ppELAYANAN PASIEN
ppELAYANAN PASIEN
PEDOMAN /KEBIJAKAN
a. Pelayanan kedokteran dan keperawatan
b. Pelayanan kasus emergensi
c. Pelayanan resusitasi
SPO
SPO kasus emergensi
SPO resusitasi
d. Pelayanan darah
e. Pelayanan pasien resiko tinggi
dengan :
- Peralatan BHD
- penyakit menular atau
imunosuppressed
- Peralatan dialysis
- Peralatan pengikat /restraint
- Ketergantungan bantuan
- Pengobatan kemoterapi
f. Managemen nyeri
g. Pelayanan gizi
Tujuan utama rumah sakit adalah memberikan perawatan yang terbaik untuk pasien. Agar dapat
memberikan dukungan dan respon yang baik sesuai dengan kebutuhan pasien, juga untuk
menjalankan prinsip satu level perawatan yang bermutu keseragaman pemberian pelayanan
kepada pasien tanpa membedakan waktu, faktor ekonomi, sosial, agama, ras, suku, bangsa, maka
dibutuhkan adanya perencanaan dan koordinasi kerja yang baik.
1.2.
Dilain pihak pasien dengan masalah yang sama berhak mendapatkan mutu pelayanan yang sama
disemua unit di rumah sakit. Mengingat hal ini maka diperlukan adanya kebijakan dan prosedur
disetiap unit agar dapat memberikan pelayanan yang seragam setiap hari maupaun saat hari
minggu atau hari libur besar. Dengan perawatan yang seragam akan memberikan dampak, baik
pada efisiensi dan memudahkan dalam melakukan evaluasi.
2.
2.1.
TUJUAN
Menyediakan acuan kerja untuk menjamin pemberian pelayanan yang sama untuk semua pasien
2.2.
3.
RUANG LINGKUP
Kebijakan ini berlaku bagi semua staff rumah sakit: dokter, perawat, penunjang medik dan staff
lainnya yang memberikan pelayanan pada pasein.
4.
4.1.
4.2.
4.3.
4.4.
4.5.
5.
5.1.
DEFINISI
Perawatan pasien adalah semua tindakan yang diberikan pada pasien seperti tindakan medis
dan, pengobatan, tindakan perawatan serta tindakan lainnya yang diberikan pada pasien sejak
pasien masuk rumah sakit sampai pasien pulang dari rumah sakit
5.2.
Pelayanan kesehatan perorangan adalah setiap kegiatan pelayanan kesehatan yang diberikan
oleh tenaga kesehatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah, mengobati
penyakit, dan memulihkan kesehatan.
5.3.
Tenaga kesehatan adalah tenaga dokter, perawat, bidan, perawat gigi, apoteker, asisten apoteker,
fisioterapis, refraksionis, optisien, terapis wicara dan radiografer
5.4.
Pelayanan Medis adalah pelayanan kesehatan individual yang dilandasi ilmu klinik, merupakan
upaya kesehatan perorangan yang meliputi aspek pencegahan primer, pencegahan skunder
meliputi deteksi dini dan pengobatan serta pembatasan cacat dan pencegahan tersier berupa
rehabilitasi medik yang secara maksimal dilakukan oleh dokter. (KepMenKes RI No.
666/MENKES/SK/VI/2007)
5.5.
Rawat Inap adalah pelayanan kesehatan perorangan yang meliputi observasi, diagnosa,
pengobatan, keperawatan, rehabilitasi medik dengan menginap diruang rawat inap pada sarana
kesehatan yang oleh karena penyakitnya penderita harus menginap. (KepMenKes RI No.
666/MENKES/SK/VI/2007)
6.
6.1.
PERNYATAAN KEBIJAKAN
Akses, ketepatan pelayanan dan pengobatan tidak tergantung pada kemampuan pasien
untuk membayar atau sumber pembiayannya.
6.1.1. Semua pasien yang datang ke Unit Emergency harus melalui Triage dan segera diberikan
pertolongan pertama tanpa membedakan suku, agama dan status sosial ekonomi
6.1.2. Setiap pasien yang datang berobat ke Unit Emergency dengan kasus gawat maupun tidak
gawat harus diberikan pelayanan yang cepat, tepat dan efisien
6.1.3. Terhadap pasien yang gawat dilakukan perawatan, tindakan dan observasi kegawatan
secara intensif oleh dokter dan perawat sampai dengan kondisi klinis pasien stabil, tanpa
mempertimbangkan biaya dan sumber pembiayaannya
6.1.4. Pada pasien yang sudah dalam perawatan namun mengalami kesulitan dalam
pembiayaan perawatannya, maka yang bersangkutan dianjurkan untuk berkonsultasi
dengan bagian keuangan rumah sakit. Pada kondisi demikian perawatan, tindakan dan
observasi yang diberikan kepada pasien tetap sama seperti kepada pasien lainnya.
