Anda di halaman 1dari 11

Cinta, Nokia, dan Nexian

Di dunia ini, sudah menjadi hukum alam bahwa apa yang pernah terjadi takkan bisa
diulangi. Begitu juga dengan kenangan. Siapapun hanya mampu membatasi ruangnya dengan
mengingatnya, tidak untuk mengulanginya bahkan memperbaikinya. Kenangan adalah hak
setiap manusia yang memiliki masa lalu. Entah itu menyakitkan atau menggembirakan.
Semua kenangan dengan porsi yang berbeda akan menyesakkan ingatan. Terlebih jika
kenangan yang diingat adalah kenangan yang disebut dengan ucapan spesial atau
berkesan.
Panggil saja kenangan spesial itu bernama cinta. Cinta yang sering disandingkan
dengan monyet. Cintanya anak remaja tanggung yang polos. Cerita ini juga pernah aku miliki
dulu saat aku menikmati bagaimana rasanya mengenakan seragam putih-biru dan ketika
dengan bangganya mengenakan seragam putih-abu. Ah, cerita cinta pada jaman itu sungguh
sulit untuk dilupakan. Bukan untuk kegilaan yang disebut dengan cinta monyet itu, tapi
kisah tentang bagaimana seseorang mencari makna cinta yang sebenarnya. Cinta yang
dimiliki oleh setiap insan, yang merupakan fitrah setiap manusia yang mengaku dirinya
pejuang cinta.
Lisma Nopiyanti, nama itulah yang menempel di seragamku. Selalu aku kenakan ketika
jadwal sekolah telah dimulai. Saat itu, usiaku kira-kira 15 tahun (atau anak kelas 2 SMP).
Aku masih hidup di tahun yang belum ramai dengan kedatangan para gadget, ataupun
handphone smartphone yang super canggih seperti sekarang ini. Memiliki nokia dengan
spesifikasi layar berwarna saja, bagiku itu sudah sangat mewah. Itulah mungkin makna
bersyukur yang sebenarnya. Namun, sayangnya nokia yang serba sederhana itu bukan hakku
sepenuhnya, karena aku masih harus berbagi penggunaannya dengan saudara kembarku. Ya,
aku memiliki saudara kembar. Namanya tak jauh beda denganku, Lisda Nopiyana.

Hari-hari itu terasa tak sesulit sekarang. Walaupun kegunaan nokia tersebut harus
digunakan bersama, itu tak jadi masalah bagiku juga Lisda. Aku tetap bisa menikmatinya.
Lisda, aku pinjam dulu ya hape-nya. Aku mencoba merayu Lisda untuk bergantian,
karena sejak tadi, nokia berlayar warna itu sudah dikuasai Lisda.
Ini. Lisda memberikannya cuma-cuma. Dia tau makna berbagi.
Begitulah setiap harinya, yang jelas kepemilikan nokia itu atas asas bersama. Sama
ketika nomor di-hape nokia itu sudah diramaikan oleh bunyi-bunyi suara pesan singkat.
Bertukar dan berkirim pesan singkat mulai jadi agenda baru untuk dua anak kembar ini.
Memang sudah nalurinya, aku dan Lisda acapkali memiliki selera dan cerita yang sama.
Hal ini juga berlaku dengan urusan hati. Saat itu, usia anak perempuan yang belum bisa
dikatakan cukup umur untuk mengenal cinta dengan lawan jenisnya, mulai membuat cerita.
Kekompakkanku dengan Lisda memang bisa tercipta kapan saja, juga untuk urusan cinta
monyet ini (atau lebih tepatnya rasa suka). Aku dan Lisda sedang dilanda virus kakak
tingkat. Aku memang belum mengerti, rasa kagum yang ada itu apakah memang manusiawi.
Apalagi, aku dilahirkan bukan dari negeri ibukota yang gaya hidupnya sudah kebarat-baratan.
Pikiranku hanya sederhana, rasa kagum pada kakak kelas. Cukup melihatnya di kelas
seberang, itu sudah lebih dari cukup. Bahkan saat jam olahraga, aku akan selalu menantinya
menyelesaikan les komputernya dari tengah lapangan. Bagiku itu adalah letak yang sangat
strategis supaya bisa melihatnya. Hanya melihatnya. Hanya sesederhana itu.
Lisda, lihat kak Muhammad. Dia jagokan main basketnya? Aku menunjuk seseorang
yang tengah berjuang memperebutkan bola.
Iya, Ma. Dia itu kaptennya, lho. Lisda memberi informasi lanjutan lainnya.
Oh, iya? Aku antusias mendengarnya.

