
KU

: Keadaan umum baik

Kesadaran

: Compos mentis

Tekanan darah

: 110/60 mmHg

Nadi

: 84x/menit regular, isi cukup

Respirasi

: 20x/menit

Suhu aksila

: 36.7 C

Status General
Kepala

: Normosefali

Mata

: Petekie pada kelopak mata +/+, anemia -/-

THT

Leher

Thorax

: Telinga

: sekret -/Hidung
: sekret -/-, napas cuping hidung (-), sianosis (-)
Tenggorok : faring hiperemis (+), T1/ T1 hiperemis (-)
Bibir
: sianosis (-)
: Pembesaran kelenjar (-), kaku kuduk (-)
: Simetris (+), retraksi (-)

Jantung
Inspeksi
: iktus kordis tidak terlihat
Palpasi
: iktus kordis teraba di ICS IV MCL sinistra
Auskultasi : S1S2 normal, regular, murmur (-)
Paru-paru
Inspeksi
: simetris, retraksi (-)
Palpasi
: gerakan dada simetris
Perkusi
: sulit dievaluasi
Auskultasi : vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/Aksila : Pembesaran kelenjar (-)
Abdomen : Inspeksi

: distensi (-)

Auskultasi
Palpasi
Perkusi

: bising usus (+) normal


: hepar-lien tidak teraba membesar, nyeri tekan (-)
: timpani

Kulit
: turgor normal
Genitalia : tidak ada kelainan
Inguinal
: pembesaran kelenjar (-)
Ekstremitas : Petekie tampak KA/KI +/+, hangat + + , udem - ++

Status gizi menurut :


1. Water Low

: (BB/BBI)100 = 100% ~ gizi baik

2. BB/U

: Persentile 50

3. TB/U

: Persentile 50-

--

4. 75 (135cm)
5. BMI/U

: Persentil 25-50

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Darah Lengkap
Tanggal :

Hasil

Nilai Normal

Unit

27/6/2015
WBC
NUE
LYM
MONO
ESO
BASO
RBC
HEMOGLOBIN
HEMATOCRIT
MCV
MCH
MCHC
RDW-CV
PLT
MPV

4,99
35,8
45,9
16,0
1,79
0,559
4,49
11,1
31,6
70,4
24,8
35,2
12,9
30,6
8,36

5- 14,5
50-70
25-50
1-6
1-5
0-1
3,7- 5,7
10,7- 14,7
31- 43
72- 88
23- 34
32- 36
11,6- 14.8
181- 521
9,1- 12,0

10/uL
%
%
%
%
%
10e6/uL
g/dL
%
fL
pg
g/dL
%
10/uL
fL

3.5 Diagnosis Klinis


Dengue Hemmorhagic Fever grade II
3.6 Penatalaksanaan
- MRS
- RL 30 tetes per menit
- Paracetamol 3500mg bila suhu > 38C dapat diulang @ 4jam + kompres hangat
- Observasi tanda vital tiap 3 jam
- DL diulang setiap 12 jam

BAB IV
PEMBAHASAN

Demam Dengue adalah infeksi virus Dengue tanpa disertai dengan kebocoran plasma.
Secara klinis ditemukan demam, suhu pada umumnya antara 39-40C, bersifat bifasik,
menetap antara 5-7 hari. Gambaran perdarahan kulit pada Demam Dengue terbanyak
adalah uji tourniquet positif dengan atau tanpa petekie.2 DBD adalah infeksi virus Dengue
yang disertai dengan kebocoran plasma. Secara klinis, fase awal DBD menyerupai
demam dengue, yang ditandai dengan demam (39-40C) yang bersifat bifasik. Perubahan
patofisiologi pada infeksi dengue menentukan perbedaan perjalanan penyakit antara DBD
dengan demam dengue dimana pada DBD terjadi kebocoran plasma.Infeksi virus dengue
disebabkan oleh virus Dengue (DEN) yangterbagi kedalam empat serotipe, DEN-1,
DEN-2, DEN-3, dan DEN-4, tergolong dalam genus Flavivirus, famili Flaviviridae.2
Virus dengue ini ditransmisikan melalui gigitan nyamuk Aedes, terutama Ae. aegypti dan
Ae. Alpoticus.
Bentuk klasik dari DHF ditandai dengan demam tinggi, mendadak 2-7 hari, disertai
dengan muka kemerahan.Keluhan seperti anoreksisa, sakit kepala, nyeri otot, tulang,
sendi, mual dan muntah sering ditemukan.Beberapa penderita mengeluh nyeri menelan
dengan farings hiperemis ditemukan pada pemeriksaan, namun jarang ditemukan batuk
pilek.Biasanya ditemukan juga nyeri perut dirasakan di epigastrium dan di bawah tulang
iga.Demam tinggi dapat menimbulkan kejang demam terutamnya pada bayi.
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun
2011.
2. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik
2. Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan ditandai dengan:
- Uji torniquet positif,
Petekie, ekimosis atau purpura,
Perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi, atau
hematemesis dan/atau melena.
3. Thrombositopenia (100.000/mm3)
4. Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai berikut:
Hemokonsentrasi dapat dilihat dari peningkatan hematokrit 20% atau lebih, menurut
standar umur dan jenis kelamin
Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan
nilai hematokrit sebelumnya
Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, ascites atau hipoproteinemia