6.2.
Akses pada ketepatan pelayanan oleh petugas kesehatan tidak bergantung pada hari dan
waktu kerja
6.2.1. Pada setiap unit pelayanan tersedia jadwal tugas yang mencerminkan jumlah, jenis atau
kategori serta penentuan penanggung jawab atau koordinator jaga pada setiap hari dan
shift jaga
6.2.2. Diluar jam kerja kantor dan hari libur ada petugas (dokter, perawat, petugas lainnya) yang
bersedia di panggil untuk menangani pasien dan kebutuhannya
6.2.3. Diluar jam kerja kantor dan hari libur ada petugas sebagai Duty Officer yang bekerja untuk
mengkoordinasikan semua kegiatan dan menjamin proses pelayanan tetap berjalan baik
6.3.
6.4.
Tingkat pelayanan yang diberikan kepada pasien adalah sama diseluruh RS.
6.4.1. Tersedia sistim dan prosedur yang berlaku sama diseluruh unit pelayanan di RS
6.4.2.
6.4.3.
6.4.4.
6.4.5.
6.4.6.
6.4.7.
6.4.8.
Semua pasien yang masuk ke rumah sakit untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhannya dan sesuai dengan cakupan
pelayanan yang di sediakan oleh rumah sakit
Semua order pemeriksaan dan penunjang lain yang di order untuk pasien harus dituliskan
oleh dokter (mengacu pada kebijakan Medical record)
Pada pasien yang memerlukan tindakan pelayanan anaestesi mendapat perlakukan yang
sama
Proses asuhan pada pasien ditetapkan dengan pengkajian hingga evaluasi. Proses
perencanaan dibuat berdasarkan pengkajian data awal yang dibuat berdasarkan
kebutuhan pasien. Perencanaan asuhan dibuat tidak lebih dari 24 jam setelah pasien
masuk perawatan.
Dalam pelayanan medis, pemantauan dilakukan oleh Case Manager, antara lain:
i. Diagnosa harus ditegakan paling lama 72 jam setelah pasein masuk rawat
ii. Menyarankan dilakukannya peninjauan kasus (Case review) pada pasien yang telah
dirawat > 7 hari. Case review tersebut akan dihadiri oleh;
DPJP,
Dokter lain yang teribat,
Sub Komite Mutu - Komite Medik
Manager Medik
iii. DPJP harus membuat Rencana perawatan (care plan) untuk setiap pasien yang dirawat
DPJP harus melakukan pengkajian ulang (Re-assessment) pasien rawat inap sesuai
dengan Kebijakan Pengkajian & Pengkajian Ulang Pasien
Perkembangan asuhan pasien dievaluasi dan direvisi sesuai dengan pengkajian ulang
yang dilakukan oleh setiap tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan.
6.5.
7.
8.
9.
9.1.
9.2.
9.3.
DOKUMEN TERKAIT
Kebijakan Penerimaan dan Akses Pasien
Kebijakan Pengkajian dan Pengkajian Ulang Pasien
Kebijakan Pelayanan Emergency
10. REFERENSI
10.1. Undang Undang Republik Indonesia No 36 tahun 2009 tentang Kesehata
PANDUAN
PELAYANAN KASUS EMERGENSI
PENDAHULUAN
Penilaian awal korban cedera kritis akibat cedera multipel merupakan tugas
yang menantang, dan tiap menit bisa berarti hidup atau mati. Sistem Pelayanan
Tanggap Darurat ditujukan untuk mencegah kematian dini (early) karena trauma
yang bisa terjadi dalam beberapa menit hingga beberapa jam sejak cedera
(kematian segera karena trauma, immediate, terjadi saat trauma. Perawatan kritis,
intensif, ditujukan untuk menghambat kematian kemudian, late, karena trauma
yang terjadi dalam beberapa hari hingga beberapa minggu setelah trauma).
