DERMATITIS ATOPIK
Oleh :
Aditya Hudiansyah
201310401011070
Pembimbing :
dr. Andri Catur Jatmiko, Sp. KK
BAB I
PENDAHULUAN
Dermatitis atopik (DA) merupakan suatu penyakit keradangan kulit yang
kronik, ditandai dengan rasa gatal, eritema, edema, vesikel, dan luka pada stadium
akut, pada stadium kronik ditandai dengan penebalan kulit (likenifikasi) dan
distribusi lesi spesifik sesuai fase DA, keadaan ini juga berhubungan dengan
kondisi atopik lain pada penderita ataupun keluarganya (Fauzi N., dkk.,2009).
Penyakit ini dialami sekitar 10-20% anak. Pada 70 % kasus dermatitis
atopik umumnya dimulai saat anak-anak dibawah 5 tahun dan 10% saat remaja /
dewasa (William H.C., 2005). Umumnya episode pertama terjadi sebelum usia
12 bulan dan episode-episode selanjutnya akan hilang timbul hingga anak
melewati masa tertentu. Sebagian besar anak akan sembuh dari eksema sebelum
usia 5 tahun. Sebagian kecil anak akan terus mengalami eksema hingga dewasa.
Diperkirakan angka kejadian di masyarakat adalah sekitar 1-3% dan pada anak <
5 tahun sebesar 3,1% dan prevalensi DA pada anak meningkat 5-10% pada 20-30
tahun terakhir (Judarwanto W., 2009).
Pada penderita DA 30 % akan berkembang menjadi asma, dan 35%
berkembang menjadi rhinitis alergi. Berdasarkan International Study of Ashma,
and Alergies in Children prevalensi gejala dermatitis atopik pada anak usia enam
atau tujuh tahun sejak periode tahun pertama bervariasi yakni kurang dari dua
persen di Iran dan Cina sampai kira-kira 20 persen di Australia, Inggris dan
Skandinavia. Prevalensi yang tinggi juga ditemukan di Amerika. Di Inggris, pada
survei populasi pada 1760 anak-anak yang menderita DA dari usia satu sampai
lima tahun ditemukan kira-kira 84 persen kasus ringan, 14 persen kasus sedang, 2
persen kasus berat (William H.C., 2005). Menurut laporan kunjungan bayi dan
anak di RS di Indonesia, dermatitis atopik berada pada urutan pertama (611 kasus)
dari 10 penyakit kulit yang umum ditemukan pada anak-anak. Di klinik
Dermatovenereologi RSUP Dr Sardjito Yogyakarta, pada periode bulan Februari
2005 sampai Desember 2007, terdapat 73 kasus dermatitis atopik pada bayi
(Budiastuti M.,dkk., 2007). Sedangkan data di Unit Rawat Jalan Penyakit kulit
sedangkan
tahun
2008
sebanyak
230
pasien
(11.65%)
(Zulkarnain I., 2009). Prevalensi pada anak laki-laki sekitar 20 %, 12 persen pada
tahun-tahun sebelum studi, dan 19% anak perempuan (11% pada tahun sebelum
tahun 2000) (Tada J., 2002).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Dermatitis atopik (DA) ialah keadaan peradangan kulit kronis dan residif,
disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak,
sering berhubungan dengan peningkatan IgE dalam serum dan riwayat atopi
keluarga atau penderita (DA, rhinitis alergi, dan atau asma bronchial)
(Sularsito SA & Djuanda A, 2005).
B. Etiologi
D. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis DA berbeda pada setiap tahapan atau fase perkembangan
kehidupan, mulai dari saat bayi hingga dewasa. Pada setiap anak didapatkan
tingkat keparahan yang berbeda, tetapi secara umum mereka mengalami pola
distribusi lesi yang serupa (Zulkarnain I., 2009).
Kulit penderita DA umumnya kering, pucat/redup, kadar lipid diepidermis
berkurang dan kehilangan air lewat epidermis meningkat.
Penderita DA
ekstremitas
bagian
fleksor,
dan
ekstensor
Gambar 3: Dermatitis Atopik Infantil (Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005).
