Anda di halaman 1dari 12

Makalah Mata Kuliah Farmakologi Kemoterapi

ANTIMALARIA

Disusun oleh :
Fitria Citra Ayu
260110130093

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN

I. DEFINISI
Malaria merupakan penyakit menular yang re-emerging, karena 35%
penduduk Indonesia tinggal di daerah endemis malaria. Menurut survei kesehatan
rumah tangga (SKRT) tahun 1995 diperkirakan setiap tahunnya terdapat 15 juta
kasus malaria dan 30.000 orang di antaranya meninggal dunia. Sejak empat tahun
terakhir

angka

kesakitan

malaria

menunjukkan

kecenderungan

yang

mengkhawatirkan. Peningkatan kasus diakibatkan adanya perubahan lingkungan,


mobilitas penduduk, dan meningkatnya resistensi terhadap obat anti malaria
(Azlin, 2004).
Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit malaria (Plasmodium)
bentuk aseksual yang dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan
nyamuk malaria (Anopheles) betina. Parasit malaria terdiri dari :
a. Plasmodium vivax, penyebab malaria tersiana.
b. Plasmodium malariae, penyebab malaria kuartana.
c. Plasmodium falciparum, penyebab malaria tropika.
d. Plasmodium ovale, penyebabkan malaria ovale.
Malaria ditularkan oleh beberapa spesies nyamuk Anopheles. Penularan
penyakit malaria tidak terjadi pada suhu di bawah 16 C atau di atas 33 C dan
ketinggian di atas 2.000 meter dari permukaan laut. Kondisi optimum untuk
transmisi adalah lingkungan dengan kelembaban tinggi dan suhu antara 20 - 30
C dengan curah hujan yang tidak terlalu tinggi (Laksono, 2011).
Obat antimalaria digunakan untuk :
a. Kemoprofilaksis malaria
Profilaksis kausal Profilaksis jenis ini bertujuan menghambat perkembangan
parasit di hati dan eritrosit manusia serta dalam tubuh nyamuk
(sporontosidal), sehingga tahap infeksi eritrosit dapat dicegah dan transmisi
lebih lanjut dapat dihambat. Obat yang digunakan untuk profilaksis kausal
adalah obat golongan inhibitor DHFR (dihydrofolate reductase thymidylate
synthetase), seperti pirimetamin, proguanil, dan klorproguanil (Laksono,

2011).
Profilaksis

supresif.

Profilaksis

jenis

ini

bertujuan

menghambat

perkembangan stadium aseksual pada eritrosit, tetapi tidak di hati. Obat-obat


yang dipakai untuk profilaksis supresi mempunyai aktivitas gametosidal
terhadap P. vivax, P. malariae, dan P. ovale, tetapi tidak terhadap P.
falciparum. Contohnya adalah klorokuin, amodiakuin, dan (yang terbaru)
meflokuin (Laksono, 2011).
b. Curative/Treatment biasanya dilakukan untuk mengobati malaria akibat
plasmodium jenis skizontizid (Sutanto, 2008).
c. Preventif transmisi Plasmodium dilakukan untuk mencegah infeksi pada
nyamuk atau mempengaruhi sporogonik nyamuk. Obat yang dapat digunakan
jenis gametosid atau sporontosid (Sutanto, 2008).

d. Preventive of Relapse (Sutanto, 2008).


II. PATOFISIOLOGI
Serangan demam disebabkan pecahnya eritrosit sewaktu fase skizogonieritrisitik dan masuknya merozoit ke dalam sirkulasi darah. Demam menyebabkan
terjadinya vasodilatasi perifer yang mungkin juga disebabkan oleh bahan
vasoaktif yang 39 diproduksi oleh parasit. Setelah merozoit masuk dan
menginfeksi aritrosit yang baru, demam turun dengan cepat sehingga penderita
merasa kepanasan dan berkeringat banyak. Anemia disebabkan oleh destruksi
eritrosit yang berlebihan, hemolisis autoimun, dan gangguan eritropoesis. Diduga
terdapat toksin malaria yang menyebabkan gangguan fungsi eritrosit dan sebagian
eritrosit pecah saat melalui limpa keluarlah parasit (Soegijanto, 2006).
Patofisiologi malaria adalah multifaktorial dan mungkin saling berhubungan
dengan hal sebagai berikut :
a. Penghancuran eritrosit
Penghancuran ini meliputi pecahnya eritrosit yang mengandung parasit tetapi
juga oleh fagositosis eritrosit yang mengandung parasit dan tidak
mengandung parasit (Soegijanto, 2006).
b. Mediator endotoksin-makrofag
Pada saat skizogoni, eritrosit yang mengandung parasitmemicu makrofag
yang sensitif terhadap endotoksin untuk melepaskan mediator yang berperan
dalam patofisiologi malaria. Parasit malaria itu sendiri mengeluarkan TNF
(faktor nekrosis tumor) yang merupakan suatu monokin yang terdapat dalam
darah hewan dan manusia yang terkena malaria. TNF dan sitokin lain saling
berhubungan yang dapat menyebabkan demam, hipoglikemia dan sindrom
penyakit