Kematian dini diakibatkan gagalnya oksigenasi adekuat pada organ vital
(ventilasi tidak adekuat, gangguan oksigenisasi, gangguan sirkulasi, dan perfusi
end-organ tidak memadai), cedera SSP masif (mengakibatkan ventilasi yang tidak
adekuat dan / atau rusaknya pusat regulasi batang otak), atau keduanya. Cedera
penyebab kematian dini mempunyai pola yang dapat diprediksi (mekanisme
cedera, usia, sex, bentuk tubuh, atau kondisi lingkungan). Tujuan penilaian awal
adalah untuk menstabilkan pasien, mengidentifikasi cedera / kelainan pengancam
jiwa dan untuk memulai tindakan sesuai, serta untuk mengatur kecepatan dan
efisiensi
tindakan
definitif
atau
transfer
kefasilitas
sesuai.
Setiap bencana selalu menampilkan bahaya dan kesulitannya masingmasing. Yang akan dibicarakan berikut ini antara lain adalah petunjuk umum dalam
mengelola korban bencana disamping untuk kegawatan sehari-hari. Mungkin
diperlukan modifikasi oleh pemegang komando bila dianggap diperlukan
perubahan.Bencana adalah setiap keadaan dimana jumlah pasien sakit atau cedera
melebihi kemampuan sistem gawat darurat yang tersedia dalam memberikan
perawatan adekuat secara cepat dalam usaha meminimalkan kecacadan atau
kematian (korban massal), dengan terjadinya gangguan tatanan sosial, sarana,
prasarana (Bencana kompleks bila disertai ancaman keamanan). Bencana mungkin
disebabkan oleh ulah manusia atau alam. Keberhasilan pengelolaan bencana
Respons Tingkat I : Bencana terbatas yang dapat dikelola oleh petugas sistim
gawat darurat dan penyelamat lokal tanpa memerlukan bantuan dari luar
organisasi.
Respons Tingkat II : Bencana yang melebihi atau sangat membebani petugas sistim
gawat darurat dan penyelamat lokal hingga membutuhkan pendukung sejenis serta
koordinasi antar instansi. Khas dengan banyaknya jumlah korban.
Respons Tingkat III : Bencana yang melebihi kemampuan sumber sistim gawat
darurat dan penyelamat baik lokal atau regional. Korban yang tersebar pada
banyak lokasi sering terjadi. Diperlukan koordinasi luas antar instansi.
TRIASE.
Triase adalah proses khusus memilah pasien berdasar beratnya cedera atau
penyakit (berdasarkan yang paling mungkin akan mengalami perburukan klinis
segera) untuk menentukan prioritas perawatan gawat darurat medik serta prioritas
transportasi (berdasarkan ketersediaan sarana untuk tindakan). Artinya memilih
berdasar prioritas atau penyebab ancaman hidup. Tindakan ini berdasarkan
prioritas ABCDE yang merupakan proses yang sinambung sepanjang pengelolaan
gawat darurat medik.
Proses triase inisial harus dilakukan oleh petugas pertama yang tiba /
berada ditempat dan tindakan ini harus dinilai ulang terus menerus karena status
triase pasien dapat berubah. Bila kondisi memburuk atau membaik, lakukan
retriase. Triase harus mencatat tanda vital, perjalanan penyakit pra RS, mekanisme
cedera, usia, dan keadaan yang diketahui atau diduga membawa maut. Temuan
yang mengharuskan peningkatan pelayanan antaranya cedera multipel, usia
ekstrim, cedera neurologis berat, tanda vital tidak stabil, dan kelainan jatung-paru
yang diderita sebelumnya. Survei primer membantu menentukan kasus mana yang
harus diutamakan dalam satu kelompok triase (misal pasien obstruksi jalan nafas
dapat perhatian lebih dibanding amputasi traumatik yang stabil).
Di UGD, disaat menilai pasien, saat bersamaan juga dilakukan tindakan
diagnostik, hingga waktu yang diperlukan untuk menilai dan menstabilkan pasien
berkurang.Di institusi kecil, pra RS, atau bencana, sumber daya dan tenaga tidak
memadai hingga berpengaruh pada sistem triase. Tujuan triase berubah menjadi
bagaimana memaksimalkan jumlah pasien yang bisa diselamatkan sesuai dengan
kondisi. Proses ini berakibat pasien cedera serius harus diabaikan hingga pasien
yang kurang kritis distabilkan.
Triase dalam keterbatasan sumber daya sulit dilaksanakan dengan baik.
Saat ini tidak ada standard nasional baku untuk triase. Metode triase yang
dianjurkan bisa secara METTAG (Triage tagging system) atau sistim triase
Penuntun Lapangan START (Simple Triage And Rapid Transportation).
- Petugas Ekstrikasi/Bahaya.
- Petugas Triase Primer.
- Petugas Triase Sekunder.
- Petugas Perawatan.