Jangan bilang kau su..... Lisda mengejekku dengan wajah sok manisnya.
Ssssssttttt! Aku tahu Lisda bisa membaca gerak-gerikku.
Aku kasih tau bapak, ya? Lisda masih setia menatapku dengan ejekkannya.
Aku membalasnya dengan diam. Awas saja kau, Lisda. Cepat atau lambat aku juga
akan tahu siapa kakak kelas yang kau kagumi itu. Bisikku dalam hati. Aku tersenyum licik
menatap Lisda.
Cerita itu memang bergulir begitu saja, tanpa ada cerita tambahan apalagi cerita indah.
Penyebabnya adalah kak Muhammad tak pernah tahu, ada adik kelas yang menaruh rasa
kagum padanya hingga cerita itu memang benar-benar menjadi kenangan. Hal ini juga
berlaku pada Lisda. Lagi-lagi, kami mengalami kesakitan yang sama. Ah, mungkin aku
berlebihan.
***
Cerita yang satu gugur, sekarang tumbuh cerita baru. Walau bayangannya terus tersisa.
Sekali lagi, ini cerita cintanya remaja tanggung sepertiku pada jaman itu. Rasa kagum itu bisa
berpindah tangan dan bisa berlaku kepada siapa saja yang aku anggap memiliki prestasi
menarik. Apakah cinta itu seperti itu? Cepat berubah?
Beberapa minggu ini, nokia milikku juga Lisda ramai berbunyi lagi. Bukan dari temantemanku. Tapi, dari teman yang lain. Dia kakak kelasku, anak 9.4. Dia memang rajin sekali
mengirim pesan singkat padaku, aku mengetahuinya karena dia menyebut nama Lisma
bukan Lisda di pesan singkat itu. Lisda juga tentunya mendapat pesan singkat dari si dia.
Senir yang berada di kelas 9.2. Kami memang harus kompak. Aduh. Saat itu, aku tak mengira
akan ada bahaya yang mengintai setelahnya.
Hari itu hari Jumat, aku juga Lisda tengah mengikuti acara MTQ di mushalla sekolah.

Lisda, tadi hape-nya kau simpankan? Aku mulai panik.


Aku lupa menyimpannya, Ma. Bagaimana ini? Lisda juga kebingungan. Masalah ini
diperparah dengan kelupaan aku juga Lisda menghapus pesan singkat yang isinya basa-basi
itu.
Pemikiran itu mengganggu konsentrasiku juga Lisda. Benar saja ketika menginjakkan
kaki di rumah, ibu sudah menunggu dengan ucapan yang melemahkan.
Lisda, Lisma, kalian smsan dengan siapa? Ibu meminta jawaban dua anak
perempuannya ini.
Teman, bu. Lisda menjawab singkat.
Ya sudah, kalau itu teman. Sekarang cepat berkemas. Sebentar lagi magrib. Ibu
memang paling bisa menenangkan kerisauan anak-anaknya. Tapi, sayang, usaha ibu tak
memberi dampak padaku saat ini. Aku terbayang ancaman-ancaman yang akan diberikan
bapak atas kesalahanku ini.
Sepanjang sore itu, aku berpikir keras untuk menghadapi resiko yang harus
dipertanggungjawabkan. Solat magrib kali inipun dipenuhi dengan kegelisahan. Tepat,
setelah selesai solat magrib. Terdengar suara penghakiman itu.
Lisda, Lisma, ke sini dulu. Suara bapak mulai terdengar menakutkan.
Aku dan Lisda kebingungan hendak berbuat apa. Rasanya kalau bisa kabur dari rumah,
mungkin aku akan memilihnya. Namun, aku bukan anak nakal seperti itu. Itu bukan aku.
Jadi, tak ada jalan lain selain keluar dan menerima resikonya. Aku dan Lisda berduyun-duyun
ke arah ruang menonton. Bapak sudah memegang nokia itu. Wajahnya sudah masam. Ini
pertanda buruk, sangat buruk. Kami duduk berhadapan, aku dan Lisda sudah menjadi