pernafasan

dengan

sekuestrasi

sel

neutrofil.

TNF

dapat

menghancurkan Plasmodium falciparum in vitro dan mampu meningkatkan


perlekatan eritrosit yang mengandung parasit pada endotelium kapiler
(Soegijanto, 2006).
c. Sekuestrasi eritrosit yang terinfeksi (Soegijanto, 2006).
III.

PENGGOLONGAN OBAT
A. Penggolongan obat malaria berdasarkan cara kerja obat pada siklus
hidup Plasmodium (Sweetman, 2009) :
Obat anti malaria Skizontosida darah

Menyerang Plasmodia yang hidup di darah. Anti malaria jenis ini untuk
pencegahan dan mengakhiri serangan klinis. Contoh : Klorokuin, Kuinin,
Kuinidin, Meflokuin, Halofantrin, Sulfonamida, Tetrasiklin, Atovakuon
dan Artemisinin serta turunannya (Sweetman,2009).
Obat anti malaria Skizontosida jaringan
Membunuh Plasmodia pada fase eksoeritrositik di hati, mencegah invasi
Plasmodia dalam sel darah. Contoh : Primakuin, Proguanil, Pirimetamin
(Sweetman,2009).
Obat anti malaria Gametosida
Membunuh stadium gametosit

di

darah.

Contoh

Primakuin

(Sweetman,2009).
Obat anti malaria Sporontosida.
Obat ini tidak berpengaruh langsung pada gametosit dalam tubuh manusia
tetapi mencegah sporogoni pada tubuh nyamuk (Sweetman,2009).
Perbedaan mekanisme aksi obat anti-malaria ini sebagai dasar pengobatan
malaria secara kombinasi. Pengobatan malaria secara kombinasi bertujuan untuk
meningkatkan efikasi dan memperlambat perkembangan resistensi obat
(Sweetman,2009).
B. Penggolongan obat antimalaria berdasarkan tempat kerja obat anti
malaria pada organel subseluler Plasmodium (Rosenthal, 2003).
Obat golongan 4-aminokuinolin (klorokuin, amodiakuin) dan kuinolin
metanol (kuinin dan meflokuin). Target baru obat golongan ini adalah
menghambat enzim plasmepsin dan enzim falcipain yang berperan dalam
pemecahan globin menjadi asam amino. Hemozoin dan asam amino
diperlukan untuk pertumbuhan parasit sehingga jika pembentukan
dihambat maka parasit akan mati (Rosenthal, 2003).
Antibiotik seperti azitromisin, doksisiklin, dan klindamisin bekerja di
dalam organel plastid seperti kloroplas yang disebut apikoplas. Obat ini
menghambat translasi protein sehingga progeni parasit yang diberi obat
mengalami kematian (Rosenthal, 2003).
Atovakuon dan senyawa lain tertentu menghambat transport elektron
dalam mitokondria dan melalui penghambatan oksidoreduktase sitokrom
C. Dalam mitokondria antifolat mengganggu biosintesis folat de novo
dalam sitosol (Rosenthal, 2003).

Obat anti-malaria Sulfadoksin Pyrimetamin (SP) dan kombinasi baru


Klorproguanil-Dapson (Lapdap) merupakan inhibitor kompetitif yang
berperan dalam jalur folat (Rosenthal, 2003).
Generasi obat dari Artemisin menghasilkan radikal bebas yang berfungsi
untuk mengalkilasi membran parasit (Rosenthal, 2003).
IV.