- Petugas Angkut atau Transportasi.
5. Kenali dan tunjuk area sektor bencana :
- Sektor Komando / Komunikasi Bencana.
- Sektor Pendukung (Kebutuhan dan Tenaga).
- Sektor Bencana.
- Sektor Ekstrikasi / Bahaya.
- Sektor Triase.
- Sektor Tindakan Primer.
- Sektor Tindakan Sekunder.
- Sektor Transportasi.
6. Rencana Pasca Kejadian Bencana :
7. Kritik Pasca Musibah.
8. CISD (Critical Insident Stress Debriefing).
Sektor Tindakan Sekunder bisa berupa Sektor Tindakan Utama dimana korban
kelompok merah dan kuning yang menunggu transport dikumpulkan untuk lebih
mengefisienkan persedian dan tenaga medis dalam resusitasi-stabilisasi.
Keamanan.
Mengamankan penolong dan korban. Petugas keamanan mengatur semua
kegiatan dalam keadaan aman bagi petugas rescue, pemadaman api, evakuasi,
bahan berbahaya dll. Bila petugas keamanan melihat keadaan berpotensi bahaya
Survei Primer.
Langkah-langkahnya sebagai ABCDE (airway and C-spine control,
breathing, circulation and hemorrhage control, disability, exposure/environment).
Jalan nafas merupakan prioritas pertama. Pastikan udara menuju paru-paru tidak
terhambat. Temuan kritis seperti obstruksi karena cedera langsung, edema, benda
asing dan akibat penurunan kesadaran. Tindakan bisa hanya membersihkan jalan
nafas hingga intubasi atau krikotiroidotomi atau trakheostomi.
Nilai pernafasan atas kemampuan pasien akan ventilasi dan oksigenasi.
Temuan kritis bisa tiadanya ventilasi spontan, tiadanya atau asimetriknya bunyi
nafas, dispnea, perkusi dada yang hipperresonans atau pekak, dan tampaknya
instabilitas dinding dada atau adanya defek yang mengganggu pernafasan.
Tindakan bisa mulai pemberian oksigen hingga pemasangan torakostomi pipa dan
ventilasi mekanik.
Nilai sirkulasi dengan mencari hipovolemia, tamponade kardiak, sumber
perdarahan eksternal. Lihat vena leher apakah terbendung atau kolaps, apakah
bunyi jantung terdengar, pastikan sumber perdarahan eksternal sudah diatasi.
Tindakan pertama atas hipovolemia adalah memberikan RL secara cepat melalui 2
kateter IV besar secara perifer di ekstremitas atas. Kontrol perdarahan eksternal
dengan penekanan langsung atau pembedahan, dan tindakan bedah lain sesuai
indikasi.
Tetapkan status mental pasien dengan GCS dan lakukan pemeriksaan
motorik. Tentukan adakah cedera kepala atau kord spinal serius. Periksa ukuran
pupil, reaksi terhadap cahaya, kesimetrisannya. Cedera spinal bisa diperiksa
dengan mengamati gerak ekstremitas spontan dan usaha bernafas spontan. Pupil
yang tidak simetris dengan refleks cahaya terganggu atau hilang serta adanya
hemiparesis memerlukan tindakan atas herniasi otak dan hipertensi intrakranial
yang memerlukan konsultasi bedah saraf segera.
Tidak adanya gangguan kesadaran, adanya paraplegia atau kuadriplegia
menunjukkan cedera kord spinal hingga memerlukan kewaspadaan spinal dan
pemberian metilprednisolon bila masih 8 jam sejak cedera (kontroversial). Bila
usaha inspirasi terganggu atau diduga lesi tinggi kord leher, lakukan intubasi
endotrakheal.
Tahap akhir survei primer adalah eksposur pasien dan mengontrol lingkungan
segera. Buka seluruh pakaian untuk pemeriksaan lengkap. Pada saat yang sama
mulai tindakan pencegahan hipotermia yang iatrogenik biasa terjadi diruang ber
AC, dengan memberikan infus hangat, selimut, lampu pemanas, bila perlu selimut
dengan pemanas.
Bila pasien sadar, kumpulkan data penting termasuk masalah medis sebelumnya,
alergi dan medikasi sebelumnya, status immunisasi tetanus, saat makan terakhir,
kejadian sekitar kecelakaan. Data ini membantu mengarahkan survei sekunder
mengetahui mekanisme cedera, kemungkinan luka bakar atau cedera karena suhu
dingin (cold injury), dan kondisi fisiologis pasien secara umum.
Pemeriksaan Fisik Berurutan.