terdakwa malam ini. Kami berdua menunduk, sementara bapak masih setia memeriksa nokia
berlayar warna itu.
Siapa yang sms kalian ini? Bapak mulai menginterogasi kami.
Aku dan Lisda hanya diam. Menjawab pun tak mampu membenarkan apa-apa.
Mau kalian bapak nikahkan? Lisda? Lisma? Nada itu mulai meninggi.
Mataku sudah berkaca-kaca. Mana mungkin aku mau menikah, padahal itu hanya
persoalan sepele hanya sms biasa, memang sangat biasa. Aku masih ingin sekolah. Aku tak
bisa menjawab apa-apa. Dadaku sesak dengan tangis. Aku sesegukkan menangis, juga Lisda.
Jawab bapak. Apa kalian berdua sudah mau nikah? Kalau sudah, berhenti sekolah.
Biar bapak nikahkan kalian dengan teman sms ini. Biar tak payah bapak sekolahkan kalian
tinggi-tinggi. Bapak makin membuat tangisku pecah. Aku benar-benar terisak. Ada
penyesalan yang bergantian keluar dari benakku.
Kalian itu dikasih hape supaya mudah berkomunikasi dengan teman kalian. Tapi,
malah kalian salah memanfaatkannya. Kalian ini. Sekolah dulu yang benar. Buat prestasi
yang banyak, bukan seperti ini. Siapa nama teman kalian ini? Kelas berapa dia? Biar besok
bapak panggil keduanya. Mendengar itu, aku makin ketakutan. Bapak memang guru di
sekolahku. Guru yang ditakuti di sekolah. Bapak tentu tahu dengan kedua orang itu, karena
mereka adalah muridnya. Lalu, aku harus berkata apa.
Ahmad, Pak. Kelas 9.2. Aku tersentak. Lisda menyebutkan nama itu.
Satunya lagi? Bapak masih menunggu kepastian.
Rico, Pak. Kelas 9.4. Lisda melengkapinya. Dua nama itu sudah menjadi target bapak
besok.

Aku benar-benar takut. Bagaimana memberitahu mereka berdua. Sedang, aku juga
Lisda hanya bisa berkomunikasi melalui nokia itu. Selebihnya, aku dan Lisda hanya bertemu
dengannya ketika upacara, senam, atau apel saja. Itupun hanya melihatnya, tidak
menegurnya. Dan sekarang, kedua kakak kelas itu akan mendapatkan hukuman gara-gara
kesalahan aku dan Lisda.
Aku berpasrah pada waktu, hari ini sudah berlalu. Namun, nokia kami masih disita.
Seharusnya, aku dan Lisda sudah bisa mengantisipasi semuanya. Aku lupa menghapus pesan
singkat malam itu. Padahal, bapak memang setiap minggu mengecek hape kami itu. Aku
merasa bersalah. Sejak saat itu, saat hape nokia itu sudah menjadi hak milik kami (lagi).
Kami menghentikan kegiatan pesan singkat itu. Kejadian kemarin cukup membuat nyaliku
ciut.
Beberapa minggu setelah kejadian itu, kak Rico dan kak Ahmad sulit sekali dilihat.
Seolah mereka sudah menyembunyikan diri mereka di hadapan kami. Entah hukuman
semacam apa yang sudah bapak berikan kepada mereka. Aku hanya bisa menerka-nerka.
Semenjak saat itu, nokia menjadi sepi, tak seramai dulu. Aku tahu apa yang dilakukan bapak
adalah untuk kebaikan anak kembarnya ini. Beliau hanya ingin menjaga, ya, menjaga kedua
putrinya dari laki-laki yang masih bau kencur itu.
Nokia berlayar warna itu menjadi saksi betapa lugunya anak berseragam putih-biru.
Sebuah cinta yang berlatar kagum. Saat itu pengetahuanku hanya sesederhana itu. Sebuah
cinta yang berlatar menjaga. Ya, cinta dari seorang bapak untuk putrinya, untuk menjaganya.
Walau aku tahu, remaja seusiaku tentu akan dihadapkan masalah yang sama. Namun, aku tak
pernah menghakimi kebijaksanaan seorang ayah seperti keputusan bapak. Bagiku, keputusan
itu memang berhasil menjagaku juga Lisda. Meski rasa kagum dan rasa suka itu masih selalu