MEKANISME KERJA
Mekanisme kerja obat antimalaria antara lain :
a. Antimalaria yang memiliki struktur dasar kuinolin yaitu kuinin,
klorokuin, amodiakuin dan meflokuin.
Mekanisme kerja yang pertama adalah mengganggu permeabilitas membrane

parasit dan pompa proton membrane. Hal ini disebabkan Plasmodium falciparum
memerlukan zat makanan yang diperoleh dengan cara mencerna hemoglobin dan
vacuola makanan yang bersifat asam. Hemoglobin yang dicerna selain
menghasilkan asam amino yang menjadi nutrient bagi parasit, juga menghasilkan
zat toksik yang disebut ferryprotoporphyrin (FP IX). Klorokuin dan antimalaria
yang mengandung cincin quinolin lainnya membentuk kompleks dengan FP IX
dalam vacuola. Toksin kompleks obat-FP IX meracuni vacuola menghambat
ambilan (intake) makanan sehingga parasit mati kelaparan (Syamsudin, 2005).
Mekanisme kerja yang lain adalah dengan berinterkelasi dengan DNA parasit
dan menghambat DNA polimerase contohnya kuinin. Untuk Meflokuin bekerja
dengan menghambat pengeluaran (up take) klorokuin pada sel yang terinfeksi,
mekanisme ini menerangkan efek antagonis dari klorokuin dan meflokuin pada
parasit yang sedang tumbuh. Meflokuin berinterferensi dengan transport
hemoglobin dari eritrosit pada vacuola makanan di parasit. Meflokuin hanya
mempengaruhi bentuk aseksual dari parasit dan tidak mempengaruhi efek pada
bentuk exoeritrosit hati atau stadium gametosid (Syamsudin, 2005).
b. Antimalaria yang merupakan analog p-aminobenzoat dan dihidro
reduktase

inhibitor

(DHFR)

yaitu

sulfonamida

dan

pirimetamin/trimetoprim.
Jalur sintesis asam folat merupakan salah satu dari target kerja obat-obat
antimalaria. Mekanisme kerja antagonis folat adalah dengan menghambat sintesis
folat. Seperti pada bakteri, plasmodium harus mensintesis asam folat de novo
menggunakan PABA sebagai metabolit yang penting. Asam folat direduksi

menjadi asam tetrahidrofolat oleh enzim dihidrofolat reduktase (DHFR). Senyawa


sulfonamida dan inhibitor DHFR bekerja dengan menyebabkan hambatan sintesis
asam

tetrahidrofolat

sehingga

menghambat

pertumbuhan

plasmodium

(Syamsudin, 2005).
c. Artemisin yaitu senyawa aktif yang terdapat di dalam Artemisia
annua (Qing hao).
Artemisin adalah senyawa seskuiterpenlakton. Mekanisme kerjanya adalah
dapat berinteraksi dengan ferriprotoporphyrin IX (heme) di dalam vakuola
makanan parasit yang bersifat asam dan menghasilkan spesies radikal yang
bersifat toksik. Jembatan peroksida di dalam pharmacophore trioksan penting
untuk aktivitas antimalarianya. Struktur jembatan peroksida pada molekul
artemisin dapat diputus oleh ion Fero yang berasal dari hemoglobin, menjadi
radikal bebas yang sangat reaktif, sehingga dapat mematikan parasit (Syamsudin,
2005).
d. Atavaquon
Mekanisme kerja atovaquon sebagai antimalaria adalah menghambat elektron
transport di mitokondria dan mengganggu membran potensial mitokondria
plasmodium (Syamsudin, 2005).
e. Golongan lain adalah heparin, dekstran sulfat, fucoidin, chondroitin
sulfat.
Mekanisme kerja yang lain adalah dengan menghambat proses invasi
plasmodium pada eritrosit. Parasit menginvasi eritrosit melalui 4 tahap yaitu:
perlekatan merozoit dengan eritrosit, perubahan mendadak eritrosit yang
terinfeksi, invaginasi membran eritrosit dimana parasit melekat dan selanjutnya
pembentukan kantong merozoit dan terakhir penutupan kembali membran eritrosit
disekeliling parasit. Setelah masuk kedalam eritrosit, merozoit bentuknya
membulat dan semua organelnya hilang. Parasit berada dalam membran vakuola
parasitophorous dan tampak berbentuk cincin. Proses ini melibatkan ligan yang
spesifik dan reseptor (Syamsudin, 2005).
f. Golongan antibiotika
Tetrasiklin, Klindamisin, dan Kloramfenikol bekerja dengan menghambat
sintesis protein dengan berikatan pada ribosom 70 S dari mitokondria parasit
sehingga plasmodium tidak dapat mensintesis proteinnya sendiri sebagai