2. Bentuk anak (2 - 12 tahun)
Awitan lesi muncul sebelum umur 5 tahun. Sebagian merupakan
kelanjutan fase bayi. Pada kondisi kronis tampak lesi hiperkeratosis,
hiperpigmentasi, dan likenifikasi. Akibat adanya gatal dan garukan,
akan tampak erosi, eksoriasi linear yang disebut starch marks. Tempat
predileksi tengkuk, fleksor kubital, dan fleksor popliteal. Sangat jarang
diwajah (Mansjoer A.,dkk., 2001). lesi DA pada anak juga bisa terjadi
dipaha dan bokong (Zulkarnain I., 2009).
Eksim
pada
kelompok
ini
sering
terjadi
pada
daerah
Gambar 4.a
Gambar 4.b.
Gambar 4.c.
Gambar 4a, b, c: Dermatitis Atopik pada Anak-anak (Simpson
E.L., & Hanifin J.M., 2005).
Gambar 5.a.
Gambar 5.b.
Gambar 5.a,b: Dermatitis Atopik Dewasa (Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005).
10
White dermatographism
Goresan pada kulit penderita DA akan menyebabkan kemerahan dalam
waktu 10-15 detik diikuti dengan vasokonstriksi yang menyebabkan
percepatan
pendinginan
dan
perlambatan
pemanasan
Allergic shiner
11
sebum, sel pengeluaran air dan xerosis, terutama pada musim panas.
Delayed blanch
Penyuntikan asetilkolin pada kulit normal menghasilkan keluarnya
keringat dan eritema. Pada penderita atopi akan terjadi eritema ringan
dengan delayed blanch. Hal ini disebabkan oleh vasokonstriksi atau
bertambah.
Gatal dan garukan berlebihan
Penyuntikan bahan pemacu rasa gatal (tripsin) pada orang normal
menimbulkan gatal selama 5-10 menit, sedangkan pada penderita DA
F. DIAGNOSA
12
13
H. Terapi
Pengobatan pada bayi dan anak dengan DA harus secara individual dan
didasarkan pada keparahan penyakit. Sebaiknya penatalaksanaan ditekankan
pada kontrol jangka waktu lama (Long-Term Control) bukan hanya untuk
mengatasi kekambuhan.Protab pelayanan profesi untuk pengobatan DA di
SMF kulit & kelamin RSUD dr.Moewardi Surakarta bertujuan untuk
menghilangkan ujud kelainan kulit dan rasa gatal, mengobati lesi kulit,
mencari factor pencetus dan mengurangi kekambuhan.secara konvensional
pengobatan DA kronik pada prinsipnya adalah sebagai berikut:
14
cara
perawatan
kulit
yang
benar
untuk
mencegah
15
iktamol atau zinc oksida dan ter batubara, yang dipakai diatas steroid
topical bermanfaat untuk mengobati eksema pada ekstremitas (Graham
B.R., 2005).
Kortikosteroid topikal dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan
efek
samping
lokal
(atrofi,
striae,
hipertrikosis,
hipopigmentasi,
teleangiektasis, dsb). Maupun sistemik (supresi aksis hipothalamuspituitasi- adrenal, gangguan pertumbuhan, sindrom Chusing).
Beberapa faktor perlu dipertimbangkan yakni vehikulum, potensi
kortikosteroid, usia pasien, letak lesi, derajad dan luas lesi serta cara
pemakaian.
Prinsip penggunaan:
i.
ii.
iii.
iv.
likenifikasi berat.
Gunakan potensi kuat hanya dalam jangka waktu pendek ( 2
minggu untuk potensi kelas 1). Bila lesi awal sudah teratasi ganti
dengan potensi lebih rendah/ dengan antiinflamasi nonsteroid untuk
v.
terapi pemeliharaan
Inhibitor kalsineurin topikal
Obat ini dapat mengatasi kekurangan/ kerugian menggunakan
kortikosteroid topikal, bekerja dengan menghambat transkripsi
sistem inflamasi dalam sel T yang teraktifasi dan sel radang lainnya
sehingga mencegah pelepasan sitokin oleh sel T helper, serta
meghambat proliferasi sel T. Terdapat dua macam yaitu salap
takrolimus 0.03% (untuk usia 2-12 tahun) dan 0.1% (untuk usia 3
tahun keatas)
16
ii.
Fototerapi
Kombinasi
UVA
dan
UVB
atau
bersama
psoralen
Obat lainnya
Siklosporin, Azatioprin, mofetil mikofenolat, metotreksat,
interferon gamma, lain-lain (antagonis leukotrien, timopentin,
imunoterapi alergen dan probiotik) (Sugito T.L., 2009).
c. Pengobatan sistemik
i.