ada karena putri kembarmu ini juga manusia biasa yang sedang menjalani masanya. Meski
semua harus berbatas pada cerita berdua.
***
Cerita nokia berakhir pada masa putih-biru. Cerita itu sudah menjadi kenangan yang
hanya bisa diingat. Cerita selanjutnya, akan mengisahkan cinta yang sama dengan handphone
yang berbeda.
Saat menginjakkan kaki dicerita ini aku mendapatkan cerita baru mengenai hukuman
yang bapak berikan pada kak Richo dan kak Ahmad. Belakangan ini aku baru tahu, bahwa
bapak rupanya tak menghukum mereka. Memang, keduanya dipanggil ke kantor bapak. Saat
itu, mereka memang bingung dan takut. Mereka tak tahu apa salah mereka.
Kalian tahu, kenapa kalian dipanggil ke sini? Bapak memulai menginterogasi
keduanya.
Mereka menggeleng.
Kaliankan yang sms anak bapak? Bapak melanjutkannya.
Mereka mengangguk tak berdaya.
Kalau kalian mau dekati anak bapak, tunggu kalian pakai seragam celana panjang.
Bapak berbicara dengan nada seriusnya.
Keduanya bingung hendak memberikan respon apa. Hanya senyum yang tak terbujur
dengan lebar, sedikit saja. Mungkin ketakutan mereka dengan bapak, menutup akal yang ada
di kepalanya. Padahal, bapak tak memarahi mereka. Tetapi, mereka menganggapnya adalah
omelan atau amarah bapak padanya. Pantas saja mereka tak pernah menegur aku juga Lisda.
Apakah seserius itu masalahnya? Oh, Allaah.

Melupakan cerita nokia itu. Cerita babak baru ini berawal dari perkenalan yang tak
sengaja. Karena memang sudah kewajibannya saat diterima di sekolah baru adalah bertemu
dengan wajah-wajah baru. Ini bercerita tentang teman satu kelas yang berlogo spesial. Pada
masa putih-abuku, lagi-lagi kehadiran smartphone belum begitu lumrah. Hanya saja
kehadiran hape qwerty sudah mulai diperhitungankan keberadaannya.
Saat ini, nokia berwarna itu tak lagi dipegang. Syukur dengan rezeki yang diberikan
Allah, hape-ku sudah tak berbagi lagi. Ceritanya sudah berubah menjadi hape merk China
dengan tombol qwerty. Lagi-lagi cerita cinta ini berawal dari pesan singkat lagi setelah tatap
mata di ruang kelas. Cinta sejenis apalagi ini?
Semenjak duduk di kursi putih-abu ini, kegiatan pemeriksaan hape sudah tidak ada.
Hanya sering ada teguran ketika hape ramai berbunyi. Aku dan Lisda sudah menjadi pribadi
yang lebih mandiri. Aku tidak harus meminta izin Lisda saat ingin mengenakan hape,
begitupun sebaliknya. Kejadian tersebut tidak menyurutkan keinginan kami untuk tetap
bercerita. Bagiku Lisda adalah pendengar dan penasihat yang baik selain ibu, begitu juga
dengan Lisda. Apapun akan menjadi bahan pembicaraan, juga teruntuk persoalan hati yang
sedang mencari ini.
Briant, aku selalu menceritakan teman satu kelasku itu pada Lisda. Lisda juga sering
membagi ceritanya tentang rasa kagumnya pada kakak kelas (baca: senior). Dia adalah
korban kemanisan cerita masa orientasi siswa (mos). Katanya kesan pertama dari kegiatan
itu. Sedang, untuk permasalahanku, tak tahu karena apa, yang jelas aku merasa dia adalah
teman yang bisa diandalkan. Mungkin karena hobiku yang sama dengannya, sama-sama suka
menggambar. Apakah sesederhana itu? Jawabannya, iya benar, walau entah apa korelasinya
rasa cinta dengan hobi yang sama. Mengingat hal itu hanya membuat simpul di wajahku.
Sesederhana itulah aku memahaminya saat itu.