akibatnya dapat menghambat pertumbuhan plasmodium tersebut (Syamsudin,


2005).
V. KINETIKA
1. Klorokuin
Bioavailabilitas obat ini akan meningkat apabila diberikan secara oral
bersama dengan makanan dan beberapa sayuran yang akan mempengaruhi
kesehatan pasien. Terikat pada protein sebesar 58%-64%. Klorokuin juga
berikatan dengan platelet dan granulosit sebesar 10%-15%. Waktu paruh yang
dimiliki oleh senyawa ini adalah beberapa hari hingga dua bulan tetapi dilepas
perlahan dalam tubuh dari jaringan kecil yang dapat dideteksi setelah satu tahun
(Sweetman, 2009).
Absorbsi : diabsorbsi sempurna dan cepat dari saluran gastrointestinal
ketika diberikan secara peroral. Secara intramuskular dan subkutan juga mampu
diabsorbsi dengan cepat sehingga konsentrasi puncak plasma akan dicapai selama
30 menit (Sweetman, 2009).
Distribusi : terdistribusi secara luas ke jaringan dengan volume distribusi
yang besar. Pada beberapa jaringan seperti ginjal, hati, paru-paru dan limpa
konsentrasi klorokuin akan terakumulasi dan berikatan kuat dengan sel yang
mengandung melanin seperti pada mata dan kulit. Bisa terdistribusi melalu
plasenta (Sweetman, 2009).
Metabolisme : 50% klorokuin dimetabolisme di hati menjadi metabolit
utama yaitu monodesethylchloroquine dengan beberapa molekul berukuran kecil
bisdesethylchloroquine serta metabolit lain yang terbentuk. Klorokuin dan
metabolitnya

yaitu

monodesethyl

akan

terdistribusi

ke

air

susu.

Monodesethychloroquine memiliki aktivitas untuk melawan Palsmodium


falciparum (Sweetman, 2009).
Ekskresi : Klorokuin dieliminasi sangat lambat dari tubuh dan mampu
bertahan di dalam jaringan selama beberapa bulan bahkan tahun setelah
pemberhentian terapi. Obat ini diekskresikan dalam bentuk metabolitnya ke dalam
urin. Setengah dari dosis yang diberikan (42-47%) akan diekskresikan sebagai
klorokuin dan sebanyak 7-12% diekskresikan tanpa perubahan sebagai
monodesethyl.
2. Amodiakuin

Bentuk obatnya biasanya adalah amodiakuin hidroklorida. Waktu paruh


eliminasi dalam plasma dari desethyamodiakuin sangat bervariasi dari satu hingga
sepuluh hari atau lebih (Sweetman, 2009).
Absorbsi : diabsorbsi cepat dari saluran gastrointestinal (Sweetman,
2009).
Metabolisme : dikonversi dengan cepat menjadimetabolit aktifnya yaitu
desethyamodiaquine (Sweetman, 2009).
Ekskresi : diekskresikan dalam bentuk yang tidak berubah ke dalam urin.
Amodiakuin dan desethyamodiakuin dapat dideteksi dalam urin beberapa bulan
setelah penggunaan (Sweetman, 2009).
3. Derivat Artemisin
Absorbsi : konsentrasi plasma akan dicapai dalam waktu 3 jam setelah
pemberian oral artementher dan 11 jam setelah pemberian rektal artemisin
(Sweetman, 2009).
Metabolisme : derivat artemisin kecuali artemisin dihidrolisis cepat
menjadi metabolit aktifnya yaitu arterimol (dihidroartemisin) (Sweetman, 2009).
Ekskresi : waktu paruh eliminasinya sekitar 45 menit setelah pemberian
intravena dari artesunate dan 4-11 jam setelah pemberian intramuskular atau oral
artementher (Sweetman, 2009).
4. Pirimetamin
Absorbsi : diabsorbsi sempurna dari saluran gastrointestinal dan
konsentrasi puncak plasma sekita 200 ng/mL yang dicapai dalam waktu 2-6 jam
setelah pemberian dosis oral 25 mg pada ginjal, hati, paru-paru dan limpa
(Sweetman, 2009).
Distribusi : berikatan dengan protein plasma sebesar 80-90%.
Pirimetamin dapat melewati plasenta dan terdistribusi ke air susu. (Sweetman,
2009).
Metabolisme : di hati menjadi metabolit yang dapat dideteksi di urin
(Sweetman, 2009).
Ekskresi : terekskresi secara lambat melalui ginjal dan waktu paruh
dalam plasma sekitar 4 jam (Sweetman, 2009).
5. Sulfadoksin
Absorbsi : segera terabsorbsi dari saluran gastrointestinal sehingga
konsentrasi dalam darah bisa tercapai selama 4 jam. Waktu paruh di
dalam darah selama 4-9 hari (Sweetman, 2009).

