Disusun oleh :
Septi Vera W
135090307111013
Nadia Indah S
135090307111014
Vanisa Syahra
115090700111001
Bella Dinna Safitri 115090700111002
JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................................1
1.3 Batasan Masalah.............................................................................................................1
1.4 Tujuan Penulisan............................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................2
2.1 Definisi dan Fungsi Ijtihad.............................................................................................2
2.2 Dasar Hukum Ijtihad......................................................................................................3
2.3 Kedudukan Ijtihad..........................................................................................................5
2.4 Metodologi pelaksanaan ijtihad.....................................................................................6
2.5 Syarat Ber-ijtihad...........................................................................................................8
Makalah Pendidikan Agama Islam Ijtihad / 2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Seiring dengan waktu dan berkembangnya zaman, banyak bermunculan masalah,
terutama masalah-masalah dalam agama. Sedangkan sebagian besar dari masalah
tersebut belum mendapatkan kejelasan hukum dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
Maka manusia berusaha untuk mencari cara untuk memutuskan masalah tersebut
tentang baik buruknya
Dan dalam bentuknya yang telah mengalami kemajuan, teori hukum Islam
(Islamic Legal Theory) mengenal berbagai sumber dan metode yang darinya dan
melaluinya hukum (Islam) diambil. Sumber-sumber yang darinya hukum diambil
adalah Al-Quran dan As-Sunnah Nabi, yang keduanya memberikan materi hukum.
Sedangkan, sumber-sumber yang melaluinya hukum berasal adalah metode-metode
ijtihad dan interpretasi, atau pencapaian sebuah konsensus ( Ijma, kesepakatan).
Oleh karena itu, penulis membuat makalah bertemakan ijtihad sebagai solusi dari
pengambilan keputusan hukum-hukum yang tidak terdapat dalam Al-Quran dan AsSunnah.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis membahas tentang :
1.
Apa pengertian dari ijtihad?
2.
Bagaimana kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum Islam?
3.
Apa saja hasil dari ijtihad?
1.3 Batasan Masalah
Makalah ini hanya membahas masalah ijtihad serta kedudukannya sebagai sumber
hukum Islam dan hasil-hasil ijtihad serta pengertian dari hasil-hasil ijtihad tersebut.
1.4 Tujuan Penulisan
Tujuan penulis membahas kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum Islam adalah :
1.
Memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam.
2.
Membuka wawasan tentang ijtihad sebagai sumber hukum Islam yang ketiga.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi dan Fungsi Ijtihad
Ijtihad seakar kata dengan juhd, jihad, dan mujahadah, yang artinya kesungguhan
dan usaha keras. Ijtihad dalam pengertian yang luas berarti penggunaan pikiran
dalam mengartikan, menafsirkan, dan mengambil kesimpulan dari sesuatu ayat atau
hadits. Sedangkan dalam konteks istimbat (penetapan) hukum, ijtihad adalah
penggunaan pikiran untuk menentukan sesuatu hukum yang tidak ditentukan secara
eksplisit dalam Al-Quran dan Hadits Nabawi.
Memperhatikan definisi ini, dapat dipahami batasan lapangan ijtihad, sebagai
berikut:
a. Terhadap yang hukumnya disebutkan secara pasti (qathi) dalam nash, tidak ada
peranan nalar,
b. Terhadap kejadian yang sama sekali tidak terdapat dalam nash, nalar dapat
menjalankan fungsi formulasi, dan
c. Terhadap kejadian yang hukumnya disebutkan dalam nash secara penunjukan
yang tidak pasti, nalar dapat menjalankan fungsi reformulasi.
Secara bahasa, ijtihad berarti pencurahan segenap kemampuan
untuk
1. Al-Quran
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS.Annisa:59)
dan firman-Nya yang lain :
...Maka ambillah ibarat, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan.
(QS.Al-Hasyr : 2)
Menurut Firman Allah SWT pertama, yang dimaksud dengan dikembalikan
kepada Allah dan Rasul ialah bahwa bagi orang-orang yang mempelajari Quran
dan Hadits supaya meneliti hukum-hukum yang ada alsannya, agar bisa
diterapkan kepada peristiwa-peristiwa hukum yang lain, dan hal ini adalah
ijtihad. Pada firman kedua, orang-orang yang ahli memahami dan merenungkan
diperintahkan untuk mengambil ibarat, dan hal ini berarti mengharuskan mereka
untuk berijtihad. Oleh karena itu, maka harus selalu ada ulama-ulama yang harus
melakukan ijtihad. (Jalaluddin Rahmat, Dasar Hukum Islam, hlm 163).
firman-Nya yang lain :
Dan orang-orang yang berjihad untuk ( mencari keridlaan ) Kami, benarbenar akan Kami tunjukkan
Sabda Nabi SAW. : Ijtihadlah kamu, karena tiap-tiap orang akan mudah
mencapai apa yang diperuntukkan kepadanya (Jalaluddin Rahmat, Dasar
Hukum Islam, hlm 163)
( ) .