Cie, cie, Lisma.... Teman-teman akan bersorak ramai ketika aku satu kelompok
dengannya. Walau kenyataannya ekspresi itu hanya bisa aku lihat di-smile hape Chinaku saja.
Tidak ketika berada dalam suatu situasi yang sama. Kenyataannya, dia tak pernah berbicara
padaku (realitasnya). Aku hanya membalasnya dengan senyum masam. Aku pura-pura tak
antusias (juga).
Cerita itu berlanjut seperti itu, aku hanya setia membalas pesan singkat darinya yang
sesekali datang. Atau bahkan pesan singkatku akan dibalas oleh mamanya ketika ia
mengalami sakit atau sesuatu yang mendadak. Namun, realitasnya, dia tak pernah
menegurku.
Lisma, tahu kenapa Briant tak mau menegurmu? Ali temannya mengusikku yang
tengah menikmati jam istirahat.
Aku menggeleng.
Karena dia itu, deg-degan kalau melihat kamu. Ali terbahak-bahak. Aku serius.
Walaupun terlihat berlebihan. Ali melanjutkan tawanya.
Aku diam saja. Aku malas menanggapinya. Meski aku memang harus percaya pada
kata-kata Ali. Sebab apa yang muncul dari mulutnya adalah apa yang ia dengar dari Briant.
***
Aku memikirkan apa yang dikatakan Ali saat di sekolah tadi. Kalau memang seperti itu,
lalu kenapa ketika melihatku dia bukan terlihat grogi. Tapi, lebih terlihat ketakutan. Layaknya
seseorang yang meilhat hantu, dan berlari ketakutan. Aku ingat, ketika aku berpapasan. Dia
berlari berbalik arah. Saat itu, aku terkejut dan baru menyadarinya setelah dia berlalu. Lalu,
ketika dia meminjamkan kabel pengisi baterai padaku. Saat itu, aku tengah ujian. Kebetulan

itu waktunya pulang. Otomatis lorong-lorong di depan kelas pasti ramai. Aku memperhatikan
jalanku. Tiba-tiba, ada yang memanggil namaku.
Mbak Lisma, Mbak Lisma. Suaranya kecil bercampur baur dengan keramaian. Lalu,
ada tangan yang kemudian menarik tasku. Seperti memberi isyarat. Memang dia
memanggilku dengan sebutan itu, karena usiaku lebih mudah satu tahun dibanding dia.
Belum sempat aku mengetahui siapa yang memanggil. Di hadapanku sudah ada tangan
yang menjulurkan kabel itu.
Ini. Hanya kata itu, lalu berlalu.
Aku mengambilnya, menerima kabel itu dan selesai.
Begitulah ceritanya, hingga artian pertemanan kami memang berarti teman benar-benar
teman biasa tak ada yang spesial. Sayang, kondisi semacam itu tetap berlangsung hingga
sekarang. Walaupun keadaannya memang jauh berbeda. Ketika bertemu masih ada rasa
canggung. Sekarang, aku dan mamanya malah makin dekat. Bahkan mamanya menganggap
aku ini anak angkatnya. Kedua orang tuaku menjadi dekat dengan kedua orang tuanya.
Entahlah, apa itu dampak dari pesan singkat dari hape China bermerk G-Star itu? Bahwa
yang jelas adalah cinta itu menjaga, karena yang tergesa-gesa itu berujung pada nafsu. Itulah
makna cinta yang kudapati dari sebuah cerita pesan singkat antara pemilik hape bermerk
China sepertiku, dan dengannya pemilik hape bermerk Nexian itu. Baginya, cinta itu
memang menjaga.
Memang betul, ada banyak cara untuk mengungkapkan suatu perasaan kepada orang
lain. Sangat beragam sekali. Hanya yang dituntut dalam hal ini adalah tanggung jawab atas
pengungkapan suatu rasa yang disebut cinta itu, tidak boleh bertahta pada godaan setan
semata. Sebab, cinta itu suci. Cinta itu bukan memaknainya dengan kepemilikkan, bukan juga
dengan status paling membingungkan (Pacar: bukan suami/bukan teman/bukan kakak/bukan

saudara=bukan siapa-siapa). Tapi, cinta itu kepada pemilik hati kita, Allaah Taalla. Allaahlah yang berhak mengaturnya. Cinta itu melepaskan, dan menerima ketika takdir Allah sudah
berkata iya.
Aku tak pernah tahu, cerita nokia berlayar warna atau cerita hape bermerk China yang
akan mengesahkan takdir Allaah. Karena manusia hanya pelaku perjalanan kehidupan, pelaku
panggung sandiwara. Kita hanya bisa melakukan apa yang kita yakini, selebihnya itu yang
menjadi urusan Allaah. Ingat, cinta itu pasti menjaga. Lalu, kenangan yang saat ini berhasil
aku ingat, akan selalu ada dan menempati posisinya sendiri di memoriku. Kelak suatu saat,
ketika dibutuhkan, aku akan membukanya kembali. Terima kasih untuk cerita kehidupannya,
Allaah.

Anda mungkin juga menyukai