Distribusi : terikat protein plasma sebanyak 90-95% dan terdistribusi ke


jaringan tubuh dan cairan tubuh melalu sirkulasi fetal dan dalam
konsentrasi rendah terdeteksi pada air susu (Sweetman, 2009).
Metabolisme : dimetabolisme lambat di hati (Sweetman, 2009).
Ekskresi : terekskresi sangat lambat ke dalam urin dalam bentuk yang
tidak mengalami perubahan (Sweetman, 2009).

VI.

EFEK SAMPING
1. Klorokuin
Sakit kepala, priritus, mual, muntah, diare, gejala psikotik, agitasi,

konvulsi juga sering terjadi. Penglihatan kurang jelas, sulit berkonsentrasi terjadi
apabila pemakaian dosis tinggi apabila pasien juga menderita keratopathy atau
retiopathy. Efek samping lain dalam waktu yang lama akan menyebabkan rambut
rontok, warna rambut menghilang, fotosensitifitas, neuromiopati, miopati,
kardiomiopati. Gangguan pada darah juga akan terjadi apabila mengonsumsi
Klorokuin

seperti

anemia

aplastik,

trombositopenia,

neutropenia,

dan

agranulositosis reversible. Dilaporkan juga terjadi perubahan fungsi hati. Apabila


terjadi overdosis akut maka akan berbahaya karena akan menyebabkan kematian
yang terjadi hanya dalam beberapa jam (Sweetman, 2009).
2. Amodiakuin
Amodiakuin akan dikaitkan dengan hepatitis dan insidensi tinggi dari
agranulocytosis akan terjadi ketika digunakan untuk profilaksis malaria
(Sweetman, 2009).
3. Derivat Artemisin
Artemisin dan derivatnya dapat menyebabkan mual, muntah, diare dan
sakit abdominal, pusing, sakit kepala, neutropenia, peningkatan enzim liver dan
abnormalitas ECG. Pada darah menyebabkan anemia haemolitik pada pasien yang
mengkonsumsi artemeter-lumefantrin. Pada jantung menyebabkan bradikardia.
Obat ini juga memberikan efek samping pada sistem saraf yaitu neurotoksisitas
(Sweetman, 2009).
4. Pirimetamin
Terjadi depresi dari haematopoiesis yang dapat mengganggu metabolisme
asam folat, skin rash, hipersitifitas. Pada dosis besar yang digunakan pengobatan

toxoplasmosis akan menyebabkan sakit abdomen, muntah, anemia, leucopenia,


trombositopenia (Sweetman, 2009).
5. Sulfadoksin
Hepatotoksisitas, fotodermatitis,

agarnulositosis,

eritoderma

yang

menyerupai sindrom Sezary. Reaksi parah terhadapa pulmonary juga sering terjadi
(Sweetman, 2009).
VII.

INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI


1. Klorokuin
Mekanisme kerja dari obat ini masih belum jelas tetapi dapat

mempengaruhi digesti hemoglobin dengan cara meningkatkan pH intervesikular


dalam sel parasit malaria. Hal ini menyebabkan terganggunya sintesis
nukleoprotein pada parasit (Sweetman, 2009).
Indikasi : digunakan untuk pengobatan dan profilaksis malaria (peka
untuk strain Plasmodium ovale, Plasmodium vivax, Plasmodium malariae). Untuk
penggunaan klorokuin terhadap Plasmodium fakciparum juga masih banyak
digunakan akan tetapi kebanyakn plasmodium jenis ini sudah resisten terhadap
klorokuin. Digunakan pula untuk hepatik amoebiasis, lupus eritematosus, kulit
yang sensitif terhadap cahaya dan untuk rheumatoid arthritis (Sweetman, 2009).
Kontraindikasi : penderita dengan perubahan visual/retina, penderita
yang hipersensitif terhadap 4-aminoquinolone, psoriasis dan porfuria (Emiliana,
2008).
2. Amodiakuin
Indikasi : efektif melawan strain yang chloroquine-sensitive dari
Plasmodium falciparum dan efektif juga melawan beberapa strain yang
chloroquine-resistant. Penggunaan amodiakuin juga dapat menyebabkan resisten
terhadap beberapa plasmodium sehingga WHO merekomendasikan untuk
pemberian amodiakuin dengan artemisin (Sweetman, 2009).
Kontraindikasi : penderita hipersensitif terhadap amodiakuin, klorokuin
dan gangguan hepar (Toding, 2008).
3. Derivat Artemisin
Indikasi : diberikan secara oral atau rektal untuk pengobatan malaria
dengan dosis rektal 10-40 mg/kg perhari dan untuk mengobati schistosomiasis
(Sweetman, 2009).

Kontraindikasi

kehamilan

trisemester

pertama

karena

dapat

menyebabkan 12 dari 16 ibu hamil yang diberikan artesunate/artemether lahir


normal, 1 tidak dapat dipelajari dan 3 mengalami aborsi (Sweetman, 2009).
4. Pirimetamin
Indikasi : sebagai obat antimalaria yang dapat menginhibisi plasmodial
dihidrofolat reduktase sehingga memblol sintesis dari asam nukleat pada parasit
malaria. Digunakan untuk pengobatan malaria akibat Plasmodium falciparum.
Digunakan pula untuk toxoplasmosis, isosporiasis, pneumositis pneumonia
(Sweetman, 2009).
Kontraindikasi : alergi terhadap sulfadoksin dan pirimetamin, gangguan
hati atau ginjal yang berat (Kresnawati, 2010).
5. Sulfadoksin
Indikasi : untuk pengobatan malaria digunakan dosis oral 1,5 gram
sulfadoksin dan 75 mg pirimetamin sebagai dosis tunggal dan tidak boleh
diberikan berulang selama 7 hari. Pengobatan menggunakan kombinasi
sulfadoksin dan pirimetamin untuk mengatasi malaria akibat Plasmodium
falciparum yang resisten terhadap pengobatan lain (Sweetman, 2009).
Kontraindikasi : alergi terhadap sulfadoksin dan pirimetamin, gangguan
hati atau ginjal yang berat (Kresnawati, 2010).

DAFTAR PUSTAKA
Azlin, Emil. 2004. Obat Anti Malaria pada jurna; Sari Pediatri, Vol. 5, No 4,
mAret 2004 : 150-154.
Emiliana, Leni. 2008. Penggunaan Klorokuin Dalam Pengobatan dan
Kemoprofilaksis

Malaria

available

online

at

https://yosefw.wordpress.com/2008/01/01/penggunaan-klorokuin-dalampengobatan-dan-kemoprofilaksis-malaria/ [diakses tanggal 28 November


2015].

10

Kresnawati, Windhi. 2010. Sulfadoksin Pirimetamin

available online at

http://milissehat.web.id/?p=1111 [diakses tanggal 28 November 2015].


Laksono, Rudi Dwi. 2011. Profilaksis Malaria di Perbatasan Indonesia-Timur
Leste pada jurnal CDK 188, Vol 38, No 7, November 2011.
Rosenthal, M.S. 2003. The Gynecological Sourcebook : When They Tell You Its
Cancer. USA : Mc-Graw Hill.
Soegijanto. Soegeng. 2006. Kumpulan Makalah Penyakit Tropis dan Infeksi di
Indonesia cetakan I. Surabaya : Airlangga.
Sutanto Inge dkk., 2008. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran Edisi 4. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
Sweetman, S.C. 2009. Martindale 36 The Complete Drug Reference. London: The
Pharmaceutical Press.
Syamsudin. 2005. Mekanisme Kerja Obat Antimalaria pada jurnal Jurnal Ilmu
Kefarmasian Indonesia, April, hal. 37-40 ISSN 1693-1831
Toding,

Sanvredey.

2008.

Malaria

https://yosefw.wordpress.com/2008/06/05/malaria/

available
[diakses

online
tanggal

28

November 2015].

11

Anda mungkin juga menyukai