Kortikosteroid
Hanya digunakan untuk mengobati eksaserbasi akut, dalam jangka
pendek, dan dosis rendah, diberikan berselang-seling atau diturunkan
ii.
iii.
iv.
pertama sefalosporin.
Interferon
IFN- diketahui menekan respon IgE dan menurunkan fungsi dan
proliferasi sel Th2. Pengobatan dengan
IFN- rekombinan
17
dan
likenifikasi
dapat
diberikan
salep
kortikosteroid
kuat
terhadap
kuman
stafilokokus
dan
steroid
topikal
e. Probiotik dan DA
Untuk penggunaan probiotik,beberapa randomized controlled trials
dengan jumlah sampel kecil menunjukkan penurunan derajad keparahan DA
dan dapat mencegah DA sampai derajat tertentui dkk .menurut penelitian
Isaular CFU Lactobacillus GG yang diberikan selama 2-4 minggu sebelum
lahir sampai 6 bulan sesudah lahir menurunkan kejadian DA sampai 50%
pada bayi-bayi dengan risiko tinggi DA (Sugito T.L., 2009).
Alergi merupakan bentuk Th2-disease yang upaya perbaikannya
memerlukan pengembalian penderita pada kondisi Th1-Th2 yang
seimbang. Perkembangan ilmu dan teknologi memungkinkan perubahan
paradigma pencegahan alergi dari paradigma penghindaran factor resiko
menjadi paradigma induksi aktif toleransi imunologik. Konsep probiotik
pada pencegahan alergi didasari pada induksi aktif respon imunologik
menuju keseimbangan Th1-Th2. Pada uji klinik, probiotik dibuktikan
dapat menurunkan gejala alergi yang berhubungan dengan dermatitis
atopik
dan
alergi
makanan.
Kelemahan
uji
klinik
adalah
18
2.
Uji tusuk Uji tusuk dapat dilakukan dalam waktu singkat dan lebih
sesuai untuk anak. Tempat uji kulit yang paling baik adalah pada daerah
volar lengan bawah dengan jarak sedikitnya 2 sentimeter dari lipat siku
dan pergelangan tangan. Setetes ekstrak alergen dalam gliserin (50%
gliserol) diletakkan pada permukaan kulit. Lapisan superfisial kulit ditusuk
dan dicungkil ke atas memakai lanset atau jarum yang dimodifikasi, atau
dengan menggunakan jarum khusus untuk uji tusuk. Ekstrak alergen yang
digunakan 1.000-10.000 kali lebih pekat daripada yang digunakan untuk
uji intradermal. Dengan menggunakan sekitar 5 ml ekstrak pada kulit,
diharapkan risiko terjadinya reaksi anafilaksis akan sangat rendah. Uji
tusuk mempunyai spesifitas lebih tinggi dibandingkan dengan uji
intradermal, tetapi sensitivitasnya lebih rendah pada konsentrasi dan
potensi yang lebih rendah. Kontrol Untuk kontrol positif digunakan 0,01%
19
histamin pada uji intradermal dan 1% pada uji tusuk. Kontrol negatif
dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan reaksi dermografisme
akibat trauma jarum. Untuk kontrol negatif digunakan pelarut gliserin.
