Khutbah Jumat
Khutbah Jumat
Kita hidup di muka bumi ini tentunya dengan tujuan dan perjuangan serta cita-cita
yang beraneka ragam.
Dari keragaman tujuan dan cita-cita atau kehendak itu secara garis besar yang
kebanyakan manusia dambakan adalah tiga
perkara, yaitu:
1. Kekuatan.
2. Kekayaan.
3. Kewibawaan/Kemulyaan.
Kita akan mencoba memandang tiga perkara ini dengan kacamata syariat.
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Man ahabba an yakuna
aqwannasi fal yatawakkal 'alallahi Ta'ala, waman ahabba an yakuna aghnannasi,
falyakun bima fi yadillahi 'Azza wa Jalla awtsaqa minhu bima fi yadihi, waman
ahabba an yakuna akramannaasi falyattaqillah 'Azza waa Jalla." (Rawahu Ibnu Abi
Hathim).
Yang artinya, "Barangsiapa mencintai agar dia menjadi orang yang paling kuat di
kalangan manusia, maka hendaklah dia bertawakal pada Allah Ta'ala. Barangsiapa
mencintai agar dia menjadi orang yang paling kaya di kalangan manusia, maka
hendaklah dia menjadikan apa yang ada pada sisi Allah lebih dia yakini dari apa
yang ada pada usahanya, dan barangsiapa yang mencintai agar dia menjadi orang
yang paling mulia di kalangan manusia maka hendaklah dia bertakwa pada Allah
'Azza waa Jalla."
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam, disebut jawami'ul kalim, yaitu ucapannya
ringkas padat tetapi maknanya luas. Kita dapat lihat pada hadis tadi betapa dalam
dan luasnya rumusan yang Nabi saw sampaikan dan ajarkan pada kita.
Maka pada kesempatan ini saya akan mencoba menjelaskan sedapat mungkin
untuk diri saya sendiri, jika bermanfaat untuk ikhwan dan akhwat sekalian
alhamdulillah, mudah-mudahan menjadi bekal dalam perjalanan hidup kita ini.
Kalau kita lihat apa kaitan antara kuat dan tawakal, dan apa rahasianya? Untuk
menjawab ini ada baiknya kita singgung sedikit tentang gambaran dari tawakal itu
sendiri secara singkat saja. Dalam Alquran Allah menyatakan tentang tawakal.
Allah SWT berfirman yang atinya, "Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah,
niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah
melaksanakan urusan (yang dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah
mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu." (Ath-Thalaq: 3).
Menafsirkan ayat tersebut, ar-Rabi' bin Khutsaim mengatakan, (mencukupkan) dari
setiap yang membuat sempit manusia. Para ulama -semoga Allah membalas
mereka dengan sebaik-baik balasan- telah menjelaskan makna tawakal. Di
antaranya adalah Imam al-Ghazali, beliau berkata, "Tawakkal adalah penyandaran
hati hanya kepada wakil (yang ditawakali) semata."
Al-Allamah al-Manawi berkata, "Tawakal adalah menampakkan kelemahan serta
penyandaran (diri) kepada yang di tawakali." Menjelaskan makna tawakal kepada
Allah dengan sebenar-benar tawakkal, al-Mulla Ali al-Qori berkata, "Hendaknya
kalian ketahui secara yakin bahwa tidak ada yang berbuat dalam alam wujud ini
kecuali Allah, dan bahwa setiap yang ada, baik makhluk maupun rezeki, pemberian
atau pelarangan, bahaya atau manfaat, kemiskinan atau kekayaan, sakit atau
sehat, hidup atau mati, dan segala hal yang disebut sebagai sesuatu yang maujud
(ada), semuanya itu adalah dari Allah."
Dan jika kita bicara masalah tawakal, secara otomatis kita bicara usaha, dan daya
upaya manusia itu sendiri juga dituntut oleh syari. Sebagaimana pemahaman Ahlu
Sunnah terhadap wajibnya usaha dalam bertawakal. Hal tersebut seperti apa yang
dinyatakan Imam Ahmad beliau berkata, "Dalam hadis tentang tawakal tidak ada
isyarat yang membolehkan untuk meninggalkan usaha, sebaliknya justru di
dalamnya ada isyarat yang menunjukkan perlunya usaha. Jadi, maksud hadis
bagian hampir ratusan onta atau kambing, tetapi kaum Muhajirin dan Anshar
pulang ke Madinah membawa Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Zaid ra katanya, Rasulullah saw telah membagikan
harta rampasan perang setelah memenangkan perang Hunain kepada orang-orang
muallaf, yaitu baru saja memeluk Islam agar tetap dengan keislamannya. Kemudian
baginda mendengar kabar golongan Ansar juga ingin mendapatkan apa yang
didapati oleh orang-orang lain. Maka, Rasulullah saw berdiri dan menyampaikan
khotbah kepada mereka. Setelah memuji Allah baginda bersabda, "Wahai golongan
Ansar! Tidakkah aku bertemu kamu sekalian dalam keadaan sesat, lalu Allah
tunjuki kamu dengan perantaraan
aku? Tidakkah aku menemui kamu sekalian dalam keadaan miskin, lalu Allah
menjadikan kamu kaya dengan perantaraan aku? Tidakkah aku menemui kamu
sekalian dalam keadaan berpecah-belah, lalu Allah menyatukan kamu dengan
perantaraan aku?" Mereka berkata, "Allah dan Rasul-Nya lebih berhak mengungkitungkit." Rasulullah saw bersabda, "Mengapa kamu tidak menjawab pertanyaanku."
Mereka berkata, "Allah dan Rasul-Nya lebih berhak mengungkit-ungkit pemberian."
Rasulullah saw bersabda, "Kamu boleh berkata begitu dan begini sedangkan
perkara sebenarnya adalah begini dan begini. Seterusnya baginda menyebut
beberapa perkara. Amru, yaitu perawi hadis menganggap perkara-perkara tersebut
tidak perlu di hafal. Selanjutnya Rasulullah saw bersabda, "Tidakkah kamu sekalian
ridha jika orang lain kembali dengan membawa kambing-kambing dan unta,
sedangkan kamu kembali dengan membawa Rasulullah ke tempat kamu? Golongan
Ansar itu seperti pakaian dalam sedangkan orang lain seperti pakaian luar (Artinya
orang Ansarlah yang paling dekat di hati Nabi saw). Kalau tidak karena Hijrah,
tentu aku adalah salah seorang di antara gologan Ansar. Seandainya orang-orang
melalui lembah dan celah-celah, tentu aku akan melalui lembah dan celah-celah
golongan Ansar. Kamu pasti akan didatangi satu keadaan yang tidak disukai
selepas aku wafat. Oleh itu, bersabarlah hingga kamu bertemu denganku di sebuah
telaga pada hari Kiamat." (HR Bukhari).
Itulah gambaran dari orang yang beriman yang mencukupkan kekayaan bagi
mereka dengan menerima apa yang dari Allah, dan apa yang Nabi tunjukan.