Hakim apabila berijtihad kemudian dapat mencapai kebenaran maka ia
mendapat dua pahala (pahala melakukan ijtihad dan pahala kebenaran
hasilnya). Apabila ia berijtihad kemudian tidak mencapai kebenaran, maka ia
mendapat satu pahala (pahala melakukan ijtihad).(Hadits riwayat Bukhari
dan Muslim)
Hadits yang menerangkan dialog Rasulullah SAW dengan Muadz bin Jabal,
ketika Muadz diutus menjadi hakim di Yaman berikut ini:
: : .
:
:
. :
: .
)
:
.(
Diriwayatkan dari penduduk homs, sahabat Muadz ibn Jabal, bahwa
Rasulullah saw. Ketika bermaksud untuk mengutus Muadz ke Yaman, beliau
bertanya: apabila dihadapkan kepadamu satu kasus hukum, bagaimana kamu
memutuskannya?, Muadz menjawab:, Saya akan memutuskan berdasarkan AlQuran. Nabi bertanya lagi:, Jika kasus itu tidak kamu temukan dalam AlQuran?, Muadz menjawab:,Saya akan memutuskannya berdasarkan Sunnah
Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya:, Jika kasusnya tidak terdapat dalam
Sunnah Rasul dan Al-Quran?,Muadz menjawab:, Saya akan berijtihad
dengan seksama. Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Muadz dengan
tangan beliau, seraya berkata:, Segala puji bagi Allah yang telah memberi
petunjuk
kepada
utusan
Rasulullah
terhadap
jalan
yang
diridloi-
Nya.(HR.Abu Dawud)
2.3 Kedudukan Ijtihad
Berbeda dengan Al-Quran dan As-Sunnah, ijtihad terikat dengan ketentuanketentuan berikut:
a.
Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan
yang mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia yang
relatif. Sebagai produk pikiran manusia yang relatif, maka keputusan daripada
suatu ijtihad pun adalah relatif,
b.
Sesuatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi
seseorang tapi tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu masa/tempat tapi
c.
d.
Sebab urusan ibadah mahdhah hanya oleh Allah SWT dan Rasulullah,
Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah,
dan
e.
5. Urf, adalah sesuatu yang telah biasa berlaku, diterima, dan dianggap baik oleh
masyarakat. Juga didefinisikan sebagai tindakan menentukan masih bolehnya
suatu adat istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut
tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Al-Quran dan AlHadits.
6. Istishab, adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sehingga
terdapat dalil yang menunjukan perubahan keadaan, atau menjadikan hukum
yang telah ditetapkanpada masa lampau secara kekal menurut keadaan sehingga
teradapat dalil yang menunjukan atas perubahannya. Jadi, istihab merupakan
suatu tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang
bisa mengubahnya.
7.
Sududz Dzariah, yaitu tindakan memutuskan suatu yang mubah
menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat.
Madzhab Shahabi, yaitu menetapkan suatu hukum terhadap suatu
8.
tersendiri. Jadi, tidak dilakukan oleh setiap orang. Memang egalitarianisme Islam
tidak memilah-milah para pemeluk Islam dalam kelas-kelas tertentu, dan
menyangkut Ijtihad pun setiap orang berhak melakukannya, tetapi permasalahannya
bukan di situ, ijtihad adalah suatu bentuk kerja keras yang memerlukan kemampuan
tinggi. Oleh sebab itu, tidak semua orang akan dapat melakukannya, sekalipun
mereka tetap memiliki hak untuk itu. Seperti dalam dunia kedokteran, memang hak
semua orang untuk bisa berbicara tentang kesehatan, tetapi tidak semua orang
memiliki otoritas melakukan diagnosis dan membuat resep, kecuali dokter. Sebab,
jika semua orang diberi wewenang melakukan diagnosis dan membuat resep,
akibatnya adalah bahaya bagi kehidupan manusia sendiri. Demikian pula ijtihad, jika
semua orang melakukan ijtihad (maksudnya : ijtihad mutlak), maka akibatnya pun
akan membahayakan kehidupan ummat.
Untuk itu, dalam kajian usul Fikih, para ulama telah menetapkan syarat-syarat
tertentu bagi seseorang yang akan melakukan ijtihad. Menurut al-Syaukani, untuk
dapat melakukan ijtihad hukum diperlukan lima syarat. Masing-masing dalam lima
persyafatan itu akan dilihat di bawah ini:
Pertama, mengetahui al-Kitab (al-Quran) dan sunnah. Persyaratan pertama ini
disepakati oleh segenap ulama usul Fikih. Ibn al-Hummam, salah seorang ulamah
Fikih Hanafiah, menyebutkan bahwa mengetahui al-Quran dana sunnah merupakan
syarat mutlakyang harus dimiliki oleh mujtahid. Akan tetapi, menurut al-Syaukani,
cukup bagi seorang mujtahid hanya mengetahui ayat-ayat hukum saja. Bagi alSyaukani, ayat-ayat hukum itu tidak perlu dihafal oleh mujtahid, tetapi cukup jika ia
mengetahui letak ayat itu, sehingga dengan mudah ditemukannya ketika diperlukan.