Antihistamin dapat mengurangi reaktivitas kulit. Oleh karena itu, obat
yang mengandung antihistamin harus dihentikan paling sedikit 3 hari
sebelum uji kulit. Pengobatan kortikosteroid sistemik mempunyai
pengaruh yang lebih kecil, cukup dihentikan 1 hari sebelum uji kulit
dilakukan. Obat golongan agonis juga mempunyai pengaruh, akan tetapi
karena pengaruhnya sangat kecil maka dapat diabaikan. Usia pasien juga
mempengaruhi reaktivitas kulit walaupun pada usia yang sama dapat saja
terjadi reaksi berbeda. Makin muda usia biasanya mempunyai reaktivitas
yang lebih rendah. Uji kulit terhadap alergen yang paling baik adalah
dilakukan setelah usia 3 tahun. Reaksi terhadap histamin dibaca setelah 10
menit dan terhadap alergen dibaca setelah 15 menit. Reaksi dikatakan
positif bila terdapat rasa gatal dan eritema yang dikonfirmasi dengan
adanya indurasi yang khas yang dapat dilihat dan diraba. Diameter terbesar
(D) dan diameter terkecil (d) diukur dan reaksi dinyatakan ukuran
(D+d):2. Pengukuran dapat dilakukan dengan melingkari indurasi dengan
pena dan ditempel pada suatu kertas kemudian diukur diameternya. Kertas
dapat disimpan untuk dokumentasi. Dengan teknik dan interpretasi yang
benar, alergen dengan kualitas yang baik maka uji ini mempunyai
spesifitas dan sensitivitas yang tinggi disamping mudah, cepat, murah,
aman dan tidak menyakitkan. Uji gores kulit (SPT) disarankan sebagai
metode utama untuk diagnosis alergi yang dimediasi IgE dalam sebagian
besar penyakit alergi. Memiliki keuntungan relatif sensitivitas dan
spesifisitas, hasil cepat, fleksibilitas, biaya rendah, baik tolerabilitas, dan
demonstrasi yang jelas kepada pasien alergi mereka. Namun akurasinya
tergantung pelaksana, pengamatan dan interpretasi variabilitas.
20
3. Uji gores kulit (SPT)adalah prosedur yang membawa resiko yang relatif
rendah, namun reaksi alergi sistemik telah dilaporkan. Karena test adalah
perkutan, langkah-langkah pengendalian infeksi sangat penting.
Uji gores
kulit
harus
dilakukan
oleh
yang
terlatih
dan
pelatihan
yang
memadai
sangat
penting
untuk
Hasil tes harus dicatat dan dikomunikasikan dalam standar yang jelas
dan bentuk yang dapat dipahami oleh praktisi lain.
21
22
7. Tes Provokasi.
Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang diminum,
makanan, dapat juga untuk alergen hirup, contohnya debu. Tes provokasi
untuk alergen hirup dinamakan tes provokasi bronkial. Tes ini digunakan
untuk penyakit asma dan pilek alergi. Tes provokasi bronkial dan makanan
sudah jarang dipakai, karena tidak nyaman untuk pasien dan berisiko
tinggi terjadinya serangan asma dan syok. tes provokasi bronkial dan tes
provokasi makanan sudah digantikan oleh Skin Prick Test dan IgE
spesifik metode RAST.
Untuk tes provokasi obat, menggunakan metode DBPC (Double Blind
Placebo Control) atau uji samar ganda. caranya pasien minum obat dengan
dosis dinaikkan secara bertahap, lalu ditunggu reaksinya dengan interval
15 30 menit.
Dalam satu hari hanya boleh satu macam obat yang dites, untuk tes
terhadap bahan/zat lainnya harus menunggu 48 jam kemudian. Tujuannya
untuk mengetahui reaksi alergi tipe lambat.
Ada sedikit macam obat yang sudah dapat dites dengan metode RAST.
Semua tes alergi memiliki keakuratan 100 %, dengan syarat persiapan tes
harus benar, dan cara melakukan tes harus tepat dan benar.
BAB III
KESIMPULAN
Perkembangan dermatitis atopik merupakan hasil perpaduan antara faktor
genetik, lingkungan, imunologis, dan farmakologis. Karena semakin hari angka
kejadian dermatitis atopik ini semakin berkembang sejalan dengan kemajuan
teknologi, dan industri yang menghasilkan banyak polutan dan iritan, maka
23
langkah untuk mencegah dermatitis atopik ini sangat bermanfaat untuk mencegah
kenaikan prevalensi dan diharapkan dengan mengenali lebih dalam tentang
penyakit dermatitis atopik ini diharapkan pula dapat mengurangi angka kesakitan
yang terjadi baik pada masa infantil, anak-anak maupun dewasa.
DAFTAR PUSTAKA
Fauzi N., Sawitri, Pohan S.S., 2009. Korelasi antara Jumlah Koloni
Staphylococcus
Aureus
&
IgE
spesifik
terhadap
Enterotoksin
24
25
Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005. Atopic dermatitis. Periodic synopsis. J Am
Acad Dermatol. 53(1): 115-28.
Bhakta I.M.,2006. Pendekatan Terhadap Pasien Anemia. dalam Ari W.S.,
Bambang S., Idrus A., Marcelius S.K., Siti S.s (eds). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. jilid I. Edisi IV. FKUI. Jakarta. Hal: 632-35
26