Diktum jari atau pipa dalam setiap lubang mengarahkan pemeriksaan. Periksa
setiap bagian tubuh atas adanya cedera, instabilitas tulang, dan nyeri pada palpasi.
Periksa lengkap dari kepala hingga jari kaki termasuk status neurologisnya.
PEMERIKSAAN PENCITRAAN DAN LABORATORIUM.
Pemeriksaan radiologis memberikan data diagnostik penting yang menuntun
penilaian awal. Saat serta urutan pemeriksaan adalah penting namun tidak boleh
mengganggu survei primer dan resusitasi. Pastikan hemodinamik cukup stabil saat
membawa pasien keruang radiologi.
Pemeriksaan Laboratorium saat penilaian awal.
Paling penting adalah jenis dan x-match darah yang harus selesai dalam 20 menit.
Gas darah arterial juga penting namun kegunaannya dalam pemeriksaan serial
digantikan oleh oksimeter denyut. Pemeriksaan Hb dan Ht berguna saat
kedatangan, dengan pengertian bahwa dalam perdarahan akut, turunnya Ht
mungkin tidak tampak hingga mobilisasi otogen cairan ekstravaskuler atau
pemberian cairan resusitasi IV dimulai.
Urinalisis dipstick untuk menyingkirkan hematuria tersembunyi. Skrining urin
untuk penyalahguna obat dan alkohol, serta glukosa, untuk mengetahui penyebab
penurunan kesadaran yang dapat diperbaiki. Pada kebanyakan trauma, elektrolit
serum, parameter koagulasi, hitung jenis darah, dan pemeriksaan laboratorium
umum lainnya kurang berguna saat 1-2 jam pertama dibanding setelah stabilisasi
dan resusitasi.
PENUTUP.
Indonesia adalah super market bencana. Semua petugas medis bisa terlibat dalam
pengelolaan bencana. Semua petugas wajib melaksanakan Sistim Komando
Bencana dan berpegang pada SPGDT-S/B pada semua keadaan gawat darurat
medis baik dalam keadaan bencana atau sehari-hari. Semua petugas harus waspada
dan memiliki pengetahuan sempurna dalam peran khusus dan pertanggungjawabannya dalam usaha penyelamatan pasien.
Karena banyak keadaan bencana yang kompleks, dianjurkan bahwa semua petugas
harus berperan-serta dan menerima pelatihan tambahan dalam pengelolaan
bencana agar lebih terampil dan mampu saat bencana sebenarnya.
RUJUKAN.
1. Seri PPGD. Penanggulangan Penderita Gawat Darurat / General Emergency Life
Support (GELS). Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT).
Cetakan Ketiga. Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan
R.I. 2006.
2. Penanggulangan Kegawatdaruratan sehari-hari & bencana. Departemen
Kesehatan R.I. Jakarta : Departemen Kesehatan, 2006.
3. Tanggap Darurat Bencana (Safe Community). Departemen Kesehatan R.I.
Jakarta : Departemen Kesehatan, 2006.
4. Prosedur Tetap Pelayanan Kesehatan Penanggulangan Bencana dan
Penaanganan Pengungsi. Departemen Kesehatan R.I. Pusat Penanggulangan
Masalah Kesehatan. Tahun 2002.
5. Advanced Trauma Life Support. Course for Physicians 6th. edition. American
College of Surgeons, 55 East Erie Street, Chicago, IL 60611-2797.
6. Multiple Casualty Insidents. Available at
http://www.vgernet.net/bkand/state/multiple.html.
RSUD BESEMAH
No. Dokumen
No. Revisi
Halaman
1/1
Tanggal terbit
Ditetapkan oleh :
Direktur RSUD Besemah
PENGERTIAN
TUJUAN
KEBIJAKAN
PROSEDUR
UNIT TERKAIT
Kamar Operasi.
Ruang perawatan.
2012
No. Revisi :
Halaman :
1/2
Ditetapkan :
Kepala RSUD Dr Mohamad Saleh
Kota Probolinggo
Keadaan Terminal adalah suatu keadaan sakit dimana menurut akal sehat tidak tidak
ada harapan lagi bagi si sakit untuk sembuh.
Kematian adalah suatu keadaan terputusnya hubungan tubuh dengan dunia luar yang
ditandai dengan tidak adanya denyut nadi, tidak bernafas selama beberapa menit dan
ketiadaan segala refleks, serta ketiadaan kegiatan otak dan sudah dinyatakan oleh
dokter yang berwenang.
Tujuan
Kebijakan
PROSEDUR