Sebenarnya, apa yang dikemukakan al-Syaukani di atas merupakan syarat bagi
seseorang mujtahid mutlak yang akan melakukan ijtihad dalam segenap masalah
hukum. Akan tetapi, bagi seseorang yang hanya ingin melakukan ijtihad dalam suatu
masalah tertentu, ia hanya dituntut memiliki pengetahuan tentang ayat-ayat hukum
yang menyangkut tersebut secara mendalam.
Adapun berkenaan dengan pengetahuan tetang sunnah, menurut al-Syaukini,
seseorang mujtahid harus mengetahui sunnah sebanyak-banyakny.Ia mengetip
beberapa pendapat tentang jumlah hadits yang harus diketahui oleh mujtahid. Salah
satu pendapat menyebutkan bahwa seseorang mujtahid harus mengetahui lima ratus
hadits. Pendapat lain, yang diterima oleh Ibn al-Dharir dari Ahmad ibn Hanbal,
menyebutkan bahwa seorang mujtahid harus mengetahui lima ratus ribu hadits.
Namun, haditshadits tersebut tidak wajib dihafal di luar kepala, cukup kalau ia
mengetahui letak hadits-hadits itu, sehingga dapat ditemukan segera bila diperlukan.
Di samping itu, seseorang mujtahid menurut al-Syaukani - tidak hanya wjib
mengetahui sejumlah besar hadits dari segi lafalnya, tetapi wajib pula mengetahui
rijal (periwayat-periwayat) yang terdapat dalam sanad (kesinambungan riwayat
hadits sampai kepada Nabi) menyangkut hadits-hadits yang akan dipergunakannya,
sehingga ia dapat memilah antara hadits yang sahih, hasan, dan dhaif (lemah).
Sekalipun demikian, hal itu tidak harus dihafalnya di luar kepala, cukup baginya
Keempat, mengetahui ilmu usul fikih. Menurut al-Syaukani, ilmu usul fikih
penting diketahui oleh seseorang mujtahid karena melalui ilmu inilah diketahui
tentang dasar-dasar dan cara-cara berijtihad. Seseorang akan dapat memperoleh
jawaban suatu masalah secara benar apabila ia mampu menggalinya dari al-Quran
dan sunnahndengan menggunakan metode dan cara yang benar pula . Dasar dan cara
itu dijelaskan secara luas di dalam ilmu usul fikih. Bila dilihat secara cermat,
terdapat tiga versi menyangkut penempatan pengetahuan tenteng usul fikih sebagai
syarat ijtihad :
1. Pertama, yang menempatkan pengetahuan tentang usul fikih sebagai salah satu
bagian dari pengetahuan tentang al-Quran dan sunnah.
2. Kedua, yang tidak menempatkan usul fikih secara umum sebagai syarat ijtihad,
tetapi menempatkan pengetahuan tentang qiyas sebagai gantinya.
3.
Ketiga, yang menempatkan usul fikih sebagai syarat tersendiri dalam ijtihad.
Kendati terdapat perbedaan versi dalam menempatkan pengetahuan tenteng usul
fikih sebagai syarat ijtihad, segenap ulama memandang bahwa pengetahuan tentang
usul fikhi merupakan suatu hal penting dalam menggali hukum dari sumbersumbernya. Karena hanya di dalam usul fikih diajarkan tenteng cara-cara mengistinbath-kan hukum
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasakan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa secara bahasa, ijtihad
berarti pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan sesuatu. Yaitu
penggunaan akal sekuat mungkin untuk menemukan sesuatu keputusan hukum
tertentu yang tidak ditetapkan secara eksplisit dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
Kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum Islam adalah sebagai sumber hukum
ketiga setelah Al-Quran dan Al-Hadits. Hasil ijtihad antara lain adalah: qiyas, ijma,
istihsan, mashalihul mursalah, urf, istishab, dan sududz dzariah.
3.2 Saran
Diharapkan dari pembahasan diatas dapat menambah pengetahuan yang lebih
mendalam untuk pembaca makalah terhadap hukum-hukum Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Ballaq, B. Wael. 2000. Sejarah Teori Hukum Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Khallaf, Abdul Wahhab. 2002. Kaidah-kaidah Hukum Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada.
Muhibah, Siti. 2009. Islam dan Karakteristiknya. Serang : Untirta.
Ramulyo, Mohd. Idris. 2004. Asas-asas Hukum Islam. Jakarta : Sinar Grafika.
Nasution, Lahmuddin. 2001. Pembaruan Hukum Islam. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya.
Mulyana, Yoyo. 2004. Islam Progresif. Serang : Untirta Press.