Pada kasus ini pasien dikeluhkan demam sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit
( 20/06/2015 kira-kira pukul 15.00) demam dikatakan tinggi yaitu 38.7C dan turun
sementara dengan pemberian obat penurun panas,namun naik kembali. Pasien juga
dikeluhkan mual dan muntah sebanyak 9 kali dalam masa 4 hari itu. Pasien juga
mempunyai nyeri kepala. Terdapat perdarahan spontan dari hidung pasien.Buang air kecil
pasien dikatakan berkurang, berwarna kuning dan bersih. Terakhir buang air kecil kirakira satu jam sebelum pemeriksaan dengan volume air kencing kira-kira 1/2 gelas aqua.
Buang air besar pasien dikatakan biasa dengan frekuensi dua kali sehari dengan
konsistensi normal tanpa disertai lender dan darah.
Pada pemeriksaan fisik sudah dilakukan sesuai teori dimulai dengan tanda-tanda vital,
mencari kelainan sistemik,infeksi atau adanya kelainan neurologis fokal. Dari
pemeriksaan fisik pada 27 Juni 2015 tidak ditemukan kelainan pada pasien ini kecuali
bising usus pada auskultasi abdomen.Rumple leed test negatif.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada kasus ini yaitu pemeriksaan laboratorium
berupa darah lengkap.
Pemeriksaan darah lengkap dilakukan untuk menilai ada tidaknya tanda-tanda
infeksi.Leukopenia(+) mengarahkan kepada kita kemungkinan etiologi dari penyakit ini
adalah virus.Kadar hematokrit yang berada pada batas normal menunjukkan tidak adanya
hemokonsentrasi( kebocoran plasma).Namun hasil pemeriksaan thrombosit menunjukkan
adanya penurunan yang mengarahkan kecurigaan pada adanya demam berdarah dengue.
Penatalaksanaan
- MRS
- RL 30 tetes per menit
- Paracetamol 3500mg bila suhu > 38C dapat diulang @ 4jam + kompres hangat
- Observasi tanda vital tiap 3 jam
- DL diulang setiap 12 jam

Pada kasus ini terapi yang diberikan telah sesuai dengan teori dimana penanganan demam
berdarah dengue adalah bersifat suportif.Pasien di MRS agar dapat dipantau dengan ketat,
hal ini karena pasien DBD rentan menjadi syok.Pemberian cairan pada pasien ini untuk
memenuhi nutrisi dan cairan dari tubuh pasien.Pemberian paracetamol pada pasien ini
berkaitan dengan keluhan panas badan yanga dialami oleh pasien.

Daftar Pustaka
1.

WHO. 2009. Dengue: Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control.
France:

2.

WHO

Press.

[Online]

Tersedia

di:

http://www.who.int/rpc/guidelines/9789242547871/en/ [diunduh: 18 Mei 2015].


WHO, Regional Office for South East Asia. 2011. Comprehensive Guidelines for
Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever: Revised and

3.

expanded edition. SEARO Technical Publication Series No. 60. India


Suwandono A., dkk. 2011. Perbandingan Nilai Diagnostik Trombosit, Leukosit,

4.

Antigen NS1dan Antibodi IgM Antidengue. J Indon Med Assoc61(8), 326-32


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Profil Data Kesehatan Indonesia
Tahun 2011. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. [Online] Tersedia
di:

http://www.depkes.go.id/folder/view/01/structure-publikasi-pusdatin-profil-

5.

kesehatan.html [diunduh: 18 Mei 2015]


Oscar. 2007. Dengue Haemorrhagic Fever. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK

6.

UNUD/RSUP Sanglah Denpasar


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Profil Data Kesehatan Indonesia
Tahun 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. [Online] Tersedia
di:

http://www.depkes.go.id/folder/view/01/structure-publikasi-pusdatin-profil-

kesehatan.html [diunduh: 18 Mei 2015]


7.

Antara News. 2013.Penyakit Demam Berdarah di Bali Turun. [Online]Tersedia


di:http://m.antarabali.com/berita/32826/penyakit-demam-berdarah-di-bali-turun
[diunduh: 25 Mei 2015]

8.

Soegijanto, Soegengdkk. 2012. The Changing Clinical Performance Of Dengue Virus


Infection In The Year 2009. Indonesian Journal of Tropical and Infectious Disease,
Vol. 3. No. 1 JanuaryMarch 2012: 59

9.

Guzman M. G., dkk. 2010. Dengue: A Continuing Global Threat. Nature Reviews,
Microbiology2460: S7-16

10. Candra A. 2010. Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis dan Faktor
Risiko Penularan. Aspirator2(2), 110-19
11. Suhendro, Nainggolan Leonard, Khie Chen, dan Pohan HT. 2009. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi V Jilid III. Fakultas Kedokteran UI : Media Aescullapius.
Jakarta
12. Suzanne Moore Shepherd. 2014. Dengue. Pennsylvania. Hospital of University of
Pennsylvania
13. Amin P. et al, Dengue, Dengue Haemorrhagic Fever, Dengue Shock Syndrome.
Tersedia di:http://www.bhj.org/journal/2001 4303 july 01/review 380.htm. Diakses
25 Mei 2015
14. Karyanti MR. Diagnosis dan Tata Laksana Terkini Dengue. Divisi Infeksi dan
Pediatri Tropik, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, RSUPN Cipto Mangunkusumo,

FKUI
15. Hadinegoro SR, Ismoedijanto M, Alex C. 2014. Pedoman Diagnosis dan Tata
Laksana Infeksi Virus Dengue pada Anak. Bagian Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia
16. Oscar. 2007. Dengue Haemorrhagic Fever. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK
UNUD/RSUP Sanglah Denpasar
17. Depkes RI. 2005. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di sarana pelayanan
kesehatan. Jakarta. Departemen Kesehatan RI; 2005 [Online]. Tersedia di:
http//www.depkes.go.id [diunduh 25 Mei 2015]

Anda mungkin juga menyukai